Ksatria Makassar, menantang badai ! (bag. 2)
Gervaise, seorang pendidik dan juga seorang penulis dalam lingkungan istana Louis XIV, Kaisar Perancis. Beliau adalah putera salah seorang dokter pribadi Louis XIV, lalu menulis banyak hal tentang Makassar berdasarkan informasi dari kedua muridnya yang merupakan bangsawan Makassar. Suatu hal yang luar biasa bagi seorang yang justru belum pernah menginjak tanah Makassar.
Kedua putera Makassar itu adalah anak angkat Kaisar Louis XIV yang diserahkan kepada Gervaise untuk mendapatkan bimbingan Bahasa Perancis dan Protokoler kebangsawanan Perancis. Maka tulisan ini adalah kilas balik keberadaan kedua Bangsawan Makassar tersebut, masing-masing bernama : Monseigneur Luis Pierre Daeng Ruru de Macassart dan Louis Dauphin Daeng Tulolo de Macassart yang berhubungan langsung dengan "Daen Maale" (Daeng MangallE) sebagaimana dikisahkan kembali berikut ini.
............................................................................
Telah dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa Daeng MangallE adalah salah seorang petinggi Kerajaan Gowa (Makassar) yang tidak menyetujui Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 Nopember 1667. Beliau menolak keras menandatangani perjanjian tersebut. Namun tidak seperti para petinggi lainnya yang menolak pula perjanjian itui, Daeng MangallE untuk sementara tetap bertahan untuk tinggal di Kerajaan Makassar.
Diberitakan lebih lanjut oleh Gervaise, bahwa akibat dari penolakannya terhadap perjanjian itu, pihak Belanda mencari akal agar Daeng MangallE dibenci oleh "Craen Sombanco" (baca : KaraEng Sombangku I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin). Maka melalui seorang gundik yang dapat disogoknya, rencana licik itu berjalan dengan mulusnya. Gundik itu berhasil meyakinkan Sultan, bahwa Daeng MangallE yang memang tidak terlalu disukai itu, sedang mengatur sebuah rencana jahat terhadap diri Sultan, demi melanjutkan perang terhadap VoC Belanda dan sekutunya (Arung Palakka).
Mengingat karakter Daeng MangallE yang memang keras kepala dan kadang membantah kebijakan Sultan, maka fitnah yang dilancarkan oleh gundik itu sangatlah masuk akal. Sultan sendiri dapat menilai situasi dan kondisi para petinggi yang membantunya selama ini. KaraEng Karunrung (Mangkubumi Kerajaan Makassar), KaraEng Bontomarannu (Laksamana Besar Angkatan Laut Makassar), I Mannidori KaraEng GalEsong (Panglima Angkatan Darat, Putera Sultan Hasanuddin), La Tenri Lai' Tosengngeng Arung Matowa Wajo (Sekutu, menantu Sultan Hasanuddin) serta banyak lagi yang lainnya, mereka adalah orang-orang yang bertemperamen tinggi serta memiliki keberanian yang tidak lumrah. Tetapi sesungguhnya mereka tidak pernah ada yang berani membantah kebijakan Sultannya. Sesuatu yang membedakan dengan kepribadian Daeng MangallE', sepupu Sultan ini (Gervaise menulisnya sebagai Adik Sultan). Akhirnya Sultan mempercayai fitnah itu, lalu menyuruh pemberani kepercayaannya untuk membunuh Daeng MangallE'.
Mengetahui jika dirinya telah dijatuhi hukuman mati, pemuda ksatria yang pemberang ini memilih untuk menyingkir dari Kerajaan Makassar. Walau bagaimana keras wataknya, namun jauh didalam lubuk hatinya tersimpan rasa hormat yang tulus terhadap Sultan, Kakandanya yang diketahuinya dengan pasti sebagai Manusia Bijak. Adalah "Siri" jika menentang "Tunisombayya" (Yang Dipertuan Raja Gowa) dengan kekerasan senjata pula. Maka dengan ditemani oleh kedua pengawal kepercayaannya, beliau meninggalkan tanah Makassar berbekalkan emas permata yang disiapkannya sebelumnya.
Pelarian secara diam-diam itu membawanya bergabung dengan kontingen yang membawanya ke Pulau Jawa untuk melanjutkan peperangan dengan VoC Belanda, langsung pada pusat komandonya (Batavia). Suatu rencana yang justru sangat sesuai dengan kata hatinya. Dikemukakan oleh Sejarawan Prof. MR. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH, bahwa pasca Perjanjian Bungaya mengakibatkan terjadinya gelombang ekspedisi para petinggi Kerajaan Makassar dan sekutunya menuju Kerajaan Banten di Pulau Jawa bagian Barat.
Gelombang pertama adalah ekspedisi yang dipimpin oleh Laksamana Besar KaraEng Bontomarannu. Dalam kontingen itu ikut pula para pembesar Kerajaan Makassar beserta dengan lasykarnya, antara lain disebutkan : Sultan Harun Al Rasyid (KaraEng Tallo), I Ata TojEng DaEng Tulolo (Adik Sultan Hasanuddin), I Manindori KaraEng MangEppE' dan Syaiful Muluk KaraEng Bonto Majannang. Ekspedisi perang ini terdiri dari 4 armada dengan kekuatan 800 Lasykar yang bersenjata lengkap. Mereka merapat di Pelabuhan Banten pada tanggal 19 Agustus 1671 (Zainuddin Tika dkk, Daeng Ruru Panglima Perang Kerajaan Perancis, Pustaka Refleksi - Makassar 2008). Menurut Lontara Bilang Gowa, bahwa Syaiful Muluk KaraEng Bonto Majannang dan I Ata TojEng DaEng Tulolo adalah orang yang sama.
Gelombang kedua dipimpin oleh Settia Raja Opu Cenning Luwu (Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung Luwu XIX) dan I Muntu DaEng Mangappa (Putera KaraEng Bontomarannu), terdiri dari 2 armada dengan 350 Lasykar bersenjata lengkap pula. Kontingen ini mendarat di Banten pada tanggal 16 September 1671.
Gelombang ketiga dipimpin oleh I Mannidori KarE' TojEng KaraEng GalEsong (Putera Sultan Hasanuddin), dimana dalam kontingen inilah yang diikuti Abdul Hamid DaEng MangallE' bersama kedua pengawal setianya dan para tokoh besar Kerajaan Makassar yang lainnya. Mereka itu adalah, I Adulu' DaEng MangallE (Putera Sultan Hasanuddin), I Fatimah DaEng Takontu (Puteri Sultan Hasanuddin yang terkenal sebagai Panglima Srikandi Balira) dan La Mappa Arung Tonra KaraEng Rappocini'. Kontingen inilah yang paling besar dibanding sebelumnya, yakni : terdiri dari 70 buah armada perang yang memuat 20.000 lasykar bersenjata lengkap. Mereka mendarat di Pelabuhan Banten dalam bulan Oktober 1671.
Tidak dapat dilupakan pula, bahwa hampir bersamaan dengan gelombang pertama ekspedisi tersebut diatas telah menyusul pula kontingen lain yang bertolak dari Pelabuhan Makassar , yakni : Lasykar Gabungan Melayu-Makassar berkekuatan 1.200 personel yang dipimpin oleh Ibnu Iskandar Datu Louadin, seorang Minangkabau yang tinggal menetap sebagai pemimpin masyarakat Melayu di Makassar (Prof. MR. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, Makalah : Bantuan para pengunsi Sulawesi Selatan pada Syekh Yusuf dalam perang Banten - 1993).
Perlu dikemukakan bahwa, para pembesar Kerajaan Makassar dan sekutunya yang menolak menghentikan perang dengan VoC Belanda ini, menjadikan Kerajaan Banteng di Pulau Jawa sebagai tujuan membuka front pertempuran baru, disebabkan adanya Syekh Yusuf Tajul Khalwati Al Makassari (Tuanta Salamaka). Beliau adalah seorang putera Makassar, menantu I Mangngurangi DaEng Manrabia Sultan Alauddin Sombayya Gowa XVI (kakek Sultan Hasanuddin) yang diangkat sebagai "Mufti Kerajaan Banten", lalu dipermenantukan pula oleh Abu'l Fath Abdul Fattah Sultan Ageng Tirtayasa, Raja Banten (1651-1692). Pada masa pasca Perjanjian Bungaya yang kontroversial itu, telah terjadi perselisihan dalam keluarga antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya sendiri, yakni : Sultan Abu Nashar Abdul Kahar yang dikenal pula sebagai "Sultan Haji".
Sultan Haji adalah seorang yang sangat loyal terhadap VoC Belanda, sesuatu yang justru sangat dibenci oleh ayahandanya. Terjadilah pendurhakaan seorang putera kepada ayahandanya demi menuruti bujuk rayu VoC Belanda yang teramat sangat mempengaruhi pola berpikirnya. Maka Perang Banten yang terkenal itu meletus, perang antara ayah dan anak yang disebut oleh Budayawan/Sejarawan/Sastrawan/Ilmuwan dan Ulama Pahlawan Buya HAMKA sebagai : Kesedihan Besar Banten yang kedua.
Perang Banten (1678-1684) antara Sultan Ageng Tirtayasa beserta puteranya yang lain bernama : Pangeran Hasan (Pangeran Purbaya) yang dibantu oleh Syekh Yusuf dan para pahlawan Perang Makassar melawan Sultan Haji yang dibantu sepenuhnya oleh VoC Belanda. Perang itu berkecamuk dengan dahsyatnya, mengakibatkan korban jiwa dan harta benda yang amat banyak. Suatu hal menarik yang sehubungan dengan topik tulisan ini, bahwa dalam situasi perang yang memanas itu, tokoh Abdul Hamid Daeng MangallE diangkat pula menjadi menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Pangeran Pemberani dari Makassar itu mempersunting puteri baginda,bernama : Angke Syafiah.
Dalam bulan April 1675, ditengah berlangsungnya Perang Banten yang melibatkan banyak tokoh berbagai bangsa itu, tibalah Pangerang Kejoran (Adipati Anom), seorang bangsawan tinggi Kerajaan Mataram di Banten. Beliau adalah mertua Raden Trunojoyo yang sedang membangun pergerakan melawan Prabu Amangkurat I, Sultan Mataram. Pangeran Mataram itu meminta bantuan kepada para petinggi Makassar untuk membantu pergerakan Raden Trunojoyo melawan dominasi VoC Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Atas pertimbangan Syekh Yusuf, maka I Mannidori KarE' TojEng KaraEng GalEsong dan KaraEng Bontomarannu memenuhi undangan itu, melanjutkan perjuangan melawan VoC di Front Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maka berangkatlah kedua pahlawan Makassar itu bersama segenap lasykarnya untuk bergabung dengan Raden Trunojoyo di Kediri yang diturut pula oleh DaEng Mangika (putera Sultan Muhammad Ali Sombayya Gowa XVIII), I Mappa Arung Tonra KaraEng Rappocini', KaraEng Mamampang dan Sultan Harun Al Rasyid KaraEng Tallo yang disertai oleh para lasykar Bima. Dalam bulan itu pula, susul menyusul pahlawan lainnya untuk membantu Raden Tunojoyo, yakni : I Muntu Daeng Mangappa dan I Ata TojEng DaEng Tulolo bersama segenap lasykarnya pula (perihal riwayat ini akan disusun dalam judul tulisan lain, penulis).
Sepeninggal beberapa tokoh utama Lasykar Makassar yang mengalihkan perjuangannya ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, maka kekuatan pihak Sultan Ageng Tirtayasa pun berkurang. Pasukan Makassar yang tersisa dipimpin oleh Syekh Yusuf, Abdul Hamid DaEng MangallE, La Palissubaya Daeng Mattuju KaraEng LambEngi (Mantan Pajung ri Luwu), DaEng Kalibe KaraEng Malukessi beserta dengan I Fatimah DaEng Takontu. Tokoh terakhir disebut ini adalah panglima pasukan khusus yang keseluruhannya terdiri dari kaum wanita pemberani. Olehnya itu maka pembesar Belanda di Batavia menggelarinya sebagai : Garuda Betina dari Timur, julukan yang mirip dengan ayahnya, yakni : De Haantjes Van Oosten (Ayam Jantan Dari Timur), Sultan Hasanuddin.
Terpecahnya kekuatan lasykar Makassar yang mengakibatkan lemahnya pertahanan Pasukan Banten, akhirnya berakibat fatal. Dalam tahun 1680, La Palissubaya Daeng Mattuju KaraEng LambEngi tertangkap oleh pasukan VoC lalu menjalani hukuman pembuangan ke Cape Town, Afrika Selatan. Lalu 2 tahun kemudian, yakni tahun 1682, Sultan Ageng Tirtayasa juga tertangkap dan ditawan di Batavia hingga wafat pada tahun 1692. Maka tinggallah Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya, Pangeran Kidul serta segenap pimpinan lasykar Makassar melakukan perang gerilya di hutan-hutan wilayah Cirebon, Karawang, Cisarua, Ciaten, Priangan hingga ke Mataram. Dalam perang gerilya itu, Pangeran Kidul (putera Sultan Ageng Tirtayasa) gugur. Akhirnya setelah anak dan isterinya dijadikan sandera, Syekh Yusuf terpaksa menyerah pula. Beliau dijatuhi hukuman pembuangan ke Ceylon, Srilangka lalu dipindah ke Cape Town, Afrika Selatan.
Setelah Syekh Yusuf tertangkap, I Fatimah DaEng Takontu dan DaEng Kalibe' KaraEng Malukessi beserta segenap pasukannya meninggalkan Banten, melanjutkan perantauannya menuju ke Mempawa (Kalimantan Barat). Mereka diterima baik oleh Sultan Mempawa, seorang Pangeran Bugis pula, yakni : Opu DaEng Manambung (putera Opu DaEng RilEkke'). Kedua ksatria itu dinikahkan dan membuahkan seorang puteri bernama : DaEng Tipa. I Fatimah DaEng Takontu wafat di Mempawa dan dimakamkan di Pulau Tumaju, Kalimantan Barat (Syarifuddin KullE dkk, I Fatimah Daeng Takontu - Buana, 2005).
Lalu bagaimana halnya dengan Tokoh Utama riwayat ini ?. Dalam uraian yang menjadi setting kronologis eksistensinya pada Perang Banten diatas, didapati pula sumber yang simpan siur seputar ruang waktu perjuangannya. Menurut Sejarawan H.D. Mangemba, bahwa putera sulung DaEng MangallE bernama DaEng Ruru lahir di Jawa Timur dalam tahun 1672. Dengan demikian, jika dihubungkan dengan sumber lain yang juga simpan siur yang dikemukakan oleh Zainuddin Tika dkk (Daeng Ruru, Panglima Perang Kerajaan Perancis) sehubungan dengan kronologis perang Banten dan keberangkatan DaEng MangallE sekeluarga ke Ayuthia, Siam (Thailand), maka didapati pula jika Abdul Hamid Daeng MangallE ikut pula membantu perjuangan Raden Trunojoyo dan KaraEng GalEsong. Bahkan jika dihubungkan dengan kelahiran puteranya dalam tahun 1672 di Jawa Timur, berarti tokoh ini berjuang di Jawa Timur sebelum kedatangan KaraEng GalEsong dkk.
Agaknya terlalu berat bagi penulis yang masih amatiran ini untuk meneliti lebih jauh, sumber-sumber yang lebih tepat menyangkut tulisan ini. Apapun dan bagaimanapun kronologis sejarah sebelum keberangkatannya ke Negeri Siam, Gervaise yang menjadi sumber utama riwayat ini memberitakan bahwa DaEng MangallE' sekeluarga bertolak ke Ayuthia, Siam dalam tahun 1674. Beliau disertai 60 keluarga Makassar dalam perantauannya tersebut.
Wallahualam Bissawwab..
(bersambung ke bag. berikutnya.... Perang Terakhir Ksatria DaEng MangallE)
Gervaise, seorang pendidik dan juga seorang penulis dalam lingkungan istana Louis XIV, Kaisar Perancis. Beliau adalah putera salah seorang dokter pribadi Louis XIV, lalu menulis banyak hal tentang Makassar berdasarkan informasi dari kedua muridnya yang merupakan bangsawan Makassar. Suatu hal yang luar biasa bagi seorang yang justru belum pernah menginjak tanah Makassar.
Kedua putera Makassar itu adalah anak angkat Kaisar Louis XIV yang diserahkan kepada Gervaise untuk mendapatkan bimbingan Bahasa Perancis dan Protokoler kebangsawanan Perancis. Maka tulisan ini adalah kilas balik keberadaan kedua Bangsawan Makassar tersebut, masing-masing bernama : Monseigneur Luis Pierre Daeng Ruru de Macassart dan Louis Dauphin Daeng Tulolo de Macassart yang berhubungan langsung dengan "Daen Maale" (Daeng MangallE) sebagaimana dikisahkan kembali berikut ini.
............................................................................
Telah dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa Daeng MangallE adalah salah seorang petinggi Kerajaan Gowa (Makassar) yang tidak menyetujui Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 Nopember 1667. Beliau menolak keras menandatangani perjanjian tersebut. Namun tidak seperti para petinggi lainnya yang menolak pula perjanjian itui, Daeng MangallE untuk sementara tetap bertahan untuk tinggal di Kerajaan Makassar.
Diberitakan lebih lanjut oleh Gervaise, bahwa akibat dari penolakannya terhadap perjanjian itu, pihak Belanda mencari akal agar Daeng MangallE dibenci oleh "Craen Sombanco" (baca : KaraEng Sombangku I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin). Maka melalui seorang gundik yang dapat disogoknya, rencana licik itu berjalan dengan mulusnya. Gundik itu berhasil meyakinkan Sultan, bahwa Daeng MangallE yang memang tidak terlalu disukai itu, sedang mengatur sebuah rencana jahat terhadap diri Sultan, demi melanjutkan perang terhadap VoC Belanda dan sekutunya (Arung Palakka).
Mengingat karakter Daeng MangallE yang memang keras kepala dan kadang membantah kebijakan Sultan, maka fitnah yang dilancarkan oleh gundik itu sangatlah masuk akal. Sultan sendiri dapat menilai situasi dan kondisi para petinggi yang membantunya selama ini. KaraEng Karunrung (Mangkubumi Kerajaan Makassar), KaraEng Bontomarannu (Laksamana Besar Angkatan Laut Makassar), I Mannidori KaraEng GalEsong (Panglima Angkatan Darat, Putera Sultan Hasanuddin), La Tenri Lai' Tosengngeng Arung Matowa Wajo (Sekutu, menantu Sultan Hasanuddin) serta banyak lagi yang lainnya, mereka adalah orang-orang yang bertemperamen tinggi serta memiliki keberanian yang tidak lumrah. Tetapi sesungguhnya mereka tidak pernah ada yang berani membantah kebijakan Sultannya. Sesuatu yang membedakan dengan kepribadian Daeng MangallE', sepupu Sultan ini (Gervaise menulisnya sebagai Adik Sultan). Akhirnya Sultan mempercayai fitnah itu, lalu menyuruh pemberani kepercayaannya untuk membunuh Daeng MangallE'.
Mengetahui jika dirinya telah dijatuhi hukuman mati, pemuda ksatria yang pemberang ini memilih untuk menyingkir dari Kerajaan Makassar. Walau bagaimana keras wataknya, namun jauh didalam lubuk hatinya tersimpan rasa hormat yang tulus terhadap Sultan, Kakandanya yang diketahuinya dengan pasti sebagai Manusia Bijak. Adalah "Siri" jika menentang "Tunisombayya" (Yang Dipertuan Raja Gowa) dengan kekerasan senjata pula. Maka dengan ditemani oleh kedua pengawal kepercayaannya, beliau meninggalkan tanah Makassar berbekalkan emas permata yang disiapkannya sebelumnya.
Pelarian secara diam-diam itu membawanya bergabung dengan kontingen yang membawanya ke Pulau Jawa untuk melanjutkan peperangan dengan VoC Belanda, langsung pada pusat komandonya (Batavia). Suatu rencana yang justru sangat sesuai dengan kata hatinya. Dikemukakan oleh Sejarawan Prof. MR. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH, bahwa pasca Perjanjian Bungaya mengakibatkan terjadinya gelombang ekspedisi para petinggi Kerajaan Makassar dan sekutunya menuju Kerajaan Banten di Pulau Jawa bagian Barat.
Gelombang pertama adalah ekspedisi yang dipimpin oleh Laksamana Besar KaraEng Bontomarannu. Dalam kontingen itu ikut pula para pembesar Kerajaan Makassar beserta dengan lasykarnya, antara lain disebutkan : Sultan Harun Al Rasyid (KaraEng Tallo), I Ata TojEng DaEng Tulolo (Adik Sultan Hasanuddin), I Manindori KaraEng MangEppE' dan Syaiful Muluk KaraEng Bonto Majannang. Ekspedisi perang ini terdiri dari 4 armada dengan kekuatan 800 Lasykar yang bersenjata lengkap. Mereka merapat di Pelabuhan Banten pada tanggal 19 Agustus 1671 (Zainuddin Tika dkk, Daeng Ruru Panglima Perang Kerajaan Perancis, Pustaka Refleksi - Makassar 2008). Menurut Lontara Bilang Gowa, bahwa Syaiful Muluk KaraEng Bonto Majannang dan I Ata TojEng DaEng Tulolo adalah orang yang sama.
Gelombang kedua dipimpin oleh Settia Raja Opu Cenning Luwu (Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung Luwu XIX) dan I Muntu DaEng Mangappa (Putera KaraEng Bontomarannu), terdiri dari 2 armada dengan 350 Lasykar bersenjata lengkap pula. Kontingen ini mendarat di Banten pada tanggal 16 September 1671.
Gelombang ketiga dipimpin oleh I Mannidori KarE' TojEng KaraEng GalEsong (Putera Sultan Hasanuddin), dimana dalam kontingen inilah yang diikuti Abdul Hamid DaEng MangallE' bersama kedua pengawal setianya dan para tokoh besar Kerajaan Makassar yang lainnya. Mereka itu adalah, I Adulu' DaEng MangallE (Putera Sultan Hasanuddin), I Fatimah DaEng Takontu (Puteri Sultan Hasanuddin yang terkenal sebagai Panglima Srikandi Balira) dan La Mappa Arung Tonra KaraEng Rappocini'. Kontingen inilah yang paling besar dibanding sebelumnya, yakni : terdiri dari 70 buah armada perang yang memuat 20.000 lasykar bersenjata lengkap. Mereka mendarat di Pelabuhan Banten dalam bulan Oktober 1671.
Tidak dapat dilupakan pula, bahwa hampir bersamaan dengan gelombang pertama ekspedisi tersebut diatas telah menyusul pula kontingen lain yang bertolak dari Pelabuhan Makassar , yakni : Lasykar Gabungan Melayu-Makassar berkekuatan 1.200 personel yang dipimpin oleh Ibnu Iskandar Datu Louadin, seorang Minangkabau yang tinggal menetap sebagai pemimpin masyarakat Melayu di Makassar (Prof. MR. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, Makalah : Bantuan para pengunsi Sulawesi Selatan pada Syekh Yusuf dalam perang Banten - 1993).
Perlu dikemukakan bahwa, para pembesar Kerajaan Makassar dan sekutunya yang menolak menghentikan perang dengan VoC Belanda ini, menjadikan Kerajaan Banteng di Pulau Jawa sebagai tujuan membuka front pertempuran baru, disebabkan adanya Syekh Yusuf Tajul Khalwati Al Makassari (Tuanta Salamaka). Beliau adalah seorang putera Makassar, menantu I Mangngurangi DaEng Manrabia Sultan Alauddin Sombayya Gowa XVI (kakek Sultan Hasanuddin) yang diangkat sebagai "Mufti Kerajaan Banten", lalu dipermenantukan pula oleh Abu'l Fath Abdul Fattah Sultan Ageng Tirtayasa, Raja Banten (1651-1692). Pada masa pasca Perjanjian Bungaya yang kontroversial itu, telah terjadi perselisihan dalam keluarga antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya sendiri, yakni : Sultan Abu Nashar Abdul Kahar yang dikenal pula sebagai "Sultan Haji".
Sultan Haji adalah seorang yang sangat loyal terhadap VoC Belanda, sesuatu yang justru sangat dibenci oleh ayahandanya. Terjadilah pendurhakaan seorang putera kepada ayahandanya demi menuruti bujuk rayu VoC Belanda yang teramat sangat mempengaruhi pola berpikirnya. Maka Perang Banten yang terkenal itu meletus, perang antara ayah dan anak yang disebut oleh Budayawan/Sejarawan/Sastrawan/Ilmuwan dan Ulama Pahlawan Buya HAMKA sebagai : Kesedihan Besar Banten yang kedua.
Perang Banten (1678-1684) antara Sultan Ageng Tirtayasa beserta puteranya yang lain bernama : Pangeran Hasan (Pangeran Purbaya) yang dibantu oleh Syekh Yusuf dan para pahlawan Perang Makassar melawan Sultan Haji yang dibantu sepenuhnya oleh VoC Belanda. Perang itu berkecamuk dengan dahsyatnya, mengakibatkan korban jiwa dan harta benda yang amat banyak. Suatu hal menarik yang sehubungan dengan topik tulisan ini, bahwa dalam situasi perang yang memanas itu, tokoh Abdul Hamid Daeng MangallE diangkat pula menjadi menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Pangeran Pemberani dari Makassar itu mempersunting puteri baginda,bernama : Angke Syafiah.
Dalam bulan April 1675, ditengah berlangsungnya Perang Banten yang melibatkan banyak tokoh berbagai bangsa itu, tibalah Pangerang Kejoran (Adipati Anom), seorang bangsawan tinggi Kerajaan Mataram di Banten. Beliau adalah mertua Raden Trunojoyo yang sedang membangun pergerakan melawan Prabu Amangkurat I, Sultan Mataram. Pangeran Mataram itu meminta bantuan kepada para petinggi Makassar untuk membantu pergerakan Raden Trunojoyo melawan dominasi VoC Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Atas pertimbangan Syekh Yusuf, maka I Mannidori KarE' TojEng KaraEng GalEsong dan KaraEng Bontomarannu memenuhi undangan itu, melanjutkan perjuangan melawan VoC di Front Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maka berangkatlah kedua pahlawan Makassar itu bersama segenap lasykarnya untuk bergabung dengan Raden Trunojoyo di Kediri yang diturut pula oleh DaEng Mangika (putera Sultan Muhammad Ali Sombayya Gowa XVIII), I Mappa Arung Tonra KaraEng Rappocini', KaraEng Mamampang dan Sultan Harun Al Rasyid KaraEng Tallo yang disertai oleh para lasykar Bima. Dalam bulan itu pula, susul menyusul pahlawan lainnya untuk membantu Raden Tunojoyo, yakni : I Muntu Daeng Mangappa dan I Ata TojEng DaEng Tulolo bersama segenap lasykarnya pula (perihal riwayat ini akan disusun dalam judul tulisan lain, penulis).
Sepeninggal beberapa tokoh utama Lasykar Makassar yang mengalihkan perjuangannya ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, maka kekuatan pihak Sultan Ageng Tirtayasa pun berkurang. Pasukan Makassar yang tersisa dipimpin oleh Syekh Yusuf, Abdul Hamid DaEng MangallE, La Palissubaya Daeng Mattuju KaraEng LambEngi (Mantan Pajung ri Luwu), DaEng Kalibe KaraEng Malukessi beserta dengan I Fatimah DaEng Takontu. Tokoh terakhir disebut ini adalah panglima pasukan khusus yang keseluruhannya terdiri dari kaum wanita pemberani. Olehnya itu maka pembesar Belanda di Batavia menggelarinya sebagai : Garuda Betina dari Timur, julukan yang mirip dengan ayahnya, yakni : De Haantjes Van Oosten (Ayam Jantan Dari Timur), Sultan Hasanuddin.
Terpecahnya kekuatan lasykar Makassar yang mengakibatkan lemahnya pertahanan Pasukan Banten, akhirnya berakibat fatal. Dalam tahun 1680, La Palissubaya Daeng Mattuju KaraEng LambEngi tertangkap oleh pasukan VoC lalu menjalani hukuman pembuangan ke Cape Town, Afrika Selatan. Lalu 2 tahun kemudian, yakni tahun 1682, Sultan Ageng Tirtayasa juga tertangkap dan ditawan di Batavia hingga wafat pada tahun 1692. Maka tinggallah Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya, Pangeran Kidul serta segenap pimpinan lasykar Makassar melakukan perang gerilya di hutan-hutan wilayah Cirebon, Karawang, Cisarua, Ciaten, Priangan hingga ke Mataram. Dalam perang gerilya itu, Pangeran Kidul (putera Sultan Ageng Tirtayasa) gugur. Akhirnya setelah anak dan isterinya dijadikan sandera, Syekh Yusuf terpaksa menyerah pula. Beliau dijatuhi hukuman pembuangan ke Ceylon, Srilangka lalu dipindah ke Cape Town, Afrika Selatan.
Setelah Syekh Yusuf tertangkap, I Fatimah DaEng Takontu dan DaEng Kalibe' KaraEng Malukessi beserta segenap pasukannya meninggalkan Banten, melanjutkan perantauannya menuju ke Mempawa (Kalimantan Barat). Mereka diterima baik oleh Sultan Mempawa, seorang Pangeran Bugis pula, yakni : Opu DaEng Manambung (putera Opu DaEng RilEkke'). Kedua ksatria itu dinikahkan dan membuahkan seorang puteri bernama : DaEng Tipa. I Fatimah DaEng Takontu wafat di Mempawa dan dimakamkan di Pulau Tumaju, Kalimantan Barat (Syarifuddin KullE dkk, I Fatimah Daeng Takontu - Buana, 2005).
Lalu bagaimana halnya dengan Tokoh Utama riwayat ini ?. Dalam uraian yang menjadi setting kronologis eksistensinya pada Perang Banten diatas, didapati pula sumber yang simpan siur seputar ruang waktu perjuangannya. Menurut Sejarawan H.D. Mangemba, bahwa putera sulung DaEng MangallE bernama DaEng Ruru lahir di Jawa Timur dalam tahun 1672. Dengan demikian, jika dihubungkan dengan sumber lain yang juga simpan siur yang dikemukakan oleh Zainuddin Tika dkk (Daeng Ruru, Panglima Perang Kerajaan Perancis) sehubungan dengan kronologis perang Banten dan keberangkatan DaEng MangallE sekeluarga ke Ayuthia, Siam (Thailand), maka didapati pula jika Abdul Hamid Daeng MangallE ikut pula membantu perjuangan Raden Trunojoyo dan KaraEng GalEsong. Bahkan jika dihubungkan dengan kelahiran puteranya dalam tahun 1672 di Jawa Timur, berarti tokoh ini berjuang di Jawa Timur sebelum kedatangan KaraEng GalEsong dkk.
Agaknya terlalu berat bagi penulis yang masih amatiran ini untuk meneliti lebih jauh, sumber-sumber yang lebih tepat menyangkut tulisan ini. Apapun dan bagaimanapun kronologis sejarah sebelum keberangkatannya ke Negeri Siam, Gervaise yang menjadi sumber utama riwayat ini memberitakan bahwa DaEng MangallE' sekeluarga bertolak ke Ayuthia, Siam dalam tahun 1674. Beliau disertai 60 keluarga Makassar dalam perantauannya tersebut.
Wallahualam Bissawwab..
(bersambung ke bag. berikutnya.... Perang Terakhir Ksatria DaEng MangallE)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar