Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Minggu, 19 Agustus 2012

Selamat Hari Raya Iedul Fitri 1433 Hijriah

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Menulis kemudian menghaturkannya di Blog kita bersama ini, kiranya inilah ikhtiar yang semoga mendapat hidayah dan inayah Allah.SWT. Tiada lain yang diharap, yakni sekedar mencurahkan hasil pemikiran belaka. Adapun perihal kebenarannya, adalah mutlak pada Allah SWT lewat petunjuk dan perbaikan segenap pembaca. Pada hari yang suci ini, kumohonkan halal bagi segala khilaf dan kekurangan bagi seluruh tulisan yang tertera dalam blog ini.. Semoga kiranya menjadi perekat Silaturrahmi diantara kita sekalian. Selamat Hari Raya Iedul Fitri 1433 H, mohon maaf lahir dan bathin.

Nun wal Qolami wamaa yasturuwn,

Wassalamu Alaikum Wr. Wb.

Selasa, 14 Agustus 2012


KETEGUHAN IMAN DAN IKRAR !



“Robbanaa, laa tuzighquluubanaa ba’da idz hadaitanaa wa hablanaa min ladunka rohmatan, innaka Antal Wahhaab”

(Yaa Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami sesudah mendapat petunjuk, berilah kami karunia, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemurah)

………………………………………………………………………………………………….



Sekiranya pernah menjadi makmun dibelakang baginda yang mulia, pastilah itu do’a yang senantiasa dipanjatkannya dengan bibir gemetar. Saat ketika air matanya mengalir deras hingga membasahi janggutnya. Memohon dan berharap dihadapan Rabb-nya, atas keteguhan iman bagi agama yang dicintainya dengan segenap jiwa dan raganya.



Hashbunallah wa ni’mal wakiil..” (cukuplah Allah menjadi penjaminku..), duhai.. demikian rintih munajatnya selalu. La Tenri Ruwa, seorang Raja Besar yang mendapatkan limpahan cahaya Islam, kemudian menerimanya dengan sepenuh hati. “Duhai.., betapa gemilangnya cahaya ini. Risalah kebaikan yang tiada cacat celahnya sedikitpun..”, kata hatinya dengan penuh takjub dan syukur. Namun rakyatnya menolak cahaya itu, terlebih para menterinya. “Apalah gunanya menerima risalah asing itu ?. Apalagi jika itu memaksa kita untuk meninggalkan tradisi leluhur, apakah itu bukan suatu bentuk kedurhakaan ?!”, demikian kiranya kegelisahan Rakyat Tana Bone kala itu.  Maka La Mallalengeng To Allaungeng yang mewakili segenap rakyat Tana Bone mengajukan petisi, “ HaE, Batara Tungke’na Tana Bone, pilEi salasEddinna iyaE dua tessitonraE, Asellengengmu iyarE’ga Tana Akkarungengmu !” (Wahai, Pertuanan Tunggal Kerajaan Bone, pilihlah salahsatu dari dua hal yang bertolak belakang, Agama Islam-mu ataukah Tahta Kerajaanmu !).

La Tenri Ruwa Raja yang malang, sekaligus manusia yang diberkati. Barulah tiga bulan menduduki tahta “ArumponE”, kini haruslah menghadapi pilihan yang sesungguhnya hati kecilnya pastilah menginginkan keduanya. Siapakah sesungguhnya orang besar ini ?



NAZAB DAN KETURUNANNYA

Baginda La Tenri Ruwa adalah generasi ke-8 dari La MammatasilompoE ManurungngE ri Matajang ArumponE I. Beliau adalah putera La Saliu Arung Palakka dengan I LEppeng (puteri La Ulio Bote’E MatinroE ri Itterrung ArumponE VI bin La Tenrisukki MappajungngE ArumponE V dengan We Tenri WEwang Arung Pattiro), sehingga iapun adalah cucu langsung La Tenrisukki MappajungngE pula. Kemudian sesungguhnya ayah dan ibunya bersepupu dua kali (siala massappo wEkkadua).

La Saliu Arung Palakka adalah putera I MangampE Walida MaddanrengngE ri Palakka dengan La GomEng.

I MangampE Walida Maddanreng Palakka adalah puteri La Tenrigerra’ Datenripala (saudara kandung La Tenrisukki MappajungngE ArumponE V) dengan We Tenrisuppala Ana’na Arung Mampu.

La Tenrigerra’ Datenripala dan La Tenrisukki MappajungngE ArumponE V adalah putera We Barigau’ MakkalempiE Petta MallajangngE ri Cina ArumponE IV dengan La Tenribali Arung Kaju.  Kedua suami isteri ini juga adalah bersepupu sekali (siala massappo siseng) karena ayah We Barigau’ MakkalempiE, yakni La Saliu KerrampElua’ ArumponE III bersaudara kandung dengan We Tenripappa, ibunda La Tenribali Arung Kaju.

Halnya dengan We Barigau’ MakkalempiE Petta MallajangngE ri Cina ArumponE IV (Ratu yang Mairat di Cina dalam tahun 1516 M), adalah puteri La Saliu KerrampElua’ ArumponE III dengan We Tenri Roppong Ana’na Arung Paccing.

