Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Kajian ininnawa

Pattula' MasagalaE

Parepare 1988.. ketika itu aku masih sekolah di MAN 158. Aku baru saja ditunjuk Gudep PRAMUKA di sekolah kami untuk mengikuti perkemahan Wirakarya se-Indonesia Timur di Kecamatan Lamasi (Kabupaten Luwu). Jujur, aku sih senang-senang aja, cuma beberapa teman sempat ngingatin. "Ati-ati aja kalau udah di Luwu. Ilmu orang sana itu kuat. Kadang-kadang bisa bikin kepala terbalik kebelakang...", katanya. Sontak aku khawatir juga, mengingat perkemahan itu dijadwalkan berlangsung selama 11 hari. "...asal punya penangkis siih, gak masalah..", kata si teman kibulku tersebut. Tapi masalahnya, aku gak punya apa-apa... boro-boro punya " ilmu anti doti", baca Alfatihah aja tajwidnya udah kaya kaleng diseret di jalan berbatu...

Malam sebelum berangkat ke Luwu, kumendekat pada ayahanda. "Etta, tapagguru mana' pattula' doti..", sergahku tanpa basa-basi. Beliau mengangkat muka dari halaman majalah Panjimas yang ditekurinya sejak tadi. "Alako mai polopEng sibawa karetasa', nak..", sahutnya singkat. Kubergegas ke kamar mandi mengambil air wudlu. Pernah kudengar bahwa jika menerima suatu ilmu gaib (makkanrE guru), sebaiknya dalam keadaan suci. Apalagi, dengar-dengar dulu ayahandaku adalah bekas ajudan Kahar Muzakkar di Baraka'. Waah, pasti aku akan diwariskan ilmu yang hebat, pikirku.

Maka kududuk bersila dengan takzim dihadapan beliau. Songkok hitam kupasang di kepala dengan rapinya. Pulpen kupegang erat-erat standby diatas lembaran buku memo bagai wartawan Ibukota sedang mewawancarai Pak Gubernur. "dengarlah dan simak baik-baik. Tulislah dengan tulisan paling indah yang bisa kau buat untuk ilmu ini...", ujarnya dengan irama lambat-lambat. "NarEkko mupakEi iyE paddissengengngE, na nakennamopako abalaa, aja'na mumakkutana. Nasaba' pura totoomu manitu polE ri Puang Allahu Ta'ala lao ri alEmu, nalinrungi dEcEng ri monrinna ritu....". Berdebar-debar jantungku, waah... Ilmu ini pasti akan membuatku sakti.

PadEcEngini okiina, Laoddang.. !
Aniniiri 2, mupoadai 1, mupogau'i 1, muingerrangngi 2, muallupai 2 mulolang ri tengngana padammu rupa tau.
1. Aja' mucellai pojinna tauwwE...
2. Aja' murEkEngngi appunnanna tauwwE...
3. Poadai anu sitinaja weddingngE napurio tauwwE...
4. Pogau'i gau' sitinaja weddingngE napudEcEng tauwwE...
5. Ingngerrangngi pappEdEcEngna tauwwE lao ri idi'...
6. Ingngerrangngi asalammu lao ri tauwwE...
7. Allupaiwi pappEdEcEngmu lao ri tauwwE...
8. Allupaiwi asalangna tauwwE lao ri idi'...
Nainappa mupaddeppE alEmu ri Puang Allahu Ta'ala, muwEllauwi pabbirittana tongeng-tongengngE mabbola ri lanro alEmu. IyanaE riyaseng pakEang salama', salama lao ri idi' paimeng lao ripadatta rupa tau.

"...jaji agana palE' baca-bacana, Etta ?", tanyaku dengan perasaan gamang plus sedikit kecewa. "masa cuma begitu doang ?", protesku dalam hati. Beliau memandangiku dalam-dalam seraya tersenyum. " IyyE paddissengengngE, tania baca. NaEkiya iyyanaE toddo' pulii temmalara'na Tau dEcEngngE."...
......................................................................................................................
Entahlah, apakah aku berprilaku sesuai dengan petuah rumit itu. Namun, Alhamdulillah Perkemahan Wirakarya di Kabupaten Luwu kulalui dengan baik beserta banyak kenangan yang menggembirakan. Lalu bagaimana dengan ilmu tersebut ? ... sampai saat ini, aku merasa bahwa inilah ilmu tersulit. Jangankan menjalankan 8 poin, bahkan menjabarkannya sampai pada poin 3 aja aku belum selesai-selesai hingga kini.

"Aja' mucellai pojinna tauwwE..." (jangan mencela hobby orang lain). Jika salah seorang teman ketagihan berjudi, apakah mesti dicela ?. " Jama-jamang SALAH manengjE' itu ! dE'siseng-siseng gaga tujunna. Tonroi mutaro ota'mu, La Bengngo ?!". Apakah tidak lebih baik jika, seperti berikut : "TabE', tEga pada narEkko tollao Parepare matu' ? TollEppang toona ribolana Oddang, nasibawakki' lao MACCAKAR ri SEnggol. Engkatoo garE cEwE' maElo napasissengengki'. Jaji narEkko weddingngi, aja'na jolo tappasang nomoro iyyE sisengngE, OkE ?"...

Sesungguhnya "mencela" dan "mengingatkan" (mapparingerrang/mappakainge') sangatlah jauh berbeda. Mencela hanyalah menghasilkan ketersinggungan yang akan berakhir pada permusuhan dalam hubungan sosial. Sementara "mengingatkan" senantiasa diiringi sikap "santun" dan "tenggang rasa". Peringatan dalam hal ini dimaksudkan tanpa tanda seru (!). Melainkan selalu teraplikasi pada kehalusan tata bahasa yang mencerminkan pribudi yang halus pula. Sebagaimana Dr. Dale Carnagie mengatakan : "Tidak ada seorang manusiapun dari masa ke masa di dunia ini yang SUKA DIPERSALAHKAN, termasuk Adolf Hitler dan Kaisar Nero sekalipun" (How to enjoy in your Job and your Life, Gramedia, Jakarta-1985). Maka mengingatkan dengan cara yang santun adalah suatu tindakan cerdas.


AwwEE, nappai sEddi. Gangkannami jolo' iyyE uwisseng, pada idi' manengpa sining to malebbiku paggenne'i... Wallahualam bissawwab.



Aju Malempuu'E (kayu yang lurus)

Pertengahan tahun 1999, penulis bertemu Bp.Alm. Mirdin Kasim (Mantan Walikota Parepare) di Tanjung Bira. Beliau adalah sosok yang amat kukagumi dalam banyak hal, terutama : Kepribadiannya yang jujur. Perbincangan kami berlangsung menarik hingga tidak terasa waktu merambat hingga jam 2.00 dini hari. Kebetulan saja waktu itu beliau menginap di tempat kami, yakni : Kaluku Kafe And Bungalow.

" Saya sangat mengenal Opu , tapi tentu saja Opu tidak mengenal saya...", kataku diawal perbincangan. 
" Kau kenal saya dimana ? ", tanya beliau akrab.
" Ketika Opu menjadi Walikota Parepare dulu, saya adalah salah seorang warga Parepare.."
" Lalu apa yang kau tahu tentang saya semasa masih Walikota dulu ? ", tanyanya ringan.
" Saya tahu jika Opu adalah pemimpin paling jujur yang pernah saya kenal ", jawabku mantap.
" Bagaimana bisa kau tahu jika saya jujur ? ", sergahnya sambil menatap mataku dengan tajam.
" Tentu saja saya tahu, Opu. Pada suatu hari, saya dan teman-teman berkunjung ke Rumah Jabatan Walikota dalam rangka mengedarkan les sumbangan untuk penyelenggaraan MUSCAB AMPI. Waktu itu Opu sendiri yang menerima kami. Namun kami terpaksa pulang dengan tangan kosong karena Opu menyuruh kami kembali pada tanggal 1 bulan depan setelah Opu terima gaji..."...
...........................................................................................
Sungguh, terlalu sulit mendapatkan sosok keteladanan dimasa kini. "mistar kayu" semakin langka, sehingga semakin sulit mengukur diri. "Akkitaki' lao ri ale'E.. Makurangni Aju Lempu " (lihatlah di dalam hutan, batang pohon yang lurus semakin langka..). Batang pohon yang lurus terlalu sulit untuk tumbuh di tanah berbatu, sebagaimana kejujuran tak akan pernah bisa tumbuh pada hati yang kotor.

Batang pohon yang lurus juga tak akan dibiarkan tumbuh sampai besar disebabkan 2 hal, yakni :

1)*. Kayu lurus terlalu banyak difungsikan oleh manusia. Ia digunakan sebagai tiang soko guru (Posii Bola) pada sebuah rumah hingga istana Raja sekalipun. Ia pula yang dijadikan sebagai bahan pasak (Pattoloo) yang menyatukan barisan tiang rumah yang tinggi menjulang. Bahkan ia pula dipergunakan sebagai tiang wuwungan atap yang tempatnya diatas sana... Demikian pula dengan Manusia yang memiliki sifat Jujur. Ia senantiasa dicari dan dibutuhkan dimanapun kehidupan ini berlangsung. Bahkan, orang yang tidak jujur pun memerlukannya. Naiyya To Lempuu'E, manguru manaa'i To Sugii'E (sesungguhnya orang jujur mendapatkan garis warisan yang sama dengan orang kaya). Ia selalu ditinggikan dengan derajat yang mulia diantara para orang-orang mulia.

2)*. Pohon kayu yang lurus juga senantiasa ditebang karena dibenci. Karena pohon-pohon bengkok akan kentara bengkoknya jika tumbuh disekitarnya. Demikian pula dengan orang yang berkepribadian jujur. Orang-orang culas akan selalu risih jika ia membaur bersamanya. Bahkan pada situasi dan kondisi tertentu, ia harus ditebang dengan "berat hati". Apa boleh buat, terpaksa harus disingkirkan karena ia dapat membahayakan posisi para manusia culas disekitarnya.

Tetapi tumbangnya pohon lurus dan pohon bengkok berbeda pula. Kayu lurus jika tumbang, tidak akan patah terhempas di tanah. Naiyya Aju Lempuu'E, bueng tettassangra mua (sesungguhnya kayu lurus, walau jatuh tak akan patah). Sementara pohon bengkok jatuhnya akan mengakibatkan cabang-cabang dan batangnya berpatahan. Demikian pula dengan orang jujur, walau jatuh binasa berkalang tanah namun namanya akan tetap dipuji dan dikenang. " Mauni silipuu alatiE, Mappaseng ri nippiE, Teya tenrisEnge'..." (Walau sekampung dengan cacing, berwasiat dalam mimpi, takkan mungkin tak dikenang...). Orang jujur, walaupun mati berkalang tanah ( silipuu alatiE= sekampung dengan cacing), namun nama dan sifat baiknya senantiasa dijadikan kenangan.

Namun halnya dengan kayu yang bengkok, apa gerangan fungsi dan kegunaannya ? ...Tiada lain dan tiada bukan, ia hanyalah berguna sebagai bahan pembuatan Rakkala (Bajak Sawah). Itupun hanya sekali dalam 5 tahun.. Ia senantiasa akan bergaul dengan lumpur dan kotoran kerbau. Demikian pula dengan orang yang tidak jujur. Lingkup pergaulannya adalah pada dunia dimana kemaksiatan tumbuh subur..

...sungguh, "kejujuran" adalah sifat yang dikagumi, disukai dan disegani oleh semua orang. Namun tidak semua orang mampu berprilaku jujur...

CEko riyala sanrEseng
Pajaneng temmalampE'
riyala pakkawaru
........
Lempuu riyala sanrEseng
Pajaneng masumange'
MadEcEng laona

Arti bebasnya kira-kira sebagai berikut:

Jika sifat curang dijadikan pedoman (sandaran)
Tentulah takkan mungkin lestari
Untuk dijadikan pengharapan
.............
Jika kejujuran dijadikan pedoman (sandaran)
Tentulah akan menjadi sesuatu yang indah
Segala sesuatunya akan baik

Wallahualam bissawwab.


Harta yang Tak Ternilai

Inilah kisah yang kudengar berulang-ulang dari penuturan Ayahanda. Sebuah kisah yang sempat kuanggap "lucu" semasa kecilku, namun kini kuanggap sebuah "ironi" dimasaku sekarang ini.
.............................................................................................................................

Syahdan pada suatu hari... entah kapan dan dimana kejadiannya, penulis sudah lupa. Yang jelas, kejadiannya pada sebuah acara Perayaan HUT RI yang entah keberapa, akupun tak tahu. Pak Camat (entah Camat siapa) sedang melakoni pidatonya dengan berapi-api, setelah membacakan sambutan Pak Bupati. " Sungguh, Penjajahan Belanda terhadap Bangsa kita benar-benar sebuah kejahatan Sejarah ! ...", serunya garang di tengah terik matahari. Sementara peserta upacara yang berdiri di lapangan mendengarkan dengan seksama sambil sekali-kali mengusap peluhnya yang bercucuran. Salah seorang peserta upacara mengangguk-angguk dengan mulut komat-kamit, entah "membenarkan" ataukah "bermunajah".. Berdo'a agar Pak Camat terserang penyakit diare agar secepatnya menutup pidatonya.

" Saudara - saudara se-Bangsa dan Se-Tanah Air. Penjajahan Belanda benar-benar meninggalkan goresan derita yang tak terlupakan pada kita semua. Mereka merampok dan menjarah harta kekayaan negeri kita. Hasil bumi kita diangkutnya ke Negeri mereka nun jauh disana, sementara Rakyat Indonesia kelaparan di Negerinya sendiri...", sungguh Bapak Camat yang satu ini benar-benar seorang orator yang piawai. Pada deretan terdepan dibawah tenda kehormatan, seorang tua renta mendengarkan sambil mangut-mangut dan menyahut. "Toongeng ...Tongeng Ladde' ! (benar.. benar sekali !).

Melihat sambutan pendengar begitu antusiasnya, maka sedikit mengabaikan Tata Upacara Sipil Pak Camat meninggalkan podium, mendekati orang tua tersebut. " Saudara-saudara, inilah salah seorang Pelaku Sejarah yang menjadi saksi hidup kekejaman penjajahan Belanda terhadap Bangsa kita..", katanya sambil menunjuk Orang Tua itu. " Nah, Bapak yang terhormat. Kiranya bersedia untuk menyampaikan sepatah dua kata yang dapat menggugah semangat patriotisme anak-anak kita yang lahir di alam kemerdekaan ini..", kata Pak Camat sambil menyodorkan Microphone.

Maka dengan terpaksa, orang tua itu berdiri seraya menerima Microphone dari Pak Camat. " Anak-anakku, apa yang dikatakan Pak Camat tadi adalah benar adanya. Beliau mengingatkan kembali bagaimana pedihnya sebagai rakyat suatu Bangsa dalam cengkeraman penjajahan. Saya sangat sedih mengingatnya kembali.. Bahwa Penjajah Belanda itu menguras dan merampok hasil bumi negeri kita, itu adalah sangat menyedihkan bagi kita semua. Tetapi... percayalah, jika kita bersungguh-sungguh mengolah kembali kekayaan Negeri kita saat ini, maka kini kitapun dapat menikmatinya. Karena apapun dan bagaimanapun, hasil bumi yang mereka rampok itu hanyalah segelintir buah saja, tetapi pohon dan tanahnya tidaklah mereka angkut ke negerinya. Namun yang paling menyedihkan bagiku, adalah : Nalai tongeng-tongengngE, nasEsai cEko-cEkona. Mereka mengangkut nilai kebenaran dan kejujuran anak negeri ini ke negerinya, sementara mereka meninggalkan sifat licik, tamak, bakhil dan curangnya di Negeri kita... Celakanya lagi, sifat-sifat buruk itu "mewabah" hingga beranak pinak diantara kita.....
.........................................................................................................................

Kadang-kadang kisah itu membuatku merenung hingga waktu melewati bayanganku tanpa terasa. Aku berkaca pada cermin tua yang berdebu hingga aku tak bisa membedakan, mana debu dan yang mana wajahku...

Terbayang seraut wajah tua berhias keriput jaman yang telah lewat. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam, seraya mengepulkan asapnya ke udara dengan resah. Suara seraknya menceritakan tentang masa lalu dan masa kini. Masa penjajahan yang serba kusam, namun penegakan supremasi hukum kadang terasa lebih bersahabat dengan alam.. "dulu..duuuluu sekali. Tiap hari pasar, Opasa'E (opas) senantiasa memeriksa jaring atau jala yang diperjual belikan. Mereka membawa alat ukur untuk memeriksa "mata" jaring. Jika mata jaring tersebut terlalu kecil, niscaya penjualnya di denda atau bahkan di hukum kurungan", kisahnya dengan pandangan mata yang menerawang jauh entah kemana. " memangnya kenapa jika terlalu kecil ?", tanyaku dengan penasaran. Pak Tua mendesah sambil mengisap rokoknya dalam-dalam, "tujuannya agar para nelayan tidak menangkapi ikan-ikan yang masih kecil.. kalau tidak, ikan-ikan itu akan punah.".

Lalu bagaimana dengan sekarang ?. Lihatlah tanahku di Belawa. Sebagian tokohnya malah mengakui jika sebagian danau tempe adalah miliknya. Sebagian yang lain ramai-ramai mempelopori penangkapan ikan dengan memakai tuba. Sementara yang lainnya lagi, memanggul ransel aki (accu) untuk menyetrum ikan-ikan. Tetapi yang paling "mengesankan", perhelatan itu disaksikan oleh aparat penegak hukum.

Aku takkan berkata jika masa ini adalah "jaman edan". Itu kata Ranggawarsita dalam Jayabaya-nya. Namun yang kulihat kini, tetanggaku bangga dengan puteranya yang memiliki mobil mewah hasil korupsi. Sementara tetanggaku yang lain merasa malu karena puteranya yang sarjana "kembali kampung" menjadi petani yang jujur.... Wallahualam.


Abdi Jiwa

Hari ini Sabtu, 02 Oktober 2010. Panas terik membakar kotaku di ba'da dluhur, saat anak-anak sekolah berhamburan keluar dari gerbang sekolahnya. Kukendarai sepeda motorku pelan melintas di depan SD Negeri 5 yang hiruk pikuk pada waktu ini. Mata lelahku tertuju pada sosok dekil yang sibuk mengatur lalu lintas yang padat ini. Tubuh ringkih dan kerempeng yang kempas kempis meniup pluit sempritan. Kadang berdiri ditengah jalan, menyetop kendaraan yang tidak sabaran. Pada saat lain, ia hilir mudik menggandeng tangan anak-anak sekolah di kiri kanan tangannya dan menggendong lainnya di punggung tuanya ke seberang jalan. Begitulah yang  dilakukannya hingga jalanan sempit di depan sekolahan besar  ini sepi kembali. Kuhentikan motorku dipinggir jalan dan memperhatikan orang tua itu sejak tadi....

Ia duduk bernaung dibawah pohon akasia. Nampak sekali jika tubuh tuanya sedang kelelahan. Kuperhatikan sejak tadi jika tidak seorang pun mengansurkan uang kepadanya. Namun wajah tua itu senantiasa cerah dibalik peluh keringatnya yang bercucuran. Pelan tangannya merapikan kancing baju KEki lusuh yang dikenakannya. Nampak sekali jika ia bangga memakai baju itu. Entah oknum PNS dari mana yang memberikan baju itu kepadanya... sementara celana pendeknya nampak dekil berdebu. Namun sekali lagi, nampak jelas jika ia bahagia dan puas memakai baju pemberian itu.

Kerongkonganku tiba-tiba terasa getir. Tanpa sadar kupanggil nuraniku... Ooh, Ininnawa. Kenapa dunia terasa sempit bagi orang-orang ikhlas ?. Tapi, tunggu dulu. Sebuah sanggahan tiba-tiba menyergah dari dalam hatiku sendiri.. Apakah benar beliau ini merasakan dunia ini sempit ?. Belum tentu, jawab nuraniku lagi. AwwEE, Ininnawaku.. Tabirittaiakka' palE' kasi'na (duhai, nuraniku... jelaskanlah padaku). Naiyya nyamengngE dE' naitai Pakkita, tennaEngkalingai parEngkalinga, tennaimmau parimmau, tenna karawa pakkarawa. Nasaba' rilalennai pappEneddingngE... TennanrE kira-kira, tenna rapii pappEsangka (sesungguhnya kebahagiaan tidak dapat dilihat oleh penglihatan, tak terdengar oleh pendengaran, tak tercium oleh penciuman, tak tersentuh oleh tangan. Karena ia berada didalam perasaan... takkan dapat diperkirakan dan tidak pula dapat diraih oleh prasangka). Tapi bagaimana mungkin orang dapat berbahagia jika ia tidak memiliki harta benda ?, protes kata hatiku yang lain dengan sengit. Naiyya to temmapunnaE, dE' too na ateddEngeng. Risalipuri ri asabbarakenna, na ripakario-rio ri sukkuru'na. Malappaa temmakkEwiringni lino ri pakkitanna...  Banna Puang Allahu Ta'ala bawang apunnanna (sesungguhnya orang yang tidak memiliki apa-apa, takkan pernah merasa kehilangan apa-apa pula. Senantiasa merasa aman/tentram dalam kesabarannya. Senantiasa digembirakan oleh rasa syukurnya. Dunia terasa lapang bagai tak bertepi dalam pandangannya.. karena ia merasa memiliki Allah Ta'ala). Astagfirullahil Adzim... hatiku luluh dan damai kembali. Nasib takkan kusalahkan lagi... Kuseka air mataku dibalik kaca helmetku yang hitam pekat. Orang tua itu menaiki becaknya yang juga butut. Anak-anak sekolah bercecowetan penuh canda ria diatas becak sambil sesekali ditingkahi tawa riang si Orang Tua yang mengayuh hati-hati.

Aku tahu.. Tidak ada yang menggaji orang tua ini, kecuali sekedar ongkos becak beberapa anak yang jadi langganan tetapnya. Namun ia mengatur lalu lintas dan menyeberangkan anak-anak lain yang bukan langganannya karena dunia ini terasa lapang dan penuh warna dalam pandangannya. Ia melakukannya dengan senang hati untuk jiwanya. Ia melaksanakannya juga karena bangga mengenakan baju seragam lusuh yang entah siapa yang memberikan padanya.. Sementara 3 jam sebelum kutiba di tempat itu, pada sebuah warung kopi disamping Toko Buku yang kusinggahi, kudapati beberapa oknum PNS berpakaian kemeja batik sedang asyik ngobrol ria. Entah apa yang diobrolkannya, lapat-lapat kudengar beberapa kata-kata cabul yang meledakkan tawa temannya yang lain... Oh duniaku. Aku menangisimu, hingga kuketik tulisan ini dengan bersimbah air mata.... Oddang benar-benar cengeng, kata nuraniku. Oo, ininnawa. Wallahuaalam...

 


PessE (Solidaritas Kemanusiaan)

" REkko teppaullEini ipatettong SIRI"E, paddeppungengngi PESSEWE..." (Jikalau HARGA DIRI tak kuasa ditegakkan lagi, maka himpunlah SOLIDARITAS KEMANUSIAAN...) ...

Allah pastilah memiliki rencana tersendiri sehingga bencana ini ditimpakan di Negeri Serambi Mekah .. Betapa tidak, bertahun-tahun lamanya manusia saling sembelih satu sama lainnya. Darah antar saudara dikucurkan begitu saja, atas nama "Martabat Bangsa dan Negara". Lupa bahwa "Darah dan Jiwa Kemanusiaan" adalah martabat tertinggi seorang manusia. Nilai itulah yang dibahasakan sebagai : NURANI (ininnawa). Dengan itulah, manusia dinyatakan sebagai Mahluk paling MULIA dari sekian banyak ciptaan Allah yang lainnya.

Lihatlah .. Jazad saudara kemanusiaan kita bergelimpangan dengan bilur luka yang tak terperi ini.
Dengarkan.. Rintihannya yang meluluhkan kristal ego dalam hati kita selama ini..
Rasakan, tidakkah terasa ada sesuatu yang menggiris perih dalam perut kita ?..
Duhai, saudaraku .. Tahukah kita bahwa jazad yang terhampar itu pernah dilahirkan seperti kita ?
Merekapun pernah mendengar azan dilantungkan lembut ditelinganya, seperti kita..
Merekapun telah di Aqikah, seperti kita juga..
Merekapun pernah menghisap air susu ibunya, seperti kita pula...
Merekapun telah mendapatkan belaian kasih sayang orangtuanya.., seperti kita.
Ditimang.. dipeluk dan dibuai dalam ayunannya, seperti kita..
Tapi sekarang ... lihatlah. Tubuh-tubuh yang pernah dibelai dan disayang itu berserakan.. terhampar bagai ikan-ikan yang terdampar.... Sementara yang selamat, merintih kesakitan lahir bathin.. Terluka luar dalam.. Kesakitan oleh luka tubuh .. Merana oleh lara hatinya. Kehilangan harta dan orang-orang yang disayanginya...

Ininnawa.. bahasa, suku bangsa atau mungkin saja keyakinan mereka ada yang berbeda diantara kami. Tapi apakah air susu ibunya berbeda rasa pula dengan air susu ibu kami ? .. mereka telah menghirup udara yang sama dengan kami .. kini terhampar .. Mereka saudaraku. Sesamaku manusia....
.........................................................................................

Sungguh.. Solidaritas Kemanusiaan inilah yang sekiranya dapat mendekatkan seseorang pada Hidayah dan Inayah Allah... Hidup ini akan tiada artinya tanpa petunjuk dan pertolongan-Nya.

Syahdan, pada suatu hari Alexander The Great (Iskandar Zulkarnain) Sang Raja Agung Negeri Macedonia memerintahkan untuk memugar kembali makam Raja Phillip (Ayahanda Alexander) yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi. Sebagaimana diketahui, bahwa Raja Phillip yang mati ditikam oleh pelayannya itu dikuburkan bersama para budak setianya. Maka dibongkarlah makam raja itu. Tulang belulang yang sudah memutih diletakkan pada selembar kain sutera yang sedianya akan diarak keliling Athena. Tiba-tiba Alexander bertanya, : " Yang mana gerangan kerangka Ayahandaku ? ". Masalahnya, diatas hamparan kain itu tergeletak beberapa tengkorak dan tulang belulang yang bercampur satu sama lainnya. Maka segenap yang hadir tersebut kebingungan, tidak tahu harus menjawab bagaimana. " Ampunkan hamba sekalian dibawah duli tuanku.. sungguh patik tidak dapat lagi membedakan yang mana tulang belulang Baginda Raja Phillip dan yang mana pula tulang belulang para budaknya...", jawab Agamemnon, penasehat terpercaya Alexander.....
..............................................................................................

Wallahualam Bissawwab..........


HARAP MAKLUM !

..entah tahun berapa ketika itu, aku telah lupa. Namun yang jelas kuingat, saat itu adalah masa-masa ketika nuraniku sedang mencari dan mencari pencitraan tentang "DIRIKU" yang sebenarnya...


Lelaki itu nampak bersitegang dihadapan seorang berpakaian safari berlencana "Kepala Desa", yakni pamanku. "Sungguh, Puang. Saya berkata benar ! Dia itulah yang bicara dua kali (pendusta)..", katanya dengan wajah merah padam. Ia terus berbicara menyampaikan segala isi hatinya seraya meyakinkan jika dialah yang paling benar. Pak Kades dihadapannya mendengarkan dengan wajah cerah sambil sesekali mangut-mangut membenarkan. Setelah beberapa lama, lapat-lapat kumengerti jika ternyata orang itu sedang mengklarifikasi tuduhan orang yang ditimpakan kepadanya selaku "penyerobot batas tanah". Biasa, panorama di kampung halaman...

Setelah merasa puas dengan klarifikasinya, lelaki itu mohon pamit seraya tidak lupa mohon maaf sekiranya ada dalam sikapnya tadi yang tidak pada tempatnya. "Ternyata, cukup santun juga ini orang...", pikirku. Namun berselang tidak terlalu lama setelah itu, datanglah lelaki lain mengucapkan salam. "Wah, tamu dari mana lagi nih ?". Ternyata lelaki itu adalah lawan dari lelaki sebelumnya. Untung aja gak ketemu disini tadi. Bisa-bisa akupun jadi ikut repot melerai. Maka iapun menjelaskan perihal kebenaran "tuduhannya" dengan berbagai alasan yang cukup logis. Sebagaimana biasanya, Sang Paman tetap tersenyum cerah, mendengarkan dengan sabar sambil sesekali membenarkan..., hingga tamu itupun mohon pamit.

Wah, ada yang tidak beres kalau begini ...,menurut logikaku. Jika kedua belah pihak "dibenarkan", apakah tidak mungkin jika mereka malah "berkelahi" pada akhirnya ?. Setelah dipikir dan dipikir kembali, tidak kena-kena juga. Maka kuajukan jua pertanyaan itu pada Sang Paman.

Beliau tersenyum cerah dengan sinar mata terang nan jernih. Nampak tiada beban yang tersembunyi didalamnya, ketika mendengar pertanyaanku yang menyergahnya. " Amati dan selami sedalam-dalamnya, Oddang..", ujarnya. "Duami passaleng nassabaari nasisala rupa tauwwE ri lalengna lino.." (Hanya 2 hal yang menjadi penyebab perselisihan antar sesama manusia di dunia ini...) . Yang manakah dimaksud, Puang ?, tanyaku penasaran. "Anu TemmanessaE sibawa Anu TenripahangngE" (Hal yang TIDAK JELAS dan Hal yang TIDAK DIPAHAMI), jawab beliau dengan suara datar...
.................................................................................................

Sungguh... pada hakekatnya semua manusia terlahir dengan hati yang menyimpan hal-hal baik tak terhingga didalamnya. Maka sebenarnya manusia tidak pernah melakukan kesalahan, melainkan kekhilafan yang merupakan sisi lain dari fitrah baiknya. Demikian yang pernah kubaca, namun lagi-lagi aku lupa entah siapa yang mengatakan itu.

Benarlah kiranya, KETIDAKJELASAN terhadap sesuatu hal yang menyebabkan pemikiran membuat PENILAIAN yang berbeda dari hal sesungguhnya. Maka merupakan kewajiban bagi manusia lainnyalah yang terpanggil untuk MENJELASKAN perihal tersebut. Lalu KETIDAKPAHAMAN terhadap suatu hal pulalah yang membuat segala sesuatu menjadi DISALAHPAHAMI. Maka kewajiban pulalah bagi yang memahami untuk memberikan pemahaman yang benar tentangnya...

Namun terkadang emosi yang menyulut kejengkelan kepada orang-orang yang sering kurang memahami. Maka kesabaran adalah "pintu utama" menuju "pemahaman". Anda takkan pernah dapat memahami sesuatu dengan amarah, demikian kata pamanku. Maka hunilah rumah nuranimu dengan tentram, berawal sejak memasuki pintu sabarmu.

Sungguh...
Memandang tidaklah mesti berarti melihat..
Melihat tidaklah mutlak berarti mengetahui...
Tahu tidaklah pasti mengerti....
Mengerti belum tentu memahami.....
Memahami bukanlah sejatinya memaklumi...
dan... Memaklumi tidaklah mutlah MEMAKNAI....

Subhanallah.. Wallahualam bissawwab.

                                 
MappalElE Buluu... (Memindahkan Gunung)

"Watak, sifat, tabiat dan kebiasaan pada manusia dapat berubah. Namun yang tidak dapat berubah, adalah : Tempramental. Seseorang yang bertempramen tinggi sejak lahirnya akan terus seperti itu hingga matinya....", demikian ujar Prof. Dr. H. Siri Dangnga, MS pada suatu kesempatan di tahun 2007 yang lalu..

Tiba-tiba terbersit pada pikiranku sebuah ungkapan lama yang selalu diwasiatkan orang-orang tua dulu. "Maaf, Prof. Jika halnya seperti itu, lalu bagaimana halnya dengan pesan orang-orang tua yang mengatakan : LElE Buluu, TellElE Abiasang (Gunung dapat berpindah tapi kebiasaan tidak dapat berpindah) ? ", sanggahku. Professor Peramah itu tersenyum seraya menjawab : " Ungkapan yang anda sebutkan itu masih pakE tanda koma dibelakangnya. Karena ungkapan lengkapnya berbunyi : LElE Buluu TellElE Abiasang, naEkia lElEmoo AbiasangengngE, Abiasangtoopa PalElEi (Gunung dapat berpindah tapi kebiasaan tidak dapat berpindah, namun kebiasaan dapat berpindah jika Kebiasaan pula yang memindahkannya) "...
............................................................................................
Sungguh, tidak semua orang mendapatkan peruntungan untuk menyadari kebiasaan buruknya. Pada umumnya orang pada sibuk mencari "dalih pembenaran" untuk membenarkan kebiasaan yang pada hakekatnya "amat tahu" jika itu adalah hal yang buruk. Karena "menyadari sesuatu" membutuhkan kejujuran dan keberanian. Jujur menilai diri apa adanya dan berani membangun sebuah kebiasaan baik untuk mengalihkan kebiasaan buruk yang melekat bagai "karang gigi" selama ini.

Sebagaimana halnya dengan karang pada gigi yang akan merusak gigi jika dibiarkan melekat, namun dapat menyebabkan gigi nampak berlobang jika dibuang. Maka seseorang haruslah berani tersenyum dengan gigi berlubang jika karang gigi itu dibuka. Tetapi jauh lebih baik dari pada membiarkan karang gigi tetap lestari untuk dijadikan sarang bakteri yang menggerogoti gigi hingga habis.

Tiba-tiba aku teringat dengan kisah seorang pemuda kaya. Kebiasaanya tiap hari tiada lain hanya mabuk-mabukan, berjudi, berkelahi dan segala prilaku buruk lainnya. Pada suatu malam ia bermimpi melihat dirinya meninggal dunia dan sedang menghadapi pengadilan akhirat. Sungguh, amal baiknya sangat tidak mengcukupi untuk membayar segala dosa yang pernah dilakukan selama hidupnya. Maka digiringlah ia menuju neraka. Pemuda itu menjerit sekeras-kerasnnya , memohon ampun seraya menyesali segala perbuatannya... tiba-tiba ia terbangun dari mimpi buruk tersebut. Alangkah leganya hatinya dan seketika itu juga ia berjanji untuk merubah segala kebiasaan buruknya.

Walhasil, pemuda itu mencoba menghitung segala jenis dosa yang rutin dilakukannya. Ia mengambil sebuah papan lalu menancapkan sebatang paku pada permukaannya sebagai tanda setiap jenis kebiasaan buruknya. Hasilnya sungguh mengejutkan !. Papan itu dipenuhi paku yang menancap dalam-dalam. Sungguh pemuda yang luar biasa bejadnya. Maka bersungguh-sungguhlah ia merubah prilaku buruknya. Setiapkali ia "merasa berhasil" menghentikan sebuah kebiasaan buruknya, dicabutnya sebatang paku yang menandai kebiasaan itu. Berkat kesungguhannya, paku-paku yang menancap pada papan itu habis tercabut. Namun setiapkali memandangi papan yang tidak ada pakunya lagi itu, pemuda itu menangis sedih.. "Bukankah mestinya kau bersyukur karena paku-paku itu telah tercabut, anakku ?", tanya ayahnya. "Aku mensyukurinya, ayah.. Namun aku menangisi permukaan papan ini karena walau paku-pakunya telah tercabut, tetapi BEKAS pakunya menampakkan lubang yang buruk....." .

Wallahualam Bissawwab....

Pampawa Tinro

EE.. Puang, Addampengengngi atamMu
Puang MakkEataE ri AtanNa
Laa Ilaaha' IllalLaah
Muhammadarrasulullah


AssampEakko Nabi, Attula'ko Malaika'..
Nalinrungiko umma'mu 
Ri AtanNa Laa Ilaaha' IllalLaah
Muhammadarrasulullah



              (ElongkElong Pampawa Tinrona Petta Palla'E)

Yaa Tuhanku, Ampunilah hamba
Tuhan berkuasa terhadap hamba-Nya

Laa Ilaaha' IllalLaah
Muhammadarrasulullah


Tepiskanlah wahai Nabi, Tangkislah wahai Malaikat
Umatmu senantiasa melindungimu
Bagi sang hamba, Laa Ilaaha' IllalLaah
Muhammadarrasulullah 

   (Lagu Pengantar Tidur Baginda Petta Palla'E)

..............................................................................

Waktu ternyata tidak mampu menghapusnya. Masih segar dalam ingatanku.. Kain ayunan itu berwarna putih yang mengusam. Terikat erat pada seutas tali yang terbuat dari jalinan rotan yang terbungkus kain pula.. Menggelayut erat pada "pattolo" (pasak atas pada rumah panggung). Aku terayun dan terbuai nyaman didalamnya. Ibundaku menyanyikan kidung itu sambil sesekali mengayung lembut ayunanku.. Merdu suaranya masih terngiang dibenakku, meresap dalam hingga relung-relung hatiku paling dalam hingga saat ini... . Aku tak mengerti makna syair lagu itu, bahkan Ibundapun menyuruhku pada pamanku , ketika kutanyakan perihal lagu itu..

"Iyanaro pammanarengta polE ri Petta Palla'E, Ana'.. riElongkElongngi ri wettu maElo'i ripatinro wija-wijanna. Iyato riElong narEkko nakennaki sussa iyarE'ga lasa.." (Itulah warisan kita dari Petta Palla'E, Anakku.. Dinyanyikan untuk menidurkan para keturunannya. Ini pula yang dinyanyikan apabila kita tertimpa kesusahan atau sedang sakit..), demikian jawab Kakanda Ibundaku, yakni : Puekku Andi Bannace' pada suatu waktu. Tapi penjelasan itu cuma menguraikan "kegunaannya", pikirku. Maka kutanyakan lagi, "NaEkiya, agaro pallE lise'na ElongkElongEro, Puang ?" (Lalu apa makna yang terkandung dalam lagu itu, Tuanku ?). Beliau cuma menggeleng-gelengkan kepala, pertanda jika makna itu tidak boleh dituturkan pada sembarang waktu, begitu sakralnya.

.........................................................................

Elong Pampawa Tinro  sesungguhnya merupakan "Lullaby". Senandung pengantar tidur yang juga dikenal di masyarakat budaya Eropa. Walau sebenarnya bukan berfungsi sebagai pengantar tidur semata, melainkan juga sebagai senandung pelepas lelah dan bosan ketika sedang dalam perjalanan jauh. Khususnya pada masyarakat Bugis, lagu ini adalah sejenis "YaabElaaalE". Sebuah lagu pengantar tidur yang dilagukan bagi masyarakat umum. Sebuah lagu yang memohonkan harapan-harapan luhur bagi anak yang sedang ditidurkan.

Yaa BElaalEE..
La Baco' tuuoo..
Tuoko, na topada tuo
Mutuoo, mallongi-longi....

Yaa, Bilal..
Puteraku yang senantiasa hidup
Hiduplah, agar kita hidup bersama
Hidupmu, menjadi sesuatu yang tinggi diatas sana..

Maka BElaalE adalah pronounciation lidah Bugis yang berarti sebuah nama bernama : Bilal. Beliau adalah salah seorang sahabat terdekat Nabi. SAW yang dijamin sebagai salah seorang sahabat yang akan masuk Syurga. Beliau adalah bekas budak belian yang ikhlas dan ridla mengalami berbagai siksaan diluar batas prikemanusiaan, demi mempertahankan aqidahnya. Mulutnya senantiasa mengucapkan "Ahad..Ahad" ketika cemeti menghantam bertubi-tubi pada sekujur tubuhnya. Sementara ia juga ditelentangkan diatas pasir yang panas membakar sambil dadanya ditindih sebongkah batu besar. Belum pula ia terpanggang hidup-hidup oleh terik matahari yang menyengat kala itu. Namun tiada lain yang diucapkannya, "Ahad..Ahad..Ahad!".

Seorang manusia Bugis, dipohonkan harapan sebagaimana keteguhan dan ketabahan seorang sahabat mulia, yakni : Bilal Bin Rabbah Radiayallahu Anhu. Pengharapan yang sangat besar agar ia tumbuh sebagai seorang yang "Tawaddu" dengan memperoleh "kemuliaan" bukan disebabkan karena "keturunannya". Melainkan diperolehnya berkat : kadar Taqwanya kepada Allah SWT. Bilal adalah seorang bekas budak belian dari Habsyinia. Namun keutamaannya sangatlah agung sehingga Nabi Muhammad SAW menjodohkannya dengan saudara perempuan Umar bin Khattab ra. Maka bekas budak belian yang buruk rupa nan berkulit hitam kelam itu adalah saudara ipar seorang Amirul Mukminin dan juga seorang Khulafaurrasyidin. Sungguh, seorang Manusia Bugis sesungguhnya adalah seorang yang rendah hati.

Oh, Ininnawamu La Oddang...

Wallahualam bissawwab..



INDONESIA bukanlah NUSANTARA !

Jika pengetahuan dimaknai sebagai kumpulan fakta-fakta yang saling berhubungan satu sama lain mengenai sesuatu hal tertentu, maka apa yang kuuraikan pada tulisan ini bukanlah sebuah pengetahuan sejarah. Melainkan sebuah opini atau pendapat yang justru disebabkan oleh kurangnya nilai pengetahuan didalamnya, sehingga saya amat yakin akan kebenarannya. Itulah sebabnya, kajian ini saya tempatkan pada laman “Kajian Ininnawa”. Ya, cuma sebuah pendapat dari lembaga pengetahuanku yang dangkal semata...

Cetusan Rasa Gundah

Awal bulan Juli yang lalu, kuinjakkan kaki kembali di Situs Pendopo Agung, Trowulan – Mojokerto, Jawa Timur. Tidak banyak perubahan yang kulihat sejak mengunjungi pertamakalinya pada bulan Juni tahun 1993, kecuali jalan setapak dibelakang pendopo itu yang membawa kita ke komplek Makam Kuno yang disebut sebagai Kubur Panggung. Tidak jauh dari dari tempat itu pula, berdiri sebuah bangunan kecil yang  dikatakan sebagai komplek pertapaan Prabu Hayam Wuruk. Pada tempat itu pulalah, seorang lelaki bercerita dan berkisah terus menerus dengan lagak seorang Bhagawan. Tiada lain yang dikisahkannya, adalah : Kebesaran Kerajaan Majapahit dengan Maha Patihnya yang mempersatukan Nusantara dalam sebuah imperium, yakni : Majapahit.

Seketika itu saya teringat dengan pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sejak SD, SMP dan SMA (resminya saat ini, Pendidikan Terakhirku adalah SMA, harap maklum). Ketika pokok bahasan sampai pada “Wawasan Nusantara” atau “Wujud Persatuan Indonesia”, maka pastilah “Sejarah Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya” dijadikan acuan. Namun pada kelanjutannya, hal ihwal Kerajaan Sriwijaya tidaklah terlalu ditonjolkan lagi, tenggelam oleh kemegahan Majapahit. Sesuatu yang berusaha ditanamkan, bahwa : Wujud Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) pada masa ini tiada lain adalah manifestasi atau reinkarnasi Majapahit di masa lalu. “Bhinneka Thunggal Ika” adalah slogan kebesaran Majapahit yang kini menjadi motto pada Garuda Pancasila, Lambang Negara Kesatuan tercinta ini.

Tanpa bermaksud mencederai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta, saya sebagai anak bangsa ini merasakan jika ada “kesalahan berpikir” sejak awal yang terlalu dipaksakan untuk menjadi dasar ideology oleh suatu kalangan tertentu dalam elemen pendiri Negara ini. Bahwa “Kesadaran Nasional” sebagai perwujudan kesatuan yang pada awalnya dilatarbelakangi adanya rasa persamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda, kini dibelokkan sedemikian rupa untuk menunjukkan keunggulan suatu bangsa terhadap bangsa lainnya dalam suatu kesatuan. Maka seketika itu saya teringat ujar Jenderal Purn. M. Yusuf. Alm. (Mantan Menhankam / Pangab) pada tahun 2005 yang lalu, bahwa : “Pokok permasalahan bangsa yang besar ini cuma 1 (satu), bahwa adanya suatu suku bangsa yang terlalu  ambisi untuk menguasai seluruh suku bangsa lainnya.”.

Jenderal Legendaris yang ksatria dan amat mencintai negaranya itu adalah saksi sejarah yang dapat melihat serta merasakan sendiri bagaimana pergolakan demi pergolakan terjadi pada 3 Orde, era perjalanan bangsa ini sampai sekarang. Sejak Sekarmaridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Teuku Daud Beureueh di Nangroe Aceh Darussalam hingga Letkol. Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Semuanya meneriakkan protes atas pembelokan dasar ideology yang terlalu dipaksakan tersebut, sebelum terpaksa mengangkat senjata sebagai strategi atau langkah terakhir yang dapat ditempuhnya. Istilah “Majapahitisme” adalah tudingan Letkol. Abdul Kahar Muzakkar pada Presiden Soekarno, tidak lama sebelum beliau kembali ke Sulawesi Selatan untuk memproklamirkan gerakan DI/TII yang dinilai oleh banyak pengamat sejarah, tiada lain hanya merupakan “Alasan Berkelahi” semata. Beliau telah prustasi dan amat gerah oleh ketidakadilan yang nampak jelas didepan matanya. Namun jua akhirnya, para Patriot Bangsa itu tergilas habis oleh revolusi serta dinyatakan sebagai pemberontak bangsa.

Sudahlah. Waktu telah berlalu, Sejarah telah terlanjur membentuk dirinya sedemikian rupa…, demikian kata IninnawaE saat ini. Tapi lihatlah, nama Sultan Hasanuddin “Si Ayam Jantan dari Benua Timur” yang merupakan symbol kegigihan perjuangan melawan penjajahan Belanda di Sulawesi Selatan, kini hanyalah nama sebuah Airport belaka. “Wirabuana” yang lagi-lagi berbau Majapahit itu kini diabadikan sebagai “Kodam Wirabuana” Sulawesi Selatan yang berlambangkan pohon Lontar dan Kelewang “Sudanga”, Arajang Kerajaan Gowa di masa lalu. Sungguh, gara-gara inilah hingga sampai saat ini saya tidak tahu dan tidak tertarik untuk mengetahui kepanjangan daripada “KODAM”.. Cetusan rasa gundah.

Akhirnya azas kesatuan yang dicetuskan pada “Sumpah Pemuda”, kini isinya tiada lain berupa “Sumpah Palapa”. “Mengaku berbahasa satu, BAHASA INDONESIA” hanya slogan belaka. Lihatlah, satelit pertama  bangsa ini dinamai : Satelit Palapa. Lambang Kementerian Pendidikan Nasional bertuliskan “Tut Wuri Handayani”, Motto Korps Marinir TNI AL juga demikian, tak kalah panjangny. Bahkan hampir semua lambang dan motto seluruh Departemen (Kementerian) di Negera ini, semuanya berkarakter Majapahit belaka. Lalu, kenapa motto itu TIDAK berbahasa Indonesia saja ?.  

Penelusuran Tak Berujung…

 
Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini tidak boleh didasarkan pada azas “Penaklukan Majapahit” yang diklaimnya berdasarkan kitab kunonya secara sepihak !, demikian geliat penasaran hatiku yang senantiasa gusar oleh hal ini pada setiap waktu. 

“Pengetahuan Sejarah adalah kumpulan fakta yang saling berhubungan satu sama lain mengenai suatu peristiwa tertentu..” (Prof. S.I. Poeradisastra, 1978). Kemudian menurut Arnold J. Toynbee bahwa azas sebuah peristiwa “Sejarah” menyangkut 2 (dua) bangsa, dipahami sebagai suatu krologis peristiwa yang terbukti secara factual melalui penelusuran manuskrip atau prasasti pada kedua bangsa tersebut. Contoh factual yang memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai sebuah “peristiwa sejarah”, adalah penaklukan Yunani atas Negeri Babilonia yang dipimpin oleh Alexander The Great dari Macedonia. Selain didapatkan manuskrip yang memberitakan peristiwa tersebut di Yunani, juga ditemukan  Koin mata uang Babilonia bergambar Alexander The Great didalamnya. Contoh lain adalah penaklukan VoC Belanda pada Kerajaan-Kerajaan local di Jazirah Sulawesi sangat jelas tertulis pada naskah-naskah lama dan syair-syair setempat, misalnya : Sinrilliq Kappala Tallumbatua. Suatu pengakuan tentang rangkaian aksi kesejarahan orang-orang Belanda di Sulawesi Selatan.


Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, "penaklukan" atas beberapa Negeri di Sulawesi Selatan sangat jelas tertulis pada kitab Kakawin Nagarakertagama, sebuah kitab kuno yang kini diakui sebagai "Memori Dunia" oleh UNESCO. Kakawin Nagarakertagama digubah oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1389). Perihal Kerajaan di Sulawesi pada "pupuh 14" sebagaimana diuraikan dalam terjemahan, sbb :


Pupuh XIV

1.
Kadandangan, Landa Samadang dan Tirem tak terlupakan Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei, Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
2.
Di Hujung Medini Pahang yang disebut paling dahulu, Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu, Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah, Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
3.
Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah, Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo, Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.
4.
Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah, Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya, Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk, Sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk.
5.
Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar, Lagi pula Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa lagi pulau-pulau lain.
 ....(Prof. Dr. Slamet Mulyana, Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, tanpa tahun).


Kemudian sumber tersebut diatas diperbandingkan dengan sumber-sumber yang ada di Sulawesi Selatan. Maka penelusuran dimulai pada sumber tentang Kerajaan Luwu yang dianggap sebagai Kerajaan Tertua di Sulawesi, terutama dihubungkan dengan penaklukan Majapahit pada kerajaan tersebut sebagaimana tertulis pada Kakawin Nagarakertagama. Kemudian dibuka pulalah naskah Lontara I La Galigo dari berbagai sumber, maka penulis tidak dapat menemukan satu uraianpun yang menyatakan penaklukan Majapahit terhadap negeri Luwu.

Bahkan lebih dari itu, Angkatan Laut Mancapai' (Majapahit) yang dikisahkan bertekuk lutut dibawah gempuran Sawerigading beserta pasukannya di tengah laut dalam perjalanan menuju Cina (Watampugi'). Sumber tersebut dapat dibaca pada tulisan Andi Bau Sulolipu Opu To Tadampali (Mengenal Sawerigading - tanpa tahun), R.A.Kern (Catalogus Van de Boeginese, tot de I La Galigo Cyclus behorende handschriften, Makassar, Matthesstichting-1954) serta semua naskah lontara I La Galigo dimanapun berada. 


Sumber lain yang menyebutkan tentang Majapahit, adalah : Lontara milik Opu Tomarilaleng Luwu (NB No. 208) dimana pada pembukaannya tertulis sebagai berikut : " Simpurusiang tompoo'E ri busa uaE powawinEi Manurung Patyanjala, poana'i Ana'kaji. Iana lao mabbainE ri Majapai' ana'na Ratu Majapai' riyasengnE We Tappacin. Iana poana'i  Toampanangi ..." (Simpursiang yang timbul dari busa air memperisterikan Sang Manurung Patyanjala, yang melahirkan Anakaji. Ialah yang berangkat untuk beristeri di Majapahit yakni puteri Ratu Majapahit yang bernama We Tappacin. Ialah yang melahirkan Toampanangi ...)

Kemudian Lontara' Sukkuna Wajo karya La Sangaji Puanna La Sengngeng Arung Bettempola juga menyebutkan perihal pernikahan Anakaji (Pajung Luwu ke-IV) dengan Puteri Raja Majapahit yang bernama We Tappacina. Menyambut kepulangan Anakaji dari Jawa dengan memboyong isterinya tersebut, sehingga Pajung Luwu menghadiahkan "Tana SitonraE" yang terdiri atas TEmpE, Siengkang, Tampangeng dan WagE (kini masuk dalam wilayah Kab. Wajo). Siengkang (sama datang) adalah cikal bakal Kota Sengkang yang kini menjadi Ibukota Kabupaten Wajo. Siengkang yang berarti "sama datang", kawasan itu dinamai demikian karena mengingat orang-orang Majapahit dan orang-orang Luwu "datang bersamaan dalam suatu rombongan" untuk menghuni dan menetap di Negeri yang dihadiahkan tersebut.



Pada kedua macam sumber yang berbeda tersebut diatas (Kakawin Nagarakertagama di Jawa dan Lontara-Lontara di Sulawesi Selatan), maka nampaklah perbedaan yang jelas diantara keduanya. Sumber dari Jawa menyatakan jika Majapahit telah menaklukkan Negeri-negeri di Sulawesi Selatan dan sebaliknya pula, Lontara-Lontara Sulawesi Selatan menyatakan jika Majapahit adalah negeri "seberang lautan" yang angkatan lautnya telah dipermalukan serta puteri rajanya diboyong ke Sulawesi Selatan. Sebab adalah hal yang "tidak mungkin" seorang Raja Penakluk rela jika "puterinya diboyong" oleh Raja taklukannya. Peristiwa yang serupa namun tidak persis sama dikisahkan pada "babad" pernikahan Hayam Wuruk dengan Puteri Pasundan (Jawa Barat), dimana protokoler penjemputan iring-iringan pengantin dipersoalkan oleh Patih Gajah Mada sehingga mengakibatkan perang diantara kedua kerajaan.


Ketidaksesuaian lain yang membedakan antara kedua sumber, adalah pencantuman "Bantayang" pada "pupuh 14" Nagarakertagama. Sebagaimana sumber-sumber yang ada di Sulawesi Selatan, utamanya pada sumber dari Luwu dan Gowa disebutkan bahwa Bantayang yang kini dikenal sebagai "Kabupaten BantaEng" penamaannya berasal dari nama salah seorang saudara lelaki Anakaji (Menantu Hayam Wuruk,  Prof. Mr.Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH - Munculnya Kedatuan Luwu, 1994) yang bernama : Patala Bantang. Adalah hal yang sangat tidak masuk akal jika sebuah perkampungan pinggir pantai yang dijadikan pendaratan pertama Patala Bantang langsung menjelma menjadi sebuah "Kerajaan bernama Bantayang" seketika itu. Padahal perlu dikemukakan disini, bahwa "Patala Bantang" adalah saudara Anakaji yang segenerasi (lebih muda) dengan Prabu Hayam Wuruk. Dengan demikian, Kerajaan Bantayang didirikan minimal 50 -100 tahun setelah Hayam Wuruk wafat. Sebuah kasus perbedaan "ruang waktu". Lalu Bagaimana mungkin Kerajaan Majapahit menaklukkan negeri yang belum ada ?.

Demikian pula dengan nama-nama negeri lainnya yang tercantum pada Kitab Kakawin yang "konon" ditulis pada abad XIV. Perlu diadakan sebuah penelitian yang mendalam, bahwa apakah Negeri Makasar, Salayar, Timor, Buton, Banggawi (Banggai), Sumba, Solor, Ambon dan Maluku sudah bernama seperti demikian pada kurun waktu tersebut ?. Khususnya "Makassar" menurut beberapa Sejarawan Sulawesi Selatan, bahwa : Penamaan "Makassar" mulai pada Abad XVII, ketika Khatib Tunggal (Penyiar Islam dari Minangkabau) berujar : "Makkassara'mi kanabianna Muhamma' SAW" (sudah menjelmalah kenabian Muhammada SAW).




Kesimpulan dan Penutup


Kembali kepada azas sebuah peristiwa sejarah sebagaimana diuraikan diatas, maka jelaslah bahwa apapun yang tertulis pada kitab Kakawin Nagarakertagama tentang penaklukan Majapahit di Sulawesi Selatan TIDAK DAPAT dikatakan sebagai sebuah kebenaran sejarah. Demikian pula dengan kemenangan Sawerigading terhadap pasukan Angkatan Laut Majapahit, juga TIDAK dapat pula dikatakan sebagai sebuah peristiwa sejarah. Kedua sumber tersebut "walau bagaimanapun kunonya" namun bukan merupakan sebuah jaminan tentang suatu kebenaran sejarah jika ditilik secara metodik. 


Adalah jauh lebih bijak jika "Semangat Persatuan dan Kesatuan Bangsa" dibawah lambaian Sang Saka Merah Putih dikembalikan sebagaimana awalnya, yakni : persamaan nasib dan persamaan lainnya dalam kehidupan berbudaya yang dicetuskan dalam "Sumpah Pemuda", 28 Oktober 1928. Bukan disebabkan oleh "klaim" tentang kemaharajaan salahsatu diantara yang lainnya, dimana hal tersebut "belum tentu" kebenarannya. Andaikanpun itu benar, namun tetaplah bukan sebagai sesuatu "yang arif" untuk dijadikan 'DASAR KESATUAN".


Akhirnya penulis menghaturkan ucapan : Jayalah Negeriku, Bersatulah Bangsaku .. Negerimu, Negeriku, Negeri kita bersama .. Tanah Air kita, Indonesia tercinta ...


Wallahualam Bissawab...




DEBAT KUSIR TENTANG "ANDI"

Catatan Kecil buat anakku..

Untuk kesekian kalinya, kudapatkan lagi orang yang sangat "alergi" terhadap gelar "Andi" atau gelar semacamnya. Argumen-argumen yang berdasar pada dalil-dalil Agama, dijadikannya sebagai pembenaran terhadap perlunya "gelar kebangsawanan" itu dihapuskan saja, semudah memencet "control A" lalu menindis tuts "Delete" begitu saja. Demikian riak batinku ketika kubuka jendela Grup Facebook SEMPUGI  dan membaca sebuah pendapat tentang perlunya menghapus gelar "Andi". Seketika itu saya "terpancing" untuk mengomentarinya.

Ada rasa "miris" bercampur 1001 macam rasa lainnya berkecamuk di dada dan naik hingga memanaskan ubun-ubunku. Namun segalanya itu buyar begitu saja, ketika sebuah pertanyaan timbul kemudian dalam benakku : Ada apa dengan sebuah "gelar" ?.  Jika Shakespeare saja mengatakan "Apalah arti sebuah NAMA", maka apalah pula arti sebuah GELAR ?.

Terselip sebuah sesal yang timbul kemudian. Karena sesungguhnya "berpendapat" adalah hak asazi bagi setiap orang yang dikaruniai akal dan pikiran. Seseorang dapat saja berpendapat berdasarkan kebenarannya yang justru "mungkin" saja diakibatkan oleh pengalaman buruk berkenaan dengan sesuatu yang "tidak disukainya" tersebut. Sungguh benarlah ujar Baginda Junjunganku, La Sangkuru Patau Mulajaji Sultan Abdul Rahman MatinroE ri Allepperengna, bahwa :

 Engkatu ada, engkato gau'
 Engkato nawa-nawa na dE' na ripoada, na dE' ripogau',
 na dE'to na riponawa-nawa
 naripo jaa..


Engkato ada, na dE' ripoada,
Engkato gau' na dE' ripogau',
Engkato nawa-nawa na dE' nariponawa-nawa,
na ripodEcEng..

Artinya ;

Ada suatu ucapan, perbuatan dan pikiran
Jika itu tidak diucapkan, dilakukan dan dipikirkan
Maka akan berakibat buruk..

Ada pula suatu ucapan, perbuatan dan pikiran
Jika itu tidak diucapkan, dilakukan dan dipikirkan
Maka akan berakibat baik..


Maka bukanlah saatnya memperbincangkan "sejarah" tentang sebuah gelar. Karena sesungguhnya ia tiada lain hanyalah sebuah "pemberian" dari manusia pada manusia lainnya. Sesuatu yang kadangkala didapatkan sebagai "pusaka" turun temurun, namun pada hakikatnya bukanlah sebuah ukuran kemuliaan adanya.

Demikian pula halnya dengan sebuah gelar yang disebut sebagai "Andi". Ia menempel didepan sebuah nama berdasarkan nazab keturunannya. Namun sesungguhnya, seorang ayah dan ibu "tidak akan pernah" menggelari anaknya sebagai "Andi". Melainkan masyarakatnya sendiri yang menyebutnya demikian. Seseorang yang dikatakan sebagai "To MaradEka" (Orang Merdeka) tidak pernah pula disuruh apalagi, dipaksa untuk menyebut "Andi" pada seseorang. Karena itu bukan merupakan sebuah hukum atau aturan tertulis adanya. Melainkan hanya sebuah norma belaka.

Adalah sebuah hukum tak tertulis dalam masyarakat, yakni : Menilai sebutir beras dalam satu karung. Sebutir beras yang membusuk, akan menerbitkan sebuah penilaian bahwa semua beras dalam karung itu busuk pula adanya. Begitupula halnya jika seorang bergelar "Andi" berbudi pekerti sombong, angkuh dan pongah, maka dengan mudahnya orang lain akan menilai jika seluruh "Andi" di dunia ini begitu pula adanya.
Maka ; Akkaritutui asengmu ri pangkaukengmu, na muanennengi  tomatoammu.. (Jagalah namamu dalam berbudi pekerti, berarti kau mengasihi orang tuamu..)

 Wallahualam Bissawwab..


..Agar Tidak Punah

Perbincangan ringan lewat komentar demi komentar lewat Facebook dengan Adinda : Ibu Sahara Bugis, begitu membuka cakrawala pemikiranku. Beliau adalah putri Bugis yang terlahir dan tumbuh hingga membangun serta membina keluarga di Surabaya. "Pikiran ibarat parasut, berguna jika ia terbuka...", katanya. Kemudian beliau menanyakan perihal "Andi" yang melekat diawal namaku. "Cuma seonggok PUING-PUING, kenang-kenangan tentang masa lalu. Sesuatu yang justru lebih banyak menjadi beban, ketimbang sebagai sesuatu yang berdaya guna untuk menjawab tantangan hidup di era ini...", jawabku. Setidaknya begitulah pendapatku.. sesuai dengan kondisiku yang terlahir dan tumbuh dalam situasi serba sulit.. deraan kesulitan ekonomi, apa lagi ?

...........................................................................

Pada sebuah perbincangan dengan Puekku Andi Bau' Sumange' Rukka (Almarhum), tanpa disangka-sangka beliau menanyakan cita-citaku. Maka kujawab, "Iya minasanna atanna DatuE, mangujuE sompe' lao ri Australia.., Pueng" (Adapun menjadi cita-cita hamba, adalah : merantau ke Australia.., Tuanku). "Niga tau taletturi akkoro ?" (Siapa yang akan anda datangi disana ?), tanyanya. "Engkamoo sengatakku monro mattaung-taung akkoro. Sapposisengnamo atanna DatuE, Pueng.." (adalah seabdiku yang tinggal disana sejak bertahun-tahun. Dia adalah saudara misan hamba, Tuanku..). Pangeran Pammana itu mengisap rokok Bentoel Exportnya dalam-dalam seraya memandangku lekat. "Carilah bekal dan berjuanglah untuk menjawab tantangan hidup dalam era ini, kalau kau tidak ingin punah... letakkan gelarmu dan simpan baik-baik didalam lemari sebelum berangkat merantau..", katanya dengan suara datar. Entah kenapa, aku sangat terkesan dengan kalimat itu, hingga kuhapalkan diluar kepala sampai saat ini.

Kata "punah" itu menggetarkan dinding-dinding nuraniku, mengundang rasa cemas sekaligus memacu daya juangku untuk bertahan dari ancaman yang menakutkan itu. Andaikan benar jika pikiran adalah sebuah parasut, maka kata "punah" itu adalah angin panik yang sertamerta berhembus dan membuka parasut itu.

Aku teringat dengan kisah sang "Dinosaurus". Hewan raksasa Carnifora yang berada pada puncak rantai makanan, jutaan tahun yang lalu. Si Dino yang hebat itu telah punah dipermukaan bumi, sementara hewan-hewan lainnya yang bertubuh tidak sekuat dirinya masih bertahan hingga kini. Kepunahan itu bukan disebabkan oleh jatuhnya meteor menghempas bumi. Melainkan : Karena si Dino yang perkasa itu tidak mampu berevolusi !. Atau dengan kata lain, Si Dino tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan era.. Ia tidak mampu beradaptasi dengan zaman es dikala itu. Bumi senantiasa berputar, membawa berbagai zaman yang silih berganti, mengikuti Sunnatullah yang ditetapkan baginya beserta isinya.

Aku bukanlah penganut teori evolusi yang tidak masuk ditakaran akal itu. Namun riwayat punahnya Si Dino mengilhamiku untuk senantiasa realistis dalam mengarungi bahtera hidup dalam era masa ini. Seseorang haruslah fleksibel dalam menerapkan nilai budaya warisannya yang mau tidak mau haruslah mengikut dan menyesuaikan dengan keadaan hari ini. Kalau tidak, riwayat tentang kepunahannya akan terbaca dalam waktu tidak terlalu lama kemudian.

Maka benarlah kiranya, pada era tahun 50-an para Ana' Arung (Putera Bangsawan) yang menjalani pendidikan di Watampone, diwajibkan menamatkan Lontara Latoa dan Budistihara. Lontara' Latoa memuat pendidikan budi pekerti kenegarawan berdasarkan kearifan para pemikir Bugis dimasa Pra-Islam dan Budistihara berisikan pendidikan budi pekerti Iman dan Taqwa kepada Allah SWT. Maka jelaslah, bahwa sebaik-baiknya bekal yang dipersiapkan untuk menjawab tantangan zaman demi zaman dimasa yang akan datang, adalah : nilai Iman dan Taqwa kepada Allah Subhanahuw Wata'ala.

Wallahualam Bissawab...



BANGGA ..

Sebuah kata yang definisinya belum pernah sempat kubaca dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Buat apa ?, pikirku. Anak kecil pun tahu, apa yang dimaksud "Bangga" itu. Sesuatu yang jika ditranslate ke Bahasa Inggris akan berarti "Proud", atau jika dikembangkan akan bermakna "Kehormatan". Namun lebih jauh lagi, akan menjadi " Riya' ", demikian istilah Ahlaqnya jika kita membuka buku Fiqhi.

Tetapi apapun itu, walau dikembangkan hingga kemana, "Rasa Bangga" adalah suatu motif dalam perasaan pada setiap diri yang didasari "Rasa Memiliki" terhadap sesuatu hal yang dianggap bernilai, demikian menurut otak dangkalku.
..................................................................................................

Aku bangga sebagai putera ayahandaku, karena beliau adalah ayahku. Wawasan berpikirnya serta pengetahuannya yang luas tentang banyak hal selalu membuatku kagum, hingga menurutku beliau adalah orang yang serba bisa.

Aku bangga terhadap "La Tenri Tatta Arung Palakka" karena aku adalah orang Bugis. Beliau seorang putera Bugis yang berani mempertaruhkan segala apapun yang dimilikinya, demi menegakkan harkat dan martabat para orang Bugis. Seluruh hidupnya didedikasikan hanya pada suatu cita-cita mempersatukan Orang Sulawesi dalam suatu wawasan berpikir "Sempugi" yang dikenal hingga kini.

Aku bangga terhadap "Buya HAMKA" karena beliau adalah salah seorang putera Bangsa Indonesia yang berpendidikan formal rendah sepertiku. Namun beliau mampu menyusun berbagai tulisan yang berkelas dunia. Tafsir Al Ashar adalah salahsatu karyanya yang dijadikan suatu kitab rujukan pada Perguruan Tinggi tertua di dunia, yakni : Universitas Al Ashar, Cairo.

Aku bangga terhadap Rasululullah Muhammad SAW karena beliau adalah Nabiku. Nabi yang kuharap dan kurindukan syafaatnya kelak dihari kemudian. Sebuah pribadi "Uswatun Hasanah" yang tidak memiliki cacat celah sedikitpun dari segala sisinya. Seorang tokoh sejarah yang yang dianggap sebagai Manusia paling berpengaruh dalam sejarah.

Aku bangga terhadap Mahatma Gandhi karena beliau adalah seorang Asia sepertiku pula. Sosok sederhana yang dibalut secarik kain putih lusuh, namun sangat disegani oleh para Imperialis Inggris. Sosok bersahaja yang memandang manusia lainnya dibalik kaca mata bundarnya, sebagai mahluk bumi dari budi dan dayanya. Terlepas dari bingkai Agama, Negara dan Sukunya.

Akupun bangga terhadap Abraham Lincoln sebagai umat manusia yang memandang harkat kemanusiaan adalah sama bagi setiap manusia. Beliau mengorbankan nyawa demi memperjuangkan penghapusan perbudakan di Amerika.

.....................................................................................
Maka "rasa bangga" terhadap sesuatu, tiada lain adalah "ke-Aku-an" (Egosentrisme ?) yang senantiasa berorientasi terhadap diri setiap orang. Sesuatu yang jika berlebihan, akan menjadikan fanatisme yang dalam arti negatif. Sebagai misal jika "sebagian" orang Yunani mengungkapkan : "Hanya ada dua jenis manusia di dunia ini, yakni : Orang Yunani dan Orang yang bermimpi menjadi Orang Yunani..". Ungkapan seperti itupun dapat pula ditemukan pada setiap suku bangsa di dunia ini.

Maka pantaslah jika Nabi Muhammad SAW mewasiatkan, bahwa seburuk-buruknya kaum adalah yang membanggakan leluhur maupun kaumnya, sementara ia sendiri tidaklah memiliki prestasi apapun. Maka dalam hal ini, adalah hal yang sangat arif sekiranya motif rasa bangga itu dijadikan sebagai keteladanan yang memotivasi diri untuk berkarya pada dunia.

Sungguh, rasa bangga dalam diri ibarat "gula darah" dalam tubuh. Jika berlebihan, akan menjadi penyakit dan bila kurang akan menjadi penyakit pula. Rasa Bangga berlebihan akan menjadi Riya yang justru akan manjadi api yang melahap segala amal ibadah. Namun jika tiada rasa bangga, maka jiwa akan jadi kerdil. Rasa bangga yang proporsional akan menjadi secercah sinar harapan bagi setiap orang, karena dalam mengarungi hidup haruslah senantiasa dibekali dengan harapan.

Menyangkut tulisan ini, kuwasiatkan pada Sangaji Adiguna, puteraku : Isilah hidupmu dengan hal-hal besar yang membawa kebaikan bagi umat manusia. Maka dengan itu "Para Pengagum" sepertiku, atau bahkan orang yang pastinya jauh lebih piawai akan menulis tentangmu dalam lembaran sejarah. Keturunanmu akan membanggakan dan meneladani sejarahmu.

Wallahualam bissawwab..


KEBIJAKAN

... lagi-lagi aku tidak bisa memaparkan, apa definisi "kebijakan". Namun aku yakin, bahwa setiap manusia yang pernah dilahirkan di permukaan bumi ini pernah memberi dan menerima kebijakan. Maka setiap orang pastilah tahu dan mengerti maksud kebijakan itu.
...........................................................................................

Seringkali aku mengikuti acara "Madduta" (melamar) yang diselenggarakan sebagai suatu rangkaian prosesi adat pernikahan adat istiadat Bugis. Beberapakali diantaranya kuingat sebagai suatu moment yang sulit, dimana telah terjadi "tawar menawar" yang alot diantara kedua belah pihak. Pihak keluarga perempuan berusaha mempertahankan besarnya "Balanca" (Uang belanja penyelenggaraan pesta pernikahan) yang ditetapkannya sebagai syarat bagi pihak keluarga pelamar. Sementara pada pihak keluarga lelaki yang melamar, juga berusaha menawar harga terendah yang dimintanya. "Taniaki' ata-ata maElo mabbEnE ana' Arung..! " (kami bukannya kaum budak yang berkeinginan memperisteri wanita bangsawan..!), kata salah seorang dari rombongan kami, pihak pelamar. Agaknya ia tersinggung ketika mendengar persyaratan yang ditetapkan oleh pihak keluarga yang dilamar, seakan-akan pihak mereka lebih tinggi derajatnya dari kami.

Maka terjadilah sebuah perseteruan disebabkan oleh ketersinggungan yang justru tidak jelas ujung pangkalnya. Suatu akibat yang kini jauh melenceng dari niat semula, yakni : Mempererat jalinan silaturrahmi dalam ikatan sunnatullah pernikahan yang diridloi Allah SWT.

Akhirnya kurenungkan kembali bagaimana leluhur kami mewasiatkan pesan tentang memposisikan nurani dalam suatu permasalahan sebagaimana digambarkan diatas. "Padai laona mappalalo waju bekka' temmakkasapE ri gau' sitinajaE. Ipolo mallampE'E, na ripuE' massappaE ri lalengna dEcEngngE. MappasitujuE temmakkEbbuu laleng baru ri lalengna ade'E..." (Ibarat memakai baju yang kekecilan, namun tidak merobeknya. Memotong yang memanjang serta membelah yang persegi dalam jalan kebaikan. Saling membijaksanai tanpa membuat tata cara baru dalam aturan adat istiadat..).

Memakai baju yang ukurannya kecil tanpa merobeknya, agaknya jauh lebih baik dari pada tidak mengenakan baju sama sekali. Palsafah  yang dimaknai sebagai pola sikap yang fleksibel. Sesuatu yang menghendaki kiranya setiap pribadi memahami lebih dalam perihal prinsif-prinsif aturan hidup yang diembannya. Maka pemahaman itulah yang akan membawanya pada pengenalan tata letak berbagai unsur kebijaksanaan pada sisi lain aturan itu. Pada akhirnya, esensi pengenalan itu akan membawa kita terhadap pengertian tentang fungsi epektifitas dalam menjiwai prinsif tersebut. Sesuatu yang memungkinkan untuk melihat jelas celah kebijakan yang dapat menjadi solusi terbaik, tanpa mencederai esensi aturan itu sendiri.

Alangkah indahnya jika memegang teguh suatu prinsif yang dijiwai dengan penuh rasa toleransi. Sebagaimana contoh yang telah dikemukakan diatas, pihak keluarga perempuan tentu akan menyelaraskan persyaratan yang ditetapkannya dengan prinsif "Mappasitinaja" (sewajarnya). Kemudian pihak pelamar tentu saja dapat menerima persyaratan itu dengan penuh toleransi. " dE'namarigaga ipassa-passa cEddE' alEwE, rEkko dEcEng mua.. nasaba ri yelli mEmengpa dEcEngngE.." ( tidak apa sedikit memaksakan diri .. karena kebaikan itu pantas dihargai..).

Wallahualam Bissawwab...



Wawang Asogireng

Tahun 1994, penulis pertama berkenalan dengan seorang Budayawan Parepare, bernama : H. Zainuddin. Seorang tua yang dikenal dengan 2 nama lainnya, yakni : Andi Potong dan H. Gandaria. 
...................................................................

Selama merambah Dunia Budaya Bugis, penulis belum pernah menemukan seorang Budayawan yang begitu piawai menguasai hal ikhwal "Wari" (Protokoler Istana) sebagaimana beliau. Pengalamannya sebagai seorang "Bissu" (Pendeta Banci) dimasa mudanya, serta pernah pula menjadi seorang "Pattumaling" (Protokoler) dalam lingkungan Saoraja Soppeng (Istana Kesultanan Soppeng) membuat penulis terpaksa harus pulang malam dalam upaya menimba pengetahuan darinya. Namun tetap juga saya harus menyadari, jika butuh waktu seumur hidupku menimba pengetahuan yang berasal dari pengalaman yang dialaminya.

Sisi lain yang membuat beliau terkenal adalah kesuksesannya sebagai seorang niagawan. Pada masa tuanya, beliau masih aktif membina kedua hotelnya (Hotel Gandaria I dan Gandaria II) di Parepare. Tetap dalam lingkungan Hotel Gandaria, beliau pula membina sebuah museum pribadi yang dikenal sebagai : Museum H. Zainuddin. Pada museum itulah, penulis melihat koleksi yang tak ternilai harganya. Perbendaharaan harta benda yang jauh melebihi nilai saham-saham Bp. H. Gandaria yang kuketahui banyak pula di Timur Tengah. Begitu pula dengan koleksi Batu Berliannya yang berkisar 1/4 liter, koleksi benda-benda bersejarah dalam museum itu jauh lebih bernilai. Apa saja isi museum itu ?, mungkin seperti itulah pertanyaan anak-anakku yang penasaran, sekiranya kelak kututurkan ininnawa ini.

Pada suatu kesempatan, penulis bersama Kakanda H. Andi Pajung, S.Pd, M.Pd sempat diantar sendiri oleh Alm. Etta Aji Gandaria kedalam ruang museum itu. Pada ruang depannya, kami disambut berbagai macam tombak pusaka yang dipasang berdiri, berjejer bagaikan pagar. Beberapa diantaranya berlapis emas dan perak serta bertatahkan batu permata. Dalam ruang itu pula ditemui banyak keris dan badik dalam berbagai jenis. Kemudian pada ruangan lainnya, terpajang pula berbagai jenis "Pao Jengki" (biji mangga yang berukuran sebesar bola basket) yang pada pinggirnya dihiasi emas dan perak pula. Lalu pada suatu ruang khusus yang tempatnya dirahasiakan, beliau membuka penutup lubang yang isinya hampir penuh oleh berbagai benda terbuat dari emas, namun penuh oleh binatang kelabang yang besar-besar. Pada tempat itulah, kami diperlihatkan sepasang pakaian adat bugis lengkap dengan segenap perhisannya yang kesemuanya terbuat dari emas murni. Sepasang baju sirah yang terbuat dari emas murni !. Terdengar bagai dongeng, namun kami telah menyaksikannya.

Pada kesempatan itu pulalah, penulis bertanya : "Etta Aji, tapagguru mana' wawang asogirengta.." (Pamanda, ajarkanlah pada ananda perihal ilmu kekayaan..). Maka beliau memberitahukan pada kami sebuah kalimat yang mesti kami hapalkan dan camkan sebaik-baiknya. "Magampangengngi polEanna dui'E naiya balancangenna" (Lebih mudah menghasilkan uang daripada membelanjakannya), begitulah bunyi kalimat itu. "Ah, yang benar saja. Apa tidak terbalik ?!", pikirku. Saya mampu membelanjakan uang berapapun dalam waktu singkat. Andai seseorang memberiku uang 2 Milyar Rupiah dengan persyaratan harus dibelanja habis dalam waktu semalam dan tidak boleh disumbangkan, saya yakin mampu melakukan itu. Siapapun orang boros sepertiku, pasti bisa pula melakukannya.

Akhirnya beliau menjelaskannya jua. Bahwa setiap manusia yang mau berusaha, pasti akan mendapatkan hasil dari usahanya tersebut. "Man jadda wa jadaa'", barang siapa yang mencari, pasti dapat. Itu adalah janji Allah SWT. Namun setelah mendapatkan serta membelanjakan uang hasil usaha itu, apakah anda yakin jika sesuatu yang dibelanja itu "sepadan" dengan "pengorbanan" dalam usaha mendapatkan uang itu tadi ?.

Seseorang yang dalam suatu usahanya mendapatkan uang Rp. 50.000,-, terpaksa haruslah mengeluarkan keringat sebanyak 1/2 liter disertai beberapa urat-urat tubuhnya kendor akibat pekerjaan berat itu. Kemudian dalam perjalanan pulang ke rumahnya, teman-temannya memanggilnya singgah di Cape. Terpaksa ia pun singgah seraya memesan segelas wyski Johnny Walker Black Lebel yang seharga Rp. 49.000,-. Maka orang tersebut dianggap "tidak bisa" membelanjakan uang.

Ternyata sulit menjadi "orang kaya harta", pikirku. Kadang hati haruslah dimiskinkan sedemikian rupa dengan begitu banyak perhitungan untung rugi. Maka hingga hari ini, saya belumlah jadi kaya.

Wallahualam Bissawwab..




PERJALANAN SI DYONG

Hidup ini ibarat menulis pada sebuah buku puisi.. , demikian tulisnya pada buku diarinya suatu hari. Maka kutuliskan kembali tentang perjalanannya, seorang “Dyong” yang kerap menulis puisi-puisinya yang aneh dan melangkolis itu pada laman “Telaga Hati” di Blog ini. Semoga bermamfaat adanya…

Sang Pemimpi

Tentang seorang remaja pengejar mimpi yang bahkan tidak mengerti apa mimpinya yang sebenarnya. Berawal dari kekagumannya terhadap kesuksesan kedua sepupunya yang hidup ditengah gemerlapnya kota Melbourne, Australia. Hidup dan bergaul ditengah-tengah para orang bule dengan budaya “trendy” yang serba “wow” itu, lalu pulang dengan membawa berbagai hal yang serba mutakhir. Maka itulah yang diimpikan “Si Dyong”, seorang pemuda belasan tahun yang pemalas dan bahkan tidak pernah tahu bagaimana menjalani hidup yang sebenarnya.
………………………………………………

“Dyong”, demikian teman-temannya memanggilnya. Remaja berpostur tinggi kurus dan berambut panjang, hingga menutupi kedua bahunya yang ringkih. Penampilannya yang dekil itu semakin nampak khas dengan sebentuk kaca mata minus buram, bertengger pada hidungnya yang agak pesek. Entah kapan waktunya ia kelihatan sedang tidak menghisap sebatang rokok. Bibirnya telah menghitam berkat getah tembakau yang diolesinya sebanyak 2 lusin batang perhari. Sialnya, ia justru  belum pernah bisa menghasilkan uang sepeserpun pada waktu itu. Rokok yang diisapnya tiada lain adalah hasil rengekannya pada ibundanya. Seorang ibu yang super lembut, takkan pernah tega mendengar putera bungsunya itu merajuk hingga berlama-lama. Namun berkat rokok itu pulalah sehingga ia mendapatkan “lisensi” untuk melakukan perantauannya.

Ba’da Isya, tidak seperti biasanya Dyong nampak duduk anteng di ruang tengah rumahnya. Biasanya ia telah keluyuran kemana-mana pada waktu sesudah magrib.  Setelah selesai makan malam, ia mendekati ayahnya yang sedang tekun membaca majalah Panjimas. Pemuda itu duduk bersila di kursi kayu seraya menghisap rokoknya dalam-dalam. Entah kenapa, lelaki satu ini selalu membuatku segan  walau kutahu jika ia ayahku sejak 18 tahun ini, pikirnya gundah.

“Ada apa, nak ?”, kata Sang Ayah seraya meletakkan majalahnya.
“Anu, ayah.. saya mau minta ijin merantau..”
“Ha ?!. Apa saya tidak salah dengar ?”

Orang tua itu tentu saja heran. Bagaimana tidak ?!. Si Dyong yang kerjanya cuma merokok, mabuk-mabukan, berkelahi dan telah beberapakali dikeluarkan pada beberapa SMA ini mau merantau ?

“Mau merantau kemana ?”, tanyanya acuh tak acuh.
“Saya berencana mau ke Australia, ayah”, jawabnya pasti.
“Apa yang akan kau lakukan disana ?”
“Pu Maraddiaku (nama sepupu si Dyong) mau membimbingku disana”
“Ah, bagaimana kau bisa tahu ?!”

Tentu saja ayahandanya ragu. Siapa sih yang bisa tahan membina si Dyong yang Bengal ini ?. Remaja yang sedang duduk di Kelas III SMA ini sudah cukup membuatnya pusing. Entah sudah berapakali ia menerima surat panggilan dari pihak sekolah. Namun ia sungguh malu memenuhi panggilan itu, maka selalu diwakilkannya pada anak sulungnya, kakak si Dyong. 

“Pu Maraddiaku (nama sepupu Dyong) sendiri telah menyuratiku, ayah..”, jawabnya terbata-bata sambil mengansurkan amplof surat yang diterimanya tadi siang. Ayahnya membaca surat itu dengan seksama lalu melipatnya dengan rapi.

“Anakku, bagaimana kau bisa merantau jika membeli rokok sendiri belum bisa ?”, tanyanya dengan mimik serius.

“Makanya itulah, ayahanda.. saya mau merantau dengan tujuan  belajar menghasilkan uang untuk beli rokok”, jawabnya pasti.

Sungguh, jawaban itu sangat ampuh. Sang Ayah akhirnya menerbitkan ijin merantau Si Dyong, walau Sang Ibu melakukan protesnya dengan aksi tutup mulut selama berhari-hari…
…………………………………………


Merantau ke Bali

Awal tahun 1989, saat ia mestinya sibuk mempersiapkan diri menghadapi EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), namun ia lebih fokus mengurusi passport dan segala sesuatunya untuk memulai perantauan pertamanya. Dasar Dyong si Mulut Besar, ia memberikan jika ia akan merantau jauh ke Australia kepada setiap orang yang dikenalnya. “Aga muassuroang ? Pauwang mua’ uwelliangko matu’ akko lettu’na” (Mau pesan apa ? Bilang aja, nanti kubelikan setelah aku tiba disana..), katanya. Maka bermacam-macamlah pesanan teman-temannya. Orderan itu tersusun rapi pada buku memonya. 

Bulan Puasa dalam tahun 1989, Dyong bersama Andi Alang (Kakak Sepupunya) bertolak di Pelabuhan Laut Soekarna Hatta, Makassar menumpang KM. Tidar menuju ke Surabaya. Mereka diantar segenap keluarga dekatnya yang dimuat dalam 3 mobil bus. Ada rasa sedih bercampur dengan girang yang dirasakannya kala itu. Sedih karena harus berpisah dengan keluarga dalam waktu yang lama, serta gembira karena cita-citanya ke Australia semakin dekat terkabul.

Dari terminal Makam Paneleh di Surabaya, kedua remaja itu bertolak ke Denpasar Bali dengan menumpang mobil bus antar pulau. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan selama 12 jam, maka perjalanan itu sampai di terminal Ubung, Denpasar. Tak tergambarkan, bagaimana senangnya si Dyong ketika melihat para turis bule bersiliweran di Pulau Dewata yang terkenal itu. “Wah, terasa kaya udah di Melbourne nih.. Orang bule dimana-mana..”, soraknya dengan riang. 

Dengan susah payah, kedua remaja tanggung itu mencari alamat Ida Bagus Putu Mudita, seorang teman kakak mereka yang juga tinggal menetap sambil bekerja di Hotel Hyatt, Melbourne. Pak Mudita sedang cuti dan pulang selama masa itu untuk menyelesaikan pembangunan rumahnya di Sanur, Bali. Rencananya, Pak Mudita juga yang akan memandu kedua remaja itu dalam pengurusan visa kunjungan di Consulate Australia di Denpasar.
………………………………………………………………


Harapan yang Kandas

Setelah menunggu selama sebulan sejak memasukkan formulir permohonan visa ke Australia, akhirnya tibalah surat pemberitahuan dari Consulate. Dengan penuh harapan, Dyong membuka amplof keren itu. Isinya hanya berupa selembar kertas bertuliskan pemberitahuan dalam bahasa Inggris yang tidak begitu dipahaminya. Maka melalui Pak Mudita, surat itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. “MAAF, PERMOHONAN VISA ANDA KE AUSTRALIA BELUM DAPAT KAMI KABULKAN PADA SAAT INI KARENA MENURUT PENILAIAN KAMI TERHADAP BERKAS DAN KELENGKAPAN SAUDARA BELUM BONAFID..”, demikian yang tertulis pada surat itu.

Andai gunung Agung meletus pada saat itu, mungkin jauh lebih baik bagi Dyong. Remaja pemimpi itu termangu-mangu dengan pemikiran melayang entah kemana. Magana’E ? Agana Gau’ku ? (Bagaimana aku kini ? Apalah lagi yang bisa kulakukan ?).

“Lebih baik kita berkemas untuk pulang, dik..”, kata Andi Alang.
“Tidak ! Saya tidak mau pulang !”, jawab Dyong dengan gusarnya.
………………………………………………………………

Pelajaran Awal

Melalui jasa baik Pak Mudita, keduanya dipekerjakan di Abian Srama Hotel/Restaurant yang terletak di kawasan Semawang, Sanur. Mereka juga tinggal menginap di tempat itu sambil ikut bekerja mencuci piring dan peralatan dapur pada malam harinya. Dyong si bocah pemabuk yang bandel itu kini belajar bekerja keras. Mencuci piring yang penuh lemak babi, itulah profesi pertama dalam hidupnya.

Setelah bertahan selama 2 bulan, keduanya merasa tidak betah di Abiansrama. Mereka kembali memohon kepada Ida Bagus Putu Mudita kiranya dicarikan lagi tempat lain. Maka Bangsawan Bali yang baik hati itu menitipkan mereka lagi pada hotel lainnya, yakni : Swastika Bungalow. Andi Alang bekerja pada malam hari sebagai Waiter (Pelayan) dan si Dyong bekerja pada siang harinya sebagai Roomboy (Cleaning Service). 

Dyong si bocah malas yang belum pernah memegang gagang sapu di rumahnya, kini mendapatkan pengalaman profesi kedua, yakni : Tukang bersih-bersih kamar. Ia sempat menjadi bahan tertawaan teman-teman sekerjanya pada hari pertama kerja. Si Dyong mengepel lantai sambil berjalan maju, otomatis lantai yang dibersihkannya kotor kembali oleh bekas injakan sepatunya. Beginilah jadinya kalau tidak terbiasa bekerja di rumah, pikirnya.

Tiga bulan berlalu dalam masa adaptasi yang berat. Pak Mudita telah habis masa cutinya dan kini sudah kembali ke Melbourne. Kedua remaja yang belajar hidup itu mencoba bertahan hidup di Denpasar tanpa keluarga atau teman sekampung. Mereka hidup dari kiriman uang saudara mereka yang tinggal di Melbourne, sambil mendapatkan tambahan-tambahan sekedarnya sebagai pegawai magang di Swastika Bungalow. 

Hingga pada suatu hari, mereka kedatangan yang tak disangka yakni dua orang kerabatnya  dari Ujung Pandang (Makassar). Mereka ingin pula mencari pengalaman serta peluang kerja di Pulau Dewata itu. Namun, setelah mengunjungi setiap sudut pulau itu, peluang yang diharap itu tidak kunjung didapatkannya jua. Akhirnya pada suatu hari minggu, mereka memutuskan untuk mecoba peruntungannya di Pulau Jawa. Melihat  mereka berkemas untuk meninggalkan Bali, Andi Alang mengutarakan maksudnya untuk pulang ke Sulawesi. Ia mencoba membujuk Si Dyong untuk pulang bersama, lagi dan lagi.

“Dik, lebih kita pulang kampung saja dulu..”, katanya memelas.
“Sekali saya bilang TIDAK, tetap TIDAK !”, sahut Dyong.
“Maklumlah, dik.. saya harus pulang untuk ambil ijazah SMA dulu..”
“Tidak apa-apa, kanda pulang sajalah dulu..”
“Lalu kau bagaimana ?!”

“Saya tetap tinggal disini !”, kunci Si Dyong menutup diskusi itu sambil menutup telinganya dengan bantal. Bukan apa-apa, sebenarnya aku malu untuk kembali. Apa kata teman-temanku yang memesan dompet, topi dan jacket kulit dari Australia nanti ?. Tentulah mereka akan mencemoohkanku, “Aiish, madodongtoo palE’ unrumu..” (Aiish, payah kamu ..). Apa pula kata segenap keluarga yang 3 mobil bus mengantarku ke pelabuhan ?. Malu.. pokoknya malu. Apapun terjadi, aku akan bertahan di perantauanku, demikian kata hatinya. “IyE tongenna pawale’na akko to maborro ladde’ ..” (inilah akibatnya jika terlalu besar mulut..”.
Berhari-hari Andi Alang senantiasa membujuk adik sepupunya yang bandel itu, namun tidak juga bergeming. Sementara kerabatnya yang berkunjung beberapa waktu yang lalu, kini sudah pulang juga. Akhirnya dengan berat hati, ia mengemasi barang-barangnya lalu berangkat menuju ke Surabaya. Dyong mengantarnya hingga ke terminal Ubung. Andi Alang menangis sambil tetap membujuk seraya memeluk Adik Sepupunya. “TollEsuna sibawa, ndi’. Utajengpo siesso duang esso, taroni laosala tikE’ku iyE makkokoE..” (Marilah kita pulang bersama, dik. Nantilah kanda menunggumu dalam satu atau dua hari, biarlah ticketku hangus sekarang..). Sekali tidak, tetaplah tidak. Begitu jawaban si Dyong.

“Apalah nanti jawabku jika ayah bundamu bertanya tentangmu ?”
“Katakan saja jika saya sedang baik-baik saja disini..”
“Bagaimana jika terjadi apa-apa terhadapmu.. ?”
“Itu takdirku..”, sahut Si Dyong singkat.

Akhirnya, Andi Alang terpaksa berangkat jua dengan berat hati. Tinggallah si Dyong sendri bersama tekadnya merantau ke Australia yang tetap membara. Tekad yang pada akhirnya juga dijawab oleh perjalanan nasib yang berkata lain. Andi Alang yang pulang ke Sulawesi dengan tanpa ambisi dan beban janji terhadap siapapun  pada waktu itu,  kini berada di Melbourne, Australia. Ia telah menetap di benua Kanguru itu sejak berpuluh tahun lalu bersama anak isterinya tercinta. Sementara Dyong, pemuda pemimpi itu menjalani pelajaran hidupnya dalam waktu cukup lama di Bali. Kini ia masih berada dalam dunia puisinya. Mengembara dalam samudera kata sambil menelusuri mimpinya yang seakan tak  pernah berakhir.
 ...............................................................................

Pada suatu ketika, penulis bertanya kepadanya.
“Apakah kini anda merasa gagal karena tidak bisa tinggal di Australia ?”.
 “Tidak !, aku tidak merasa gagal karena itu.”
“Alasannya ..?”
“Keinginanku yang kandas ketika itu, tiada lain merupakan proses yang harus kujalani. Perjalanan panjang menuju pengenalan jati diri,  dimana pada akhirnya kudapat menyadari bahwa Allah senantiasa memilihkan jalan terbaik bagi setiap hamba-Nya. Bagaimanapun dan dimanapun aku saat ini, kuyakin jika inilah saat dan kondisi terbaik yang dianugerahkan-Nya kepadaku.. Sebuah karunia yang sangat kusyukuri..”.

Wallahualam Bissawab..


PAKKALILI SUMANGE

..tidak akan kukatakan terjemahan judul tulisan ini padamu, sampai kau telah membacanya dari awal hingga akhir.., hingga kaupun dapat merangkum makna yang kuuraikan. Aku tidak meminta kau mengerti, melainkan kuharapkan kau memahami.. Duhai anak-anakku.
.........................................................................................................................

Bertahun yang lalu, sewaktu kalian masih kecil. Masa-masa sulit menderaku. sembari kuberusaha membesarkanmu. Bukan segumpal nasi yang kusuapkan pada bibir mungilmu, namun sesungguhnya itu adalah keringatku yang dipadatkan oleh Mamamu tersayang. Dimasaknya butiran keringatku itu diatas nyala kompor minyak berjelaga, hingga dihidangkannya untukmu dengan senyum bersimbah air mata..

Hingga suatu ketika, beras telah hampir habis. Mamamu melaporkannya padaku, seraya berusaha tersenyum menenankan. Kubuka ember cat yang selama ini dijadikan tempat beras, duhai.. literan beras yang terbuat dari batok kelapa itu nampak utuh, seakan tersenyum maklum pada kami. Bergegas kunaiki sepeda motor bututku, kukendarai seraya menguatkan hati mendengar renggekannya yang memelas. NgEEEEEEnnnngggggg...

Berselang beberapa lama anganku melayang dan menguap diatas RC 100, tiba-tiba aku tersentak !. Hei, aku mau kemana ?!. Beras telah habis, kemana mesti mencari ?. Tentu saja kau tahu, anakku. Kemana lagi jika bukan ke Belawa ?. Setidaknya kita masih punya beberapa lembar sawah dan sebidang kebun. Walaupun yang sesungguhnya, aku malu kembali mengambil sebutir beras di Belawa, sekalipun itu adalah mutlak kepunyaanku. Warisan dari Almarhum kakek Puangmu. Karena sesungguhnya orang-orang Belawa di perantauan senantiasa mewasiatkan : Naiyya BElawa, madEcEngngi natamai waramparang, tennapudEcEng nawessuri waramparang.. (Sesungguhnya Negeri Belawa, akan jadi suatu kebaikan jika dimasuki harta, namun tidak menjadi hal baik jika hartanya dibawa keluar..). Namun tidak bisa tidak, hari ini aku berniat membawa harta dari Belawa keluar dari penyimpanannya.. Apa boleh buat, keluhku pasrah.

Sementara khayalku menimbang-nimbang, tiba-tiba.. Astagfirullohiladzim, serombongan anak remaja berkendara motor baru menyalibku dari belakang ! Hampir saja aku disambarnya. Dapat kurasakan jika darahku menggelegak naik ke kepala dan berhasrat mengejarnya. Nanti jika kudapat, akan ku........... apa saja !. Tapi apa gunanya ?, celetuk "ininnawakku". Iya juga ya ?, sahutku tanpa sadar. Tapi aku masih terlanjur panas seraya ngedumel sendiri, "maupe'ko essoE  natania motoro' baru uwola !" (kalian beruntung hari ini karena aku tidak mengendarai motor baru !), rungutku gemas. Tapi, "ajaib" !. Omelan sendiri itu membuat amarahku terobati.

Akhirnya akupun keranjingan bolak-balik ke Belawa untuk mengambil hasil bumi ke Parepare. Maklum gratis kepunyaan sendiri. Hingga suatu waktu, motor tuaku ngadat. Terpaksa kuharus meminjam sepeda motor Puangmu.  Ketika dalam perjalanan tidak jauh dari Pangkajene, lagi-lagi seorang pengendara motor ugal-ugalan menyalibku dari belakang. Ia melaju kencang kedepan namun seketika itu kuberpikir jika sepeda  motor baru Puang Aji yang kukendarai ini sanggup mengejarnya !. Tapi..SssEEt, tunggu dulu ! Kau harus menghargai kepunyaan orang, sekalipun itu adalah kakak kandungmu sendiri.., lagi-lagi Sang Ininnawa memperingatkan. Maka kuacungkan tinjuku, "maupe'kosi essoE namotoro' uwinreng uwola !" (Kau beruntung lagi hari ini karena aku mengendarai motor pinjaman..). Andai tidak, hingga ke ujung dunia pun akan kukejar, rungutku. Tapi sungguh ajaib, dongkolku hilang lagi dengan sendirinya.

Waktu demi waktu, berlalu tanpa terasa. Kalianpun tumbuh tanpa terasa pula. Kesulitan-kesulitan ekonomi yang senantiasa menghimpit kita selama ini agaknya kelelahan pula. Mereka berjatuhan satu demi satu dilindas roda waktu yang terus berputar. Maklum, kita adalah "Rakyat Terlatih", anakku. Kita memiliki daya tahan yang berhasil melewati tiga zaman. Walaupun sesungguhnya kita adalah seonggok batu merah, tapi merupakan puing-puing dari sebuah benteng kejayaan bangsa ini dimasa lalu. Alhamdulillah, sebagaimana kau lihat, kini akupun sudah mampu membeli motor baru sebagaimana orang kebanyakan.

Mengendarai sepeda motor baru milik sendiri pada suatu hari, lagi-lagi aku hampir disambar pengendara yang lain. Akupun hanya tersenyum maklum, seraya berkata : "Maupe'ko essoE, unennengimitu motoro' barukku.." (Kau beruntung hari ini, karena aku sangat menyayangi motor baruku..). Duh, anakku.. bukankah orang-orang tua kita bersama berpesan, bahwa : "Anu engkaEmi iyanennengi.." (..hanya sesuatu yang ADAlah yang disayangi..) ?. Maka orang-orang yang tidak menyayangi barang-barang miliknya, itulah pertanda orang yang tidak mensyukuri nikmat Allah.SWT.

Sesungguhnya nafsu amarah haruslah dapat dikendalikan, anakku. Kadang-kadang kita terlepas kontrol akibat bisikan nafsu syaitan yang senantiasa mengeram dalam diri. Sebagai contoh, ketika seseorang menyalib kita dengan tingkah yang dinilai kurang ajar, maka dalam diri kita yang lain seakan berbisik : Dia anggap apa aku ?!. Mungkin dia melihatku sebagai kura-kura yang penakut sehingga dapat diperlakukan seperti ini ?!!. ... Namun dengarlah pula bisik "ininnawa" dari sudut lain hatimu, "..jangan marah dulu. Mungkin saja orang itu terburu-buru disebabkan keperluan yang amat mendesak.. atau barangkali saja ibunya sakit ?".

Maka untuk menenangkan diri, tiada salahnya jika kita "menghibur diri" dengan melihat kenyataan yang terjadi pada saat itu, misalnya : "maupe'kosi essoE namotoro' uwinreng uwola !" (Kau beruntung lagi hari ini karena aku mengendarai motor pinjaman..). Kedengarannya sih marah, tapi marah gak beneran.  Karena menyatakan orang lain sebagai maupe' (beruntung) sesungguhnya adalah do'a yang menyimpan harapan baik, anakku. Kita pula bukannya penakut, melainkan tidak mau bertindak konyol dengan balap-balapan di jalan raya yang tentu saja dapat merugikan orang lain yang tidak tahu menahu persoalan kita.

Akhirnya, besar harapanku kiranya kalian dapat memahami judul tulisan ini, anakku. Sesuatu yang tidak perlu kau tahu dari kata ke kata, melainkan memahami berdasarkan uraian hikmah yang sesungguhnya tidak perlu kalian alami.

(buat anak-anakku : Sangaji Adiguna, Anugerah Pallawagau, Muh. Fahrul Jauhari, Misbahuddin, Suwandi, Ifa (Alifati), Zulfikar, Aulia, Ikram Maulana, Tonra Sumange, Jumadi Al Bugisi, Toyyib, Adi, Unhu Malstem Fmc, Misbah Wija Ogi Belawa, Putri Denia Osd dan segenap putera puteriku yang lain..)

Wallahualam bissawab..



SOSIAL apa SOK SIAL ?

..MappapolE akkatta madEcEng, Mappasita rennu, Mappasibali rio, Mappasitinaja saro masE, Mattaro sEngereng.. (..menyambut kehendak baik, mempertemukan harapan, membalas kegembiraan, menyesuaikan ketulusan, meninggalkan kenangan baik..).
.........................................................................................................................

..pada geliat hari-hariku, terutama jika menyangkut dengan perhubungan Silaturrahmi, kiranya tiada berlebihan adanya jika kuingin menggembirakan setiap orang yang kukenal. ..dan kukira semua orangpun demikian. Entah ia adalah keluarga, teman, kolega atau bahkan seorang atasan. Melihat binar-binar harapan dimatanya yang kemudian diungkapkannya dengan pujian, kiranya detik-detik yang amat singkat itulah disadari atau tidak disadari menjadi moment yang "menyenangkan". "..Alhamdulillah, legalah sudah. Terima kasih sebelumnya, Pak Andi..., nalaha dEcEng engkaki wedding tulungnga'..", demikian kira-kira ucapnya seraya menjabat erat tanganku.

Sesungguhnya disadari jika jenis pertolongan yang dijanjikan itu adalah sesuatu yang berat, bahkan kadang agaknya mustahil. Namun siapakah kiranya yang "tega" melihat kerut dikening seseorang yang memohon dengan penuh harapan ?. Apalagi jika ia berkata, " idi'mi tu urennueng, Pak.." (..tinggal anda harapan saya satu-satunya..), hingga Subhanallah.. Aku merasa tersanjung hingga hampir-hampir merasa diri sebagai " dewa penolong". "IyE', aja'na tapikkiriki, narEkko napuElo'i PuengngE, dE'sahatu namawatang nawedding wusahangengki'.." ( iya, tidak perlu dipikirkan lagi, Insya Allah agaknya ini bukanlah hal yang terlalu sulit buat kuusahakan bagi anda..), timpalku seketika itu.
 
Hingga pada beberapa kejadian, janji bantuan yang pada dasarnya adalah "Mission Imposible" itu akhirnya tinggal janji. Maka orang yang menunggu bantuan tersebut megap-megap bagai ikan yang terhampar di daratan, menunggu setetes air hujan dari langit pada geringnya kemarau panjang.

..meragukan diri dan diragukan orang lain pula, kiranya itulah jadinya kini. Mungkinkan aku ini munafik ?. Apakah aku sesungguhnya gila pujian ?.. Ataukah aku terlalu memandang diri "terlalu pintar" ?. Duhai, Naudzubillah, semoga Allah melindungi kami pada biang penyakit ahlaq itu, yakni : Munafik dan Sombong. Namun sesungguhnya, aku tidak mampu berkata "TIDAK" pada setiap permintaan bantuan. Akupun tidak tega pula melihat orang lain berputus harapan. Setidaknya kuingin menyambung asanya agar harapannya tidak sirna pada saat itu. Namun kutahu pula, Allah SWT pasti MARAH padaku karena selalu menjual nama-Nya pada setiapkali bertemu dengan orang yang mengharap tersebut. "..iyE, Bajapi.. Insya Allah !" ( iya, Besok.. Insya Allah !).

Bukannya menanam janji tanpa berusaha, melainkan mencurahkan segala kemampuan yang ada untuk mewujudkannya. Hingga kadangkala, prioritas terhadap keperluan anak isteri dan diri sendiri terabaikan pula. Namun, sesungguhnya setiap manusia manusia memiliki batas kemampuan. Maka kekeliruan utamanya adalah : Gagal mengetahui batas kemampuan diri sendiri.. 

Sungguh sulit mewujudkan wasiat Sang Leluhur, "Aja' lalo muwaliengngi pale' marennunna padammu rupa tau, narEkko mawatangngi ri sEsEmu, Puang Allah Ta'ala matti' ringengiko, ikkeng Ane Eppoku.." (Jangan sekali-kali menelungkupkan tadahan tangan sesamamu yang memohon pertolongan, sekiranya sulit bagimu, nantilah Allah Ta'ala yang meringankan beban itu bagimu..). Hingga Al Quranul Kariim sendiri memberitakan kesulitan Sang Pembawa Risalah sendiri dalam menanggung beban penderitaan demi kasih yang tak terukur pada umatnya.. "..wa man yattaqillaaha yaj'Allahul mahroja, wa yarzukuhuw min khoisu laa yahtazib, wa man yatawaqqalil 'alaLlaahu fa Huwa hasybuhuww, innaLlaaha baaliguwl amrihiyy, qod'ja'alallaahu likulliy syai'in qodr..". (buat anak-anakku, agar menjadi ibrah dalam mengharapkan keridlaan Allah SWT)

Wallahualam bissawwab






Abdi Jiwa

Hari ini Sabtu, 02 Oktober 2010. Panas terik membakar kotaku di ba'da dluhur, saat anak-anak sekolah berhamburan keluar dari gerbang sekolahnya. Kukendarai sepeda motorku pelan melintas di depan SD Negeri 5 yang hiruk pikuk pada waktu ini. Mata lelahku tertuju pada sosok dekil yang sibuk mengatur lalu lintas yang padat ini. Tubuh ringkih dan kerempeng yang kempas kempis meniup pluit sempritan. Kadang berdiri ditengah jalan, menyetop kendaraan yang tidak sabaran. Pada saat lain, ia hilir mudik menggandeng tangan anak-anak sekolah di kiri kanan tangannya dan menggendong lainnya di punggung tuanya ke seberang jalan. Begitulah yang  dilakukannya hingga jalanan sempit di depan sekolahan besar  ini sepi kembali. Kuhentikan motorku dipinggir jalan dan memperhatikan orang tua itu sejak tadi....

Ia duduk bernaung dibawah pohon akasia. Nampak sekali jika tubuh tuanya sedang kelelahan. Kuperhatikan sejak tadi jika tidak seorang pun mengansurkan uang kepadanya. Namun wajah tua itu senantiasa cerah dibalik peluh keringatnya yang bercucuran. Pelan tangannya merapikan kancing baju KEki lusuh yang dikenakannya. Nampak sekali jika ia bangga memakai baju itu. Entah oknum PNS dari mana yang memberikan baju itu kepadanya... sementara celana pendeknya nampak dekil berdebu. Namun sekali lagi, nampak jelas jika ia bahagia dan puas memakai baju pemberian itu.

Kerongkonganku tiba-tiba terasa getir. Tanpa sadar kupanggil nuraniku... Ooh, Ininnawa. Kenapa dunia terasa sempit bagi orang-orang ikhlas ?. Tapi, tunggu dulu. Sebuah sanggahan tiba-tiba menyergah dari dalam hatiku sendiri.. Apakah benar beliau ini merasakan dunia ini sempit ?. Belum tentu, jawab nuraniku lagi. AwwEE, Ininnawaku.. Tabirittaiakka' palE' kasi'na (duhai, nuraniku... jelaskanlah padaku). Naiyya nyamengngE dE' naitai Pakkita, tennaEngkalingai parEngkalinga, tennaimmau parimmau, tenna karawa pakkarawa. Nasaba' rilalennai pappEneddingngE... TennanrE kira-kira, tenna rapii pappEsangka (sesungguhnya kebahagiaan tidak dapat dilihat oleh penglihatan, tak terdengar oleh pendengaran, tak tercium oleh penciuman, tak tersentuh oleh tangan. Karena ia berada didalam perasaan... takkan dapat diperkirakan dan tidak pula dapat diraih oleh prasangka). Tapi bagaimana mungkin orang dapat berbahagia jika ia tidak memiliki harta benda ?, protes kata hatiku yang lain dengan sengit. Naiyya to temmapunnaE, dE' too na ateddEngeng. Risalipuri ri asabbarakenna, na ripakario-rio ri sukkuru'na. Malappaa temmakkEwiringni lino ri pakkitanna...  Banna Puang Allahu Ta'ala bawang apunnanna (sesungguhnya orang yang tidak memiliki apa-apa, takkan pernah merasa kehilangan apa-apa pula. Senantiasa merasa aman/tentram dalam kesabarannya. Senantiasa digembirakan oleh rasa syukurnya. Dunia terasa lapang bagai tak bertepi dalam pandangannya.. karena ia merasa memiliki Allah Ta'ala). Astagfirullahil Adzim... hatiku luluh dan damai kembali. Nasib takkan kusalahkan lagi... Kuseka air mataku dibalik kaca helmetku yang hitam pekat. Orang tua itu menaiki becaknya yang juga butut. Anak-anak sekolah bercecowetan penuh canda ria diatas becak sambil sesekali ditingkahi tawa riang si Orang Tua yang mengayuh hati-hati.

Aku tahu.. Tidak ada yang menggaji orang tua ini, kecuali sekedar ongkos becak beberapa anak yang jadi langganan tetapnya. Namun ia mengatur lalu lintas dan menyeberangkan anak-anak lain yang bukan langganannya karena dunia ini terasa lapang dan penuh warna dalam pandangannya. Ia melakukannya dengan senang hati untuk jiwanya. Ia melaksanakannya juga karena bangga mengenakan baju seragam lusuh yang entah siapa yang memberikan padanya.. Sementara 3 jam sebelum kutiba di tempat itu, pada sebuah warung kopi disamping Toko Buku yang kusinggahi, kudapati beberapa oknum PNS berpakaian kemeja batik sedang asyik ngobrol ria. Entah apa yang diobrolkannya, lapat-lapat kudengar beberapa kata-kata cabul yang meledakkan tawa temannya yang lain... Oh duniaku. Aku menangisimu, hingga kuketik tulisan ini dengan bersimbah air mata.... Oddang benar-benar cengeng, kata nuraniku. Oo, ininnawa.

  Wallahualam Bissawwab..




MENGUJI WASIAT


Alkisah menurut tutur legenda, adalah seorang Panrita AnrE Guru (Sang Guru Pandita)  dikenal sebagai seorang yang  Sule'sana na Mujarrabe' (Arif nan Mumpuni). Pada suatu ketika, baginda mengadakan muhibah ke perbatasan negeri Bone dengan negeri Wajo, yakni : Pompanua. 


Mengetahui jika Sang Panrita tersebut berada di Pompanua, maka segenap raja-raja besar tetangganya berkunjung seraya meminta petuah dan wasiat berharga bagi negerinya masing-masing. Mereka adalah Petta Mangkau'E BonE, Arung Matowa Wajo, Datu SoppEng dan Addituang SidEnrEng. Namun Sang Pandita berujar, "NarEkko paddissengeng mabbarakka' pada nakkattai DatuE, madEcEngngi narEkko bajapi maElE naengkang naripasilolongeng wErEwE.." (sekiranya ilmu berkah yang dikehendaki para junjungan, maka sebaiknya besok pagi kiranya dapat dipertemukan bersama sesuai takdir masing-masing..). Maka keempat Raja Besar Tanah Bugis itu kembali ke markasnya masing-masing.


Esok harinya, menjelang fajar tibalah kembali Arung Matowa Wajo di kediaman Sang Panrita. "Agaro pangElorenna Arung MatowaE lao ri tanana ?" (Apa gerangan keinginan Arung Matowa bagi negerinya ?), tanya Sang Panrita. "Naiyya minasakku, maEloka' asogireng napunnai To Wajo'E" (adapun kehendakku, kiranya orang-orang Wajo itu memiliki kekayaan harta benda..), jawab Arung Matowa. Maka  Sang Panrita pun mengajarkan hikmad "asogireng" (kekayaan duniawi) pada Sang Arung Matowa. "iyanaro nassabari namaEga tosogi polE ri Wajo. NarEkko engka Ogi sogi ri saliwengpanua, inamoo naseng alEna Tau polE ri BonE, Soppeng iyarE'ga SidEnrEng, naEkiya manessa engka abbatirengna polE ri Wajo.." (itulah sebabnya sehingga banyak  hartawan dari kalangan orang Wajo, Jika anda mendapati seorang kaya di daerah perantauan walaupun sekiranya ia menyatakan diri dari BonE, SoppEng ataukan SidEnrEng, namun mestilah ia memiliki darah Wajo dalam dirinya..).


Setelah Arung Matowa meninggalkan Pompanua, tibalah Petta Mangkau'E ri BonE di tempat itu. Baginda meminta pula hikmad kekayaan duniawi. "Nalani Wajo.. Ellauki' laingngE" (sudah diambil Wajo.. mintalah yang lain), jawab Sang Panrita. Maka ArumponE meminta hikmad "Awaraningeng" (keberanian), ilmu para ksatria. "Iyatoonaro saba' nawarani TobonEdE.. narEkko engka Towarani mulolongeng, manessanitu engka abbatirengna polE bonE.." (itulah sebabnya sehingga sehingga ksatria banyak didapati dari kalangan orang Bone. Sekiranya anda mendapati orang berani, mestilah ia memiliki darah Bone..".


Maka tiba pulalah Datu SoppEng di Pompanua. Baginda meminta hikmad kekayaan. "nalani Wajo.." (sudah diambil orang Wajo), jawab Sang Panrita. Maka baginda meminta hikmad keberanian. "nalatoni BonE.." (sudah diambil pula orang BonE), timpal Sang Mahaguru pula. Akhirnya Datu Soppeng meminta "AsagEnang AnrE" (kecukupan makanan). "narEkko engka naengka sEuwwa wettu tasidapi lEppang ri bolana sEajing TosoppEngta, narEkko natoanaki' waE pella, nannasuangtoni'tu nanrE siagang pakkanrEang pawessori.. nasaba' masagEna mEmengngi anrEna TosoppEngngE.." (sekiranya pada suatu ketika anda bertamu pada salahsatu rumah keluarga di SoppEng, jika tuan rumah menghidangkan secangkir teh hangat, maka pastilah ia sedang menanak nasi pula beserta lauknya yang mengeyangkan perut bagi anda. Karena memang orang SoppEng itu diberkahi kecukupan pangan adanya..)


Akhirnya tibalah Addituang SidEnrEng di Pompanua. Ketiga Raja sejawatnya telah lama meningalkan tempat itu. Sang Addituang meminta hikmat Kekayaan namun telah diambil oleh Wajo. Lalu ia meminta pula rahasia Keberanian, tapi Bone telah mengambilnya terlebih dahulu. Maka baginda meminta ilmu Kecukupan pangan, namun Soppeng telah mengambinya pula. Tinggal satu ilmu kikmat yang tersisa, yakni : PanrE Ada (ahli diplomasi). Maka apa boleh buat, kiranya hanya itulah yang dapat dipelajari Addituang SidEnrEng. "..Ejaji naiyya TosidEnrEngngE malise'i na mateppu wErEkkadana.." (maka sesunguhnya orang-orang SidEnrEng mengatur kalimat yang berisi dan jelas adanya..)


........................................................................................................


Terlepas dari benar atau tidaknya kisah tersebut jika ditinjau dari sudut pandang sejarah, beberapa hal menarik untuk disimak untuk mengenal karakteristik kemasyarakatan masing-masing 4 wilayah besar yang mewakili tanah Bugis pada umumnya. Walaupun tentu saja kisah tersebut dapat disanggah oleh petuah lama lainnya, yakni antara lain : Aja' lalo naEnrE' bola limaE passaleng : NapalEcEwE To Wajo, nagelliE To BonE, narumpa'E To SidEnrEng, nagerra'E To EnrEkeng, nadoti To Menre'.. (semoga kiranya tidak akan pernah terjadi menimpa kita pada lima hal : dibujuk oleh orang Wajo, dimarahi orang Bone, diserbu oleh orang SidEnrEng, dibentak orang EnrEkang, diteluh orang Mandar...).

Selintas kedua petuah lama mengenai karakter masyarakat tersebut agak berbeda, namun jika dicermati lebih dalam maka didapati kesesuaian, terlebih pula jika menjenguk kurun waktu serta latar belakang lahirnya petuah tersebut. Orang-orang Wajo digambarkan oleh kisah petuah sebagai hartawan, maka keahliannya untuk "membujuk" merupakan karakter khas yang mutlak sebagai "basic skill" bagi seorang penjual maupun saudagar. "Naiyya To Wajo'E nalebbireng nakurangiE balanca naiyya nakurangiE bicara.." (Sesungguhnya orang-orang Wajo itu lebih memilih kehabisan uang daripada kehabisan bicara..), demikian ungkapan yang kerap didengar perihal orang-orang Wajo.

 Adapun halnya "keberanian" yang dikhaskan bagi orang BonE, dibenarkan atau setidaknya memiliki relevansi pada petuah kedua bahwa watak seorang pemberani tidak mudah marah namun biasanya sulit dipadamkan sekiranya sudah marah. Begitu pula dengan orang SidEnrEng yang digambarkan sebagai "PanrE Ada" (Ahli Diplomasi) yang diperwatakkan sebagai "Parumpa'" (penyerbu) pada petuah kedua. Pada beberapa kejadian yang juga ditulis pada beberapa Lontara, bahwa Kerajaan SidEnrEng memiliki negarawan yang ahli diplomasi, yakni : NEnE Mallomo. Selain itu, salahsatu anak negeri SidEnrEng yang terkenal pula sebagai negeri para PanrE Ada, yakni : Lise'.

Banyak kisah-kisah lucu tentang kepiawaian orang Lise' dalam hal "memainkan bahasa" yang banyak dituturkan hingga kini, mengingatkan kita pada kisah-kisah Mullah Nasruddin Hoja dan Abu Nuwaz. Kemudian pada suatu ketika SidEnrEng disebut pula sebagai "Parumpa'" (penyerbu) berdasarkan gambaran lontara bahwa pada beberapa peristiwa Kerajaan SidEnrEng kerap menyerbu Kerajaan-Kerajaan kecil yang bertetangga dengannya akibat pertaruhan yang dimenangkannya berkat permainan silat lidah. Ketika kerajaan kecil yang kalah bersilat lidah tersebut mengalami kekalahan dalam pertaruhan, maka ia "enggan" untuk menyerah. Maka tidak bisa tidak, Kerajaan SidEnrEng terpaksa menyerbunya dengan menggunakan kekuatan militer untuk merebut kemenangannya.

Hingga akhirnya, bagaimana pula halnya dengan penggambaran karakter orang-orang Soppeng menurut cerita tersebut diatas ?. Bahwa orang-orang Soppeng dikaruniai "asagEnang" (kecukupan, kelapangan) dalam hal pangan. Maka pada tanggal 7 September 2011 yang lalu, penulis bersama Sekretaris Dinas Olahraga, Pemuda dan Pariwisata Kota Parepare mengadakan perjalanan dinas ke Tanjung Bira. Ketika perjalanan tiba di Takkallalla (Soppeng), Pak Sekretaris mengajak singgah pada salahsatu rumah keluarga beliau. Maka Tuan Rumah menyambut seraya menghidangkan teh hangat beserta kue-kue kering. Setelah bercakap-cakap selama beberapa saat, tibalah saatnya kami mohon pamit untuk meneruskan perjalanan. Namun tuan rumah dengan amat santun dan serius menahan kami untuk bersantap siang. "TabE kasi'na.. EbarE' wedding pada mattajengki cinampe'. Nasaba' mannasui anurEta ilaleng.. Purapi' pada manrE esso tapatterru'i lawangetta" (mohon maaf.. kiranya anda sekalian dapat menunggu sebentar. Karena kemenakan anda sedang memasak makanan di dapur.. Nantilah setelah bersantap siang barulah melanjutkan perjalanan).

Maka wasiat telah teruji adanya.. Wallahualam bissawwab.




ORANG TERHORMAT

"Malempuu gau'na, malebbi lingkajo ampE'ampEna, malamung siri'na na magetteng pessEna.." (Perbuatannya senantiasa berlandaskan kejujuran, Kelakuannya senantiasa mulia sejati, memiliki harkat diri yang teramat dalam dan nurani kemanusiaannya yang sangat peka..)..
................................................................................................

Gambaran ideal tentang sebuah keperibadian.. Namun apakah itu adalah "Orang Terhormat" ?. Lebih dari itu, ia adalah seorang mulia sejati yang digambarkan dalam khazanah Bugis sebagai : Malebbi Lingkajo.

Menggambarkan pribadi mulia agaknya terlalu muluk-muluk. Namun kerapkali pada pengalaman hidup kita, didapati seorang yang teramat dihormati.. Sekiranya aku ditanya, yang bagaimanakah dimaksud orang terhormat itu ?

Menurutku, ia adalah seorang yang tidak segan-segan menundukkan kepalanya terhadap siapapun dihadapannya. Kepalanya penuh dengan kearifan sehingga senantiasa "mudah" menunduk takzim terhadap siapapun. IA MEMILIKI BANYAK KEHORMATAN sehingga IAPUN TIDAK TAKUT BANGKRUT dengan menebarkan RASA HORMATnya terhadap orang-orang sekelilingnya dengan ikhlas.

Kepalanya sarat hikmah ILMU PENGETAHUAN, maka ia senantiasa mudah menunduk dihadapan orang tanpa mencederai harga dirinya sendiri. "dE'to na tappa bueng uluE, narEkko ipacuku'i nasaba' mappakalebbii lao ripadatta rupa tau.." (kepala ini takkan langsung lepas dan jatuh, sekiranya ditundukkan atas nama penghormatan terhadap sesama manusia), kira-kira demikian dalam pikirannya. Maka buah daripada Ilmu yang bermamfaat adalah : Tawadlu.

Jiwanya luas seakan tak bertepi, maka ia adalah ibarat pemilik hikmah JIWA BESAR. Sekarung batu yang dilemparkan pada permukaan jiwanya tidaklah dapat menyebabkan gelombang yang menggoyahkan penjuru hatinya. Maka ia pula adalah PEMBERANI yang memiliki ciri-ciri sebagaimana digambarkan petuah Lontara, bahwa : "tanra-tanranna TowaraniE, iyanaritu : dE' natassEleng duppai karEba.." (adalah pertanda bagi pemberani, adalah : Tidak panik menghadapi segala hal ihwal kehidupan..". Jiwa besar yang membiaskan keberanian itu, tiada lain didapatkannya berkat anugerah Allah SWT terhadap hamba-Nya yang senantiasa berserah diri hanya kepada-Nya semata.

Wallahualam Bissawwab..





ADA SANGRO

Aku bukan seorang yang suka dan mudah percaya terhadap hal-hal yang berbau klenik. Namun pada suatu hari aku terpaksa berhadapan jua dengan perapal mantera-mantera itu.  Ketika itu aku berkunjung ke rumah salah seorang sepupu yang berdomisili diluar daerah. Rupanya aku salah memilih waktu, karena saat itu rumahnya dikunjungi pula oleh seorang dukun yang diundangnya untuk mencari benda guna-guna yang konon sengaja ditanam oleh seseorang disekitar rumahnya itu.
........................................................................................................................

Setelah urusan “tanam menanam” itu selesai, sepupuku meminta tolong  pada dukun itu agar memeriksaku pula. “Waah, saya tidak sakit apa-apa koq ?!”, protesku. Sepupu tuaku itu hanya tersenyum seraya berkata, “Iya, saya tahu, dik. Tapi tidak ada salahnya jika kau diperiksakan. Masalahnya, hingga saat ini kau sulit mendapatkan pekerjaan..”. “Lho, apa hubungannya dengan dukun ?!”, tanyaku dalam hati. Namun aku menghargai niat baik kakak sepupuku itu maka aku menurut saja.

Sang dukun sakti itu memeriksa hampir seluruh sudut-sudut tubuhku dengan seksama. Mulai dari telapak tangan, ubun-ubun kepala, dan lainnya pula. Bagaikan seorang pedagang sapi yang sedang memeriksa dan menaksir seekor sapi. Sementara itu, asap kemenyan mengepulkan asapnya memenuhi ruangan sempit itu sehingga membuat mataku agak perih.

“Rupanya kau telah inkar janji pada leluhurmu .. itulah sebabnya maka kau sulit mendapatkan pekerjaan !”, kata dukun itu seraya memandangku dengan tajam.  “Haa ?!.. janji apa’an ?”, tanyaku heran. Soalnya aku tidak pernah merasa berjanji apa-apa pada salahseorang leluhurku. Apalagi keempat kakek nenekku semuanya telah wafat. Bagaimana mungkin aku bisa menjanjikan sesuatu pada orang yang telah wafat ?. “Pokoknya kau pernah berjanji didepan makam leluhurmu !”, kata dukun itu ngotot. “Ah, tidak pernah itu !”, sahutku lebih ngotot pula. “Pokoknya pernah. Cuma kau pasti lupa !”, sergahnya sewot. “Pokoknya tidak pernah ! Saya belum pikun, koq ?!”, balasku pula. Maka dukun dan pasiennya berdebat sengit pada hari itu.

Pengalaman kecil itu mengingatkanku pada sebuah cerita tentang Pak Hamid yang kehilangan kerbaunya. Menurut tanda-tanda jejak yang ditinggalkannya, kerbau itu dibawa oleh maling pada dini hari. Selama beberapa bulan setelah kejadian naas itu, Pak Hamid berusaha mencari kesana kemari, namun petunjuk keberadaan kerbaunya tidak didapatkannya jua. Hingga pada suatu hari, Ia meminta pertolongan seorang dukun untuk menerawan lokasi dimana kerbaunya berada. Konon khabarnya, dukun itu adalah seorang sakti yang mampu melihat segala sesuatu yang terlindung, jauh maupun dekat.

Dengan mata agak disipitkan sedemikian rupa, sang dukun komat kamit merapal mantera. Ia mengacung-acungkan sebilah keris pada permukaan air dalam wadah mangkuk perunggu dihadapannya. Pak Hamid memperhatikan tingkah sang Dukun dengan perasaan agak serem seraya duduk dengan takzimnya. “Oh.. akhirnya kelihatan juga !”, seru dukun itu dengan mata membelalak lebar-lebar, memperhatikan permukaan air dalam mangkuk. “Mana ? Saya juga mau melihatnya..”, seru Pak Hamid dengan penasaran namun penuh harap.

“Ha ha.. kamu tidak dapat melihatnya. Hanya aku yang bisa menerawangnya..”, kata sang dukun.

“Baiklah.. lalu dimana kini kerbauku ?”

“Ternyata.. kerbaumu itu dibawa pencurinya menuju ke Kabupaten disebelah timur !”

“Wah, benar itu.. ! Jejak kakinya memang menuju ke timur !”, kata Pak Hamid mulai yakin.

“Naah, kerbaumu  itu kini sedang berkubang dipinggir parit sawah, tidak jauh dari sebatang pohon mangga cina yang besar..”

“Oo..”, Pak Hamid mengangguk-angguk bengong semakin yakin.

“Waah.. ternyata kerbaumu itu sudah hampir jadi dua !”, seru Sang Dukun semakin bersemangat.

“Maksudnya ??”, tanya Pak Hamid heran.

“Maksudku, kerbaumu sekarang sedang bunting ! Sebentar lagi melahirkan ..”

“Lho, mana mungkin itu ?! Kerbauku khan berjenis kelamin jantan ??!”

“Awwaah !!.. kenapa koq baru bilang kalau kerbaumu itu jantan ?!!”
……………………………………………………………

Pembaca yang mulia.. aku tidak mengerti, buat apa kutulis cerita konyol ini ?. Maka selanjutnya andalah yang mengurai hikmahnya.


Wallahualam Bissawwab....




PEDULI..

“Peduli..”, demikian sebuah kata yang diketik oleh saudara Bakhtiar D. Mallolongeng, kerabatku yang saya muliakan. Sebuah ungkapan tentang “kelakuan” yang sulit diterjemahkan secara pas dalam kosa kata Bahasa Bugis..
………………………………………………………………………………………………

Istilah “Peduli” jelaslah bukan diperuntukkan bagi seseorang yang egois. Melainkan ia adalah sosok pribadi yang memiliki perhatian khusus terhadap sesuatu yang berada diluar dirinya. Suatu pribadi yang memiliki kepedulian itu adalah cerminan mahluk sosial sebagaimana wujud tabiat manusia yang sesungguhnya. Kira-kira seperti itulah pengertian dangkal terhadap istilah “peduli” menurutku..

Kepedulian terhadap sesuatu hal adalah mutlak terekspresikan dari dalam. Kepedulian adalah aksi nurani yang kerapkali keluar begitu saja tanpa melalui proses diskusi. Ia adalah sesuatu yang diputuskan begitu saja tanpa melalui proses demokrasi. Maka menurutku, rasa peduli adalah suatu panggilan jiwa yang melibatkan campur tangan keputusan Tuhan yang tak terbantahkan.

Saya mengenal seorang tua yang memiliki kepedulian terhadap anak-anak terlantar. Walau hidup dengan bermodalkan sebuah becak tua, namun beliau memelihara beberapa anak yatim piatu yang dirawat dan diurusnya dengan sepenuh hati di rumahnya yang sederhana. Ia seorang yang buta huruf, namun pengertiannya terhadap arti pentingnya pendidikan agaknya setaraf dengan seorang sarjana S1. Maka anak-anak asuhannya itu disekolahkannya pula dengan sungguh-sungguh. Adalah hal yang mengharukan jika melihatnya setiap pagi, tubuh reotnya itu mengayuh becak yang memuat anak-anak berseragam SD dan SMP, para anak-anak asuhnya. “Yaah, agar bisa hemat uang transportasi, nak..”, katanya riang sambil mengusap keringat diwajahnya dengan sehelai handuk tua pula.

Kadang-kadang saya suka bertandan ke rumahnya pada sore hari. Beliau adalah orang yang enak diajak ngobrol. Saya tahu jika beliau adalah orang yang sering hidup berkekurangan dengan bebannya yang cukup berat, namun tidak sekalipun terdengar kalimat keluhan darinya. “..kira-kira pata taung umuru’ku natama NippongngE ri Belawa, nak..” (..kira-kira saya berumur 4 tahun ketika tentara Jepang masuk di Belawa, nak..), demikian kisahnya. 

“Marejjing tongengga atuongengngE wettuEro, yE’ ? (Apakah betul jika kehidupan sangat sulit pada masa itu, yE’ ?), tanyaku. 

‘AwwE, dE’nagaga rejjing pada-padanna, Nak.. Puwang Allah Ta’ala mani missengngi ..” (AwwE, tidak ada lagi penderitaan yang menyamainya, nak. Kiranya hanya Allah Ta’ala yang tahu..). Baru kali ini saya melihat wajah tua yang biasanya cerah itu mengerut muram. Kenangan pahit dimasa lalu agaknya menggores kalbunya begitu dalam.

Masa pendudukan bala tentara Jepang adalah masa paling suram dalam hidupnya, atau mungkin bagi semua orang pada masa itu. Bahan makanan terlalu sulit didapatkan sehingga banyak orang terpaksa memakan gedebong pisang. Ibunya meninggal dunia dalam masa yang memprihatinkan itu. Sementara itu, semua lelaki dewasa ditangkapi pula untuk menjadi pekerja Romusha. Maka Ayahnya terpaksa membawanya mengunsi ke tempat-tempat terpencil dimana tidak diketemukan tentara Jepang. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana nasib anaknya yang masih balita itu jika iapun harus menjalani kerja paksa itu.

Menempuh perjalanan jauh dalam keadaan ketakutan serta tanpa bekal apa-apa, adalah suatu penderitaan yang tak terkira. Ayahnya hanya membawa sebuah tempat air yang terbuat dari bambu sambil menggendongnya dengan susah payah. Sementara pakaiannya, hanya yang melekat di tubuh mereka saja.

“Ambo’.. malupuuka’..” (Ayah, aku lapar..), rengeknya dipunggung ayahnya.

“Inungko, nak..” (Minumlah, nak..), sahut ayahnya. Maka iapun meneguk air di bumbung bambu itu. Setelah beberapa lama, perutnya yang sudah membuncit itu terasa semakin melilit, perih karena lapar. Air yang sejak tadi diteguknya tidak mampu memenuhi tuntutan rasa laparnya.

“Ambo’.. malupuuka’..” (Ayah, aku lapar..), rengeknya semakin memelas.

“Inungko si, nak..” (Minumlah lagi, nak..), kata sang ayah dengan nafas ngos-ngosan oleh rasa lelah, lapar dan pilu.

“Malupuu tongenna’, mboo’..” (Aku benar-benar lapar, ayah..), rintihnya mendekati tangis.

Ayahnya berhenti lalu menurunkan anaknya yang malang itu dari punggungnya. Lelaki yang sengsara itu memeluk puteranya seraya menahan sedu sedan yang mencekik kerongkongannya. Ia membelai rambut anaknya sambil berkata, “Atinrono palE’, nak..” (Cobalah tidur, anakku..). Mungkin dengan tertidur sejenak, rasa lapar akan terlupakan sesaat.. Walau cuma sebentar saja. Berharap ketemu ibu dalam mimpi.., ujarnya memenggal kisah merana itu.

Akhirnya sayapun mengerti, bahwa pengalaman pahitnya dimasa kecil yang mengukir mozaik kepeduliannya terhadap anak-anak terlantar. “Tauperrii’Engmi maissengi perriina padanna tau perrii’..” (Orang yang susahlah yang dapat mengerti kesusahan sesamanya .........). Penderitaan bukanlah sekedar uraian kata. Bukan pula sekedar retorika, melainkan dirasakan serta dimaknai oleh nurani. 

Tanra-tanranna rupatauwwE nariyaseng tau, nasaba' mappErasa pessE ri lilana, mappEsammeng ri tigerro'na, mappEnedding pessE ri perruna.. (Pertanda bagi seseorang sehingga dapat disebut sebagai manusia, adalah : Merasakan pedis pada lidahnya, lalu merasakan jika itu dapat melewati kerongkongannya, kemudian terasa perih pula dalam ususnya..). Setiap orang dikatakan lumrah jika mengetahui bahwa PessE (Jahe) memiliki rasa (taste) pedis. Sekiranya saat ini saya memakan jahe, kemudian anda yang sedang membaca tulisan ini sedang memakan jahe pula, pastilah kita sependapat bahwa : Rasa jahe itu pedis. 

Persepsi yang sama tentang rasa jahe yang pedis itulah dikatakan sebagai : solidaritas pessE atau solidaritas sosial dalam bahasa sosiology. Perasaan yang sama terhadap sesuatu itu akan menimbulkan pula kepekaan yang sama sebagai ekspresi kemanusiaan dalam wujud : CARE atau kepedulian terhadap sesama mahluk ciptaan Allah SWT.

Mengarungi samudera hidup yang tak terkira ini, kadang-kadang "Siri" (Harkat diri) tidak dapat ditegakkan sebagaimana yang diinginkan, namun "PessE" yang dimakani sebagai Solidaritas Kemanusiaan, mutlak harus ditegakkan. "Punna tekkullEa nipaEntEng Sirika, paEntEngngi PaccEnu.." (Sekiranya Siri tidaklah mampu ditegakkan, maka tegakkanlah kemanusiaanmu..), demikian wasiat Baginda Sultan Alauddin. Janganlah karena rasa malu terhadap sesuatu menyebabkan hilangnya rasa kemanusiaan. Maka menempatkan rasa malu terhadap Tuhan dalam wujud Iman dan Taqwa adalah prioritas pertama dalam lembaga kepribadian seorang Bugis Makassar dan seluruh umat manusia pada umumnya.


Wallahualam Bissawwab..




Harga sebuah Ininnawa (Nurani)

Ini bukanlah kisah tentang kejujuran seseorang. Melainkan cerita tentang  sebuah "Nurani" yang berhasil memenangkan nafsu tamak yang selama ini kerap memenangkan pertarungannya.
..........................................................................

Parepare tahun 1994, Dyong telah berada kembali di kampung halamannya. Ia telah menikah dan memiliki seorang putera berumur hampir setahun. Seorang ayah muda yang berstatus pengangguran. Maka ia tinggal di rumah orang tuanya di pinggir kota kecil itu. Sementara kedua orang tuanya kembali menetap di Belawa, tanah kelahirannya. 

Memiliki keluarga kecil tanpa pekerjaan tetap adalah sebuah pengalaman tersendiri yang kini dialaminya. Si kecil kini harus meminum susu tambahan dan memakan bubur susu yang harus didapatkan pakai uang. Belum pula dengan sebungkus rokok yang ditelannya bulat-bulat setiap hari. Jangan lagi dengan sang isteri yang kadang merasa risih untuk hadir pada acara-acara pesta perkawinan para kerabat, karena terpaksa mengenakan baju kebaya pengantinnya sejak 2 tahun lalu. Lalu bagaimana pula halnya dengan belanja dapur ?. Si Dyong sih gak pusing-pusing amat. Walau sulit begitu, ia adalah anak petani dari Belawa. Mereka tidak pernah kekurangan beras dan ikan kering. Begitu pula dengan minyak goreng, segalanya didatangkan dari kampung kelahirannya itu. Pokoknya segalanya ditanggung gratis. Asal selera makan dapat dipertahankan. Jangan menuruti kata lidah, turuti saja kemauan perutmu. Begitulah prinsif hariannya.

Namun demikian, beban moril sebagai penganggur total tetap menderanya tiap hari. Pagi-pagi iapun tetap pamit kepada isterinya untuk mencari pekerjaan yang cocok. Sertifikat Akademi Pariwisata yang didapatnya di Bali, agaknya tidak begitu laris seperti perkiraannya semula. Map-map kuning yang disetornya pada banyak tempat mulai lusuh, namun belum pula mendapatkan hasil yang diharapkannya. Maka  iapun lebih sering molor siang-siang di rumah teman-temannya. Si Dyong selalu gelisah jika waktu ashar menjelang, saat ketika ia harus pulang ke rumah. Ia tidak tega membayangkan pandangan mata isterinya yang berbinar penuh harapan. “Pa.. Bagaimana hasilnya ? Adakah ?”, tanyanya selalu sambil melepas jaket suaminya. 

Hingga pada suatu waktu, nasib mempertemukannya dengan seorang Juragan Hotel di Parepare, yakni : H. Gandaria. Minatnya yang besar terhadap benda-benda seni kuno membuatnya mondar mandir di rumah orang tua itu.  Pada suatu hari,  Budayawan  tua itu  memperlihatkan sebuah bungkusan kuning kepadanya.

"Ketahuilah, nak. Dari sekian banyak koleksiku, barang  inilah yang paling mahal"
"Wah, memangnya barang apa, etta aji ?", tanya Dyong penasaran.

Ia membuka bungkusan itu, ternyata isinya adalah sebuah Kitab Suci Al Qur'an yang sangat indah. Sampulnya berbahan kulit rusa yang diukir. Kertasnya yang agak tebal sudah kekuning-kuningan saking tuanya. Tulisan ayat-ayat sucinya yang menampakkan ciri  tulisan tangan yang sangat indah dalam bingkai ornamen bunga-bungaan yang bernilai seni tinggi.

"Tapi masa kitab kuno ini lebih mahal dari keris emas, etta aji ?"

"Ya, memang lebih mahal. Beberapa hari yang lalu, seorang kenalanku yang kolektor di Gowa menawar kitab ini seharga 2 Milyar Rupiah.". "Waaah ?!", Si Dyong  meleletkan lidah seakan tak percaya.
"Koq tidak dijual saja, Etta Aji ?", tanyanya penasaran. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, orang tua kaya raya itu menjelaskan perihal Kitab Al Qur'an itu.

Kitab Al Qur'an tulisan tangan itu adalah sebuah barang langka. Konon, kitab itu adalah kitab suci yang dibawa oleh 3 Datuk penyiar Agama Islam ke Tanah Bugis. Setelah para mubalig itu berhasil menanamkan syiar Islamnya di Sulawesi Selatan, mereka menyimpan ketiga kitab itu pada 3 Kerajaan terbesar dan berpengaruh. Sebuah kitab disimpannya di Gowa, kemudian yang satunya pula disimpan di Luwu, lalu yang terakhir disimpannya juga di Bone.

"Kitab yang di Luwu masih tersimpan di Istana Luwu sampai sekarang. Kemudian yang tersimpan di Bone telah hilang, lalu kitab yang dulunya di Gowa adalah kitab yang kupegang ini.", jelas orang tua itu dengan bangga. "Maka jelaslah, bahwa kelangkaan serta nilai kesejarahan kitab ini yang membuat saya untuk mempertahankannya hingga sekarang. Padahal sudah banyak orang yang ingin membelinya..", lanjutnya.

"Etta Aji, bagaimana jika suatu waktu  saya dapatkan pula barang yang sama ? Maukah  orang membelinya 2 milyar ? “
“Kenapa tidak ?. Tapi.. kecil kemungkinan kau dapat menemukannya, anakku. Tidak usah berangan-angan untuk mencari sesuatu yang tidak jelas keberadaannya..”.

Malam yang telah larut merambati subuh. Dyong tidak bisa memejamkan mata sedikitpun. Percakapannya dengan H. Gandaria tadi siang menggoda pikirannya. Masalahnya, ia tahu dimana mendapatkan Al Qur’an tulisan tangan yang persis dengan yang dilihatnya tadi siang. 

Sejak beberapa abad, keluarganya telah menyimpan Al Qur’an tulisan tangan yang sangat dikeramatkan. Kitab Suci itu kini berada dalam perawatan tantenya, sepupu sekali ayahandanya di Belawa. Setiap tahun. Al Qur’an itu diupacarakan  sehingga kertasnya penuh noda darah ayam yang telah mengering. Konon, pada jaman dulu ketika wabah penyakit kolera berjangkit di Kabupaten Sidrap, maka Al Qur'an pusaka itu ditandu mengelilingi wilayah Belawa. Maka atas kuasa Allah, wabah itu tidak sampai berjangkit di daerah itu. Subhanallah, mending kitab suci itu kujual saja, daripada diolesi najis dan dikhurafatkan seperti itu. Tapi bagaimana caranya ?. Tantenya pasti berkeras mempertahankannya, pikirnya gundah.
.....................................................................................

Wanita tua renta itu memeluk Dyong dengan  mesranya ketika ia mencium tangannya. Seorang wanita yang kini  berumur 70-an tahun itu sejak dulu selalu ramah dan baik padanya. Sepupu sekali ayahandanya yang dipandangnya bagai ibunya sendiri.  Bertemu dengannya selalu menimbulkan haru.

“Kuru sumange’mu, anakku. Sejak lama ibu merindukanmu..”
“Iye. Etta. Anakda datang kemari karena rindu pula..”

Tante dan kemenakan itu berbincang-bincang mengenai banyak hal sebagai pelepas rindu. Setelah makan siang bersama, mereka duduk kembali di beranda tengah sambil melanjutkan perbincangannya. Sambil mendengarkan penuturan tantenya, Dyong berpikir keras bagaimana mendapatkan moment yang tepat untuk memulai misinya “meminjam” Al Qur’an Pusaka tersebut.

“Nak, saatnya kau berpikir untuk memulai membangun rumah sendiri..”
Wah, kebetulan nih, inilah dia. Momen  yang  ditunggu – tunggu akhirnya tiba juga.
“Inilah yang membuat anakda datang kemari, etta..”
“Apa gerangan, anakku ?”
“Semalam anakda bermimpi aneh...Anakda tidak tahu takwilnya.”
“Ceritakanlah mimpimu itu, nak..”
“Ananda melihat diri sedang membangun sebuah rumah besar di puncak gunung...”
“Subhanallah, itu mimpi yang sangat baik, anakku..”
“Tapi inilah masalahnya, etta..”, kata Dyong dengan mimik lesu.
“Bagaimana, anakku  ?!”, tanya tentenya dengan cemas.
“Dalam penglihatan ananda ketika rumah  panggung itu didirikan, tiba-tiba terdengarlah suara tanpa wujud...”
“Apa katanya .. ?”, potong orang tua itu tidak sabar.
“Katanya.. Wahai, Dyong. Kalau kau tidak membaca sampai tamat Kitab Suci pusaka leluhurmu, maka rumah yang sedang kau bangun ini tidak akan kuberi atap.., demikian, etta.”
Orang tua itu menarik nafas lega seraya tersenyum bijak.
“Ah, kukira apa. Mudah saja itu, anakku. Kitab Suci itu ada padaku. Kau bisa meminjamnya dulu selama 2 bulan...”.

Mendengar kata tantenya itu, Dyong hampir bersorak saking gembiranya. Tak disangkanya semudah itu. Mimpi  jadi milyuner sudah diambang mata, pikirnya. Orang tua itu masuk ke kamarnya lalu keluar membawa bungkusan kain yang persis sama dengan yang dilihatnya pada H. Gandaria.

“Terimalah, anakku. Tapi.. tolong dijaga jangan sampai hilang. Dulu, ketika Saoraja (Istana) sedang terbakar, saya tidak memperdulikan keselamatan diri dan anak-anakku. Al Qur’an ini yang terlebih dahulu kuselamatkan. Maka kitab ini  jauh lebih berharga dari pada jiwaku...”, katanya sambil menyodorkan bungkusan itu pada si Dyong.

Setibanya di Parepare, Dyong duduk termenung di kamarnya sambil mengayun buaian puteranya. Kitab kuno yang menjanjikan uang milyaran rupiah itu tergeletak pula dihadapannya. "..uwangke'i iyE naiyya nyawaku, ana'. " (..lebih kuhargai ini daripada nyawaku, anakku.). Kalimat itu seakan berdengung dan berputar dalam benaknya. Kata terakhir dipenghujung "acara serah terima" oleh seorang tua yang percaya penuh pada "kebohongan" yang dikarangnya sendiri. Seorang bibi yang menaruh kepercayaan dan harapan besar terhadap "ilham palsu" kemenakannya yang badung tersebut. Harapan yang tiada lain hanya menginginkan agar kemenakan yang ditempatkan sebagai putera kesayangan dalam sanubarinya itu, dapat pula hidup layak sebagaimana orang lain. Harapan yang jernih tanpa mengharap pamrih atau apapun baginya. Dyongpun dapat melihat dan merasakan ketulusan itu.


"Pa, apakan tante tahu jika kau mau menjual pusaka ini ?", tanya isterinya yang masuk ke kamar seraya membawa secangkir kopi dan sepiring pisang goreng.
"Tidak, ma...", sahut Dyong seraya menggeleng lesu.
Ibu muda itu terpana seraya menatap mata suami penganggurannya itu dalam-dalam. Ia sangat tahu dan mengetahui seluk beluk watak lelaki yang pertamakali dikenalnya sebagai pemuda badung di Denpasar ini. Mereka bertemu dan saling mengenal di rantau Bali. Keduanya menikah di Jombang, Jawa Timur lalu Dyong membawa isterinya ini pulang ke Sulawesi.


"Pa.. Aku mengenalmu sebagai orang yang bernurani. Selama ini aku tidak menuntut apa-apa yang tidak bisa kau adakan untukku.  Akupun bersedia mengikutimu kemanapun kau pergi, namun pintaku hanya satu. Janganlah kau hidupi aku dan puteramu ini dengan  rezeki haram...itu saja.", ujarnya lembut namun tegas. Dyong tidak menjawabnya selain mengangguk seraya meneguk kopi hangat dicangkirnya yang usang. Air kopi yang manis-manis pahit itu kini terasa pahit dan getir memasuki tenggorokannya. Andai ia pernah meminum secangkir kopi yang dicampur dengan serbuk arang baterai mati, mungkin seperti itulah rasanya ketika itu.
...........................................................................



"Wah.. betul-betul persis, nak. Bagaimana dan dari mana kau dapatkan benda ini, nak ?", tanya H. Gandaria antusias.
"..sebenarnya ini adalah salahsatu dari pusaka keluarga kami, Etta Aji.". Dyong kemudian menceritakan hal ikhwal Al Qur'an Pusaka itu selengkapnya. Sang Budayawan yang mantan Puang Matoa Bissu itu mendengarkan dengan seksama sambil membuka dan memeriksa setiap lembaran Kitab Suci itu.
"Kalau begitu, Insya Allah besok kita berangkat ke Gowa besok. Namun terlebih dahulu kita singgah duli di kediaman Prof. Darmawan untuk memfoto scan kitab ini.. bersiap-siaplah jadi orang kaya, nak.".
"Terserah Etta Aji saja, bagaimana mengaturnya dengan baik. Ananda hanya menurut saja.", kata Dyong kemudian memohon pamit.

Bunyi detak jam dinding kini terasa sangat jelas. Malam telah larut, namun Dyong tidak bisa terlelap sedikitpun. Ia menoleh kesamping, isterinya telah tertidur sambil mengeloni si kecil. Ia terbangun seraya keluar kamar menuju ruang tengah. Disulutnya sebatang rokok lalu menghisap asapnya dalam-dalam. "Sadia-sadiani' mencaji tau sogi, na'.." (Bersiaplah menjadi kaya, nak..), demikian kata H. Gandaria yang selalu menggoda pikirannya.

Uang 2 milyar rupiah, atau anggap saja 1,5 milyar setelah dipotong zakat dan pajaknya, itu uang yang sangat banyak. Biarlah yang 1 milyar itu kuberikan saja kepada tanteku untuk dibelanja bersama anak cucunya. Sementara sisanya, kurasa 500 juta sudah cukup kujadikan modal usaha, demikian pikirnya. Namun lagi-lagi perkataan tantenya tentang nilai yang lebih berharga dari hidupnya itu menggedor nuraninya. Keringat dingin deras mengucur disela-sela rambut kepalanya. Si Dyong kini resah oleh kebimbangan yang mengombang-ambingkan jiwanya. Asap pembakaran tembakau rokoknya membuat sinar lampu diberanda tengah itu menjadi temaram. Asbak didepannya sudah penuh potongan-potongan filter rokok bagai belatung yang berkerumun. Dyong tertidur dilantai, entah mermimpi ataukah mungkin juga tidak sama sekali.

Dyong barulah terbangun setelah isterinya membangunkannya. "Pa.. bangun. Matahari telah tinggi. Ada tamu dari Hotel Gandaria..", katanya. "Persilahkan saja duduk dulu. Aku cuci muka dulu..", jawabnya sambil menyambar handuk lalu berlalu ke kamar mandi.

"Oh, ternyata kau Pak Masang..", sapa Dyong pada seorang lelaki yang dikenalnya sebagai supir pribadi H. Gandaria.
"Iye', ndi' . Nasuruhka' Puang Aji jemputki'. ", jawabnya dengan logat Pareparenya yang kental.
"Kalau begitu, minum maki' dulu kopita'. Mauka' dulu pakEan", timpal si Dyong pula.

Di dalam kamarnya, Dyong duduk bertopang dagu. Iapun gundah kembali. Kali ini, jantungnya semakin terasa berdebar-debar tak karuan. Nilai hidup tantenya kembali menggugah pemikirannya, meresap hingga nuraninya yang terdalam. "Ah, sudahlah...", gerutunya seraya melangkah ke kamar tamu.

"Maafkan, Pak Masang. Anda sampai menunggu lama.."
"Ndak apa-apa, ndi'. Sudah siap berangkat ?"
"Inilah.. Masalahnya saya merasa tidak enak badan hari ini.."
"Lalu bagaimanami dengan Puang Aji ?. Sudah siap-siapmi tadi berangkat.."
"Tolong disampaikan permohonan maaf saya.. Saya tidak bisa berangkat kemana-mana hari ini.."
"IyE'.., na pucat memang jE' kulihat mukata, ndi'.."

...................................................................................

Beberapa hari kemudian, H. Gandaria sendiri yang bertandan menemui si Dyong.
"Kenapa mesti ragu, nak ? Kau bukannya menjual benda pusaka itu. Melainkan kau justru melestarikannya. Karena jika dipelihara di rumah tantemu, lama kelamaan Manuskrip suci itu akan hancur karena tidak terawat sebagaimana mestinya. Lagipula, Al Quran suci itu selalu diolesi dengan darah ayam.. itu dosa besar...", jelasnya panjang lebar. Dyong mendengarkan dengan tenang. Wajahnya kini berseri-seri.
"Maafkan ananda Etta Aji. Kemarin anada telah mengembalikan Kitab Al Qur'an itu pada tanteku. Ananda tidak mampu melawan kata 'Ininnawaku" sendiri.. Sekali lagi, maafkan ananda..", kata Dyong dengan sungguh-sungguh.
.................................................................................

Ininnawa.. Nurani kemanusiaan yang senantiasa berkata benar. Sesuatu yang selalu ada pada setiap inzan. Hanya karena hingar bingarnya kehidupan, sehingga kadang suaranya tak terdengar. Suaranya yang lembut nan berbudi bahasa halus itu hanya dapat disimak dalam suasana hening....

Puang BeccE' Pamuri, tante Si Dyong telah wafat pada tahun 2008 yang lalu. Pada saat akhirnya, Dyong memegang erat jemari tantenya tercinta hingga Jiwa itu telah kembali kepada pencipta-Nya. Wafat dengan tentram dalam hantaran merdu kalimah "Laa Ilaaha' Illallahu, Muhammadarrasulullah..".  Adapun halnya dengan Al Qur'an Tua itu, kini berada dalam perawatan putera tertua tantenya, yakni : H. Massarasa di TippuluE. Belawa.

Nurani kebenaran telah memenangkan pertarungannya hari ini. Bagaimana pada pertarungan berikutnya esok ? .. Kita lihat besok saja.

Wallahualam Bissawwab..




Mana yang lebih HARAM ?

Maaf saudara Dyong. Lagi-lagi aib anda jadi topik ininnawaku hari ini..
............................................................................................

Dyong, pemuda pemimpi itu kini tinggal sendiri di Pulau Bali. Sendiri, dalam artian ia tidak punya sanak keluarga dan bahkan kenalan sekampung di rantau jauh. Namun ia selalu ingat pesan orang tuanya. "Ana'.. padaitu laona narEkko icammingi alEta. NarEkko mapacii'i na makessing jakka-jakkana bEluwa'mu, makkessing matoitu muita alEmu ri cammingngE. Makkomatoi paimeng padatta rupa tau.. narEkko makessingngi' lao ri padatta, makessingtohatu lao ridi'.. " (Anakku, ibarat berdiri didepan cermin. Sekiranya kau berpakaian rapi serta menyisir rambut dengan baik, maka bayanganmu dalam cermin itu akan kelihatan baik pula. Demikian pula halnya dengan sesama manusia, jika kau bersikap baik kepadanya, maka iapun akan sersikap baik pula kepadamu..).

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Dyong pun memiliki banyak teman. Dasar anak jalanan, iapun punya kenalan baik dimana-mana. Mereka terdiri dari anak Sanur setempat dan beberapa pula antaranya pemuda Arab yang tinggal disekitar Jalan Sulawesi, Denpasar. Namun pergaulannya dengan berbagai kalangan remaja sekitarnya membuat penyakit lamanya kambuh. Malah agaknya lebih parah lagi. Si Dyong mabuk lagi.. Mabuk lagi, seperti judul lagu dangdut.

Arak Bali agaknya mudah didapatkan diseluruh permukaan Pulau Bali. Cairan bening namun sekeras larutan spirtus itu dapat dibeli pada setiap warung-warung kecil yang bertebaran pada hampir setiap sudut jalan. Dengan uang Rp. 1.500,-(Th. 1990), maka dijamin sudah bisa teler. Tanpa sanak saudara yang dapat menegur atau mengingatkan, si Dyong selalu mabuk tiap malam. Pemuda yang kini gondrong lagi  itu menjadi alkoholik. Ia tidak dapat menyebut "RRRRrrr" keesokan harinya sebelum meneguk setengah gelas arak. Namun uniknya, iapun tidak pernah meninggalkan shalat lima waktunya. Walaupun kadang ia sholat isya dengan oleng sambil melafadzkan surah Al-Alaq bercampur An-Nas.. Astaghfirulloh.

Waktu merambat tak terasa. Dyong menjalani pola hidupnya dengan semakin liar. Tatto beraneka macam motif kini memenuhi punggungnya. "Ananda tetap dalam lindungan dan limpahan rahmat Allah SWT, ..serta senantiasa mengingat pesan Ayah dan Ibunda tercinta..", demikian selalu ditulis pada awal surat-suratnya yang terkirim tiap bulan ke orang tuanya. Dasar anak pembual !. Padahal bahkan kini ia sudah berkenalan pula dengan obat-obat bius yang diraciknya sendiri. Kadang-kadang ia mengambil jamur-jamur kecil yang tumbuh diatas kotoran sapi (Jamur Sampi), lalu diraciknya dan dimakannya pula. Bahkan suatu ketika iapun pernah bereksprimen, meminum tablet "Napacin" sebanyak 3 butir sekaligus. Hasilnya lumayan, ia bisa tertawa ha ha hi hi selama sehari penuh dikamarnya.

Pada suatu hari, Shodiq si pemuda Arab mengajaknya makan-makan di pelataran Bali Beach Hotel. " lagi banyak duit, nih ?", seloroh si Dyong. "Gak juga, cuma kebetulan aja arisanku naik", sahut pemuda mancung itu santai. Setibanya di restauran pantai itu, mereka memilih meja yang agak dekat dengan bibir pantai Sanur, mengahadap pemandangan Pulau Nusa Penida nun jauh diseberang sana.

"Permisi, mau pesan minum apa dulu..?", tanya Waitress dengan ramah.
"Dyong pasti mau minum Bir, ya ?", sergah Shodiq sambil membaca daftar menu.
"Iya, dong ?. Masa iya Fanta sih ? Minuman bayi itu..", canda si Dyong.
"Ok, kalau begitu tolong ambilkan Large Beer 3 botol dan Fanta 1 botol.."
"Terus makannya, pak ?", tanya waitress sambil menulis pesanan itu.
"Dyong mau makan apa nEEh ?", balik si Shodik.
"Aha, apa aja.. Kalo aku sih, yang penting minumnya mantap..", jawab Dyong malas.
"Kalau begitu, Sate Sapi 1 Porsi dan Sate Babi 1 Porsi plus nasi putih 2 piring.."
.................................................................................
" Busyet juga nih si Arab. Masa iya makan Babi juga ?! Dasar Arab linglung..", pikir Si Dyong sambil menikmati teguk demi teguk Bir Bintang yang berlimpah didepannya. Sementara si Shodiq sekali-kali menghirup straw yang terpancang dalam botol Fanta Strawbery yang dipesannya. Ia mengeluhkan perihal pertunangannya dengan seorang kerabat ayahnya yang tinggal di Surabaya. "Waah, brEkElhE juga nih urusan. Masa iya aku mau ditunangkan dengan seorang gadis yang tidak kucinta ?!"..

Setelah Bir Bintang sudah "menguap" 2 botol, akhirnya sate pesanan mereka dihidangkan juga. Dua porsi sate panas mengepul membangkitkan selera keduanya.
"Mana sate babinya ?", tanya Shodiq.
"Niki, pak..", jawab Waitress dengan logat Balinya yang kental.
"O ya, berikan sama mas itu..", kata Shodiq sambil menunjuk Dyong.
"Ha ?!!.. aku tidak makan Babi, Diqq !", sergah Dyong terkejut.
"Lho, emangnya kenapa ?"
"Aku khan Orang Islam seperti kamu juga !"
"Iyyaa, aku tahu.. tapi kamu suka minum Khamr juga, khan ?"
"Iya memang, ..tapi Babi khan Haram..", tangkis si Dyong.
"Wee.. mana yang lebih haram Babi atau Alkohol ?"
"............... ??"
"Dimana ada dalil yang mengatakan jika Babi lebih haram dari pada minuman keras ?", berondong si Shodiq... "Makanya, jika kau sudah meminum minuman keras, maka makan pulalah daging babi, anjing, kucing atau yang lainnya. Lakukan pula perbuatan haram lainnya. Jangan setengah-setengah melakukannya.. "
.................................................................................................

Pengalaman kecil tapi sangat bermakna bagi Dyong. Secercah sinar mulai menyala kembali dalam ruang hatinya yang selama ini gelap gulita. Rasa takut dan segan melakukan dosa sedikit demi sedikit mulai timbul di benaknya yang berambut tebal itu.

Hingga dalam suatu kesempatan, ia mengikuti sebuah pengajian Agama Islam yang diselenggarakan keluarga besar Shodiq. Ketika tiba pada sesi acara tanya jawab, Dyong yang nyelEnEh itu mengajukan pertanyaan. "Pak Udstaz yang terhormat, apakah sebabnya Tuak Manis itu halal, sementara Tuak Pahit itu haram ? Padahal, keduanya keluar dari batang pohon yang sama..". Sang Udstaz menjawab : " jawabannya sama halnya dengan sesuatu yang keluar dari lubang pantat bebek. Telur yang keluar dari lubang itu halal dimakan, sementara yang lainnya (Tai) yang juga keluar dari lubang yang sama, haram dimakan. Nah.. pilih yang mana ?" .. Subhanallah, Si Dyong kini tidak cekik botol lagi...

Wallahualam Bissawwab...



KEBIJAKAN

... lagi-lagi aku tidak bisa memaparkan, apa definisi "kebijakan". Namun aku yakin, bahwa setiap manusia yang pernah dilahirkan di permukaan bumi ini pernah memberi dan menerima kebijakan. Maka setiap orang pastilah tahu dan mengerti maksud kebijakan itu.
...........................................................................................

Seringkali aku mengikuti acara "Madduta" (melamar) yang diselenggarakan sebagai suatu rangkaian prosesi adat pernikahan adat istiadat Bugis. Beberapakali diantaranya kuingat sebagai suatu moment yang sulit, dimana telah terjadi "tawar menawar" yang alot diantara kedua belah pihak. Pihak keluarga perempuan berusaha mempertahankan besarnya "Balanca" (Uang belanja penyelenggaraan pesta pernikahan) yang ditetapkannya sebagai syarat bagi pihak keluarga pelamar. Sementara pada pihak keluarga lelaki yang melamar, juga berusaha menawar harga terendah yang dimintanya. "Taniaki' ata-ata maElo mabbEnE ana' Arung..! " (kami bukannya kaum budak yang berkeinginan memperisteri wanita bangsawan..!), kata salah seorang dari rombongan kami, pihak pelamar. Agaknya ia tersinggung ketika mendengar persyaratan yang ditetapkan oleh pihak keluarga yang dilamar, seakan-akan pihak mereka lebih tinggi derajatnya dari kami.

Maka terjadilah sebuah perseteruan disebabkan oleh ketersinggungan yang justru tidak jelas ujung pangkalnya. Suatu akibat yang kini jauh melenceng dari niat semula, yakni : Mempererat jalinan silaturrahmi dalam ikatan sunnatullah pernikahan yang diridloi Allah SWT.

Akhirnya kurenungkan kembali bagaimana leluhur kami mewasiatkan pesan tentang memposisikan nurani dalam suatu permasalahan sebagaimana digambarkan diatas. "Padai laona mappalalo waju bekka' temmakkasapE ri gau' sitinajaE. Ipolo mallampE'E, na ripuE' massappaE ri lalengna dEcEngngE. MappasitujuE temmakkEbbuu laleng baru ri lalengna ade'E..." (Ibarat memakai baju yang kekecilan, namun tidak merobeknya. Memotong yang memanjang serta membelah yang persegi dalam jalan kebaikan. Saling membijaksanai tanpa membuat tata cara baru dalam aturan adat istiadat..).

Memakai baju yang ukurannya kecil tanpa merobeknya, agaknya jauh lebih baik dari pada tidak mengenakan baju sama sekali. Palsafah  yang dimaknai sebagai pola sikap yang fleksibel. Sesuatu yang menghendaki kiranya setiap pribadi memahami lebih dalam perihal prinsif-prinsif aturan hidup yang diembannya. Maka pemahaman itulah yang akan membawanya pada pengenalan tata letak berbagai unsur kebijaksanaan pada sisi lain aturan itu. Pada akhirnya, esensi pengenalan itu akan membawa kita terhadap pengertian tentang fungsi epektifitas dalam menjiwai prinsif tersebut. Sesuatu yang memungkinkan untuk melihat jelas celah kebijakan yang dapat menjadi solusi terbaik, tanpa mencederai esensi aturan itu sendiri.

Alangkah indahnya jika memegang teguh suatu prinsif yang dijiwai dengan penuh rasa toleransi. Sebagaimana contoh yang telah dikemukakan diatas, pihak keluarga perempuan tentu akan menyelaraskan persyaratan yang ditetapkannya dengan prinsif "Mappasitinaja" (sewajarnya). Kemudian pihak pelamar tentu saja dapat menerima persyaratan itu dengan penuh toleransi. " dE'namarigaga ipassa-passa cEddE' alEwE, rEkko dEcEng mua.. nasaba ri yelli mEmengpa dEcEngngE.." ( tidak apalah jika sedikit memaksakan diri .. karena kebaikan itu memang pantas dihargai..).

Wallahualam Bissawwab...




DEBAT KUSIR TENTANG "ANDI"

Catatan Kecil buat anakku..

Untuk kesekian kalinya, kudapatkan lagi orang yang sangat "alergi" terhadap gelar "Andi" atau gelar semacamnya. Argumen-argumen yang berdasar pada dalil-dalil Agama, dijadikannya sebagai pembenaran terhadap perlunya "gelar kebangsawanan" itu dihapuskan saja, semudah memencet "control A" lalu menindis tuts "Delete" begitu saja. Demikian riak batinku ketika kubuka jendela Grup Facebook SEMPUGI  dan membaca sebuah pendapat tentang perlunya menghapus gelar "Andi". Seketika itu saya "terpancing" untuk mengomentarinya.

Ada rasa "miris" bercampur 1001 macam rasa lainnya berkecamuk di dada dan naik hingga memanaskan ubun-ubunku. Namun segalanya itu buyar begitu saja, ketika sebuah pertanyaan timbul kemudian dalam benakku : Ada apa dengan sebuah "gelar" ?.  Jika Shakespeare saja mengatakan "Apalah arti sebuah NAMA", maka apalah pula arti sebuah GELAR ?.

Terselip sebuah sesal yang timbul kemudian. Karena sesungguhnya "berpendapat" adalah hak asazi bagi setiap orang yang dikaruniai akal dan pikiran. Seseorang dapat saja berpendapat berdasarkan kebenarannya yang justru "mungkin" saja diakibatkan oleh pengalaman buruk berkenaan dengan sesuatu yang "tidak disukainya" tersebut. Sungguh benarlah ujar Baginda Junjunganku, La Sangkuru Patau Mulajaji Sultan Abdul Rahman MatinroE ri Allepperengna, bahwa :

 Engkatu ada, engkato gau'
 Engkato nawa-nawa na dE' na ripoada, na dE' ripogau',
 na dE'to na riponawa-nawa
 naripo jaa..


Engkato ada, na dE' ripoada,
Engkato gau' na dE' ripogau',
Engkato nawa-nawa na dE' nariponawa-nawa,
na ripodEcEng..

Artinya ;

Ada suatu ucapan, perbuatan dan pikiran
Jika itu tidak diucapkan, dilakukan dan dipikirkan
Maka akan berakibat buruk..

Ada pula suatu ucapan, perbuatan dan pikiran
Jika itu tidak diucapkan, dilakukan dan dipikirkan
Maka akan berakibat baik..


Maka bukanlah saatnya memperbincangkan "sejarah" tentang sebuah gelar. Karena sesungguhnya ia tiada lain hanyalah sebuah "pemberian" dari manusia pada manusia lainnya. Sesuatu yang kadangkala didapatkan sebagai "pusaka" turun temurun, namun pada hakikatnya bukanlah sebuah ukuran kemuliaan adanya.

Demikian pula halnya dengan sebuah gelar yang disebut sebagai "Andi". Ia menempel didepan sebuah nama berdasarkan nazab keturunannya. Namun sesungguhnya, seorang ayah dan ibu "tidak akan pernah" menggelari anaknya sebagai "Andi". Melainkan masyarakatnya sendiri yang menyebutnya demikian. Seseorang yang dikatakan sebagai "To MaradEka" (Orang Merdeka) tidak pernah pula disuruh apalagi, dipaksa untuk menyebut "Andi" pada seseorang. Karena itu bukan merupakan sebuah hukum atau aturan tertulis adanya. Melainkan hanya sebuah norma belaka.

Adalah sebuah hukum tak tertulis dalam masyarakat, yakni : Menilai sebutir beras dalam satu karung. Sebutir beras yang membusuk, akan menerbitkan sebuah penilaian bahwa semua beras dalam karung itu busuk pula adanya. Begitupula halnya jika seorang bergelar "Andi" berbudi pekerti sombong, angkuh dan pongah, maka dengan mudahnya orang lain akan menilai jika seluruh "Andi" di dunia ini begitu pula adanya.
Maka ; Akkaritutui asengmu ri pangkaukengmu, na muanennengi  tomatoammu.. (Jagalah namamu dalam berbudi pekerti, berarti kau mengasihi orang tuamu..)

 Wallahualam Bissawwab..





Pampawa Tinro

EE.. Puang, Addampengengngi atamMu
Puang MakkEataE ri AtanNa
Laa Ilaaha' IllalLaah
Muhammadarrasulullah


AssampEakko Nabi, Attula'ko Malaika'..
Nalinrungiko umma'mu 
Ri AtanNa Laa Ilaaha' IllalLaah
Muhammadarrasulullah



              (ElongkElong Pampawa Tinrona Petta Palla'E)

Yaa Tuhanku, Ampunilah hamba
Tuhan berkuasa terhadap hamba-Nya

Laa Ilaaha' IllalLaah
Muhammadarrasulullah


Tepiskanlah wahai Nabi, Tangkislah wahai Malaikat
Umatmu senantiasa melindungimu
Bagi sang hamba, Laa Ilaaha' IllalLaah
Muhammadarrasulullah 

   (Lagu Pengantar Tidur Baginda Petta Palla'E)

..............................................................................

Waktu ternyata tidak mampu menghapusnya. Masih segar dalam ingatanku.. Kain ayunan itu berwarna putih yang mengusam. Terikat erat pada seutas tali yang terbuat dari jalinan rotan yang terbungkus kain pula.. Menggelayut erat pada "pattolo" (pasak atas pada rumah panggung). Aku terayun dan terbuai nyaman didalamnya. Ibundaku menyanyikan kidung itu sambil sesekali mengayung lembut ayunanku.. Merdu suaranya masih terngiang dibenakku, meresap dalam hingga relung-relung hatiku paling dalam hingga saat ini... . Aku tak mengerti makna syair lagu itu, bahkan Ibundapun menyuruhku pada pamanku , ketika kutanyakan perihal lagu itu..

"Iyanaro pammanarengta polE ri Petta Palla'E, Ana'.. riElongkElongngi ri wettu maElo'i ripatinro wija-wijanna. Iyato riElong narEkko nakennaki sussa iyarE'ga lasa.." (Itulah warisan kita dari Petta Palla'E, Anakku.. Dinyanyikan untuk menidurkan para keturunannya. Ini pula yang dinyanyikan apabila kita tertimpa kesusahan atau sedang sakit..), demikian jawab Kakanda Ibundaku, yakni : Puekku Andi Bannace' pada suatu waktu. Tapi penjelasan itu cuma menguraikan "kegunaannya", pikirku. Maka kutanyakan lagi, "NaEkiya, agaro pallE lise'na ElongkElongEro, Puang ?" (Lalu apa makna yang terkandung dalam lagu itu, Tuanku ?). Beliau cuma menggeleng-gelengkan kepala, pertanda jika makna itu tidak boleh dituturkan pada sembarang waktu, begitu sakralnya.

.........................................................................

Elong Pampawa Tinro  sesungguhnya merupakan "Lullaby". Senandung pengantar tidur yang juga dikenal di masyarakat budaya Eropa. Walau sebenarnya bukan berfungsi sebagai pengantar tidur semata, melainkan juga sebagai senandung pelepas lelah dan bosan ketika sedang dalam perjalanan jauh. Khususnya pada masyarakat Bugis, lagu ini adalah sejenis "YaabElaaalE". Sebuah lagu pengantar tidur yang dilagukan bagi masyarakat umum. Sebuah lagu yang memohonkan harapan-harapan luhur bagi anak yang sedang ditidurkan.

Yaa BElaalEE..
La Baco' tuuoo..
Tuoko, na topada tuo
Mutuoo, mallongi-longi....

Yaa, Bilal..
Puteraku yang senantiasa hidup
Hiduplah, agar kita hidup bersama
Hidupmu, menjadi sesuatu yang tinggi diatas sana..

Maka BElaalE adalah pronounciation lidah Bugis yang berarti sebuah nama bernama : Bilal. Beliau adalah salah seorang sahabat terdekat Nabi. SAW yang dijamin sebagai salah seorang sahabat yang akan masuk Syurga. Beliau adalah bekas budak belian yang ikhlas dan ridla mengalami berbagai siksaan diluar batas prikemanusiaan, demi mempertahankan aqidahnya. Mulutnya senantiasa mengucapkan "Ahad..Ahad" ketika cemeti menghantam bertubi-tubi pada sekujur tubuhnya. Sementara ia juga ditelentangkan diatas pasir yang panas membakar sambil dadanya ditindih sebongkah batu besar. Belum pula ia terpanggang hidup-hidup oleh terik matahari yang menyengat kala itu. Namun tiada lain yang diucapkannya, "Ahad..Ahad..Ahad!".

Seorang manusia Bugis, dipohonkan harapan sebagaimana keteguhan dan ketabahan seorang sahabat mulia, yakni : Bilal Bin Rabbah Radiayallahu Anhu. Pengharapan yang sangat besar agar ia tumbuh sebagai seorang yang "Tawaddu" dengan memperoleh "kemuliaan" bukan disebabkan karena "keturunannya". Melainkan diperolehnya berkat : kadar Taqwanya kepada Allah SWT. Bilal adalah seorang bekas budak belian dari Habsyinia. Namun keutamaannya sangatlah agung sehingga Nabi Muhammad SAW menjodohkannya dengan saudara perempuan Umar bin Khattab ra. Maka bekas budak belian yang buruk rupa nan berkulit hitam kelam itu adalah saudara ipar seorang Amirul Mukminin dan juga seorang Khulafaurrasyidin. Sungguh, seorang Manusia Bugis sesungguhnya adalah seorang yang rendah hati.

Oh, Ininnawamu La Oddang...

Wallahualam bissawwab..




ANTI PELURU !

"Puramooga tatarima paddisengenna Pettata iyya palEssEE'i piluruE, ana' ?" (sudahkah anda menerima Ilmu Membelokkan Peluru dari ayah anda, nak ?), demikian pertanyaan yang sering penulis terima dari beberapa orang tua-tua, diantaranya oleh Sertu (Purnawirawan) Tawakkale (Almarhum), setahun setelah mangkatnya ayahandaku pada tahun 1998...

Konon khabarnya, pada peristiwa Bone Pute berpuluh tahun yang lalu (tahun 50-an ?) terjadi pertempuran sengit antara DI/TII dengan TNI. Pasukan DI/TII dikepung oleh TNI dari 2 angkatan, yakni : Korps. AD dan AL (Marinir). Berkat keterampilan militer yang lebih terlatih serta didukung persenjataan yang lengkap, TNI berhasil mengepung dan mendesak posisi Pasukan DI/TII. Akhirnya hanya beberapa personil pasukan DI/TII yang berhasil selamat dan mampu meloloskan diri dari kepungan itu, diantaranya : Ayahandaku dan Sertu Tawakkale'. Menurut Sertu Tawakkale semasa hidupnya, ketika itu pasukan TNI menembaki mereka dengan gencarnya dari segala penjuru. Bunyi peluru berdesingan bagai bunyi kain yang dirobek disekeliling mereka. Tiba-tiba Andi Mori (ayahanda) berdiri seraya mengalungkan tali senapan Mouser yang dipanggulnya dipunggung. Ia berbalik menggapai padanya (Sertu. Tawakkale). "EccoEki' ri munrikku. Akkatenniki' ri salipikku. Aja' tamattEmba', aja'too takkampareng.." (ikutlah dibelakangku. Berpeganglah pada ikat pinggangku. Jangan menembak dan jangan pula menegur..).

Ejaji, uwaccoEri tongenni adanna Pettata, ana'. UpakkapejjEng matakku, uwapparimeng mani bawang lao ri Akuasanna PuwangngE. Aga usirEnrEngna lao, muttama ri ale'E. Pada bawangmani akko riyampoorengngi pEluruE manennEE. PammasEna PuwangngE, dE' gaga pEluru pakenna iya' dua. Makkotoo paimeng sininna tentara pakeppungngE, mellang-mellang matanna natollalo ri yolona, na dE' naitaki'... (maka kuturuti perkataan ayah anda, nak. Kupejamkan mata seraya kuberserah diri pada Allah. Lalu berpeganganlah kami berdua, berjalan memasuki hutan. Peluru bagaikan disebar beterbangan disekeliling kami. Namun berkat rahmat Allah, tidak sebutir pelurupun yang mengenai kami berdua. Begitu pula dengan para tentara yang mengepung, matanya terbuka namun tidak melihat kami berdua yang berlalu dihadapannya, mereka tidak melihat kami...) , demikian kisah Pak Tawakkale' kepadaku. 
.................................................................................................................

Selama hidupnya, kukenal ayahandaku sebagai sosok pribadi yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang begitu menonjol selain kekerasan hatinya dalam berprinsif. "Namoo muisseng waE racung akko purani mukadoi, Enungngi !" (walau pada akhirnya baru kau tahu jika itu adalah air beracun, namun kau sudah menyanggupi, maka minumlah itu !), demikian pesannya. Selain itu, beliau adalah seorang kutu buku yang hampir setiap waktu tenggelam dalam bacaannya. Kemudian pada saat lain, beliau memanggilku untuk memperdengarkan ceritanya tentang berbagai hal, utamanya yang bertajuk sejarah dan budaya. Jika sudah begitu, asap rokoknya mengepul bagai cerobong pabrik.

Pada suatu kesempatan di tahun 1993, kutanyakan perihal Ilmu Peluru yang konon dimilikinya. Beliau menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum kecil bagai mencemooh. "Caritaanami tu tauwwE, :Laoddang..." (itu sih cuma cerita orang saja, Laoddang..). "EbarE' makkoo tongeng ammaaniha, Etta ?" (Tapi mungking saja benar, Etta ?). Maka dengan mimik serius beliau menjelaskan dengan panjang lebar....
...............................................................................................................

Sesungguhnya "Manusia"(TAU) pada hakikatnya SATU. Namun "Orang" (Rupa Tau), itulah yang banyak jumlahnya. "Manusia Sejati" (Tau Tongeng-TongengngE) yang jumlahnya cuma 1 itu berada pada diri setiap orang. Dia sedang berada dalam dirimu, pada saat yang sama juga berada dalam diriku, serta berada pula pada semua orang. AKU adalah KAU, Kau adalah AKU dan KAU adalah MEREKA... Dengan demikian, jika kau memahami hal itu, maka KAU tidaklah mungkin TEGA merusak, menyakiti atau terlebih membunuh ORANG LAIN. Karena pada hakikatnya ORANG LAIN itu adalah DIRIMU jua.

"Lalu bagaimana hubungannya dengan Ilmu Anti Peluru itu, Etta ?", tanyaku kurang sabar. "Ketahuilah, MANUSIA adalah mahluk semulia-mulianya yang diciptakan ALLAH. Dibandingkan dengan peluru yang cuma hasil KREASI MANUSIA, apalah artinya peluru ?", jawabnya dengan pandangan tajam. "Jika saat ini kau adalah MANUSIA, maka TIDAK ADA ORANG yang mampu melukai dirimu, apalagi menghilangkan jiwamu. Yakinlah itu !", kuncinya.

Memahami "Ilmu Manusia" ini, maka hati haruslah bersih dari segala niat buruk pada sesama manusia. Barangsiapa yang memahami jika "Manusia cuma Satu", lalu didalam lubuk hatinya masih tersimpan niat untuk mencelakakan orang lain, maka dia yang terlebih dahulu "dimangsa" niatnya tersebut. "Aku tidak pernah berniat menembak orang dalam peperangan, apalagi membidiknya. Walaupun sebenarnya akupun seorang penembak jitu. Kupegang dan kutembakkan senjata apiku hanya sebagai sekedar melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabku sebagai lasykar. Namun sebelum kutembakkan, aku senantiasa berdo'a : EE Puwangku. Iyyatoona toTapatotoriE nakenna pElurukku. DE'Elo paulEku, sangadinna Idi'mi PaullE...(Yaa Allah, hanya bagi yang Engkau takdirkan baginyalah yang terkena peluruku. Sesungguhnya aku tidak memiliki kekuasaan apa-apa terhadap segala ketentuan yang Engkau gariskan...)", tuturnya santai.


Ilmu sulit....., pikirku.

Subhanallah, Hashbunallaahu Wani'mal Wakil, Ni'mal mauwlaa Wa ni'man nashiir.., cukuplah Allah bagiku...

Wallahualam Bissawwab.