Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Senin, 17 Desember 2012


OBROLAN TENTANG NAGA DAN TIKUS
                                             By. La Oddang

Hampir semua reverensi tentang Budaya Masyarakat Dunia mensifatkan hewan sebagai perlambang karakter manusia sepanjang zaman. Kebudayaan Cina mensifatkan para Kaisarnya sebagai Naga, hewan mytologi yang bentuknya menyerupai ular, berkaki ayam, gondrong dan moncongnya menyerupai anjing itu. Sementara itu, kebudayaan masyarakat Skandinavia juga menggambarkan Naga dengan bentuk berbeda. Ia lebih kekar, bersayap kelelawar dan kepalanya plontos. Namun kebudayaan kedua benua timur dan barat itu sama-sama menggambarkan karakter tentang Naga ini sebagai mahluk agung nan perkasa. Mereka adalah penguasa bijaksana dan penguasa lalim, apapun karakternya, namun ia tetaplah naga. Kaisar tempat berkhidmatnya para pembesar-pembesar tikus. Lalu bagaimana halnya dengan Tikus ?
………………………………………………………………………………………………………

Hewan kecil pengerat, berekor panjang, berkumis panjang, berbulu kasar, mata kecil, jorok, jalannya mengendap-endap dan pemakan segala (carnivora), begitu persepsiku tentang tikus. Demikian sederhana, maklum saja karena nilai pelajaran Biologyku sejak SMP hingga SMA senantiasa berwarnah cerah (merah). Namun kini tiba-tiba tertarik dengan hewan yang satu ini, karena ramai diperbincangkan pada berbagai media. Para penguasa besar dan kecil di negeri ini, jika ia melakukan tindak korupsi, maka ia dilabeli sebagai : Tikus. 

Mengendap-endap ditempat gelap dengan mata kecilnya yang licik, menggerogoti karung penyimpanan bahan makanan. Tidak ada tempat penyimpanan makanan yang tidak mampu dimasukinya, lemari makan ataupun bahkan tanaman yang masih tumbuh  di sawah atau ladang, tidak luput dari incarannya. Maka ia dikategorikan sebagai  hama.

Menilik asal muasal pada tikus pada epos Mahabharata, syahdan Bhatara Naradha yang terlahir dalam wujud seekor naga (Naga India ; tidak berkaki) sedang menangisi kesepiannya. Maka Bhatara Ghuru merasa iba, air mata Bhatara Naradha diubahnya menjadi 3 butir telur. “Turunlah ke Bumi, rawat dan tetaskanlah telur-telur itu agar kau tidak merasa sepi lagi.”, titah Sang Raja Dewata itu. Sang Naradha memungut dan memasukkan ketiga butir itu kedalam rongga mulutnya, lalu melayang turun ke Bumi. Namun, ditengah perjalanan ia lalai membuka mulutnya. Dua butir telur  terlepas dari mulutnya dan jatuh terlebih dahulu di Bumi. Keduanya pecah dan menetas sebagai babi dan ..tikus. Adapun halnya dengan sebutir telur yang tersisa itu, dirawat dengan telaten oleh Bhatara Naradha hingga menetas sebagai Sanghyang Sri, Dewi Padi nan jelita dan welas asih itu.

Adapun halnya dengan Babi dan Tikus, keduanya merasa iri kepada Sanghyang Sri. Mereka merasa diperlakukan tidak adil karena tercipta dengan bentuk dan rupa yang buruk. Maka dengan berbagai upaya, keduanya meminumkan racun kepada Sanghyang Sri, hingga binasa. Namun pada dasarnya suatu kebaikan yang tidak pernah mati, Dewi yang baik hati itu berubah wujud sebagai tanaman padi yang berguna bagi umat manusia. Namun, kedua babi dan tikus tidak pernah berhenti mengganggu saudarinya yang welas asih itu, mereka senantiasa berusaha merusak tanaman padi di sawah. 

Bahkan reverensi budaya tertua dari India, mensifatkan tikus sebagai hama pengganggu. Lalu bagaimana halnya dengan tikus menurut tinjauan budaya Bugis ?. Iapun adalah wujud penggambaran karakter pengecut dan tidak memiliki rasa solidaritas pada saudaranya, sebagaimana digambarkan pada mytologi India. Ia adalah mahluk berkumis nan cerdas, namun tidak segan-segan menjilat kotoran suku bangsa lain, demi secuil makanan yang bisa didapatnya. Iapun piawai menyelinap kesana kemari dengan manuver pencitraan “Ksatria Suci” jika dalam posisi tersudut. Persis sebagai “Jerry” atau “Mickey” yang imut-imut menggemaskan itu.

Pada kosa kata Bugis, ia dikenal sebagai : Balao atau BElEsu. Iapun digelari sebagai : La Makkikko’ (Si Berekor). Pada khazanah puisi-puisi rakyat yang mengkritik pejabat kerajaan yang culas, diungkapkan :

DE’ nancaji, Lapuang !
Puruu’ manengtoni taneng-tanengngE,
Napakkuwa La Makkikko’,
SawEi ri galungngE,
Lalowasai ri lalempanua,
Lettu’ ri laleng Saoraja,
NasapE-sapE’i ade’E,
Naoca-ocai bicaraE,
Namakkasolang ri wanuaE

(Panen telah gagal, Tuanku,
Tanaman telah meranggas pula,
Akibat ulah Si Berekor,
Berkembang biak di sawah,
Merajalela didalam negeri,                                             
Hingga ke dalam istana,
Dirobek-robeknya adat,
Dikunyah-kunyahnya hukum,
Sehingga rusaklah negeri )

Maka prilaku tikus senantiasa ada pada setiap zaman. Ia adalah pertanda adanya tatanan yang tercemar dalam tingkat pemerintahan. Bahkan kadangkala disifatkan sebagai “alat penghukum” dari Dewata SeuwwaE.

Wallahualam Bissawwab.

Selasa, 04 Desember 2012