Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Kamis, 13 Januari 2011

Budaya

"Joa", pengikut

"NarEkko naposiri'i DatuE, napumatEni Joana.." (Kalau sudah menjadi aib yang mencederai harga diri Datu, maka itu adalah saat bagi para pengikutnya untuk mempertaruhkan jiwa..).

...........................................................................................

Bertitik tolak pada ungkapan "Joa" diatas, maka ia dimaknai sebagai pengikut setia. Namun pada kesempatan lain, "Joa" diartikan secara harfiah sebagai peralatan yang terbuat dari sebatang kayu yang dipergunakan sebagai penggandeng sepasang sapi atau kerbau ketika membajak di sawah. Maka fungsi "Joa" sebagai ungsur peralatan membajak sawah tersebut adalah sebagai "alat pengikat" bagi sepasang sapi atau kerbau agar tidak saling terpisah dalam melaksanakan fungsinya. Namun demikian, "Joa" pula dijadikan sebagai istilah bilangan (hitungan) bagi hewan sapi dan kerbau. Sebagai contoh dapat dikemukakan, sbb :

- Duangngajoa saping nasapirengngi galungku (Sawahku ditukar dengan dua pasang sapi)
- Siajoa tEdong passEllEna kawalinna (Badiknya dipertukarkan dengan sepasang kerbau) 

Uniknya, istilah hitungan "Ajoa" atau "Joa" hanya berlaku pada hewan sapi dan kerbau saja. Tidak pernah ditemukan sebagai penghitung bagi hewan ternak lainnya, seperti : kambing, kuda, ayam dan lain sebagainya. 
Selain itu, "Joa" adalah poros utama tempat bertumpu peralatan bajak sawah. Maka "Joa" dipandang sebagai fungsi utama yang menggerakkan aktifitas atau pekerjaan membajak sawah yang merupakan sendi utama dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dimasa lalu.

Sebagai sebuah istilah bagi perangkat struktur dalam lingkungan aristokrat Bugis dimasa lalu, "Joa" adalah sebutan umum bagi seluruh pengikut Raja atau tokoh pejabat maupun bangsawan. "Joa" bagi seorang Raja boleh jadi adalah menteri, panglima, UlEbalang (Hulubalang), Pallapi' Aroo (Pengawal Pribadi), Kino (Ibu Susu), Pakkanna (Ksatria), To Warani (Pahlawan), Pabbicara (Hakim / Penasehat), atau bahkan Ata (Sahaya). Mereka semua yang terdiri dari lapisan struktur sosial tersebut adalah "Joa" (Pengikut) yang mengikatkan diri sebagai "Anggota Klan" dengan mengidentitaskan diri satu sama lainnya dihadapan Raja sebagai : "SengngataE" (Sesama Abdi).

Adalah hal yang menjadi suatu etiket tersendiri dalam hal tata bahasa krama dalam lingkungan Istana yakni ketika dihadapan "Datu" (Raja) dengan senantiasa menyebut diri sebagai "Ata" (Hamba/Patik) serta menyebut yang lainnya sebagai "Sengngatakku" (Sesamaku Abdi dihadapan Datu). Penyebutan "Sengngatakku" berlaku bagi semuanya, selain : Ana' Mattolana DatuE / Datu Lolo (Pangeran Mahkota /Putera Puteri Raja yang setara derajatnya dengan Datu sendiri), Datu MakkunraiyyE (Permaisuri / Gahara), Saudara atau kerabat yang setara dengan Datu dan Raja-raja negeri lain. Sebagai penjelasan uraian diatas, maka dihaturkan illustrasi percakapan dengan Datu, sbb :

Datu  :  Sienna muengka, La Oddang ? (Sejak kapan kau tiba, La Oddang ?)

Saya  :  Silalona mua lettu' atanna datuE, Pueng.. (Hamba baru saja tiba, Tuanku)

Datu  :  EbarE' engkatu kapang karEba maElo ri palettu' ?
            (Barangkali ada khabar yang ingin disampaikan kami ?)

Saya  :  Usompai Puengku DatuE ri sEsE alebbirengna..
             Iya naengkang AtaE mangolo ri cappa' ajEna Puekku DatuE,
             nasaba' maElo paissengngi Puekku makkadaE napumEnasai
             sengngatakku La Pajung tudang sipulung ri sEnEng mangoloE..
             (Sembah bhakti hamba bagi Tuanku dalam kemuliaannya..
              Adapun maksud hamba menghadap diujung kaki tuanku,
              yakni berkeinginan untuk memberitahu kepada pertuanannya tentang rencana
              sesamaku abdi tuanku yakni La Pajung untuk menyelenggarakan rapat keluarga
              pada hari senin depan...)

............................................................................. setelah berbincang beberapa lama, saya menanyakan perihal kesehatan Permaisuri. Maka tata bahasa saya adalah sebagai berikut :

Saya  :  TabE' Puang, aja namatula AtaE nasaba' pakkutanana lao ri Datu Puengna,
             Nasaba' siruntu'i AtaE Puekku Datu Lolo sangadiwenni',
             nasengengngi malasa-lasai garE' Puekku Datu MakkunraiyyE..
             (Ampuni hamba, Tuanku. Semoga hamba tidaklah kualat karena mempertanyakan
               perihal pertuanannya, pasalnya hamba telah bertemu dengan Pangeran Mahkota
               kemarin lusa, menurut beliau bahwa Tuanku Permaisuri kesehatannya sedang terganggu...)

Datu   :  Masala-sala pEnedding mEmengngi Puengmu ri sErE'na esso, naEkiya madisingni ...
              (Tuanmu memang agak sakit beberapa hari yang lalu, tapi sudah sembuh..)

Adalah merupakan suatu etika tersendiri dalam tata bahasa seorang "Joa" (pengikut) terhadap "Ajjoarengna" (Ikutannya) bahwa dianggap sebagai suatu hal yang kurang sopan sekiranya mengajukan pertanyaan secara langsung.

Bagi sebagian kalangan, tata bahasa yang selintas kedengarannya agak "menjilat" seperti demikian, namun dalam lingkungan "Pangadereng", itu adalah hal yang sepatutnya. Seorang Datu yang diillustrasikan diatas biasanya adalah paman saya sendiri. Namun begitulah "Wari" (Pranata) yang senantiasa berlaku hingga kini.

Anak-anak kandung penulis sendiri sehari-hari memanggil "Puang" (Tuanku) kepada ayah dan ibuku. Pada saat lain ketika ayah atau ibunda penulis menanyakan perihal "cucu-cucunya" tersebut, maka saya senantiasa menjawabnya dengan tata bahasa, sbb :

  Ibunda  : Maga maneng moi appoku, na' ? 
                 (Bagaimana khabarnya para cucuku, nak ?)
  Saya     : Madising-disingmoi sengngatakku iya maneng, Etta.."
                 (Mereka sesamaku abdi semuanya sehat walafiat, Etta..)

Maka tidak heran jika salah sorang puteraku pernah mengeluh, "Saya tidak punya kakek nenek dari pihak ayah..", katanya. Sesuatu yang kadang dianggap sebagai aturan kaku yang menciptakan "Gate" dalam perhubungan kekerabatan, namun sesungguhnya "Kasih Sayang" tidaklah terbatas tata bahasa belaka. Nilai luhur yang didapatkan dibalik kedisiplinan masa lalu itu adalah : terciptanya sikap saling memuliakan dan saling hormat menghormati satu sama lainnya yang diistilahkan sebagai Sipakatau na sipakalebbi rilalengna wari sipakkamasE-masEna assisumpungengloloE (Saling memanusiakan dan saling memuliakan dalam pranata saling mengasihi antar kerabat..). Maka "Joa" dan "Ajjoareng" adalah sesungguhnya adalah ikatan suatu hubungan dalam suatu kesatuan tersendiri.

Wallahualam Bissawwab..

Rabu, 12 Januari 2011

Ininnawa



ADA SANGRO

Aku bukan seorang yang suka dan mudah percaya terhadap hal-hal yang berbau klenik. Namun pada suatu hari aku terpaksa berhadapan jua dengan perapal mantera-mantera itu.  Ketika itu aku berkunjung ke rumah salah seorang sepupu yang berdomisili diluar daerah. Rupanya aku salah memilih waktu, karena saat itu rumahnya dikunjungi pula oleh seorang dukun yang diundangnya untuk mencari benda guna-guna yang konon sengaja ditanam oleh seseorang disekitar rumahnya itu.
........................................................................................................................

Setelah urusan “tanam menanam” itu selesai, sepupuku meminta tolong  pada dukun itu agar memeriksaku pula. “Waah, saya tidak sakit apa-apa koq ?!”, protesku. Sepupu tuaku itu hanya tersenyum seraya berkata, “Iya, saya tahu, dik. Tapi tidak ada salahnya jika kau diperiksakan. Masalahnya, hingga saat ini kau sulit mendapatkan pekerjaan..”. “Lho, apa hubungannya dengan dukun ?!”, tanyaku dalam hati. Namun aku menghargai niat baik kakak sepupuku itu maka aku menurut saja.

Sang dukun sakti itu memeriksa hampir seluruh sudut-sudut tubuhku dengan seksama. Mulai dari telapak tangan, ubun-ubun kepala, dan lainnya pula. Bagaikan seorang pedagang sapi yang sedang memeriksa dan menaksir seekor sapi. Sementara itu, asap kemenyan mengepulkan asapnya memenuhi ruangan sempit itu sehingga membuat mataku agak perih.

“Rupanya kau telah inkar janji pada leluhurmu .. itulah sebabnya maka kau sulit mendapatkan pekerjaan !”, kata dukun itu seraya memandangku dengan tajam.  “Haa ?!.. janji apa’an ?”, tanyaku heran. Soalnya aku tidak pernah merasa berjanji apa-apa pada salahseorang leluhurku. Apalagi keempat kakek nenekku semuanya telah wafat. Bagaimana mungkin aku bisa menjanjikan sesuatu pada orang yang telah wafat ?. “Pokoknya kau pernah berjanji didepan makam leluhurmu !”, kata dukun itu ngotot. “Ah, tidak pernah itu !”, sahutku lebih ngotot pula. “Pokoknya pernah. Cuma kau pasti lupa !”, sergahnya sewot. “Pokoknya tidak pernah ! Saya belum pikun, koq ?!”, balasku pula. Maka dukun dan pasiennya berdebat sengit pada hari itu.

Pengalaman kecil itu mengingatkanku pada sebuah cerita tentang Pak Hamid yang kehilangan kerbaunya. Menurut tanda-tanda jejak yang ditinggalkannya, kerbau itu dibawa oleh maling pada dini hari. Selama beberapa bulan setelah kejadian naas itu, Pak Hamid berusaha mencari kesana kemari, namun petunjuk keberadaan kerbaunya tidak didapatkannya jua. Hingga pada suatu hari, Ia meminta pertolongan seorang dukun untuk menerawan lokasi dimana kerbaunya berada. Konon khabarnya, dukun itu adalah seorang sakti yang mampu melihat segala sesuatu yang terlindung, jauh maupun dekat.

Dengan mata agak disipitkan sedemikian rupa, sang dukun komat kamit merapal mantera. Ia mengacung-acungkan sebilah keris pada permukaan air dalam wadah mangkuk perunggu dihadapannya. Pak Hamid memperhatikan tingkah sang Dukun dengan perasaan agak serem seraya duduk dengan takzimnya. “Oh.. akhirnya kelihatan juga !”, seru dukun itu dengan mata membelalak lebar-lebar, memperhatikan permukaan air dalam mangkuk. “Mana ? Saya juga mau melihatnya..”, seru Pak Hamid dengan penasaran namun penuh harap.

“Ha ha.. kamu tidak dapat melihatnya. Hanya aku yang bisa menerawangnya..”, kata sang dukun.

“Baiklah.. lalu dimana kini kerbauku ?”

“Ternyata.. kerbaumu itu dibawa pencurinya menuju ke Kabupaten disebelah timur !”

“Wah, benar itu.. ! Jejak kakinya memang menuju ke timur !”, kata Pak Hamid mulai yakin.

“Naah, kerbaumu  itu kini sedang berkubang dipinggir parit sawah, tidak jauh dari sebatang pohon mangga cina yang besar..”

“Oo..”, Pak Hamid mengangguk-angguk bengong semakin yakin.

“Waah.. ternyata kerbaumu itu sudah hampir jadi dua !”, seru Sang Dukun semakin bersemangat.

“Maksudnya ??”, tanya Pak Hamid heran.

“Maksudku, kerbaumu sekarang sedang bunting ! Sebentar lagi melahirkan ..”

“Lho, mana mungkin itu ?! Kerbauku khan berjenis kelamin jantan ??!”

“Awwaah !!.. kenapa koq baru bilang kalau kerbaumu itu jantan ?!!”
……………………………………………………………

Pembaca yang mulia.. aku tidak mengerti, buat apa kutulis cerita konyol ini ?. Maka selanjutnya andalah yang mengurai hikmahnya.


Wallahualam Bissawwab....

Selasa, 11 Januari 2011

Ininnawa


PEDULI..

“Peduli..”, demikian sebuah kata yang diketik oleh saudara Bakhtiar D. Mallolongeng, kerabatku yang saya muliakan. Sebuah ungkapan tentang “kelakuan” yang sulit diterjemahkan secara pas dalam kosa kata Bahasa Bugis..
………………………………………………………………………………………………

Istilah “Peduli” jelaslah bukan diperuntukkan bagi seseorang yang egois. Melainkan ia adalah sosok pribadi yang memiliki perhatian khusus terhadap sesuatu yang berada diluar dirinya. Suatu pribadi yang memiliki kepedulian itu adalah cerminan mahluk sosial sebagaimana wujud tabiat manusia yang sesungguhnya. Kira-kira seperti itulah pengertian dangkal terhadap istilah “peduli” menurutku..

Kepedulian terhadap sesuatu hal adalah mutlak terekspresikan dari dalam. Kepedulian adalah aksi nurani yang kerapkali keluar begitu saja tanpa melalui proses diskusi. Ia adalah sesuatu yang diputuskan begitu saja tanpa melalui proses demokrasi. Maka menurutku, rasa peduli adalah suatu panggilan jiwa yang melibatkan campur tangan keputusan Tuhan yang tak terbantahkan.

Saya mengenal seorang tua yang memiliki kepedulian terhadap anak-anak terlantar. Walau hidup dengan bermodalkan sebuah becak tua, namun beliau memelihara beberapa anak yatim piatu yang dirawat dan diurusnya dengan sepenuh hati di rumahnya yang sederhana. Ia seorang yang buta huruf, namun pengertiannya terhadap arti pentingnya pendidikan agaknya setaraf dengan seorang sarjana S1. Maka anak-anak asuhannya itu disekolahkannya pula dengan sungguh-sungguh. Adalah hal yang mengharukan jika melihatnya setiap pagi, tubuh reotnya itu mengayuh becak yang memuat anak-anak berseragam SD dan SMP, para anak-anak asuhnya. “Yaah, agar bisa hemat uang transportasi, nak..”, katanya riang sambil mengusap keringat diwajahnya dengan sehelai handuk tua pula.

Kadang-kadang saya suka bertandan ke rumahnya pada sore hari. Beliau adalah orang yang enak diajak ngobrol. Saya tahu jika beliau adalah orang yang sering hidup berkekurangan dengan bebannya yang cukup berat, namun tidak sekalipun terdengar kalimat keluhan darinya. “..kira-kira pata taung umuru’ku natama NippongngE ri Belawa, nak..” (..kira-kira saya berumur 4 tahun ketika tentara Jepang masuk di Belawa, nak..), demikian kisahnya. 

“Marejjing tongengga atuongengngE wettuEro, yE’ ? (Apakah betul jika kehidupan sangat sulit pada masa itu, yE’ ?), tanyaku. 

‘AwwE, dE’nagaga rejjing pada-padanna, Nak.. Puwang Allah Ta’ala mani missengngi ..” (AwwE, tidak ada lagi penderitaan yang menyamainya, nak. Kiranya hanya Allah Ta’ala yang tahu..). Baru kali ini saya melihat wajah tua yang biasanya cerah itu mengerut muram. Kenangan pahit dimasa lalu agaknya menggores kalbunya begitu dalam.

Masa pendudukan bala tentara Jepang adalah masa paling suram dalam hidupnya, atau mungkin bagi semua orang pada masa itu. Bahan makanan terlalu sulit didapatkan sehingga banyak orang terpaksa memakan gedebong pisang. Ibunya meninggal dunia dalam masa yang memprihatinkan itu. Sementara itu, semua lelaki dewasa ditangkapi pula untuk menjadi pekerja Romusha. Maka Ayahnya terpaksa membawanya mengunsi ke tempat-tempat terpencil dimana tidak diketemukan tentara Jepang. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana nasib anaknya yang masih balita itu jika iapun harus menjalani kerja paksa itu.

Menempuh perjalanan jauh dalam keadaan ketakutan serta tanpa bekal apa-apa, adalah suatu penderitaan yang tak terkira. Ayahnya hanya membawa sebuah tempat air yang terbuat dari bambu sambil menggendongnya dengan susah payah. Sementara pakaiannya, hanya yang melekat di tubuh mereka saja.

“Ambo’.. malupuuka’..” (Ayah, aku lapar..), rengeknya dipunggung ayahnya.

“Inungko, nak..” (Minumlah, nak..), sahut ayahnya. Maka iapun meneguk air di bumbung bambu itu. Setelah beberapa lama, perutnya yang sudah membuncit itu terasa semakin melilit, perih karena lapar. Air yang sejak tadi diteguknya tidak mampu memenuhi tuntutan rasa laparnya.

“Ambo’.. malupuuka’..” (Ayah, aku lapar..), rengeknya semakin memelas.

“Inungko si, nak..” (Minumlah lagi, nak..), kata sang ayah dengan nafas ngos-ngosan oleh rasa lelah, lapar dan pilu.

“Malupuu tongenna’, mboo’..” (Aku benar-benar lapar, ayah..), rintihnya mendekati tangis.

Ayahnya berhenti lalu menurunkan anaknya yang malang itu dari punggungnya. Lelaki yang sengsara itu memeluk puteranya seraya menahan sedu sedan yang mencekik kerongkongannya. Ia membelai rambut anaknya sambil berkata, “Atinrono palE’, nak..” (Cobalah tidur, anakku..). Mungkin dengan tertidur sejenak, rasa lapar akan terlupakan sesaat.. Walau cuma sebentar saja. Berharap ketemu ibu dalam mimpi.., ujarnya memenggal kisah merana itu.

Akhirnya sayapun mengerti, bahwa pengalaman pahitnya dimasa kecil yang mengukir mozaik kepeduliannya terhadap anak-anak terlantar. “Tauperrii’Engmi maissengi perriina padanna tau perrii’..” (Orang yang susahlah yang dapat mengerti kesusahan sesamanya .........). Penderitaan bukanlah sekedar uraian kata. Bukan pula sekedar retorika, melainkan dirasakan serta dimaknai oleh nurani. 

Tanra-tanranna rupatauwwE nariyaseng tau, nasaba' mappErasa pessE ri lilana, mappEsammeng ri tigerro'na, mappEnedding pessE ri perruna.. (Pertanda bagi seseorang sehingga dapat disebut sebagai manusia, adalah : Merasakan pedis pada lidahnya, lalu merasakan jika itu dapat melewati kerongkongannya, kemudian terasa perih pula dalam ususnya..). Setiap orang dikatakan lumrah jika mengetahui bahwa PessE (Jahe) memiliki rasa (taste) pedis. Sekiranya saat ini saya memakan jahe, kemudian anda yang sedang membaca tulisan ini sedang memakan jahe pula, pastilah kita sependapat bahwa : Rasa jahe itu pedis. 

Persepsi yang sama tentang rasa jahe yang pedis itulah dikatakan sebagai : solidaritas pessE atau solidaritas sosial dalam bahasa sosiology. Perasaan yang sama terhadap sesuatu itu akan menimbulkan pula kepekaan yang sama sebagai ekspresi kemanusiaan dalam wujud : CARE atau kepedulian terhadap sesama mahluk ciptaan Allah SWT.

Mengarungi samudera hidup yang tak terkira ini, kadang-kadang "Siri" (Harkat diri) tidak dapat ditegakkan sebagaimana yang diinginkan, namun "PessE" yang dimakani sebagai Solidaritas Kemanusiaan, mutlak harus ditegakkan. "Punna tekkullEa nipaEntEng Sirika, paEntEngngi PaccEnu.." (Sekiranya Siri tidaklah mampu ditegakkan, maka tegakkanlah kemanusiaanmu..), demikian wasiat Baginda Sultan Alauddin. Janganlah karena rasa malu terhadap sesuatu menyebabkan hilangnya rasa kemanusiaan. Maka menempatkan rasa malu terhadap Tuhan dalam wujud Iman dan Taqwa adalah prioritas pertama dalam lembaga kepribadian seorang Bugis Makassar dan seluruh umat manusia pada umumnya.


Wallahualam Bissawwab..


Kamis, 06 Januari 2011

Budaya

Ata, Budak atau Hamba ?

Ata adalah budak yang diperjual belikan dan digadaikan..
Ata adalah hamba yang dapat dijadikan mahar perkawinan..
Ata adalah abdi suruhan dalam istana..
Ata adalah sahaya yang dapat dipinjamkan sebagaimana halnya aksesoris..
……………………………………………………………………………………………………………………………..

Demikian antara lain pendapat atau persepsi sebagian orang jika ditanyakan perihal “Ata”. Namun sesungguhnya, semuanya sependapat jika dinyatakan bahwa : Ata adalah Manusia jua. Maka timbullah pertanyaan yang mendasar, apa dan bagaimanakah “Ata” itu sesungguhnya ?. Pertanyaan itu kemudian saya tanyakan  pula kepada Ayahanda Andi Panguriseng (A. Mori)  semasa hidupnya, H. Gandaria semasa hidupnya pula, serta Ibunda Hj. Andi KambeccE’ yang kini tinggal menjadi azimat hidup kami. Maka berikut ini diuraikan himpunan persepsi para pelaku sejarah itu.

Bukannya bertujuan untuk menghidupkan kembali masa Aristokrat dan Feodalisme yang banyak menganut pola hidup jahiliah itu, melainkan sekedar melengkapi khazanah Pengetahuan Budaya dan Sejarah pada berbagai sudutnya. Terlepas dari benar atau salah, tergantung dari sudut mana kita memandangnya.

Ata adalah sebuah strata sosial yang menempati urutan terendah dalam kehidupan Masyarakat Bugis dan Makassar. Sekiranya dapat diperbandingkan, Ata adalah suatu kasta yang setaraf dengan kasta Paria dalam Agama Hindu. Walaupun dikategorikan sebagai tingkat terendah, namun sesungguhnya Ata memiliki struktur pula dalam penggolongannya, sbb :

1.       Ata Manaa’

Suatu golongan yang mendapatkan identitas Ata disebabkan oleh keturunannya. Ia terlahir kedua orang tua yang berstatus Ata, maka iapun disebut pula sebagai Ata Manaa’. Golongan inilah yang pada jaman dulu  diperlakukan sebagai objek jual beli, gadai, pekerja dan juga sebagai lambing kekuasaan seorang Bangsawan. Bahkan lebih dari pada itu, pada jaman I La galigo, mereka kerap dijadikan pula sebagai “sesajian” yang dipersembahkan (dikorbankan) jiwanya kepada para Dewa.

2.       Ata Mabuang

Adalah golongan Ata yang berasal dari keturunan “MaradEka” (baik-baik) atau bahkan bisa pula dari kalangan Bangsawan. Mereka menjadi Ata disebabkan banyak hal, diantaranya diuraikan sebagai berikut :

-          Kalah Perang
Pada jaman dulu, akibat paling buruk yang terjadi pada suatu Kerajaan yang kalah perang adalah dijadikannya sebagai Ata bagi Kerajaan yang memenangkan perang. Kondisi itu berlaku sejak masa pra-Islam hingga pada masa Islam telah tersiar di Sulawesi Selatan.  Sebagai contoh kasus, dapat dikemukakan disini yakni peristiwa peperangan antara Kerajaan Sidenreng dengan Kerajaan Kecil Utting dalam tahun 1543. Ketika itu Kerajaan Wajo dalam pemerintahan La Warani To Temmagiang Arung Matoa Wajo X berpihak serta membantu  Utting. Keputusan itu patut dimaklumi karena Kerajaan Utting adalah merupakan “Lili”  atau wilayah taklukan yang berada dalam perlingdungan Tana Wajo sejak La Tadampare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo VII . Adapun halnya dengan Kerajaan Sidenreng, mereka dibantu pula oleh Kerajaan Gowa yang dipimpin langsung oleh Rajanya yang gagah perkasa, yakni : I Mariogau’ Daeng Bonto KaraEng Lakiung Tunipallangga Ulaweng Sombayya Gowa X.

Maka terjadilah peperangan yang amat sengit.  Namun, hanya dalam waktu 10 hari pertempuran mati-matian,  lasykar Wajo terpukul sampai ke negerinya dan dikalahkan secara mengerikan. Orang Wajo secara keseluruhan dijadikan “Ata” yang mengabdi kepada pertuanannya orang Gowa.

La Paturusi Tomaddualeng Arung BettEmpola yang menjadi perwakilan orang Wajo menyerahkan “kemerdekaan diri orang Wajo” dihadapan Raja Gowa seraya berkata dalam terjemahan Prof. Dr. H. Andi Mattulada, sbb :
“...kasihanilah kami, sudilah Baginda menerima upeti kami yang sedikit ini; Kami menebus kesusahan kami; Baginda adalah pertuanan dan kami adalah abdi (Ata) Tuanku.”
Maka menjawablah Raja Gowa, “ Kuterima penyerahanmu, hai Orang Wajo.: Untuk itu Dewata yang Tunggal menjadi saksi; Bahwa kalian abdi (Ata) dan kami pertuanan kalian; Apapun yang kuperintahkan, kalian wajib melaksanakannya !”
La Paturusi Tomaddualeng menyetujuinya seraya berkata : “Begitulah kiranya, KaraEng; Kami akan melaksanakannya sesuai kemampuan, serta membawa kebaikan bagi kami..”.

Dua tahun kemudian, Raja Gowa memerintahkan orang-orang Wajo untuk  memerangi Negeri  Batu Lappa. Penyerbuan itu berhasil dengan gemilang. Namun belum pula pulih kondisi lelah setelah peperangan itu, Raja Gowa memerintahkan pula pada orang-orang Wajo untuk menebang pohon di kampung Samangki (Wilayah Kerajaan Barru). Lima bulan lamanya orang-orang Wajo bekerja keras untuk menebang pohon yang akan dipergunakan untuk membangun Istana Raja Gowa yang baru..

-          Kalah Berjudi
Berjudi adalah sebuah kebiasaan yang sangat popular pada jaman dulu. Mulai dari lapisan rakyat paling bawah, hingga pada kalangan elit. Laki-laki maupun perempuan semuanya main judi.  Khusus bagi kaum perempuan, biasanya dilakukan oleh kalangan wanita bangsawan di Saoraja (Istana). Berbagai macam permainan dijadikan ajang perjudian, diantaranya : MaccupellE’, Maddadu, dll. Namun yang paling popular adalah “Massaung” (Sabung Ayam).

Kebiasaan berjudi yang sudah memasyarakat itu telah melekat sejak jaman I La Galigo. Dikisahkan dalam Lontara Besar tersebut, bahwa : I La Galigo sendiri adalah seorang tokoh judi yang senantiasa berbuat onar di tempat sabungan ayam.

Sebagaimana akibat yang timbul dalam perjudian, bahwa kebiasaan bertaruh itu menjadi semacam candu yang membuat orang menjadi ketagihan. Maka pada jaman dulu, adalah hal yang lumrah jika seorang penjudi ulung yang sedang kalah bertaruh, meningkatkan nilai taruhannya berupa sahayanya, isterinya, anak perempuannya, hingga “kemerdekaan dirinya sendiri”. Akhirnya, banyak pulalah orang baik-baik yang berubah status menjadi “Ata” akibat kalah dalam pertaruhan di arena judi.

-          Perlindungan Diri
Sebagaimana situasi dan kondisi pada jaman dulu, bahwa penegakan supremasi hukum tidak terorganisir dan tertata sebagaimana baiknya pada masa kini. Seseorang atau sebagai suatu kepala keluarga, dalam upayanya mendapatkan perlindungan bagi diri dan keluarganya, biasanya ia mengikatkan diri pada suatu rumpun keluarga yang lebih kuat sebagaimana dikenal sebagai “Appang” atau “Rapu”.  Namun tidak semua keluarga yang berhasil menggabungkan diri pada suatu “Appang” karena penggabungan tersebut biasanya haruslah diikat dengan tali kekerabatan (Perkawinan). Selain itu, iapun harus pula memberi persembahan (Makkasuwiang) dalam bentuk tanah persawahan/perkebunan atau ringgit emas, walaupun pada pihaknya adalah anak perempuan yang akan dinikahi oleh keluarga elit “Appang” tersebut.

Maka keluarga yang lemah tersebut, menjalangkan aktivitasnya dalam masyarakat dalam keadaan rentang oleh kesewenang-wenangan. Hingga pada suatu ketika ia diperhadapkan dengan suatu masalah yang bersentuhan dengan “Siri” (Harga Diri), terpaksa ia melakukan pembunuhan. Pihak keluarga yang terbunuh tersebut berusaha melakukan pembalasan, maka dikejarnya pembunuh tersebut.

Dalam pelariannya tersebut,  ia menuju ke Saoraja (istana) salah satu “Appang” yang besar serta disegani. Lelaki itu bermohon sembah kepada pemuka Appang itu agar diberikan perlindungan atas diri dan keluarganya. Sebagai imbalannya, ia menyerahkan diri beserta segenap keluarganya sebagai “Ata” yang mengabdi secara penuh kepada Appang tersebut.

Pada Kerajaan Belawa sendiri, semasa hidupnya Petta Pangulu Daeng Paliweng, beliau adalah salah seorang tokoh “Appang” yang amat disegani. La Maccaning, salah seorang saksi sejarah itu menuraikan kepada penulis, bahwa : “..narEkko engka tau ilellung nasaba’ maElo’i riuno, namoo naddEmperengmi passapungna nateppa ri laleng palla’na Petta PanguluE, napaliinitu alEEna pallellungngE lEEsu ri kampongna. Salama’ni tu to rilellungngE..” (..jika ada orang yang dikejar karena mau dibunuh, lalu ia melemparkan destarnya kedalam pagar Petta PanguluE, seketika itu para pengejarnya menghentikan pengejarannya lalu kembali ke kampungnya. Maka selamatlah orang yang dikejar itu...).

Menurut riwayat, bahwa semasa hidup puekku La Tengko Petta Manciji’E ri Wajo, baginda berpesan kepada orang-orang Lonra, bahwa : “ ..engkatu ana’ rijajiangku riyaseng I Batari utaro ri Lonra. NarEkko engka tau maElo riuno, assaleng naddEmpengmoi passapunna muttama ri palla’na, salama’ni tu..” (Aku telah menempatkan anak kandungku bernama I Batari di Lonra. Jika ada orang yang terancam jiwanya, walaupun cuma destarnya yang ia lemparkan masuk dipagar rumahnya, maka iapun selamat..).

-          Korban Penculikan
Pada jaman dulu, orang-orang Enrekang kerap memasuki wilayah pegunungan Toraja untuk menculik orang-orang Toraja lalu dijualnya sebagai budak belian. Kondisi itu berlangsung selama berabad-abad hingga La ParErEngi Petta PonggawaE Bone turun tangan membasmi penculikan itu dengan operasi milter dalam abad XIX.

Orang-orang Toraja yang diculik dan dijadikan budak belian itu kadang-kadang justru berasal dari keluarga bangsawan dari negeri asalnya. Alkisah, seorang budak belian yang masih berumur remaja dalam sebuah rumah keluarga kaya di Wajo , selalu memperlihatkan tingkahlaku yang aneh. Jika dalam keadaan tertidur, budak itu selalu menaikkan kaki kanannya bertumpu pada lutut sebelah kirinya. Kebiasaan tidur dengan cara demikian, lazim ditemukan pada anak bangsawan tinggi. Setelah ditelusuri hal ikhwalnya, ternyata anak adalah salah seorang putera Arung Sangalla’ di Toraja. Kemudian saudagar itu mengembalikannya kepada Arung Sangalla’ sehingga mendapatkan imbalan 100 ringgit emas.

3.       Ata Tai Manu’

Golongan abdi seperti ini adalah menempati tingkat paling dasar dalam struktur sosial para abdi. Ia adalah suruhan para Ata yang lainnya. “Atanna ataE..” atau “Ata Puppuu..”, demikian diistilahkan dalam kehidupan istana. Golongan inipun sebenarnya tidaklah mesti berasal dari turunan “Ata”, sehingga dapat pula digolongkan sebagai “Ata Mabuang”. Namun penyebab jatuhnya status sosialnya itu dinilai sangat terhinakan karena “berhutang”.

Ia sedang menanggung hutang yang sangat besar pada seseorang yang tergolong sebagai “Ata” dimana tidak mampu dibayarnya, maka ia dijadikan sebagai “Ata”.

Fenomena keberadaan "Ata" sebagai suatu status sosial dalam masyarakat adat Bugis Makassar memberi warna tersendiri sebagai suatu hal yang membudaya. "Mannokoo Ata-Ata.." (Menggerutu bagai budak..) adalah istilah bagi orang yang suka mengeluh dan menggerutu terhadap suatu tugas/pekerjaan yang menjadi kewajibannya namun dikerjakannya jua. Seorang "Ata" melaksanakan pekerjaan tanpa imbalan apa-apa karena ia tidak memiliki kemerdekaannya sebagaimana hak asazinya sebagai umat manusia.

Namun jangan dibayangkan bahwa "Ata" dalam masyarakat adat Bugis Makassar itu sama halnya dengan budak sahaya di Negeri Arab pada masa jahiliah, demikian kata ayahanda. Seorang Ata dikatakan "rendah" karena mereka menempati tangga paling bawah dalam struktur sosial masyarkat Bugis pada jaman dulu. Tetapi kebanyakan mereka didapati pula sebagai orang-orang elit yang melebihi kalangan masyarakat umum pada masa itu. Mereka mengenakan pakaian yang lebih layak dari pada orang-orang "Maradeka". Mereka pula kebanyakan lebih terpelajar dari pada masyarakat kebanyakan. Hal itu disebabkan karena mereka sering ikut mendampingi majikannya, sehingga majikannya itu memberikan pakaian yang sepadan untuk mendampinginya pada berbagai acara. Mereka pula diajari baca tulis serta tata bahasa yang baik karena seringkali mereka difungsikan sebagai utusan atau juru bicara pertuanannya. Maka fungsi "Ata" dalam Saoraja (Istana) adalah : Dayang-dayang, pengawal dan kadangpula dimintai nasehat dan pandangannya. 

Bayangkan dirimu jika kau bekerja sebagai pegawai di Istana Merdeka pada masa ini. Maka begitulah status pekerjaan "Ata Saoraja" pada masa lalu, demikian kata H. Gandaria. Seorang "Ata" kepercayaan penguasa kadangkala lebih ditakuti oleh masyarakat daripada tuannya sendiri. Semisalkan ia menyukai seekor ayam milik masyarakat, maka dengan mudahnya diambilnya saja ayam itu dengan alasan "Napojiwi DatuE iyE manu'E.." (Raja menyukai ayam ini.."). Pemilik ayam itu tidak bisa berbuat apa-apa.

Sementara pada waktu lain ia membenci seseorang, dengan mudahnya pula ia menikam orang itu hingga mati. "Magi munoi Ero tauwwE ?!.." (Kenapa kau bunuh orang itu ?!..), tanya Sang Datu. Dengan bersujud sembah, Ata itu menjawab dengan takzimnya : "TabE', tennapodo temmatula atanna puekku DatuE nasaba mappEbali ri puengna. Mappanniga-nigai sengngatakku. Mappoadai ri tengngana tau maEgaE makkeda : dE'na gaga tau uwasiri.. pabbettuwangenna ataE, dE'tona nasirii'i pappuengengku. NarEkko napusirini DatuE, napumatEni tu joana.. Polo paa polo pannii', usaung sunge'ku ri laleng siriina puekku DatuE " (Ampuni hamba, semoga patik tidaklah kena tulah karena menjawab perkataan pertuanannya. Orang itu "Mappanniga-niga". Ia mengatakan dihadapan khalayak umum, bahwa tidak ada siapapun lagi yang diseganinya.. Dalam pengertian hamba, termasuk pula pertuananku yang tidak diseganinya pula. Adalah kewajiban hamba, sekiranya Tuanku merasa malu terhadap sesuatu, itu berarti masanya hambamu ini mempertaruhkan jiwa raga.. Walaupun mesti patah bagai pahat serta patah pula sayapku, hamba siap menyabung nyawa demi harga diri kemuliaan tuanku..).

Demikian pintarnya memutar kata hingga Sang Datu hanya mengangguk-angguk belaka. Padahal penyebab ia membunuh orang tersebut, tiada lain karena ia ditolak lamarannya terhadap anak perempuan si orang terbunuh. Maka sebagian besar Ata kadang memiliki kekuasaan pula.

Seorang Ata dapat pula dipulihkan statusnya sebagai "tomaradEka" (Orang Merdeka). Ada banyak hal sehingga mereka mendapatkan "anugerah" kemerdekaan itu dari majikannya, sebagaimana diuraikan sebagai berikut :
1.       Berjasa
Ia melakukan jasa besar dalam bentuk kepahlawanan yang menyelamatkan nyawa majikannya. Selain jasa kepahlawnan itu, seorang Ata dapat pula dinilai berjasa jika melindungi aib pertuanannya atau dikenal dengan istilah (Nasampoi Sirina Puengna). Sebagai contoh : Seorang Datu yang menghamili seorang wanita dari kalangan masyarakat umum, maka abdinya yang mengakui perbuatan itu serta menikahinya.

2.       Melakukan “Majjujung Kappara UwaE Lebbi”
Seorang majikan yang meninggal dunia, ketika jenasahnya sedang dimandikan, para Ata duduk bersila dibawah kolong Saoraja (Istana) persis dibawah jenazah pertuanannya. Mereka menjunjung baki besar yang menerima jatuhan air mandi jenazah pertuanannya. Perlakuan itu adalah bhakti terakhir yang tidak bisa dihalangi kemerdekaannya oleh para ahli waris majikannya.

3.       Ritarima Sompana (diterima maharnya)
Seorang wanita dari kalangan “Ata” dapat pula dinikahi oleh seorang TomaradEka. Ide pernikahan itu biasanya diatur pula oleh sang Majikan yang menyayangi sahayanya itu. Ketika mahar dipersembahkan, maka itulah yang dijadikan sebagai tebusan kemerdekaan bagi diri wanita itu.


Namun demikian, kebanyakan bekas “Ata” memiliki kesetiaan terhadap pertuanannya.  Mereka memandang pemimpinnya sebagai sosok agung yang pantas dilabuhi rasa pengabdiannya yang dalam. Sebagaimana yang digambarkan tentang kepribadian seorang Bangsawan yang sebenarnya, adalah : Naiyya arungngE, maccarinna na malabo.. (Bangsawan itu penuh kasih sayang dan suka memberi..). Setiap Ata yang dimerdekakannya, dilepasnya disertai dengan harta benda yang cukup untuk menjadi sumber penghidupannya.


Sekelumit Pengalaman Pribadi


Menurut pengalaman pribadi penulis, bahwa harta benda Petta Pangulu Daeng Paliweng dan Petta Pabbicara Daeng Malebbi telah dibagi-bagikannya kepada para abdi yang dimerdekakannya dalam jumlah  hampir sama besar dengan warisan putera puterinya sendiri. Demikian pula dengan harta benda Datu Batari Petta Lonra, baginda telah membagikan pula banyak harta benda kepada para bekas abdinya dalam jumlah yang sangat banyak. Jauh lebih besar dibanding “mahar pernikahan” yang diterimanya, sehingga tiada lain hanya merupakan simbol belaka.


Adalah hal yang sangat mengharukan, para bekas Ata yang  sudah “MaradEka” itu senantiasa setia serta tetap mengatakan diri sebagai abdi pada anak cucu bekas pertuanannya. Dalam tahun 1971 (saat penulis masih dalam kandungan), terjadi kemarau panjang di Belawa. Tanah persawahan menjadi kering kerontang sehingga tidak memungkinkan untuk ditanami padi.  Sementara itu, Kakanda H. Andi Pajung yang masih berumur 5 tahun kala itu tidak mau memakan nasi jagung samasekali. Ayahanda dan Ibunda tidak bisa berdaya apa-apa karena iapun tidak terbiasa bekerja sebagai buruh panen.


Tanpa diduga, para bekas abdi itu berombongan ke EmpagaE (Wilayah Kabupaten Sidrap) dan tinggal selama beberapa minggu sebagai buruh panen. Setelah kembali mereka memberi ½ dari hasil upayanya itu kepada orang tua kami dengan ikhlas (tanpa diminta). Semasa kecil, penulis diasuh pula oleh  “nEnE Rukka”, salah seorang mantan abdi Petta Pangulu yang masih hidup. Beliau sesungguhnya adalah anak seorang “Ata Mabuang” yang berasal dari keluarga Bangsawan dari Suli (Luwu).  Anak perempuan beliau dinikahkan pula dengan seorang turunan bangsawan, keluarga Petta Pangulu pula.  Lama setelah meninggalnya beliau, barulah penulis mengetahui jika ia bukanlah Ibunda dari Ayahanda yang sesungguhnya.


Wallahualam Bissawwab..


Selasa, 04 Januari 2011

Ininnawa


Maogi-ogi' ?

Hari ini saya tergelitik dengan sentilan Adinda Andi Suwaidi via Facebook tentang salah satu sisi kepribadian orang Bugis. "Ogi'E, narEkko engka naita malebbi, namoni bangsa laing, nasemmani maogi-ogi.." (Orang Bugis, kalau melihat sesuatu yang baik atau mulia adanya, walaupun itu suku lain, dikatakannya dengan anggapan sebagai sesuatu yang bersifat bugis belaka..), demikian kata adindaku itu.
.......................................................................................................

Sayapun sering mendapatkan hal yang sedemikian, utamanya pada kalangan orang tua-tua. Ketika seseorang sedang berlalu didepannya seraya membungkukkan badan dan menghaturkan "TabE" (Permisi), dikatakannya itu "MakkEade' Ogi’i.." (Beradat Bugis..). Apabila dilihatnya seseorang yang berparas tampan dengan alis yang hitam lebat serta melengkung bak bulan sabit, iapun berkata : "Makerra arung enningna, samanna maogi-ogii tappaana.." (Alisnya begitu hitam bagai bangsawan, bagaikan paras orang Bugis..).

Sebaliknya pula, ketika anak atau cucunya melakukan hal yang tidak patut, dikatakannya pula sebuah cela'an, "MagijE' muassipa' Jawa-Jawa ?!" (Kenapa kau bersifat Jawa-Jawa ?!). Perlu dijelaskan disini, bahwa istilah "Jawa" dan "Jawa-Jawa" maksudnya adalah "Orang Jawa", namun pengertiannya berbeda. "Jawa" (Orang Jawa) biasanya dikonotasikan sebagai sesuatu yang baik. Sebagai contoh adalah ungkapan tentang sesuatu yang lebih baik, misalnya : Laono ria' La BEmpa cippE', guci langro JAWA passullEmu ! (Pergilah kau tempayan yang sumbing, guci buatan dari Jawa menjadi penggantimu..!).

"BEmpa CippE'" (Tempayang yang sumbing) adalah istilah penyebutan bagi seseorang yang cacat moral, sementara "Guci Langro Jawa" adalah pengibaratan bagi seseorang yang memiliki ahlak tanpa cela (nyaris sempurna). Adapun halnya dengan "Jawa-Jawa" dikatakannya sebagai sesuatu yang buruk. Istilah ini dijadikan istilah oleh orang bugis perantauan yang pernah menetap di daerah perkotaan Pulau Jawa. Mereka melihat bagaimana prilaku segelintir orang menjadi pengemis atau pada komplek wanita penghibur yang kebetulan saja sebagian besar orang Jawa, maka disebutnyalah sebagai "Jawa-Jawa" (bukan Jawa sejati).

Istilah buruk yang disifatkan terhadap bangsa lain tersebut, bukan hanya pada orang Jawa saja. Banjara' (Orang Banjar), Malaju (Melayu), Daya' (Orang Dayak), Mangkasaa (Orang Makassar), Toraja (Orang Toraja), Butung (Orang Buton) dan lainnya tidak luput pula dari pencitraan yang kurang baik pula. Seorang lelaki Bugis yang beristeri wanita Banjar, niscaya anaknya akan disebut sebagai "Ana' Banjara'E" (Anaknya orang Banjar). Jauh lebih parah lagi sekiranya wanita Bugis yang dinikahi oleh lelaki suku lainnya, maka anaknya dengan sertamerta tidak mendapatkan identitas Bugisnya sama sekali.

Pemikiran-pemikiran picik sedemikian itu bukan hanya didapati pada pemahaman antar bangsa, melainkan juga antar sesama orang Bugis sendiri. Kadangkala kita mendapati orang Bugis Bone menyatakan diri sebagai "Bugis Sejati" daripada bugis lainnya. Mereka mengatakan itu karena adanya La Tenri Tatta Daeng SErang To Erung Petta TorisompaE MalampE'E Gemme'na Arung Palakka MatinroE ri Bontoala juga digelar pula sebagai "Datu Tungke'na Tana Ugi" (Pertuanan Tunggal Tanah Bugis) yang adalah juga Mangkau' ri Bone (Raja Bone).

Ada pula orang Bugis Wajo yang mengatakan diri sebagai "Kaminang" (Yang TER..). Sebagaimana diungkapkannya, sebagai berikut : Naiya toWajo'E, riyasengngi KAMINANGNGE. Iya kaminang Sogi, Iyato kaminang Warani, Iyato kaminang Macca, Iyato Kaminang Pangrita, Iyato kaminang Mabello, Iyato kaminang Arung. Nasaba' Punggawa Ade' Allopi-loping na padangkangngE monroE ri Juppandang, To Wajo. La Maddukkelleng to waraninna Tana Ugi, To Wajo. La MungkacE To Uddama to tongeng maccaE assalenna pananrangngE ri Tana Ugi, To Wajo. Gurutta Sade’, angrE gurunna sininna pangrita marajaE, To Wajo. Lipa’ sabbE mabelloE, pole toi ri Wajo.. Wija sengrimana Arung polE ri Tana MarajaE magguliling engka  maneng toi maddeppa’ ri Wajo..  (Sesungguhnya orang-orang Wajo disebut sebagai “Yang Paling Segalanya”. Mereka yang paling kaya, mereka pula yang paling berani, mereka pula yang paling pintar, mereka juga yang paling ulama, mereka juga paling indah, mereka pula yang paling berdarah bangsawan. Karena Punggawa para saudagar yang berdiam di Ujung Pandang adalah orang Wajo. La MungkacE to Uddama Sang cerdik cendekiawan penyusun kitab Pananrang di Tanah Bugis juga adalah orang Wajo. Gurutta Sade’ guru para ulama besar juga orang Wajo pula. Sarung sutera yang indah juga datangnya dari Wajo.. Keturunan agung para Raja-Raja Besar dari seluruh negeri bertebaran pula di Wajo..). Uraian tersebut didengar langsung oleh penulis dari perkataan salah seorang Almarhum Tokoh Besar Wajo yang namanya tidak dapat disebut dalam tulisan ini.

Beberapa waktu yang lalu, salah seorang sepupu penulis yang cucu langsung Datu Puekku Andi Mappanyompa Paddanreng Pammana (Almarhum Datu KapE) berkata, “Makkedai tau riyolota ri Pammana: narEkko engka tau mEnrE’ maddutai wijammu ri bolaE, akkutanangngi yolo’ apolEngenna. Namow mallipa’ sabbE narEkko Tau SidEnrEng, aja’ yolo’ na tappa itangke’, iyakkutanang mopa abbatirengna. NaEkiya, inamoow mallipa’ karoro narEkko nasengengngi alEna polE ri Pammana, tangke’ni..” (Orang-orang terdahulu dari Pammana telah berkata : Jikalau ada seseorang yang datang ke rumah untuk melamar keturunanmu, tanyalah terlebih dahulu asal muasalnya. Walaupun dia mengenakan sarung sutera tapi mengaku sebagai orang Sidenreng, jangan dulu diterima lamarannya. Tanyalah lagi keturunanya. Namun sekiranya orang itu mengenakan sarung yang terbuat dari terpal tapi mengatakan diri sebagai orang Pammana, maka terimalah lamarannya..). Agaknya inilah yang dikatakan Adindaku Andi Suwaidi sebagai “ MatangrE Ati..” (Tinggi Hati). Kemudian kutambahkan pula menurut pendapatku bahwa orang-orang yang berpikiran “MatangrE Ati” tersebut adalah “Buta Ati, tennaisseng alEna, tennapahang apolEngenna, tenna jeppui toi padanna rupa tau..” (Buta hati, tidak tahu diri, tidak memahami asal muasalnya sehingga tidak pula memaknai pula keluhuran sesamanya manusia..), Subhanallah.

Motif yang menjadi suatu masalah prilaku sosial tersebut diatas bukanlah karakter luhur dari To Ugi (Orang Bugis) yang sebenarnya. Anggapan-anggapan yang mengkristal menjadi sebuah istilah pencitraan itu didapati pada segelintir orang Bugis yang berwawasan sempit, terkungkung oleh garis linear penjiwaan tradisinya yang amat terbatas.

Seperti katak dibawah tempurung, kira-kira seperti itulah istilah yang paling tepat bagi orang-orang yang berpikiran demikian. Persepsinya amat terbatas bagai orang buta yang memegang belalai gajah sehingga beranggapan bahwa “Gajah itu panjang dan bulat bagai batang pohon kelapa..”.

“Aja’ muakkEampE-kEampE pada MalajuE, kalaki’”  (Jangan  bertingkah bagaikan orang Melayu..), demikian katanya. Ada apa pula dengan orang Melayu  ?. Ia mendengar tapi tidak menyimak. Lagu Bulu Alauna Tempe yang menurut kita sebagai lagu Bugis asli, padahal nada dan iramanya adalah murni Langgam Melayu.  Irama lagu asli Bugis sebenarnya tiada lain adalah Irama Passure’ yang naik turun tak beraturan. Sebagian besar dari kitapun tidak tahu pula, bahwa kebudayaan Melayu yang mewarnai keindahan budaya Bugis sehingga dapat dilihat sebagai sesuatu yang indah seperti sekarang. Orang Melayu yang mengajari leluhur  kita memakai celana panjang “Seluar”, kemudian kini dinamai sebagai “Seluara’ “. Bagaimana pula dengan orang Jawa ?. Perempuan Jawa mengajari  ibu-ibu kita mengenakan baju Kebaya yang akhirnya kita namai pula sebagai Baju Kabaja’.

Maka benarlah kiranya kata orang bijak dari masa lalu, Pakataui padammu rupatau, mupakataui alEmu.., pakalebbii'i padammu rupa tau, na mupakalebbii'i tu alEmu.., Sipattongeng, sipakEnrE', sipakkamasE-masE  (Me-manusiakan orang lain berarti me-manusiakan diri sendiri.., Me-mulia-kan sesama manusia, berarti memuliakan diri sendiri.., saling tenggang rasa, saling menjunjung, saling mengasihi). Orang arif itu tidak mengatakan, Pakaogi'i tauwE.. (Mem-Bugis-kan orang lain..). Akhirnya disinilah titik pentingnya untuk mempelajari khasanah budaya dan sejarah. Seorang manusia Bugis perlu untuk mengenal diri secara paripurna dimana upaya itu dimulai pada pengenalan tentang latar belakangnya. Keluhuran nilai yang ditimbanya pada upaya pengenalan itu akhirnya akan menumbuhkan sikap "mawas diri" dalam mengarungi masa depannya. "Naiya Ogi'E, najeppui alEna, taro pasoro gau'na, mappakalebbii ri tau bali lipunna.." (Orang Bugis itu : Mengenal dirinya, bertanggung jawab serta memuliakan orang dari luar negerinya..), demikian kata Andi Bau Mapparimeng. Kemudian disambungnya pula, " EE, La Oddang, Aja' mutajeng alEmu ipakalebbi, appadioloko mappakalebbii, Aja' muapparogi, appasaroko, saroi masEna padammu rupa tau, iyanatu wawang salama' lino matti' ri ahEra' " (EE, La Oddang, Jangan menunggu dihormati, melainkan berilah hormatmu terlebih dahulu, jangan sampai kau merugikan orang, melainkan untungkanlah orang itu, tanamlah budi yang baik pada sesama manusia, maka itulah bekal selamat dunia dan akhirat..).

"Mawas diri" yang dikatakan sebagai "Najeppui AlEna" dalam kosa kata Bugis itu, adalah suatu bekal yang sangat berguna untuk memandang dunia sekitarnya dengan lebih jernih. Kelebihan dan kekurangan diri akan nampak jelas jika senantiasa disertai dengan hati yang bersih. Membersihkan hati mustahil dapat dimulai jika tidak diawali dengan kejujuran. Jujur menilai dan melihat kekurangan diri, serta jujur pula dalam melihat kelebihan orang atau bangsa lainnya. Maka dengan sikap luhur seperti itu, "Ephoria" berlebihan akan sirna dengan sendirinya.

Berabad-abad yang lalu, La Tadampare' Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo mewasiatkan sikap itu dengan sungguh-sungguh. "Iya pada ripogau' malempu'E, napojiE DEwata SeuwwaE. Napaddeppungengngi ritu waramparangngE. Aja' mupasilEngengngi tauwE, mawE' mabEla. Sappareng manengngi iya napodEcEngngE tauwE "(3:1719:62). Artinya : Berbuat jujurlah selalu, karena sikap seperti itulah yang dikaruniai Dewata Yang Tunggal, sehingga berkumpullah rezeki yang berlimpah. Jangan membedakan sesama manusia, baik yang dekat maupun yang jauh. Usahakanlah dengan sesungguhnya, segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi sesama manusia..

Wallahualam Bissawwab.

Senin, 03 Januari 2011

Telaga Hati

Excuse You..
             Dyong

Aromanya harum
Setidaknya itu kataku
Indah berbalut kertas putih
Menurut pandanganku
Bukanlah sekedar memuja
Kupuji kesetiaanmu
Aku tidak untuk dimengerti
Kaupun bukan pula secarik makna
Pada kabut lembah nirwanamu
Kulukis panorama hatiku
Aku tidak sedih
Bahagia juga tidak
Aku cuma merokok..
Maafkan dirimu
Tapi jangan tarik kakiku
Don't pull my legg, please
It's hurt.. sakit
Perjalananku masih jauh
Far away..

Sabtu, 01 Januari 2011

Ana' OgiE, Sejauh Layarnya Terkembang

Ksatria Makassar, menantang badai (bag.5)


"..dan meskipun pasukannya (Raja Siam Phara) terdiri atas 10.000 orang dan dibantu oleh 40 perwira Eropa (Perancis, Inggris dan Portugis), orang Makassar yang baru berapa ratus saja tetap tidak mau menyerah, malah bertahan selama beberapa hari. Akhirnya mereka semua mengamuk. Dalam pertempuran itu kira-kira 1000 orang Siam dan 17 perwira Eropa tewas, sedangkan dipihak Makassar hampir semua dibunuh, termasuk Daeng MangallE. Yang ditangkap hanyalah 55 orang, yang hampir semua luka-luka termasuk 2 orang anak lelaki Daeng MangallE yang bernama Daeng Ruru (yang berumur 14 tahun) dan Daeng Tulolo (12 tahun). 
(DR. CH. Pelras,1975:58)
................................................................................................................

Abdul Hamid Daeng MangallE telah tiada. Para pengikutnya yang masih hidup menyebutnya sebagai "gugur" mempertahankan kehormatannya. Sebaliknya, orang Siam menyebutnya sebagai "tewas" dengan hina akibat membalas budi baik Raja Phra Narai dengan penghianatan. Entah yang mana lebih tepat diantara kedua persepsi tersebut, namun sejarah telah memberitakan suratan nasib itu dengan bijaknya, tanpa keberpihakan.

Adapun halnya dengan kedua putera Daeng MangallE tersebut diatas, merekapun ikut bertempur melawan pasukan penyerbunya. Keduanyapun telah terluka namun tetap mengamuk sambil bahu membahu saling melindungi. Akhirnya dilihatnya jenazah ayahnya terbujur dengan penuh luka. Tanpa memperdulikan para penyerangnya, mereka memeluk jenazah itu dengan kesedihan yang tak terkira. Keduanya niscaya terbunuh oleh pasukan Siam sekiranya tidak diselamatkan oleh pasukan Perancis yang kagum melihat keberanian anak-anak Makassar itu.

Dikemukakan pula oleh Sejarawan H.D. Mangemba bahwa setelah diselamatkan oleh pasukan Perancis, keduanya dibawa menghadap pada Duta Besar Perancis untuk Kerajaan Siam, yakni : Gervaise (sumber utama riwayat ini, penulis). Mengetahui serta melihat sendiri keberanian ayah kedua anak itu, muncullah dalam pemikiran Duta Besar itu untuk membawa keduanya ke Perancis. Keberanian ayahnya pastilah menurun pula kepada kedua puteranya. Sekiranya mereka mendapat didikan militer yang tepat, pastilah keduanya akan menjadi perwira tangguh yang berguna bagi Kerajaan Perancis, demikian kira-kira ide yang timbul dibenak Gervaise pada waktu itu.

Untuk mewujudkan idenya itu, Gervaise mengirim surat kepada Raja Louis XIV dengan mengabarkan perihal kedua putera Makassar itu serta memohon perkenan agar keduanya dibawa ke Perancis. Mengetahui khabar itu, Louis XIV mengirim surat pula kepada Raja Siam Phra Narai meminta agar kedua putera Daeng MangallE itu dikirim ke Perancis. Maka Phra Narai pun setuju dengan mengutus Perdana Menteri Siam, Constance Phaulkon untuk menyertai rombongan Duta Besar Gervaise yang mengantar kedua anak itu ke Perancis.

Pada tanggal 5 Nopember 1686, rombongan yang mengantar Daeng Ruru dan Daeng Tulolo bertolak dari Ayuthia menuju Perancis dengan kapal Perancis "Le Choce" dibawah pimpinan Kapten De Hautmesnil. Mereka menempuh perjalanan laut yang jauh selama 10 bulan hingga tiba dengan selamat di Kota Paris dalam tahun 1687.

Adapun halnya kedua putera Almarhum Daeng MangallE itu setelah mendarat di Kota Paris, mereka berada dalam asuhan dan pengurusan Duta Besar Gervaise. Untuk memberikan pendidikan awal dalam masa adaptasi di negeri yang serba asing bagi mereka itu, keduanya dititipkan pada sekolah yang paling terkenal di Paris, yakni : College de Clermont. Sebuah lembaga pendidikan yang dikelola oleh para Pastor Yesuit.

Pada awalnya, keduanya mendapatkan kesulitan dalam asrama sekolah itu. Pasalnya, mereka adalah anak Muslim yang mendapat pendidikan agama Kristen di lembaga itu. Mereka tetap teguh menjalankan Sholat Lima Waktu di asrama yang diasuh oleh para pastor itu. Walaupun berulangkali ditegur oleh pastor, namun mereka tetap teguh menjalankan ibadahnya sebagaimana yang ditanamkan kedua mendiang orang tuanya.

Beberapa hari menjalani kehidupan baru di asrama, keduanya dihadapkan pada Raja Louis. Melalui penerjemah, Raja Matahari Perancis tersebut mengatakan kekagumannya namun kurang senang pula karena mereka beragama Islam. ntuk itu baginda berharap agar keduanya memeluk agama Kristen.

Setelah kembali ke asrma sekolahnya, para aparat kerajaan menyampaikan keinginan Raja tersebut pada kedua anak itu. Tetapi keduanya menolak dengan keras. Namun begitu gigihnya bujukan para aparat kerajaan dan pendeta pengurus asrama itu, akhirnya keduanya menurut. Mereka bersedia pindah agama karena dijanjikan bahwa Raja Louis XIV berkehendak menjadikan mereka sebagai anak angkat, sekiranya keinginannya dipenuhi.

Maka kedua putera Daeng MangallE itu dibaptis dengan Raja Louis XIV sendiri yang menjadi bapak baptisnya. Mereka mendapatkan nama baptis pula disertai dengan gelar kebangsawanan Kerajaan Perancis. Daeng Ruru memperoleh nama sebagai : Louis Pierre Daeng Ruru de Macassar, sedang adiknya Daeng Tulolo mendapatkan nama, yakni : Luis Douphin Daeng Tulolo de Macassar.

Raja Louis XIV benar-benar telah memenuhi janjinya kepada kedua anak Makassar itu. Baginda memenuhi kebutuhan hidup mereka sebagaimana layaknya pangeran serta bertanggung jawab pula pada pemenuhan kebutuhan yang menyangkut pendidikannya. Keduanya yang telah terdaftar pada Kolese Jesuit le Grand untuk mempelajari Bahasa Perancis dengan mahir serta segala etiket pangeran Perancis. Selain itu, sebagai anggota keluarga kerajaan, keduanya pun mengikut tradisi pendidikan sebagaimana halnya para pangeran Perancis pada masa itu. Kakak beradik itu melengkapi pendidikannya dengan tradisi pendidikan militer selama  5 - 6 tahun. Maka mereka didaftarkan pula pada Sekolah Tinggi Militer Clermont yang terkenal itu.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Clermont dengan hasil yang amat memuaskan, maka dalam tahun 1682 mereka didaftar pula di pendidikan Marinir Tertinggi di Perancis, yakni : Sekolah Perwira Angkatan Laut di Brest.


(bersambung)