Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Kamis, 30 September 2010

Ininnawa (3)

Harta yang Tak Ternilai

Inilah kisah yang kudengar berulang-ulang dari penuturan Ayahanda. Sebuah kisah yang sempat kuanggap "lucu" semasa kecilku, namun kini kuanggap sebuah "ironi" dimasaku sekarang ini.
.............................................................................................................................

Syahdan pada suatu hari... entah kapan dan dimana kejadiannya, penulis sudah lupa. Yang jelas, kejadiannya pada sebuah acara Perayaan HUT RI yang entah keberapa, akupun tak tahu. Pak Camat (entah Camat siapa) sedang melakoni pidatonya dengan berapi-api, setelah membacakan sambutan Pak Bupati. " Sungguh, Penjajahan Belanda terhadap Bangsa kita benar-benar sebuah kejahatan Sejarah ! ...", serunya garang di tengah terik matahari. Sementara peserta upacara yang berdiri di lapangan mendengarkan dengan seksama sambil sekali-kali mengusap peluhnya yang bercucuran. Salah seorang peserta upacara mengangguk-angguk dengan mulut komat-kamit, entah "membenarkan" ataukah "bermunajah".. Berdo'a agar Pak Camat terserang penyakit diare agar secepatnya menutup pidatonya.

" Saudara - saudara se-Bangsa dan Se-Tanah Air. Penjajahan Belanda benar-benar meninggalkan goresan derita yang tak terlupakan pada kita semua. Mereka merampok dan menjarah harta kekayaan negeri kita. Hasil bumi kita diangkutnya ke Negeri mereka nun jauh disana, sementara Rakyat Indonesia kelaparan di Negerinya sendiri...", sungguh Bapak Camat yang satu ini benar-benar seorang orator yang piawai. Pada deretan terdepan dibawah tenda kehormatan, seorang tua renta mendengarkan sambil mangut-mangut dan menyahut. "Toongeng ...Tongeng Ladde' ! (benar.. benar sekali !).

Melihat sambutan pendengar begitu antusiasnya, maka sedikit mengabaikan Tata Upacara Sipil Pak Camat meninggalkan podium, mendekati orang tua tersebut. " Saudara-saudara, inilah salah seorang Pelaku Sejarah yang menjadi saksi hidup kekejaman penjajahan Belanda terhadap Bangsa kita..", katanya sambil menunjuk Orang Tua itu. " Nah, Bapak yang terhormat. Kiranya bersedia untuk menyampaikan sepatah dua kata yang dapat menggugah semangat patriotisme anak-anak kita yang lahir di alam kemerdekaan ini..", kata Pak Camat sambil menyodorkan Microphone.

Maka dengan terpaksa, orang tua itu berdiri seraya menerima Microphone dari Pak Camat. " Anak-anakku, apa yang dikatakan Pak Camat tadi adalah benar adanya. Beliau mengingatkan kembali bagaimana pedihnya sebagai rakyat suatu Bangsa dalam cengkeraman penjajahan. Saya sangat sedih mengingatnya kembali.. Bahwa Penjajah Belanda itu menguras dan merampok hasil bumi negeri kita, itu adalah sangat menyedihkan bagi kita semua. Tetapi... percayalah, jika kita bersungguh-sungguh mengolah kembali kekayaan Negeri kita saat ini, maka kini kitapun dapat menikmatinya. Karena apapun dan bagaimanapun, hasil bumi yang mereka rampok itu hanyalah segelintir buah saja, tetapi pohon dan tanahnya tidaklah mereka angkut ke negerinya. Namun yang paling menyedihkan bagiku, adalah : Nalai tongeng-tongengngE, nasEsai cEko-cEkona. Mereka mengangkut nilai kebenaran dan kejujuran anak negeri ini ke negerinya, sementara mereka meninggalkan sifat licik, tamak, bakhil dan curangnya di Negeri kita... Celakanya lagi, sifat-sifat buruk itu "mewabah" hingga beranak pinak diantara kita.....
.........................................................................................................................

Kadang-kadang kisah itu membuatku merenung hingga waktu melewati bayanganku tanpa terasa. Aku berkaca pada cermin tua yang berdebu hingga aku tak bisa membedakan, mana debu dan yang mana wajahku...

Terbayang seraut wajah tua berhias keriput jaman yang telah lewat. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam, seraya mengepulkan asapnya ke udara dengan resah. Suara seraknya menceritakan tentang masa lalu dan masa kini. Masa penjajahan yang serba kusam, namun penegakan supremasi hukum kadang terasa lebih bersahabat dengan alam.. "dulu..duuuluu sekali. Tiap hari pasar, Opasa'E (opas) senantiasa memeriksa jaring atau jala yang diperjual belikan. Mereka membawa alat ukur untuk memeriksa "mata" jaring. Jika mata jaring tersebut terlalu kecil, niscaya penjualnya di denda atau bahkan di hukum kurungan", kisahnya dengan pandangan mata yang menerawang jauh entah kemana. " memangnya kenapa jika terlalu kecil ?", tanyaku dengan penasaran. Pak Tua mendesah sambil mengisap rokoknya dalam-dalam, "tujuannya agar para nelayan tidak menangkapi ikan-ikan yang masih kecil.. kalau tidak, ikan-ikan itu akan punah.".

Lalu bagaimana dengan sekarang ?. Lihatlah tanahku di Belawa. Sebagian tokohnya malah mengakui jika sebagian danau tempe adalah miliknya. Sebagian yang lain ramai-ramai mempelopori penangkapan ikan dengan memakai tuba. Sementara yang lainnya lagi, memanggul ransel aki (accu) untuk menyetrum ikan-ikan. Tetapi yang paling "mengesankan", perhelatan itu disaksikan oleh aparat penegak hukum.

Aku takkan berkata jika masa ini adalah "jaman edan". Itu kata Ranggawarsita dalam Jayabaya-nya. Namun yang kulihat kini, tetanggaku bangga dengan puteranya yang memiliki mobil mewah hasil korupsi. Sementara tetanggaku yang lain merasa malu karena puteranya yang sarjana "kembali kampung" menjadi petani yang jujur.... Wallahualam.











Sastra Bugis

ELONG ASSIMELLERENG (1)

Siduppaka' nacabbiruu
Iyami napuada
Sappaako laingngE

Kuberpapasan, ia tersenyum
Tiada lain ia katakan
Carilah yang lain

PEkkona' sappaa laingngE
Engkagaro duwanna
AnrEna matakku

Bagaimana mungkin kucari yang lain
Adakah duanya
Yang memikat mataku

PolEna' palElE winru
Tenre' kutuju mata
Padammu silise'

Kutelah mencari kemana-mana
Namun tiada jua kudapatkan
Yang menyamai dirimu

MabEla mu risompeeri
Apa' ri pauwwangnga'
Balala padammu

Namun jauh kau kudatangi
Sebab telah kudiberitahu
Jarang  tandinganmu

Mauwa' sompe' ri Jawa
Sappaa'i senrapammu
Tenre' kulolongeng

Walaupun kumerantau hingga di Jawa
Mencari yang sepadan dirimu
Namun tiada kudapati jua

PolEna' palElE cinna
Sappaa'i sippadammu
Tenre'sa padammu

Kutelah mencoba mengalihkan harapan
Mencari seseorang yang kiranya menyamaimu
Namun tiada jua yang sama denganmu

SEnge' lalowa' ri mula wenni
kubali sEnge' tokko
Ri giling tinroku

Kenanglah daku diawal malam
Agar dikau kukenang pula
Dikala kumenggeliat dalam tidurku

SEnge'ka simata jarung
Kubali sEnge' tokki'
Sipuppureng lino

Kenanglah daku walau sebesar lubang jarum
Agar dikau kukenang pula
Hingga seumur dunia

KEgo lEwuu mangkalungu
Matto'dang makkalilii'
Uwitao tinro

Dimana gerangan kau berbantal dalam baringmu
Membujur dalam geliatmu
Dikau kulihat dalam tidurku

Mannippia' ri wenniE
Manessa iko mua
Uwakkang matinro

Kubermimpi di malam hari
Jelas dikaulah jua
Kupangku dalam tidurku

Matinrooku mannippiiku
Iyami kuponippi
Ikomi kuwita

Saat kuterlelap, pastilah kubermimpi
Tiada lain yang hadir dalam mimpiku
Engkaulah yang kulihat

Upappadako cammingngE
Utimpa' baja-baja
Tekkubokorimmu

kau bagaikan cermin bagiku
Kuhadapkan wajahku dipermukaanmu tiap waktu
Takkan mungkin kumembelakangimu

Sangadi matE watangnga'
Mareppa' bulo-bulo
Kupaja massEnge'

Kecuali andai kumati terpaksa
Pecah bagai buluh
Maka usailah rinduku

Sangadi duai mEnrE'
Matanna tikkaa'EdE
Usala pangolo

Kecuali jika terbitlah dua
Sang matahari
Barulah mungkin aku keliru berpaling

MatEka' ala duwaE
Kutaro ri babuwa
Tenna iko mua

Aku mati andai ada duanya
Kusimpan dalam perutku
pastilah dikau jua

Akkitako ri kEtengngEdE
Alilii alibunna
Atikku ri lalengna

Pandanglah ke bulan diatas sana
Perhatikan lingkaran bulatnya
Hatiku ada didalamnya

Ana' uleng muita
Macoora puppuu benni
Padai nyawaku'

Lihatlah bintang
Berkilauan sepanjang malam
Seperti itulah jiwaku

Akkitako ri saloo'E
Maccolo' baja-baja
Atikku ri lalengna

Pandanglah sungai
Airnya mengalir sepanjang waktu
Seperti itulah hatiku

Maggulilingna' palElE winru
Naikomua utuju
Nawa-nawakku

Dari segala penjuru kumencoba mengalihkan kasih
Namun dikau jua
Yang ada dalam benakku

Dua tellu kerraiko
Inge'mu na matammu
Taro sompolongmu

Ada dua atau tiga hal yang menjadi kelebihan dirimu
Hidung dan matamu
Serta model sanggulmu

Iyasia minasakku
Alebbongpa malai
Assimellerengta

Tiada lain harapanku
Semoga liang lahadlah yang memisahkan
Cinta kasih kita

PEsona temmaggangkaaku
Iyapa nakkEwiring
Kame'pi linoE

Keyakinanku tak terbatas
Nantilah kiranya berakhir
Jika dunia kiamat adanya

UpomEnasai sia
Silise' kasa renni'
Pawalung tadua

Adalah cita-cita bagiku
Secarik kain kasa
Menjadi kain kafan kita berdua

UpomEnasai sia
Sitonra-tonra jari
LEtE ri Manipi

Adalah cita-cita bagiku
Saling berpegangan tangan
Meniti jembatan akhirat


IkoarE idi' arE
LEtE ri Manipi
Sitajengngi ri majEE'

Andai dikau ataulah daku
Meniti jembatan akhirat
Kita saling menunggu di gerbangnya

Ri majEE'pi mabbiccara
Ri TualenrEng pasi
Tomappasilolongeng

Di alam kuburlah nanti kita saling menyapa
Nantilah lagi di perbatasan negeri akhirat
Kita akan saling bertukar cerita

Tessitajenggi' ri MajEE'
Kuwapi ri Manipii'
Sita baja-baja

Andai kita tak saling menunggu di alam kubur
Nantilah setelah di negeri akhirat
Kita dipertemukan selamanya

.......................

Rabu, 29 September 2010

Sastra Bugis

Sekilas tentang Sastra Bugis


"Keajaiban BAHASA !", kalimat itulah yang terucap ketika kubenamkan diriku dalam "telaga sastra Bugis". Fenomena keterbatasan wawasanku terhadap seni sastra mengatakan, " inilah taraf tertinggi sebuah kreatifitas berbahasa ". Bagaimana tidak ?. Dari sebuah bangsa timur yang budaya teknologinya biasa-biasa saja (kalau tidak bisa dikatakan agak terbelakang) tetapi mampu mengembangkan budaya tulis menulis sejak 14 Abad yang lalu. Sebuah karya sastra terpanjang di dunia tercipta pada abad VII (menurut R.A.Kern yang didukung Prof. Fachruddin A.E - 1999) yang dikenal sebagai I Lagaligo. Namun lebih daripada itu, bangsa pemakai sarung ini mampu menciptakan "aksara Lontara" yang merupakan salahsatu aksara dunia.

Menelusuri lebih jauh dari pinggir telaga sastra ini, kekagumanku semakin tak terkatakan lagi. Kudapatkan jika seni sastra ini terdiri dari segala unsur kebahasaan yang terjalin rapi secara dinamis. Siapapun tidak akan mampu menyelaminya lebih jauh jika ia tidak memiliki pemahaman Budaya Bahasa Bugis yang memadai. Siapapun juga tidak mampu menikmatinya secara "utuh" jika tidak memiliki kemampuan membaca Aksara Lontara dengan baik. Namun membaca Aksara Lontara hanya dapat dilakukan jika piawai berbahasa Bugis dengan fasih. Sungguh sebuah kreatifitas sastra yang memadukan unsur tulisan, bunyi dan kias dengan apresiasi sastra yang tinggi.

Sastra Bugis terdiri dari 3 jenis, yakni : Elong Ogi, Pau-Pau ri Kadong dan Sure'. Menyesuaikan Laman Blog ini, penulis mencoba menguraikan jalinan Elong Ugi yang juga memiliki karakteristik berbeda dari bahasa Bugis sehari-hari. Berdasarkan kandungan isinya, Elong Ugi dapat dikategorikan menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Pammulang Elong  = Permulaan syair yang mengutarakan permohonan maaf sebagai pembukaan.
2. Elong Assimellereng = Syair yang menghaturkan makna cinta, pujian, benci, sindiran dll.
3. Elong Toto = Syair yang memaknai nasib, takdir, ratapan, kepedihan rindu tak sampai, dll.

Akhirnya kuhaturkan rangkaian syair Elong Ogi ini sebagai wujud cintaku terhadap khasanah budaya  leluhurku yang senantiasa  membunyikan genta "Siri-PaccE" di relung-relung hatiku paling dalam.. Syair yang senantiasa mendengung melalui nafas abdi jiwaku...

PAMMULANG ELONG

TabE' matu' makkElokku
Malesso timuawa'
Taddampengengmuna'

Kupohonkan perkenan bila kunyanyikan laguku
Andai berlebih kata dari mulutku
Kiranya aku dimaafkan

Mariolo addampekku
Rimonri mani monro
Ellau simakku

Kuawali dengan permohonan maaf
Pada penghujungnya kuletakkan
Permohonan pamitku

Massimangna' uwakkElong
Masala Elongawa'
Aga kutobengngo

Izinkan kulantungkan laguku
Andai nyanyianku buruk adanya
Karena aku memanglah dungu

Bonngo' mEmengnga' ujaji
Apa' baiccu'mopa'
NamatE nEnEku'

Benar kuterlahir dungu
Karena sejak kumasih kecil adanya
Nenekku telah wafat

PolE pasenna nEnEku
MasallEniga lolang
Toripabiukku

Menurut pesan nenekku
Mungkinkah sudah bebas adanya
Para pelindungku yang telah tiada

Biu mana' uwissengngi
AlEku natarana'
Sara ininnawa

Nantilah setelah yatim kubaru mengerti
Diriku dipelihara (diasuh)
Oleh penderitaan batin

Ininnawa aggangkano
Rappe' natuddu' solo'
TemmappangEwaku

Duhai, batinku... cukuplah sudah
Terdampar dalam terpaan arus
Bersama pasrahku...

Sabbara'no musukkuru'
Mugalung To Kalola
Muallong-longi

Bersabar dalam kesyukuran
Bagai sawahnya orang Kalola *
Membubung tinggi ke angkasa

* Sebuah sawah di Kampung Kalola bernama : La Sogii
   diartikan dalam bahasa syair sebagai "kaya hati"

REkkua temmuissengngi
GalungngE ri Kalola
La Sogi asenna

Andai kau tak tahu
Sawah di Kalola
Si Kaya, namanya ...

Asogireng ri lElEang
Uturung uwakkeda
Pennoni bolaku

Jika kekayaan yang diperjajakan
Aku turun seraya berujar
Penuhlah sudah rumahku ...

MasE-masE ri LElEang
Utellong uwakkeda
Pennoni bolaku

Jika budi yang diperjajakan
Kumenjenguk keluar seraya berujar
Penuhlah sudah rumahku ...

Mabbukkaa masE-masEya'
Nakelli' ana' manu'
Barebbu masEku

Kubuka buntalan budi
Menjeritlah ia bagai anak ayam
Serpihan budiku

Massessa' masE-masEa'
Na pitu lEkko saloo'
Nasanrang masEku

Kucuci budi ini
Pada tujuh kelokan sungai adanya
Penuh oleh budiku

Maddakko masE-masEa'
Gangkanna Luwu SoppEng
Leppiina masEku

Kujemur budi ini
Hingga Luwu Soppeng adanya
Penuh oleh budiku

Malleppii masE-masEa'
SittanrE Latimojong
Leppiina masEku

Kulipati budi ini
Setinggi Latimojong adanya
Lipatan budiku

Mappangujuni masEku
Sadiatoni sompe'
Koromai baja

Berkemaslah budiku
Siap menuju pelayaran
Pada esok hari

Sompe'ni ronnang masEku
Malliwengpuluu toni
Lawangeng Latimojong

Berlayarlah sudah budiku
Melampaui pegunungan
Hingga alam Latimojong

Latimojong pong matanrE
Buwengeng masE-masE
Salo mEnraleng

Latimojong puncak tertinggi
Tempat pembuangan budi
Pada dasar sungainya yang terdalam

MasE-masE maittano
Ripasang waju renni
Ludunni alEmu

Duhai, Budi. Telah lama engkau ..
Dikenakan bagai baju kekecilan
Lepaslah sudah dirimu ........................................

(bersambung....)



Selasa, 28 September 2010

Keramik Naga Dinasti MING (peninggalan Saoraja Bakka'E)

Guci Naga dari Dynasti MING, satu sari sekian banyak peninggalan Saoraja Bakka'E yang masih tersisa (dalam perawatan penulis)

Struktur Derajat Kebangsawanan di Tana Wajo

Warii' PapolEonro ri Wajo

I.     Ana' Mattola (Putera / Puteri Mahkota)
        a.  I a (L) + I a (P)   =  I a (L/P)  Matase'  (100 %)
        b.  I a (L) + II (P)    =  Ana' Samaraja       (95 %)

II.     Ana' Sangaji (Mulia)
         * I a (L) + III.a (P)  =  Ana' Sangaji (90%)

III.   Ana' RajEng  (Dihargai)
        a. I a (L) + IV a (P)  =   Ana' RajEng Lebbi (85 %)
        b. II (L) +  IV a (P)  =  Ana' RajEng (80 %)

IV.   Ana' CEra' (Putera/Puteri berdarah campuran)
        a. I a (L) + I/II (P)          =  Ana' CEra' Sawi (50 %)
        b. I a (L) + VIII.a           =  Ana' CEra Pua' (40 %) 
        c. I a (L) + VIII.b           =  Ana' CEra' Ampulajeng (25 %)
        d. I.a (L) + VIII.c           =  Ana' CEra' Yattang Dapureng (12,50 %)

V.   Ana' Arung  (Putera / Puteri Bangsawan)
      * III, IV (L/P) diatas       =  Ana' Arung

VI. Tau DEcEng (Orang baik-baik / Mapaccing)
       a. V (L) + V (P)           =  Tau DEcEng Karaja 
       b. V (L) + VI a (P)       =   Tau DEcEng

VII. Tau MaradEka (Warga Merdeka)
       a. Tau MaradEka Mannennungeng
       b. Tau MaradEka SampEngi (Ata yag dimerdekakan)

VIII. Ata (sahaya)
        a. Ata Manaa (sahaya warisan)
        b. Ata Mabuang (sahaya baru)
        c. Ata Tai Manu' (pesuruhnya Ata)

Namun secara umum tingkat derajat (darah) pada masyarakat Sulawesi Selatan, dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Mattola Sengngeng Pali    =   100 % (Arung Bocco / Matase')
2. Sama Raja                       =    95 %
3. Sangaji                             =    90 %
4. RajEng Massalangka        =    85 %
5. RajEng Matase'                =    80 %
6. RajEng Lebbi                   =    75 %
7. RajEng Malolo                 =    70 %
8. Sawi                                =    65 %
9. Mattola Matase' Sawi      =    60 %
10. CEra' Matase'                =   55 %
11. CEra' Seddi Mattola Sawi  = 50 %
12. CEra' Dua Mattola Sawi    =  25 %
13. CEra' Tellu Mattola Sawi   = 12,50 %
14. To DEcEng                        =  5 s/d 2,50 %
15.  To Samaa                         = 0 %

Selain pranata diatas, khusus untuk Warii'na Ana' ArungngE ri BonE  juga memiliki karakteristik yang sedikit berbeda serta lebih terurai dan terstruktur lebih lengkap. Salahsatu yang membedakan dengan Warii PapolEonrona Wajo diatas, adalah : Tingkatan Ana' Mattola Arung Mangkau' ri Bone haruslah seorang I a Matase' (100 %). Sementara di Wajo, Ana' Mattola masih dikategorikan 2 macam.

*) Sumber : Lontara' La Toa dari kajian Prof. Dr. H. Andi Mattulada (1995) diperbandingkan dengan Lontara Tana Tengnga yang diuaraikan oleh Andi Panguriseng (Andi Mori Alm.)

PAKKACAPING

Apamo anne' ~ Ridwan Sau (Stereo)

Lagu bugis - Ada-ada bawang

Minggu, 26 September 2010

Ininnawa (2)

Aju Malempuu'E (kayu yang lurus)

Pertengahan tahun 1999, penulis bertemu Bp.Alm. Mirdin Kasim (Mantan Walikota Parepare) di Tanjung Bira. Beliau adalah sosok yang amat kukagumi dalam banyak hal, terutama : Kepribadiannya yang jujur. Perbincangan kami berlangsung menarik hingga tidak terasa waktu merambat hingga jam 2.00 dini hari. Kebetulan saja waktu itu beliau menginap di tempat kami, yakni : Kaluku Kafe And Bungalow.

" Saya sangat mengenal Opu , tapi tentu saja Opu tidak mengenal saya...", kataku diawal perbincangan. 
" Kau kenal saya dimana ? ", tanya beliau akrab.
" Ketika Opu menjadi Walikota Parepare dulu, saya adalah salah seorang warga Parepare.."
" Lalu apa yang kau tahu tentang saya semasa masih Walikota dulu ? ", tanyanya ringan.
" Saya tahu jika Opu adalah pemimpin paling jujur yang pernah saya kenal ", jawabku mantap.
" Bagaimana bisa kau tahu jika saya jujur ? ", sergahnya sambil menatap mataku dengan tajam.
" Tentu saja saya tahu, Opu. Pada suatu hari, saya dan teman-teman berkunjung ke Rumah Jabatan Walikota dalam rangka mengedarkan les sumbangan untuk penyelenggaraan MUSCAB AMPI. Waktu itu Opu sendiri yang menerima kami. Namun kami terpaksa pulang dengan tangan kosong karena Opu menyuruh kami kembali pada tanggal 1 bulan depan setelah Opu terima gaji..."...
...........................................................................................
Sungguh, terlalu sulit mendapatkan sosok keteladanan dimasa kini. "mistar kayu" semakin langka, sehingga semakin sulit mengukur diri. "Akkitaki' lao ri ale'E.. Makurangni Aju Lempu " (lihatlah di dalam hutan, batang pohon yang lurus semakin langka..). Batang pohon yang lurus terlalu sulit untuk tumbuh di tanah berbatu, sebagaimana kejujuran tak akan pernah bisa tumbuh pada hati yang kotor.

Batang pohon yang lurus juga tak akan dibiarkan tumbuh sampai besar disebabkan 2 hal, yakni :

1)*. Kayu lurus terlalu banyak difungsikan oleh manusia. Ia digunakan sebagai tiang soko guru (Posii Bola) pada sebuah rumah hingga istana Raja sekalipun. Ia pula yang dijadikan sebagai bahan pasak (Pattoloo) yang menyatukan barisan tiang rumah yang tinggi menjulang. Bahkan ia pula dipergunakan sebagai tiang wuwungan atap yang tempatnya diatas sana... Demikian pula dengan Manusia yang memiliki sifat Jujur. Ia senantiasa dicari dan dibutuhkan dimanapun kehidupan ini berlangsung. Bahkan, orang yang tidak jujur pun memerlukannya. Naiyya To Lempuu'E, manguru manaa'i To Sugii'E (sesungguhnya orang jujur mendapatkan garis warisan yang sama dengan orang kaya). Ia selalu ditinggikan dengan derajat yang mulia diantara para orang-orang mulia.

2)*. Pohon kayu yang lurus juga senantiasa ditebang karena dibenci. Karena pohon-pohon bengkok akan kentara bengkoknya jika tumbuh disekitarnya. Demikian pula dengan orang yang berkepribadian jujur. Orang-orang culas akan selalu risih jika ia membaur bersamanya. Bahkan pada situasi dan kondisi tertentu, ia harus ditebang dengan "berat hati". Apa boleh buat, terpaksa harus disingkirkan karena ia dapat membahayakan posisi para manusia culas disekitarnya.

Tetapi tumbangnya pohon lurus dan pohon bengkok berbeda pula. Kayu lurus jika tumbang, tidak akan patah terhempas di tanah. Naiyya Aju Lempuu'E, bueng tettassangra mua (sesungguhnya kayu lurus, walau jatuh tak akan patah). Sementara pohon bengkok jatuhnya akan mengakibatkan cabang-cabang dan batangnya berpatahan. Demikian pula dengan orang jujur, walau jatuh binasa berkalang tanah namun namanya akan tetap dipuji dan dikenang. " Mauni silipuu alatiE, Mappaseng ri nippiE, Teya tenrisEnge'..." (Walau sekampung dengan cacing, berwasiat dalam mimpi, takkan mungkin tak dikenang...). Orang jujur, walaupun mati berkalang tanah ( silipuu alatiE= sekampung dengan cacing), namun nama dan sifat baiknya senantiasa dijadikan kenangan.

Namun halnya dengan kayu yang bengkok, apa gerangan fungsi dan kegunaannya ? ...Tiada lain dan tiada bukan, ia hanyalah berguna sebagai bahan pembuatan Rakkala (Bajak Sawah). Itupun hanya sekali dalam 5 tahun.. Ia senantiasa akan bergaul dengan lumpur dan kotoran kerbau. Demikian pula dengan orang yang tidak jujur. Lingkup pergaulannya adalah pada dunia dimana kemaksiatan tumbuh subur..

...sungguh, "kejujuran" adalah sifat yang dikagumi, disukai dan disegani oleh semua orang. Namun tidak semua orang mampu berprilaku jujur...

CEko riyala sanrEseng
Pajaneng temmalampE'
riyala pakkawaru
........
Lempuu riyala sanrEseng
Pajaneng masumange'
MadEcEng laona

Arti bebasnya kira-kira sebagai berikut:

Jika sifat curang dijadikan pedoman (sandaran)
Tentulah takkan mungkin lestari
Untuk dijadikan pengharapan
.............
Jika kejujuran dijadikan pedoman (sandaran)
Tentulah akan menjadi sesuatu yang indah
Segala sesuatunya akan baik

Wallahualam bissawwab.






Kamis, 23 September 2010

Sejarah Belawa Part 8

Belawa Pada Penghujung Abad XIX (bag. 1)

Sejak pertengahan hingga akhir abad XVIII, Tana Wajo senantiasa dirundung berbagai intrik dan masalah  politik internal maupun eksternal yang tidak habis-habisnya. Sejak La Paddengngeng Puanna Palaguna  Petta MatinroE ri KEra Arung Matoa Wajo ke-38 meninggalkan Tosora dan menetap di KEra  hingga wafatnya karena perselisihannya dengan Petta EnnengngE. Kemudian dipilihlah La Pawellangi Pajung-paru Datu Makkajeng menjadi Arung Matoa Wajo ke-39. Dalam masa itulah, terjadi Perang Saudara di Sidenreng  yang pada akhirnya melibatkan Tana Wajo untuk ikut mengambil bagian pada peperangan itu.

Tersebutlah La Panguriseng Addatuang Sidenreng XIV (putera Muhammad Arsyad Petta CambangngE dengan I Nomba Datu Pammana) dikooptasi oleh saudara sebapaknya, yakni : La Patongai Datu Lompulle' (putera Muhammad Arsyad Petta CambangngE dengan Petta MappalakkaE) yang berusaha merebut tahta saudaranya. Arung Matoa Wajo La Pawellangi mencampuri pertikaian itu dengan berpihak kepada La Patongai disebabkan karena ibunda La Patongai adalah kerabat dekatnya. Namun perang itu dimenangkan La Panguriseng sehingga popularitas La Pawellangi meredup dan meletakkan jabatannya setelah memerintah Wajo selama 5 tahun dengan peperangan yang amat merugikan.

Pengganti La Pawellangi adalah La Cincing Akil Ali KaraEng MangEppE' Datu Pammana Arung Tellu Latte' Sidenreng Arung Matoa Wajo ke- 40. Baginda adalah saudara kandung La Panguriseng Addatuang Sidenreng yang memerintah Wajo selama 26 tahun. Namun pada masa pemerintahannya, baginda lebih sering bermukim di Parepare hingga wafatnya di Cappa' Galung (Parepare) dalam tahun 1883 M. Era pemerintahan La Cincing adalah masa yang penuh kekacauan didalam Negeri Wajo. Hal ini disebabkan karena Perang Saudara memperebutkan jabatan Arung Bettengpola antara La Gau' Arung Bettengpola Petta MatinroE ri Masigi'na (Putera La Tune' Arung Bettengpola Petta MatinroE ri Tancung dengan Sompa ri Timo MajjampaE Petta PabbatE PEnrang MatinroE ri Cinnotabi') dengan saudara sepupu sekalinya, yakni : La Mangkona Petta Pajung-PongaE. Perang Saudara ini secara otomatis melibatkan Belawa karena La Gau' Arung Bettengpola bersaudara kandung dengan La TEngko Arung Belawa Alau Petta Mancijii'E ri Wajo yang juga memperisterikan I Soji Datu Madello (puteri La Onrong Datu Pattiro Datu Soppeng XXXII dengan I Baccicu Datu Ganra Arung Belawa).

Pada masa itulah La Muhamma' Tang Daeng Paliweng (putera ArungngE Daeng Marowa Petta Pangulu Barisi'na Belawa dengan I Samayya) dilantik menjadi Petta Pangulu Barisi'na Belawa (Panglima Angkatan Perang Belawa) menggantikan ayahandanya yang sudah tua. Dalam jabatannya tersebut, Petta Pangulu memimpin beberapa Manyoro' (Mayor) yang masing-masing mengepalai sebuah divisi yang juga dipimpin oleh seorang Kapitan (Kapten). Salah seorang Manyoro' yang cukup terkenal dibawah kepemimpinan beliau, adalah : Manyoro' Bettaa. Beliau terkenal pemberani dan memiliki jiwa patriotisme yang kental sehingga sempat diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda ke Jawa selama beberapa tahun. Sekembalinya dari pengasingan, beliau digelari : Petta PajjawaE. Pemimpin pasukannya yang lain, adalah : Petta Manyoro' JempEng (putera La ComE', anak dari La Tune' Sangiang Arung Bettempola dengan We Busa Arung Belawa Petta WaluE). Beliau merupakan komandan termuda diantara yang lainnya.

Setelah beberapa tahun memangku jabatan sebagai Petta Pangulu Barisi'na Belawa, Daeng Paliweng dihadapkan pada ujian berat, yakni : pertikaian Ana'banua dan Belawa yang dipicu oleh masalah letak perbatasan. Arung Ana'banua yang dalam hal ini adalah wilayah Maniangpajo mengklaim sebagian besar  daerah WEle'E sebagai wilayahnya. Sementara selama ini, WEle'E adalah bagian Tana Belawa yang berada dalam wilayah Belawa Alau.

Klaim Ana'banua didukung oleh La DjalantE Petta Jinnirala (putera La Koro Arung Padali Batara Wajo  Petta MatinroE ri Tempe Arung Matoa Wajo ke-41). Beliau merupakan seorang Jenderal Besar Tana Wajo yang fenomenal dengan tindakan-tindakannya yang berani sehingga sangat disegani di wilayah TellumpoccoE. Maka Petta Jinnirala mengerahkan pasukannya kebagian timur WEle'E. Mereka membangun basecamp pertahanan  pada wilayah itu.

Adalah merupakan komplik dilematis yang sedang dihadapi Daeng Paliweng pada saat itu. Petta Jinnirala DjalantE adalah sosok yang dihormatinya. Bahkan sesungguhnya pada posisi Angkatan Perang Tana Wajo, beliau adalah merupakan atasannya. Namun kedaulatan Belawa yang merupakan sebuah otonomi khusus Wajo sejak jaman dahulu, adalah "siri" baginya. "Naiyya Siri'E, nyawa na ranreng". Harkat dan martabat  SIRI senantiasa ditempatkan bersama "nyawa". Menegakkan "siri" haruslah mempertaruhkan nyawa dan segala apapun yang dimiliki. Beliau mengumpulkan lasykarnya di depan Saoraja Bakka'E (Saoraja kediaman beliau di TippuluE) dan berkata : Naiyya riyasengngE BORANE dE' nijajiang, naEkiya ilanro ri tengngana musuu'E (sesungguhnya LELAKI tidaklah dilahirkan, melainkan ditempa ditengah peperangan). Maka peperangan ini haruslah dijalani !.

Aksi pertama Petta Pangulu adalah memerintahkan sebuah pasukan kecil untuk menyelidiki posisi pertahanan Petta Jinnirala dibawah pimpinan Manyoro' Bettaa. Setelah memasuki wilayah WEle'E, mereka mendapatkan  (Angnyareng ParaniE) kuda perang Petta Jinnirala sedang merumput sambil dijaga oleh gembalanya. Pasukan perintis itu menyergap pengembala lalu memotong Angyareng ParaniE kemudian menyalibnya (iyappajo-pajong) di tempat itu juga. Pengembala kuda dilepaskan untuk kembali melapor pada Petta Jinnirala. Maka inilah pernyataan perang terbuka yang diproklamirkan pihak Petta Pangulu.

Setelah peristiwa itu, Petta Pangulu segera mengerahkan pasukannya menyeberangi Salo KarajaE menuju WEle'E. Beliau memutuskan menyongsong Petta Jinnirala dan pasukannya yang "pasti" sedang bersiap-bersiap menyerbu Belawa. Karena dapat dibayangkan, betapa murkanya Petta Jinnirala disebabkan Kuda Perang kesayangannya dibunuh.

Akhirnya kedua pasukan itu bertemu di WEle'E dan terjadilah pertempuran terbuka yang mati-matian. Barisan senapan kedua belah pihak berhadap-hadapan sambil memuntahkan ribuan peluru timah. Sementara divisi lainnya saling tebas dalam pertarungan jarak dekat. Maka berjatuhanlah korban pada kedua belah pihak. Mereka sama-sama kuat dan sama-sama beraninya. Pertempuran itu berlangsung sengit hingga hari gelap oleh turunnya malam. Mereka menghentikan pertempuran sambil membawa teman mereka yang tewas maupun terluka, mundur ke garis pertahanannya masing-masing, beristirahat sambil menunggu matahari terbit untuk melanjutkan pertempuran.

Demikianlah, pertempuran itu berlangsung selama berhari-hari dan sejauh ini belum ada tanda-tanda pihak yang menang atau kalah. Sebuah peperangan yang banyak melahirkan legenda keberanian para ksatria  Tana Wajo, berperang tanding mati-matian satu sama lainnya. Perang saudara itu menggugah inspirasi para PanrE Ada (Sastrawan Bugis) menggubah syair-syair Epos yang menggelegar !. Salahsatu syair termahsyur yang masih samar-samar dalam ingatan penulis, dikutip dari  syair Mangngaru'  (ikrar/sumpah ksatria) salah seorang Panglima pasukan Petta Djinnirala, sbb :

Itaka' mai Lapuang, Djinniralana Tana Wajo !
Iya'na pakkana temmalara'na Gilireng
Tomassola-solaEngngi sunge'na
Ri Lanti'E ri Tengnga Padang
Tania bElo-bElo janggo'E na bulu sadang
Tania bElo-bElo bElua' sampo gEnoE
Engkapa musuu ri tengnga padang na riyabbEso-bEsoang
Aroo malebba', pajjagguru' malibu
Olii tEa sopE', darah tEa mitti', ure' tEa pettu

polopi cappa' kawalikku
Mallajangpi sunge'ku ri pammasareng
Naripasoro ujuuku ri tengnga padang

Terjemahan bebasnya kira-kira, sebagai berikut :

Pandanglah aku, wahai Jenderal Tana Wajo !
Akulah ksatria pantang mundur dari Gilireng
Orang yang tidak sayang akan jiwa raganya
Ksatria yang dilantik di tengah medang perang
Bukanlah sekedar perhiasan, jenggot menggantung di daguku
Bukan pula sekedar perhiasan, rambut panjang yang menggerai sampai di bahuku
Nantilah bertemu musuh di tengah medang perang, akan kugeraikan
Dadaku bidang, tinjuku telah membulat
Kulitku takkan robek, darahku tak akan menetes,  urat-uratku takkan putus
Nantilah patah ujung badikku
Raib melayang  sukma jiwaku ke alam akhirat
Barulah jazad tubuhku diundur dari medang perang



Ditengah perang saudara berkecamuk dengan sengitnya, tibalah utusan Petta EnnengngE di medan itu seraya meminta diadakan gencatan senjata. Maka masing-masing pihak mengundurkan diri sambil mendengarkan amsal (titah) Petta EnnengngE. Dewan Adat Tana Wajo tersebut memerintahkan agar perang saudara dihentikan. Adapun mengenai perbatasan Belawa dan Ana'banua yang menjadi sebab pertikaian, akan ditentukan oleh Dewan tertinggi tersebut. Petta EnnengngE akan datang ke tempat itu esok hari serta dimanapun letak Batu MEmmana'E (Batu Beranak) yang berada disekitar tempat itu, maka itulah yang dijadikan monumen perbatasan. Ana'banua disebelah timurnya dan Belawa disebelah barat.

Tersebutlah sebongkah batu besar yang aneh, terletak dipinggir sungai kecil disebelah timur WEle'E. Batu itu disebut sebagai Batu MEmmana'E (batu beranak) karena disekelilingnya bermunculan batu-batu kecil yang bentuknya menyerupai bongkahan batu besar tersebut. Konon, walaupun batu-batu kecil itu diambil, maka tidak lama kemudian akan muncul kembali batu-batu yang sama ditempat itu juga. Maka Batu MEmmana'E sangat dikeramatkan penduduk disekitarnya.

Mendengar titah Dewan Petta ennengngE, Petta Djinnirala memundurkan pasukannya ke basis pertahanannya dengan agak resah. Masalahnya, tujuan beliau menduduki WEle'E bukan disebabkan semata-mata karena ingin menguasai kampung kecil yang tidak terlalu potensial tersebut. Melainkan tembusan sungai MakkunraiyyE yang selama ini menjadi hak teritorial Belawa Alau, itulah yang menjadi tujuan utamanya. Sungai itu adalah satu-satunya sumber air yang mengairi sawah di WEle'E dan Anabanua barat yang sejak lama menjadi sumber pertikaian. Masalahnya kini, Batu MEmmana'E sejak dulu terletak di pinggir sebelah timur  Salo MakkunraiyyE. Dengan demikian anak sungai yang mengalir hingga bermuara di Danau Tempe tetaplah menjadi wilayah Belawa. Jadi sia-sialah peperangan yang cukup memakan korban dipihaknya selama ini.. !

Setelah berunding dengan para panglimanya, Petta Djinnirala mengerahkan pasukannya untuk memindahkan Batu MEmmana'E keseberang sungai MakkunraiyyE (pinggir sebelah barat) pada tengah malam itu juga. Dengan begitu, jika Dewan Petta EnnengngE mengadakan inspeksi pada esok hari maka niscaya Sungai MakkunraiyyE akan menjadi Wilayah Ana'banua. Dapat dibayangkan betapa beratnya pekerjaan itu !. Batu sebesar kerbau bunting digali lalu dipindah ke seberang sungai oleh lasykar yang kelelahan setelah bertarung seharian itu. Namun pekerjaan itu selesai juga menjelang dini hari. Petta Djinnirala dan lasykarnya kembali ke basecampnya beristirahat sambil menunggu matahari terbit di ufuk timur.

Maka tibalah Dewan Petta EnnengngE. Mereka diiringi Petta Djinnirala dan Petta Pangulu beserta segenap panglima dan pengawalnya masing-masing, menuju ke pinggir Salo MakkunraiyyE. Betapa terkejutnya Petta Djinnirala beserta segenap panglimanya, Batu MEmmana'E yang dipindah menjelang pagi itu tetap berada pada tempatnya semula yakni dipinggir sebelah timur sungai. Dengan demikian, Petta EnnengngE menetapkan bahwa sungai MakkunraiyyE adalah teritorial Belawa. Maka berkatalah Petta Djinnirala, : Makarame'i Petta Pangulu.. (Petta Pangulu lebih keramat...). Lalu Petta Pangulu menimpali dengan segala hormatnya: Matase'i Petta Djinnirala (Petta Djinnirala lebih tinggi derajatnya...).

Kedua tokoh heroik itu saling memuji. Sebuah moment yang mengagumkan dipertunjukkan oleh kedua ksatria agung yang tadinya saling mermusuhan. Mereka sama memiliki jiwa besar dan sikap sportif dengan saling menghormati dalam suasana pangadereng (tata krama) yang kental. Petta Pangulu sejak dulu mengagumi Petta Djinnirala yang terkenal sebagai Jenderal Sakti. Konon pada suatu waktu, sebuah kampung selalu disatroni segerombolan perampok yang mengganas dan piawai dalam taktik gerilya. Mereka bisa datang dan menyerbu secara tiba-tiba dan mampu pula menghindar seketika bagai bisa menghilang jika dioperasi pasukan keamanan. Lalu datanglah Petta Djinnirala ke Kampung itu. Beliau duduk diatas pelangking (tandu bangsawan tinggi) lalu menebar pasir disekeliling kampung itu. Maka gerombolan perampok itu tidak pernah lagi dapat  memasuki kampung itu karena yang dilihatnya adalah hamparan danau semata. Sejak itu kampung tersebut dinamai : Jukkessi'.

Demikian pula sebaliknya, Petta Djinnirala juga mengetahui dan mengagumi kemampuan Petta Pangulu. Tersebutlah pada suatu hari, tibalah utusan berkuasa penuh dari Addatuang Sidenreng di Belawa. Mereka mempermasalahkan bendungan Salo Cuco yang terletak di perbatasan Sidenreng - Belawa di sebelah utara. Masalahnya, jika air sungai KarajaE meluap maka areal persawahan Aja BEntEng (wilayah Sidenreng) terendam air karena saluran keluar satu-satunya (Salo Cuco) dijadikan bendungan penahan air oleh Belawa. Karena apabila tidak dibendung maka aliran banjir itu akan menenggelamkan areal persawahan di Belawa. Ketika perundingan itu tidak mencapai kesepakatan, maka marahlah Utusan AddatuangngE seraya mengancam akan menyerbu Belawa sambil beranjak dari tempat duduknya, pergi tanpa pamit (walk out ?). Maka tersinggunglah pulalah Petta Pangulu !. Beliau mengarahkan telunjuknya pada sebuah Palungeng Lappa  (Lesung tempat menumbuk padi) yang tergeletak di halaman Saoraja. Lesung besar itu melayang dan berputar seperti baling-baling ! "Palungennami Belawa uwEwakko, taniapa Pakkannana !" (cukup lesungnya Belawa kujadikan senjata yang pantas melawan kalian, belumlah ksatrianya !), raungnya menggelegar dengan amat murka. Utusan AddatuangngE menyaksikan itu dengan wajah pucat lalu pulang tanpa banyak cakap lagi.

Peperangan Petta Djinnirala dan Petta Pangulu telah usai. Kedua tokoh yang saling mengagumi itu saling mengikat sumpah persaudaraan (sitelli). Mereka saling mewasiatkan kepada anak keturunannya agar senantiasa saling menghormati dan memantangkan pertikaian diantara mereka.

Setelah La Cincing Akil Ali KaraEng MangEppE Datu Pammana Arung Tellu Latte' Sidenreng Arung Matoa Wajo ke-40 wafat di Parepare, maka tampuk tertinggi Tana Wajo ditahtakan kepada La Koro Arung Padali Arung Matoa Wajo ke - 41 yang lebih dikenal dengan gelarnya, yakni : Batara Wajo.
Baginda adalah putera La Makkaraka Langi Baso Tancung Datu Marioriawa dengan I Ninnong Datu TEmpE (puteri La Wawo Addatuang Sidenreng XIII dengan I BubEng KaraEng PambinEang). Tana Wajo pada masa pemerintahnya juga tercatat sebagai masa yang penuh kekacauan dan peperangan. Perselisihan Tana Wajo dengan Bone disebabkan pajak bea cukai garam memicu peperangan baginda dengan I Bangkung KaraEng Popo Arung Palakka yang memaksakan kehendaknya untuk mengisi jabatan Petta Ranreng Tuwa bagi puterinya. Kekisruhan politik di Tana Wajo sebagai Negeri Induk tentulah imbasnya juga dirasakan di Belawa sebagai Anak Negeri. Wallahualam bissawab.

(bersambung ke Belawa pada Penghujung Abad XIX bagian ke-2)







Selasa, 21 September 2010

Makkabo-kabo' (1)

WORLD BRAIN EXPO 2010 (Pameran Otak Se-Dunia 2010)

Bertempat di Tokyo Dome, Jepang. Sebuah pameran akbar yang belum pernah dilaksanakan sebelumnya diselenggarakan oleh WHO (World Health Organisation) bekerjasama Induk Organisasi Pendidikan Sedunia (UNESCO). 175 Negara mengambil bagian pada eksebisi langka ini. Menurut Ketua Panitia Penyelenggara bahwa pameran ini diselenggarakan sebagai penggalangan dana untuk Peningkatan Mutu Pendidikan bagi Negara-negara berkembang, termasuk : Indonesia.

Setelah berlangsung selama beberapa hari, maka didapatkanlah harga-harga otak sesuai label yang dicantumkan, sebagai berikut :
1. USA               =        $ 15,00    (paling MURAH)
2. Jepang            =        $  17,00
3. Jerman            =        $  22.00
4. Singapura       =         $  50.000,00
5. .........
175. Indonesia    =        $ 350.000.000,00 (paling MAHAL)

Wow, rata-rata pengunjung "heran". Koq Otak Indonesia bisa jadi yang termahal ?. Menurut keterangan penyelenggara, bahwa Otak Orang Indonesia menjadi YANG TERMAHAL karena JARANG DIPAKE'.. So masih original. ..... pantas aja.

(maaf, .. cuma bercanda)

Foto Pengantin

Pernikahan antar suku (Bugis Belawa & Palembang0

Dari kiri ke kanan : Drs. H. Andi Mulki Andi LaodjEng, M.Pd (Kepala Badan Pengembangan SDM Dep. Hukum dan HAM RI), H. Andi Pajung, S.Pd, M.Pd (Kepala SDN 3 Unggulan Parepare, Andi Massalassa, SH (pengantin pria), Penulis dan Riska Reinhard, SE (pengantin perempuan).

Senin, 20 September 2010

Pernikahan antar suku (Bugis & Palembang) : Andi Massalassa, SH dengan Riska Reinhard di Gresik,

Pernikahan antar suku (Bugis Belawa dan Palembang) antara : Andi Massalassa, SH (Pegawai Kantor Imigrasi Jakarta Selatan) dengan Riska Reinhard (Sekretaris Direksi PT. PETRO KIMIA GRESIK) di Kota Gresik, Jawa Timur pada tanggal 04 Juli 2010. Penulis berdiri paling ujung (kanan).

Minggu, 19 September 2010

Sejarah Belawa Part 7

VII. Petta Pallampaa'E

Seorang Raja tanpa mahkota. Namanya tidak tertulis di Lontara' manapun, kecuali pada lembaran suram yang ditulis oleh anak kandungnya sendiri.. namun kiprahnya, menorehkan sejarah abadi di Negeri Belawa....

Tana Tengnga sepeninggal Petta Bombo kini hanyalah merupakan perkampungan kecil di pinggir sungai KarajaE dengan namanya yang baru, yakni : TippuluE dengan  La Sulungkau' Daeng Pagala Datu Lolo TippuluE pangerannya yang tanpa kekuasaan. Kotaraja Belawa telah berpindah ke arah selatan, yakni : Kampung MEngE bersama dengan Arung Belawa yang baru, yakni : We Busa Arung Belawa Petta WaluE. Baginda merupakan "Ratu" pertama yang memerintah Belawa setelah menggantikan kakaknya, yaitu : La Raja Dewa Arung Belawa. Maka habislah keturunan Dynasti La Munri Arung Belawa MammulangngE Petta MatinroE ri Gucinna sebagai "Pewaris Sah" tahta  Arung Belawa, digantikan Trah La SapennE Petta Labattoa Arung Liu Petta Ugi Petta CakkuridiE ri Wajo yang dimulai pada puteranya bernama: La Makkaraka Arung Belawa Petta Ugi.

Namun demikian, TippuluE masih merupakan kawasan yang paling dimuliakan (dituakan) dari 3 kawasan pemukiman para Wija Arung di Belawa, yakni : TippuluE, Gajang ri Tappi dan MacEro. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh : Puekku Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa (Datu Bolong), sebagai berikut : Naiyya TippuluE appongenna ArungngE ri Belawa. Siboko-bokoreng Saoraja na sama tappingi Jalampeng. Onrong malebbii nasaba' naoroi eppa Jara' allemmerenna Arung MarajaE ri TellumpoccoE enrengngE Tellu BoccoE. Duanrupami tau ri TippuluE. SEajingkumi na Atakku. (Sesungguhnya TippuluE adalah asal Raja-raja Belawa. Tempat dimana didirikan banyak Saoraja dan Jalampeng. Kawasan yang dimuliakan karena ada 4 Jara' didalamnya, tempat disemayamkannya para Raja-raja Besar dari TellumpoccoE dan Tellu BoccoE. Hanya 2 macam orang di TippuluE, yakni : Kerabatku dan Hambaku...).

 Jara' yang dimaksud baginda, adalah : Jara' LompoE yang terletak di sebelah selatan Lapangan Bola TippuluE. Pada Jara' tersebut telah dimakamkan Raja-raja besar, antara lain :

*. La Mappasiling DatuE Watu Datu Pattojo Petta MatinroE ri Duninna (putera La Kareddu' Arung Sekkanyili' dengan ... Ana'na La WEllo WatampanuaE ri Pammana). Beliau juga adalah suami We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu XXIII/XXV. Dari perkawinan itu, lahirlah : La Mappajanci Datu Soppeng XXVII dan We Tenri Abang DatuE Watu.

*. La SapennE' Petta La Battoa Arung Liu Petta Ugi Petta CakkuridiE ri Wajo (putera Laurenglangi To Sadapotto Arung PEnEki dengan I Saomi Arung Singkang). Baginda memperisterikan I Kati Arung Palippu (puteri La Balloso' Toakkotto Muhammad Ramalang arung PonrE Petta MaddanrengngE ri Bone dengan We Tenri Gau'). Dari perkawinan itu, lahirlah : La Makkaraka Petta Ugi Arung Belawa dan La Olling arung Liu Petta MaddanrengngE ri Bone SullE Ranreng Tuwa Wajo).

*. La Olling (La Rappe) Arug Liu Petta MaddanrengngE ri Bone SullE Ranreng Tuwa Wajo (putera La SapennE' Petta La Battoa Arung Liu Petta Ugi Petta CakkuridiE ri Wajo dengan I Kati Arung Palippu)

La NyEppE' Arung Liu (putera La SapennE' Petta La Battoa Arung Liu Petta Ugi Petta CakkuridiE ri Wajo dengan I Kati Arung Palippu)

*. La Sappo Petta Ugi Arung Belawa Petta Palireng MatinroE ri CempaE (putera La Mappulana Petta Ugi dengan We Bakke Datu Kawerrang).

La Makkaraka Petta Ugi Arung Belawa ( putera (putera La SapennE' Petta La Battoa Arung Liu Petta Ugi Petta CakkuridiE ri Wajo dengan I Kati Arung Palippu)

* I KambeccE' Petta PatolaE ri Wajo  (isteri La Makkaraka Petta Ugi Arung Belawa)

*. La Tokong (La Toto) PettaE PalEkoreng Datu Pammana (putera La Mappulana Petta Ugi  dengan We Yabang Rajeng Matase' Bone)

* La Paranrengi ArungngE Daeng Sijerra (putera La Tokong (La Toto) PettaE PalEkoreng Datu Pammana dengan We Banna Petta Ranreng Tuwa Wajo)


*.  La Tamang Petta Palla'E (putera La Sappo Petta Ugi Arung Belawa Petta Palireng MatinroE ri CempaE dengan We Tenri Balobo Datu Pammana)

La Tompi Wanua Arung BEttEngpola Petta MaddanrengngE ri Wajo MatinroE ri Wajo (putera La Sengngeng Arung BEttEngpola Petta MatinroE ri Salawa'na dengan We Mappangideng Arung Macanang)

We Busa Arung Belawa Petta WaluE (puteri La Makkaraka Petta Ugi Arung Belawa dengan I KambeccE' Petta PatolaE ri Wajo). Beliau adalah isteri  La Tompi Wanua Arung BEttEngpola Petta MaddanrengngE ri Wajo MatinroE ri Wajo

*.  La Pasanrangi Petta PajjawaE (putera La Tamang Petta Palla'E dengan I LEkke' Ana'na Arung Data)

* ArungngE Daeng Maroa Petta CambangngE Bawi Mabbosangna Belawa ( La Paranrengi ArungngE Daeng Sijerra dengan I Tenri Ampareng). Beliau adalah Petta Pangulu Barisi'na Belawa (Panglima Perang Kerajaan Belawa).

*. Andi Batari PettaE Lonra (puteri La TEngko Arung Belawa Alau Petta Manciji'E ri Wajo dengan I REwo ana'na Arung Batu)

*. Andi DollE (putera La TEngko Arung Belawa Alau Petta Manciji'E ri Wajo dengan I Maddanaca)

*. Andi Landeng (putera I Sitti Hawang Datu MakkunraiyyE / saudara kandung La TEngko Arung Belawa Alau Petta Manciji'E ri Wajo dengan La Muhamma' Daeng Tellara'). Beliau adalah suami Andi Batari Petta Lonra.

*. Andi Emmang (putera Andi Landeng dengan Andi Batari Petta Lonra)

*. Serta banyak lagi lainnya yang penulis tidak ketahui....

Sebagai sebuah situs sejarah yang sangat dimuliakan, maka H. Andi Mangkona Arung Matoa Wajo terakhir selama masa pemerintahannya, baginda senantiasa memerintahkan untuk membersihkan (mappa'bEle') Jara' LompoE sekali setahun, yakni menjelang memasuki bulan ramadhan. Suatu hal menarik, adalah : orang-orang yang membersihkanja Jara'E haruslah minimal "Appo Datu" yang memiliki Sitambong (daftar silsilah yang telah disahkan oleh Arung Belawa atau Petta EnnengngE). Sementara yang tidak memenuhi syarat tersebut, hanya diperbolehkan menunggu di luar komplek Jara'E. Penulis pernah menanyakan hal tersebut kepada Ayahanda, "kenapa harus seperti itu, Etta ?". Beliau menjawab : " Mereka yang dikuburkan disitu adalah para Tune' Riabusungi sehingga orang yang kadar darah bangsawannya dianggap kurang (malawi) tidak diperkenankan menginjak diatasnya. Walaupun mereka itu adalah anak keturunannya sekalipun". Itulah sebabnya dimasa sekarang ini tidak banyak orang yang tahu persis nama-nama Raja yang dimakamkan disitu serta letak pusaranya.

Pada tanggal 10 September 2010 baru-baru ini, setelah Sholat Iedul Fitri di Parepare, penulis menyempatkan diri berziarah (mabbunga) ke Jara' LompoE. Terbersit duka yang teramat dalam karena setelah lama tidak berkunjung, maka keadaan Jara' LompoE benar-benar sudah AMBURADUL. Pusara La Tamang Petta Palla'E dan La Sappo Petta Ugi (terletak berdampingan dibawah pohon SIYAPA) ditutupi beton serta tertulis nama yang tertera di Batu Nisannya TERTUKAR (Petta Palla'E disebelah barat dan Petta Ugi disebelah timur). Padahal yang sebenarnya adalah : Petta Palla'E disebelah timur dan Ayahanda beliau disebelah barat. Ini adalah informasi yang autentik dari Alm. Ayahanda disebabkan karena sejak kecil pada masa-masa akhir pemerintahan Arung Matoa Wajo, beliau senantiasa diajak oleh ayahandanya (La Wahide' Daeng Mamiru Petta Pabbicara Ade' Patappulo Wajo) berziarah dan membersihkan Jara' LompoE. Pada sisi lain, secara kekeliruan tersebut dapat dibuktikan menurut Logika Warii sebagaimana yang berlaku pada masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya, bahwa jika seorang anak dikuburkan disamping pusara ayahnya, maka selalunya "anak" berada diposisi sebelah timur. Karena pada posisi itu, jazad akan dibaringkan menghadap kearah barat.

Namun yang paling menyedihkan adalah adanya makam baru yang persis dikuburkan tepat diatas Pusara La Tokong (La Toto) Petta PalEkoreng Datu Pammana. Begitu pula makam Raja-raja besar yang lainnya, sudah IPATOPPOKI dengan makam orang lain yang mungkin mengaku sebagai keturunannya. Selain itu, makam La Paranrengi ArungngE Daeng Sijerra juga dilabeli dengan tulisan bercat merah : Petta Passongko'E. Entah siapa yang melakukannya dan apa tujuannya ?...Namun yang jelas, kesalahan ini adalah kekhilafan kita semua para keturunannya yang kurang perhatian terhadap pelestarian nilai budaya dan sejarah serta kurangnya upaya pelestarian yang tepat dari Pemerintah Kecamatan Belawa. Maka penulis sempat berkeluh kesah dan meratap, ...inilah keterpurukan Belawa pada permukaan sejarah.. Pada makkatanrEang bicarami  bawang na dE'gaga Wariina. Tenna taro pasoroo ri gau'na, tennaita tooni alEEna.. Buta budaya, buta sejarah... yang tersisa adalah keangkuhan semata. (perihal Jara'na TippuluE akan dibahas pada judul lain).

Syahdan, ketika La Sulungkau' Daeng Pagala Datu Lolo TippuluE berdiam dengan penuh penerimaan terhadap situasi dan kondisi yang menjadi realitas politik di Belawa dan Wajo pada masa itu, terjadilah sebuah peristiwa luar biasa di  LonraE (kawasan Gajang ri Tappi). Seekor kerbau bertanduk tunggal tiba-tiba muncul dan berkubang di LonraE. Tidak seorangpun tahu, dari mana asalnya mahluk berwujud kerbau tersebut. Keajaiban mahluk itu adalah selain bertanduk tunggal (terpasang persis di tengah belikatnya), kerbau itu dapat berbicara dalam bahasa bugis sebagaimana manusia. Maka berdatanglah para pemberani dari segala penjuru untuk menangkapnya. Namun tidak seorangpun yang mampu menahan amukan kerbau tersebut.

Perihal itu terdengar di TippuluE. Maka La Sulungkau' Daeng Pagala bertolak ke LonraE dan mencoba menangkap "TEdong ManurungngE" itu. Setelah terjadi duel yang memakan waktu cukup lama, akhirnya La Sulungkau' mampu menekuk lawannya sambil membelenggunya dengan menggunakan rambut beliau yang panjang terurai. Maka takluklah Sang Manurung seraya memohon belas kasihan, "AmasEangnga', Puang. DE'na pakkullEakku mEwaki'..." . Maka bertanyalah baginda, "Tabirittaiyyangnga', niga tu sitongenna idi' ?". "iyya'na LA MALLAKE polE ri Wiring Langi", jawab ManurungngE. "Aga palE sitongeng-tongengna akkatta na engkaki' manurung ri Belawa ?", tanya La Sulungkau' lagi. Singkat cerita, La MallakE mengutarakan maksudnya untuk menyerahkan tanduk tunggalnya pada penguasa TippuluE kiranya dapat dijadikan "wadah" penyimpanan rambut Warani PituE. Selain itu, sebagai kenang-kenangan penaklukan atas dirinya, La MallakE bersumpah dan mentasbihkan bahwa : Sejak saat itu, seluruh kerbau akan senantiasa patuh dan tunduk atas perintah La Sulungkau' Daeng Pagala beserta keturunannya. Namun, La MallakE juga bermohon agar namanya diabadikan pada kawasan itu. Maka La Sulungkau' mengabulkannya dengan merubah nama kawasan Gajang ri Tappi menjadi : MalakkE. Setelah segalanya terlaksana, maka raiblah (mallajang) La MallakE, mairat ke Penciptanya yaitu :  Allah Azza Wajalla.

Setelah kejadian yang luar biasa itu, tanduk La MallakE TEdong ManurungngE ri LonraE dijadikan wadah penyimpanan rambut Warani PituE di MalakkE. Oleh para anak keturunan Warani PituE dibuatkanlah "LangkEa" (Rumah Panggung) tempat penyimpanan regalia peninggalan Warani PituE yang amat dikeramatkan. Pada waktu-waktu tertentu mereka mengadakan ritual MaccEra' dan Mattoana . Ritual pemujaan. itu berlangsung turun temurun hingga kurang lebih 100 tahun kemudian. Pada tahun 1965, sekelompok Pemuda PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) menyerbu dan membakar rumah pemujaan tersebut dengan maksud memusnahkan khurafat dan kemusyrikan. Maka musnahlah tempat penyimpanan regalia itu beserta segenap isinya. Konon, menurut keterangan beberapa saksi mata yang merupakan salahsatu sumber inpormasi tulisan ini, bahwa ketika LangkEa tersebut terbakar, pada wuwungan puncak bangunan terbakar nampaklah sesuatu yang bercahaya menyerupai lidah-lidah petir yang aneh. Wallahualam.

Adapun halnya dengan La Sulungkau', setelah sukses menaklukkan La MallakE maka beliau diberi gelar : Petta Pallampaa'E. Maka benarlah sebagaimana yang disampaikan La MallakE, beliau memiliki kelebihan yang langka. Tiba-tiba saja beliau memiliki ribuan kerbau yang merupakan kerbau liar yang berdatangan dari mana-mana. Kerbau-kerbau itu berdatangan ke TippuluE menyerahkan diri pada Petta Pallampaa'E. Mengingat tempat di komplek Saoraja SappaE  tidak cukup tempat bagi mereka, mereka diperintahkan bermukim di Salo PadangngE. Maka kerbau-kerbau itupun berbaris beriringan menuju Salo PadangngE.

Petta Pallampa'E adalah sebuah mytos sekaligus tokoh legendaris. Konon, beliau memiliki kemampuan memerintahkan pasukan kerbaunya yang berjumlah ribuan itu untuk berperang. La Sulungkau' Petta Pallampaa'E menikah dengan I Tiwajo Ana'na Arung Barukku maka lahirlah : ArungngE Daeng Mattone' yang merupakan penguasa lokal di MalakkE dan Abdul Razak Daeng Malebbi Petta PabbicaraE Belawa (termasuk salah seorang anggota dewan ADE" PATAPPULO, Wajo) serta beberapa putra putrinya yang lain dari isterinya yang lain. Baginda wafat di TippuluE dan dimakamkan disamping ayahnya (La Rumpang Petta Bombo') dengan gelar : La Sulungkau' Daeng Pagala Petta Pallampaa'E Datu Lolo TippuluE Petta MatinroE ri Passiringna. Wallahualam bissawwab.

 Keterangan Gambar :
Berziarah di makam La Sulungkau' Daeng Pagala Petta Pallampaa'E Datu Lolo TippuluE Petta MatinroE ri Passiringna yang berdampingan dengan makam Ayahandanya, La Rumpang DaENg Pasolong Petta Bombo Datu Tana Tengnga.

 Keterangan Gambar :
Sekilas pemandangan di "Jara' LompoE TippuluE". Makam para Raja besar yang dikerubuti dan ditutupi oleh makam baru, sebagaimana halnya pemakaman umum.
 
(bersambung ke Part 8)

Sabtu, 18 September 2010

Ininnawa (1)

1. Pattula' MasagalaE

Parepare 1988.. ketika itu aku masih sekolah di MAN 158. Aku baru saja ditunjuk Gudep PRAMUKA di sekolah kami untuk mengikuti perkemahan Wirakarya se-Indonesia Timur di Kecamatan Lamasi (Kabupaten Luwu). Jujur, aku sih senang-senang aja, cuma beberapa teman sempat ngingatin. "Ati-ati aja kalau udah di Luwu. Ilmu orang sana itu kuat. Kadang-kadang bisa bikin kepala terbalik kebelakang...", katanya. Sontak aku khawatir juga, mengingat perkemahan itu dijadwalkan berlangsung selama 11 hari. "...asal punya penangkis siih, gak masalah..", kata si teman kibulku tersebut. Tapi masalahnya, aku gak punya apa-apa... boro-boro punya " ilmu anti doti", baca Alfatihah aja tajwidnya udah kaya kaleng diseret di jalan berbatu...

Malam sebelum berangkat ke Luwu, kumendekat pada ayahanda. "Etta, tapagguru mana' pattula' doti..", sergahku tanpa basa-basi. Beliau mengangkat muka dari halaman majalah Panjimas yang ditekurinya sejak tadi. "Alako mai polopEng sibawa karetasa', nak..", sahutnya singkat. Kubergegas ke kamar mandi mengambil air wudlu. Pernah kudengar bahwa jika menerima suatu ilmu gaib (makkanrE guru), sebaiknya dalam keadaan suci. Apalagi, dengar-dengar dulu ayahandaku adalah bekas ajudan Kahar Muzakkar di Baraka'. Waah, pasti aku akan diwariskan ilmu yang hebat, pikirku.

Maka kududuk bersila dengan takzim dihadapan beliau. Songkok hitam kupasang di kepala dengan rapinya. Pulpen kupegang erat-erat standby diatas lembaran buku memo bagai wartawan Ibukota sedang mewawancarai Pak Gubernur. "dengarlah dan simak baik-baik. Tulislah dengan tulisan paling indah yang bisa kau buat untuk ilmu ini...", ujarnya dengan irama lambat-lambat. "NarEkko mupakEi iyE paddissengengngE, na nakennamopako abalaa, aja'na mumakkutana. Nasaba' pura totoomu manitu polE ri Puang Allahu Ta'ala lao ri alEmu, nalinrungi dEcEng ri monrinna ritu....". Berdebar-debar jantungku, waah... Ilmu ini pasti akan membuatku sakti.

PadEcEngini okiina, Laoddang.. !
Aniniiri 2, mupoadai 1, mupogau'i 1, muingerrangngi 2, muallupai 2 mulolang ri tengngana padammu rupa tau.
1. Aja' mucellai pojinna tauwwE...
2. Aja' murEkEngngi appunnanna tauwwE...
3. Poadai anu sitinaja weddingngE napurio tauwwE...
4. Pogau'i gau' sitinaja weddingngE napudEcEng tauwwE...
5. Ingngerrangngi pappEdEcEngna tauwwE lao ri idi'...
6. Ingngerrangngi asalammu lao ri tauwwE...
7. Allupaiwi pappEdEcEngmu lao ri tauwwE...
8. Allupaiwi asalangna tauwwE lao ri idi'...
Nainappa mupaddeppE alEmu ri Puang Allahu Ta'ala, muwEllauwi pabbirittana tongeng-tongengngE mabbola ri lanro alEmu. IyanaE riyaseng pakEang salama', salama lao ri idi' paimeng lao ripadatta rupa tau.

"...jaji agana palE' baca-bacana, Etta ?", tanyaku dengan perasaan gamang plus sedikit kecewa. "masa cuma begitu doang ?", protesku dalam hati. Beliau memandangiku dalam-dalam seraya tersenyum. " IyyE paddissengengngE, tania baca. NaEkiya iyyanaE toddo' pulii temmalara'na Tau dEcEngngE."...
......................................................................................................................
Entahlah, apakah aku berprilaku sesuai dengan petuah rumit itu. Namun, Alhamdulillah Perkemahan Wirakarya di Kabupaten Luwu kulalui dengan baik beserta banyak kenangan yang menggembirakan. Lalu bagaimana dengan ilmu tersebut ? ... sampai saat ini, aku merasa bahwa inilah ilmu tersulit. Jangankan menjalankan 8 poin, bahkan menjabarkannya sampai pada poin 3 aja aku belum selesai-selesai hingga kini.

"Aja' mucellai pojinna tauwwE..." (jangan mencela hobby orang lain). Jika salah seorang teman ketagihan berjudi, apakah mesti dicela ?. " Jama-jamang SALAH manengjE' itu ! dE'siseng-siseng gaga tujunna. Tonroi mutaro ota'mu, La Bengngo ?!". Apakah tidak lebih baik jika, seperti berikut : "TabE', tEga pada narEkko tollao Parepare matu' ? TollEppang toona ribolana Oddang, nasibawakki' lao MACCAKAR ri SEnggol. Engkatoo garE cEwE' maElo napasissengengki'. Jaji narEkko weddingngi, aja'na jolo tappasang nomoro iyyE sisengngE, OkE ?"...

Sesungguhnya "mencela" dan "mengingatkan" (mapparingerrang/mappakainge') sangatlah jauh berbeda. Mencela hanyalah menghasilkan ketersinggungan yang akan berakhir pada permusuhan dalam hubungan sosial. Sementara "mengingatkan" senantiasa diiringi sikap "santun" dan "tenggang rasa". Peringatan dalam hal ini dimaksudkan tanpa tanda seru (!). Melainkan selalu teraplikasi pada kehalusan tata bahasa yang mencerminkan pribudi yang halus pula. Sebagaimana Dr. Dale Carnagie mengatakan : "Tidak ada seorang manusiapun dari masa ke masa di dunia ini yang SUKA DIPERSALAHKAN, termasuk Adolf Hitler dan Kaisar Nero sekalipun" (How to enjoy in your Job and your Life, Gramedia, Jakarta-1985). Maka mengingatkan dengan cara yang santun adalah suatu tindakan cerdas.


AwwEE, nappai sEddi. Gangkannami jolo' iyyE uwisseng, pada idi' manengpa sining to malebbiku paggenne'i... Wallahualam bissawwab.

Senin, 13 September 2010

Lontara' I la Galigo 2^ parte

Sejarah Belawa Part 6

VI. Petta Bombo'
....ini adalah sebuah Epos. Tentang kepahlawanan seorang Putera Belawa yang sebenarnya..., ditakuti bagaikan hantu, disegani bagaikan dewa.... Seorang pangeran yang kehilangan naluri kemanusiaannya, hingga mendapatkannya kembali ketika ia mendekatkan diri pada Tuhannya...

Pada tahun 2008 yang lalu, Petta Aji Baso (H. Andi Baso Patiroi-Balikpapan) menanyakan perihal Petta MasuwengngE dan Petta Bombo kepada saya. Beliau penasaran mengenai kedua nama itu, nama yang selalu dibacakan do'a dengan ritual khusus oleh banyak kalangan, termasuk Ibunda beliau sendiri. "Apakah mereka merupakan Datu Matase' ?", tanyanya. Saya sempat terperangah, heran sekaligus terenyuh. Sungguh, negeri Belawa yang agung ini kini merupakan negeri yang miskin sejarah. Sampai-sampai, Tokoh-tokoh besar yang mengharumkan negeri kecil namun disegani ini ikut terkubur hingga kabur dari pengetahuan anak keturunannya.... Maka saya menjawab, "Mereka adalah Datu Matase' yang menurunkan Datu Belawa yang merupakan kakek Petta sendiri...."...

..............................................................................................................................................
TanaE Belawa, sepeninggal La Oddang Arung Belawa Petta MasuwengngE MatinroE ri Batu kini menjadi Negeri tak Bertuan. Maka La Mallalengeng Puanna Toappamadeng Arung Matoa Wajo XXXVI atas pertimbangan Arung EnnengngE, maka dinobatkanlah La Sappo Petta Ugi Arung Liu PettaE ri Palireng menjadi Arung Belawa yang berkedudukan di Tana Tengnga (TippuluE). Dengan demikian, dinasti AkkarungengngE ri Belawa kini berpindah pada seorang Pangeran Wajo yang bercampur dengan Bone. Beliau adalah putera La Mappulana Petta Ugi bersama dengan isterinya yang merupakan Puteri Bone, bernama : We Bakke' Datu Kawerrang.

Sebagai sebuah negeri yang baru saja dilanda perang saudara, maka Baginda La Sappo dihadapkan dengan tugas yang maha berat untuk memulihkan stabilitas keamanan dan aspek-aspek kehidupan masyarakat lainnya. Tugas itu semakin berat ketika utusan Addatuang Sidenreng tiba di Belawa, menyampaikan tuntutan agar Kerajaan Wajo melepaskan Belawa sebagai Negeri yang berdiri sendiri sebagaimana yang telah diperjuangkan Arung Belawa Petta MasuwengngE.
Pada masa peralihan yang berat itulah (1790 M), I BessE Tungka' (adik Arung Belawa Petta MasuwengngE), isteri La Sappo Arung Belawa melahirkan sepasang Putera Puteri kembar yang masing-masing diberi nama : La Rumpang dan I RawE.

Dikisahkan, kelahiran sepasang kembar emas (dEnru Ulaweng) itu diwarnai dengan hal-hal ajaib. Bersamaan dengan keluarnya sepasang bayi itu dari rahim ibunya, diikuti pula dengan keluarnya dua buah benda yang menyerupai usus yang melengket pada ari-ari. Ketika dukun istana mengambilnya untuk ditanam bersama ari-ari, ternyata kedua benda tersebut bernafas. Kempas-kempis bagaikan mahluk bernyawa !. Maka dibungkuslah dengan kain putih dan diperlakukan sebagaimana halnya manusia. Lama kelamaan, setelah sepasang kembar emasnya beranjak remaja, kedua benda tersebut kering dan mengeras seperti baja yang menyerupai dua bilah "Tappi" (keris). Namun anehnya, keduanya dapat bergerak sendiri sebagaimana halnya mahluk hidup, maka disebutlah mereka sebagai : ManurungngE ri Tana Tengnga.

Setelah menginjak umur remaja, sepasang kembar emas tersebut masing-masing dinikahkan dengan kerabatnya. La Rumpang dinikahkan dengan dengan sepupu satu kalinya bernama : We Bunga Waru (puteri La Oddang Arung Belawa Petta MasuwengngE) dan I RawE dinikahkan dengan Lato' Biroro Petta Kampiri, seorang pangeran terkemuka dari Pammana yang merupakan murid Tarekat Khalwatiah yang tekun. Setelah diboyong ke Kampiri (Pammana), Sang Puteri ikut mendalami Tarekat dibawah bimbingan suaminya. Sebagai santriwati, maka beliau menyesuaikan cara berpakaiannya dengan mengenakan busana Muslimah sehingga digelari : Petta PajjumbaE.

Berselang beberapa waktu kemudian, La Rumpang Daeng Pasolong dinobatkan menjadi Datu Tana Tengnga. Namun, suatu hal yang amat meresahkan adalah temperamentalnya yang berangasan, bahkan cenderung sadis !. Terlebih-lebih  sejak ia didampingi oleh pengikut-pengikutnya yang senang bermuka-muka manis, berusaha menyenangkan junjungannya dengan cara apapun berdasarkan kepentingan dirinya masing-masing.

Hal-hal sepele yang kurang menyenangkan Raja Muda itu dapat dijadikan alasan untuk melakukan pembunuhan. Anehnya, La Rumpang gemar melakukan pembunuhan itu dengan kedua tangannya sendiri. Kesalahan yang paling sering mengakibatkan kematian bagi rakyat Belawa ditangan La Rumpang adalah : Menyebut gelarnya (Daeng Pasolong) yang merupakan suatu "kata kerja" (massolong) dengan tidak sengaja. Misalnya : seseorang berkata, " tasolongngi waE pellaE..." (campurlah air panas itu...), lalu kebetulan salah seorang pengawal La Rumpang mendengarnya, maka diringkuslah ia dan dihadapkan pada Pangeran yang bengis itu. Jika hal itu terjadi, maka dapatlah dipastikan orang pesakitan itu akan binasa diujung La Patellongi (sebilah tombak kecil yang merekah dibagian tengahnya, merupakan pusaka kesayangan La Rumpang).

Maka beratus-ratus nyawa telah terengut menjadi korban La Patellongi ydisebabkan  hal sepele tersebut. Maka sejak itulah maka kata kerja "massolong" diubah menjadi "massolEng". Hingga sekarang, kata kerja yang telah diubah tersebut masih berlaku di Belawa, walau La Rumpang Daeng Pasolong telah wafat sejak ratusan tahun yang lalu. Adapun dengan tombak pusaka La Patellongi, saat ini telah berada dalam perawatan (koleksi) penulis.

Keganasan La Rumpang semakin menjadi-jadi. Baginda tidak memilih waktu dan tempat, dimana saja kata pemalinya disebut orang, maka orang tersebut harus mati di ujung tombaknya. Pada suatu kesempatan, baginda berkunjung ke Datu Soppeng. Namun kebiasaanya di Belawa tetap diberlakukan di Negeri Besar tersebut. Jatuhlah korban sia-sia pada beberapa rakyat Soppeng. Maka orang-orang Soppeng menggelarinya : Petta Bombo' (Pangeran Hantu) yang melekat dibelakang nama baginda selamanya.

Tingkah laku La Rumpang benar-benar meresahkan rakyat Belawa, terutama orang tua dan saudara-saudaranya. Tersebutlah salah seorang saudara seayah La Rumpang, bernama : La Tamang Petta Palla'E. Beliau dilahirkan ibundanya, yakni : We Tenri Balobo Datu Pammana. Melihat perangai La Rumpang yang mengganas, maka pangeran ini lebih banyak berdiam di Bone dan Sidenreng. Beliau merupakan seorang pangeran yang tidak ambisius untuk menjadi raja (penguasa) di negeri-negeri besar yang sesungguhnya merupakan hak warisnya. Perlu dikemukakan, bahwa We Tenri Balobo Datu Pammana (ibunda La Tamang) adalah puteri La Pallawagau' Arung Maiwa Datu Pammana Petta Pilla'E ri Wajo dari perkawinannya dengan We Tenri Abang DatuE ri Watu (Puteri We Tenri Leleang Pajung ri Luwu XXIII/XXV Petta MatinroE ri SorEang dengan La Mappasiling DatuE ri Watu Datui ri Pattojo Petta MatinroE ri Duninna)

Sementara itu, ayah bunda La Rumpang dengan tidak henti-hentinya menasehati putera yang dikasihinya itu. Namun La Rumpang tidak menggubrisnya walaupun tidak dibantahnya juga. Halnya dengan We RawE Petta PajjumbaE, mengetahui tabiat saudara kembarnya yang amat disayangnya itu, maka beliau ke Belawa untuk mengingatkan kakaknya. Tidak lama setibanya sang putri di Belawa, beliau sakit dan wafat di Tanah kelahirannya tersebut. Dapat diperkirakan, bahwa penyakit sang puteri disebabkan oleh tekanan batin melihat tingkah laku saudara kembarnya yang bagaikan kesurupan itu.

Sukar dibayangkan betapa terpukulnya La Rumpang melihat saudara kembarnya menghembuskan nafas terakhir dihadapannya. Nafsu angkara murka yang selama ini mengeram di jiwanya musnah seketika, diamuk kesedihan yang mendalam. Sang Pangeran Bengis yang biasanya ceria itu kini mengurung diri di biliknya selama berhari-hari. Akhirnya, tibalah masanya Hidayah Allah tercurah pada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh menyadari kekhilafannya dengan bertaubat dan berserah diri sepenuhnya. Akhirnya La Rumpang Petta Bombo' kini insyaf, berubah menjadi Pangeran yang arif lagi bijaksana, namun gelarnya sebagai Petta Bombo' tetap melekat dibelakang namanya hingga sekarang.

Tana Wajo, memasuki awal abad 18 adalah merupakan masa-masa suram yang didalamnya sarat dengan berbagai kekacauan. Bermula ketika La Mallalengeng Puanna Toappamadeng Arung Matoa Wajo wafat pada tahun 1817 setelah memerintah selama 22 tahun lamanya. Arung PatappuloE sebagai Dewan Adat tertinggi Wajo tidak dapat segera menentukan dan menobatkan Arung Matoa Wajo yang baru. Maka terjadilah kekacauan dalam negeri Tanah Wajo sehingga negeri-negeri tetangga juga turut memainkan kepentingannya. Termasuk dalam hal ini, Sidenreng.

Melihat kondisi Tana Wajo yang kacau balau akibat suksesi kepemimpinan yang tak kunjung reda, Addatuang Sidenreng melihatnya sebagai suatu kesempatan yang tepat untuk "memerdekakan" TanaE Belawa. Pertimbangan utamanya adalah mengingat Belawa kini diperintah oleh Arung Belawa La Sappo  bukanlah dari garis keturunan  La Monri Arung Belawa MammulangngE MatinroE ri Gucinna sebagai trah pewaris sah tahta Kerajaan Belawa. Maka dihimpunlah sebuah pasukan yang cukup kuat  yang terdiri dari Pasukan Gabungan Sidenreng, Rappeng dan Otting. Maka pada waktu yang telah ditentukan, pasukan gabungan itu menyerbu Belawa. Terjadilah perang sengit di perbatasan sebelah utara Belawa. Pasukan Belawa bertempur dengan gagah berani mempertahankan perbatasan utara itu dengan gigihnya. Namun Arung Belawa dapat melihat situasi dan kondisi dengan  cermat. Pasukan Kerajaan Belawa yang kecil tidaklah mungkin dapat bertahan lebih lama membendung serangan pasukan gabungan Sidenreng, Rappeng dan Utting yang lebih besar. Sementara Pasukan Wajo tidak mungkin dapat diharapkan bantuannya karena perpecahan elit kepemimpinan didalamnya.

Sementara Petta Bombo' bersama Petta Palla'E dengan segenap pasukannya berjuang bahu membahu mempertahankan tiap jengkal Tanah Belawa di perbatasan utara, Arung Belawa La Sappo Petta Ugi bertolak ke Pammana menemui saudara seayahnya, bernama : La Tokong (La Toto) PettaE PalEkoreng Datu Pammana. Beliau juga adalah putera La Mappulana Petta Ugi dari isterinya yang juga bangsawan tertinggi dari Bone, bernama : We Yabang. La Tokong menikah dengan We Rana (We Banna) Petta Ranreng Tuwa Wajo (Puteri La Temmasonge' Toappawelling Sultan Abdul Razak Jalaluddin Petta MatinroE ri Mallimongeng Mangkau' ri Bone XXII). Dengan posisi seperti itu, maka La Tokong Petta PalEkoreng dapatlah diharapkan sebagai bala bantuan yang cukup kuat untuk mengundurkan pasukan Sidenreng dan sekutunya dari Belawa.

Bertemulah kedua Raja yang bersaudara seayah tersebut di SaorajaE Pammana. Dengan segala upayanya, La Sappo memohon bantuan kakaknya utnuk mempertahankan TanaE Belawa dari serbuan Sidenreng bersama segenap aliansinya. "NarEkko iullEi pasoroo'i to SidenrengngE, ana'tapa matu' massosoreng mattola Arung Belawa...", bujuk La Sappo. Maka bersedialah La Tokong  segera mengerahkan lasykar Pammana dan Palekoreng ke Belawa. Maka dalam waktu tidak seberapa lama, lasykar bantuan itu tiba di Belawa  melalui  perbatasan  tenggara  dibawah  pimpinan  La Tokong sendiri didampingi puteranya bernama : La Paranrengi.

Akhirnya terjadilah pertempuran sengit yang lebih seru dari yang sudah-sudah. Pasukan Pammana dan Palekoreng yang masih segar bugar menyerbu dengan semangat berkobar-kobar. Pasukan Sidenreng dan sekutunya yang telah bertempur berhari-hari terpukul dengan telak. Setapak demi setapak mereka mundur kearah utara, meninggalkan anggota pasukannya yang terluka maupun tewas. Pasukan Belawa dan bala bantuannya semakin gencar mengejar dengan tombak yang teracun ke depan. Maka dinamailah medan itu sebagai : Soppa'E.

Kemenangan lasykar Belawa yang dibantu oleh lasykar Pammana dan Palekoreng menjadikan negeri yang terletak diantara 2 danau tersebut tetap menjadi Ana' ri Wajo. Namun, beberapa hari setelah kemenangan itu, La Tokong Petta PalEkoreng Datu Pammana jatuh sakit dan tidak lama kemudian wafat di Tana Tengnga. Baginda dimakamkan di Jara' LompoE Tana Tengnga.

Sepeninggal La Tokong, maka puterinya bernama : Sitti Hudayyah dinobatkan sebagai Ranreng Tuwa Wajo. Sementara La Paranrengi puteranya yang menyertainya berperang mempertahankan TanaE Belawa menetap di Tana Tengnga, mengingat janji pamannya (La Sappo) untuk mengangkatnya sebagai Arung Belawa. Namun janji tersebut tidak kunjung ditunaikan sampai Baginda La Sappo wafat dan dimakamkan tidak jauh dari pusara La Tokong Petta PalEkoreng.

Setelah tahta Arung Belawa lowong selama beberapa waktu, Arung Matoa Wajo beserta Petta EnnengngE menobatkan La Makkaraka Petta Ugi menjadi Arung Belawa dengan alasan sebab musabab yang tidak jelas karena tidak  tertulis pada Lontara. La Makkaraka Petta Ugi adalah putera La SampennE Petta Labattoa Arung Liu Cakkuridi ri Wajo dengan isterinya bernama I Kati Arung Palippu. Untuk menenangkan La Paranrengi maka Petta EnnengngE menganugerahinya gelar khusus, yaitu : ArungngE Daeng Sijerra. Gelar kemuliaan yang menempatkan Daeng Sijerra pada posisi "diatas" dari Arung Belawa sendiri pada "Tudang Ade'" (najerrai Arung Belawa). Namun sesungguhnya merupakan sebuah kedudukan tanpa kekuasaan.

Adapun halnya dengan La Tamang Petta Palla'E, pangeran petualang itu mulai menetap di Belawa. Mengingat masih sering terjadi pertikaian kecil antara orang-orang Belawa dengan orang Sidenreng perbatasan utara Belawa, beliau memerintahkan puteranya bernama Petta Boso'E untuk tinggal menetap di kawasan perbatasan itu. Perlu diketahui, bahwa La Tamang Petta Palla'E dari garis keturunan ibunya adalah merupakan Pangeran Sidenreng. We Tenri Balobo (Ibunda La Tamang) adalah puteri  La Pallawagau' Arung Maiwa Datu Pammana Petta Pilla'E ri Wajo dengan isterinya bernama We Tenri Abang DatuE Watu. La Pallawagau' adalah putera Janggo' LampE Ulu Arung Maiwa Arung Tellu Latte' Sidenreng dengan I Tenri Datu Pammana. Kemudian Janggo LampE Ulu adalah putera La MalEwai Addatuang Sidenreng VII dengan isterinya bernama I Saddia. Selain itu, La Tamang Petta Palla'E dinikahkan dengan I LEkke' ana'na Arung Data, maka lahirlah : La Pamessangi Baso' Parepare dan Petta Boso'E serta beberapa anaknya yang lain.

Setelah Petta Boso'E tinggal menetap di Soppa'E (wilayah Sidenreng di perbatasan utara Belawa), kawasan itu menjadi aman kembali. Maka beliau digelar : La PallEmpa Petta Boso'E Daeng Pawawa. Setelah wafatnya, beliau dimakamkan disebelah utara Soppa'E bernama : PittuE sehingga gelaran lengkap beliau menjadi : La PallEmpa Daeng Pawawa Petta Boso'E Petta MatinroE ri PittuE. Inilah keteladanan seorang putera yang taat dan berbakti kepada orang tuanya dengan setia memenuhi amanah ayahandanya sampai akhir hidupnya.

Demikian pula halnya dengan La Rumpang Daeng Pasolong Petta Bombo Datu Tana Tengnga. Walaupun beliau  hanyalah merupakan "walikota" Kotaraja Belawa, namun Sang Pangeran Hantu yang kini insyaf ini senantiasa berjiwa besar. Hal ini terbukti ketika terjadinya perselisihan antara Tana Bone dengan TanaE Wajo yang sama-sama menklaim Pompanua sebagai wilayah mereka. Namun sesungguhnya pada saat itu Pompanua adalah merupakan "Lili" Tana Wajo yang berulangkali ditaklukkan sejak pemerintahan La Tadampare' Puang ri Maggalatung dan berikutnya ditaklukkan lagi oleh La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Singkang Arung Peneki  Arung Matoa PamaradEkaiyangngE Wajo. Tapi kini setelah melihat keadaan Tana Wajo yang dilanda banyak kekacauan, maka Petta TowaraniE Arung Pompanua menyatakan diri lepas dari Tana Wajo sambil memohon perlindungan Tana Bone.

Terjadilah perang antara Wajo dengan Bone. Lasykar Wajo menyerbu ke Pompanua. Namun lasykar Pompanua dapat bertahan bahkan dapat memukul mundur Pasukan Wajo berkat bantuan Pasukan Bone. Berkali-kali Pasukan Wajo melakukan penyerbuan namun tetap juga selalu terpukul mundur. Barikade pertahanan Pasukan Bone terlalu kuat untuk ditembus. Maka La Paddengngeng Puanna La Palaguna Arung Matoa Wajo melalui La Rappe' (La Olling) Arung Liu SullE Ranreng Tuwa Wajo meminta agar Lasykar Belawa ikut memperkuat Pasukan Wajo untuk merebut Pompanua.

Memenuhi amanat Arung Matoa Wajo dan Petta EnnengngE, maka Arung Belawa La Makkaraka Petta Ugi meminta kesediaan La Rumpang Petta Bombo' untuk memimpin lasykar Belawa pada ekspedisi perebutan Negeri Pompanua. Petta Bombo menyatakan kesediaannya, namun disertai "syarat" yang harus disetujui oleh Arung Belawa beserta para petinggi Tana Wajo (termasuk Arum Matoa), yakni :
1. La Rumpang Petta Bombo' sendiri yang memilih personel lasykar Belawa yang diikutkan pada ekspedisi itu,
2. Penyerbuan ke Pompanua dilakukan sendiri oleh Pasukan Khusus Belawa tanpa disertai oleh Pasukan Wajo.
Akhirnya Arung Belawa dan segenap petinggi Wajo menyetujui persyaratan yang aneh tersebut.

Maka Petta Bombo' melaksanakan seleksi pasukan Belawa yang berjumlah ribuan tersebut. Mereka berbaris satu demi satu berdiri dihadapan Petta Bombo'. Sementara itu Petta Bombo' menerawang setiap prajurit yang berdiri dihadapannya dengan cara meneropongnya melalui celah (lubang) Tombak Pusaka La Patellongi. Dikisahkan, jika seorang lasykar tidak kelihatan kepalanya melalui celah yang terdapat pada tombak pusaka tersebut, maka ia dinyatakan tidak ikut. Petta Bombo' meyakini bahwa orang yang tidak kelihatan kepalanya, niscaya akan gugur di medang perang walaupun orang itu kebal.

Akhirnya seleksi itu menghasilkan beberapa ratus orang yang lulus ujian dari beberapa ribu personel yang ditest. Termasuk diantaranya : La Sulungkau' Daeng Pagala Datu Lolo Tana Tengnga, putera Petta Bombo dari isterinya bernama : I Bunga Waru Ana'na La Oddang Arung Belawa Petta MasuengngE. Pasukan elit Tana Belawa inilah yang nantinya melahirkan legenda "Warani PituE", yakni 7 Pemberani dari lasykar elit tersebut dimana diantaranya ada wanita.

Seperti yang dipersyaratkan Petta Bombo, pasukan kecil yang dipimpinnya menyerbu Pompanua tanpa disertai oleh pasukan Wajo. Mereka bertolak dari Belawa melalui Danau Tempe lalu mendarat di Tempe. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Pammana, dimana mereka membangun sebuah basis pertahanan. Setelah beristirahat selama beberapa hari, maka penyerbuan itu dimulai. Pihak Pompanua tidak menyangka jika hari itu Wajo menyerang hanya dengan sebuah pasukan kecil. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah.

Pasukan Belawa bertempur dengan berani karena berbekal keyakinan jika mereka tidak akan mati dalam peperangan itu. Pertempuran yang heroik itu dikisahkan dengan bahasa yang indah dan terillustrasi secara mendetail dalam epos seni tutur "Sure' Warani PituE". Setelah bertempur selama hampir satu bulan, Petta TowaraniE Arung Pompanua gugur. Maka pihak Pompanua meminta gencatan senjata dan mengatur sebuah perundingan. Akhirnya perang itu dinyatakan usai dengan kemenangan berada di pihak Tana Wajo.  Sesuai dengan yang diramalkan Petta Bombo', tidak satupun lasykar Belawa yang gugur dalam kancah perang Pompanua. Kemenangan itu membawa Pompanua kembali keharibaan TanaE Wajo.

Setelah perang Pompanua, maka kisah tentang Petta Bombo' yang lebih banyak berdiam di Tana Tengnga. tidak begitu banyak yang bisa dituturkan hingga wafat pada era pemerintahan La Raja Dewa Arung Belawa  (putera La Makkaraka Petta Ugi Arung Belawa dengan I KambeccE' Petta PatolaE Wajo). Setelah wafatnya, maka lengkaplah gelar baginda yakni : La Rumpang Daeng Pasolong Petta Bombo Datu Tana Tengnga Petta MatinroE ri Jara' PaodaEnna. Baginda dimakamkan dengan prosesi kebesaran sebagaimana layaknya seorang Raja yang berdarah murni dan dihadiri oleh Raja-raja TellumpoccoE. Batu nisan baginda didatangkan langsung dari Soppeng berupa batu sungai setinggi kurang lebih 2 meter dari permukaan tanah.

Wafatnya Petta Bombo' adalah jelang akhir kejayaan Tana Tengnga. Putera  beliau yang bernama La Sulungkau' Daeng Pagala Datu Lolo Tana Tengnga Petta Pallampa'E MatinroE ri Passiringna ditetapkan sebagai penguasa otonomi Tana Tengnga yang pada waktu itu berganti nama menjadi : TippuluE. Adalah La Raja Dewa Arung Belawa pendeklarasi perubahan nama itu berkata : Upoasengengngi iyE tanaE, TIPPULUE. Nasaba' iyanatu pong aju kajung kaminang matanrE. NarEkko engka pong  aju lebbi matanrEpa naiyya, iyato upoasengengngi tanaE (Negeri ini kuberi nama : TIPPULUE. Karena itulah nama pohon tertinggi. Andaikan ada jenis pohon yang lebih tinggi daripada itu, maka itu pulalah yang kuberikan nama pada negeri ini...).
....................................................................................................................

Adalah hal yang unik bahwa menjelang wafatnya, Petta Bombo' berwasiat agar dimakamkan pada Jara' (komplek pekuburan Raja-raja) tersendiri yang dimulai oleh saudara kembarnya, yakni : I RawE Petta PajjumbaE. Sementara leluhurnya termasuk ayahnya dan saudara-saudaranya dimakamkan di Jara' LompoE (kira-kira 1,5 km kearah selatan dari Jara' PaodaEngngE). Perlu sedikit dikemukakan bahwa makam yang paling fenomenal di Jara' LompoE adalah : Makam La Tamang Petta Palla'E. Jazad baginda dimakamkan bersama 7 orang Ata (hamba sahaya) yang ikut dikubur hidup-hidup. Konon, posisi ketujuh orang tersebut dalam keadaan duduk bersila berhadapan sambil memangku jazad Petta Palla'E (Astagfirullohil Adzim).

Adapun halnya dengan ManurungngE ri Tana Tengnga terakhir berada dalam perawatan Alm. H. Abdul Rauf Pattola (suami Almarhumah Hj. Andi Remmangrilangi) yang menerimanya dari mertuanya, yakni : La Wahide' Daeng Mamiru Petta Pabbicara Ade' Tana Tengnga. Namun pada tahun 50an benda tersebut raib (mallajang) pada masa TKR (Tentara Keamanan Rakyat) membuat kakacauan di Belawa. Sementara pusaka lainnya, yakni : Tombak La Patellongi kini berada dalam perawatan kami yang penulis terima sebagai amanah dari Alm. Hj. Andi Remmangrilangi, kakak ayahanda kami (Alm. Andi Mori).

(..bersambung ke Part 7)