Ksatria Makassar, menantang badai ! (Part 4)
Perang Terakhir Sang Ksatria (bag. 3)
Membaca, mengulas dan memahami sejarah mestilah dilakukan dengan mata tertutup, namun hati dan penalaran haruslah semakin dipertajam. Sejarah adalah mutlak sebagai sesuatu yang benar (nyata), walaupun didalamnya tidaklah mesti memuat sesuatu yang dinilai "salah" atau "benar", "suka" atau "tidak suka", "setuju" atau "tidak setuju". Karena sejarah bukannya "Hitam Putih" belaka, melainkan terdiri dari segenap warna kehidupan sebagaimana halnya pada saat ini dan masa yang akan datang. Walaupun itu tidaklah mesti benar adanya, namun setidaknya akan menjadi sebuah reverensi untuk menggali sebuah nilai kebijakan hidup. Maka disinilah hakikat perlunya belajar pada sejarah. Menyikapi masa depan yang lebih baik haruslah berkaca pada cermin sejarah.
Setelah membaca episode terdahulu tulisan ini, kakanda penulis sempat mengomentarinya secara langsung, bahwa apakah tulisan ini bukan sebuah eksploitasi dan "kebanggaan" berlebihan terhadap keberanian suku Makassar ?. Penulis menjawabnya dengan pertanyaan pula, "Untuk tujuan apa ?". Kita bukanlah orang Makassar. Namun tidak dapat kupungkiri, bahwa kisah keberanian itu memberiku ilham bahwa jika karakter itu dapat dipadukan dengan kecerdasan dan IMTAQ, maka itu adalah sebuah aset berharga bagi Agama, Bangsa dan Negara Kesatuan tercinta ini di masa depan.
Pada prinsifnya, manusia di dunia ini pada dasarnya sama. Mereka sama memiliki rasa keberanian dan rasa ketakutan. Namun, kondisi alam dan budaya yang menjadi ruang terbentuknya karakter itu membuat para bangsa memiliki karakter khas mereka masing-masing. Seorang peneliti Indonesia berkebangsaan Amerika pernah mengemukakan pendapatnya tentang karakter suku Bangsa di Indonesia, bahwa : Keilmuan adalah kelebihan orang Melayu, Kecerdasan adalah kepunyaan orang Jawa dan Keberanian adalah kekhasan orang Bugis Makassar. Maka saya berpikir, betapa dahsyatnya Sumber Daya Manusia yang ada di Indonesia. Tapi kenapa bangsa yang hebat ini terpuruk sedemikian rupa ?.. Alkisah, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin sendiri menasehati para panglimanya pada pasca penandatanganan Perjanjian Bungaya, bahwa : Keberanian haruslah diimbangi dengan Kearifan.
...........................................................................................
Kisah keberanian para Orang-orang Makassar ini ditulis oleh Claude de Forbin pada memoarnya, beberapa hari setelah seluruh awak kapal Makassar terbasmi habis di Bangkok. Beliau mengemukakan bahwa seumur hidupnya belum pernah menemukan lawan yang sedemikian nekatnya. Mereka terdiri dari orang-orang yang pantang menyerah. Meskipun tubuhnya sudah tertembus peluru, namun mereka terus maju untuk menikam lawan-lawannya. Salah seorang awak kapal yang ditemukan masih hidup dalam keadaan terluka parah. Pada tubuhnya didapati 17 lubang bekas ditembusi peluru dan tombak pasukan Siam. Namun ketika diperiksa ia tiba-tiba bangun dan berusaha merampas senjata parajurit yang memeriksanya tersebut.
Setelah pertempuran di Bangkok tersebut, suasana perkampungan Makassar yang dipimpin oleh Daeng MangallE semakin tegang. Raja Phra Narai mengirim 10.000 personal pasukan gabungan Siam dan Perancis untuk mengepung perkampungan itu. Namun sebelum penyerbuan, Phra Narai masih memberikan kebijakan terakhir dengan mengutus seorang pejabat kerajaan bernama : Ophra Chula untuk berunding dengan Daeng MangallE. Kebetulan saja rumah kediaman Ophra Chula tidak begitu jauh dari Kampung Makassar, sehingga beliau memiliki hubungan baik dengan Daeng MangallE. Pada rumah Ophra Chula itulah, perundingan itu berlangsung.
Menyadari betapa kritisnya situasi dan kondisinya sebagai pihak yang lemah, Daeng MangallE mengajukan opsi pada Ophra Chula. "..sekiranya baginda Raja tidak lagi menyenangi kami, biarlah kami pergi dari negeri ini untuk selamanya. Akan tetapi, jika baginda tidak mengijinkan kami pergi, serta sudah bertekad untuk menghancurkan kami, maka biarlah kami menunggu nasib di rumah kami. Kami akan memperlihatkan kepada semua orang, bahwa kami adalah JANTAN. Bukannya perempuan Siam...".
Atas bujukan Ophra Chula, pada tanggal 20 September 1686 Pangeran Abdul Hamid Daeng MangallE diiringi 40 orang pengikutnya, berangkat ke Istana Ayuthia. Sebelumnya, beliau mengirim surat kepada Raja Phra Narai bahwa ia selaku pemimpin orang-orang Makassar yang bermukim di kampung Makassar, akan menghadapkan sembah serta memohon pengampunan kepada baginda, namun tetap tidak akan membicarakan daftar nama yang diminta dulu itu.
Sesampainya di depan gerang Istana, Daeng MangallE beserta rombongan disambut beberapa pejabat istana yang dikenalnya pula dengan baik. Mereka menyampaikan titah baginda Phra Narai, bahwa Daeng MangallE beserta rombongan dapat memasuki istana dengan syarat harus menanggalkan badik, keris serta segala persenjataannya di depan pintu gerbang. Mendengar penyampaian itu, murkalah Daeng MangallE !. Pangeran Makassar itu menyampaikan pula pesan kepada Raja Phrai Narai sebagai letupan amarahnya, : " Saya tidak akan tunduk jikalau syaratnya adalah menerima penghinaan sedemikian !. Saya menyadari, bahwa saya adalahsebatang pohon besar yang akarnya menghunjam dalam bumi yang saat ini terancam diterpa badai. Sekiranya badai itu datang menerpa, saya akan menahannya sekuat tenaga !. Kalaupun akhirnya saya haros roboh, maka tumbang pulalah segala batng pohon kecil yang tumbuh disekitarku. Raja mengetahui dimana rumahku. Kalupun saya tidak diperkenankan menghadap Raja dengan bersenjata, maka biarlah baginda sendiri yang datang menemui saya jika ia memang berurusan lebih lanjut !".
Jalannya Perang Terakhir
Mengetahui perihal pembangkangan Daeng MangallE, Raja Phra Narai memutuskan untuk menggunakan kekuatan militer untuk menundukkannya. Pada malam itu juga dikerahkanlah 6.000 personel pasukan kerajaan Siam ditambah gabungan perwira Eropa (Perancis, Portugis dan Inggris) untuk menyerbu Kampung Makassar. Selain itu, dikerahkan pula 2 Kapal Perang, 22 Galai dan 60 perahu kecil yang ditempatkan di Sungai Menam yang berbatasan dengan Kampung Makassar. Maka kedudukan Daeng MangallE beserta pengikut-pengikutnya sudah terkepung total. Tidak ada harapan lagi untuk selamat dari kepungan itu. Menyadari situasi tersebut, segenap orang Makassar itu saling bermaaf-maafan sebagai tanda akhir kebersamaan mereka yang juga akan menjadi akhir hidupnya.
Dr. Christian Pelras menguraikan lebih lanjut, bahwa keesokan hari, yakni tanggal 21 September 1686 pada pukul setengah lima pagi, Komandan pengawal pribadi Perdana Menteri bernama Okluan Mahamantri, bersama 7 orang anak buahnya mencoba menyeberangi Sungai Menam untuk menghubungi Ophra Chula. Namun karena kurang hati-hati, mereka ketahuan oleh penjaga kampung Makassar. Mereka dihadang lalu diserang. Akhirnya Okluang Mahamantri dan para anak buahnya tewas ditempat itu pula.
Mengetahui perihal tewasnya Okluang Mahamantri, maka serangan terhadap kampung Makassar dimulai. Perkampungan di pinggir sungai itu dibombardir oleh meriam kapal-kapal perang dan meriam pedati dari darat. Pasukan infantri juga menyusun barisan formasi ketat seraya menghujani perkampungan itu dengan rentetan tembakan senapan panjang yang sambung menyambung. Rumah-rumah di kampung Makassar terbakar dan hancur diterpa ledakan peluru meriam. Setelah beberapa lama dijadikan sasaran tembak, tidak nampak pula reaksi apa-apa di perkampungan itu. Maka dihentikanlah tembakan, dianggapnya bahwa penghuninya telah habis ditembusi peluru atau mungkin pula dilalap kobaran api.
Melihat kejadian itu, tanpa menunggu perintah, Kapten Coats dan seorang perwira Perancis serta diikuti beberapa personal pasukan Inggris, segera mendarat dibagian selatan Kampung Makassar. Namun diluar dugaan, mereka diserang oleh sekelompok orang-orang Makassar yang berhamburan keluar dari puing-puing reruntuhan rumahnya yang terbakar. Rupanya mereka telah menggali lubang-lubang perlindungan dibawah rumahnya. Mereka menyerang para pasukan Eropa itu dengan ganasnya. Alvey, seorang personel pasukan Inggris tewas dalam serangan mendadak itu. Kapten Coats berusaha pula meloloskan diri dengan terjun ke sungai hingga mati tenggelam. Pasukan lainnya berserabutan menyelamatkan diri kembali ke perahunya.
Mengetahui jika orang-orang Makassar itu masih banyak yang hidup, pasukan pengepung melancarkan kembali tembakan gencar selama 3 jam. Maka kebakaran hebat di Kampung Makassar semakin berkobar hingga terlihat jelas dari Kota Ayuthia. Sementara itu, Daeng MangallE mengkonsolidasi lasykarnya di pinggir Anak Sungai Menam yang terlindung dari jangkauan tembakan. Agaknya mereka memutuskan untuk menerobos kepungan untuk melakukan serangan balasan terhadap perkampungan Portugis yang tidak jauh pula dari tempat itu.
Namun Perdana Menteri Constance Phaulkon agaknya mengetahui rencana itu. Maka dengan dikawal 2 perahu yang masing-masing memuat 20 personal pasukan Perancis dibawah pimpinan Kapten Veret serta 15 perahu yang memuat Pasukan Kerajaan, menyergap para ksatria Makassar itu. Mereka menembak para orang-orang Makassar yang kesemuanya tidak bersenjata api itu dengan gencarnya. Daeng MangallE segera memerintahkan lasykarnya untuk mundur ke tengah rumpun-rumpun bambu yang berada dibelakang rumah mereka. Dari sanalah, mereka menyusun kembali strategi penyerangan dalam situasi yang serba sulit tersebut.
Melihat kondisi pihak penyerbu yang juga terbagi pada beberapa divisi, Daeng MangallE mengatur strategi pertahanan dalam 2 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 40 orang dan kelompok kedua terdiri dari 60 orang. Kini mereka memutuskan untuk melakukan penyerangan. Menyerang adalah pertahanan paling baik, mungkin begitulah dalam pemikiran mereka. Maka menyerbulah kelompok pertama dari depan lalu diimbangi kelompok kedua dari arah samping. Penyerbuan itu berhasil mengkocar-kacirkan pasukan kerajaan. Kemudian pada bagian lain, sekelompok orang Makassar menumpang sebuah perahu dengan menyamar sebagai orang Siam. Mereka berhasil masuk ke jantung pertahanan pasukan Perancis dan membunuh beberapa personelnya, antara lain : Kapten Udall, M. de Rouan, Carel dan Milon.
Namun penyerangan kelompok-kelompok kecil Orang Makassar itu tidak berlangsung lama. Serangan gencar pasukan Siam memukul mundur mereka hingga jauh memasuki Kampung Makassar. Gervaise menguraikan, bahwa kira-kira pukul 10.00 pagi, tibalah bantuan lasykar khusus Kerajaan Siam dibawah pimpinan Ophra Jumbarat. Pasukan yang masih segar bugar itu dikerahkan ke bagian utara anak sungai Menam untuk mencegah lolosnya orang-orang Makassar itu. Kemudian Perdana Menteri Phaulkon dengan 3000 personel lasykar yang dipimpinnya bergerak dari timur. Maka posisi pergerakan Daeng MangallE beserta pengikutnya semakin terjepit. Mereka tinggal bertahan dalam bungker-bungker yang digali dibawah rumahnya. Peluru berdesingan bagai hujan lebat diatas mereka. Pasukan penyerbu semakin meransek maju sambil bergantian menembak serta mengisi peluru dan mesiu.
Akhirnya, tidak ada lagi yang dapat dilakukan. Mustahil menunggu para pasukan penyerbu itu mendekat hingga menembaki mereka bagai binatang buruan yang terjebak dalam lubang. Didahului Daeng MangallE yang memekik panjang seraya melompat naik dari lubangnya. Pangeran Makassar itu menyerbu diikuti pula para pengikutnya. Mereka menyerang pasukan Siam dengan ganasnya. Tubuh mereka kini bermandikan darahnya sendiri dan darah lawan-lawannya. Keringat yang mengucur deras bersama darahnya tak dipedulikannya lagi. Mereka menikamkan badiknya dengan buas dengan harapan cuma satu, membunuh lawannya sebanyak-banyaknya.
Dalam pertempuran itu, Daeng MangallE berusaha mendekati Perdana Menteri Phaulkon yang amat dibencinya. Setelah dirasa cukup dekat, ia menusukkan tombaknya pada orang Perancis itu. Namun salah seorang pengawal Phaulkon cukup sigap dengan menembaknya dari jarak dekat pula. Pangeran Makassar itu jatuh tersungkur namun tetap menusukkan tombaknya kesana kemari. Akhirnya beliaupun menghembuskan nafas terakhirnya dengan tetap mencekal erat gagang senjatanya. Terdapat 7 luka ditubuhnya, yakni 5 tusukan tombak dan 2 lubang bekas tembusan peluru dibahu dan di kepalanya.
Dr. Christian Pelras yang menguraikan tulisan Gervaise tersebut hidupnya, mengemukakan bahwa pertempuran yang terjadi pada tanggal 21 September 1686 itu berakhir pada jam 3.00 petang. Ditemukan 42 orang Makassar yang tewas di tepi anak sungai Menam, tempat pertarungan mereka yang terakhir. Beberapa puluh lainnya telah hanyut pula dalam keadaan tewas mengenaskan. Terdapat pula 55 orang yang ditawan, termasuk diantaranya 22 orang yang berkubu dalam mesjid, semuanya terluka parah.
Dr. H. Wahyuddin, M.S mengemukakan pula, bahwa sebagian besar orang-orang Makassar yang tertawan itu dibunuh dengan kejam. Empat orang diantaranya dijadikan tontonan hiburan dengan diadu dengan harimau. Beberapa pemuka agama ditanam sampai dileher lalu dibunuh oleh orang-orang Siam yang lalu lalang ditempat itu. Tidak tercatat pula perempuan dan anak-anak yang menjadi korban keganasan pertempuran itu. Banyak diantaranya yang mati terbakar dalam rumah-rumah mereka dan ada pula yang dibunuh oleh kepala keluarganya agar tidak dijadikan budak atau dilecehkan.
Wallahualam Bissawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar