Ksatria Makassar, menantang badai ! (bagian 4)
Perang Terakhir Sang Ksatria (2)
Bagian ini dikisahkan oleh Laksamana Claude de Forbin pada memoarnya, kemudian diuraikan oleh Gervaise dalam bukunya : "Desctiption Historique du Royaume de macacar " (diterbitkan dalam edisi Bahasa Inggris dalam judul : The History of the Kingdom of Macasar, Printed for T. Leight and D. Midwinter, the Rose and Grown in Paul's Church Yard, London 1701), lalu diteliti lebih lanjut oleh Dr. Dhristian Pelras hingga diuraikan dalam bentuk buku dan makalah oleh banyak ahli sejarah.
Selain itu, Bernard Orleans telah menuliskan pula perihal kisah ini dalam "Les Prancais at I' Indonesie du XVie au XXe Siecle (Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XV - XVI, Kepustakaan Populer Gramedia - 2006). Melalui tulisan merekalah maka tulisan sederhana ini diuraikan sebagaimana adanya. Sekedar menyampaikan dan menuliskan hasil bacaan ....
.....................................................................................
Setelah merapat di pelabuhan pemeriksaan Benteng Bangkok, Nakhoda Kapal Makassar itu turun bersama 6 awak kapalnya untuk menghadap ke Komandan Garnisun Pasukan Perancis yang mengepalai benteng tersebut, yakni : Kapten Forbin. Sang Nakhoda menanyakan perihal penahanan kapalnya seraya menunjukkan pas jalannya yang ditandatangani dan di cap stempel Perdana Menteri Constance Phaulkon. Kapten Forbin meminta maaf dan mengatakan jika pas jalan itu sudah benar. Namun sehubungan dengan kekacauan yang baru saja terjadi di Kota Ayuthia, maka Kapal mereka harus digeledah dengan alasan kekhawatiran jika ada anggota komplotan pemberontak yang bersembunyi untuk meloloskan diri. Untuk itu diminta agar semua awak kapal dinaikkan ke Benteng, sementara Pasukan Benteng menggeledah kapal itu.
Merasa tidak menyembunyikan apa-apa, Nakhoda menyetujui penggeledahan itu dengan syarat agar awak kapalnya yang dinaikkan ke benteng itu diperkenangkan tetap mengenakan Badik dan Kerisnya. Karena bagi Orang Bugis Makassar, Keris dan Badik adalah "jiwa kedua" dalam dirinya !, demikian penjelasan Nakhoda. Maka Kapten Forbin pun setuju dengan persyaratan itu. Mengingat bahwa pasukan pengawal benteng itu cukup banyak serta masing-masing dilengkapi dengan senjata api. Seberapa sih kemampuan sebuah senjata tajam genggam (dagger) dibanding dengan bedil dan flicker ?. Maka Nakhoda mengutus 2 orang diantara keenam awak kapal yang menyertainya untuk naik ke Kapal agar memanggil semua awak yang lain, turun ke anjungan.
Melihat kedua awak kapal itu berlalu, secara diam-diam Kapten Forbin memerintahkan kepada kedua ajudannya yang berkebangsaan Fortugis untuk mencegat dan menangkap keduanya serta melucuti badiknya. Namun kedua orang Portugis itu menolak melaksanakan perintah itu. Salah seorang diantaranya adalah seorang perwira tua Portugis menasehatkan pada Kapten Forbin bahwa menurut pengalamannya, bahwa orang Makassar tidak dapat ditundukkan dalam keadaan hidup, mereka harus langsung dibunuh. "Terus terang saja, jika anda sampai ketahuan ingin menangkap Kapten bersama awaknya di anjungan itu, dia dan sedikit orang yang bersamanya akan membunuh kita semuanya dan tidak membiarkan seorangpun hidup !" (Forbin, memoar 1686).
Maka Kapten Forbin berunding dengan ajudannya itu dengan menggunakan bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Nakhoda serta keempat awaknya. Lalu Forbin meminta permisi sebentar kepada tamu-tamunya tersebut untukmasuk sebentar kedalam benteng. Ia memanggil serta memerintahkan 20 pasukan pilihan dari unsur Kerajaan Siam untuk mengepung Nakhoda serta keempat awaknya yang tersisa.
Selanjutnya Forbin menulis dalam buku memoarnya, sbb : "Saya memerintahkan seorang Pejabat Siam untuk menyampaikan kepada Kapten Makassar, bahwa saya merasa sangat tersiksa karena mendapat perintah untuk menangkapnya, tapi ia (mereka, penulis) akan mendapat perlakuan baik dari saya. Saat kata pertama terlontar dari mulut Pejabat Siam itu, sambil mencampakkan "topi kain" (destar "Passapu", penulis) mereka ke tanah, keenam orang Makassar itu menghunus pisau (badik, penulis) dan menyerbu membabi buta seperti kesurupan, membunuh seketika itu si Pejabat Siam dan 6 orang rekannya yang ada dalam pavilium ..". Pejabat Siam yang dimaksud Kapten Forbin itu adalah petugas penerjemah.
Kapten Forbin nyaris tewas ditangan Nakhoda yang "A'jallo' " (mengamuk) itu, sekiranya tidak diselamatkan oleh seorang sersannya yang segera menembaknya mati. Ketika Nakhoda jatuh tersungkur ditembusi peluru, Tuan Beauregard", seorang Kapten Perancis yang berada ditempat itu pula melarang sersan untuk membunuhnya. Ia berjongkok untuk mengambil sebilah badik lain yang masih terselip dipinggang Nakhoda yang sedang sekarat itu. Namun ia salah menarik pada bagian sarung (warangka, wanuwa) badik itu. Tanpa disangka-sangka, orang yang nyawanya tinggal 1/4 bagian itu merengkuh gagang badiknya, seraya menikamkannya pada perut Kapten Beauregard. Setelah berhasil merobek perut lawannya, Nakhoda itu menghembuskan nafasnya yang terakhir, disusul Tuan Beauregard tak lama kemudian.
Adapun halnya dengan kedua awak kapal yang diutus terdahulu, merekapun mengamuk dengan sengitnya ketika akan ditangkap serta dilucuti. Setelah berhasil membunuh beberapa pengepungnya, merekapun terluka parah. Namun keduanya berhasil meloloskan diri dengan cara melompat turun ke laut.
Setelah menunggu beberapa lama, 48 awak kapal Makassar itu memutuskan untuk turun ke dermaga diluar benteng. Mereka menunggu Nakhoda beserta keenam temannya yang lain yang masuk kedalam anjungan benteng. Kapten Forbin mengirim 2 kompi Pasukan Portugis yang dipimpin oleh 2 perwira Inggris, yakni : Kapten Hue dan Kapten Michin untuk menghadang mereka di dermaga. Kapten Forbin sendiri memimpin 1 batalyon Lasykar Siam yang sedang mengikuti pelatihan militer untuk membantu kedua kompi itu.
Setelah berhadapan di dermaga, Kapten Forbin memerintahkan para awak Kapal Makassar itu untuk naik kembali ke kapalnya. Namun mereka menolak perintah itu dan berkata bahwa mereka tidak akan kembali ke kapal selama Nakhoda dan keenam kawannya belum datang. Namun tanpa koodinasi terlebih dahulu, tiba-tiba Kapten Hue memerintahkan pasukannya menyerbu ke-48 awak kapal Makassar itu.
Dr. H. Wahyuddin Hamid dalam bukunya : Passompe Bugis Makassar 2 yang dieditori Prof. Dr. H. Kulla Lagosi, MS, menguraikan peristiwa itu yang diberitakan dalam memoar Laksamana Forbin, bahwa ketika melihat pasukan Portugis dan Siam bergerak menyerbu mereka, para Awak Kapal Makassar yang sedang berjongkok itu serentak bangkit sambil menghunus badiknya. Dalam gambaran Forbin, dikatakan bahwa orang-orang Makassar yang berjongkok dengan cara mereka itu, tiba-tiba berdiri sambil menghunus pisauunya (badik, penulis). Mereka melingkari lengan kirinya masing-masing dengan sejenis kain selempang yang biasanya dililitkan dipinggang atau dikepala (pasti yang dimaksudnya itu adalah : Sarung yang dipergunakan sebagai perisai penangkis senjata tajam, penulis).
Lebih lanjut Forbin mengemukakan dalam terjemahan bahwa, ".. mereka menerjang pasukan Portugis dengan pisau ditangan, kepala menunduk dan dengan kekuatan besar menikam dan mencabik-cabik orang-orang Portugis, nyaris sebelum kami sadar bahwa mereka sudah diserang. Dari itu, mereka mendepak kearah pasukan yang saya pimpin dan kehabisan nafas, meski saya memiliki 1000 lebih prajurit bersenjatakan tombak dan bedil, orang-orang yang mengerikan itu menyerang pasukan saya sedemikian rupa sehingga semuanya terjungkal. Orang-orang Makassar itu bergerak dengan menginjaki perut mereka (lawan-lawannya yang terkapar, penulis) dan membunuh semua yang dapat dijangkau, bebar-benar pembantaian yang mengerikan..".
Kedua perwira Inggris yang memimpin Pasukan Portugis itu tewas seketika ditempat itu. Setelah berhasil menempus 2 kompi Pasukan Portugis dalam waktu yang teramat singkat itu, mereka menyerbu pula kearah Lasykar Siam yang dipimpin Forbin. Meskipun lasykar itu berjumlah 1000 personel, namun kenekatan para orang Makassar itu membuat mereka panik dan lari bercerai berai menyelamatkan diri masing-masing. Maka banyak pulalah yang jadi korban tikaman badik. Kapten Forbin terpaksa memundurkan pasukkannya yang jadi kacau itu ke dalam benteng, sementara beberapa yang lainnya berlarian menyelamatkan diri ke arah perkampungan dibelakang benteng. "..dalam keadaan kalang kabut itu, mereka mendesak kami hingga ke kaki tembok benteng yang baru, enam diantara mereka yang paling nekad menegjar pasukan yang kabur dan masuk kedalam teluk buatan yang menghadap sungai dekat tembok bersegi empat. Mereka melewati benteng disisi lain dan menjadikan semua tempat itu pembantaian yang mengerikan dengan membunuh tanpa memandang jenis usia dan jenis kelamin. Wanita dan anak-anak beserta semua yang bergerak didepan mereka. Mereka menyerang membabi buta guna bertempur sampai mati..." (Forbin, memoar ). Setelah menyebar maut di jalanan sepanjang perkampungan itu, keenam orang itu memasuki sebuah Biara (kuil Budha) seraya membunuh semua penghuninya. Mereka berkubu dalam biara itu dalam waktu beberapa lama.
Awak kapal yang tidak ikut menyerbu perkampungan itu kembali ke kapal untuk mengambil perlengkapan perang (bedil, tombak, perisai, dll..). Kemudian mereka membakar kapalnya sebagai tanda untuk bersiap bertempur sampai mati. Setelah itu, tanpa komando yang pasti mereka beriringan menyerbu perkampungan lasykar Siam yang tidak jauh dari dermaga. Perkampungan militer itu dibakarnya serta membunuh orang-orang yang ditemuinya. Para penduduk serta lasykar Siam berlarian menyelamatkan diri serta banyak pula diantaranya yang melompat ke sungai Menam. Rasa putus asa dalam keadaan tersudut, membuat mereka mengganas bagaikan gila. Kapten Forbin berusaha menahan amukan mereka dengan sebuah pasukan kecil bersenjata api, menembaki mereka dengan gencarnya. Namun orang-orang yang sudah kehilangan naluri kemanusiaan itu bergerak mundur ke hutan yang sulit diikuti oleh Pasukan Forbin.
Ketika pelaut-pelaut Makassar itu mundur ke hutan, Kapten Forbin menerima laporan mengenai orang Makassar yang berkubu dalam Biara. Maka ia menunda pengejarannya kedalam hutan untuk segera menumpas penyandera itu. Perwira Perancis itu beserta 80 personel pasukan gabungan mengepung Biara yang dijadikan kubu pertahanan 6 orang Makassar. Namun setelah mengetahui jika semua Biarawan telah dibunuh, maka dibakarnya biara itu untuk memaksa mereka keluar. Akhirnya melalui pertempuran sengit, keenam pelaut itu dapat ditewaskan satu persatu.
Selanjutnya Kapten Forbin mengerahkan 2 Batalyon dan 1 Kompi pasukan gabungan untuk mengepung hutan dimana ke-17 pelaut Makassar yang sedang bersembunyi. Sisa pelaut yang masih bertahan itu mengalami penderitaan berat selama 3 minggu dalam musim penghujan ketika itu. Sebelum kawasan itu dikepung, mereka masih bisa mencari makan di perkebunan sekitar hutan. Namun kini, mereka terpaksa harus memakan daun-daunan hutan, sekedar menyambung hidup.
Penderitaan itu semakin parah ketika turun hujan lebat yang menyebabkan banjir dalam hutan. Mereka terpaksa harus berjalan di air sebatas lutut. Kapten Forbin dan pasukannya semakin meransek masuk ke hutan untuk memperkecil ruang gerak para pelaut itu. Mereka masih bertahan diatas sebuah bukit kecil yang dikelilingi air. Namun, jelaslah sudah, tidak ada lagi jalan untuk meloloskan diri. Kapten Forbin yang mengepung dikaki bukit berseru agar sebaiknya mereka menyerah saja. Ia berjanji untuk memintakan ampun bagi mereka kepada Raja Phra Narai.
Orang-orang Makassar yang semuanya dalam kondisi tubuh yang sangat lemah itu, menganggap seruan Forbin sebagai penghinaan. Mereka sadar bahwa mustahil akan mendapatkan pengampunan. Mati sebagai laki-laki jauh lebih terhormat daripada hidup sebagai manusia pengecut hina. Pemikiran itu seakan menghidupkan kembali sisa-sisa tenaga dalam tubuh mereka yang mulai pudar. Maka dengan seruan membahana, mereka berlarian turun dari bukit itu, seraya melemparkan tombaknya pada para pengepungnya. Mereka menerjungkan diri pada genangan air dengan badik terhunus diacung-acungkan dengan ganasnya, tidak sabar lagi untuk ditikamkan kepada para pasukan diseberang genangan itu. Namun, pasukan pengepung itu telah siaga dengan senjata api yang terkokang dan dibidikkan kepada sekumpulan orang kalap itu. Forbin menyerukan aba-aba "tembak", maka meletuslah rentetan demi rentetan tembakan yang memuntahkan ribuan butir peluru. Orang-orang Makassar yang nekad itu terlempar dan terjerembab di air, terkapar dan tewas tidak lama kemudian.
Suatu hal yang menarik dan menimbulkan kekaguman pada Forbin, mereka semua mati dalam keadaan masih mencekal gagang badiknya. Kematian para pemberani yang mengharamkan kata "menyerah" dalam kamus hidupnya.
Wallahualam Bissawwab..
(bersambung.. kebagian selanjutnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar