Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Minggu, 19 Desember 2010

Ininnawa


Harga sebuah Ininnawa (Nurani)

Ini bukanlah kisah tentang kejujuran seseorang. Melainkan cerita tentang  sebuah "Nurani" yang berhasil memenangkan nafsu tamak yang selama ini kerap memenangkan pertarungannya.
..........................................................................

Parepare tahun 1994, Dyong telah berada kembali di kampung halamannya. Ia telah menikah dan memiliki seorang putera berumur hampir setahun. Seorang ayah muda yang berstatus pengangguran. Maka ia tinggal di rumah orang tuanya di pinggir kota kecil itu. Sementara kedua orang tuanya kembali menetap di Belawa, tanah kelahirannya. 

Memiliki keluarga kecil tanpa pekerjaan tetap adalah sebuah pengalaman tersendiri yang kini dialaminya. Si kecil kini harus meminum susu tambahan dan memakan bubur susu yang harus didapatkan pakai uang. Belum pula dengan sebungkus rokok yang ditelannya bulat-bulat setiap hari. Jangan lagi dengan sang isteri yang kadang merasa risih untuk hadir pada acara-acara pesta perkawinan para kerabat, karena terpaksa mengenakan baju kebaya pengantinnya sejak 2 tahun lalu. Lalu bagaimana pula halnya dengan belanja dapur ?. Si Dyong sih gak pusing-pusing amat. Walau sulit begitu, ia adalah anak petani dari Belawa. Mereka tidak pernah kekurangan beras dan ikan kering. Begitu pula dengan minyak goreng, segalanya didatangkan dari kampung kelahirannya itu. Pokoknya segalanya ditanggung gratis. Asal selera makan dapat dipertahankan. Jangan menuruti kata lidah, turuti saja kemauan perutmu. Begitulah prinsif hariannya.

Namun demikian, beban moril sebagai penganggur total tetap menderanya tiap hari. Pagi-pagi iapun tetap pamit kepada isterinya untuk mencari pekerjaan yang cocok. Sertifikat Akademi Pariwisata yang didapatnya di Bali, agaknya tidak begitu laris seperti perkiraannya semula. Map-map kuning yang disetornya pada banyak tempat mulai lusuh, namun belum pula mendapatkan hasil yang diharapkannya. Maka  iapun lebih sering molor siang-siang di rumah teman-temannya. Si Dyong selalu gelisah jika waktu ashar menjelang, saat ketika ia harus pulang ke rumah. Ia tidak tega membayangkan pandangan mata isterinya yang berbinar penuh harapan. “Pa.. Bagaimana hasilnya ? Adakah ?”, tanyanya selalu sambil melepas jaket suaminya. 

Hingga pada suatu waktu, nasib mempertemukannya dengan seorang Juragan Hotel di Parepare, yakni : H. Gandaria. Minatnya yang besar terhadap benda-benda seni kuno membuatnya mondar mandir di rumah orang tua itu.  Pada suatu hari,  Budayawan  tua itu  memperlihatkan sebuah bungkusan kuning kepadanya.

"Ketahuilah, nak. Dari sekian banyak koleksiku, barang  inilah yang paling mahal"
"Wah, memangnya barang apa, etta aji ?", tanya Dyong penasaran.

Ia membuka bungkusan itu, ternyata isinya adalah sebuah Kitab Suci Al Qur'an yang sangat indah. Sampulnya berbahan kulit rusa yang diukir. Kertasnya yang agak tebal sudah kekuning-kuningan saking tuanya. Tulisan ayat-ayat sucinya yang menampakkan ciri  tulisan tangan yang sangat indah dalam bingkai ornamen bunga-bungaan yang bernilai seni tinggi.

"Tapi masa kitab kuno ini lebih mahal dari keris emas, etta aji ?"

"Ya, memang lebih mahal. Beberapa hari yang lalu, seorang kenalanku yang kolektor di Gowa menawar kitab ini seharga 2 Milyar Rupiah.". "Waaah ?!", Si Dyong  meleletkan lidah seakan tak percaya.
"Koq tidak dijual saja, Etta Aji ?", tanyanya penasaran. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, orang tua kaya raya itu menjelaskan perihal Kitab Al Qur'an itu.

Kitab Al Qur'an tulisan tangan itu adalah sebuah barang langka. Konon, kitab itu adalah kitab suci yang dibawa oleh 3 Datuk penyiar Agama Islam ke Tanah Bugis. Setelah para mubalig itu berhasil menanamkan syiar Islamnya di Sulawesi Selatan, mereka menyimpan ketiga kitab itu pada 3 Kerajaan terbesar dan berpengaruh. Sebuah kitab disimpannya di Gowa, kemudian yang satunya pula disimpan di Luwu, lalu yang terakhir disimpannya juga di Bone.

"Kitab yang di Luwu masih tersimpan di Istana Luwu sampai sekarang. Kemudian yang tersimpan di Bone telah hilang, lalu kitab yang dulunya di Gowa adalah kitab yang kupegang ini.", jelas orang tua itu dengan bangga. "Maka jelaslah, bahwa kelangkaan serta nilai kesejarahan kitab ini yang membuat saya untuk mempertahankannya hingga sekarang. Padahal sudah banyak orang yang ingin membelinya..", lanjutnya.

"Etta Aji, bagaimana jika suatu waktu  saya dapatkan pula barang yang sama ? Maukah  orang membelinya 2 milyar ? “
“Kenapa tidak ?. Tapi.. kecil kemungkinan kau dapat menemukannya, anakku. Tidak usah berangan-angan untuk mencari sesuatu yang tidak jelas keberadaannya..”.

Malam yang telah larut merambati subuh. Dyong tidak bisa memejamkan mata sedikitpun. Percakapannya dengan H. Gandaria tadi siang menggoda pikirannya. Masalahnya, ia tahu dimana mendapatkan Al Qur’an tulisan tangan yang persis dengan yang dilihatnya tadi siang. 

Sejak beberapa abad, keluarganya telah menyimpan Al Qur’an tulisan tangan yang sangat dikeramatkan. Kitab Suci itu kini berada dalam perawatan tantenya, sepupu sekali ayahandanya di Belawa. Setiap tahun. Al Qur’an itu diupacarakan  sehingga kertasnya penuh noda darah ayam yang telah mengering. Konon, pada jaman dulu ketika wabah penyakit kolera berjangkit di Kabupaten Sidrap, maka Al Qur'an pusaka itu ditandu mengelilingi wilayah Belawa. Maka atas kuasa Allah, wabah itu tidak sampai berjangkit di daerah itu. Subhanallah, mending kitab suci itu kujual saja, daripada diolesi najis dan dikhurafatkan seperti itu. Tapi bagaimana caranya ?. Tantenya pasti berkeras mempertahankannya, pikirnya gundah.
.....................................................................................

Wanita tua renta itu memeluk Dyong dengan  mesranya ketika ia mencium tangannya. Seorang wanita yang kini  berumur 70-an tahun itu sejak dulu selalu ramah dan baik padanya. Sepupu sekali ayahandanya yang dipandangnya bagai ibunya sendiri.  Bertemu dengannya selalu menimbulkan haru.

“Kuru sumange’mu, anakku. Sejak lama ibu merindukanmu..”
“Iye. Etta. Anakda datang kemari karena rindu pula..”

Tante dan kemenakan itu berbincang-bincang mengenai banyak hal sebagai pelepas rindu. Setelah makan siang bersama, mereka duduk kembali di beranda tengah sambil melanjutkan perbincangannya. Sambil mendengarkan penuturan tantenya, Dyong berpikir keras bagaimana mendapatkan moment yang tepat untuk memulai misinya “meminjam” Al Qur’an Pusaka tersebut.

“Nak, saatnya kau berpikir untuk memulai membangun rumah sendiri..”
Wah, kebetulan nih, inilah dia. Momen  yang  ditunggu – tunggu akhirnya tiba juga.
“Inilah yang membuat anakda datang kemari, etta..”
“Apa gerangan, anakku ?”
“Semalam anakda bermimpi aneh...Anakda tidak tahu takwilnya.”
“Ceritakanlah mimpimu itu, nak..”
“Ananda melihat diri sedang membangun sebuah rumah besar di puncak gunung...”
“Subhanallah, itu mimpi yang sangat baik, anakku..”
“Tapi inilah masalahnya, etta..”, kata Dyong dengan mimik lesu.
“Bagaimana, anakku  ?!”, tanya tentenya dengan cemas.
“Dalam penglihatan ananda ketika rumah  panggung itu didirikan, tiba-tiba terdengarlah suara tanpa wujud...”
“Apa katanya .. ?”, potong orang tua itu tidak sabar.
“Katanya.. Wahai, Dyong. Kalau kau tidak membaca sampai tamat Kitab Suci pusaka leluhurmu, maka rumah yang sedang kau bangun ini tidak akan kuberi atap.., demikian, etta.”
Orang tua itu menarik nafas lega seraya tersenyum bijak.
“Ah, kukira apa. Mudah saja itu, anakku. Kitab Suci itu ada padaku. Kau bisa meminjamnya dulu selama 2 bulan...”.

Mendengar kata tantenya itu, Dyong hampir bersorak saking gembiranya. Tak disangkanya semudah itu. Mimpi  jadi milyuner sudah diambang mata, pikirnya. Orang tua itu masuk ke kamarnya lalu keluar membawa bungkusan kain yang persis sama dengan yang dilihatnya pada H. Gandaria.

“Terimalah, anakku. Tapi.. tolong dijaga jangan sampai hilang. Dulu, ketika Saoraja (Istana) sedang terbakar, saya tidak memperdulikan keselamatan diri dan anak-anakku. Al Qur’an ini yang terlebih dahulu kuselamatkan. Maka kitab ini  jauh lebih berharga dari pada jiwaku...”, katanya sambil menyodorkan bungkusan itu pada si Dyong.

Setibanya di Parepare, Dyong duduk termenung di kamarnya sambil mengayun buaian puteranya. Kitab kuno yang menjanjikan uang milyaran rupiah itu tergeletak pula dihadapannya. "..uwangke'i iyE naiyya nyawaku, ana'. " (..lebih kuhargai ini daripada nyawaku, anakku.). Kalimat itu seakan berdengung dan berputar dalam benaknya. Kata terakhir dipenghujung "acara serah terima" oleh seorang tua yang percaya penuh pada "kebohongan" yang dikarangnya sendiri. Seorang bibi yang menaruh kepercayaan dan harapan besar terhadap "ilham palsu" kemenakannya yang badung tersebut. Harapan yang tiada lain hanya menginginkan agar kemenakan yang ditempatkan sebagai putera kesayangan dalam sanubarinya itu, dapat pula hidup layak sebagaimana orang lain. Harapan yang jernih tanpa mengharap pamrih atau apapun baginya. Dyongpun dapat melihat dan merasakan ketulusan itu.


"Pa, apakan tante tahu jika kau mau menjual pusaka ini ?", tanya isterinya yang masuk ke kamar seraya membawa secangkir kopi dan sepiring pisang goreng.
"Tidak, ma...", sahut Dyong seraya menggeleng lesu.
Ibu muda itu terpana seraya menatap mata suami penganggurannya itu dalam-dalam. Ia sangat tahu dan mengetahui seluk beluk watak lelaki yang pertamakali dikenalnya sebagai pemuda badung di Denpasar ini. Mereka bertemu dan saling mengenal di rantau Bali. Keduanya menikah di Jombang, Jawa Timur lalu Dyong membawa isterinya ini pulang ke Sulawesi.


"Pa.. Aku mengenalmu sebagai orang yang bernurani. Selama ini aku tidak menuntut apa-apa yang tidak bisa kau adakan untukku.  Akupun bersedia mengikutimu kemanapun kau pergi, namun pintaku hanya satu. Janganlah kau hidupi aku dan puteramu ini dengan  rezeki haram...itu saja.", ujarnya lembut namun tegas. Dyong tidak menjawabnya selain mengangguk seraya meneguk kopi hangat dicangkirnya yang usang. Air kopi yang manis-manis pahit itu kini terasa pahit dan getir memasuki tenggorokannya. Andai ia pernah meminum secangkir kopi yang dicampur dengan serbuk arang baterai mati, mungkin seperti itulah rasanya ketika itu.
...........................................................................



"Wah.. betul-betul persis, nak. Bagaimana dan dari mana kau dapatkan benda ini, nak ?", tanya H. Gandaria antusias.
"..sebenarnya ini adalah salahsatu dari pusaka keluarga kami, Etta Aji.". Dyong kemudian menceritakan hal ikhwal Al Qur'an Pusaka itu selengkapnya. Sang Budayawan yang mantan Puang Matoa Bissu itu mendengarkan dengan seksama sambil membuka dan memeriksa setiap lembaran Kitab Suci itu.
"Kalau begitu, Insya Allah besok kita berangkat ke Gowa besok. Namun terlebih dahulu kita singgah duli di kediaman Prof. Darmawan untuk memfoto scan kitab ini.. bersiap-siaplah jadi orang kaya, nak.".
"Terserah Etta Aji saja, bagaimana mengaturnya dengan baik. Ananda hanya menurut saja.", kata Dyong kemudian memohon pamit.

Bunyi detak jam dinding kini terasa sangat jelas. Malam telah larut, namun Dyong tidak bisa terlelap sedikitpun. Ia menoleh kesamping, isterinya telah tertidur sambil mengeloni si kecil. Ia terbangun seraya keluar kamar menuju ruang tengah. Disulutnya sebatang rokok lalu menghisap asapnya dalam-dalam. "Sadia-sadiani' mencaji tau sogi, na'.." (Bersiaplah menjadi kaya, nak..), demikian kata H. Gandaria yang selalu menggoda pikirannya.

Uang 2 milyar rupiah, atau anggap saja 1,5 milyar setelah dipotong zakat dan pajaknya, itu uang yang sangat banyak. Biarlah yang 1 milyar itu kuberikan saja kepada tanteku untuk dibelanja bersama anak cucunya. Sementara sisanya, kurasa 500 juta sudah cukup kujadikan modal usaha, demikian pikirnya. Namun lagi-lagi perkataan tantenya tentang nilai yang lebih berharga dari hidupnya itu menggedor nuraninya. Keringat dingin deras mengucur disela-sela rambut kepalanya. Si Dyong kini resah oleh kebimbangan yang mengombang-ambingkan jiwanya. Asap pembakaran tembakau rokoknya membuat sinar lampu diberanda tengah itu menjadi temaram. Asbak didepannya sudah penuh potongan-potongan filter rokok bagai belatung yang berkerumun. Dyong tertidur dilantai, entah mermimpi ataukah mungkin juga tidak sama sekali.

Dyong barulah terbangun setelah isterinya membangunkannya. "Pa.. bangun. Matahari telah tinggi. Ada tamu dari Hotel Gandaria..", katanya. "Persilahkan saja duduk dulu. Aku cuci muka dulu..", jawabnya sambil menyambar handuk lalu berlalu ke kamar mandi.

"Oh, ternyata kau Pak Masang..", sapa Dyong pada seorang lelaki yang dikenalnya sebagai supir pribadi H. Gandaria.
"Iye', ndi' . Nasuruhka' Puang Aji jemputki'. ", jawabnya dengan logat Pareparenya yang kental.
"Kalau begitu, minum maki' dulu kopita'. Mauka' dulu pakEan", timpal si Dyong pula.

Di dalam kamarnya, Dyong duduk bertopang dagu. Iapun gundah kembali. Kali ini, jantungnya semakin terasa berdebar-debar tak karuan. Nilai hidup tantenya kembali menggugah pemikirannya, meresap hingga nuraninya yang terdalam. "Ah, sudahlah...", gerutunya seraya melangkah ke kamar tamu.

"Maafkan, Pak Masang. Anda sampai menunggu lama.."
"Ndak apa-apa, ndi'. Sudah siap berangkat ?"
"Inilah.. Masalahnya saya merasa tidak enak badan hari ini.."
"Lalu bagaimanami dengan Puang Aji ?. Sudah siap-siapmi tadi berangkat.."
"Tolong disampaikan permohonan maaf saya.. Saya tidak bisa berangkat kemana-mana hari ini.."
"IyE'.., na pucat memang jE' kulihat mukata, ndi'.."

...................................................................................

Beberapa hari kemudian, H. Gandaria sendiri yang bertandan menemui si Dyong.
"Kenapa mesti ragu, nak ? Kau bukannya menjual benda pusaka itu. Melainkan kau justru melestarikannya. Karena jika dipelihara di rumah tantemu, lama kelamaan Manuskrip suci itu akan hancur karena tidak terawat sebagaimana mestinya. Lagipula, Al Quran suci itu selalu diolesi dengan darah ayam.. itu dosa besar...", jelasnya panjang lebar. Dyong mendengarkan dengan tenang. Wajahnya kini berseri-seri.
"Maafkan ananda Etta Aji. Kemarin anada telah mengembalikan Kitab Al Qur'an itu pada tanteku. Ananda tidak mampu melawan kata 'Ininnawaku" sendiri.. Sekali lagi, maafkan ananda..", kata Dyong dengan sungguh-sungguh.
.................................................................................

Ininnawa.. Nurani kemanusiaan yang senantiasa berkata benar. Sesuatu yang selalu ada pada setiap inzan. Hanya karena hingar bingarnya kehidupan, sehingga kadang suaranya tak terdengar. Suaranya yang lembut nan berbudi bahasa halus itu hanya dapat disimak dalam suasana hening....

Puang BeccE' Pamuri, tante Si Dyong telah wafat pada tahun 2008 yang lalu. Pada saat akhirnya, Dyong memegang erat jemari tantenya tercinta hingga Jiwa itu telah kembali kepada pencipta-Nya. Wafat dengan tentram dalam hantaran merdu kalimah "Laa Ilaaha' Illallahu, Muhammadarrasulullah..".  Adapun halnya dengan Al Qur'an Tua itu, kini berada dalam perawatan putera tertua tantenya, yakni : H. Massarasa di TippuluE. Belawa.

Nurani kebenaran telah memenangkan pertarungannya hari ini. Bagaimana pada pertarungan berikutnya esok ? .. Kita lihat besok saja.

Wallahualam Bissawwab..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar