Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Sabtu, 30 Juni 2012

KEKUASAAN MANUSIA

Alkisah, Canute adalah seorang Raja Denmark yang amat terkenal. Baginda adalah seorang raja legendaris dan amat membanggakan rakyatnya. Kisah tentangnya senantiasa digambarkan sebagai seorang yang mampu berbuat apapun, berkat kekuatan dan kesaktiannya. Tidak dapat dipungkiri, Baginda memiliki kharisma yang amat berpengaruh bagi siapapun yang mengenalnya. Maka istananya yang terletak di pinggir laut senantiasa dijejali oleh orang-orang yang hendak memuji dan menghaturkan hormat kepadanya.

Pada suatu hari, Raja Canute memerintahkan kepada pegawai istana dan para tamunya untuk mengiringinya ke pantai. Sebagaimana biasanya, baginda diusung beserta singgasananya. Setibanya di pantai, Canute memerintahkan agar ia dan singgasananya diturunkan pada hamparan pasir yang tergenang oleh gelombang pasang. Baginda mengarahkan pandangannya kearah gelombang pasang yang menderu-deru bersama angin yang bertiup kencang, seraya mengangkat tangannya kearah depan. "Saya perintahkan kau untuk diam !", serunya pada gelombang pasang yang berkejaran ke bibir pantai. Namun jangankan terdiam, gelombang itu bahkan terus menerpa kearah baginda dan rombongannya, sehingga kedua kaki baginda basah bersama kaki singgasananya.

Maka menolehlah Raja Canute kepada segenap pengiringnya, seraya berkata : "Lihatlah oleh kalian. Betapa tidak berartinya kekuasaan raja, maka saya tidak mau lagi mendengar pujian hampa.."

........................................................................................................................

Kisah tentang Raja yang tidak gila hormat, sedemikian bertebaran diseluruh pelosok bumi dalam gilingan waktu yang berputar tiada henti. Kesampingkan pandangan terhadap beberapa oknum bangsawan yang begitu haus akan peng-hormatan, namun sesungguhnya jiwanya begitu tandus akan ke-hormatan.

Tersebutlah Paduka Andi Makkoelawoe (Datu Makkulawu) ketika menjabat sebagai Walikota Parepare ke-II. Adalah Pak Djamaluddin (Ketua PGRI Parepare kini) yang kala itu masih remaja tanggung, bertandang ke rumah jabatan Walikota bersama dengan keluarganya dari Alitta. Puetta DatuE yang menyambut mereka dengan ramah sebagaimana biasanya, tiba-tiba merogoh sakunya seraya mendekati Djamaluddin muda. Sang Walikota menyodorkan sejumlah uang seraya berujar : "Tulungmana' Ana', laosamani' melliangnga' pElo' cinampe'.." (Tolonglah nak, kiranya bisa pergi belikan saya rokok sebentar..). Begitu bersahajanya Bangsawan Tinggi nan pejabat ini.

Pada suatu hari, seorang tukang becak terheran-heran ketika seorang laki-laki paruhbaya yang bertubuh tinggi kurus memintanya untuk diantar jalan-jalan keliling kota pelabuhan itu. Penumpang yang ganjil itu menikmati pemandangan kota sepanjang perjalanan, seraya bercakap-cakap dengan Tukang Becak itu dengan ramahnya. Ketika dirasanya cukup berkeliling, penumpang itu meminta diantarkan ke kediamannya. "Jalan aga monro bolata, Pak ?" (Di jalan apa rumahnya, pak ?), tanya tukang becak. "..ribola jabatanna WalikotaE, ndi' .." (..di rumah jabatan Walikota, dik..), sahutnya ringan. Maka tukang becak itu mulai heran seraya menduga-duga. ..dan ternyata benar. Ketika tiba di rumah kediaman Walikota, serombongan pegawai daerah menyambut penumpang becak itu dengan penuh hormat. Pak Wali turun dari becak seraya merogoh dompetnya lalu membayar tukang becak itu dengan amat royalnya.

Rangkaian kisah ini kemudian saya tuturkan pada anak kemenakan kami yang selama ini setia mendengarkan. "Siapakah sesungguhnya Datu Makkulawu itu, Etta ?", tanya puteraku. Maka rangkaian silsilahpun dituturkan kemudian.

Puetta Andi Makkulawu adalah Petta Cakkuridi ri Wajo terakhir, suatu jabatan selevel menteri yang termasuk dalam jajaran Petta EnnengngE Wajo. Ayahanda Puang Datu bernama : Datu MappabEta. Beliau adalah putera La Wana KaraEng Cappa'bEle' dengan We Dalaintang Arung Pao-Pao. Adapun halnya dengan Ibundanya, bernama : Datu Tenri Passessu', adalah adik kandung Datu Pajju' Arung Tellu Latte' Sidenreng. Mereka adalah putera puteri La Maddukkelleng Petta Cakkuridi ri Wajo bin La OddangpEro Datu Larompong Arung Matoa Wajo XLIV dengan We Tenri SanrE Arung Rappeng Additueng Sawitto XIV.

Kemudian Puetta Datu Makkulawu menikah dengan Puetta Datu Sitti Rukiah KaraEng Balla'sari Additueng Sawitto XV (puteri Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim Datu Suppa Mangkau ri Bone XXXII/XXXIV dengan We BessE' Bulo). Selama hidupnya, Puetta tercatat menduduki beberapa jabatan bersejarah, yakni : Petta Cakkuridi ri Wajo, Bupati Pinrang I, Walikota Parepare II dan Anggota DPR/MPR. Baginda adalah pribadi yang bersahaja dan berpandangan tawadhu. MamuarE macekkE' passapunna DatuE rilaleng Panrengna.

Mengingat berbagai kisah sejati perihal para Raja dan Bangsawan tinggi yang rendah hati, saya kembali bertanya pada diri sendiri : Apakah kebersahajaan itu membuat derajat mereka justru menurun ?. Dengan amat pasti, nurani ini menjawabnya : Tidak ! Malah justru menaikkan derajatnya. Lalu mengapa begitu banyak turunan bangsawan yang "agaknya" melindungi diri mereka dengan sikap angkuh ?. Maka kira-kira jawabnya adalah : telusuri asal muasalnya, pastilah ada yang hendak di lindunginya dibalik keangkuhannya.

Wallahualam Bissawwab..

Minggu, 24 Juni 2012

KITA ORANG BUGIS MURNI ?


Beberapa waktu yang lalu, seorang kerabat dari pihak ibunda Petta Boraneku menunjuk diri sebagai "Bugis Murni". Maka kepadanya saya haturkan silsilah ringkas dari salahsatu sudut segi empat ini :


I. I Mallombasi Dg. Mattawang Sultan Hasanuddin KaraEng BontomangapE Tumenanga ri Balla’pangkana Sombangta Gowa XVI, menikah dengan : ∆ Petta Dg. Nisau, melahirkan : Ổ I Mappadulung Sultan Abdul Jalil KaraEng SangrobonE Tumenanga ri Lakiung Sombangta Gowa XIX


II. Ổ I Mappadulung Sultan Abdul Jalil KaraEng SangrobonE Tumenanga ri Lakiung Sombangta Gowa XIX, menikah dengan: ∆ Petta Bau Bone KaraEng Lakiung, melahirkan : ∆ I Mariama KaraEng Pattukangan


III. ∆ I Mariama KaraEng Pattukangan, menikah dengan: La Patau Matanna Tikka WalinonoE La Tenribali MalaE Sangra Sultan Alimuddin Idris Arung Palakka Petta Ranreng Tuwa Wajo MatinroE ri Nagauleng Mangkau Bone XVI, melahirkan : La Pareppa' TosappEwaliE Sultan Ismail Petta MatinroE ri Sombaopu Sombayya Gowa XX, Mangkau ri Bone XIX, Datu Soppeng XX


IV. La Pareppa' TosappEwaliE Sultan Ismail Petta MatinroE ri Sombaopu Sombayya Gowa XX, Mangkau ri Bone XIX, Datu Soppeng XX, menikah dengan ∆I Gumittiri (puteri I Mallawakkang DaEng Mattingri KaraEng Kanjilo Sultan Abdul Kadir KaraEng Tallo X Sombayya Gowa XVIIdengan ∆ KaraEng Parang-Parang) , melahirkan: ỖLa Massellomo Ponggawa LaoE ri Luwu


V. Ỗ La Massellomo Ponggawa LaoE ri Luwu menikah dengan ∆ I Cado "We Gau" Arung Tajong melahirkan: Ỗ La Mappapenning Toappaware’ Petta Ponggawa Bone


VI. Ỗ La MappapenningToappaware' Petta Ponggawa Bone menikah dengan ∆ We Hamidah Arung Timurung Arung Lapanning (puteri La Temmasonge’ "La Mappasosong" Sultan Abdul Razak Jalaluddin Petta MatinroE ri Mallimongeng Mangkau’ ri Bone XXII, dengan ∆Sitti Aisyah binti Muhammad Maulana KaraEng Tumabbicara Butta Gowa) melahirkan : ∆We Yabang I Barigau


VII. ∆ We Yabang I Barigau menikah dengan Ỗ La Mappulana Petta CakkuridiE ri Wajo, melahirkan: La Tokong (La Toto) Petta PallEkoreng Datu Pammana


VIII. La Tokong (La Toto) Petta PallEkoreng Datu Pammana menikah dengan ∆ We Rana " I Banna " Petta Ranreng Tuwa Wajo (puteri La Temmasonge’ "La Mappasosong" Toappawelling Sultan Abdul Razak Jalaluddin Petta MatinroE ri Mallimongeng Mangkau’ ri Bone XXII dengan ∆ We Momo Sitti Aisyah), melahirkan : La Paranrengi DaEng Sijerra


IX. La Paranrengi DaEng Sijerra menikah dengan ∆ I Tenriampareng, melahirkan :Daeng Maroa CambangngE Petta Pangulu Lompo Belawa


X. Daeng Maroa CambangngE Petta Pangulu Lompo Belawa, menikah dengan ∆ I Samayya (puteriPetta Pabbicara Laomapadang dengan ∆ I Banna )melahirkan: Muhammad Tang DaEng Paliweng Petta Pangulu Barisi'na Belawa


XI. Muhammad Tang DaEng Paliweng Petta Pangulu Barisi'na Belawa, menikah dengan I Tuo binti La Mude’Arung Lolo Laomapadang, melahirkan : I Patinrosi Dg. Sagala


XII. I Patinrosi Dg. Sagala, menikah dengan La Wahide’ Dg. Mamiru Petta Passongko’E (putera Abdul Razak Dg. Malebbi Petta Pabbicara Ade’ Tana Tengnga Belawa bin La Sulungkau’Dg. Pagala Datu Lolo TippuluE MatinroE ri Passiringna dengan I Jamila binti La Makkulawu Arung Ugi bin La Tompi Petta MaddanrengngE Arung BEttEmpola MatinroE ri Salawa’na), melahirkan: Andi Panguriseng (Andi Mori)


XIII. Andi Panguriseng (Andi Mori), menikah dengan : Hj. Andi KambeccE' bin Andi Dai', melahirkan : 1. Ỗ H. Andi Pajung, 2. La Oddang

Maka bukanlah hal terpenting menghitung-hitung kemunian kesukuan. Adalah sesuatu yang utama, yakni menjalin silaturrahmi dengan sesama hamba Allah diseluruh penjuru muka bumi..

Dikutip dari Lontara Panguriseng Pabbicara Tippulue, Lontara Panguriseng Abbatirengna Ana’ ArungngE ri Bone dan Lontara Akkarungeng Bone (Drs. Amir Sessu)



Wallahualam Bissawab..

Kamis, 21 Juni 2012



GUGAH NURANI


Akhir2 ini, saya keranjingan hobby baru, yakni : Air Soft Gun.. Maka sasaran tembak dalam benak saya tertuju pada rombongan komunitas burung "cuwiwi" (belibis ?) di Danau Tempe.. Burung liar yang rasanya terkenal gurih itu. Dagingnya empuk, harum dan bahkan tulangnya terasa crispy, bagai kerupuk kentang.

Hingga pada hari minggu lalu, adik Andi Madhe (Andi Maddukelleng) berkisah tentang trik berburu Burung Cuwiwi.. "..bidik satu ekor diantaranya, tarik picu dan dor !.. kena satu. Cuwiwi yg lainnya akan berhamburan, terbang ke segala penjuru. Namun, tunggu dulu ! Jangan terburu-buru memungut burung yang kena itu.. Biarkan selama beberapa menit. Pasangannya pasti akan datang mencarinya.. Ia akan menempuh bahaya apapun, demi pasangannya. Maka.. pemburu yang tahu hal ini, pastilah akan selalu mendapatkan sekurang-kurangnya sepasang burung cuwiwi..", demikian fatwanya.

Duhai, bahkan pada burungpun dikaruniai kesetiaan. Sesuatu yang ada pastilah berkat adanya perasaan dalam hatinya yang kurang lebih tidak lebih besar dari biji jambu mente. Saya yakin jika burung-burung itu memiliki nurani dengan kesetiaannya. Sejumput kemurnian rasa yang tidak mutlak bersatu dengan akal pikiran..

Ininnawa, bagaimana menuruti hasrat sebatas lidah pengecap dengan mengabaikan nurani yang tersentuh iba dan haru ini ? Sayup-sayup terdengar riuh rendah bunyi serombongan cuwiwi yang bermain-main seraya mencari makan di tengah danau.. Terdengar ceria dan gembira, oleh kemerdekaan alam yang menurutnya berkah. Namun ketika singgah sejenak pada kandang cuwiwi di warung Lawawoi, suaranya kok beda ? ..terdengar rintihan memelas, menggugah hingga sukma jiwa yang paling dalam.. Sesama ciptaan Tuhan. ..yang kepadanya juga dititip jiwa dan perasaan sebagaimana kita, anakku.

Maka hari ini, kuelus senapan ini, anak-anakku.. Sasarannya kini adalah sederetan kaleng minuman.
Pesan Hari Jum'at, kepada : Anak-anak dan adik-adikku.

Rabu, 20 Juni 2012


BUAH TAK BERPOHON

               by. La Oddang



Tidak semua hal ihwal ke-sejarah-an tertulis pada lembaran Lontara, ..namun disampaikan "massosoreng" (turun temurun) lewat tutur pinutur. Pada sisi lain, tidak semua buah tutur pula dapat diyakini kesejarahannya, ..namun makna luhur yang dikandungnya adalah sesuatu yang tak terbantahkan. Maka ia ibarat "buah" yang tak jelas dimana gerangan pohonnya. Buah yang jatuh dipinggir sungai kemudian hanyut oleh arus, melewati "pitu pakka salo" (tujuh cabang sungai) hingga menemui “babangna binanga” (muara) menuju kehamparan samudera nan luas tak bertepi.

......................................................................................................



Perihal suatu negeri besar yang merubah makanan pokoknya, dari beras menjadi sagu adalah salahsatu buah tutur yang hanyut tak berhulu itu. Alkisah, suatu negeri besar yang makmur dan sejahtera. Negeri yang subur dengan hamparan sawahnya seluas sejauh mata memandang. Buah karya penghidupan oleh segenap rakyatnya rajin. Para anak negeri  yang terdiri dari para kawula rajin dan bangga serta hormat pada rajanya yang arif nan bijaksana. Seorang Raja Agung yang disebutnya sebagai "Sang Payung" beserta segenap perangkatnya yang memuliakan prinsif keadilan dan kehormatan negerinya.

Panen padi senantiasa berlimpah dari musim ke musim. Tiada musim palawija diantara musim panen padi ke musim tanam berikutnya. Maka lumbung rakyat senantiasa bertumpuk sampai wuwungan, hingga bulir-bulir padi tumbu bertunas pada lantai dasarnya. Suatu fenomena yang pada akhirnya menimbulkan rasa jenuh. Bahwa menjalani hidup dalam serba kecukupan, agaknya menimbulkan kebosanan pula.

“Bagaimana caranya agar padi tidak tumbuh di sawah kita untuk sementara ?”, tanya salahseorang petani dalam suatu rapat dengan Matoa Laongruma (Tetua Petani). Maka riuhlah suasana majelis itu dengan berbagai usul masing-masing. “Sebaiknya kita berhenti menanam padi untuk sementara”, kata Mado’E (juru pengairan). Akhirnya, itulah kiranya yang dianggap sebagai solusi yang paling masuk akal, sehingga disepakati dengan suara bulat.

Maka rakyat negeri itu menghentikan aktifitasnya di sawah. Mereka mengalihkan kesibukannya ke laut dan sungai untuk mencari ikan. Namun sawah mereka tetaplah ditumbuhi padi dengan suburnya. Batang-batang padi yang telah dipotong, beranak pinak dan tumbuh dengan suburnya hingga berbuah yang sarat isi pula. Apa boleh buat, padi yang siap panen  itu terpaksa dipanen kembali.

“Permasalahan” ditengah-tengah kehidupan rakyat itu akhirnya diketahui pula oleh Sri Baginda. Maka dibukalah suatu majelis yang menghadirkan segenap menteri dan penasehatnya. “Apa yang mesti dilakukan agar negeri ini tidak ditumbuhi padi lagi ?”, tanya baginda dengan amat resahnya. Bukan hal yang remeh jika menyangkut dengan keresahan rakyat. Maka ribut pulalah segenap menteri itu, mengajukan usul-usulnya yang dipikirnya paling benar. Namun Sri Baginda agaknya belum merasa puas dengan ragam ide itu. Akhirnya, giliran Sang Penasehat angkat bicara. “..usompai DatuE ri alebbirengna. Naiya sitongengna passaleng ribirittaE, taniato passaleng tenritappu na tenri lolongeng paddippungna..” (..saya menyebah paduka atas kemuliaannya. Bahwa  persoalan yang dihadapi saat ini, bukannya permasalahan yang tanpa terselesaikan dan bukan pula hal yang mustahil didapatkan simpul penyelesaiannya..). “Pabbirittani manrapimu, macca..!” (tunjukkalah hasil pemikiranmu, wahai Cendekia !), titah baginda.

“Ee, Puekku.. REkko maEloki papinrai atuongenna Sangiang Serri ri Lipu’E, tagilingngi pettunna bicaraE ri pabbanuamu. Pallempu’i majEkkoE, pajjEkkoi malempu’E. Pasalai tongengngE, mutujuengngi salaE..” (Duhai, Tuanku.. Sekiranya anda berkehendak merubah daya hidup Sang Dewi Padi di negeri ini, balikkanlah segala putusan hukum pada segenap anak negeri. Luruskanlah yang bengkok, bengkokkanlah yang lurus. Salahkan yang benar, benarkanlah yang salah..). Suatu pendapat yang akhirnya disepakati dengan bulat atas persetujuan baginda.

Irippekini adaE, nariponcoki caritaE.. ripalaloni gau’ tessitinajaE  rilaleng lipuE. NasianrE balEni tauwE, sibongo-bongngorengni pabbanuaE. Tessiaga Ettana, dE’na natuo wijangna Sangiang Serri rilaleng Lipu. Iyyanaro wettu pammulang nalElEna abiasangngE manrE tawaro.. (Disingkatlah perkataan, dan dipendekkanlah cerita.. dilaksanakanlah segala perbuatan yang tidak sepatutnya. Maka saling memakanlah orang bagai ikan, saling membodohi lah segenap rakyat. Itulah masa permulaan sehingga berpindahlah kebiasaan memakan beras menjadi sagu..)

Luttuni pEppajaE, maccEkkEng riwatang asE, massErang tekkanawa-nawa.. Lettu’ni pajaE, mappasilElE masE-masE, maringerrang tekkanawa-nawa.. Akhir cerita, bukanlah suatu kebenaran sejarah yang hendak dikemukakan, melainkan mengingatkan kepada diri sendiri perihal kemuliaan keadilan dan keutamaan rasa syukur. Adalah buah hanyut tak tentu pohon muasalnya, sekiranya bukanlah hal yang sesungguhnya, anggaplah cerita pengantar tidur belaka.

Wallahualambissawwab..




Senin, 18 Juni 2012

SEMPUGIKU
  By. La Oddang

..adalah suatu semangat kebersamaan dalam suatu kerangka “Pangadereng” yang berlandaskan “Siri na PessE” atau “Siri na PaccE”. Maka “Sempugi” adalah wawasan pemersatu bagi segenap suku bangsa yang memaknai kedua azas itu, mereka adalah : To Luwu, Toraya,To Menre’, To Mankasara, To Duri, To Enrekang, To Silaja, To Ugi dan lainnya.. (Pokok Pikiran Mattulada dalam Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan).
…………………………………………………………………………………………………


Tanpa bermaksud menggali lebih jauh perihal sejarah awal mulanya dan batas pokok pikirannya, namun inilah sekelumit kesamaan yang saya lihat pada orang-orang Sulawesi Selatan dan Barat, yang oleh Pakar Mattulada menyebutnya sebagai “Sempugi”.

I. ORANG-ORANG YANG MEMBINGUNGKAN

Setidaknya demikian kata beberapa teman saya yang datang dari Australia. Mereka menyebut “kata ganti orang” dengan tidak begitu tegas, padahal bahasa mereka pun memiliki struktur yang jelas, misalnya :

- Iya’ (Bugis), InakkE (Makassar). Namun sehari-hari mereka jarang menyebutnya demikian, utamanya dalam hal petunjuk “kepemilikan”, contoh : Idi’ (Bugis) yang harfiahnya adalah “anda” atau “kita”, namun dapat diartikan sebagai “saya atau kami”. Kemudian berkembang pada kepemilikan, dapat dianggap sebagai hal yang agak kasar jika menyebut “Manu’ku” (ayamku). Terdengar sangat “personal” (ke-Aku-an) bagi lawan bicaranya. Maka adalah hal yang dianggap halus jika menyebutnya : “Manu’ta” (ayam anda atau ayam kita bersama) atau “Manu’E mua” (ayam kita juga), walaupun sesungguhnya itu mutlak milik pribadinya.

Namun tentu saja etika bahasa itu tidak sertamerta berlaku untuk semua ke-pemilik-an. Pada beberapa hal tidak dipermaknakan demikian, mengingat nilai sacral Siri yang melingkupinya, misalnya : BainE (isteri). Tidak akan pernah dikatakan “bainEta” (Maaf ; Istri kita bersama), melainkan dengan pengungkapan yang lebih akrab, misalnya : Ipaata’ (Ipar Anda) atau Indo’na AnaurEta (Ibu keponakan anda) atau ToribolaE (orang dirumah).

Maka kemudian, jika seorang “Sempugi” bertutur Bahasa Indonesia, kerap membingungkan bagi orang-orang dari luar pulau. Akan mudah ditebak jika ia adalah Orang Sulawesi Selatan ketika berbahasa Indonesia, misalnya : “Bagaimana KITA tahu jika La Baco sedang berada di Surabaya ?”. Padahal maksudnya : “Bagaimana ANDA tahu jika La Baco sedang berada di Surabaya ?”.

Pada semua penutur bahasa di Sulawesi Selatan dan Barat, mereka menyebut kepemilikan “basa basi” itu dengan akhiran “ta” atau “a”dibelakang kata benda atau kata ganti orang yang dimaksudkannya. Misalnya : Kampongta (Bugis), Ballaka (Makassar), Sitondo’ta (Toraya), atau lainnya. Semua itu adalah menandakan sebagai semangat kebersamaan, sebagaimana diungkapkan : Tania Tolaing atau TEai TomaraEng (bukan orang lain..). Hal yang menunjukkan sebagai pertanda keakraban.

- Orang Sulawesi Selatan dan Barat (baca : Sempugi) adalah bangsa yang amat mudah “tersentuh” (peka) terhadap persoalan  makanan dan minuman. “Agaga muttama ri wettangngE” (sesuatu yang masuk dalam perut). Maka adalah hal terlarang oleh “Siri PessE” untuk menghitung-hitung pemberian terhadap orang lain jika itu menyangkut makanan dan minuman. Memberi atau menjamu makan minum kepada tamu dianggap sebagai suatu kewajiban prikemanusiaan. Ia memberi  tanpa harus bertanya dulu kepada orang dijamunya, misalnya : “Sudah lapar, ya ?” atau “Mau makan apa ?” atau pula “Mau minuman panas atau dingin ?”. Kalaupun ditanya, pastilah dijawabnya dengan agak kesal dan malu, : “Agi-agi, idi’mua bawang..” (Sembarang, terserah anda..).

- Menghargai dengan mengenakan topi atau penutup kepala. Terbalik halnya dengan Eropa yang membuka topi dihadapan orang yang dihormatinya. Maka terkadang orang luar Sulawesi Selatan dan Barat agak heran jika bertemu dengan seorang Sempugi yang berjabat tangan seraya meletakkan tangan kirinya diatas kepalanya (jika tidak mengenakan penutup kepala). Pertanda : Ujujungki ri assipakalebbirengta (saya menjunjung anda dalam rangka saling memuliakan).


II. ORANG-ORANG YANG BERTENGGANG RASA

Pada suatu majelis (forum), didapati seseorang yang amat bersemangat mengutarakan pendapatnya. Disela-sela presentasi itu, kadang-kadang ia balik bertanya pada seorang Sempugi disampingnya, “Maga tasedding ?” (bagaimana menurut pendapat anda ?). Maka Sempugi itu akan tersenyum seraya menyahut : “iyE’” (iya), seakan membenarkan. Padahal sejujurnya, pendapat itu “agak” sedikit berbeda dengan pendapatnya sendiri. Namun ia menahan diri untuk tidak menyanggah dengan pendapat berseberangan, demi menjaga perasaan dan SIRI  Sempugi-nya tersebut. “NarEkko sisala cEddE’mi, imonripi naripasilolongeng..” (kalaulah cuma berselisih sedikit, nantilah belakangan dipertemukan..), demikian kira-kira pikirnya.

Maka amat jarang didapati kata “TIDAK” pada seorang Sempugi. Bahkan jika ia dimintai bantuan akan sesuatu dihadapan umum, maka jawabnya pasti “IyE”, walaupun dirasanya itu agak sulit. “Kalamanna jancimi bawang..” (Walaupun itu sekedar janji..), agar orang yang meminta bantuan itu tidak merasa berkecil hati.


III. ORANG-ORANG YANG BERDARAH PANAS ?

Dianggap gampang naik darah karena mereka adalah orang-orang yang peka. Begitu halus adabnya dengan menghargai martabat dan menjaga perasaan orang lain, maka iapun mudah tersentuh jika dikasari dihadapan orang banyak. “Siri’Engmi na toTau, naiyya Siri’E : Nyawa naranreng, Sunge’ nakira-kira..” (Karena harga dirilah maka kita dinilai manusia, sesungguhnya harga diri itu : pendamping jiwa, hidup yang menjadi taruhannya..).

Sempugi adalah orang-orang yang berkepribadian amat berhati-hati dan mawas diri ditengah masyarakat. “Manini ri collai, nasaba’ pangkaukengna..” (sangat menghindari diperlakukan sembarangan, dikarenakan perbuatannya sendiri..).

Pada suatu waktu, penulis menemani salah seorang junjungan untuk mengurus Pasport dalam rangka perjalanan umroh. Setelah passport itu selesai, saya mengusulkan agar Sang Datu mengurus Kartu NPWP supaya tidak perlu membayar Piskal yang sekira-kira senilai 2,5 juta Rupiah.

“..aja’na kapang, Oddang. NadE’na jE’ gaga jaman-jamangku, pensiunna’ iya’. DE’na na’Engka umakkamaja pajak, agannapi riyala mala kartu pajak ?” (..agaknya tidak usah, Oddang. Saya tidak punya pekerjaan lagi, sudah pension. Maka saya tidak pernah lagi membayar pajak, buat apa lagi mengurus kartu pajak ?), tolaknya.

“EbarE’ dE’nakkamaja piskal DatuE, Puang..” (Agar paduka tidak bayar piskal lagi, Tuanku..), jawabku meyakinkan.

“Wee.. aja’na kasi’. DE’saharo namaEga dui, naEkia taroni iwajaa.. Engka ammani Pagawai Pajak’E mapparEssa lao ri bolaE, nasakke’rupa napadangki’. Tomasiri bawangnatu, natosala mEmeng..” (Wee.. tidak usahlah. Memang kita tidak memiliki uang yang banyak, namun biarlah dibayar.. Nanti pegawai pajak datang memeriksa di rumah, lalu sembaranglah nanti dikatakannya pada kita. Kita akan merasa malu saja, karena memang kita yang bersalah..).

Maka Sempugi sesungguhnya adalah orang-orang yang memagari SIRI dengan “sipakatau” (tenggang rasa) dan membelanya dengan segenap jiwa yang dimilikinya.





Wallahualam Bissawwab..

Rabu, 13 Juni 2012


KARAENG LOHETA, LEGENDA TENTANG SEORANG TOKOH LUWU

                                                                                           By. La Oddang



..memenuhi amanah Adinda FAISAL TO WARE, maka penuturan ini dihaturkan sebegini adanya. Bukan sebuah kajian sejarah, melainkan PAU-PAU NIPALEMBA (cerita yang dituturkan kembali), suatu souvenir  berharga selama menumpang hidup di kawasan Tanjung Bira selama 1997-2002.



……………………………………………………………………………………………………………



Bermula ketika kali pertama saya menapakkan kaki pada suatu perkampungan nelayan di pantai timur Tanjung Bira, bernama : PANRANG LUHU.  Penamaan dari Bahasa Konjo yang berarti : Kuburan Orang Luwu, dimana memang sesungguhnya dapat ditemukan kompleks pemakaman tua yang terhampar pada ujung sebelah selatan pemukiman yang indah tersebut. Maka selanjutnya, saya menanyakan asal muasal penamaan kampung tersebut kepada seorang Tokoh Bira yang berdiam di Kampung itu, yakni : Opu Tuan Abdul Halik (Almarhum).



Alkisah, entah tahun berapa dan pada jaman pemerintahan Datu/Payung Luwu yang keberapa, legenda ini mengalir tanpa dibatasi oleh kaidah sejarah dan metodologinya yang rumit. Tersebutlah seorang Ratu dalam wilayah kedaulatan Kerajaan Luwu, bernama : Sangkawana. Baginda Ratu adalah seorang wanita yang cantik rupawan, namun bernasib malang karena telah ditinggal wafat oleh suaminya. Namun kesedihan itu dapatlah juga terobati dengan adanya putera tunggalnya, buah kasih peninggalan mendiang suaminya tercinta. Maka anak semata wayang itu dipeliharanya dengan limpahan kasih sayang yang berlebihan. Segala kemauannya dituruti tanpa pertimbangan baik dan buruk, demi mengingat kasih iba akan kemalangan si anak yang ditinggal mati ayahandanya sejak dalam kandungan. Maka dapatlah diterka, kasih berlebihan itu mengakibatkan ia tumbuh sebagai anak manja dan nakal.



Berbagai kenakalan yang dilakukan pangeran kecil yang yatim itu. Hingga pada suatu puncak kenakalannya, ibundanya amat berang dan lupa diri. Diambilnya gayung tempurung lalu dipukulkannya pada kepala puteranya !. Darah mengucur deras dari luka itu, lalu anak yang tidak menyangka jika ibunda yang biasanya amat memanjakannya, tega memukulnya sekeras itu. Sambil mendekap luka dikepalanya, ia melarikan diri ke hutan. Meninggalkan ibundanya yang terengah-engah akibat kemarahannya bercampur sesal  melihat darah mengucur deras di kepala puteranya, akibat pukulannya.



……………………………………………………………………………………….



Iponcoki caritaE, beberapa tahun kemudian.. Sang Ratu masih memimpin kerajaannya sebagaimana sediakala. Berbagai upaya dilakukannya bersama rakyatnya untuk mencari puteranya yang melarikan diri ke hutan, namun tidak ditemukannya juga. Maka anak itu dianggap hilang atau kemungkinan besar telah meninggal dunia. Duka cita melanda anak negeri itu selama beberapa waktu, terutama ibundanya. Namun putaran waktu demi waktu mengikisnya hingga menjadi suatu kenangan buruk belaka. Demikian pula halnya dengan sang ratu, iapun perlahan dapat memulihkan jiwanya, walaupun tak sepenuhnya. Anehnya, baginda ratu yang molek itu tetaplah cantik dan awet muda. Rupanya waktu telah bertekuk lutut atas ketegarannya menghadapi kesusahan hidup yang susul menyusul menerpanya.



Pada suatu hari, anak negeri itu kedatangan seorang pemuda yang rupawan. Tiada yang tahu dari mana asalnya, baik negeri maupun asal muasal rumpun keluarganya. Bahkan namanya sendiripun tidak diketahuinya.  ….irippekisi paimeng rampE-rampEwE, ia bertemu dengan sang Ratu yang awet muda itu. Maka terjalinlah rasa saling tertarik antar keduanya, sesuatu yang serta merta ditafsirkannya sebagai “cinta”. Maka menikahlah keduanya, dipersaksikan pada Dewata SEuwwaE  dengan dihantar do’a dan puja para penduduk negeri.



Pada suatu hari, Sang suami muda sedang berleha-leha menghabiskan waktunya dalam genangan madu asmarandana. Ia tertidur dengan kepala berbantal pangkuan isterinya yang setia membelai rambut suaminya penuh kasih sayang. Namun belumlah angannya beranjak ke dunia mimpi, tiba-tiba ia terbangun. Setetes air menimpa keningnya. Kemudian  alangkah terkejutnya, ketika mengetahui jika tetesan air yang menimpanya itu adalah air mata isterinya yang jatuh berderai. Isterinya yang cantik itu menangis dengan amat pilunya. “Ada apa gerangan yang membuatmu menangis sedemikian sedihnya, isteriku ?”, tanyanya.



“Duh.. maafkan kelemahan batin wanita ini, suamiku. Melihat bekas luka dikepalamu, membuatku teringat akan puteraku yang hilang. Kasihan sekali anak itu, gara-gara kekhilafanku yang memukul kepalanya dengan gayun batok kelapa, membuatnya melarikan diri ke hutan. Hingga kini, tidak jelas dimana keberadaannya. Agaknya andai ia masih dipinjami hidup, pastilah ia seumurmu sekarang.. “, keluh isterinya disela isak tangisnya. Bagai disambar kilatan petir, ingatan lelaki itu kembali seketika itu. Dari suatu bayangan samar yang mendekatinya, hingga menjadi wujud utuh yang jelas perihal sosok wanita yang dihadapannya kini. “Oh, bunda.. maafkan puteramu yang durhaka ini..”, ratapnya. Maka..  ?? !! !! xrdwqqq khgrtttslmnjkhyt qxtzr…



Gemparlah seantero negeri Luwu perihal pernikahan tabu yang tidak disengaja itu. Khabar itu sampai pula dihadapan Baginda Payung Luwu. “..iyanatu pangkaukeng nasapa tana na rumpui langi !”, demikian titah baginda. Maka jelaslah, bahwa baginda menjatuhkan hukuman  mati pada kedua ibu dan anak itu. Sesuatu yang dikenal dalam adat istiadat Luwu, yakni : RipaggEnoi wennang cella’ (dikalungkan baginya benang merah). Maka bergegaslah para panglima memerintahkan para pasukannya unuk menangkap suami isteri terlarang itu.



Mengetahui jika mereka telah dijatuhi hukuman mati, keduanya menyingkir sejauh-jauhnya dari wilayah Tana Luwu. Mereka melakukan pelarian itu dengan menempuh perjalanan jauh nan sulit kearah selatan menuju Silaja (Selayar). Namun lasykar Luwu tidak melepaskan begitu saja. Mereka melacak jejak keduanya, seraya melakukan pengejaran. Titah baginda  PayungngE adalah titah Dewata jua !.



Hingga pada suatu hari, perjalanan menyusuri pinggir laut teluk Bone oleh kedua buronan itu tiba di suatu daerah perbukitan yang berada dipinggir laut. Pada suatu puncak bukit mereka melayangkan pandangannya jauh kearah selatan melewati garis horizon permukaan laut, mencari keberadaan Pulau Selayar, tujuan akhir pelariannya. Maka sejak itulah, kawasan itu dinamai BONTO TIRO yang kini menjadi salahsatu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bulukumba. Setelah menemukan arah menuju ke penyeberangan menuju Pulau Selayar, mereka meneruskan perjalanannya kearah selatan, menuju titik akhir perbatasan perairan teluk Bone, pertemuan antar 3 perairan, yakni : Teluk Bone, Laut Flores dan Selat Makassar. Tempat pertemuan itu terletak pada sebuah tanjung yang kini dikenal sebagai : Tanjung Bira. Pada tebing ujung paling selatan Pulau Sulawesi  itulah akhirnya keduanya melepaskan lelah dan penat selama beberapa waktu, sembari  mencari perahu untuk menyeberang.



Namun belumlah sempat mendapatkan perahu menuju ke Pulau Selayar, para lasykar  Luwu berhasil menyusul mereka. Para lasykar yang setia melaksanakan tugas itu menghunus senjatanya masing-masing untuk menghabisi kedua buruannya. Maka dengan perasaan putus asa, ibu dan anak itu menerjunkan diri pada jurang tebing yang terjal, dibawahnya pusaran pertemuan arus yang terkenal ganas itu menunggu dengan suara gemuruhnya..


Menyaksikan kejatuhan kedua buruannya, pasukan Luwu menganggap telah melaksanakan tugas yang diembannya. Adalah kecil kemungkinan jika tubuh manusia biasa mampu selamat dari cengkraman alam perairan yang buas itu, demikian pikirnya. Mereka melakukan perjalanan kembali ke Tana Luwu, melaporkan perihal pelaksanaan tugasnya kepada Sang Junjungan. Namun mereka tidak tahu jika sesungguhnya ada Tuhan yang Maha penentu bagi segenap hamba-Nya. Ibu dan anak itu selamat dari kebuasan pusaran yang menelannya dan pasti menghempaskannya ke gugusan karang yang tajam ! Entah dengan cara bagaimana, kiranya hanya Allah yang tahu..



Penderitaan hidup yang menggenaskan silih berganti menerpanya, merubah karakter  sang bekas Ratu yang malang itu. Ia yang biasanya selalu welas asih nan lembut itu, kini menyimpan dendam kesumat yang teramat dalam pada segenap orang-orang Luwu, tanpa kecuali !. Ia bersama puteranya menetap pada ujung tebing itu dengan meyakini banyak ilmu-ilmu kesaktian yang hebat. Salahsatunya adalah mengendalikan cuaca sekitarnya serta merubah susunan gugusan karang pada celah perairan itu. Ia dapat pula mendatangkan pusaran  maut setiap saat yang dikehendakinya. Target satu-satunya adalah segenap orang Luwu yang melewati perairan itu. Maka keberadaanya di kawasan itu menjadikannya dikenal oleh orang-orang Bira dengan sebutan : KaraEng LohEta, sesuatu yang sesungguhnya berasal dari kata : KaraEng Luhuta (Pertuanan Luwu kita).



Sang bekas Ratu dengan kesaktian dan dendam kesumatnya yang membara, menjadikan celah tanjung itu menjadi kawasan angker. Ia senantiasa duduk pada puncak tebing, mengawasi perahu yang lalu lalang pada celah perairan itu. Jika ia melihat perahu yang ditumpangi oleh orang Luwu, maka ia menenggelamkannya tanpa rasa kasihan sama sekali !. Jazad orang-orang Luwu yang menjadi korbannya terkadang ada yang terdampar pada pantai timur, tidak begitu jauh dari kawasan kekuasan KaraEng LohEta. Maka masyarakat Bira menguburkannya dengan baik di pantai itu juga, hingga dikenal sebagai : Panrang Luhu.



Berbeda dengan ibundanya yang menyimpan dendam membara, adalah puteranya yang agaknya lebih bijaksana. Anak nakal yang sesungguhnya juru kunci keruwetan legenda ini, tidak menyimpan dendam membuta sebagaimana ibunya. Agaknya iapun memahami keputusan Baginda PayungngE dan segenap lasykar Luwu yang semata-mata hendak menegakkan aturan dengan seadil-adilnya. Sekiranya ia terlebih dahulu melihat sebuah perahu Luwu yang hendak melintasi kawasan maut itu, diambilnya sisir lalu menyisir rambut ibunya. Tiada lain maksudnya, memecah perhatian sang Ibunda agar tidak melihat perahu Luwu yang lewat itu. Maka selamatlah perahu itu beserta segenap penumpannya.



Pada suatu hari dengan ditemani masyarakat setempat, saya mengunjungi puncak tebing dimana KaraEng LohEta terakhir menerjunkan diri itu. Suatu tempat yang sesungguhnya amat indah sekaligus amat menyeramkan. Sebuah patahan tebing  yang menyerupai pulau kecil menjadikan perairan itu bagai suatu celah sempit yang amat berbahaya. Dari ketinggian lebih 100 meter, terdengar arus gelombang tak beraturan bagai mengaum tiada henti. Dalam setiap beberapa jam, senantiasa muncul pusaran air besar yang tengahnya menghitam bagai sumur besar, siap menelan apapun yang dapat dijangkaunya. Bahkan kapal-kapal PELNI yang rata-rata besar itu saya yakini dapat pula diputarnya bagai mainan kecil tak berarti, andai berani melintasi pusaran itu. Sementara jika melewatkan pandangan ketengah laut melewati sejenak kawasan maut itu, nampaklah Pulau BEtang yang juga nampak angkuh dengan tebing cadasnya , berdiri teguh bagai penjaga sebuah Pulau yang lebih besar dibelakangnya, yakni : Pulau Selayar.



Hingga tahun 70-an, kawasan Panrang Luhu adalah tempat transit para pelaut Bugis dari perairan Teluk Bone yang hendak melintasi perairan itu menuju Selat Makassar di pantai barat. Mereka melabuhkan kapalnya pada lepas pantai berpasir putih itu, kemudian menyerahkan kapalnya pada orang-orang Bira untuk “menyeberangkannya” hingga di Pantai Barat. Adapun halnya Nakhoda Bugis beserta awaknya, “memilih” berjalan kaki sejauh 2 km ke Pantai Barat untuk mendapatkan kembali perahunya menuju perairan Selat Makassar. Demikian pula sebaliknya bagi Perahu Bugis dari arah sebaliknya. “Mengapa tidak  mengambil haluan lewat celah Pulau BEtang dan Selayar menuju Selat Makassar, Opu ?”, tanyaku penasaran. Opu Tuan yang amat disegani itu tersenyum seraya menimpali,  “..butuh waktu sehari semalam untuk melintasi jalur yang jauh itu, ananda”.





Maka penuturan  panjang inipun diakhiri dulu sampai disini, adinda FAISAL  TOWARE. Jangan tanya perihal kesejarahannya dan Lontara yang menuliskannya, adinda. Sama pula halnya jika andai adinda menanyakan perihal tahun kelahiran “Si Malim Kundang” dan tahun wafatnya “Sangkuriang”.  Jangan pula menanyakan Lontara mana yang menuliskan kisah ini, karena pastilah tidak ditemukan dimanapun. Saya hanya tahu jika BIRA ada disebut pada Sure’ I La Galigo yang disebutnya sebagai “Waniaga” dan masyarakatnya yang disebut sebagai : TOWANIAGA”.


Keterangan Gambar :
"KaraEng LohEta" yang mengerikan bagi para pelaut bugis itu. Nampak pada kejauhan, Pulau BEtang dan dibaliknya adalah Pulau Selayar.. (Foto koleksi Carol Merlo)


Keterangan Gambar :

Pantai Panrangluhu yang berpasir putih dan berair jernih.. Pada ujung utara, nampak Pelabuhan Penyeberangan ke Pulau Selayar.. (Foto koleksi Carol Merlo)



Keterangan Gambar :

..namun dibalik keindahan pantainya, ada jejak yang menjadi pertanda penamaannya.







Wallahualam Bissawwab..

Rabu, 06 Juni 2012



PEKERJAAN DAN KEMERDEKAAN ?


“ Kerja adalah cinta yang mengejawantah,
dan jika engkau tiada sanggup bekerja dengan cinta, hanya dengan enggan,

maka lebih baiklah jika engkau meninggalkannya,

lalu mengambil tempat di depan gapura candi,
meminta sedekah dari mereka

yang bekerja  dengan sukacita..” (Kahlil Gibran, The Prophet)

………………………………………………………………………………………….

Tapi saya ingin bekerja mandiri,
agar “merdeka” dari taktis siapapun !, kataku pada suatu ketika.

“dE’ umaElo tonangi pajjello’na padakku tau !”, demikian pikirku,
Maka kudapatkan modal awal sekedarnya,

Kemudian menekuni hari-hari sebagai pedagang sepatu/sandal di pasar
Sempat kurasakan sejenak kemerdekaan itu,

Hingga kusadari jika kuharus berlomba dengan matahari,
Dan bersaing mendapatkan pembeli dengan sesamaku pedagang

Serta berpacu dengan model barang dagangan yang cepat tertinggal,
Pada akhirnya, kemerdekaan itu berangsur sirna,

Terbawa angin realita kehidupan yang sesungguhnya,
Bahwa kemerdekaan sesungguhnya adanya pada hati nurani.

Bukannya nasib yang menawan dan menjajah,
Melainkan diri sendiri yang memborgol tangan sendiri dengan rantai, bernama : Angkuh

Kemudian menjebloskan diri kedalam sel tahanan, bernama : ingkar nikmat
Pendirian yang sesungguhnya jauh dari pengertian sederhana,

yakni harmonisnya kemampuan dan keinginan..


Wallahualam Bissawab..