La Saliu KerrampElua’ ArumponE III adalah putera We Pattanra Wanua dengan La Pattikkeng Arung Palakka. Baginda inilah yang terkenal memiliki rambut yang lebat dan berdiri kaku sejak lahirnya, sehingga dijuluki : Petta KarampElua’E (Pertuanan kita yang berdiri rambutnya). Ia pula yang ditetapkan sebagai Putera Mahkota sesaat setelah lahirnya, oleh pamandanya sendiri, yakni : La Ummase’ Petta PanrEbessiE MulaiyyE Panreng ArumponE II (saudara kandung We Pattanra Wanua).

We Pattanra Wanua dan La Ummase’ Petta PanrEbessiE adalah putera puteri La MammatasilompoE ManurungngE ri Matajang Mangkau’E ri Bone I dengan We Tenri Wale’ ManurungngE ri Toro’. Kedua suami isteri “manurung” ini adalah pendiri Kerajaan Bone.

Menelusuri nazabnya dari bawah keatas, maka mutlaklah jika La Tenri Ruwa adalah Pangeran Palakka sejati serta juga Pangeran Pattiro. Olehnya itu, sebelum dinobatkan menjadi ArumponE, beliau terlebih dahulu menduduki tahta “Arung Palakka”. Kemudian baginda dinikahkan dengan sepupu sekalinya di Soppeng, yakni : We Tenri LEkke’ Baji’ LEmbaE Datu Mario ri Wawo (puteri We Tenri Pauwang dengan La Makkarodda To Tenribali MabbEluwa’E Datu Mario ri Wawo bin LA WAniaga To Makerra Arung Bila). We Tenri Pauwang adalah saudara kandung I LEppeng, ibunda La Tenri Ruwa.

Pernikahan  La Tenri Ruwa Arung Palakka dengan We Tenri LEkke’ Baji’ LEmbaE Datu Mario ri Wawo, melahirkan puteri, yakni : We Tenri Sui Datu Mario.

We Tenri Sui Datu Mario dinikahkan dengan La Pottobunne’ Arung Tana Tengnga (putera La Wawo Arung Tana Tengnga Toa dengan We Tenri Cemmareng DagaE Arung Ganra binti La Sekati To Soangmegga Datu Soppeng XI), melahirkan putera-puteri, sbb :

1.      La Tenri Tatta DaEng SErang To Erung Arung Palakka Toappatunru’ Datu Mario ri Wawo To Unru Sultan Sa’aduddin Petta MalampE’E Gemme’na Datu Tungke’na Tana Ugi MatinroE ri Bontoala’ ArumponE XV (Petta To RisompaE),



2.      We TenriEsa’ DaEng Upi MappolobombangngE MaddanrengngE ri Bone, dinikahkan dengan La Pakkokoi To AngkonE Petta TadampaliE Arung Ugi  Arung Timurung MaddanrengngE ri Bone (La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh MatinroE ri Bukaka ArumponE XIII dengan We Hadijah I Dasenrima binti La Pakallongi To Allinrungi Arung Matoa Wajo XV/XVII), melahirkan : La Patau’ Matanna Tikka Sultan Alimuddin Idris Arung Palakka Petta Ranreng Tuwa Wajo MatinroE ri Nagauleng Datu Soppeng XVIII ArumponE XVI).



3.      We Kacumpureng I Tenri Girang Daumpi Datu ri Mari-Mari menikah dengan To Dani Arung Bakke’ Datu Citta Arung LEtta Addatuang SidEnrEng IX (XIII ?) Arung Rappeng XII Addatuang Sawitto XIV  (Datu Ajattappareng),



4.      La Tenri Gerra’,



5.      La Onggo’,



6.      We Tenri Abang DaEng Ba Datu Mario ri Wawo menikah dengan La Mappajanci Sultan Ismail Datu TanEtE, melahirkan We PattEkE Tana Datu TanEtE.



Selanjutnya, Sejarah Sulawesi Selatan mencatat bahwa keturunan ke-enam putera puteri La Tenri Ruwa diatas yang kemudian menjadi Raja dan Ratu diseluruh kawasan TelluE Cappa’gala (Luwu, Bone dan Gowa), TellumpoccoE (Bone, Wajo dan Soppeng), LimaE Ajattappareng, Barru, TanEtE, PangkajEnE, Marusu, Tellu LimpoE (Bulo-Bulo, Lamatti dan Tondong) dan segenap daerah lainnya hingga di tanah Mandar.



Kiranya inilah balasan yang pantas bagi mukmin yang istiqomah dengan semata-mata berharap pada rahmat Tuhannya Yang Maha Pengatur Takdir bagi segenap ciptaan-Nya.





KETEGUHAN IMAN SEORANG MUALLAF



Dalam tahun 1611, La Tenri Ruwa Arung Palakka dinobatkan menjadi ArumponE XI, Mangkau’ (penguasa) bagi Kerajaan BonE beserta segenap negeri takluknya. Baginda menggantikan sepupu sekalinya yang terlebih dahulu masuk Islam hingga wafat sesaat setelah mengucapkan ikrar syahadatain, yakni : We Tenrituppu MaddussilaE MatinroE ri SidEnrEng ArumponE X (puteri La Pattawe’ DaEng SErang MatinroE ri Bettung ArumponE IX dengan We Dala Lipu Arung Mampu).



Belumlah genap tiga bulan menjalankan roda pemerintahan Tana Bone, tibalah Raja Gowa (I Manggarangi DaEng Mangrabia Sultan Alauddin Sombayya Gowa XIV) beserta segenap angkatan perangnya di Bone. Maksud kedatangan mereka, yakni misi pengislaman dengan sebelumnya telah berhasil mengislamkan SidEnrEng, Soppeng dan Wajo. Mereka membangun benteng pertahanan di kawasan PallettE dan Cellu’.



Setelah merasa bahwa kedudukan pertahanannya sudah cukup kokoh, Sombangta Gowa menemui ArumponE La Tenri Ruwa, seraya menyampaikan syiar Islam dengan segenap pengetahuannya tentang risalah tersebut, dimana uraian itu sangat berkesan dihati La Tenri Ruwa. Maka berujarlah La Tenri Ruwa kepada segenap petinggi kerajaannya, sebagaimana dikutip sebagai berikut :



“Kalian telah mengangkat saya menjadi Mangkau’ untuk membawa Bone kepada jalan yang baik. KaraEngngE ri Gowa datang membawa Agama Islam yang menurutnya adalah kebaikan, sesuai dengan perjanjian kita yang lalu, (bahwasanya ; pen) siapa yang mendapatkan (menemukan ; pen) kebaikan, dialah yang menunjukkan jalan. Oleh karena itu, saya mengajak kalian untuk menerima Islam”.



KaraEngngE ri Gowa berkata ; “Menurutku, Islam adalah kebaikan dan dapat mendatangkan cahaya terang bagi kita. Oleh karena itu, saya berpegang pada Agama Nabi. Kalau engkau menerima pendapatku, maka Bone dan Gowa akan menjadi besar untuk bersembah kepada DEwata SEuwaE (Allah SWT)”.



Berkata lagi Arumpone kepada orang banyak ; “Kalau kalian tidak menerima baik maksud KaraEngngE padahal dia benar, dia pasti memerangi kita dan kalau kita kalah, berarti kita menjadi hamba namanya. Tetapi kalau kalian menerima dengan baik, kita dijanji untuk berdamai. Kalau kita melawan, itu adalah wajar. Jangan kalian menyangka bahwa saya tidak mampu untuk melawannya”.



Ketika itu semua orang Bone menolak Islam. Arumpone La Tenri Ruwa hanya diam, karena dia sudah tahu bahwa orang Bone berpendapat lain. Pergilah ArumponE ke Pattiro dan hanya diikuti oleh keluarga dekatnya. Sesampainya di Pattiro, ia mengajak lagi orang Pattiro untuk menerima agama Islam. Ternyata orang Pattiro juga menolak (Lontara Akkarungeng Bone)





Sekilas membaca catatan kejadian dari kutipan Lontara Akkarungeng Bone  (milik Drs. Andi Amir Sessu) diatas, maka didapati kesesuaian dengan Lontara Wajo (Andi Paramata dkk. 1975:18), bahwa Arumpone XI yang bernama La Tenri Ruwe MatinroE ri BantaEng secara pribadi lebih dahulu telah menerima Islam sebagai agamanya, sebelum Butta Gowa melancarkan perang (Mattulada : 1998). Maka sesungguhnya, upaya La Tenri Ruwa untuk menerima Islam dihadapan Raja Gowa, bukannya untuk “menghindari perang bagi rakyatnya”, melainkan karena Baginda telah menjadi Islam terlebih dahulu, bahkan kemungkinan sebelum beliau dinobatkan menjadi Raja Bone.



Sementara Baginda La Tenri Ruwa di Pattiro, maka berhimpunlah rakyat Bone yang dipimpin oleh Dewan Hadat Ade’ PituE. Mereka sepakat untuk memakzulkan La Tenri Ruwa dari tahtanya sebagai ArumponE, karena dipandang menyalahi ketetapan adat kebersamaan Tana Bone. Maka menghadaplah La Mallalengeng To Allaungeng sebagai perwakilan Rakyat Bone yang dilegitimasi Dewan Ade’ PituE, seraya berkata :



“Saya disuruh oleh orang Bone untuk menyampaikan bahwa, bukan lagi orang Bone yang menolak engkau sebagai Mangkau’, tetapi engkau sendiri yang menolak kami semua, karena pada saat Bone menghadapi musuh besar, engkau lalu meninggalkannya !”.



Menjawablah La Tenri Ruwa :



“Saya menyangkal bahwa saya meninggalkan orang Bone, saya hanya menunjukkan jalan kebaikan dan cahaya yang terang. Tetapi kalian tidak mau mengikutinya dan lebih suka memilih jalan kegelapan. Makanya saya pergi memilih jalan kebaikan dan cahaya yang terang itu, jalan yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya”.



Namun apa boleh buat, Baginda La Tenri Ruwa haruslah memilih opsi yang diajukan oleh Rakyat Bone melalui To Allaungeng. Maka tanpa ragu, baginda memilih Islam diatas segalanya. “Naiyya Lino, simata wanua lEppa-lEppangengmi bawang, manguju ri wanua mannessaE ri AhE’ra” (sesungguhnya dunia, tiada lainya hanyalah negeri persinggahan belaka, dalam rangka perjalanan menuju negeri yang nyata di akhirat kelak).



La Tenri Ruwa kemudian mengutus salah seorang keluarga dekatnya menemui Raja Gowa di PallettE, untuk menjelaskan kejadian yang baru saja dialaminya itu. Maka Raja Gowa pun memerintahkan KaraEng Pettu beserta pasukan secukupnya untuk menemui La Tenri Ruwa di Pattiro. Namun baru saja bertemu mantan Raja Bone itu di Salassa’E Pattiro (Istana Pattiro), tiba-tiba tempat itu sudah dikepung oleh rakyat Pattiro dan Sibulu’E. Lalu dengan kawalan orang-orang Gowa, La Tenri Ruwa dan segenap keluarganya menyingkir ke Gunung Maroanging.



Lontara Akkarungeng Bone menggambarkan betapa sulitnya keadaan La Tenri Ruwa ketika itu, dimana sesungguhnya ia tidak memiliki kekuasaan apa-apa lagi selain keluarga dan imannya. Beliau kini tiada lain adalah Raja Bone yang dilengserkan, yang tersisa tinggal gelar sebagai pangeran Pattiro, Palakka dan AwangponE serta gelar isterinya sebagai Ratu di Mario ri Wawo (Soppeng). Hal yang sesungguhnya tiada lain hanyalah gelar belaka, tanpa kekuasaan apa-apa. Harga suatu keteguhan akan keyakinan !.



Hingga setelah kejadian pemakzulan itu, tiga tokoh besar berikrar di Tanjung PallettE. Mereka adalah Sombangta Gowa, KaraEng Matoaya Tallo’ dan La Tenri Ruwa. Mengucap ikrarlah Sombangta Sultan Alauddin dan KaraEngta Sultan Awwalul Islam (KaraEng Tallo), bahwa : “Inilah yang dipersaksikan kepada Dewata SEuwwaE (Tuhan Yang Maha Tunggal) bahwa, bukanlah keturunan KaraEngngE ri Gowa dan KaraEng Tallo yang kelak akan mengganggu hak-hakmu. Kalau ada kesulitan yang engkau hadapi, bukalah pintumu untuk kami masuk pada kesulitan itu.”.



Menjawablah La Tenri Ruwa : “Wahai KaraEng, ikat padiku tidak akan terbuka, tidak sempurna pula kehidupanku dan apa yang ada dalam pikiranku. Kalau ada kesulitan yang menimpa Tanah Gowa, biar sebatang bamboo yang dibentangkan, kami akan melaluinya untuk datang membantumu sampai kepada anak cucumu dan anak cucuku, asalkan tidak melupakan perjanjian ini”.



Pada masa itulah, Sombangta Gowa menggelar La Tenri Ruwa sebagai : La Tenri Ruwa Arung Pattiro “Adamulmarhum Kalinul Awalul Islam” yang kemudian disingkat “Sultan Adam”. Lima hari kemudian, Pasukan Gowa menyerbu pusat kekuasaan Tana Bone, dimana Dewan Ade’ PituE memimpin perlawanan rakyat, menahan gempuran itu. Namun, pasukan Gowa beserta segenap sekutunya terlalu berat dilawan oleh lasykar Bone yang tanpa kesatuan pimpinan itu. Watampone dibumi hanguskan, maka menyerahlah para pemimpin lasykar Bone yang kemudian menerima pula Agama Islam.



Sepeninggal Sombangta Gowa dan KaraEng Tallo beserta segenap balatentaranya, maka tiadalah tempat bagi La Tenri Ruwa, mantan Raja Bone di negerinya sendiri. Dewan Ade’ PituE kemudian mengangkat seorang Raja Bone yang baru, yakni : La Tenri Pale’ To AkkeppEang Arung Timurung. Maka baginda La Tenri Pale’ beserta segenap keluarganya meninggalkan Tana Bone, menuju ke Tana Su’ (Makassar). Disanalah beliau memperdalam Ilmu Agama Islam pada Dato’ ri Bandang. Selanjutnya, Sombangta Gowa menyampaikan titah agar Sultan Adam dan keluarganya dapat memilih salahsatu negeri Wilayah Butta Gowa sebagai pemukimannya yang baru. Maka La Tenri Ruwa memilih negeri BantaEng untuk menetap hingga wafatnya. Akhirnya, baginda pun mendapat gelar anumertanya, yakni : La Tenri Ruwa Sultan Adam Petta MatinroE ri BantaEng.





AKHIR IKRAR MANUSIA



“Ketetapan manusia hanyalah suatu rencana belaka, namun perwujudannya kemudian adalah Kuasa Allah semata”. Kiranya itulah perwujudan dari ikrar ketiga raja yang diuraikan diatas, bahwa : “.. bukanlah keturunan KaraEngngE ri Gowa dan KaraEng Tallo yang kelak akan mengganggu hak-hakmu, dst..”. Ikrar itu diucapkan dalam tahun 1611. Namun 35 tahun kemudian, dalam tahun 1646 I Manuntungi DaEng Mattola Sultan Malikussaid Sombayya Gowa XV menawan anak cucu MatinroE ri BantaEng, sebagai tawanan perang PassEmpe’.



Salahseorang puteri Baginda Sultan Adam yang paling merasakan pahitnya perlakuan putera Sultan Alauddin itu, adalah : We Tenri Sui Datu Mario. Ia dan suaminya serta putera puterinya dijadikan tawanan perang ke Gowa. Suaminya, yakni : La Pottobunne’ Arung Tana Tengnga dijadikan abdi pemegang tombak oleh KaraEng Karunrung. Kemudian beliau terpaksa harus meregang nyawa setelah ia memberontak pada “Tuannya” akibat tidak tahan melihat kesewenangan KaraEng Karunrung terhadap para pekerja paksa dari Bone dan Soppeng. Tombak yang dipegangnya dipakainya mengamuk sejadi-jadinya. Namun pada akhirnya iapun harus kena ringkus tak berdaya oleh pasukan Gowa. Akhirnya iapun dihukum mati dengan ditusuk tombak pada mulutnya, menembus tenggorokan hingga organ dalamnya. Kematian yang tragis dan menggenaskan dialaminya, setelah sebulan sebelumnya ayahnya (La Wawo Arung Tana Tengnga Toa) dihukum mati pula dengan cara diikat didalam lesung, lalu ditumbuk alu ramai-ramai sampai mati.



Hukuman mati atas diri Arung Tana Tengnga yang terjadi dalam bulan September 1660 itu, amat menggores pedih menjadi luka hati yang dalam bagi puteranya, yakni : La Tenri Tatta DaEng SErang (Mattulada ; 1998). Pada suatu malam yang tenang, Pangeran muda yang bergelar Datu Mario itu mengucap sumpah untuk menuntut bela terhadap kematian ayah dan kakeknya yang mengerikan, serta penderitaan rakyat Soppeng dan Bone dibawah kekejaman penguasa Gowa kala itu. Sumpah yang amat berat dan mengerikan pula, yakni : Tidak akan memotong rambutnya sebelum menegakkan martabat kebesaran Bone dan Soppeng. Selain itu ia akan menghaturkan Sokko Pitunrupa (Nasi Ketan 7 macam) setinggi Gunung Cempalagi dan membuat banjir darah setinggi lutut di Makassar, darah para bangsawan tinggi Gowa dan Tallo !. Inilah kemudian yang menjadi babak awal Perang Makassar (1666 – 1669), perang terhebat yang pernah terjadi di Nusantara dan menjadi babak permulaan masuknya kekuasaan VoC di Sulawesi Selatan.



Sejarah terus berputar, buah ikrar itu kemudian berbuah manis pula. Keturunan La Tenri Ruwa Sultan Adam, I Manggarai DaEng MammEta Sultan Alauddin dan I Malingka’an DaEng Nyonri Sultan Awwalul Islam kemudian menyatu jua. La Patau’ Matanna Tikka Sultan Alimuddin Idris Arung Palakka Petta Ranreng Tuwa Wajo MatinroE ri Nagauleng Datu Soppeng XVIII ArumponE XVI (Generasi IV La Tenri Ruwa Sultan Adam) menikah dengan I Mariama KaraEng Pattukangan (Generasi VI Manggarangi Sultan Alauddin). Mereka menurunkan generasi-generasi berikutnya yang silih berganti menjadi pemimpin ketiga negeri (Gowa, Bone dan Soppeng). Salahseorang putera mereka, yakni : La Pareppa’I To SappEwali Sultan Ismail Sombayya Gowa XX Arumpone XIX Datu Soppeng XX (Generasi V La Tenri Ruwa Sultan Adam dan Generasi VII I Manggarangi Sultan Alauddin) menikah pula dengan I Gumittiri (Generasi VI Malingkaan Sultan Awwalul Islam KaraEng Tallo’ dan Generasi VII I Manggarangi Sultan Alauddin). Maka menyatulah darah para sekutu yang berikrar namun turunannya kemudian sempat saling menumpahkan darah itu. Sesuatu yang menyisakan keluhuran dan kearifan sejarah, sebagaimana yang disebut : Manguru Wija-Wija (Menyatu Keturunan).



Duhai, segenap Datu Puengta dan para KaraEngta, semoga mendapat ampunan dan rahmat tak terputus bagimu dan segenap anak keturunanmu, Insya Allah. Amin yaa Robbal Alamin.



Nun wal Qolami wamaa’ tasturuuwn, wabillaahi taufiq wal hidayah..

Wallahualam Bissawwab.


































Sabtu, 11 Agustus 2012

TOMANURUNG DAN TO TOMPO ?

Adinda kami Faisal TO Wareq menanyakan perihal penduduk pertama di Sulawesi Selatan ini. Kontan saya garuk-garuk kepala, seraya berpikir keras. Siapa yang memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan) 00000000000000000001 itu ?. Namun para arif cendekia Sulawesi dari masa ke masa telah meninggalkan catatan hasil penelitian mereka. Semuanya untuk kita baca dan melanjutkan upaya pendalaman itu di masa kini.
…………………………………………………………………………………..

Syahdan, pada tahun 1972 pakar Van Heekeren mengemukakan pendapatnya, bahwa : Kemungkinan besar Sulawesi Selatan telah dihuni sejak pertengahan atau penghujung kala Pleistosen Akhir, yakni sekitar 50.000 hingga 30.000 tahun SM (Heekeren, Stone Age:66-72, kutipan Pelras C, Manusia Bugis ; 2006).

Kemudian pakar Mattulada menguraikan pula bahwa, penduduk purba Sulawesi Selatan selain berciri fisik Austro-Melanesoid dan Paleo-Mongoloid yang berlangsung dalam satu zaman, yaitu masa belum mengenal kepandaian bercocok tanam, yaitu kira-kira 11.000 tahun SM (Mattulada ; 1998).

Persebaran orang Austro-Melanesoid dari Pulau Irian ke kepulauan yang terletak di sebelah barat daya dan kembali menyebar ke pulau-pulau disebelah baratnya. Demikian pula halnya dengan persebaran orang Austro-Melanesoid yang di Pulau Jawa ke sebelah barat dan utara sampai ke Vietnam Utara. Arus sebaliknya terjadi pula pada penebaran Proto-Mongoloid dari  Kepulauan Jepang melalui Riukyu, Taiwan dan Filipina yang selanjutnya ke Sulawesi. Kemudian terjadilah percampuran ras dan kebudayaan, maka itulah kiranya yang menjadi masyrakat pertama di Sulawesi Selatan yang terjadi antara tahun 1000 sampai tahun 2000 SM (Mattulada ; 1998).

Sekiranya kemudian ada yang menanyakan, ; “Siapakah nama nama manusia pertama di Sulawesi Selatan ?”. Wahai, kenapa terlalu jauh pertanyaannya ?, pasti demikianlah keluhku. Menanyakan penduduk pertama di Sulawesi Selatan, padahal “ayah kakek buyutnya sendiri belum tentu diketahuinya dan takkan pernah ditanyakannya”. Namun sudahlah, kiranya penuturan inipun akhirnya tiba pada perihal Tomanurung dan To Tompo, leluhur Raja-Raja di Sulawesi.

Hampir setiap kerajaan di Sulawesi memiliki kronik perihal berdirinya kerajaan dan raja/ratu pertamanya dan turunannya. Mereka yang adalah penguasa awal di negeri itu disebutnya sebagai “Tomanurung” (orang yang turun dari langit) atau pun “To Tompo” (orang yang muncul dari dunia bawah).

Mereka adalah para tokoh yang “disifatkan” sebagai “dewata” yang turun ataupun muncul ditengah masyarakat untuk mengakhiri masa kacau balau yang dikenal sebagai “SianrE BalE” (saling memakan bagai ikan). Maka hal ini, menurut hemat penulis, semoga kiranya berhubungan dengan sosok sebagaimana disebutkan Kitab Suci Al Qur’an sebagai “Ulul Albab” (peringatan bagi orang-orang yang berpikir). Bahwa Allah SWT berfirman :  “Yu’til khikmata man yasyaa’, wa man yu’tal khikmata faqod uutiya khoiron katsiro, wa maa’ yazzakkaru illaa ulul ‘albaab” (QS. Al Baqarah ; 269), artinya : Dianugerahkan Al Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi Al Hikmah itu, ia benar-benar telah dikaruniai anugerah yang banyak. Dan hanya orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran. Kiranya itu pula janji Allah SWT bagi hamba-Nya yang berilmu pengetahuan.

Mereka para Ulul Albaab dalam kronik pada banyak negeri di Sulawesi Selatan itu menyebutkan banyak To Manurung dan To Tompo, diantaranya :

- La Toge’langi Batara Guru “La Mula Tau” Sunge’ ri Sompa Aji Sangkuruwirang, ManurungngE ri Tellampulaweng Pajung ri Luwu I, menikah dengan We Nyilli’ Timo SolasinrangempEro Dinulu WElompEloja I Mata Timo Tompo’E ri Bussa Empo,

- TurubElaE “Laurempessi” ri Coppo’mEru ManurungngE ri Sawammegga Datu Tompotikka I, menikah dengan We Padauleng ManurungngE ri SingkiriwEro,

- Aji ri Sompa La Tenriangke’ Batara IlE ri Taliungna Langi ManurungngE ri Tellampulaweng Datu Cina I (versi I La Galigo), menikah dengan We Tenri Bilang,

- Tejjo ri Sompa LettEmangkella I La Toliung Tompo’E Batara WEwang Sumange’rukka PajumpongaE ri WEwangriu, menikah dengan ManurungngE Polaleng TojampulawengngE,

- La Raullangi To Sadangpotto ManurungngE ri Timpalaja, menikah dengan PolalengngE Ajuara Lallo ri Tungo,

- Simpurusiang ManurungngE ri Lompo, Datu Cina (pasca I La Galigo),

- Simpurusiang Salinrunglangi Mutia Kawa Opunna Ware’ ManurungngE ri Awo Lagading Pajung ri Luwu III, menikah dengan We Patyanjala Tompo’E ri Bussa Empo (pasca I La Galigo),

- La Matatikka Tompo’E ri Buakkajeng, menikah dengan Linge’ Manasa Ana’na MAnurungngE ri Sawitto,

- Pong Mulatau ri Rura,

- Tokombong di Wura’ menikah dengan To WissE di Tallang,

- Puang Tamboro Langi  “Datu Matampu” To Matasa’ ri LEpongna Bulan Tomanurung ri Kandora’ menikah dengan Puang Sandabili’ Tumanurung ri Kairo,

- Puang Tandilino Tobanua Puang ri Sarumbano – Marinding,

- Puang ri Ranri’ Tumanurung ri Sanggalangi,

- AEng ri Massila Tumanurung ri Salu’putti,

- AEng ri SEsEan Tumanurung ri SEsEan,

- Batara Kassa’ Tumanurung ri Kassa’,

- Londo DEwata Tumanurung ri RantE Bulawang,

- Puang Wellangrilangi Tomanurung ri Bambapuang,

- NEnE’ Matindo Dama PakE Lalona ri Duri I, menikah dengan Cirinna Sambo Langi,

- La Patongai To Pasaja Timpa’E Tana, menikah dengan Puatta ri PalisuE,

- Guru La Sellang Puang Palipada Tomanurung ri Palli Posina Kaluppini,

- La Temmalala’ ManurungngE ri Sekkanyili’, Datu Soppeng I meneikah dengan We Temmapupu ri Suppa,

- La MammatasilompoE ManurungngE ri Matajang Mangkau ri Bone I, menikah dengan We Mattengnga Empo ManurungngE ri Toro’,

- La BungEnge’ ManurungngE ri Bacukiki, menikah dengan We Teppulinge’ Tompo’E ri La Waramparang,

- Tumanurungnga ri TamalatE Sombayya Gowa I, menikah dengan KaraEng Bayo KaraEngta TurijE’nE,

- Uru Tau (Musinigaya Muranawa),

- KaraEng BEnEa Punta Dolangan Tumanurungnga ri Onto,

- ManurungngE ri Lampulungeng,

- ManurungngE ri Timpengeng,

- La Mallibureng ManurungngE ri Lowa, Addaoang Sidenreng I,

- Pancabilukka KaraEngta Sanrobone I,

- Puang ri SompaE ManurungngE ri AkkajangngE Lura MarajaE Sawitto,

- Puang ri Bulu Puang ri Cempa,

- ManurungngE ri Jangang-JangangngE,

- Indra Baji’ KarE’ Layu’ Tusanga Kalabbiranna,

- La Ulawu Tau ManurungngE Datu Lonra,

- ManurungngE ri Tanra Lili,

- ManurungngE ri Patila,

- …..masih banyak lagi yang lainnya.

Para tokoh Manurung dan Tompo yang mengawali terbentuknya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan Barat tersebut, pada umumnya terjadi diantara Abad XIII – XIV. Mereka dipandang sebagai sosok luar biasa yang memiliki “ kerre’ “ (Karomah) sebagai landasan ligitimasi kepemimpinannya, salahsatunya adalah : Maddara Takku (berdarah putih bagai getahnya pohon takku). Hal ini telah dibuktikan oleh seorang peneliti Eropa yang berkunjung ke Luwu dan menemukan seorang Bangsawan Tinggi Luwu yang bersedia ditusuk jarinya dan darah yang mengucur dari luka itu adalah benar-benar seputih susu (Pelras : 1996).

Prihal “kerre’” ini kemudian dibahas oleh Dr. Shelly Errinton yang mendapati perbedaan kepemimpinan awal dalam sejarah Eropa dan Sulawesi Selatan. Bahwa di Eropa, kepemimpinan seorang tokoh dilegitimasi oleh kekuatan militer, sementara di Sulawesi Selatan dilegitimasi oleh kesucian tokoh atau kerre’ yang dimilikinya. Seorang pemimpin dipandang suci karena kepemimpinannya adalah harapan kemakmuran bagi negerinya, sesuatu yang menyerupai system Teokrasi.
Keberadaan To Manurung dan To Tompo dibuktikan oleh fakta-fakta yang ada, sebagai berikut :

1. Kronik
Pelras (1996) mengemukakan, bahwa hamper semua kerajaan Bugis dengan seluruh daerah bawahannya hingga ke tingkat paling bawah memiliki kronik sendiri. Tradisi penulisan naskah yang kemudian disebut sebagai “Lontara” itu berisi mengenai catatan rinci mengenai silsilah keluarga, wilayah kerajaan, catatan harian serta catatan lain yang dipandang penting, misalnya : daftar kerajaan bawahan serta naskah perjanjian bilateral maupun intra-kerajaan sendiri, yakni antara penguasa dan rakyatnya.
Lebih lanjut beliau menguraikan pula, bahwa Kronik Bugis-Makasar dipuji oleh Ilmuwan Barat sebagai sesuatu yang objektif dan bisa diandalkan kebenarannya. Hal itu, paling tidak berlaku untuk catatan mengenai periode 1400 Masehi dan seterusnya. Saat kronik tersebut ditulis berdasarkan dokumen dan peristiwa nyata yang terjadi pada saat itu.

2. Regalia
Seorang tokoh Tomanurung dan To Tompo senantiasa meninggalkan benda-benda pribadinya yang kemudian menjadi Regalia (Kalompoang/Arajang) pada negerinya. Benda-benda pusaka itu masih dapat dilihat sampai kini, diantaranya :
- DokE Pakka (Bessi PakkaE) di Luwu, peninggalan ManurungngE La Toge’langi Batara Guru,
- La Bunga Waru, peninggalan ManurungngE La Toge’langi Batara Guru,
- Sudanga, peninggalan KaraEng Bayo,
- La’lang SipuEa, peninggalan Manurungnga ri TamalatE,
- La TEakasi, peninggalan La Matatikka Tompo’E ri Buakkajeng,
- BElua’ ManurungngE, rambut ManurungngE ri Sekkanyili’,
- Dll..

3. Legenda Tempat
Daerah-daerah yang dinamai oleh ManurungngE dan Tompo’E masih ada bertebaran di seluruh kawasan Sulawesi Selatan dan Barat hingga saat ini.

4. Gaukeng (tradisi)
Tradisi yang diajarkan oleh ManurungngE dan Tompo’E masih lestari pada kalangan-kalangan tertentu hingga saat ini, misalnya : Alu’ Todolo, Tolotang, Patuntung, dll.

5. Keturunan
Keturunan para ManurungngE dan Tompo’E yang banyak bertebaran di Sulawesi Selatan dan Barat hingga kini masih ada yang dibuktikan dengan pelestarian ke-empat hal diatas.

Adalah hal yang kemudian menjadi penguat dalam memahami hakekat keberadaan para ManurungngE dan Tompo’E, yakni berkat wejangan Puekku Prof. Dr. Andi Ima Kesuma, M.Pd. kepada kami, : “..pahamilah bahwa hakekat Orang Luwu sejak Sawerigading hingga saat ini masih tetap ada, tapi nanti dia dicari barulah dia akan muncul..”.

Nun wal Qolami wamaa yasturuun, Wallahualam Bissawab.

Daftar Bacaan :
1. Andi Zainal Abidin, Prof. Mr. Dr. ; 1985, Bandung, Alumni;
2. Andi Mattulada, Prof. Dr, ; 1998, Makassar, Universitas Hasanuddin Press;
3. Christian Pelras ; 2006. Manusia Bugis, Jakarta, Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris;
4. Shelly Errinton, Dr : 1977. Makalah ; Siri, Darah dan Kekuasaan Politik Di Dalam Kerajaan Luwu Zaman Dulu, Ujung Pandang, Majalah Bingkisan Sulawesi Selatan Tahun I-II.

Rabu, 08 Agustus 2012

" ................................ "


Tertulis indah pada bacaanku,
jika hidup terkadang tidak ramah;
Lelah kaki melangkah,
..menapak setapak berbatu..
Merindu sejuknya air,
..fatamorgana itupun melukis citra,
Sekedar perintang putusnya asa..

Pernah kukeluhkan,
..jika pena ini merintih sejak lama;
Kering tintanya menggores,
..permukaan lembar hari ini terluka..
Setidaknya kau tahu,
..kalau syair ini sesungguhnya gagu,
Ketika kata enggan menghimpun diri,
..kalimat hati bercucuran darah.

Wahai dikau yang terperangkap,
..pada ruang rindu tak berpintu,
Melintaslah lagi,
..dan lagi,
Hendak kutoreh sketsa
..pertanda hidupmu,
..dan hidupku,
Hidup kita.


Parepare, 8 Agustus 2012
Jika sebuah kolam teduh terhampar
Pada setiap hati ?
Dinginkan jiwa...
Tenangkan sukma...
Dengan seulas senyum...
Terima saja..
Agar waktu kelak tetap mengalirkan airnya,
..hingga muara nasibnya membaur sejarahnya,
Tentang pencarian yang berujung,
Entah ketemu atau tidak ketemu..
..namun satu yang senantiasa ada,
Kasih sayang selalu menghuni nurani,
Ikhlas berucap dihias seulas senyum maklum,PaREpA