Ksatria Makassar, menantang badai ! (bag. 4)
Perang Terakhir Sang Ksatria (1)
SE'rE, sE'rEji Batara baulE
KupattanjEngang sarEngku
Barang kubuntulu sarEng mabaji
Allo ri bokoku ...
Hanya satu, kepada satu Tuhan jualah
Kupasrahkan segala nasibku
Kiranya kutemui jua takdir baik
Kelak dihari setelah matiku.. (syair Makassar)
Siri'Emi rionroang ri lino
Utettong ri ade'E
Jagaiangnami siri'ta
Naiya siri'E,
Sunge' naranreng
Nyawa nakira-kira
Karena "Siri" maka kita hidup di dunia
Aku setia nan teguh pada nilai adat
Segalanya demi menjaga harga diri
Sesungguhnya "siri" itu,
Jiwa imbalannya
Nyawa taruhannya (syair Bugis)
..............................................................................................
Ayuthia, pusat Kerajaan Siam pada abad XVII. Sebuah kota pelabuhan yang ramai dihuni berbagai bangsa yang memiliki kantor perwakilannya (Konsulat) masing-masing. Adalah sebuah kesuksesan besar bagi seorang Phra Narai, prinsip keterbukaannya terhadap bangsa-bangsa Eropa dan Asia lainnya tidak sedikitpun mempengaruhi kedaulatannya sebagai satu-satunya penguasa Siam. Namun perhatiannya yang banyak tercurah pada masalah politik luar negeri itu membuatnya lalai dalam hal stabilitas politik dalam negerinya sendiri.
Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa Perdana Menteri Kerajaan Siam pada masa itu adalah seorang Eropa, yakni Constance Phaulkon. Menilik situasinya, maka kelompok bangsa-bangsa Asia yang terdiri dari orang Melayu (Minangkabau), Champa dan Makassar yang sudah berada di negeri tersebut sebelum Daeng MangallE, merasa terpinggirkan. Maka timbullah rasa tidak puas yang bermula pada komunitas Bangsa Melayu yang menular pula pada kelompok orang-orang Champa. Akhirnya dibentuklah sebuah persekutuan pemberontakan yang dipelopori oleh pemuka masyarakat Melayu. Mereka mengajak para bangsa-bangsa Asia yang beragama Islam lainnya untuk bergabung dengan gerakan itu. Sebuah gerakan makar menggulingkan Raja Phra Narai.
Adapun halnya dengan Daeng MangallE sendiri, pejabat istana inipun tidak luput dari ajakan itu. Diperhadapkanlah beliau dengan situasi politik pemerintahan Phra Narai pada masa itu, dimana para komunitas Bangsa Eropa lebih dominan daripada para perantau Asia sendiri. Terlebih-lebih jika menyangkut alasan "Ukhuwah Islam" (Persaudaraan Islam), maka Daeng MangallE' sendiri mau tidak mau, terpaksa ikut pula mendukung persekutuan itu. Sebagaimana diketahui, bahwa Agama adalah menempati peringkat teratas dalam lembaga "Siri". Sesuatu yang mutlak dijunjung tinggi diatas segalanya.
Pada tahun 1682, terjadilah pemberontakan orang-orang Melayu tersebut. Daeng MangallE' beserta lasykar Makassarnya ikut pula terlibat dalam gerakan itu. Namun karena gerakan itu tidak terkoordinasi dengan baik, akhirnya pemberontakan itu berhasil dipadamkan. Phra Narai adalah seorang penguasa yang pemurah. Kaum pemberontak itu diampuninya tanpa persyaratan khusus yang mengikat, asal berjanji tidak mengulanginya lagi.
Adapun halnya dengan Daeng MangallE, ia merasa tidak ada muka lagi untuk kembali menduduki jabatannya sebagai "Docja Pacdi". Beliau dan pengawal pribadinya tidak pernah lagi memunculkan diri di Istana. Sesuatu yang dapat dimaklumi, mengingat jika tindakannya inipun adalah hal yang sangat disayangkan. Dari semua sumber yang ditulis dan diulas oleh para sejarawan, baik Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH, Dr. H. Wahyuddin, M.S, Zainuddin Tika dan lainnya, menyangkut peristiwa keterlibatan DaEng MangallE dalam pemberontakan ini, semuanya mengatakan "sayang, dia sampai terbujuk terbujuk...".Orang tua-tua Bugis Makassar senantiasa berpesan, bahwa : Banna waE cekkE'nami tauwE pawErEng, Tengmangkingni risolangi.. (Walaupun cuma segelas air dingin yang diberikannya dengan ikhlas, maka pantanglah ia dicelakakan..). Pepatah Melayu mengatakan: Ada ubi ada talas, ada budi ada balas.. pantang air susu dibalas air tuba..
Suasana di perkampungan Makassar mulai tidak tenang. Walaupun sudah diberi ampunan oleh raja, namun mereka tetap merasa was-was. Akhirnya dalam bulan Pebruari 1686, masyarakat Melayu menghimpun lasykarnya sebanyak 2000 orang. Mereka beserta orang-orang Champa mengajak Daeng MangallE beserta komunitas Makassarnya untuk kembali mengadakan pemberontakan. Gerakan kali ini didukung penuh oleh seorang Pangeran, adik tiri Raja Phra Narai sendiri. Ia adalah seorang tokoh yang berambisi untuk merebut tahta kakaknya. Melihat upaya pemberontakan orang-orang Melayu, Champa dan Makassar, maka dipandangnya gabungan itu sebagai sebuah kekuatan yang memungkinkan tercapainya ambisi pribadinya tersebut. Dibujuknya pemuka Masyarakat ketiga bangsa itu dengan janji bahwa iapun bersedia memeluk Agama Islam sekiranya gerakan itu kelak berhasil. Maka terbentuklah persekutuan itu yang didukung pula sepenuhnya oleh Daeng MangallE. Bahkan lebih jauh lagi, Kampung Makassar dijadikan sebagai basis utama pergerakan makar itu.
Dalam perundingan yang diadakan di Kampung Makassar, mereka menetapkan bahwa aksi kudeta dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 15 Agustus 1686, jam 11.00 malam. Rencana penyerangan terhadap istana serta membunuh Phra Narai dilakukan pada saat Raja kembali dari perjalanannya ke kota Loburi. Namun rencana gerakan itu akhirnya bocor juga. Pihak istana mengatur penjagaan ketat yang terdiri dari gabungan 10.000 personel pasukan kerajaan dan perwakilan bangsa-bangsa Eropa pada setiap sudut kota. Bahkan kini mereka sedang bersiap-siap melakukan penumpasan terlebih dahulu terhadap pemberontakan itu. Maka gagallah rencana kudeta itu.
Melalui Perdana Menteri Constance Phaulkon, Raja Phra Narai mengeluarkan ultimatum yang disampaikan kepada para pemuka masyarakat yang memberontak itu. Dalam waktu 4 hari, mereka harus datang ke istana untuk mengakui kesalahannya serta memberitahukan nama-nama anggota komplotan lainnya. Jika tidak, mereka beserta segenap warga masyarakatnya dijatuhi hukuman penyiksaan yang mengerikan !. Maka sebagian orang Melayu dan Champa datang ke Pichilok, yakni tempat peristirahatan Raja Phra Narai di luar kota Ayuthia. Mereka memohon pengampunan seraya menyampaikan daftar nama para tokoh masyarakat Islam lainnya yang terlibat.
Kini tinggallah Daeng MangallE dan segenap penduduk Kampung Makassar menunggu nasib.
SE'rE, sE'rEji Batara baulE
KupattanjEngang sarEngku
Barang kubuntulu sarEng mabaji
Allo ri bokoku ...
Hanya satu, kepada satu Tuhan jualah
Kupasrahkan segala nasibku
Kiranya kutemui jua takdir baik
Kelak dihari setelah matiku..
Kiranya seperti itulah yang mereka alami saat itu. 4 hari yang telah diultimatumkan Sang Raja telah lewat. Kiranya tiada lain yang ditunggu kini, selain kematian. Akhir hidup yang diharap semoga terhormat jua adanya.
Sebelum mengambil tindakan tegas, Phra Narai masih memberi kebijakan dengan mengirim utusan kepada Daeng MangallE yang menghimbaunya untuk segera menyerah serta memberikan pula nama-nama anggota komplotan makar lainnya. Seraya membusungkan dada, Daeng MangallE bersumpah atas nama kehormatan dirinya sebagai seorang Pangeran Makassar, bahwa ia tidak akan menyerahkan nama-nama para sekutunya yang bersalah tersebut. Adalah pantang bagi seorang Makassar untuk melanggar prinsip "PaccE" (Solidaritas). Mereka memilih mati terhormat dari pada menghianati teman seperjuangannya. Beliau mengemukakan pada utusan itu mengenai "Manifestasi Siri" bagi seorang Ksatria Makassar untuk merendahkan diri dihadapan seorang Raja yang hendak dimusuhinya. Dikatakannya pula bahwa, sebuah rahasia yang dipercayakan terhadap seorang Makassar senantiasa dibawanya hingga ke liang lahatnya.
Lebih lanjut, Daeng MangallE mengatakan pula kepada utusan itu mengenai niat baik Raja Phra Narai, bahwa : "Saya harus katakan bahwa saya tidak mempercayainya sedikitpun, karena sekarang ini Perdana Menteri ialah seorang Perancis dan antara saya dan dia ada saling benci dengan alasan perbedaan agama..". Akibat jawaban itu, Kampung Makassar dikepung oleh Pasukan Kerajaan. Setelah berjalan selama 1 bulan, Phra Narai mulai kehilangan kesabaran. Akhirnya baginda memutuskan untuk menggunakan kekuatan militer sepenuhnya untuk menumpas habis orang-orang Makassar yang keras kepala itu. (Prof. Dr. H. Andi Mattulada, Opcit hal. 120).
Mengetahui niat Raja Siam tersebut, Deng MangallE beserta segenap penduduk mempersiapkan pula segala sesuatunya. Bagaimanapun, mereka adalah para mantan lasykar Makassar yang berpengalaman pada banyak peperangan sebelumnya. Sejak dari Makassar, Banten hingga di Mataram sampai di Jawa Timur. Maka terjadilah ketegangan diantara kedua belah pihak.
Ditengah situasi tegang yang memanas itu, tibalah sebuah kapal dagang dari Makassar. Mereka membawa barang dagangan dan budak serta bingkisan hadiah dari Sombayya Gowa untuk disampaikan kepada Daeng MangallE. Namun rupanya bingkisan itu tak disampaikan pula, mengingat situasi Kampung Makassar yang sedang dikepung oleh Pasukan Kerajaan. Setelah barang dagangannya habis terjual, Nakhoda kapal yang berawak 53 personel itu turun menemui Perdana Menteri Constance Phaulkon. Ia meminta pas jalan seraya menjelaskan jika mereka tidak tahu menahu perihal pemberontakan yang melibatkan Daeng MangallE. Maka Perdana Menteri memberinya pas jalan yang diminta.
Setelah Nakhoda beserta pengawalnya meninggalkan gedung Perdana Menteri, Phaulkon mengeluarkan perintah rahasia kepada Komandan Kapal Patroli Kerajaan Siam, yakni : Captain Coates, seorang Inggris. Perintah rahasia itu bermaksud agar mencegat Kapal Makassar itu karena dikhawatirkan mereka bergabung dengan para pemberontak di Kampung Makassar.
Diberitakan pada buku memoar Laksamana Forbin yang ketika itu masih berpangkat kapten, dimana beliau adalah Komandan Benteng Bangkok. Bahwa pencegatan dan penembakan kapal Makassar itu semula direncanakan ketika mereka keluar di penghujung sungai Menam yang membelah Kota Ayuthia. Mereka telah mempersiapkan alasan, bahwa penembakan itu terjadi karena Kapal Makassar itu menolak berhenti ketika dimintai pas jalan. Namun karena dikhawatirkan pula terjadi tembak menembak meriam yang dapat mengenai Kantor Dagang VoC yang berada disekitar tempat itu, maka kapal mereka dibiarkan keluar.
Setelah kapal itu berlalu, pesan berantai dengan segera disampaikan kepada Kapten Forbin yang berada pada benteng di ujung muara sungai Menam. Komandan Benteng itu diperintahkan agar menahan kapal itu dengan merentangkan rantai besar yang selama ini berfungsi sebagai portal. Maka diberilah tanda agar kapal itu berhenti dan merapat di pelabuhan pemeriksaan.
(bersambung ke bag. selanjutnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar