MASUKNYA ISLAM DI KERAJAAN LUWU
“… aku seorang pembaca..”, demikian jawabku ketika seorang teman menanyakan tentang bagaimana aku menulis. Menguraikan kembali dari apa yang kudengar dan kubaca dari tulisan orang lain kemudian menyimpulkannya sesuai penalaranku, itulah yang kulakukan saat ini.... dan juga kemarin. Maka akupun "Seorang Pemulung...".
Telah kubaca dan kusimak perihal kehidupan para tokoh sejarah yang datang dan pergi keluar Sulawesi Selatan dari masa ke masa, kiranya tidak ada yang lebih berjasa daripada ketiga Mujahid Islam dari Tanah Melayu terhadap negeri ini. Berbekal niat “Jihad fii Sabilillah” serta keutamaan ahlaq tawadlu yang melekat dalam sanubarinya, mereka merambah Tanah Bugis yang kacau balau itu dengan satu tujuan, yakni : Syiar Islam. Berkat perjuangan mereka yang tidak mengharap pamrih itulah sehingga pada hari ini kita semua dapat merasakan nilmat Islam. Kiranya hanya Allah semata yang dapat membalas jasa besar itu dengan pahala yang layak baginya, Amin.
……………………………………………………..………
Pada sebuah naskah susunan Paduka Andi Bau Sulolipu Opu To Tadampali Almarhum yang tidak sempat dipublikasikan, penulis menemukan sebuah riwayat yang menjadi embrio timbulnya beberapa mitos yang justru terlahir dalam rangkaian peristiwa syiar Islam di Tanah Luwu. Syiar risalah yang justru bertujuan untuk meningkatkan taraf kemuliaan manusia agar tidak me-nuhan-kan mahluq sebagaimana sebelumnya.
Dalam tahun 1593 Masehi, bertepatan dengan tahun 1013 Hijriah, tibalah 3 orang Muballiq di Negeri Bua, salahsatu anak negeri utama Kerajaan Luwu. Para Mujahid itu masing-masing bernama :
1. Khatib Sulaiman, bergelar Dato’ Patimang (Khatib Sulung)
2. Abdul Makmur Khatib Tunggal, bergelar Dato’ ri Bandang
3. Abdul Jawad Khatib Bungsu, bergelar Dato’ ri Tiro
Mereka adalah orang Minangkabau yang datang dari Kerajaan Johor dan sebelumnya tinggal beberapa waktu di Makassar. Atas saran dari penguasa kerajaan Makassar (Gowa-Tallo), yakni : I Mangngurangi Daeng Mangrabia Somba ri Gowa XIX (1593-1639) , bahwa misi mereka sebaiknya dimulai pada Kerajaan Luwu yang dipandang sebagai negeri paling mulia dan tertua diantara kerajaan lainnya di jazirah Sulawesi.
Atas rekomendasi yang dibawanya dari Raja Gowa tersebut, ketiganya menemui Tandipau Opunna Ware’ Maddika Bua, penguasa negeri Bua yang merupakan salahsatu negeri utama Kerajaan Luwu yang dikenal sebagai : Ana’ TelluE ( Anak Negeri). Setelah melalui prosesi “Singkarume’ “, sebuah ritual ujian yang terdiri dari dialog debat panjang dan disertai pula adu pertunjukan kesaktian. Atas izin Allah SWT, ketiganya dapat melalui ujian itu serta mengungguli kesaktian para tokoh penguji dalam istana Kereajaan Bua. Akhirnya Maddika Bua mengikrarkan Kalimah Syahadat, mengakui kebenaran risalah yang diemban para muballiq itu. “Kita harus segera menyampaikan ajaran selamat ini kepada Baginda PajungngE..”, kata Maddika Bua. Pucuk cinta diulam tiba, itulah yang diharap ketiga mujahid itu.
Pada tanggal 12 Ramadhan 1013 H, dengan menggunakan perahu yang dinamai "Kimara", Tandipau Opunna Ware' Maddika Bua bersama ketiga Penyiar Islam itu bertolak ke MalangkE', kotaraja Kerajaan Luwu dimana La Pati Arase' (Patiware' Sangaji) Daeng Parambong Pajung ri Luwu - XIII bersemayam. Setelah merapat di pelabuhan MalangkE, mereka langsung menuju ke Istana. Dihadapan Baginda PajungngE, menghaturkan sembah baktinya kepada junjungan Negeri Luwu itu.
" Aga karEbatu mai, Maddika ?" (Bagaimana khabar anda, Maddika ?), sapa PajungngE.
"Usompai PajungngE, karEba makessing mua ipangolo ri cappa' ajEna datuE.." (Sembah bakti kepada PajunggE, khabar baik jua yang patik haturkan di ujung kaki paduka..), jawab Maddika Bua.
Kemudian Maddika Bua memperhadapkan maksud serta tujuan para Muballiq yang ditemaninya itu, yakni menyampaikan risalah Islam yang ajarkan oleh Rasulullah saw.
Mendengar ajakan itu, PajungngE tertarik pula pada penuturan ketiga Muballiq itu. Terutama karena mengetahui bahwa mereka direkomendasikan oleh Sombayya Gowa untuk menghadapnya. Perlu dikemukakan disini, bahwa permaisuri La Patiware' Daeng Parambong Pajung Luwu XIII yang bernama KaraEng ri Balla' Bugisi ini adalah adik kandung I Mangngurangi Daeng Mangrabia Somba ri Gowa XIX. Dengan demikian, para Muballiq ini secara tidak langsung adalah utusan kakak iparnya sendiri.
Selain daripada itu, baginda PajungngE tertarik pula dengan perilaku ketiga Muballiq itu yang santun namun bersikap sewajarnya. Mereka tidak berlebihan dalam tata cara penghormatan terhadapnya, menjilat-jilat sebagaimana rakyat kebanyakan. Baginda memerintahkan agar diadakan “Singkarume’ “ dihadapannya, sebagaimana sebelumnya diadakan di Istana Maddika Bua. Namun kali ini, baginda menghendaki agar Maddika Bua sendiri yang menjadi penguji dipihaknya. Maka dilaksanakanlah tatacara itu dengan sungguh-sungguh.
Dihadapan ketiga Muballiq, Maddika Bua mengajukan pertanyaan-pertanyaannya.
" Dari mana anda sekalian berasal ? "
" Kami berasal dari Minangkabau dan bermukim di Kerajaan Johor ", jawab Khatib Sulung.
" Apakah maksud kedatangan anda ? "
" Kami datang dengan maksud mengembangkan agama Allah SWT yang telah disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.."
" Apakah saudara tidak mengetahui bahwa di Luwu ada kayu yang sangat kuat dari pada yang kuat, direndm air tidak termakan rayap, bahkan jika terbakarpun tak akan terbakar. Kayu itu bernama : Aju Tabu' ", tanya MaddikaE seraya mendeklamasikan syair Lontara, sbb :
Kayu lapuk namun tidaklah lapuk
Tumbuhnya ditengah laut
Tanpa bayangan adanya
Ketiga Muballiq berpikir sejenak, lalu bertanya kepada Maddika Bua. " Bagaimana warna kayu tersebut ? "
" Warna kayu itu tidak dapat dinyatakan karena bahkan justru bayangannya pun tidak diketahui pula ", jawab MaddikaE. Maka menjawablah Khatib Sulung seraya mengucap : "Al Qawtu Kulluhuw Dulumaat', segala sesuatu itu hanyalah bayangan belaka..". PajungngE mengangguk-angguk membenarkan dengan takjub. Sebagaimana diketahui bahwa pada syair I Lagaligo ada dijelaskan perihal "kayu" ketika We Tenri Abeng Batari Bissu ri Langi WalinonoE Daeng Manuttek berkata kepada saudara kembarnya (Sawerigading), bahwa :
Ada pohon kayu yang tumbuh di MANGKUTU
Kayu bEtao yang tumbuh tunggal
Kediaman agung ular sawa minrEli
Tempat bersarang berbagai macam jenis burung..
Lafaldz "Alkawtu" yang diucapkan Khatib Sulung terdengar mirip dengan kata "Mangkutu" dalam syair I Lagaligo. Kemudian pengertian kalimat Arab itu persis pula yang dimaksud dengan pertanyaan Maddika Bua. Kayu "Tabu' " yang dimaknai sebagai kayu yang sangat keras itu sesungguhnya adalah "ADAT". Suatu norma aturan yang dibuat oleh manusia, namun sesungguhnya hanyalah merupakan "bayangan" belaka. Sesuatu yang Non-Permanen serta tidak memiliki eksistensi kemandirian. Hakikatnya, hanya Allah Azza Wajalla yang NYATA dan Abadi keberadaan-Nya. Demikian pula dengan konsep pengertian MaddikaE dan PajungngE tentang keberadaan segala sesuatu selain "DEwata SEuwwaE", Tuhan yang Maha Tunggal. " Iya MakkEloo, Iyato PaullE.." (Dia yang Menginginkan, Dia pula yang memiliki Kekuatan..", sama persis dengan "Laa hawlaa wa laa Quwwata Illa Billah.." dalam konsep Islam.
Ada suatu hal menarik yang patut dikemukakan disini, bahwa dialog antar agama dan kepercayaan yang terjadi ini berlangsung dengan santun. Ketiga Muballiq dari Tanah Melayu itu tidak sekalipun "mengeritik" atau berusaha menumbangkan nilai kepercayaan orang-orang Luwu yang didelegasikan kepada Maddika Bua. Padahal siapapun yang pernah membaca atau mendengar Syair I La Galigo sebagai suatu reverensi pokok kepercayaan orang Bugis pada masa itu, akan menemukan berbagai ketimpangan nilai yang sangat mendasar. Salahsatu contoh adalah "Azas Kemanusiaan" sebagai suatu nilai universal yang senantiasa dimaknai oleh hampir semua kepercayaan dan keyakinan ada di dunia ini. Namun Kitab I La Galigo justru mengabaikannya dengan senantiasa menguraikan tata cara pengorbanan manusia pada berbagai peristiwa sakral para Bangsawan Dewata (topik ini akan ditulis pada judul lain, penulis).
Demikian pula halnya dengan Maddika Bua dan PajungngE sendiri. Sikap santun ketiga tamunya itu dapat dimakluminya dengan menganalisa secara jujur perihal nilai-nilai persamaan yang justru diakuinya pula sebagai sesuatu yang mutlak kebenarannya. Mereka dapat melihat sendiri "celah" pada kepercayaannya sendiri tanpa ditunjukkan oleh ketiga Muballiq itu. Kehalusan makna tenggang rasa teruarai dengan halusnya tanpa tanda kutip.
Setelah dialog dirasa sudah cukup, Maddika Bua meminta 10 butir telur pada "pattumaling" (Kepala Protokoler Istana) atas perkenan PajungngE. Telur-telur itu disusun, bertumpuk satu demi satu tanpa sebutir pun yang jatuh. Kemudian dipersilahkanlah kepada ketiga Muballiq itu untuk mengimbangi kemampuan itu. Khatib Sulung menghampiri susunan telur itu, lalu membaca "Bismillaahirrohmanirrohiim.." seraya mengambil sebutir telur yang paling dibawah susunan itu. Atas izin dan kuasa Allah, 9 telur yang lainnya masih tersusun dalam keadaan melayang, tanpa menyentuh lantai karena sebutir telur yang menjadi tumpuannya telah diambil (dicabut) oleh Khatib Sulung. Kemudian bergantianlah kedua Khatib lainnya mengambil telur-telur itu mulai dari susunan paling bawah tanpa memecahkan sebutirpun diantaranya.
Maddika Bua meminta pula sebuah Balubu (guci) yang penuh terisi air. Balubu itu diangkatnya lalu dibaliknya hingga mulut balubu itu menghadap kebawah. Namun air didalamnya tidak setetespun yang tumpah ke lantai. Lalu dipersilahkan pulalah kepada ketiga Muballiq itu untuk melakukan hal yang sama. Dengan mengucapkan Basmalah, salah seorang Khatib memukul pecah balubu yang terbuat dari keramik itu. Namun air yang didalam Balubu yang pecah berkeping-keping itu tidak tumpah, tetap membulat sebagaimana bentuk balubu yang pecah itu.
Akhirnya Maddika Bua menghaturkan sembah kepada PajungngE, "Demikian Singkarume yang hamba sekalian lakukan di Bua, Tuanku. Selanjutnya patik serahkan segala sesuatunya atas kebijaksanaan paduka..". Maka PajungngE membuka sebentuk cincin pusaka kerajaannya di jari manisnya seraya berkata kepada ketiga Dato' dari Negeri Minangkabau itu. "Bawalah oleh kalian cincin ini ketengah laut, lalu buanglah. Jika kalian mampu mengembalikannya kepada kami, maka saya berjanji untuk memenuhi ajakan kalian untuk memeluk Agama Islam.". "Ampun beribu ampun, Tuanku. Hamba sekalian memohon waktu selama 3 hari. Semoga kiranya dalam waktu itu, Allah Yang Maha Kuasa mengembalikan cincin itu sebagaimana tuan inginkan..", kata Khatib Sulung. Maka PajungngE setuju dengan syarat waktu itu.
Dengan dikawal 8 orang pendayung suruhan PajungngE, ketiga Muballiq itu berkayuh ke tengah laut. Setelah dirasa sudah cukup jauh dari garis pantai, dilemparnya cincin itu yang langsung tenggelam ke dasar lautan yang dalam. Kemudian mereka berkayuh kembali serta diterima dalam jamuan Istana Luwu yang megah itu.
Dua hari telah berlalu, seisi LangkanaE Luwu menunggu dengan harap-harap cemas. "Jangan-jangan cincin pusaka kerajaan benar-benar hilang ditelan lautan. Itu adalah pertanda buruk..!", pikir mereka. Namun halnya dengan ketiga Khatib, mereka nampak tenang-tenang saja. Segalanya telah dipasrahkan kepada Allah SWT dengan sikap Tawakkal sepenuhnya. "Allahumma innii andzilu bika haajatiyy.., wa'in do'fa ro'yii', wa qoshuro amaliiyy.. Waftaqortu 'ilaa Raohmatika..", Yaa Allah, kuhaturkan hajatku sepenuhnya kepada-Mu.. walau lemah akalku.. walau sedikit amalku.. Namun kutetap berharap pada rahmat-Mu..".
Hari ketiga telah tiba. Matahari pagi telah menebarkan jaring-jaring emasnya yang hangat. Seorang nelayan berjalan memasuki gerbang istana, seraya bermohon pada penjaga agar diperkenankan untuk melaksanakan "Kasuwiang". Suatu tradisi pengabdian pada masyarakat Bugis yang membawa persembahan khusus kepada Raja yang dicintainya. Persembahan itu dapat berupa benda pusaka, hewan ternak, hasil kebun atau hasil tangkapan ikan. Nelayan itu datang sambil menenteng seekor ikan besar yang dikailnya semalam. Ikan besar itu diambil oleh seorang abdi lalu membawanya ke dapur istana melalui tangga bagian belakang Istana. Namun, salah seorang khatib yang sedang berada dibagian teras istana meminta agar ikan itu dibawa ke Balairung.
Dihadapan PajungngE dan Maddika Bua beserta para pejabat istana, Khatib Sulung meminta agar ikan besar itu dibelah perutnya. Atas perkenan PajungngE, salah seorang abdi membelahnya. Maka nampaklah seberkas sinar yang bercahaya dalam usus ikan itu. Setelah diperiksa dan dibersihkan dengan seksama, nampaklah sebentuk cincin bertatahkan permata yang berkilauan, cincin pusaka Kerajaan Luwu yang dilemparkan ke laut pada 3 hari yang lalu. Maka hari itu adalah hari yang sangat bersejarah pada Kerajaan Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya, Baginda La Pati Arase' (Pati Ware' Sangaji) Daeng Parambong Pajung ri Luwu XIII mengikrarkan Dua Kalimah Syahadat, memeluk Agama Islam dengan sepenuh jiwa dan raganya. Seketika itu pula, dimulai pada seisi istana hingga seluruh rakyat Kerajaan Luwu diperintahkan untuk turun ke sungai untuk berwudlu sebagaimana diajarkan ketiga Khatib, lalu bersama-sama mengucapkan Syahadatain. Hari itu ditandai dalam lontara, yakni : 15 Ramadhan 1013 Hijriah bertepatan pada tahun 1593 Masehi.
Setelah memeluk Agama Islam, Khatib Sulaiman menabalkan sebuah gelar baru kepada baginda Pati Arase', yakni : Sultan Muhammad Mudharuddin. Adapun halnya dengan Tandipau Opunna Ware' Maddika Bua, beliau dianugerahi pula gelar baru oleh PajungngE, yaitu : Tandi Pau Maddika Bua "AssalengngE" Opunna Ware' karena terlebih dahulu masuk Islam. Namun karena dianggap "lancang" mendahului Baginda PajungngE masuk Islam, maka Maddika Bua diberikan "Sangsi Kewajiban", sbb :
1. Mengembangkan Agama Islam di wilayahnya,
2. Memberikan pelaporan kepada PajungngE pada setiap waktu memasuki bulan puasa.
Kewajiban pelaporan sebagai pertanda masuknya bulan puasa itu terus berlansung selama turun temurun sejak masa pemerintahan La Pati Arase' (Pati Ware' Sangaji) Daeng Parambong Sultan Muhammad Mudharuddin Petta MatinroE ri Pattimang Pajung ri Luwu XIII hingga Andi Kambo Opu Daeng ri Sompa Petta MatinroE ri Bintangna Pajung ri Luwu XXXII.
Wallahualam Bissawwab..
(bersambung ke Mitos Pati Paressa Manjawari...)
Aju tabu' tekkE tabu'
Tuo ri tengnga tasi'
TekkE wajo-wajoKayu lapuk namun tidaklah lapuk
Tumbuhnya ditengah laut
Tanpa bayangan adanya
Ketiga Muballiq berpikir sejenak, lalu bertanya kepada Maddika Bua. " Bagaimana warna kayu tersebut ? "
" Warna kayu itu tidak dapat dinyatakan karena bahkan justru bayangannya pun tidak diketahui pula ", jawab MaddikaE. Maka menjawablah Khatib Sulung seraya mengucap : "Al Qawtu Kulluhuw Dulumaat', segala sesuatu itu hanyalah bayangan belaka..". PajungngE mengangguk-angguk membenarkan dengan takjub. Sebagaimana diketahui bahwa pada syair I Lagaligo ada dijelaskan perihal "kayu" ketika We Tenri Abeng Batari Bissu ri Langi WalinonoE Daeng Manuttek berkata kepada saudara kembarnya (Sawerigading), bahwa :
Engka aju tuo ri MANGKUTU
Aju bEtao bettawengngE
Napolangkana ula minrEli nabuai sawa
SinEppe lE balipenna
NassarangiE lE manu'-manu' tessirupaEAda pohon kayu yang tumbuh di MANGKUTU
Kayu bEtao yang tumbuh tunggal
Kediaman agung ular sawa minrEli
Tempat bersarang berbagai macam jenis burung..
Lafaldz "Alkawtu" yang diucapkan Khatib Sulung terdengar mirip dengan kata "Mangkutu" dalam syair I Lagaligo. Kemudian pengertian kalimat Arab itu persis pula yang dimaksud dengan pertanyaan Maddika Bua. Kayu "Tabu' " yang dimaknai sebagai kayu yang sangat keras itu sesungguhnya adalah "ADAT". Suatu norma aturan yang dibuat oleh manusia, namun sesungguhnya hanyalah merupakan "bayangan" belaka. Sesuatu yang Non-Permanen serta tidak memiliki eksistensi kemandirian. Hakikatnya, hanya Allah Azza Wajalla yang NYATA dan Abadi keberadaan-Nya. Demikian pula dengan konsep pengertian MaddikaE dan PajungngE tentang keberadaan segala sesuatu selain "DEwata SEuwwaE", Tuhan yang Maha Tunggal. " Iya MakkEloo, Iyato PaullE.." (Dia yang Menginginkan, Dia pula yang memiliki Kekuatan..", sama persis dengan "Laa hawlaa wa laa Quwwata Illa Billah.." dalam konsep Islam.
Ada suatu hal menarik yang patut dikemukakan disini, bahwa dialog antar agama dan kepercayaan yang terjadi ini berlangsung dengan santun. Ketiga Muballiq dari Tanah Melayu itu tidak sekalipun "mengeritik" atau berusaha menumbangkan nilai kepercayaan orang-orang Luwu yang didelegasikan kepada Maddika Bua. Padahal siapapun yang pernah membaca atau mendengar Syair I La Galigo sebagai suatu reverensi pokok kepercayaan orang Bugis pada masa itu, akan menemukan berbagai ketimpangan nilai yang sangat mendasar. Salahsatu contoh adalah "Azas Kemanusiaan" sebagai suatu nilai universal yang senantiasa dimaknai oleh hampir semua kepercayaan dan keyakinan ada di dunia ini. Namun Kitab I La Galigo justru mengabaikannya dengan senantiasa menguraikan tata cara pengorbanan manusia pada berbagai peristiwa sakral para Bangsawan Dewata (topik ini akan ditulis pada judul lain, penulis).
Demikian pula halnya dengan Maddika Bua dan PajungngE sendiri. Sikap santun ketiga tamunya itu dapat dimakluminya dengan menganalisa secara jujur perihal nilai-nilai persamaan yang justru diakuinya pula sebagai sesuatu yang mutlak kebenarannya. Mereka dapat melihat sendiri "celah" pada kepercayaannya sendiri tanpa ditunjukkan oleh ketiga Muballiq itu. Kehalusan makna tenggang rasa teruarai dengan halusnya tanpa tanda kutip.
Setelah dialog dirasa sudah cukup, Maddika Bua meminta 10 butir telur pada "pattumaling" (Kepala Protokoler Istana) atas perkenan PajungngE. Telur-telur itu disusun, bertumpuk satu demi satu tanpa sebutir pun yang jatuh. Kemudian dipersilahkanlah kepada ketiga Muballiq itu untuk mengimbangi kemampuan itu. Khatib Sulung menghampiri susunan telur itu, lalu membaca "Bismillaahirrohmanirrohiim.." seraya mengambil sebutir telur yang paling dibawah susunan itu. Atas izin dan kuasa Allah, 9 telur yang lainnya masih tersusun dalam keadaan melayang, tanpa menyentuh lantai karena sebutir telur yang menjadi tumpuannya telah diambil (dicabut) oleh Khatib Sulung. Kemudian bergantianlah kedua Khatib lainnya mengambil telur-telur itu mulai dari susunan paling bawah tanpa memecahkan sebutirpun diantaranya.
Maddika Bua meminta pula sebuah Balubu (guci) yang penuh terisi air. Balubu itu diangkatnya lalu dibaliknya hingga mulut balubu itu menghadap kebawah. Namun air didalamnya tidak setetespun yang tumpah ke lantai. Lalu dipersilahkan pulalah kepada ketiga Muballiq itu untuk melakukan hal yang sama. Dengan mengucapkan Basmalah, salah seorang Khatib memukul pecah balubu yang terbuat dari keramik itu. Namun air yang didalam Balubu yang pecah berkeping-keping itu tidak tumpah, tetap membulat sebagaimana bentuk balubu yang pecah itu.
Akhirnya Maddika Bua menghaturkan sembah kepada PajungngE, "Demikian Singkarume yang hamba sekalian lakukan di Bua, Tuanku. Selanjutnya patik serahkan segala sesuatunya atas kebijaksanaan paduka..". Maka PajungngE membuka sebentuk cincin pusaka kerajaannya di jari manisnya seraya berkata kepada ketiga Dato' dari Negeri Minangkabau itu. "Bawalah oleh kalian cincin ini ketengah laut, lalu buanglah. Jika kalian mampu mengembalikannya kepada kami, maka saya berjanji untuk memenuhi ajakan kalian untuk memeluk Agama Islam.". "Ampun beribu ampun, Tuanku. Hamba sekalian memohon waktu selama 3 hari. Semoga kiranya dalam waktu itu, Allah Yang Maha Kuasa mengembalikan cincin itu sebagaimana tuan inginkan..", kata Khatib Sulung. Maka PajungngE setuju dengan syarat waktu itu.
Dengan dikawal 8 orang pendayung suruhan PajungngE, ketiga Muballiq itu berkayuh ke tengah laut. Setelah dirasa sudah cukup jauh dari garis pantai, dilemparnya cincin itu yang langsung tenggelam ke dasar lautan yang dalam. Kemudian mereka berkayuh kembali serta diterima dalam jamuan Istana Luwu yang megah itu.
Dua hari telah berlalu, seisi LangkanaE Luwu menunggu dengan harap-harap cemas. "Jangan-jangan cincin pusaka kerajaan benar-benar hilang ditelan lautan. Itu adalah pertanda buruk..!", pikir mereka. Namun halnya dengan ketiga Khatib, mereka nampak tenang-tenang saja. Segalanya telah dipasrahkan kepada Allah SWT dengan sikap Tawakkal sepenuhnya. "Allahumma innii andzilu bika haajatiyy.., wa'in do'fa ro'yii', wa qoshuro amaliiyy.. Waftaqortu 'ilaa Raohmatika..", Yaa Allah, kuhaturkan hajatku sepenuhnya kepada-Mu.. walau lemah akalku.. walau sedikit amalku.. Namun kutetap berharap pada rahmat-Mu..".
Hari ketiga telah tiba. Matahari pagi telah menebarkan jaring-jaring emasnya yang hangat. Seorang nelayan berjalan memasuki gerbang istana, seraya bermohon pada penjaga agar diperkenankan untuk melaksanakan "Kasuwiang". Suatu tradisi pengabdian pada masyarakat Bugis yang membawa persembahan khusus kepada Raja yang dicintainya. Persembahan itu dapat berupa benda pusaka, hewan ternak, hasil kebun atau hasil tangkapan ikan. Nelayan itu datang sambil menenteng seekor ikan besar yang dikailnya semalam. Ikan besar itu diambil oleh seorang abdi lalu membawanya ke dapur istana melalui tangga bagian belakang Istana. Namun, salah seorang khatib yang sedang berada dibagian teras istana meminta agar ikan itu dibawa ke Balairung.
Dihadapan PajungngE dan Maddika Bua beserta para pejabat istana, Khatib Sulung meminta agar ikan besar itu dibelah perutnya. Atas perkenan PajungngE, salah seorang abdi membelahnya. Maka nampaklah seberkas sinar yang bercahaya dalam usus ikan itu. Setelah diperiksa dan dibersihkan dengan seksama, nampaklah sebentuk cincin bertatahkan permata yang berkilauan, cincin pusaka Kerajaan Luwu yang dilemparkan ke laut pada 3 hari yang lalu. Maka hari itu adalah hari yang sangat bersejarah pada Kerajaan Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya, Baginda La Pati Arase' (Pati Ware' Sangaji) Daeng Parambong Pajung ri Luwu XIII mengikrarkan Dua Kalimah Syahadat, memeluk Agama Islam dengan sepenuh jiwa dan raganya. Seketika itu pula, dimulai pada seisi istana hingga seluruh rakyat Kerajaan Luwu diperintahkan untuk turun ke sungai untuk berwudlu sebagaimana diajarkan ketiga Khatib, lalu bersama-sama mengucapkan Syahadatain. Hari itu ditandai dalam lontara, yakni : 15 Ramadhan 1013 Hijriah bertepatan pada tahun 1593 Masehi.
Setelah memeluk Agama Islam, Khatib Sulaiman menabalkan sebuah gelar baru kepada baginda Pati Arase', yakni : Sultan Muhammad Mudharuddin. Adapun halnya dengan Tandipau Opunna Ware' Maddika Bua, beliau dianugerahi pula gelar baru oleh PajungngE, yaitu : Tandi Pau Maddika Bua "AssalengngE" Opunna Ware' karena terlebih dahulu masuk Islam. Namun karena dianggap "lancang" mendahului Baginda PajungngE masuk Islam, maka Maddika Bua diberikan "Sangsi Kewajiban", sbb :
1. Mengembangkan Agama Islam di wilayahnya,
2. Memberikan pelaporan kepada PajungngE pada setiap waktu memasuki bulan puasa.
Kewajiban pelaporan sebagai pertanda masuknya bulan puasa itu terus berlansung selama turun temurun sejak masa pemerintahan La Pati Arase' (Pati Ware' Sangaji) Daeng Parambong Sultan Muhammad Mudharuddin Petta MatinroE ri Pattimang Pajung ri Luwu XIII hingga Andi Kambo Opu Daeng ri Sompa Petta MatinroE ri Bintangna Pajung ri Luwu XXXII.
Wallahualam Bissawwab..
(bersambung ke Mitos Pati Paressa Manjawari...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar