Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Kamis, 25 Agustus 2011

Telaga Hati


KALA..

Atas namamu
Tuhanku telah bersumpah
Pada tajam matamu
Junjunganku telah berwasiat
Maka dalam ruangmu
Kuberi sebutan bagimu
Sesuatu yang pantang bersurut langkah
Jika mesti mencuri dariku
Ambillah sedihku
Andai kau perampas segala ingatan
Bawalah sepotong episode
Tentang pergulatan takdir dan nasib


Senin, 15 Agustus 2011

Wari (pranata)

TUDANG MABBOSARA'

"..NarEkko papolEki minasa passobbi rigau' pabbottingengngE, ana'.. Aja' lalo tappa majjulEkka ri baruga lawa sojiE. TauwwEpa toripuasengngE punnaE gau' rEnrEngngi', ana'.. inappa mupajjulEkka ajEmu muselluki barugaE. Aja'to paimeng mutudang mapponglopi, namooni pattumalingngE jellokengki'.. sEsai dua tellu tudangeng riyasEmu nainappa muoloi olomu rilalengna sitinajaE.." (..Jika suatu ketika kau bermaksud menghadiri suatu undangan kehormatan pada acara pesta pengantin, anakku.. jangan sekali-kali engkau langsung memasuki "baruga" kehormatan. Nantilah orang yang ditunjuk selaku wakil Tuan Rumah yang membimbingmu memasuki tempat itu barulah kau langkahkan kakimu memasukinya, anakku.. jangan pula menduduki tempat yang paling tinggi dalam baruga itu, walaupun petugas protokoler yang menunjukkan tempat itu bagimu.. sisakan dua atau tiga tempat diatasmu, barulah engkau berlakukan hal yang sewajarnya..)..
...........................................................................................

Demikian sang Ayahanda berpesan kepada kami, puluhan tahun yang lalu. Suatu pelajaran protokoler etik yang sederhana namun kini kurasakan sebagai suatu pendidikan yang sarat makna. Kode etik ketika memasuki "Baruga Lawa Soji", tempat kehormatan adat yang disediakan bagi para turunan bangsawan. Pada uraian bersahaja ini, penulis bukannya ingin membahas perihal kriteria "tudangeng wari bosara" yang merupakan inti pengaturan pengadaan Bosara' itu sendiri, melainkan tentang nilai filosophis yang menjiwai keberadaan tatanan Bosara' itu sendiri.

"Kerendahan Hati", kiranya inilah yang ingin ditanamkan para leluhur bangsawan sejak jaman dulu sehingga para anak turunannya dipesan serta diwanti-wanti barulah diikutkan ke suatu pesta adat, terlebih jika sudah dipercaya untuk sewaktu-waktu mewakili orang tuanya. "..riyalai mariawaE na dE namariawa taba', ana'.." (..merendahkan diri bukannya berarti merendahkan martabat, anakku), demikian wasiatnya yang mulia. Senantiasa bersikap tawadlu dan ikhlas atas segala apa yang diterima menurut perlakuan umum terhadap diri dengan senantiasa menjunjung tinggi rasa "naisseng alEna" (mawas diri).

"..naEkia magani narEkko engka tau dE' napakalebbiki', etta ?.. nasaba toriyalani mariawaE, nasengtongenni' mariawa.." (..namun bagaimana sekiranya orang tidak memuliakan kita, Tuanku ? .. karena kita selalu merendah sehingga dikiranya kita betul-betul rendah..), tanyaku suatu waktu. Sang Ayahanda tersenyum lebar, seraya menjawab : "..iya tongengpa tamatuna, narEkko alEtamato dE naissengngi maggau' malebbi'E.. nasaba' ripakariawa manengngi tauwE, Ejaji nagettengngi' tauwE noo, napaccoEni' mariawa. Alai mariawaE, Ana'.. Naruiiko tauwwE mEnrE'." (..nantilah kita benar-benar terhina, jika diri kita sendiri tidak tahu berlaku mulia.. karena kita merendahkan semua orang, sehingga mereka menarik kita turun, maka kita menjadi ikut menjadi rendah. Selalulah merendah, anakku.. maka orang akan menarikmu pada tempat yang tinggi..). Maka "mulia" atau "hina" setiap pribadi, tergantung bagaimana memperlakukan diri dan orang lain ditengah kehidupan bermasyarakat.

"..magaijE' narisEsa dua tellu onrong tudangeng mariasE' ri Baruga Bosara'E, Etta ?" (..emang kenapa mesti menyisakan dua atau tiga tempat duduk dibagian atas dalam Baruga Bosara'E, Tuanku ?), tanyaku penasaran. "..EbarE' aja nariperrisi PunnaE gau', ana'.. NarEkko engka taupolE naripuasengngi iyasE'ta, Ebara'i DatuE.. dE'na mulEppa'i tudangengmu lao ri toddang nasaba' onrongmu mEmeng mutudangi. Manyameng tudangengmu.. malebbii wariimu, nasaba' muisseng alEEmu. Weddissi taupolEwE ronnang tania Datu, arE'ga pada sinranjatta, naEkiya macoai naidi'..sitinajai ritudang riyasE'ta. IyanaE riyaseng sipakalebbi singraja lebbi'ta.." (..tujuannya agar kita tidak mempersulit Tuan Rumah, anakku.. Apabila setelah kau, datanglah seorang tamu undangan yang sekiranya memiliki derajat lebih tinggi darimu, misalnya Sang Raja sendiri.. maka kau tidaklah mesti pindah duduk kebagian bawah karena kau telah menduduki tempatmu yang sesungguhnya. Maka sungguh menyenangkan tempatmu yang sekarang.. sungguh mulia adat pranatamu, karena kau tahu diri. Ataukah bisa saja yamu yang baru datang itu memiliki derajat yang sama denganmu, namun dia memiliki umur yang lebih tua darimu.. maka wajar pula jika ia duduk diatasmu. Inilah yang disebut dengan adat saling memuliakan..), jelas Sang Guru.

Duhai, indahnya perilaku mawas diri jika dijiwai keikhlasan dalam hati yang senantiasa bersyukur.... kiranya inilah ilmu yang dijanjikan beberapa derajat dimata Allah.SWT. Amin..


Wallahualam bissawwab..








Minggu, 07 Agustus 2011

Telaga Hati

MANUSIA BIASA


Jejak kebaikanmu
Tak pernah kutemukan lagi
Prilaku burukmu
Maka itulah kuukir pada sajak ini
Agar runtuhnya setetes air mata
Lestari tak terlupakan
katamu aku hanyalah manusia
Nama dari seberkas cahaya ruh
Terbungkus bersahajanya ragaku
Aku tak mengenal bentuk sebenarnya
Tentang ragamnya hati
Tiada lain yang menjadi penghias benakku
Dikala sadar hingga mengarungi mimpi
Katamu yang terakhir
Aku menyukainya..

Jumat, 05 Agustus 2011

Kajian Sejarah


LA PALLAWAGAU’, Tokoh Besar Yang Padam di Anak Negeri Perbatasan

Sekapur sirih

Kadang saya bertanya dalam hati, apa yang membanggakan bagi Belawa dimasa lalu sehingga konon kerap dikunjungi banyak Raja-Raja Besar dari seluruh penjuru TellumpoccoE (Bone, Wajo dan Soppeng) ?. Mereka datang bukan sekedar berkunjung, melainkan berziarah pada beberapa komplek pemakaman yang sesungguhnya nampak amat bersahaja. Maka jelaslah jika makam yang diziarahi itu adalah tempat bersemayamnya seorang tokoh besar yang  kerap kupertanyakan, yakni : La Pallawagau’.

Berawal dari interest Bp. Bakhtiar D. Lamallolongeng, seorang kerabatku yang amat saya hormati terhadap sosok ketokohan La Pallawagau’, sehingga sekilas pengenalanku tentang Baginda inilah, terwujud dalam sebuah uraian sederhana pada laman blog kita bersama ini. Sebuah tulisan yang tidak lebih sekedar “carita ri yaccaritang”. Bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai suatu bahan kajian karena sumber reverensinya lebih banyak berupa suntingan pengalaman pribadi dari mendengar dan mendengar, serta sedikit membaca yang diselingi dengan sedikit berpikir dalam proses perangkaiannya sebagai suatu tulisan sebagaimana adanya ini.

“agatu akko engka pada wedding icarita…”, kira-kira demikian yang ingin saya sampaikan pada Bp. Bakhtiar D. Lamallolongeng. Lebih dan kurangnya, “pada idi’ manengpa sining tomaleebbiku pada paggenne’i, iyarE’ga padEcEngiwi..”.




Gelar Anumerta yang Keramat !

Salahsatu pengalaman menyenangkan dimasa kecil di Belawa dulu adalah saat-saat menemani Ayahanda berziarah ke seluruh Jara’E (Komplek Pemakaman Raja-Raja) yang ada di beberapa tempat di Belawa. Biasanya kami melaksanakan ritual itu secara berombongan dengan segenap keluarga pada hari sesudah lebaran Iedul Fitri dan Iedul Adha. Terkadangpula dilaksanakan pada menjelang  memasuki bulan puasa. Pada saat itulah, ayahanda senantiasa menjadi penunjuk pusara sekaligus berkisah tentang hal ikhwal tokoh yang diziarahi itu.  Maka ragam kisah menarik mengalir lancar dari mulut “Sang Lontara Hidup” yang tak pernah tamat itu.

Hingga muhibah ziarah kami tiba di “Jara’ LompoE” di sebelah selatan lapangan bola TippuluE. Komplek pemakaman inilah yang menurut ayahanda adalah paling sakral dari sekian banyak komplek pemakaman Raja-Raja di Belawa, demikian menurut ayahanda. Pada komplek pemakaman inilah telah dimakamkan Raja-Raja besar, diantaranya :  La Sappo Petta Ogi Arung Belawa Petta ri Palireng MatinroE ri CeempaE, La Tamang Petta Palla’E, Petta PattennungngE, We Tenri Balobo Dg. RiyasE’ Datu Pammana, La Tokong (La Toto) Petta PalEkoreng Datu Pammana, La Pasanrangi Petta PajjawaE, La Paranrengi Dg. Sijerra, La Rappe’ Arung Liu, Petta MatinroE ri Duninna dan banyak lagi yang lainnya.
Khusus nama anumerta yang terakhir disebut diatas, saya menganggapnya sebagai suatu hal yang menarik. Pasalnya setiapkali ayahanda menyebutnya, beliau sertamerta merendahkan suara sehingga lebih menyerupai “berbisik”. Anehnya pula, beliau tidak banyak bercerita ketika menabur bunga diatas pusara itu. Bahkan paman dan bibiku yang lain senantiasa menjunjung (najujung) udara yang keluar dari mulutnya setelah menyebut nama tersebut.

“Niga tongengjE’ EEro Petta MatinroE Duninna, Etta ?” (siapakah sesungguhnya Petta MatinroE ri Duninna, Ayahanda ?), demikian sergahku pada suatu ketika. “Iyanaro nEnE Puetta malinrrungngE nasaba’ riyemme’i ri torisaloo’E. Siwajo, siLuwu, si SoppEng sibawa sEddi SidEnrEng turung madduru’ torisalo. Massebbu torisalo riwuno, nainappa rilolongeng ujuuna DatuE riwettangna torisaloo’E. Ripasilemme’i ronnang torisaloo’E sibawa ujuuna Datu MallinrungngE, iyanaro passabareng nariyasengni Datu MatinroE ri Duninna….” (Baginda adalah leluhur kita yang wafat akibat ditelan oleh seekor buaya. Ketika itulah seluruh rakyat Wajo, Luwu, Soppeng dan Sidenreng dikerahkan untuk berburu buaya. Beribu-ribu buaya yang dibunuh barulah ditemukan jazad baginda dalam perut salahseekor diantaranya. Maka jazad baginda dimakamkan bersama dengan buaya itu yang dianggap sebagai peti matinya. Itulah sebabnya baginda digelari sebagai Petta MatinroE ri Duninna….).

Sepenggal kalimat itu semakin membuatku penasaran tentang hal ikhwal baginda itu. Seorang tokoh yang tewas akibat diterkam seekor buaya mengakibatkan dikerahkannya rakyat Wajo, Luwu, Soppeng dan Sidenreng, siapakah gerangan tokoh yang amat berpengaruh pada 4 Negeri Besar tersebut ?. Maka dengan mimik serius dan teramat takzim,, ayahanda menjawab : “ Naiyya aseng tongenna DatuE MallinrungngE, iyanaritu : La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana  KaraEng MandallE' Arung Tellu Latte’ ri Sidenreng Petta Pilla’E ri Wajo. (sesungguhnya nama dan gelar baginda, adalah: La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana KaraEng MandallE' Arung Tellu Latte’ ri Sidenreng Petta Pilla’E ri Wajo).

Barulah kini saya sadar betapa pantas jika kematian Baginda yang tragis itu menggemparkan Kerajaan-Kerajaan Besar di Jazirah Celebes ini. Sesungguhnya Baginda adalah seorang Raja Agung Pammana, seorang Panglima Besar Kerajaan Wajo pada  puncak keemasannya serta pernah pula sebagai Perdana Menteri Kerajaan Sidenreng.

Sebuah pengalaman kecil, pada suatu ketika saya berbincang-bincang dengan Alm. Puekku Petta Aji Baso' Patiroi semasa hidupnya. Beliau juga sangat penasaran dengan tokoh "Petta MatinroE ri Duninna". Konon hingga waktu itu beliau sejak lama "Mabbacadoang Otti Barangeng" (Ritual Baca Do'a dengan menghidangkan Pisang Emas) untuk disampaikan pada roh "Petta MatinroE Duninna" dan "Petta Bombo". Siapakah sesungguhnya mereka ?, tanya beliau. Ritual tersebut senantiasa diadakan setiap tahun menuruti pesan Ibunda Beliau turun temurun. Maka sesuai dengan uraian pada bagian pertama tulisan ini, jelaslah bahwa makam Baginda La Pallawagau' berada di Jara' LompoE TippuluE, Belawa.



La Pallawagau' atau La Mappasiling ?

Rasa takjub dan penasaran perihal "Petta MatinroE ri Duninna" semakin membawaku pada penelusuran samar-samar yang semakin jauh. Hingga tiba pada titik persimpangan, dimana sosok Petta MatinroE ri Duninna kini menjadi dua orang yang berbeda !. Sang ayahanda sendiri pada banyak kesempatan, menyebut Petta MatinroE ri Duninna sebagai : "La Pallawagau", kemudian kadang pula pada kesempatan lain menyebutnya lagi sebagai "La Mappasiling". Beliau menyebut gelar anumerta yang sama pada kedua nama itu silih berganti hingga sayapun tidak pernah sempat meminta kejelasan perihal itu hingga wafatnya. Hal tersebut terjadi karena ketika itu, saya belum menganggapnya sebagai suatu hal penting sebagaimana saat ini.

Lalu siapakah sebenarya "La Mappasiling" ?. Baginda tiada lain adalah Ayah Mertua daripada La Pallawagau sendiri atau suami We Tenri LElEang Pajung ri Luwu XXI-XXIII Petta MatinroE ri SorEang. Pada beberapa Pallontara, nama baginda disebut bermacam-macam, yakni : La Mappasiling, La Mappaselling, La Mappasili' dan La Mappasali. Baginda adalah Datu Pattojo serta putera La Kareddu Arung Sekkanyili dengan Ana'na WatanglipuE ri Pammana. Maka sekiranya beliau yang dimaksud pula sebagai "Petta MatinroE ri Duninna", sebagaimana disebut pula pada Lontara AkkarungengngE ri Bone, dengan demikian nama lengkap beliau adalah : La Mappasiling Datu Pattojo Petta MatinroE ri Duninna.

Akhirnya terlepas daripada siapakah sesungguhnya pada kedua tokoh besar ini yang benar sebagai "Petta MatinroE ri Duninna", kiranya itulah yang dimakamkan di Jara' LompoE TippuluE, Belawa. Ketidakjelasan ini tentu saja diakibatkan keterbasan pengetahuan penulis untuk mencari kebenarannya melalui suatu riset sejarah. Inilah kiranya yang menjadi penyebab sehingga kedua tokoh penting ini tidaklah disebut-sebut terlalu menonjol pada tulisan kita yang terdahulu, yakni "Kerajaan Belawa, Negeri di Batas Persimpangan Sejarah" (laman SEJARAH BELAWA). Terkhusus lagi pada topik tulisan ini adalah uraian sekilas hal ikhwal ketokohan La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana  KaraEng MandallE' Arung Tellu Latte’ ri Sidenreng Petta Pilla’E ri Wajo, maka perihal "Petta MatinroE ri Duninna" tidaklah disebut lebih jauh lagi.



Silsilah La Pallawagau' Arung Maiwa

Menelusuri silsilah beliau pada beberapa lontara silsilah, kiranya nama baginda lebih banyak ditampilkan sebagai "pendamping" daripada isterinya belaka. Lontara Silsilah Luwu, Bone, Gowa dan Soppeng juga menulisnya demikian. Namun pada akhirnya, jika penelusuran dimulai pada Lontara Silsilah Ajattapareng dan Pammana, maka baginda ditemukan sebagai tokoh yang memperhubungkan antara dua negeri besar, yakni : Pammana dan Sidenreng.

Bermula pada La BungEnge' ManurungngE ri Bacukiki  yang bersambung turun menurun hingga La MalEwai Addituang Sidenreng VII yang memperisterikan I Saddia, maka lahirlah seorang putera bernama "Janggo' LampE Ulu Arung Maiwa Arung Tellu Latte' ri Sidenreng". Janggo LampE Ulu memperisteri I Tenri Datu Pammana, maka lahirlah : La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana  KaraEng MandallE' Arung Tellu Latte’ ri Sidenreng Petta Pilla’E ri Wajo dan I Tungke' Datu Tempe. 


Saudara La Pallawa Gau', yakni : I Tungke Datu Tempe diperisteri oleh La Toappo Arung Berru Addituang Sidenreng XII, maka inilah yang melahirkan : La Wawo Addituang Sidenreng XIII.

Adapun halnya dengan La Pallawagau', baginda memperisteri We Tenriabang DatuE Watu Datu Pattojo (Puteri La Mappasiling Datu Pattojo dengan We Tenri LElEang Petta MatinroE ri Soreang Pajung Luwu  XXI-XXIII), melahirkan putera puteri yang nantinya merupakan "The Rule Maker" pada berbagai peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan pada masa itu.

La Pallawagau'  dengan isterinya, yakni : We Tenri Abang Dg. Baji memiliki 5 putera puteri yang disebut  serta diuraikan secara berurut , sebagai berikut :

1. We Tenri Balobo Dg. RiyasE Datu Pammana

We Tenri Balobo dinikahkan pertamakali dengan La Tenri Arung Baranti Arung Tellu Latte' Sidenreng, melahirkan La Patombongi KaraEng Bontotangnga (suami I Tenritana KarEng Balla' Sugi).

We Tenri Balobo dinikahkan keduakalinya dengan La Sappo Arung Palireng Petta Ogi Arung Belawa  MatinroE ri CempaE, melahirkan La Tamang Petta Palla'E.

 La Tamang menikahi I LEkke', melahirkan : La Pamessangi Baso Parepare


2. We Mappanyiwi Datu Pammana

We Mappanyiwi dinikahkan dengan La Canno' Petta LampE Uttu Arung Gilireng Petta Cakkuridi ri Wajo, melahirkan : La Makkulau Arung Gilireng Petta Cakkuridi ri Wajo (suami I Madditana Arung Rappeng).

3. La Tenridolo To Lebba'E Datu Pammana

4. We Sompa Daeng Sinring Datu Pammana

We Sompa dinikahkan dengan La Settiang Opu Maddika Bua, melahirkan : La Potto Maddanreng Pammana (suami I Baru Datu Patila) , La Patarai Opu Tomuanneng (suami I Ninnong Datu Tempe) dan I Nomba Petta Mabbola SadaE Datu Pammana (isteri Muhammad Arsyad Petta CambangngE).

La Potto menikah dengan I Baru, melahirkan : Tenri SampEang DenrawaliE (isteri La Gau' Arung BEttEmpola Petta MatinroE ri Masigi'na).

La Patarai menikah dengan I Ninnong, melahirkan :  I Pacu' Petta Mabbola JEnnE'E (isteri La Patau' KaraEng TanEtE),


5. I BubEng KaraEng PambinEang

I BubEng dinikahkan dengan sepupu sekalinya sendiri, yakni : La Wawo Addituang Sidenreng XIII, melahirkan : Muhammad Arsyad Petta CambangngE dan I Ninnong Datu Tempe.

Muhammad Arsyad menikah dengan I Nomba, melahirkan : Toaccalo Arung Maiwa
I Ninnong menikah dengan La Makkarakalangi Baso Tancung Datu Marioriawa, melahirkan :  1. I Bau' Datu Tempe (isteri La Patongai Datu Lompulle') , 2. I CEcu' BessE' Tempe (isteri Toaccalo Arung Maiwa), 3. La Koro Arung Padali Batara Wajo Arungmatowa Wajo XLI.

Menilik daripada perkembangan generasi kedua La Pallawagau' diatas, maka jelaslah bahwa pada generasi ke-tiga hingga ke-lima berikutnya, cucu La Pallawagau' bertebaran menjadi penguasa di Sidenreng, Wajo, Soppeng, Bone, Luwu, Segeri, MAndallE, Mandar dan Gowa. Para anak keturunannya akan menjadi Datu Pammana, Arung Matowa Wajo, Datu Soppeng, Mangkau' ri Bone, Addatuang Sidenreng, Addatuang Sawitto, Arung Alitta, Datu Suppa, Arung Rappeng, Arung Belawa, Arung Utting, Arung Berru, Arung Bacukiki, Arung MallusEtasi, Arung Maiwa, Datu pattojo dan lain sebagainya.



Sang Patriot !

Menelusuri  kisah hidup La Pallawagau, kiranya mestilah membuka berbagai literatur yang mengisahkan tentang seorang Tokoh Besar Pahlawan Nasional dari Negeri Bugis, yakni : La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Singkang Arung Peneki Arung Matoa Wajo Petta PamaradEkangengni Wajo.

Sekilas tentang La Maddukelleng, baginda adalah putera La Urenglangi (La Raunglangi) Tosadapotto Arung Peneki yang kerap pula disebut sebagai La Paulangi. Pernikahan La Urenglangi dengan We Tenri Ampa Arung Singkang yang kerap pula disebut sebagai I Saomi (saudara La SalEwangeng To Tenriruwa Arung Matoa Wajo XXX), membuahkan dua putera, yakni : La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Singkang Petta Arung Matowa Wajo XXXI dan La SampennE' Petta La Battoa Arung Liu Petta CakkuridiE ri Wajo.

Sebagaimana sejarah telah mencatat keadaan Sulawesi Selatan pasca wafatnya Petta TorisompaE (La Tenri Tatta Dg. SErang Arung Palakka Petta MalampE'E Gemme'na Mangkau ri Bone MatinroE ri Bontoala) yang berhasil memenangkan Perang Makassar bersama dengan kemitraannya dengan VOC, telah sukses pula mendirikan sebuah imperium (Wanua Sempugi) yang meliputi hampir seluruh wilayah di Jazirah Sulawesi dibawah dominasi Kerajaan Bone dengan menempatkan diri sebagai "Datu Tungke'na Tana Ugi" (De Koningh Der Boegies). Setelah wafatnya di Bontoala, supremasi tersebut diteruskan pada pewarisnya yang merupakan kemenakan Petta TorisompaE sendiri, yakni : Baginda La Patau' Matannatikka Arung Palakka Mangkau' ri Bone MatinroE ri Naga Uleng.

Pada masa itulah La Maddukelleng dan La Pallawagau terlahir serta tumbuh dalam kondisi dibawah dominasi bayang-bayang "kemaharajaan" Bone tersebut. Jika membaca banyaknya literatur yang ada, maka kita dengan mudah berpresepsi bahwa kedua tokoh tersebut adalah sebaya. Namun yang sesungguhnya, jika mengikut logika bahwa La Maddukelleng Sultan Pasir adalah setidaknya "teman gaul" La Tenri Dolong TolEbba'E (putera La Pallawagau) di perantauan, maka mestilah La Pallawagau' adalah generasi lebih tua yang setidaknya 1 generasi diatas La Maddukelleng. Dengan demikian, jika menurut literatur yang ada menyebutkan La Maddukelleng lahir pada tahun 1700 M, maka La Pallawagau dapat diasumsikan terlahir sekitar tahun 1685 M.


Kedatangan kembali La Maddukelleng Sultan Pasir di Tanah Wajo dalam tahun 1736, menimbulkan geger dalam kalangan Istana Bone dan Soppeng. Bukan apa-apa, jika seorang pelarian berani kembali ke rumahnya, mestilah ia telah memiliki kekuatan yang cukup untuk mempertahankan diri atau bahkan membalas dendam.

Bahwa dalam tahun 1713,  La Maddukelleng telah melakukan perantauan ke Kalimantan dan kawasan Selat Malaka untuk menghindari  murka Raja Bone La Patau’ Matanna Tikka akibat karena ia telah menikam sejumlah Bangsawan Bone dan Pengawalnya dalam suatu perselisihan sabung ayam. Kini setelah Baginda Matanna Tikka (Sang Matahari) tersebut telah wafat dalam tahun 1714, yakni setahun setelah keberangkatan La Maddukelleng, tahta Mangkau’ ri Bone kini diduduki oleh puteri Baginda MatinroE ri Naga Uleng, yaitu : Batari Toja DaEng Talaga yang merangkap pula sebagai Pajung Luwu dan Datu Soppeng. Maka dapat dipahami jika kedatangan kembali La Maddukelleng bersama pasukan perang dan armada lautnya yang kuat dari Kalimantan, menimbulkan kekalutan bagi Batari Toja DaEng Talaga Sang Maharani Tanah Bugis pada jaman itu.

Maka dalam tahun kedatangan La Maddukelleng itu pula, Kerajaan Wajo dikepung oleh aliansi “TellompoccoE” yang terdiri dari Kerajaan Bone, Wajo, Soppeng dan sekutunya. La Maddukelleng beserta pasukannya kembali mengalami pahit getirnya peperangan dengan bangsa serta kerabatnya sendiri setelah diadili serta dinyatakan pula tidak bersalah. Namun La Maddukelleng dipandang sebagai sebuah ancaman, maka untuk menghilangkan ancaman itu, kiranya tiada jalan lain haruslah dibasmi dengan kekuatan senjata.

Melihat halnya La Maddukelleng yang telah diadili dewan “TellumpoccoE” (Aliansi Bone, Wajo dan Soppeng) dengan vonis bebas tidak bersalah tapi tetap jua “dipaksakan” untuk dilenyapkan, Kerajaan Wajo akhirnya berbalik mendukung La Maddukelleng. Mengingat pula, bagaimanapun adanya La Maddukelleng adalah “Pangeran Asli Tanah Wajo”, kemenakan La SalEwangeng To Tenri Ruwa Arung Matoa Wajo. Bahkan Arung Matowa sendiri menyerukan kepada segenap “Orang Wajo” untuk mendukung La Maddukelleng. Baginda sangat gerah melihat negerinya kini morat marit dibawah pendudukan pasukan Aliansi Bone dan Soppeng. Anak negeri Peneki yang merupakan daerah kekuasaan Ayahanda La Maddukelleng telah dibumi hanguskan Pasukan Bone-Soppeng dalam bulan Juli 1736.

Mengetahui seruan Arung Matoa Wajo, segenap anak negeri Wajo seperti Maiwa dan daerah Pitu RiasE’ berdatangan ke Tosora (Kotaraja Wajo) menyambut seruan itu. Namun Aliansi Bone-Soppeng tidak ketinggalan pula, mereka memanggil bala bantuan dari segenap pasukan kerajaan sekutunya untuk menaklukkan Tanah Wajo. Maka Pasukan Luwu masuk pula ke Tanah Wajo menyambut panggilan Aliansi Bone-Soppeng. Bala Bantuan Aliansi dari negeri lainnya pula mengalir memasuki Wajo. Mereka berdatangan dari TanEtE, Negeri-negeri Mandar, Aja Tappareng (Sidenreng, Suppa, Alitta, Sawitto), Tana Toraja, Buton dan Pasukan VOC dari Makassar.

Melihat banyaknya bala bantuan aliansi, Arung Matoa Wajo beserta sebagian anggota Dewan Raja-Raja Tanah Wajo (Petta EnnengngE) menyingkir ke Paria. Maka pada saat Wajo berada dalam tekanan akibat pengepungan Aliansi Bone-VOC itulah, Arung Matoa Wajo memutuskan untuk mendelegasikan sebuah “undangan khusus” yang berisi permohonan bantuan untuk disampaikan kepada seorang Tokoh Wajo yang amat disegani pada masa itu, yakni : La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana. Keterlibatan beliau dalam berjuang mempertahankan Tanah Wajo kiranya tidaklah mungkin “diminta” melalui sebuah seruan saja, melainkan harus disertai dengan permintaan yang santun.

Penulis kiranya sangat “ber-Haqqulyaqin” menganggap jika Tokoh La Pallawagau’ Datu Pammana yang disebut pada berbagai literatur “La Maddukelleng Arung Singkang” yang diantaranya ditulis oleh pakar : Prof. Mr. Andi Zainal Abidin Farid, SH, Abdulrazak Dg. Patunru, W. Husain, Prof. Dr. A. Mattulada, J. Noorduyn dan lainnya adalah “La Pallawagau’ Arung Maiwa” suami We Tenriabang DatuE Watu adanya, karena menurut hemat penulis bahwa sangat kecil kemungkinan jika terdapat lebih dari 1 nama “La Pallawagau Datu Pammana” dalam daftar sisilah Datu Pammana.

Setelah meneriman undangan itu, La Pallawagau dengan hanya disertai 100 personel Pasukan Khususnya berangkat ke Tosora dengan maksud memperkuat pertahanan Wajo di Ibukota Kerajaan Wajo tersebut. Ketika mereka tiba di Kampiri, mereka diserang oleh sejumlah besar Pasukan VOC dan Bone. Namun mereka dapat meloloskan diri hingga tiba di Tosora, bergabung dengan barisan pertahanan Tanah Wajo dibawah pimpinan La Maddukelleng.

Sehari setibanya di Tosora, La Pallawagau’ selaku “Petta Pilla’E” (Panglima Angkatan Perang Tanah Wajo yang memiliki panji berwarna merah) didampingi pemberani Kapitan La Banna’ To Assa’ memimpin pasukannya menyerbu pasukan Soppeng dan Tanete yang bermarkas di Tampangeng. Maka terjadilah pertempuran sengit pada hari itu juga, hingga pasukan Soppeng dan Tanete terpukul mundur. Mereka berlarian dengan panik, dikejar pasukan La Pallawagau hingga banyak yang terjun ke sungai dan mati tenggelam. Akhirnya pemimpin Pasukan Soppeng dan Tanete beserta pasukannya yang masih hidup meletakkan senjata seraya menyerahkan diri pada La Pallawagau. Diantaranya, mereka adalah : To Assettuang Arung Ujung, Puanna WessE’ Datu Mario ri Wawo, To AppEtuju Arung Bulu MatanrE, Arung Kiru-Kiru dan Arung Umpungeng. Mereka bersumpah dihadapan La Pallawagau dan La Banna To Assa’ untuk tidak lagi menyerang Tanah Wajo kemudian mereka dibebaskan kembali ke kampungnya masing-masing.

Kemenangan pertama terhadap para penyerbu Wajo di Tampangeng semakin menjadi motivasi La Pallawagau’ dan To Assa untuk meneruskan serangan pembebasannya ke wilayah Tempe yang sedang diduduki oleh pasukan dari Batu-Batu. Pasukan itu telah merebut Panji Kebesaran Tempe yang bernama “JarangngE” sejak awal penyerbuannya. Maka dengan semangat menyala-nyala serta diimbangi dengan keunggulan strategi pengalaman bertempur dari Kapitan To Assa, La Pallawagau’ berhasil pula memukul Pasukan Batu-Batu, sehingga banyak diantaranya yang tewas terperosok di Danau Tempe. Panji Kebesaran Tempe berhasil direbut kembali serta membuat pimpinan pasukan Batu-Batu bertekuk lutut dan bersumpah untuk tidak menyerang Tanah Wajo untuk selama-lamanya.

Setelah kemenangan membebaskan Tempe, La Pallawagau dan To Assa’ mendapat tenaga bantuan pasukan yang masih segar dibawah pimpinan Petta Puangna We Abang Arung Sompe’ meneruskan serangannya ke anak negeri Wajo yang berkhianat dengan perpihak pada Aliansi Bone-VOC, yakni : WagE, CalEko, Canru’, Ugi dan Liu. Maka dengan keberanian serta strategi yang mencengankan, anak-anak negeri itu berhasil ditaklukkan serta diberi ancaman dan peringatan keras.







Bersambung...



Kamis, 04 Agustus 2011

Koleksi Pusaka
















Sonri'

Sebilah Pedang Pusaka (Sonri') dari himpunan Pusaka Anak Kerajaan Gowa (Koleksi dalam perawatan Penulis)

Koleksi Pusaka











Sapukale'

Sebilah "Sapukale'" (Keris Luk Satu) yang sudah sangat tua. (Koleksi dalam perawatan penulis).

Koleksi Pusaka


























Pusaka KancingkalEna

Salahsatu pusaka dari himpunan Pusaka TinggimaE', merupakan "sElE' lamba tuju" (Tappi Lamba Pitu : Bugis) atau Keris Luk Tujuh. Keunikan daripada keris ini, yakni pada pangkalnya tidak bersusung sebagaimana keris biasanya atau "KancingkalEna" menurut spesifikasinya dalam Bahasa Makassar.
Pusaka ini adalah anugerah atau kenang-kenangan dari Paduka Drs. Andi Ahmad BEso kepada Penulis atas perkenan ayahanda beliau, yakni : Paduka Yang Mulia KaraEnta TinggimaE'.

Rabu, 03 Agustus 2011

Kajian Ininnawa

MENZIARAHI 3 PERMATA

"..Massiarai atanna DatuE lao ri Puenna.." (Hamba tiada lain bermaksud berziarah pada junjungannya..).
...................................................................................
Sabtu, 30 Juli 2011, kuketuk pintu sebuah rumah di Jl. Andi Mangkau, Parepare. Sebuah rumah yang terletak di jantung Kota namun sangat tenang, yakni kediaman Puekku H. Andi Bau Musba (Datu Cebba'). Beliau sendiri yang membuka pintu serta dengan senyum khasnya mempersilahkanku untuk masuk dan duduk di serambi depan.

MaEloni tama uleng puasa, Pueng. IyyanaE nakkatta atanna DatuE massiara ri Puekku DatuE. Taparajaiyyangngi addampeng atanna DatuE.., demikian ujarku sebagai pembuka kata, seraya mencium tangan junjunganku tersebut. Selanjutnya mengalirlah perbincangan seputar "Sejarah Belawa dan BEttEmpola" yang merupakan reverensi berharga buatku. "Iya solangiwi warii'na BElawa makkokoE, iyanaritu padaidi'mua massompulolo. Nasaba' maEgana pada idi' pasalaonroi warii'E. Pada maElo manengni riyaseng matanrE. Pada naissengmato sitongengna tudangenna, naEkiya maElomopi tudangiwi onrong lebbi' mariasE'E.." (..adapun yang merusak tatanan di Belawa dewasa ini, adalah "kita-kita" sendiri sekeluarga. Karena begitu banyaknya diantara kita yang tidak menempatkan tatanan pada tempat yang semestinya. Mereka ingin dianggap "tinggi", padahal iapun tahu tempatnya sendiri yang sesungguhnya, namun tetap saja ia menginginkan tempat kemuliaan yang lebih tinggi adanya..).

Hingga pada akhirnya, Puekku berpesan padaku : "Akkaritutuko, Oddang. Muwaseggi dEcEng mumaElo pallempuu'i tudangenna warii'E, na bacci mulolongeng polE ri tauwE, padaidi'mato massompulolo.. iyanatu nampai iya' ulebbirengngi salai Belawa, uwonro ri kamponna tauwE, nasaba' dE' wullEi maita manengngi pangkaukeng makkuaEro.."..., duhai.. betapa sulitnya menegakkan tatanan, pikirku. "Nasitongenna, Puang.. Inamoo onrong tongenna pada natudangi, tette'matoi matanrE na malebbii.." (..yang sesungguhnya, Tuanku.. Walaupun pada tempat mereka yang sesungguhnya mereka duduki masing-masing, tetaplah juga mereka tinggi dan dimuliakan...), kataku pula. Namun sekarang, lihatlah negeri leluhur dan keluargaku kini. Mereka yang dulunya bergelar "Ambo" atau "Indo" serta disebut "Pung" oleh adik-adik dan kemenakannya, kini menjadi "Andi". Mereka yang dulu "Andi Anu", kini juga disebut "Petta Anu" oleh para anak cucunya.. Kemudian mereka yang dulu disebut "Petta Anu", kini menjadi : "Bau Anu..". Hingga akhirnya, dulu yang disebut "Bau Anu", kini menjadi "Datu Anu".. Kunjungan ziarah itu akhirnya ditutup dengan permohonan pamitku. Puekku Sang Junjungan mengantarku hingga di pintu pagarnya.

Perbincangan berlanjut pada perihal "karya baru" para wija ana' arung yang kini menempati 1 tingkat diatas kedudukan adatnya yang semestinya. Kini mereka menulis prasasti pada makam (pusara) kakek dan neneknya "tambahan" gelar yang "kemungkinan besar" adalah gelar sesuai dengan "kehendak mereka" sendiri alias "gelar piktif..". Maka terjadilah "pengkaburan sejarah" akibat ego mereka yang merasa lebih segalanya dari siapapun.

Esok harinya, yakni Minggu, 31 Juli 2011, perjalanan muhibah ziarahku hingga di Makassar. Pagi-pagi benar, dengan diantar Paduka Drs. Andi Ahmad Beso, kami memasuki gerbang rumah dinas Rektor UNHAS, kediaman dimana Puekku Andi ParEnrEngi DaEng PabEso' KaraEngta TinggimaE' sedang beristirahat memulihkan kesehatan dari sakitnya akhir-akhir ini.

Duduk dihadapan lelaki tua yang berperawakan tinggi besar dan berkepribadian agung ini membuatku tenang takzim. "Inilah adik Andi Laorong, ..Arung Belawa yang sesungguhnya", pikirku. Seorang Pangeran Gowa, Pangeran Sidenreng dan Pangeran Suppa yang memiliki pengetahuan dan berpengalaman luas serta senantiasa mendorong untuk mengembangkan semangat enterpreneurship. Setiap hari, beliau membaca 6 koran harian yang berbeda. Maka beliaupun tidak pernah ketinggalan berita dan issu yang terjadi pada Bangsa hingga sekarang. "Taisseng muwaga, nak.. Agana assElE bangungenna ERA REFORMASI ?" (Tahukah kau, nak.. Apakah saja hasil pembangunan yang menonjol pada ERA REFORMASI ?", tanyanya. "IyE, dE' kasi' naissengngi Atanna Petta, Puang.." (Hamba tidak tahu, Tuanku..), jawabku pasti.

"..hasil-hasil pembangunan yang dihasilkan ERA REFORMASI yang saya tahu, adalah : Wanita Indonesia semakin banyak yang dikirim ke Luar Negeri untuk dijadikan budak, sehingga martabat bangsa kita dimata Bangsa lain sangatlah hina..", jelas bersemangat. Kentara sekali jika Junjunganku yang satu ini memiliki jiwa patriot yang sangat kental. Harap maklum, beliau adalah seorang pensiunan tentara, kata "Petta Mado" (Drs. Andi Ahmad Beso), putera beliau yang menemaniku. Hingga ketika berpamit pulang, beliau mengantar hingga jauh di pintu luar.

Hingga hari pertama Ramadlan 1432 H, telah tiba, menziarahi kita semua. Marhaban Yaa Ramadlan.. Aku menyambutmu dengan suka cita. "Uporennu Usompawali apolEngemmu..", bisik hatiku, syahdu. Malam itu, aku tiba di Belawa dan makan sahur di Negeri Leluhur tercinta ini. Ziarah terakhirku menyambut datangnya bualan puasa kututup di Belawa dengan sentuhan belas kasih pada pamanda Andi Bannace, kakanda Ibuku. Beliau sedang gering oleh sakit yang diidapnya sejak beberapa hari ini. Tubuh yang biasanya tinggi besar itu kini layu tak berdaya. Pada akhirnya, 5 menit sebelum imsak (buka puasa) pada hari pertama bulan suci ini, Puekku Andi Bannace' berpulang ke Rahmatullah. Pamanda tercinta yang senantiasa berbelas kasih dan bermurah hati kepadaku, dimakamkan di Jara'E BElawa bersama ayah bunda dan saudara-saudaranya. Berkumpul dengan jazad para "Arung BElawa" yang kini tinggal sejarah, kusam dan kucel berupa serpihan yang sulit dirangkai. Kali ini, pada ziarah ke-3 ini akulah yang mengantar beliau ke peristirahatan terakhirnya tersebut.

Menjalani hidup tiada lain sebuah perjalan muhibah.. perhubungan Silaturrahmi dengan sesama manusia mestilah menjadi sesuatu yang berharga jika dihikmahkan sebagai "ziarah" penyejuk batin..

Wallahualam bissawwab..