Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Kamis, 02 Desember 2010

Ininnawa

Wawang Asogireng

Tahun 1994, penulis pertama berkenalan dengan seorang Budayawan Parepare, bernama : H. Zainuddin. Seorang tua yang dikenal dengan 2 nama lainnya, yakni : Andi Potong dan H. Gandaria. 
....................................................................

Selama merambah Dunia Budaya Bugis, penulis belum pernah menemukan seorang Budayawan yang begitu piawai menguasai hal ikhwal "Wari" (Protokoler Istana) sebagaimana beliau. Pengalamannya sebagai seorang "Bissu" (Pendeta Banci) dimasa mudanya, serta pernah pula menjadi seorang "Pattumaling" (Protokoler) dalam lingkungan Saoraja Soppeng (Istana Kesultanan Soppeng) membuat penulis terpaksa harus pulang malam dalam upaya menimba pengetahuan darinya. Namun tetap juga saya harus menyadari, jika butuh waktu seumur hidupku menimba pengetahuan yang berasal dari pengalaman yang dialaminya.

Sisi lain yang membuat beliau terkenal adalah kesuksesannya sebagai seorang niagawan. Pada masa tuanya, beliau masih aktif membina kedua hotelnya (Hotel Gandaria I dan Gandaria II) di Parepare. Tetap dalam lingkungan Hotel Gandaria, beliau pula membina sebuah museum pribadi yang dikenal sebagai : Museum H. Zainuddin. Pada museum itulah, penulis melihat koleksi yang tak ternilai harganya. Perbendaharaan harta benda yang jauh melebihi nilai saham-saham Bp. H. Gandaria yang kuketahui banyak pula di Timur Tengah. Begitu pula dengan koleksi Batu Berliannya yang berkisar 1/4 liter, koleksi benda-benda bersejarah dalam museum itu jauh lebih bernilai. Apa saja isi museum itu ?, mungkin seperti itulah pertanyaan anak-anakku yang penasaran, sekiranya kelak kututurkan ininnawa ini.

Pada suatu kesempatan, penulis bersama Kakanda H. Andi Pajung, S.Pd, M.Pd sempat diantar sendiri oleh Alm. Etta Aji Gandaria kedalam ruang museum itu. Pada ruang depannya, kami disambut berbagai macam tombak pusaka yang dipasang berdiri, berjejer bagaikan pagar. Beberapa diantaranya berlapis emas dan perak serta bertatahkan batu permata. Dalam ruang itu pula ditemui banyak keris dan badik dalam berbagai jenis. Kemudian pada ruangan lainnya, terpajang pula berbagai jenis "Pao Jengki" (biji mangga yang berukuran sebesar bola basket) yang pada pinggirnya dihiasi emas dan perak pula. Lalu pada suatu ruang khusus yang tempatnya dirahasiakan, beliau membuka penutup lubang yang isinya hampir penuh oleh berbagai benda terbuat dari emas, namun penuh oleh binatang kelabang yang besar-besar. Pada tempat itulah, kami diperlihatkan sepasang pakaian adat bugis lengkap dengan segenap perhisannya yang kesemuanya terbuat dari emas murni. Sepasang baju sirah yang terbuat dari emas murni !. Terdengar bagai dongeng, namun kami telah menyaksikannya.

Pada kesempatan itu pulalah, penulis bertanya : "Etta Aji, tapagguru mana' wawang asogirengta.." (Pamanda, ajarkanlah pada ananda perihal ilmu kekayaan..). Maka beliau memberitahukan pada kami sebuah kalimat yang mesti kami hapalkan dan camkan sebaik-baiknya. "Magampangengngi polEanna dui'E naiya balancangenna" (Lebih mudah menghasilkan uang daripada membelanjakannya), begitulah bunyi kalimat itu. "Ah, yang benar saja. Apa tidak terbalik ?!", pikirku. Saya mampu membelanjakan uang berapapun dalam waktu singkat. Andai seseorang memberiku uang 2 Milyar Rupiah dengan persyaratan harus dibelanja habis dalam waktu semalam dan tidak boleh disumbangkan, saya yakin mampu melakukan itu. Siapapun orang boros sepertiku, pasti bisa pula melakukannya.

Akhirnya beliau menjelaskannya jua. Bahwa setiap manusia yang mau berusaha, pasti akan mendapatkan hasil dari usahanya tersebut. "Man jadda wa jadaa'", barang siapa yang mencari, pasti dapat. Itu adalah janji Allah SWT. Namun setelah mendapatkan serta membelanjakan uang hasil usaha itu, apakah anda yakin jika sesuatu yang dibelanja itu "sepadan" dengan "pengorbanan" dalam usaha mendapatkan uang itu tadi ?.

Seseorang yang dalam suatu usahanya mendapatkan uang Rp. 50.000,-, terpaksa haruslah mengeluarkan keringat sebanyak 1/2 liter disertai beberapa urat-urat tubuhnya kendor akibat pekerjaan berat itu. Kemudian dalam perjalanan pulang ke rumahnya, teman-temannya memanggilnya singgah di Cape. Terpaksa ia pun singgah seraya memesan segelas wyski Johnny Walker Black Lebel yang seharga Rp. 49.000,-. Maka orang tersebut dianggap "tidak bisa" membelanjakan uang.

Ternyata sulit menjadi "orang kaya harta", pikirku. Kadang hati haruslah dimiskinkan sedemikian rupa dengan begitu banyak perhitungan untung rugi. Maka hingga hari ini, saya belumlah jadi kaya.

Wallahualam Bissawwab..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar