Ksatria Makassar, menantang badai ! (Bag. 1)
Manusia terlahir bersama rasa takutnya. Sesuatu yang mengendalikan naluri untuk bertahan hidup, sekaligus dapat pula menjadi penyebab hilangnya jiwa jika rasa takut itu berlebihan. Namun ada pula bangsa yang berusaha menghilangkan fitrah yang alami itu sejak lahirnya. Setiap putra putri Bugis Makassar senantiasa didoa'kan agar rasa takutnya tertanam atau hanyut bersama ari-arinya.
"Laono tauu', sompe'no bulisaa', musialloping kaka irungmu, tosiruntu' paimeng, mallongi-longi ri warekkeng totomu.." (Berangkatlah wahai rasa takut, merantaulah wahai rasa gelisah, satu perahu dengan kakak ari-arimu, semogalah kiranya kita bertemu lagi, pada derajat tinggi suratan takdirmu..), demikian antara lain nyanyian seorang Sanro (Dukun Beranak) ketika menghanyutkan ari-ari bayi yang ditempatkan pada perahu mainan di pinggir laut.
Hari demi hari, bayi itu pun tumbuh menjadi seorang "manusia berkepribadian" sebagaimana fitrahnya. Maka ditanamkanlah semboyang karakter pada dirinya untuk membela "Siri" (Harga Diri). Kehormatan Agama, Bangsa, Kedua Orang Tua, Anak, Istri dan orang yang meminta perlindungan beserta kehormatan diri adalah hal-hal dalam lembaga "Siri" yang mutlak dijadikan standar nilai harkat yang harus dijaga olehnya, melebihi jiwanya sendiri. Sebuah amanah yang jika jiwanya harus sirna dalam mempertahankannya, maka ia akan disebut sebagai "MatE ri Santangi" (Mati Mulia) atau "MatE ri Gollai" (Kematian yang manis). Maka setiap pribadi itu dipantangkan baginya untuk merasa gentar terhadap ancaman kematian. "Majeppu tania Ugi Mangkasara', narEkko tania arona maloo'" (Sesungguhnya bukanlah Bugis Makassar jika bukan dadanya yang terluka..", demikian diwasiatkan pada seorang putera Bugis. Lalu kepada putera Makassar, diwasiatkan pula : "TEai Mangkasara punna bokona loko.." (Bukanlah Makassar jika punggungnya yang terluka).
Kenapa harus dada yang terluka ?. Kenapa pula tidak boleh punggung yang terluka ?. Seseorang yang mati dengan luka dibagian dada atau tempat lain dibagian depan tubuhnya, menandakan ia telah melakukan perlawanan dengan berani hingga tarikan nafas terakhirnya. Adapun luka yang terdapat pada punggung, besar kemungkinan ia melarikan diri dari perkelahian hingga ajal menjemputnya. Kematian yang dinilai amat hina dan memalukan kaumnya. Taroko ikala rEkko dE'to mucauu, taroko matE rEkko dE'to mulari ! (Biarlah kau kalah, asalkan kau tidak gentar, biarlah kau mati, asalkan kau tidak lari !), kata seorang ibu pada puteranya.
Membaca kisah hidup Daeng MangallE yang ditulis oleh Sejarawan Prof. MR. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH, Dr. H. Wahyuddin Hamid, SE, Zainuddin Tika beserta sejarawan lainnya membuat pikiranku untuk mengulas sekilas motif budaya yang berpengaruh langsung pada pembentukan karakter tersebut diatas.
Apa dan siapa Daeng MangallE' ?. Menurutku yang sedang menulis profil-profil singkat tentang hal ikhwal para perantau Bugis Makassar pada judul laman ini, kiranya tokoh sejarah seorang Daeng MangallE' adalah simbol The Real Warrior and The Real Knight at all. Beliau adalah seorang Tu Barani (Sang Pemberani) dan seorang "Pakkanna" (Ksatria) dalam arti yang sesungguhnya. Putera Makassar yang menggoreskan kisah keberanian seorang ksatria perantau pada banyak negeri, dimana kisah heroiknya ditulis dan diberitakan oleh "Gervaise", seorang Theolog berkebangsaan Perancis pada abad XVII dalam bukunya yang berjudul : "Description Historique du Royaume de Macacar" yang kemudian diulas dan diteliti oleh Sejarawan Dr. Christian Pelras.
Berdasarkan buku yang ditulis oleh Gervaise itulah, maka para peneliti sejarah Makassar mulai membuka manuskrip-manuskrip untuk mengetahui siapa sebenarnya "Daen Maale" (nama tokoh Pahlawan dari Makassar dalam tulisan Gervaise) itu ?. Maka timbullah beberapa versi perihal silsilah beliau, antara lain :
1). Menurut catatan dalam daftar silsilah Raja-Raja Gowa pada Lontara Bilang , beliau adalah I Addulu' DaEng MangallE adalah putera I Mallombasi Daeng Mattawang "Sultan Hasanuddin" Sombayya ri Gowa XVI dari perkawinannya dengan I Hatijah I Lo'mo Tobo. Dengan demikian, beliau bersaudara kandung dengan : I Mannidori KarEk TojEng KaraEng GalEsong, I Syafiuddin Daeng Rikong dan I Rukiah Daeng Mami. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin yakni pada masa sebelum hingga Perang Makassar berlangsung, pangeran ini adalah Panglima Pasukan Tubarani (Pemberani) Butta Gowa yang juga sekaligus sebagai "Pa'lapa' Barambang" (Perisai Dada Raja Gowa), garda terdepan pasukan pengawal Sombayya Gowa. Setelah penandatanganan Perjanjian Bongaya, beliau adalah salah seorang tokoh yang tidak setuju dengan perjanjian tersebut sehingga memilih bergabung dengan kakaknya (KaraEng GalEsong) pada ekspedisi ke Pulau Jawa untuk membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten) dan Raden Trunojoyo (Prabu Maduretno) dalam memerangi VoC Belanda (Zainuddin Tika dkk, Daeng Ruru, Panglima Perang Kerajaan Perancis, Pustaka Refleksi, Makassar - 2008)
2). Menurut Pallontara Alm. Andi Paramata yang merupakan seorang ahli silsilah Wajo, bahwa pangeran yang dimaksud oleh Gervaise tersebut adalah "KaraEng MangallEkana", salah seorang saudara seayah I Mallombasi Daeng Mattawang "Sultan Hasanuddin" Sombayya ri Gowa XVI. Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh adanya sumber yang didapat oleh Alm. H. Andi Adjaib (Mantan Walikota Parepare), bahwa Sultan Hasanuddin memang memiliki saudara laki-laki yang tidak begitu disukainya, bergelar : Pasukki Langi' . Pangeran ini digelari demikian karena postur tubuhnya yang tinggi (jangkung). Konon beliau tidak disenangi oleh Sultan karena karakternya yang keras serta seringkali membantah kebijakan Raja Gowa tersebut (Prof. MR. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH, Sekelumit Kissah Daeng Ruru dan Daeng Tulolo di Perancis Pada Abad ke XVII, BKSS-1977).
3). Menurut sumber yang ditemukan pada sejarah kepahlawanan I Mannidori KarEk' TojEng KaraEng GalEsong, bahwa "Daen Maale" yang dimaksud pada buku Gervaise ini adalah : Abdul Hamid Daeng MangallE'. Pangeran ini adalah cucu Sultan Malikussaid Sombaya Gowa XV. Dalam uraian silsilahnya, dipaparkan sbb : Sultan Malikussaid Somba Gowa XV menikah dengan I Bissu KarE' Jannang, melahirkan seorang puteri bernama : I Sungguminasa I Rabiah DaEngta I Daeng Nisanga KaraEng Sanggiringan. Puteri Raja Gowa inilah yang dinikahkan dengan Salahuddin KaraEng Bungaya, maka lahirlah seorang putera bernama : Abdul Hamid DaEng MangallE'. Dengan demikian, beliau adalah kemenakan Sultan Hasanuddin Somba Gowa XVI. Selain tokoh yang disebutkan pertama (I Addulu' DaEng MangallE'), Daeng MangallE yang satu inipun juga ikut berjuang dalam membantu Sultan Ageng Tirtajasa (Sultan Banten) dan Raden Trunojoyo dalam peperangan melawan VoC Belanda di Pulau Jawa.
Terlepas dari yang mana benar pada ketiga versi tersebut diatas, namun jika berdasarkan alur kisah dan para tokoh pelakunya dalam buku Gervaise sebagaimana banyak ditulis pula oleh Prof. MR. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH, maka versi yang ketiga diataslah agaknya paling relevan. Demi memudahkan untuk menyimak susunan tulisan ini, maka bagian pertama ini dijadikan sebagai pengantar yang memuat perihal silsilah tokoh yang akan dituturkan kemudian. Akhirnya pada bagian berikut tulisan ini, selanjutnya penulis mencoba menguraikannya sebagai Abdul Hamid Daeng MangallE, kemenakan Sultan Hasanuddin, Sang Ayam Jago dari Timur.
Wallahualam Bissawwab..
(bersambung ke bag. 2...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar