Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Minggu, 29 Agustus 2010

Sejarah Belawa (part 2)

II. Menegakkan PessE

Setahun setelah penaklukan Sidenreng, Pajung Luwu bertikai lagi dengan La Tenri Sukki Mangkau' ri Bone V. Konflik itu bermula ketika Luwu mengklaim negeri Cenrana yang selama ini dibawah daulat pemerintahan Kerajaan Bone sebagai wilayah kekuasaan Luwu. Dapat dikemukakan bahwa setelah PajungngE memaklumatkan perang pada Tana Bone, maka baginda mengutus To Ciung Tongeng MaccaE sebagai Bila-bila Musuu' ke Tana Wajo untuk mengajak Arung MatoaE menyerbu Tana Bone. Namun La Tadampare' enggan menyertai PajungngE karena peristiwa pembakaran Sao Locci'E di Sidenreng masih membuatnya jengkel.

Maka lasykar Luwu menyerbu Tana Bone dibawah pimpinan PajungngE sendiri.  Mereka berhasil menduduki Cenrana pada hari itu juga. Setelah semalam di negeri penyebab pertikaian itu, mereka bersiap-siap melanjutkan penyerbuan ke Watampone melalui daerah Cellu' melewati jalur sungai dengan perahu. Namun ditengah perjalanan, serombongan lasykar wanita kerajaan Bone menyerang iring-iringan pasukan itu dengan panah dari seberang sungai Cenrana. Melihat hal tersebut, maka tampa koordinasi yang matang, pasukan Luwu mengejar para wanita itu yang lari berserabutan ke segala arah. Rupanya inilah yang ditunggu pasukan Bone, melihat pasukan Luwu berlarian mengejar dengan kacau balau, maka mereka serentak menyerbu dengan dahsyatnya. Orang-orang Luwu yang tidak menyangka serangan balik yang mengejutkan itu menjadi kocar kacir, berlarian menyelamatkan diri menuju perahunya yang ditambatkan di pinggir sungai. Termasuk dalam hal ini PajungngE sendiri.

Dikisahkan dalam Lontara Sukkuna Wajo (LSW) baginda yang gemuk itu berlari ke pinggir sungai, tetapi dihadang dan disergap oleh lasykar Bone. PajungngE tidak  berdaya ketika prajurit penyergap itu bersiap-siap mengayunkan kelewangnya ke leher baginda. Namun tiba-tiba Mangkau'E segera tiba di tempat itu dan mencegah pembunuhan pada PajungngE. Bahkan baginda melepas PajungngE beserta sisa-sisa pasukannya yang masih hidup untuk kembali ke Tana Luwu dengan penuh kehormatan. Sebagai tanda kemenangan perang, Mangkau'E menyita Payung kebesaran Tana Luwu yang dibawa serta pada penyerbuan yang gagal itu. Maka sebagai peringatan yang menandai kemenangan heroik  atas Luwu, baginda Mangkau'E diberi tambahan gelar, yaitu : La Tenri Sukki MAPPAJUNGNGE.


Adapun halnya dengan Arung Matoa Wajo, mendengar kekalahan Luwu di Tana Bone maka segera dikumpulkannya Arung PatappuloE untuk mendiskusikan perihal penentuan sikap  Tana Wajo terhadap peristiwa kekalahan Luwu tersebut. Dapat dimaklumi, bahwa baginda La Tadampare' Puang ri Maggalatung berada pada suasana dilematis dalam hal menyikapi peristiwa tersebut. Sebagai sekutu Luwu yang telah mengikrarkan LamumpatuE ri Topacceddo' maka budi ksatrianya menghendaki beliau untuk menuntut balas pada Tana Bone. Namun disisi lain, sebenarnya La Tadampare' merupakan seorang " Pangeran Bone " dari garis keturunan ibunya. La Tenri Ampa Arung Palakka adalah adik ibunya. Maka Ade' Assamaturuseng Arung PatappuloE yang merupakan hukum tertinggi di Tanah Wajo memutuskan bahwa menunaikan kewajiban persekutuan LamumpatuE ri Topacceddo' adalah hal yang tidak bisa ditawar. Menegakkan PessE (solidaritas kemanusiaan) terhadap martabat perjanjian dengan Luwu terpaksa harus ditunaikan melalui penyerbuan ke Bone, kerabat dekat Sang Arung Matoa sendiri !

Maka pasukan Wajo menyerbu Bone dan menduduki Cenrana selama beberapa hari. Setelah itu, mereka kembali ke Wajo tampa meneruskan penyerbuannya ke Kotaraja Tanah Bone, yakni : WatamponE. Agaknya baginda La Tenri Sukki MappajungngE sebagai raja besar yang arif dapat memahami bagaimana posisi La Tadampare' Puang ri Maggalatung selaku sekutu Tana Luwu. Beberapa hari setelah peristiwa penyerbuan La Tadampare' ke Cenrana, baginda Mangkau'E mengadakan kunjungan ke  PajungngE di Luwu. Baginda mengembalikan Payung Kebesaran Luwu yang dirampasya dulu. Namun, PajungngE menyambutnya dengan bijak, seraya berkata : "talani lE' pajungngE, tapammanari ana' eppota.. engkamopa laingngE pajung monro ri Tana Luwu...".


 (awwEE, sore si lagi.. wenni pi nisambungi.. Sejarah Belawa Part 3)















Sejarah Belawa (part 1)

KERAJAAN BELAWA
NEGERI DI BATAS PERSIMPANGAN SEJARAH
Oleh. Andi Oddang 

Sekapur Sirih
Alhamdulillahirobbil alamin, asholatu wassholaamu alaa' asyrafil ambiyaa'i wal mursaliim, Allhummasholli alaa' Muhammad, wa' alaa aalihii washohbihii ajma'in, amma ba'du.

Bahwa sebagai wujud cinta yang teramat dalam terhadap tanah kelahiran dimana darah, tangis dan tawa tertumpah mengawali pengenalan terhadap kehidupan, maka ikhtiar  penggalian sejarah untuk melestarikan budaya adalah  merupakan panggilan nurani bagi setiap putera daerah.


Tulisan ini adalah suntingan dari beberapa tulisan saya terdahulu, baik yang telah terbit maupun koleksi pribadi yang belum terpublikasi.  Pada rangkaiannya penyusunannya, sedapat mungkin saya mencoba menghimpun ragam informasi tentang kesejarahan Tana Belawa, mengingat korelasinya dengan judul Blog ini, yakni : Putera Belawa.

Adalah realita yang menjadi tantangan tersendiri bagi pemerhati kajian sejarah , bahwa Informasi tertulis tentang sejarah Tana Belawa sangat sulit didapatkan, disebabkan karena  terjadinya kekacauan pada era tahun 50-an sehingga beberapa Lontara telah musnah terbakar. Olehnya itu, maka saya mencoba mencari sumber pada Lontara Sukkuna Wajo (LSW) buah tulisan La Sangaji Puanna Salowong Arung Bettempola melalui Disertasi Yang amat saya Muliakan Prof. Mr. Andi Zainal Abidin Farid yang saya perbandingkan dengan Lontara TippuluE milik La Wahide Daeng Mamiru Petta Pabbicara Ade' Tana Tengnga, Belawa. Namun sebagian besar sumber yang dapat saya jadikan sebagai bahan tulisan, adalah : buah tutur Ayahanda Alm. Andi Mori (Andi Panguriseng) yang selama hidupnya adalah pemerhati dan pengkaji Lontara, sehingga beberapa kalangan menjulukinya sebagai Lontara Hidup.


Tujuan penyusunan tulisan ini, tiada lain memenuhi amanah yang diwasiatkan didalam lontara, yakni : dE' sEuwwa lanro-lanrona Dewata SeuwwaE paullE mpeddEi apinna wija-wijakku, sangadinna lakkona matoo mpeddEi baraana. Kemudian ayahanda berpesan : Tania waramparang,... Tania too aseng upammanarekki' , ana'. Nasaba' manaa sitongeng-tongenna abbatireng ana' arungngE, iyanaritu : Sipakalebbii'E. Dengan demikian, buta terhadap sejarah dan budayalah yang menyebabkan seseorang dapat merasa berbangga diri dalam konotasi perilaku /pemahaman negatif yang justru menimbulkan pencitraan buruk ditengah masyarakat. 


Kiranya dapat bermamfaat adanya, terima kasih atas perhatian dan sumbang saran yang dapat menyempurnakan tulisan ini.


Wabillaahi taufiq wal hidayah.

 

I. Ana'E ri Wajo

Pada hamparan dataran rendah yang terletak di penghujung sebelah utara danau Tempe dan danau Sidenreng, tersebutlah sebuah pemukiman yang merupakan kerajaan kecil bernama : Belawa. Kawasan subur yang letak sesungguhnya dikelilingi kerajaan-kerajaan besar, yakni : Kerajaan Wajo di sebelah tenggara, Kerajaan Sidenreng di sebelah barat dan Kerajaan Soppeng di seberang danau bagian selatan. Alkisah, kerajaan Belawa didirikan oleh seorang pangeran dari Kerajaan Bulu Cenrana, bernama : La Monri Arung Belawa MammulangngE Petta Matinroe ri Gucinna. Beliau pulalah yang menamai kerajaan yang dibangunnya itu sebagai "Belawa" (nama sejenis pohon besar yang getahnya dapat menyebabkan alergi pada kulit) sekaligus diproklamasikan sebagai kerajaan berdaulat pada abad XIV Masehi.

Sebagaimana tersebut pada Lontara Sukkuna Wajo (LSW), bahwa pada penghujung abad XV terjadi peristiwa Rumpa'na Sidenreng, yakni perang berkepanjangan antara Kerajaan Luwu dan Kerajaan Sidenreng yang melibatkan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. Kemurkaan Pajung Luwu XVI yang bernama La Dewaraja To Sengereng Dangkelalik Petta MatinroE ri Bajo pada La Pateddungi Addaowang Addatuang Sidenreng IV mencetuskan peperangan diantara kedua negeri besar yang berpengaruh itu. Sementara itu, Sidenreng sebagai pihak "bertahan" mendapat dukungan dari 4 kerajaan tetangganya, yaitu : Belawa, Rappeng, Bulu Cenrana dan Otting sehingga mampu bertahan dari gempuran pasukan Luwu yang sebenarnya lebih besar. Hal inilah yang memaksa Pajung Luwu sendiri melakukan muhibah ke Wajo untuk meminta bantuan Arung Matoa Wajo yang kala itu sedang dijabat oleh La Tadampare' Puang ri Maggalatung. Ketika perjalanan rombongan baginda tiba di Topaceddo', dikirimlah utusan kepada Arung Matoa sambil membawa hadiah (oleh-oleh ?) berupa : 3 orang Ata (budak), 3 pasang sampu (sarung sutera) dan 3 pasang gelang emas sebagai pembuka kata penyampaian permohonan kiranya Arung Matoa berkenan ke Topaceddo' untuk menemui PajungngE.


Akhirnya pertemuan kedua raja besar itu berlangsung dengan khidmatnya. "AmasEangnga' sEajing, cE'dE' temmaEgana. TapassEajingngi tanaE ri Luwu na tanaE ri Wajo. SEuwwa jaa nauru', sEuwwa dEcEng nadduwai" , kata PajungngE dihadapan La Tadampare' Puang ri Maggalatung. Maka menjawablah Arung MatoaE, "Kuru plE sumange'na waramparangmu na ada madEcEngmu, utarima usompawali. Naiyyakia, iyya uwEllau Opu, Ana'E Wajo na ina Luwu. Nasaba iyapa tau mappadaoranE sinrajaE " . Alangkah senangnya PajungngE mendengarkan sambutan Arung Matoa yang rendah hati itu. "Upattongeng adammu, Arung Matoa. Alamuni Larompong sipalili' mualatoi Siwa mattuttung salo pa'dai-raii'.  NappadaorowanE  tanaE  Luwu, tanaE ri Wajo. Sisappareng dEcEng,  tessisappareng jaa ". Demikianlah pertemuan itu ditandai dengan penanaman prasasti : LamumpatuE ri Topaceddo'. Penanaman batu prasasti itu dilaksanakan oleh To Ciung MaccaE ri Luwu sebagai wakil Kerajaan Luwu dan La Paturusi To Maddualeng mewakili Kerajaan Wajo. Ikrar dibacakan sebagaimana berbunyi, sbb ; Naiyya assijancingenna tanaE Luwu, tanaE ri Wajo, alle'ba'na Wajo. Namo napunippimua Luwu'E panrEiwi api Wajo naoto' sampa'i, napoadai, riunoi. To Wajo'E makkotoi, namo napunippimua Wajo'E  panrEiwi api Luwu naoto' sampa'i, napoadai, riunoi. Malilu sipakainge", mare'ba sipatokkong, tessitereng ri bulu'E, tessinooreng ri lappaa'E, tessijellokeng roppo-roppo. Namoo maruttung lengngii'E, mawottong pere'tiwiE, temmalukka uluada tanaE. Nigi-nigi temmaringerrang ri uluada tanaE, iya kua apu-apunna tanana itello riampassangngE ri batuE, lettu ri monrinna temmaringerrangngE uluadanna tanana. Naripasawe' riasE riawa, nas'bi Dewata sEuwwaE appadoroanEngenna Luwu na Wajo. 


Setelah pembacaan ikrar itu, PajungngE menawarkan sebilah kelewang (alameng) pada Arung MatoaE. "Engka mua alamengku, Opu. NakEgana uleng tatanra terriwi Sidenreng ?", tolak La Tadampare' sambil bertanya. Maka PajungngE menyebut waktu yang ditetapkan untuk penyerbuan. Mendengar jawaban itu, Arung Matoa menghunus kelewang pusakanya sendiri lalu " mangngaru' " (sumpah ksatria) dihadapan PajungngE. "Itawa' matu, Opu !. Urumpa'gi Sidenreng, upallalatung lipuuna, iwettaga' rEkko tekkullEi rumpa'i Sidenreng !".


Maka penyerbuan dua sekutu itu dimulai pada waktu yang telah disepakati. Satu persatu sekutu Sidenreng digempur pasukan Wajo yang dipimpin sendiri oleh La Tadampare'. Bermula pada Kerajaan Belawa yang diserbu oleh pasukan gabungan Luwu dan Wajo melalui jalur Danau Tempe. Kerajaan kecil itu digempur habis-habisan hingga takluk. Arung Belawa menyatakan sumpah sebagai Ana' ri Wajo. La Paturusi To Maddualeng yang menerima penyerahan itu, berkata dalam sambutannya : "iyanaritu adammu Belawa. Nasabbi DEwata SEuwwaE, mupasengengngi ana apomu. Temmuasarang Wajo ri perri nyameng, murEwe' ri wanuammu, mua to Tuwa. Pubicarai bicarammu, tennatamai Wajo bicara lalengmu. NarEkko engka bicarammu mabbali wanua ri lalengpanua, temmulE pasinawoi, uttamako ri Wajo, na Wajo pasinawoko. Muattutui tanana Wajo. NapolE ri lalengtogi, polE saliweng togi maEloo'E nrusa'ko, uttamako ri Wajo, muappoada ri inammu".


Penyerbuan dilanjutkan ke Otting, yakni Kerajaan sekutu Sidenreng yang terletak disebelah timur. Maka Arung Ottingpun tidak mampu bertahan lebih lama sehingga terpaksa menyerah pula, : "maccucu piu, mappopo dapoo ala nawElai akkEpuenna ri Wajo". Maka kembali La Paturusi To Maddualeng menerima penyerahan itu sambil berkata : "iyanaritu nasabbi DEwata SEuwwaE adammu, Otting. Mupasengeng ana' appomu, tennala jaa' tana, tennatiwi tomatE.". Maka hari-hari penuh pertempuran sengit itu dteruskan kearah utara, yakni Kerajaan Rappeng dan Bulu Cenrana. Baginda La Tadampare bertempur di garis depan dengan gagah berani, sehingga semangat tempur lasykarnya semakin berkobar. Akhirnya kedua negeri bertetangga itu menyerah dan menyatakan sumpah takluk pada Wajo.


Setelah negeri-negeri sekutu Sidenreng berhasil ditundukkan, maka penyerbuan ke Sidenreng berlangsung mulus. Bagai air bah yang melanda, pasukan gabungan penyerbu memasuki Sidenreng tampa perlawanan yang berarti. AddatuanngE melalui utusannya bernama NEnE' Passiru menyatakan takluk. Akhirnya pesta kemenangan Luwu dan Wajo dirayakan di Wette'E. Hasil rampasan perang dibagi antara keduanya. Negeri Belawa, Otting, Rappeng dan Bulu Cenrana dinyatakan sebagai wilayah taklukan (lili') dibawah kedaulatan kerajaan Wajo dengan status berbeda. Belawa ditetapkan sebagai Ana', sementara yang lainnya diberikan status sebagai Ata. 


Adapun halnya dengan  Sidenreng, negeri yang kalah perang itu mengalami nasib yang lebih menyedihkan dibawah penaklukan Luwu. Istana AddatuangngE yang disebut sebagai Sao Locci'E dibumihanguskan atas perintah To Ciung Tongeng MaccaE ri Luwu yang dengan sengaja mengambil api dari Belawa. Walaupun sebelumnya Addatuang Sidenreng melalui NEnE Passiru telah bermohon kiranya PajungngE bermurah hati untuk membiarkan istana tersebut, sambil mempersembahkan tebusan berupa se'bu kati yang terdiri dari emas dalam jumlah besar yang diterima oleh PajungngE sendiri. La Tadampare' sempat mengajukan protes sewaktu terjadinya pembakaran itu karena dianggapnya hal tersebut sebagai tindakan yang tidak patut. Namun dengan ringannya PajungngE berdalih, "tania apinna Luwu manrEi Sao Locci'E, naEkiya apinna mua Belawa"


Peristiwa tersebut kelak akan berdampak merugikan bagi La Dewaraja To SEngereng secara individu dan negeri Luwu. Perlakuan semena-mena itu sedikit banyaknya menyebabkan pamor kewibawaan dan martabatnya menurun menurut pandangan La Tadampare', sekutu yang diandalkannya. Karena sebagaimana yang tercermin pada nilai-nilai luhur orang bugis, bahwa : "AdaEmi na to tau, molaitta gau', nrupaitta janci". Tindakan yang melanggar janji dianggap sebagai suatu tindakan tercela yang tidak ksatria sehingga bertentangan dengan nilai Siri na PessE (kehormatan dan kemanusiaan).


(W.. capek n ngantuk. Besok dilanjutkan pada part 2, ok ?.....)