Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Rabu, 22 Mei 2013

Ishaka Manggabarani







Keterangan Gambar :
Dari kiri ke kanan :  Penulis, Guru Besar kami Prof. Dr. Andi Ima Kesuma, M.Pd (Opu BalirantE Kedatuan Luwu), Dr. Rasyid.



ISHAK MANGGABARANI KARAENG MANGEPPE
ARUNG MATOA WAJO XLIII
PETTA MATINROE RI PAREPARE,

A. Latar Belakang

          Sejak paruh kedua abad 19, Tana Wajo senantiasa dilanda kekacauan. Negeri yang termahsyur sebagai pelopor azas “ade’ ammaradEkang na ade’ assamaturuseng” (adat kebebasan dan adat kesepakatan) tersebut seakan menjadi negeri tak bertuan.

          Bermula pada turut sertanya La Pawellangi Petta PajungpEroE Datu Akkajeng Ranreng Tuwa XXIV dalam perang saudara di Sidenreng pada tahun 1828 1). Peperangan antara La Panguriseng Sultan Muhammad Ali Addatuang Sidenreng dengan saudara seayahnya, yakni : La Patongai Datu Lompulle’ Ranreng Talo’tenrEng XX. Kedua saudara berlainan ibu itu memperebutkan tahta Addatuang Sidenreng, warisan kakek mereka yaitu : La Pawawoi MatinroE ri SorEang Addatuang Sidenreng. 

Hal yang dapat dimaklumi ketika itu, bahwa turut campurnya La Pawellangi yang sesungguhnya adalah pangeran Wajo dan Soppeng tersebut adalah didasari karena keduanya memiliki pertalian kekerabatan yang dekat dengan ibu La Patongai, yakni : WE Muddaria Petta MappalakkaE Ranreng TalotenrEng XVII. Hal yang kemudian menyeret Tana Wajo dalam situasi yang riskan karena peperangan tersebut dimenangkan oleh La Panguriseng yang didukung oleh Gubernemen Belanda di Juppandang (Makassar). 

Hingga kemudian, setelah La Pawellangi Datu Akkajeng dinobatkan menjadi Arung Matoa Wajo XXXIX dalam tahun 1854, perhubungan Wajo dengan Sidenreng dan pemerintah Gubernemen Belanda adalah kurang harmonis, mengingat ganjalan persoalan yang lalu dengan La Panguriseng Addatuang Sidenreng. Terlebih pula perhubungan  dengan Pammana dan segenap pengaruh kekerabatannya yang sesungguhnya adalah anak negeri Wajo juga tidaklah begitu baik, mengingat La Cincing Akil Ali Datu Pammana yang merangkap pula sebagai Arung Tellu Latte’ Sidenreng adalah saudara kandung La Panguriseng. Maka dapatlah dimengerti jika dalam tahun 1859, La Pawellangi PajungpEroE Datu Akkajeng meletakkan jabatan selaku Arung Matoa Wajo karena begitu kerasnya tekanan politik dari luar dalam Tana Wajo.

-------------------------------------------------------- 
1).  Menurut Lontara AttoriolongngE TanaE ri Wajo Pasal 30 yang disesuaikan dengan Lontara Attoriolong ManurungngE ri  SidEnrEng Pasal 14 – 15. Bahwa dari pernikahan pertama La Pasanrangi Muhammad Arsyad Petta CambangngE Arung Malolo SidEnrEng  dengan Petta MappalakkaE, melahirkan : La Patongai Datu Lompulle’. La Pawawoi MatinroE ri SorEang Addatuang SidEnrEng XIII senantiasa mengharapkan agar cucu pertamanya tersebut dipersiapkan menjadi penggantinya dengan memerintahkan agar membawa Arajang SidEnrEng ke kediaman Petta MappalakkaE. Namun Petta MappalakkaE dan Petta CambangngE menolak menyimpan pusaka kerajaan tersebut. Hingga ketiga kalinya pusaka kerajaan itu diantar dan diserahkan kepada mereka, bahkan terakhir kalinya itu ditolak pula oleh La Patongai Datu Lompulle’. Maka Petta CambangngE kemudian menikah lagi diPammana, mempersunting We Nomba Arung Lagosi Datu Pammana, melahirkan : La Panguriseng Muhammad Ali dan keempat saudaranya. Hingga pada akhirnya, Pemerintah Gubernemen Belanda menyarankan kepada La Pawowoi yang sudah uzur itu untuk segera menobatkan penggantinya. Diperintahkanlah Pabbicara Sidenreng untuk menjemput La Patongai di Lompulle’ (Soppeng) untuk diantarkan menghadap ke TomarajaE Tana SElEbEsE (Gubernur Jenderal Belanda di Sulawesi) di Juppandang (Makassar). Namun untuk kesekiankalinya, La Patongai Datu Lompulle’ menolak. Maka La Pangurisenglah yang diantar menghadap ke Juppandang dan disetujui oleh Gubernemen untuk dinobatkan menggantikan kakeknya sebagai Addatuang Sidenreng. Hingga kemudian pada akhirnya La Patongai menginginkan kembali tahta Sidenreng setelah wafatnya kakek dan ayahnya.

Tidak begitu lama setelah mundurnya La Pawellangi Petta PajungpEroE, dinobatkanlah La Cincing Akil Ali KaraEng MangEppE Datu Pammana Pilla ri Wajo XIV menjadi Arung Matoa Wajo XL. Kemudian jabatannya selaku Pilla ri Wajo diserahkannya kepada kemenakannya, yakni : La Cabamba Datu Pammana (putera La ManujEngi KaraEng Katangka). Era pemerintahannya di Wajo sesungguhnya tidaklah mudah, mengingat terjadinya banyak perselisihan diantara para pangeran Wajo yang melibatkan pemerintah Gubernemen Belanda dan Sidenreng. Salahsatu peristiwa yang menjadi tanggungjawab pemerintah Tana Wajo adalah terbunuhnya seorang sipil Belanda dalam wilayah hukum Tana Wajo dalam tahun 1867. Adapun pembunuhnya seorang pengikut La Mangkona To RawE Petta PajumpongaE (putera La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talo’tenrEng XX dengan We Kalara’ Arung BettEmpola XXI) atas suruhan pertuanannya2). Maka pemerintah Gubernemen Belanda menimpakan hukum denda yang cukup besar kepada pemerintah Tana Wajo. 

Pada tahun 1883, terjadi pula peristiwa terbunuhnya 41 orang suruhan Addatuang Sidenreng di Belawa yang adalah wilayah Wajo. Hal yang menyebabkan kemurkaan Addatuang Sidenreng La Sumange’rukka yang segera memerintahkan Lasykar Sidenreng untuk melancarkan penyerbuan ke Belawa. Hal yang sesungguhnya menjadi suatu kejadian yang “riskan” bagi La Cincing Akil Ali Arung Matoa Wajo  yang diperhadapkan pada dilema antara posisinya sebagai Arung Tellu Latte’ Sidenreng dengan kedaulatan Wajo yang berada ditangannya.

Kekacauan yang tak kunjung reda di Wajo membuat La Cincing Akil Ali KaraEng MangEppE lebih banyak berdiam di Parepare dalam kurun waktu 26 tahun masa pemerintahannya. Hingga pada tanggal 12 Oktober 1885, La Cincing Akil Ali KaraEng MangEppE’ Datu Pammana Arung Matoa Wajo XL yang merangkap Arung Tellu Latte’ Sidenreng berpulang ke Rahmatullah di Cappa’galung, Parepare. Sebagai penggantinya selaku Arung Tellu Latte’ Sidenreng, ditunjuklah puterinya yang bernama We Sima’tana.

Sepeninggal La Cincing Akil Ali, ke-39 personal dari Ade’ PatappuloE (hadat 40) mengadakan musyawarah untuk menobatkan Arung Matoa Wajo ke XLI, pengganti mendiang La Cincing Akil Ali MatinroE ri Cappa’galung. Akhirnya kesepakatan jatuh pada La Koro Arung Padali Ranreng TalotenrEng XXI yang segera dinobatkan dalam tahun itu juga. Sementara jabatannya sebagai Ranreng Talo’tenrEng diserahkannya kepada La Passamula Datu Lompulle’.
----------------------------------------------------------- 
2). Lontara AttoriolongngE TanaE ri Wajo Pasal 30 (salinan A. Muh. Ridha).

Sebagaimana kemudian Lontara Wajo memberitakan, kekacauan di Wajo semakin menjadi-jadi dalam era pemerintahan Arung Padali. Dalam suasana kacau itu, bahkan Sri Baginda sendiri memiliki lasykar khusus yang sedemikian kuatnya membela kepentingan pribadinya, maka baginda digelari pula : Batara Wajo 3. Pada akhirnya, para petinggi-petinggi Wajo membentuk pula klan-klan yang kerap memicu perselisihan diantara mereka. Diantara perselisihan yang meletup menjadi perang, yakni : perselisihan La JalantE’ Petta Jinnirala (putera La Koro Batara Wajo) dengan La Tang Petta Pangulu Barisi’na Belawa. Hingga kemudian pada tanggal 26 Mei 1891, La Koro Arung Matoa Wajo XLI berpulang ke Rahmatullah.

Kurang lebih setahun setelah wafatnya La Koro Arung Padali, Dewan Adat Wajo barulah menemukan sosok pengganti yang sekiranya dapat membawa Tana Wajo menuju suasana damai. Figur yang dipandang tepat itu adalah La Passamula Datu Lompulle’ yang pada masa itu adalah Ranreng Talo’tenrEng XXII. Sri Baginda adalah putera mendiang La Patongai Datu Lompulle’ Ranreng Talo’tenrEng XX, saudara seayah Addatuang Sidenreng La Panguriseng Muhammad Ali MatinroE ri MassEpE. Maka dinobatkanlah sebagai Arung Matoa Wajo XLII dalam tahun 1892.

Selama mengemban amanah selaku Arung Matoa Wajo, La Passamula Datu Lompulle’ dikenal sebagai Raja yang berbelas kasih terhadap rakyatnya, terutama pada kalangan rakyat kecil. Salahsatu kebijakannya yang senantiasa dikenang adalah tindakannya yang menghapuskan “ongko” (klaim pengusaan/monopoli) para Bangsawan terhadap wilayah-wilayah tertentu pada danau tempe dan sekitarnya. Sri Baginda menegaskan statemennya yang terkenal, sbb : “Limangrupa appunnanna LaEga ri TanaE Wajo, iyanaritu : WaE BosiE, WatattanaE, Salo’E, TapparengngE na Tasi’E” (Lima hal yang menjadi kepunyaan khalayak umum di Kerajaan Wajo, yaitu : Air hujan, jalanan, sungai, danau dan lautan). Maka Sri Baginda amatlah dicintai oleh rakyat Tana Wajo. Namun setelah memerintah dengan bijaksana selama ± 5 tahun, La Passamula Datu Lompulle’ berpulang ke Rahmatullah dalam tahun 1897 di Batu-Batu (Marioriawa, Soppeng). Pada akhirnya, Sri Baginda digelar Petta MatinroE ri Batu-Batu.

La Passamula’ Arung Matoa Wajo MatinroE ri Batu-Batu adalah Raja Wajo penutup dalam kurun abad 19. Memasuki paruh awal abad 20, pemerintahan Kolonial Belanda memulai menanamkan segenap daya imperialismenya pada segenap kerajaan diseluruh Nusantara dengan visi yang berbeda dari sebelumnya, sebagaimana yang mereka sebut sebagai Pax Nederlandica.
------------------------------------------------------- 
3). Lontara AttoriolongngE TanaE ri Wajo menerangkan : “..namuka punnainna Ewangeng marajana naritellana Batara Wajo”.


Bahwa perlunya situasi aman dan damai pada seluruh negeri-negeri kawasan Nusantara dalam naungan Kerajaan Nederland adalah prioritas utama untuk menjamin lancarnya penanaman modal untuk hasil berkesinambungan. Maka secara otomatis pula, motivasi perlawanan para patriot Sulawesi Selatan berganti haluan pula. Jika sebelumnya aksi perlawanan dalam kurun abad 19 adalah bertujuan menolak bercokolnya kembali kekuasaan Belanda di Sulawesi Selatan pada pasca kekuasaan Inggris, kini berganti pada penolakan secara total terhadap kehendak Belanda yang terang-terangan ingin menguasai sepenuhnya sebagai bagian dari Kerajaan Nederland 4).

Pada tahun 1900, La Pawawoi KaraEng SEgEri ArumponE XXXI memulai perselisihannya dengan Belanda. Pertentangan itu kemudian mencapai puncaknya dan meletuskan perang frontal yang dimulai pada tanggal 20 Juli 1905 dan berakhir pada 14 Desember 1906. Perlawanan sengit yang merengut jiwa para putera puteri terbaik Tana Bone, diantaranya Baso Abdul Hamid Pagilingi Petta PonggawaE yang gugur demi membela harkat dan martabat bangsanya dengan melindungi keselamatan ayahandanya, yakni : La Pawawoi KaraEng SEgEri ArumponE XXXI. Demi melihat puteranya tercinta gugur, ArumponE La Pawawoi menawarkan gencatan senjata dan selanjutnya ditawan serta diasingkan ke Bandung.

Perlawanan di Tana Bone rupanya menyulut perlawanan anak negeri pada kawasan lainnya, yakni kawasan LimaE Ajatappareng yang bermula pada penyerangan Belanda ke JampuE.  Kemudian perjuangan itu akhirnya menyatu dengan perlawanan Kerajaan Gowa ketika Somba Gowa I Makkulawu Sultan Husain KaraEng LEmbang Parang memimpin langsung lasykar Gowa  memaklumkan perang dengan Belanda pada tanggal 20 Oktober 1905. Sri Baginda Raja Gowa bersama saudaranya (I Mangngimangi KaraEngta Bontonompo) dan kedua puteranya (I Mappanyukki Datu Suppa dan I Panguriseng Arung Alitta) meninggalkan Istananya di Jongaya menuju kawasan Ajatappareng. 

Maka dalam kurun waktu yang sama pada 1905, Belanda menghadapi perlawanan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan Barat yang antara lain MajEnE (Juni 1905), Sidenreng (Juni 1905) dan Luwu (September 1905).  Pada kondisi perlawanan segenap patriot Sulawesi Selatan dan Barat atas kehendak imperialisme Belanda inilah, berselang 3 tahun setelah wafatnya La Passamula Arung Matoa Wajo MatinroE ri Batu-Batu, dinobatkanlah Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE sebagai Arung Matoa Wajo XLIII yang dilantik pada tanggal 11 Pebruari 1900.
-------------------------------------------------------------- 
4).   Sesudah Inggeris mengembalikan pemerintahan Hindia Timur kepada pemerintah Kerajaan Belanda, Gubernur Jenderal Baron Van der Capellen tiba di Makassar pada tanggal 4 Juli 1824 untuk berunding dengan Raja-Raja di Sulawesi Selatan. Pada perundingan tersebut, pihak Gubernemen Belanda menyodorkan naskah perjanjian “Vernieuwd Bongaisch Contract” (Pembaharuan Perjanjian Bongaya). Namun sebagian besar Raja-Raja yang hadir tidak menyetujui perjanjian tersebut, dipelopori oleh La MappangEwa Arung Lompu (pemimpin delegasi Kerajaan Bone) yang mana dianggapnya tidak berkesesuaian dengan prinsif kemitraan setara sebagaimana pada awalnya diera pemerintahan Arung Palakka Petta MalampE’E Gemme’na ArumponE MatinroE ri Bontoala.

Sri Baginda Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE sesungguhnya adalah bersaudara sepupu sekali dengan Arung Matoa pendahulunya, yakni : La Passamula Datu Lompulle’ MatinroE ri Batu-Batu. Ayahanda keduanya, yakni : Toappatunru KaraEngta BEroanging adalah saudara seayah lain ibu dengan La Patongai Datu Lompulle’ Ranreng Talo’tenrEng XX (ayahanda La Passamula dan La Mangkona TorawE Petta PajungpongaE). Demikian pula dengan perhubungannya dengan Addatuang Sidenreng, Ishak Manggabarani adalah bersepupu sekali pula dengan La Sadapotto Addatuang Sidenreng bersaudara. Toappatunru KaraEngta BEroanging (ayahanda Ishak Manggabarani) adalah bersaudara kandung dengan La Panguriseng Addatuang Sidenreng MatinroE ri MassEpE. 

Kemudian perhubungannya dengan Somba Gowa, Ishak Manggabarani adalah bersepupu sekali jua dengan I Malingkaan Dg. Manyongri KaraEngta Katangka Sultan Muhammad Idris Somba Gowa XXXIII. Ibunda Ishak Manggabarani, yakni : I Madellung KaraEng TanEtE adalah bersaudara kandung dengan ayahanda Sultan Muhammad Idris, yakni : I Kumala Sultan Abdul Kadir KaraEng LEmbangparang Somba Gowa XXXII. Maka Ishak Manggabarani adalah terhitung paman dari Raja Gowa yang berkuasa pada masa itu, yaitu : I Makkulawu Sultan Husain KaraEng LEmbang Parang Somba Gowa XXXIV (putera Sultan Muhammad Idris).

Berada dalam lingkaran kekerabatan dekat dengan para penguasa paling berpengaruh pada zamannya, disamping pula sebagai raja pada salahsatu kerajaan utama di Sulawesi, kiranya tidaklah mudah dijalani seorang tokoh besar sejarah sepanjang zaman. Terlebih pula jika para kerabat penguasa itu memiliki prinsif berbeda yang disesuaikan dengan kondisinya masing-masing. Namun sejarah pula telah membuktikan seorang tokoh Ishak Manggabarani mampu memimpin Tanah Wajo yang kacau balau selama 16 tahun dan tidak tergantikan hingga wafatnya dalam bulan Maret 1916 di Parepare. Lebih dari itu, mampu memposisikan diri sebagai “Tokoh Netral” yang dipandangnya demi kebaikan rakyat negeri yang dipimpinnya dengan mengatur garis kebijakan pokok pemerintahan Tana Wajo dari rumah kediamannya diluar Tana Wajo, yakni : Parepare. Maka Sri Baginda Ishak Manggabarani adalah seorang Leader dan Manager brillian yang jauh melampaui zamannya.




B. PANGERAN HARTAWAN

“KaraEng MangEppE” adalah gelar tahta pertama Pangeran Ishak Manggabarani yang diwariskan oleh pamandanya yang amat mencintainya, yaitu : La Cincing Akil Ali KaraEng MangEppE Datu Pammana Arung Matoa Wajo XL MatinroE ri Cappa’galung.

Sebelum dinobatkan menjadi Arung Matoa Wajo XLIII, Ishak Manggabarani adalah seorang pangeran yang kaya raya. Hubungan kekerabatannya selaku sepupu sekali Addatuang Sidenreng dan permaisurinya (La Sumange’rukka Addatuang Sidenreng bin La Panguriseng dan We Sima’tana Arung Tellu Latte’ Sidenreng binti La Cincing Akil Ali) adalah sedemikian rapatnya, sehingga aktifitasnya lebih banyak berkiprah di Sidenreng dan daerah taklukannya.

Tersebutlah pada abad 19, Kerajaan Binuang dan Tonyamang di daerah Mandar adalah suatu kawasan yang takluk dibawah perlindungan Sidenreng dan Gubernemen Hindia Belanda. Suatu kawasan taklukan yang dihibahkan oleh Arung Palakka Petta MalampE’E Gemme’na kepada Addatuang Sidenreng dalam abad sebelumnya 5). Maka Addatuang Sidenreng beserta kerabatnya senantiasa memiliki aset berupa tanah pantai/perkebunan dan persawahan yang luas pada kedua wilayah di Tanah Mandar tersebut, tidak terkecuali : Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE.

Pada  suatu  Lontara Binuang berbahasa Bugis tertanggal 22 Jumadilakhir 1315 H (1894)6), diuraikan suatu Berita Acara penebusan gadai oleh We Sima’tana dalam kedudukannya selaku Arung Tellu Latte’ Sidenreng kepada Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE. Bahwa kas Kerajaan Sidenreng pada suatu ketika memerlukan bantuan keuangan, digadaikanlah Tana Libukeng TengngaE di Tonyamang. Hingga kemudian ditebus kembali kepada KaraEng MangEppE dengan sejumlah harta : 1.575 keping suku-suku emas, 121 keping ringgit emas dan rupiah emas 32 keping. Sedemikian kayanya, sehingga mampu memberi bantuan pinjaman lunak kepada salahsatu kerajaan terbesar di Sulawesi Selatan.

Kiprahnya di Tanah Mandar senantiasa berkelanjutan, bahkan ketika telah dinobatkan menjadi Arung Matoa Wajo. Pada Lontara Wari 7) Arung Binuang menguraikan tata pranata dalam menjamu kunjungan Raja-Raja Besar, diantaranya disebutkan : Petta Arung MatoaE Manggabarani. 

--------------------------------------------------
5). Inhoud Lontara’ No. 130 (hal. 119-120), Pemda Tk. I Sulawesi Selatan – 1980.
6). Inhoud Lontara’ No. 130 (hal. 117-118), Pemda Tk. I Sulawesi Selatan – 1980.
7). Inhoud Lontara’ No. 130 (hal. 120-124), Pemda Tk. I Sulawesi Selatan – 1980.


Pada sumber lain, bahwa ketika KaraEng MangEppE membuka pemukiman  PolEwali (Polman), beliau mengatur kedua puteranya selaku penguasa kawasan tersebut, sebagaimana disebutkan : 1. I ParEnrEngi Dg. PabEso KaraEngta TinggimaE Datu Suppa Toa Arung Malolo Sidenreng Rappang, diarahkan sebagai penguasa kawasan pegunungan (darat), dan 2. I Bannya’ Dg. Mattawang KaraEngta Jarana’, diarahkan menjadi penguasa pesisir dengan banyak mencetak empang dan perkotaan pantai.

Hubungannya dengan penguasa-penguasa sekitar PolEwali sedemikian baiknya, sehingga salah seorang puteranya dinikahkannya pula dengan puteri I Coma’ Arung Batulappa sehingga melahirkan La Tenri Arung Batu Lappa. Maka beliau sesungguhnya adalah seorang Tokoh Pioneer yang bervisi futuristik sehingga sukses berkiprah pada suatu negeri yang jauh dari kampung halamannya.

Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE’ mestilah seorang tokoh fenomenal yang berkepribadian kuat dan berkarakter khas. Keunikan cara pandangnya dapat dilihat ketika menamai putera puterinya dengan nama-nama hewan kesayangannya, antara lain : I Tedong, I Sapi, I Kiti’, I Bannya’, I Manila, I Burung, I Nuri, dll. Suatu hal yang tentu saja dimaksudkan bukan sebagai pelecehan terhadap darah dagingnya, melainkan sebagai “panggilan sayang” kepada turunannya tersebut. Beliau mestilah seorang yang memiliki kegemaran khusus dalam berternak dan berkebun.
Semasa menetap di Wajo, Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE adalah pemilik SaorajaE di Palaguna, Pammana. Beliau pula memiliki tanah perkebunan dan persawahan yang luas. Sebagaimana yang dikisahkan oleh orang tua-tua di Pammana, bahwa KaraEng MangEppE ketika ingin mensurfei tanahnya, haruslah naik perahu melalui danau-danau kecil di Pammana dari suatu lokasi ke lokasi yang lainnya. Salahsatu peninggalannya yang masih dapat dilihat hingga kini adalah tanaman sawo yang banyak tumbuh di Palaguna. Tanaman-tanaman sawo itu diperintahkannya untuk dibawa dari Gowa untuk ditanam di wilayah Pammana. Hingga pada beberapa tahun yang lalu, didapati sebatang pohon sawo sebesar sepelukan orang dewasa yang tumbuh di Palaguna.
Sri Baginda pula adalah seorang tokoh yang berpandangan universal serta mampu menempatkan diri pada posisi netral dalam setiap kondisi yang dipandangnya dapat mendatangkan keselamatan bagi rakyatnya. Walaupun ia bukanlah seorang Pro terhadap Pemerintah Hindia Belanda namun beliau dapat berhubungan secara normal dengan kalangan petinggi Gubernemen di Juppandang (Makassar). Bahkan salahseorang isterinya adalah seorang berkebangsaan Belanda bernama : Nancy yang melahirkan putera beliau, yakni : K. A. Prins Manggabarani (I Buleng Dg. Maraja KaraEngta Bontolanra).

C.  ARUNG MATOA WAJO YANG DISEGANI
Sebagai raja pada Negeri Wajo yang belumlah pulih dari kekacauan berkepanjangan sejak beberapa Arung Matoa sebelumnya kiranya suatu amanah yang maha berat. Pada tahun 1905, setelah 5 tahun memangku jabatan tersebut, meletuslah perang antara Bone dengan Pemerintah Hindia Belanda. Walau melancarkan perlawanan dengan segenap kekuatan yang ada, namun Raja Bone La Pawawoi dan puteranya (abdul Hamid Baso Pagilingi Petta PonggawaE) tetaplah terdesak sehingga haruslah menyingkir keluar dari Wilayah Tana Bone sambil menerapkan strategi perang gerilya. Maka Tana Wajo adalah salahsatu negeri diluar Tana Bone yang membantu misi penyelamatan ArumponE itu, disamping lasykar Sidenreng dan Gowa yang dipimpin langsung oleh La Temmupage’ Dg. Parenring Arung Labuaja 8).
Kepemimpinan Arung Labuaja terhadap pasukan gabungan Wajo, Gowa dan Sidenreng ini dapatlah dimengerti bahwa pada posisinya, Sri Baginda Ishak Manggabarani tidaklah secara terang-terangan mengambil langkah permusuhan frontal dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda. Namun membela jiwa La Pawawoi adalah panggilan kewajiban “pessE” (solidaritas) baginya. Bagaimanapun, mereka adalah sesama turunan La Toappo Arung Berru Addatuang Sidenreng. Terlebih pula kekerabatan dekat mereka melalui garis ibunda mereka yang sesama puteri Gowa.
Bantuan Arung Matoa Wajo ini amatlah berarti bagi ArumponE La Pawawoi. Pada masa itulah, ArumponE menganugerahi gelar Jenderal Kehormatan Kerajaan Bone kepada Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE. Kemudian puteranya, yakni : La CapontE’ Dg. Bella yang secara langsung membantu perlawanan ArumponE dilantik pula sebagai Dulung Pitumpanua9). Pada akhirnya setelah sekian lama menjadi wilayah Kerajaan Bone, negeri Pitumpanua dapat diraih kembali menjadi  wilayah Tana Wajo berkat usaha Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE Arung Matoa Wajo XLIII.
------------------------------------------------------ 
8).  Goenawan M. dkk ; Empat Pahlawan Dari Sulawesi Selatan, Lamacca Press 2004 – Makassar (hal.103). Sementara pada Lontara AttoriolongngE ri Wajo (salinan) dikemukakan bahwa dukungan Ishak Manggabarani Arung Matoa Wajo terhadap perjuangan La Pawawoi KaraEng SEgEri disebutnya : “Nariwettunna Arung Matowa narimusu Bone ri taung 1905. Iya riwettuE ritu natombongiwi To BonE..”.
9).   Pitumpanua yang mewilayahi Siwa dan Boriko’ sesungguhnya adalah negeri yang dulunya dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Luwu yang diserahkan sebagai hadiah kepada Kerajaan Wajo dalam era La Tadampare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo IV pada abad 15. Namun kemudian pada paruh ke-3 abad 17, gabungan anak negeri yang terletak pada perbatasan Wajo dan Luwu tersebut direbut oleh Arung Palakka Petta MalampE’E Gemme’na ketika dalam rangka penyerangannya kepada Datu Luwu La Palissubaya Baso Langi Dg. Mattuju Sultan Nazaruddin. Hingga kemudian, wilayah tersebut menjadi wilayah anak negeri Tana Bone sehingga salah seorang putera ArumponE La Temmasonge’ MatinroE ri Mallimongeng, yakni : La Makkasau Arung KEra diangkat menjadi Dulung Pitumpanua.

Pada tahun yang sama, yakni pada tanggal 12 Juni 1905, pasukan Pemerintah Hindia Belanda memulai pula serangannya pada Kerajaan Sidenreng. Masa yang berat bagi La Sadapotto Arung Rappang yang kemudian baru saja dilantik pula menjadi Addatuang Sidenreng. Ia segera menyusun suatu barisan pertahanan di Lainungan dengan menunjuk pula I ParEnrEngi Dg. PabEso KaraEngta TinggimaE menjadi Arung Malolo Sidenreng dan Rappang yang memimpin barisan lasykar Sidenreng dan Rappang. Pertempuran sengit antara Belanda dengan pasukan gabungan Sidenreng Rappang berlangsung hingga Agustus 1905. Nantilah setelah banteng pertahanan Lajawa dan KapE dapat dikalahkan, barulah pasukan Belanda dapat menembus perambahannya hingga ke Allakuang (Ibukota Sidenreng) dan berhasil menawan La Sadapotto Addatuang Sidenreng pada tanggal 11 September 1905.
Tertawannya Addatuang Sidenreng tidaklah melemahkan semangat KaraEngta TinggimaE. Putera Arung Matoa Wajo tersebut bahkan semakin gencar melakukan serangan kepada Belanda. Hingga kemudian pada tanggal 5 Desember 1905, terjadilah pertempuran sengit antara KaraEng TinggimaE dengan pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Blok di Langcirang 10). Namun rupanya inilah pertempuran terakhir bagi Panglima Sidenreng dan Rappang ini karena berhasil ditawan pada keesokan harinya, yakni : 6 Desember 1905.
I ParEnrEngi Dg. PabEso bersama pasukannya yang telah dilucuti persenjataannya dibawa ke Suppa’, kerajaan tempatnya bertahta selaku Datu Suppa Toa. Berbeda dengan tokoh perjuangan lainnya, KaraEngta TinggimaE bersama pasukannya tidaklah dipenjarakan dalam suatu sel kurungan atau dibuang ke negeri yang jauh. Gubernur C.A. Kroesen memerintahkan penahanan rumah bagi KaraEngta TinggimaE dan lasykarnya.
Maka dipilihkanlah suatu area seluas 50 ha dalam wilayah Kerajaan Suppa yang diberi pagar besi sekelilingnya, area penahanan I ParEnrEngi Dg. PabEso KaraEngta TinggimaE Datu Suppa Toa beserta lasykarnya yang kini menjadi suatu kampung bernama Palla’ BessiE. Perlakuan khusus ini adalah kebijakan tersendiri dari Pemerintah Hindia Belanda kepada Datu Suppa Toa yang oleh banyak kalangan menilainya sebagai rasa segan C.A Kroesen terhadap Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE Arung Matoa Wajo, ayahanda I ParEnrEngi Dg. PabEso KaraEngta TinggimaE.
--------------------------------------------- 
10). Sarita Pawiloy, Drs ; Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan , Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Sulawesi Selatan -1985.




Tana Wajo, setelah wafatnya La Tune’ Mangkau’ Petta MatinroE ri Tancung Ranreng BEttEmpola XXIII, terjadilah perebutan kedudukan Ranreng BettEmpola diantara anak dan kemenakannya, yakni : La Gau’ dan La Mangkona To RawE Petta PajumpongaE. La Gau’ Ranreng BEttEmpola XXIV adalah putera sulung La Tune’ Mangkau’. Sementara La Mangkona To RawE adalah putera La Patongai Datu Lompulle’ Ranreng Talo’tenrEng XX dengan We Kalara’ Ranreng BEttEmpola XXI (kakak La Tune’ Mangkau’) 11). Maka perselisihan antar kedua sepupu sekali sekaligus ipar ini 12) semakin ramai karena La Mangkona didukung oleh We PalettEi Petta Cakkuridi ri Wajo.
Perlu dikemukakan, bahwa jabatan Ranreng BEttEmpola di Tana Wajo adalah suatu jabatan vital sehingga disebut sebagai : Inangna Wajo (Ibunya Wajo). Ialah yang menjadi pusat kontrol terhadap tindak prilaku dan kebijakan seorang Arung Matoa Wajo. Ranreng BEttEmpola pula yang menggagas musyawarah dengan para ranreng dan pejabat hadat lainnya. Maka dalam sejarah Wajo, beberapa Arung Matoa Wajo sebelumnya dimakhzulkan dari jabatannya atas peran utama Ranreng BEttEmpola. Maka pertikaian dalam keluarga trah BEttEmpola sesungguhnya adalah permasalahan yang amat serius.
Terlebih pula bagi Sri Baginda Ishak Manggabarani secara pribadi. Bagaimanapun, La Mangkona To RawE Petta PajumpongaE adalah sepupu sekalinya sendiri. Beliau adalah putera La Patongai Datu Lompulle’, saudara seayah Toappatunru’ KaraEng BEroanging (ayah Ishak Manggabarani). Namun mencampuri persoalan kedalam pada trah paling berpengaruh di Tana Wajo itu sesungguhnya adalah hal yang amat riskan.
Belumlah persoalan tersebut didamaikan, terjadi pula pertikaian antara La Tonggo’ SengngoE dengan La Mangkona To RawE Petta PajumpongaE. Lagi-lagi To RawE yang membuat ulah !. Sepupu sekalinya sendiri, sebagaimana semua orang tahu itu. Bahkan pertikaian ini kemudian memakan korban pada kedua belah pihak, antar sesama rakyat Wajo sendiri. Sementara yang paling mengecewakan adalah kerusuhan dan pertikaian itu justru dimulai oleh tokoh-tokoh Wajo yang berpengaruh sebagaimana diistilahkan : Puang Paoppang PalEngengngiE TanaE Wajo (para pertuanan yang berwenang menelungkupkan dan menelentangkan Tana Wajo). Orang-orang yang semestinya senantiasa memikirkan kebaikan Tana Wajo sebagaimana diwasiatkan dan dipusakakan pendahulunya, La Tadampare’ Puang ri Maggalatung dan La MungkacE To Uddama.
--------------------------------------------
11). Hal yang menurut La Mangkona, bahwa wafatnya Ibundanya (WE Kalara’) ketika ia masih kecil, lalu digantikan oleh pamannya, yakni La Tatta Raja DEwa Ranreng BEttEmpola XXII (kakak La Tune’ Mangkau). Kemudian setelah La Tatta Raja DEwa mangkat, jabatannya beralih kepada La Tune’ Mangkau’ Ranreng BEttEmpola XXIII. Hingga setelah La Tune’ Mangkau’ wafat, semestinya jabatan itu diwariskan kepadanya (La Mangkona) sebagai sulur pewaris pertama.
12). We Gallong Arung Liu MajjumbaE (adik La Gau) adalah isteri La Mangkona To RawE Petta PajumpongaE.

Kegundahan Sang Arung Matoa ini sedemikian berlarut-larut hingga tak tertahankan lagi. Pada suatu hari Sri Baginda meninggalkan Tana Wajo, bertolak menuju Parepare dengan terlebih dahulu singgah di Sidenreng pada sepupu sekalinya. Ishak Manggabarani lebih memilih untuk tinggal di Parepare seraya tetap memikirkan kebaikan Tana Wajo. Ketiadaannya di Wajo justru kemudian menyadarkan pihak-pihak yang bertikai. Ketiga Ranreng dan ketiga BatE Lompo di Wajo menyatu kembali. Mereka yang dalam kesatuannya dikenal sebagai Petta EnnengngE tersebut pada suatu hari bersepakat untuk memanggil kembali Petta Arung Matoa Ishak Manggabarani ke Wajo. Namun berkali-kali diupayakan, keputusan Arung Matoa ini tidaklah bergeming.
Hingga kemudian, Lontara AttoriolongngE ri Wajo menuliskan : “..ri 16 uleng dEsEmbErE ritaung 1916 namatE ri ParEparE ri bolana ana’na riasengngE La ParEnrEngi KaraEng TinggimaE DatuE ri Suppa “ (..pada tanggal 16 Desember 1916 wafatlah beliau di Parepare di rumah puteranya yang bernama La ParEnrEngi KaraEng TinggimaE Datu Suppa).
Wafatnya seorang Raja yang kharismatik, senantiasa sulit mendapatkan penggantinya. Sepeninggal Sri Baginda Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE Arung Matoa Wajo MatinroE ri Parepare yang telah memangku jabatan Arung Matoa Wajo selama 16 tahun, maka jabatan Arung Matoa Wajo lowong selama 10 tahun. Adapun halnya Wajo tanpa Arung Matoa, pemerintahan dikendalikan oleh La Gau’ Arung BEttEmpola, La Samallangi KaraEng Tompoballa Ranreng Talo TenrEng, TalEbbe’ Ali Arung Ujung Ranreng Tuwa serta ketiga PabbatE Lompo lainnya. Hingga pada tanggal 22 Desember 1926 dinobatkanlah La OddangpEro Arung PEnEki Datu Larompong Petta MatinroE ri Masigi’na TEmpE menjadi Arung Matoa Wajo XLIV.










D.  KESIMPULAN
Gowa, pasca penandatanganan perjanjian Bongaya. Dihadapan para panglima dan sekutunya yang bersikeras melanjutkan peperangan mereka dengan VoC dan Arung Palakka, Sultan Hasanuddin berujar : “Keberanian tidaklah cukup sebagai bekal kepemimpinan, lebih dari itu juga membutuhkan kearifan”.
Kiranya inilah  yang menjadi dasar kebijakan dalam segala tindakan Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE Arung Matoa Wajo. Hingga pada suatu hari, Sri Baginda menasehatkan kepada puteranya (I ParEnrEngi KaraEngta TinggimaE Datu Suppa Toa), bahwa suatu bentuk perjuangan tanpa kemampuan dan kekuatan yang memadai hanyalah suatu kesia-siaan 13).
Kondisi Wajo pada tahun 1900 (awal mula dinobatkannya sebagai Arung Matoa Wajo) sangatlah buruk. Para pemimpinnya saling bertikai diantara mereka, maka rakyat Wajo pula yang menjadi korban. Situasi dan kondisi yang jelas berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain disekitarnya pada masa itu. Akhirnya dapatlah dimengerti bahwa tahun-tahun pertama kepemimpinannya di Tana Wajo, Sri Baginda lebih memprioritaskan konsolidasi dengan para pemimpin Wajo (Petta EnnengngE) serta mengupayakan untuk memajukan sektor perkebunan dan pertanian. Hal ini dapat dilihat pada tindakan beliau dengan memerintahkan untuk mengambil bibit tumbuhan sawo di Gowa untuk ditanam di Palaguna yang tentu saja bukanlah sekedar penyaluran hobby belaka.
Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE adalah tokoh kharismatik yang memenuhi tugas kesejarahannya. Beliau tidak secara berterang mengangkat senjata untuk memerangi Pemerintah Hindia Belanda karena kondisi amanah yang diembannya lebih memprioritaskan kesejahteraan rakyatnya. Namun sejarah kemudian mencatat bahwa anak keturunan dan menantu-menantunya adalah tokoh utama dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

********

---------------------------------------------------------------- 
13).   Pada nasehatnya tersebut, Ishak Manggabarani berkata : “Aja’na muEwai TomarajaE narEkko patappulomi kajunna ballili’mu, muappaunuang bawammi joamu..” (usahlah kau melawan Belanda jika senapanmu hanyalah 40 pucuk, kau hanya akan mengakibatkan pengikutmu terbunuh..).




DAFTAR BACAAN DAN INFORMAN
1.      Lontara AttoriolongngE TanaE ri Wajo; salinan A. Muh. Ridha (tanpa tahun),
2.      Lontara Atoreng Toriolo (inhoud Lontara’ No. 130); Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, Makassar (1980),
3.      Sarita Pawiloy, Drs ; Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan , Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Sulawesi Selatan, Makassar (1985),
4.      Goenawan M. dkk ; Empat Pahlawan Dari Sulawesi Selatan, Lamacca Press– Makassar, (2004),
5.      Wawancara dengan Drs. Andi Ahmad Beso Manggabarani (56 tahun) di Parepare.

Mendulang Keluhuran







MENDULANG KELUHURAN DARI ADE’ PURANRONA SIDENRENG
By. La Oddang

“History is about peoples”, kata Ernest Hemingway. Bahwa penulis dan pelaku sejarah pada latar Perang Dunia II tersebut memaknai pengalaman kesejarahan berdasarkan prilaku dan waktu. Maka bagaimana kiprah dan prilaku kita hari ini, begitu pula waktu menuliskan atas dasar penilaian orang-orang sekitar kita, sebagaimana kemudian dibaca dan ditelaah oleh generasi mendatang.

Bahwa cendekiawan NEnE Mallomo To MulaE DEcEng ri SidEnrEng kemudian menorehkan kiprahnya yang dapat ditelaah hingga pada masa ini, yakni : “ade’ puraonrona SidEnrEng, iyanaritu : Ade’ MappuraonroE, Wari rialitutui, janci ripEasseri na rapang ripasanrE.” (Adat Ketetapan Sidenreng, yaitu : Adat yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan, Pranata yang terpelihara, Janji yang dikuatkan dan Sejarah yang tak terabaikan). Kemudian para cendekiawan pada masa-masa setelah masuknya syiar Islam di Sidenreng menambahkan ke-4 azas tersebut dengan tidak merubah nilai-nilainya, yakni : Naiyya natettongiE limampuangngE ade’ puraonrona SidEnrEng, iyanaritu : Ade’ MappuraonroE, Wari rialitutui, janci ripEasseri, rapang ripasanrE, na agama ritanrErE berre’” ( Bahwa yang menjadi dasar dari Lima pilar Adat Ketetapan Sidenreng, yaitu : Adat yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan, Pranata yang terpelihara, Janji yang dikuatkan, Sejarah yang tak terabaikan dan Agama yang ditinggikan).

Mencermati perkembangan azas dari masa Pra-Islam ke masa Pasca Islam tersebut, maka sesungguhnya nilai-nilai yang menjiwai “Ade’ Puraonrona Sidenreng” sesungguhnya tidak ada yang berubah, namun ditambahkan nilai “Sara’” (Syariat Islam) sebagai penguat ke-4 Pilar sebelumnya. Hal yang sesungguhnya mestilah telah diperhitungkan dengan cermat oleh penggagasnya, bahwa azas-azas tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan seluruh azas kebaikan dari segala zaman. Maka kemudian, Ade’ Puraonrona Sidenreng dipertegas sebagai suatu ketetapan yang senantiasa berpihak kepada pemenuhan azas keadilan dan kerakyatan, yakni :  Bicara malempu na gau’ patuju , pangkaukeng tongeng, winru sitinaja, pabbatang masse’ dEcEng mallebbangngE (Perkataan jujur yang diselaraskan dengan perbuatan, Prilaku yang senantiasa berpedoman kepada kebenaran, Tindakan yang senantiasa berkesesuaian, Kelembagaan yang kokoh dengan senantiasa menyuarakan kebaikan bagi semuanya).

Selain dari azas yang dibentengi dengan penegasan terhadap visi kemaslahan umum tersebut, maka dilapisi pula dengan lapisan lain yang semakin menguatkannya, yakni : Taro Bicaranna Sidenreng (Ketetapan Hukum Sidenreng), yaitu : “Malukkaa’ taro Datu, temmalukka taro ade’. Malukkaa’ taro ade’, temmalukkaa’ taro anang. Malukkaasi taro anang, temmalukkaa’ taro maranang” (Ketetapan Raja dapatlah dibatalkan, namun ketetapan adat tidaklah terbatalkan. Ketetapan Adat dapat pula dibatalkan, namun ketetapan rumpun keluarga tidaklah terbatalkan. Ketetapan rumpun keluarga-pun dapat dibatalkan, namun ketetapan Rakyat tidaklah terbatalkan).

Pada ke-5 Azas yang menjadi pilar “Ade Puranrona Sidenreng” sebagaimana dikemukakan diatas, maka 2 diantaranya yang senantiasa disesuaikan dari zaman ke zaman, yakni : Wari rialituti dan Rapang RipasanrE, sebagaimana diuraikan sebagai berikut :

1. Wari rialitutui (Pranata yang terjaga)

Bahwa “pranata” bukan semata dimaksudkan sebagai “pembeda” antar lapisan masyarakatnya, melainkan menciptakan tatanan keorganisasian (organization chart) dalam mewujudkan ketertiban umum. Hal yang menggambarkan bahwa masyarakat yang sejahtera mestilah terdiri dari masyarakat yang tertib dan terpimpin menurut nilai tradisinya masing-masing. Maka dalam mewujudkan ini, senantiasa diberlakukan atribut-atribut kewenangan dan tanggung jawab yang disertai tata protokoler yang terjaga.

Kerajaan Sidenreng sebagai Kerajaan Terkemuka diantara ke-4 Kerajaan dalam wilayah Ajatappareng lainnya senantiasa mengemukakan Wari sebagai bias dari penerapan “bicara” (hukum) yang diberlakukan dalam wilayahnya. Bahwa salahsatu yang menjadi tolak ukur daripada kebesaran suatu Kerajaan pada masanya, yaitu : Sipakalebbi’E ri Bali Boccona (Saling Memuliakan antar Hubungan Bilateral) sebagai bagian terpenting dalam penerapan “Ade’ Maraja”. Salahsatu  fakta yang tereverensi menyangkut perihal tersebut adalah ketika Addatuanta La Cibu  sendiri menyonsong ArumponE BessE’ Kajuara untuk mengundangnya masuk kedalam wilayah kekuasaannya. Padahal dari segi silsilah, BessE’ Kajuara sesungguhnya adalah kemenakan dari Addatuanta yang bijak tersebut. Apalagi jika dipikir bahwa BessE Kajuara pada masa itu adalah seorang “Penguasa” yang kalah perang dan membutuhkan perlindungan. Namun tatanan “wari” tidaklah memandang situasi dan kondisi karena selalu dijiwai dengan “pessE” (solidaritas kemanusiaan) dan “getteng” (kedisiplinan yang teguh) pada nilai “Siri” (Harkat dan Martabat).

Pada masa kemerdekaan ini, setiap bekas kerajaan masih meninggalkan nilai tradisi Wari sebagai pertanda kebesaran masa lalu. Salahsatu yang masih dapat dilihat dalam hal ini adalah tradisi “Massobbi” atau “Mattampa Bali Datu” (penyampaian undangan perhelatan kepada sesama Raja) . Bahwa mengundang seorang berderajat “Datu/Bau” senantiasa diantarkan sendiri oleh pemuka rumpun keluarga yang hendak melaksanakan perhelatan sejumlah 12 (dua belas) orang, terdiri dari 6 lelaki dan 6 perempuan yang kesemuanya mengenakan baju adat lengkap. Kemudian pemilihan hari menyampaikan undangan tersebut senantiasa minimal 12 hari sebelum hari pelaksaan perhelatan.
Selain dari penyampaian undangan tersebut, hal yang tidak kalah pentingnya adalah penyambutan dan menempatkan para tamu terhormat tersebut sebagaimana layaknya. Maka setiap perhelatan jika hendak menjaga/melestarikan “wari” senantiasa menyiapkan protokoler yang biasa disebut  di Sidenreng sebagai “pattumaling” atau “pappatudang”.

Suatu hal yang “miris” dikemukakan disini, yakni pada beberapa waktu yang lalu, seorang sepupu penulis yang diundang dalam suatu acara perhelatan kerajaan Bugis sebagai perwakilan dari Kedatuan Pammana. Beliau bermalam di rumah penulis dengan harapan agar tidak terlambat menghadiri acara perhelatan yang sedianya dilaksanakan pada jam 9.00 Wita, menurut yang tertera pada undangan. Pagi-pagi sekali beliau YM. Perwakilan Datu Pammana sudah mengenakan busana adatnya secara lengkap kemudian berangkat menuju tempat acara. Namun 1 jam kemudian beliau kembali ke kediaman kami dengan wajah keruh, menggambarkan kekecewaan. Hal yang tidak disangkanya, ketika tiba di tempat acara berlangsung menurut undangan, ternyata acaranya digeser pada malam hari disebabkan hal yang tidak dapat saya sampaikan disini. Namun terlebih-lebih mengecewakan, ketika beliau bertanya pada beberapa orang yang “menurutnya” adalah “panitia acara” perihal acara tersebut, “orang yang ditanya” tersebut berteriak : “Tidak jadiki, Pak ! Malampi kita dating !”. Subhanallah, seorang perwakilan DATU PAMMANA  Yang Mulia diperlakukan demikian dalam suatu perhelatan adat.

Tiada lain yang dapat dikatakan oleh “Perwakilan Kedatuan Pammana” tersebut kepada kami , yaitu : “Tania Gau’ Arajang, ndi’.. ORGANISASI KEPEMUDAAN ji palE’na”. Penulis hanya bisa terpana dan bertanya-tanya dalam hati, “Memang apa saja yang hendak dilestarikan selain NILAI SIPAKALEBBI ?”. Sedangkan “Bali Arungna” saja tidak dimuliakan, bagaimana lagi dengan khalayak Sesama ANAK NEGERI-nya sendiri ?, Wallahualam.

Bahwa tidaklah mungkin melestarikan semua nilai-nilai lama dengan  tidak mengkondisikan dengan situasi dan kondisi masa sekarang. Namun ada hal-hal tertentu yang tidak boleh tidak haruslah dilestarikan menurut kebiasaan lama. Sebagai contoh : Jika pada jaman dulu, 12 orang naik kuda atau bendi untuk menempuh perjalanan mengantar undangan ke Kerajaan Sahabat, namun sekarang tentulah mengendarai mobil. Maka sesungguhnya kondisi masa sekarang ini jauh lebih mudah untuk melaksanakan “gau’ sipakalebbi “ tersebut. Namun ada saja yang mengatakan : “Lain dulu, Lain sekarang”. Tetapi apakah tidak “riskan” jika pengedaran undangan pengantin saja menuruti ketentuan tersebut, sementara “perhelatan Adat Kerajaan” tidak dilaksanakan ?.

Hal lain yang tidak dapat diabaikan dalam pelestarian nilai-nilai lama menyangkut tata pranata dalam suatu adat kerajaan adalah “tata tertib berbusana”. Terkadang didapati “para hadat kerajaan” berfoto bersama dengan posisi yang sama, padahal diantara mereka sesungguhnya ada monarki. Semisalkan “songkok pamiring” antara “Arung Palili” (Raja Bawahan) yang tetap “berdiri tegak” sementara disampingnya ada pula “Datu Maraja” (Raja Pertuanan). Padahal semestinya songkok Arung Palili tersebut haruslah dimiringkan kebelakang atau kesamping. Demikian pula dengan  pemasangan keris Arung Palili, mestilah gagangnya ditutupi jika Raja Pertuanannya berada disekitarnya. Maka kiranya inilah yang dimaksud dengan “Maggau’ Sitinaja” (melaksanakan sebagaimana layaknya). Hendaknya diberlakukan skala prioritas, mana yang masih bisa dilestarikan dan mana yang sudah tidak perlu.

2. Rapang Ri PasanrE (Sejarah Yang Tak Terabaikan)

Sejarah menulis jatuh bangunnya seseorang, keluarga, kaum, umat, bangsa dan semua mahluk. Maka ia adalah ta'wil, cerminan ihwal bagi masa yang akan datang. Maka bagaimana menyikapi dan memutuskan langkah pasti kedepan, tergantung bagaimana memaknai sejarah pada saat ini, bersama jati diri yang ditemukan lewat jendela sejarah.

Sang Guru mengajarkan sejarah, ia mengutip setiap butir hikmah didalamnya, sebagai ibrah yang adiguna. Memaafkan dan berlaku adil, begitulah permata sejarah menamakan dirinya. Menghargai waktu dan arif bagi kehidupan di masa ini, demikian sejarah senantiasa menunjukkannya. Maka sejarah, sesungguhnya adalah "Ayat Allah" yang terukir pada sepanjang masa. Maka kehadiran manusia dengan kiprahnya di dunia fana ini tiada lain adalah memenuhi tugas  kesejarahannya sebagaimana diamanahkan ayat Allah SWT.

Maka dengan ini, perlu dikemukakan bahwa memaknai sejarah sesungguhnya haruslah melibatkan seluruh disiplin ilmu yang ada. Memahami sejarah dalam kurun abad terdahulu tidak dapat diterjemahkan menurut konteks berpikir kekinian. Serta tidak kalah pentingnya, perlu dipahami bahwa : Sejarah adalah ayat Tuhan, maka perlu pemikiran yang jernih dan adil untuk memahami ayat Tuhan tersebut. Pada akhirnya, selain dari penalaran dalam memahami dan menggali nilai kebudayaan masa lalu pada permukaan masa kini, alangkah baiknya jika didasari pula dengan “skala prioritas” atau “maggau’ sitinaja”.


Wallahualam Bissawab.