Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Sabtu, 04 Juni 2011

Ininnawa

Karakter Berbudaya kita kini..


Gedung Mulo - Makassar, 23 Mei 2011..  aku adalah salah seorang yang beruntung dapat menyaksikan "Lomba Cerita Rakyat dan Pantun" sebagai salahsatu rangkaian kegiatan dalam Lomba Seni Budaya Serumpun yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan..
 ...................................................................................

Tiada banyak yang dapat kugambarkan tentang perasaanku hari itu, selain takjub dan terperangah menyaksikan penampilan para seniman muda yang mewakili masing-masing kab/kota diseluruh Sulawesi Selatan. Mereka rata-rata tampil dinamis dengan penuh apresiasi terhadap perannya masing-masing dengan mengajak penonton untuk terlibat dalam pementasannya, sehingga aku yang menonton pada salahsatu sudut depan kadang tak sadar berdiri seraya menjawab dialog penuturan mereka..

"Bangsa ini sungguh sangat tidak layak jika budaya luhurnya TERPURUK pada suatu masa.. Betapa tidak, pucuk-pucuk generasinya begitu tegar dan dinamis seperti ini.. ?", demikian batinku. "Ataukah mungkin karena akibat karakternya yang terlalu DINAMIS sehingga mudah khilangan arah ?!..", kata sudut hatiku yang lain. "Ah, era memang harus berubah.. roda budaya selalu berputar sepanjang sisa umur dunia, maka mengertilah..", rajuk "Sang Ininnawa" menengahi dialog antar hati dan pikiranku saat itu.

Kegamangan dalam benak kecilku timbul ketika mengikuti acara Technical Meeting, semalam sebelum kegiatan lomba itu dilangsungkan. Aku sempat terperangah oleh "penjelasan" Panitia Penyelenggara yang menjelaskan jika kegiatan Lomba Seni Budaya Serumpun ini adalah merupakan acara tahunan yang kini sudah berjalan selama 5 tahun. Ide kreatifitas penyelenggaraannya berawal pada "kekaguman" terhadap seni tutur monolog dari Aceh yang begitu dinamis dan piawai dalam bertutur sambil menggunakan media-media sederhana. " Maka seperti itulah yang kami inginkan, sekiranya seniman-seniman kita dapat menuturkan cerita rakyat kita yang sarat dengan pesan-pesan moral yang luhur...", katanya. "Dengan demikian, kita dapat melestarikan nilai-nilai luhur kebudayaan kita dengan selalu mengupayakan inovasi-inovasi kreativitas..", kuncinya mantap.

Seketika itu, aku tidak habis pikir oleh banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang menggoda benakku. Namun setuju atau tidak setuju, aku menyadari jua jika pertanyaan-pertanyaan dialogis itu tidak mungkin kuajukan, mengingat tema pertemuan malam itu adalah Technical Meeting.

"Bagaimana bisa MELESTARIKAN seni budaya Sulawesi Selatan dengan mengadopsi bulat-bulat Budaya Aceh ?..", pekik tanya hatiku, penasaran. Apakah anda pura-pura lupa jika bangsa Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar memiliki pula budaya  "Sastra Lisan" yang tak kurang bernilai dibanding suku-suku Bangsa lainnya di negeri ini ?. Orang Bugis piawai dengan seni tutur "Massure'" dan Orang Makkassar memiliki pula seni budaya "Sinrilik" yang bernilai sastra tinggi.

Esok harinya, perlombaan Seni Budaya Serumpun itu dimulai. Maka seniman dari Wajo pun melantungkan Pantun Melayu dengan melagukan irama sebagaimana halnya gurindam. Maka akupun menggumam, "inilah profil budaya kita kini..". Maka tidak heran jika pementasan "CandolEng-dolEng" sempat tumbuh subur dengan budaya sawernya yang merambah hingga pelosok paling dalam jazirah ini...

Wallahualam bissawwab..