Hannibal dari Negeri Melayu (Bag.3-Tamat)
Seorang kerabatku bertanya, "apa persamaan Hannibal dengan Raja Aji ?". Maka berikut ini kucoba menjawabnya dalam uraianku yang miskin reverensi ini ....
Kemenangan Raja Aji Yang Dipertuan Muda Riau IV dalam perang 10 bulan melawan balatentara VoC Belanda membuat pamornya semakin tinggi menjulang. Tersebutlah seorang tokoh Bugis pula, yakni : Raja Ibrahim Sultan Selangor II (putera Raja Lumun "Sultan Salehuddin" Sultan Selangor I, saudara kandung Raja Aji). Melihat kemenangan pamandanya itu, maka timbullah semangatnya untuk mengusir Voc Belanda yang menduduki Kerajaan Malaka. Dalam pemikiran baginda, ada 2 hal yang menjadi alasan kuat untuk menghalau keberadaan VoC Belanda di Malaka, yakni :
1. Malaka adalah suatu pusat kebudayaan Bangsa Melayu,
2. Kerajaan Malaka adalah Negeri Jiran (Tetangga) Kerajaan Selangor.
Dengan demikian, keberadaan VoC yang semakin kuat dan berpengaruh di Malaka adalah merupakan ancaman serius terhadap Kerajaan Selangor pula. Maka bertolaklah baginda ke Riau, menghadapkan hormat dan takzimnya kepada pamandanya, Raja Aji Yang dipertuan Muda Riau IV. Dengan argumen yang realistis disertai bujukan-bujukan yang tak tertolakkan, Raja Ibrahim mengutarakan maksud itu kepada pamandanya. Baginda sangat optimis bahwa sekiranya Raja Aji beserta pasukannya menyerbu dari arah Selat Malaka dan ia beserta segenap pasukan Selangor menyerpu pula dari arah daratan, niscaya VoC Belanda akan terkepung dan takkan mungkin bisa bertahan lebih lama.
Akhirnya, walaupun beberapa petinggi Kesultanan Riau menasehatkan untuk tidak melakukan penyerbuan itu, namun begitu gigihnya Raja Ibrahim meyakinkan pamandanya itu, maka Raja Aji mengabulkannya jua. Maka diadakanlah konsolidasi kekuatan Angkatan Bersenjata Riau, termasuk para Raja-Raja dan Pangeran Bugis beserta lasykarnya. Segala sesuatunya dipersiapkan dengan waktu yang relatif singkat, mengingat bahwa kekuatan VoC Belanda yang habis terpukul itu tentulah belum pulih sebagaimana mulanya. Maka strategi serangan balik diperhitungkan dengan cermat oleh para ahli strategi perang yang sangat berpengalaman dari Tanah Bugis. Bahkan dalam ekspedisi ini mengikutkan pula Sultan Mahmud Syah (Sultan Riau) yang berkeras pula untuk ambil bagian dalam perjuangan membebaskan Malaka, negeri leluhurnya.
Setelah memilih hari baik yang telah dikoordinasikan dengan pihak Kerajaan Selangor, maka ekspedisi penyerbuan itu dimulai. Pelayaran itu mengarungi Selat Malaka dan mendarat pada sebuah teluk dibagian selatan Kota Malaka, yakni : Teluk Ketapang. Raja Aji beserta segenap pasukannya membangun basis strategi pertahanan di tempat itu.
Maka terjadilah peperangan amat hebat di Negeri Malaka. VoC Belanda mengerahkan segala kekuatan yang ada. Mereka berhasil mengajak Sultan Siak dan Trenggano untuk membantunya pula. Utamanya Sultan Siak yang memiliki dendam khusus terhadap Opu Lima Bersaudara beserta segenap keturunannya. Dikerahkannya para Pahlawan Perang dari kalangan Bugis Wajo untuk berdiri bahu membahu melawan Raja Aji dan Raja Ibrahim.
Dapat dibayangkan, bagaimana dahsyatnya peperangan antar multi etnis di Teluk Ketapang masa itu. Belanda beserta sekutunya berusaha mempertahankan kedudukannya di Negeri Malaka dengan segenap kekuatan yang ada. Setelah berlangsung selama 3 bulan, akhirnya keunggulan pasukan Raja Aji dan Sultan Selangor sudah mulai kelihatan. Serangan-serangan mereka semakin lama semakin dahsyat. Maka satu persatu negeri sekeliling Malaka mulai berjatuhan, takluk dibawah keunggulan Raja Aji. Kemudian penyerbuan itu memasuki negeri Malaka bagai air bah yang tak tertahankan lagi. Pihak VoC Belanda beserta sekutunya yang masih hidup tinggal bertahan dalam benteng pertahanan. Mereka kini terkepung dalam keadaan sangat memprihatinkan !. Tiada lain harapannya kini, selain menunggu bantuan dari Batavia yang sekiranya datang tepat pada waktunya untuk melepaskan mereka dari kepungan Raja Aji beserta para sekutunya yang perkasa.
Alkisah, Prof. HAMKA mengemukakan bagaimana kepiawaian cucu Raja Aji yakni : Pujangga Raja Ali Al Haj' bin Angku Raja Ahmad Al Haj' bin Raja Aji mengisahkan hikayat jalannya peperangan itu dengan "hidupnya" dalam kitab Tuhfat an Nafis. Syahdan, Raja Aji Yang Dipertuan Muda Riau IV memimpin penyerbuan dalam upaya membobol benteng VoC pada siang hari. Bilamana hari telah malam, baginda asyik mendengar fatwa ulama yang turut pula dalam angkatan perang itu. Setiap malam jum'at, Raja yang saleh itu khusyu melantunkan wirid denga membaca kitab "Dalail Al Khairat", syair puji-pujian terhadap Rasululullah Muhammad s a w.
Pengepungan terhadap Kota Malaka itu benar-benar membuat para serdadu VoC Belanda yang terkurung dalam bentengnya merasa prustasi. Beberapakali mereka berusaha memindahkan para penduduk sipil orang Belanda yang terdiri dari perempuan dan anak-anak untuk mengunsi pada tempat yang lebih aman. Sementara itu, perbekalan makanan dan amunisi semakin menipis. Akhirnya perihal pengepungan itu sampai pula pada kanyor pusat Gubernemen Hindia Belanda di Batavia. Para petinggi Belanda itu menjadi geger dan tidak menyangka bahwa seorang Raja Melayu yang tidak diperhitungkan mampu melakukan penyerbuan antar daratan sedahsyat itu. Sebuah terobosan yang amat berani, mengingatkan tentang riwayat Hannibal de Chartago yang melakukan ekspedisi penyerbuan dari Afrika Utara ke Yunani di Eropa.
Maka pihak Gubernemen Hindia Belanda mengirimkan bantuan berupa ekspedisi perang yang terdiri dari 20 Armada Perang yang memuat beribu-ribu serdadu dari Batavia. Maka terjadilah perang yang berkecamuk dengan dahsyatnya. Pasukan bantuan Voc Belanda dari Batavia itu masih dalam keadaan segar bugar serta berjumlah lebih banyak. Tak dapat dihindarkan, pertempuran tidak seimbang itu mengakibatkan pasukan Raja Aji amat terdesak, hingga mundur dan terkepung di basis pertahanannya di Teluk Ketapang. Tuhfat an Nafis mengisahkan bagaimana keperkasaan pahlawan Bugis dan Melayu dari pihak Raja Aji yang bertempur hingga titik darah yang penghabisan, dalam upayanya menahan "lautan balatentara VoC" yang menyerbu benteng pertahanan Raja Aji, sbb :
" Maka Arung Lengnga pun memacu kudanya, padahal ia tengah sakit, keluarlah dia menempuh bari Belanda, lalu ia mengamuk. Maka matilah dia dengan kudanya, dan Belanda pun banyak juga yang akan membawa itu, meletus dan pecah sebelum berangkat, Muda itu oleh segala orang-orang besar Holanda itu, serta dengan serdadu-serdadunya. Maka mengamuklah pula Daeng Salekong dan Panglima Talebang serta Haji Ahmad. Maka ketiganya mengamuk menyerbukan dirinya kepada baris Holanda yang berlapis-lapis itu. Maka seketika dia mengamuk itu, matilah ia syahid fi Sabilillah ketiganya dengan nama Laki-Laki. Dan beberapa orang baik-baik pun syahid ..." (kutipan Tuhfat an Nafis, HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama - hal. 191-192).
Dari dalam benteng pertahanannya, Raja Aji menyaksikan para Bangsawan Ksatria kerabatnya itu berguguran satu persatu. Perih duka bercampur geram yang teramat sangat berkecamuk dalam amarah yang seakan hendak meledakkan dadanya !. Baginda bangkit dari duduknya seraya mencabut "Badik Pusaka" warisan Daeng Cella', ayahandanya. Dengan lantangnya, beliau memekikkan kalimah agung : Allahu Akbar !. Para anak cucu dan abdinya berusaha menahan seraya memeluk kaki baginda. Namun dikuakkannya dengan keras segala halangan itu !. Baginda memburu keluar dari pintu benteng dengan badik terhunus yang siap ditikamkan pada gelombang balatentara VoC. Buya HAMKA mengisahkannya dengan lebih indah lagi : "Berlakulah kadar Allah, baru saja sampai dimuka benteng itu, sedirus datangnya beratus-ratus peluru menembus dirinya dan gugurlah Pahlawan Malaya Bugis itu dengan gagah perkasanya. Badik masih tergenggam erat di tangan kanannya dan Dalailul Khairat di tangan kirinya..".
Hannibal pun pada akhirnya kalah perang juga di Yunani. Ia memilih mati bunuh diri ketimbang ditawan oleh pasukan Yunani. Namun Raja Aji memilih gugur dalam pertempurannya. Dua pilihan akhir yang berbeda dari 2 tokoh sejarah dari ruang waktu yang berbeda pula. Adapun menurutku jika ditanya, Raja Aji lebih ksatria dibanding Hannibal yang terkenal itu.
Peristiwa heroik ini terjadi pada tahun 1784 M. Gugurnya Raja Aji menandai berakhirnya perang yang amat dahsyat itu dengan kemenangan di pihak VoC Belanda. Namun dikisahkan lebih lanjut, bahwa para pembesar Belanda yang hadir dan melihat peristiwa gugurnya Raja Pahlawan itu membuka topi seraya memberikan penghormatan. Esok harinya, jenasah Raja Aji dan segenap ksatria Bugis dan Melayu yang gugur pada tempat itu dimakamkan oleh para pembesar Belanda serta sisa-sisa patriot pengikut Raja Aji dengan penuh kebesaran. Raja Aji dimakamkan dibelakang benteng pertahanan VoC Belanda di tempat itu, sehingga lengkaplah gelar baginda, yakni : Raja Aji "Asy Sahid fi Sabilillah" Yang Dipertuan Muda Riau IV, Marhum Teluk Ketapang, seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang berjuang dan gugur di Kerajaan Malaysia kini.
Sebuah jejak sejarah yang tak terlupakan, menjadi perekat persahabatan antar kedua Bangsa yang serumpun. Bukanlah sekedar sahabat, melainkan kerabat yang sedarah, sedaging dan seketurunan. Indonesia dan Malaysia.
Wallahualam Bissawwab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar