Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Rabu, 13 Juni 2012


KARAENG LOHETA, LEGENDA TENTANG SEORANG TOKOH LUWU

                                                                                           By. La Oddang



..memenuhi amanah Adinda FAISAL TO WARE, maka penuturan ini dihaturkan sebegini adanya. Bukan sebuah kajian sejarah, melainkan PAU-PAU NIPALEMBA (cerita yang dituturkan kembali), suatu souvenir  berharga selama menumpang hidup di kawasan Tanjung Bira selama 1997-2002.



……………………………………………………………………………………………………………



Bermula ketika kali pertama saya menapakkan kaki pada suatu perkampungan nelayan di pantai timur Tanjung Bira, bernama : PANRANG LUHU.  Penamaan dari Bahasa Konjo yang berarti : Kuburan Orang Luwu, dimana memang sesungguhnya dapat ditemukan kompleks pemakaman tua yang terhampar pada ujung sebelah selatan pemukiman yang indah tersebut. Maka selanjutnya, saya menanyakan asal muasal penamaan kampung tersebut kepada seorang Tokoh Bira yang berdiam di Kampung itu, yakni : Opu Tuan Abdul Halik (Almarhum).



Alkisah, entah tahun berapa dan pada jaman pemerintahan Datu/Payung Luwu yang keberapa, legenda ini mengalir tanpa dibatasi oleh kaidah sejarah dan metodologinya yang rumit. Tersebutlah seorang Ratu dalam wilayah kedaulatan Kerajaan Luwu, bernama : Sangkawana. Baginda Ratu adalah seorang wanita yang cantik rupawan, namun bernasib malang karena telah ditinggal wafat oleh suaminya. Namun kesedihan itu dapatlah juga terobati dengan adanya putera tunggalnya, buah kasih peninggalan mendiang suaminya tercinta. Maka anak semata wayang itu dipeliharanya dengan limpahan kasih sayang yang berlebihan. Segala kemauannya dituruti tanpa pertimbangan baik dan buruk, demi mengingat kasih iba akan kemalangan si anak yang ditinggal mati ayahandanya sejak dalam kandungan. Maka dapatlah diterka, kasih berlebihan itu mengakibatkan ia tumbuh sebagai anak manja dan nakal.



Berbagai kenakalan yang dilakukan pangeran kecil yang yatim itu. Hingga pada suatu puncak kenakalannya, ibundanya amat berang dan lupa diri. Diambilnya gayung tempurung lalu dipukulkannya pada kepala puteranya !. Darah mengucur deras dari luka itu, lalu anak yang tidak menyangka jika ibunda yang biasanya amat memanjakannya, tega memukulnya sekeras itu. Sambil mendekap luka dikepalanya, ia melarikan diri ke hutan. Meninggalkan ibundanya yang terengah-engah akibat kemarahannya bercampur sesal  melihat darah mengucur deras di kepala puteranya, akibat pukulannya.



……………………………………………………………………………………….



Iponcoki caritaE, beberapa tahun kemudian.. Sang Ratu masih memimpin kerajaannya sebagaimana sediakala. Berbagai upaya dilakukannya bersama rakyatnya untuk mencari puteranya yang melarikan diri ke hutan, namun tidak ditemukannya juga. Maka anak itu dianggap hilang atau kemungkinan besar telah meninggal dunia. Duka cita melanda anak negeri itu selama beberapa waktu, terutama ibundanya. Namun putaran waktu demi waktu mengikisnya hingga menjadi suatu kenangan buruk belaka. Demikian pula halnya dengan sang ratu, iapun perlahan dapat memulihkan jiwanya, walaupun tak sepenuhnya. Anehnya, baginda ratu yang molek itu tetaplah cantik dan awet muda. Rupanya waktu telah bertekuk lutut atas ketegarannya menghadapi kesusahan hidup yang susul menyusul menerpanya.



Pada suatu hari, anak negeri itu kedatangan seorang pemuda yang rupawan. Tiada yang tahu dari mana asalnya, baik negeri maupun asal muasal rumpun keluarganya. Bahkan namanya sendiripun tidak diketahuinya.  ….irippekisi paimeng rampE-rampEwE, ia bertemu dengan sang Ratu yang awet muda itu. Maka terjalinlah rasa saling tertarik antar keduanya, sesuatu yang serta merta ditafsirkannya sebagai “cinta”. Maka menikahlah keduanya, dipersaksikan pada Dewata SEuwwaE  dengan dihantar do’a dan puja para penduduk negeri.



Pada suatu hari, Sang suami muda sedang berleha-leha menghabiskan waktunya dalam genangan madu asmarandana. Ia tertidur dengan kepala berbantal pangkuan isterinya yang setia membelai rambut suaminya penuh kasih sayang. Namun belumlah angannya beranjak ke dunia mimpi, tiba-tiba ia terbangun. Setetes air menimpa keningnya. Kemudian  alangkah terkejutnya, ketika mengetahui jika tetesan air yang menimpanya itu adalah air mata isterinya yang jatuh berderai. Isterinya yang cantik itu menangis dengan amat pilunya. “Ada apa gerangan yang membuatmu menangis sedemikian sedihnya, isteriku ?”, tanyanya.



“Duh.. maafkan kelemahan batin wanita ini, suamiku. Melihat bekas luka dikepalamu, membuatku teringat akan puteraku yang hilang. Kasihan sekali anak itu, gara-gara kekhilafanku yang memukul kepalanya dengan gayun batok kelapa, membuatnya melarikan diri ke hutan. Hingga kini, tidak jelas dimana keberadaannya. Agaknya andai ia masih dipinjami hidup, pastilah ia seumurmu sekarang.. “, keluh isterinya disela isak tangisnya. Bagai disambar kilatan petir, ingatan lelaki itu kembali seketika itu. Dari suatu bayangan samar yang mendekatinya, hingga menjadi wujud utuh yang jelas perihal sosok wanita yang dihadapannya kini. “Oh, bunda.. maafkan puteramu yang durhaka ini..”, ratapnya. Maka..  ?? !! !! xrdwqqq khgrtttslmnjkhyt qxtzr…



Gemparlah seantero negeri Luwu perihal pernikahan tabu yang tidak disengaja itu. Khabar itu sampai pula dihadapan Baginda Payung Luwu. “..iyanatu pangkaukeng nasapa tana na rumpui langi !”, demikian titah baginda. Maka jelaslah, bahwa baginda menjatuhkan hukuman  mati pada kedua ibu dan anak itu. Sesuatu yang dikenal dalam adat istiadat Luwu, yakni : RipaggEnoi wennang cella’ (dikalungkan baginya benang merah). Maka bergegaslah para panglima memerintahkan para pasukannya unuk menangkap suami isteri terlarang itu.



Mengetahui jika mereka telah dijatuhi hukuman mati, keduanya menyingkir sejauh-jauhnya dari wilayah Tana Luwu. Mereka melakukan pelarian itu dengan menempuh perjalanan jauh nan sulit kearah selatan menuju Silaja (Selayar). Namun lasykar Luwu tidak melepaskan begitu saja. Mereka melacak jejak keduanya, seraya melakukan pengejaran. Titah baginda  PayungngE adalah titah Dewata jua !.



Hingga pada suatu hari, perjalanan menyusuri pinggir laut teluk Bone oleh kedua buronan itu tiba di suatu daerah perbukitan yang berada dipinggir laut. Pada suatu puncak bukit mereka melayangkan pandangannya jauh kearah selatan melewati garis horizon permukaan laut, mencari keberadaan Pulau Selayar, tujuan akhir pelariannya. Maka sejak itulah, kawasan itu dinamai BONTO TIRO yang kini menjadi salahsatu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bulukumba. Setelah menemukan arah menuju ke penyeberangan menuju Pulau Selayar, mereka meneruskan perjalanannya kearah selatan, menuju titik akhir perbatasan perairan teluk Bone, pertemuan antar 3 perairan, yakni : Teluk Bone, Laut Flores dan Selat Makassar. Tempat pertemuan itu terletak pada sebuah tanjung yang kini dikenal sebagai : Tanjung Bira. Pada tebing ujung paling selatan Pulau Sulawesi  itulah akhirnya keduanya melepaskan lelah dan penat selama beberapa waktu, sembari  mencari perahu untuk menyeberang.



Namun belumlah sempat mendapatkan perahu menuju ke Pulau Selayar, para lasykar  Luwu berhasil menyusul mereka. Para lasykar yang setia melaksanakan tugas itu menghunus senjatanya masing-masing untuk menghabisi kedua buruannya. Maka dengan perasaan putus asa, ibu dan anak itu menerjunkan diri pada jurang tebing yang terjal, dibawahnya pusaran pertemuan arus yang terkenal ganas itu menunggu dengan suara gemuruhnya..


Menyaksikan kejatuhan kedua buruannya, pasukan Luwu menganggap telah melaksanakan tugas yang diembannya. Adalah kecil kemungkinan jika tubuh manusia biasa mampu selamat dari cengkraman alam perairan yang buas itu, demikian pikirnya. Mereka melakukan perjalanan kembali ke Tana Luwu, melaporkan perihal pelaksanaan tugasnya kepada Sang Junjungan. Namun mereka tidak tahu jika sesungguhnya ada Tuhan yang Maha penentu bagi segenap hamba-Nya. Ibu dan anak itu selamat dari kebuasan pusaran yang menelannya dan pasti menghempaskannya ke gugusan karang yang tajam ! Entah dengan cara bagaimana, kiranya hanya Allah yang tahu..



Penderitaan hidup yang menggenaskan silih berganti menerpanya, merubah karakter  sang bekas Ratu yang malang itu. Ia yang biasanya selalu welas asih nan lembut itu, kini menyimpan dendam kesumat yang teramat dalam pada segenap orang-orang Luwu, tanpa kecuali !. Ia bersama puteranya menetap pada ujung tebing itu dengan meyakini banyak ilmu-ilmu kesaktian yang hebat. Salahsatunya adalah mengendalikan cuaca sekitarnya serta merubah susunan gugusan karang pada celah perairan itu. Ia dapat pula mendatangkan pusaran  maut setiap saat yang dikehendakinya. Target satu-satunya adalah segenap orang Luwu yang melewati perairan itu. Maka keberadaanya di kawasan itu menjadikannya dikenal oleh orang-orang Bira dengan sebutan : KaraEng LohEta, sesuatu yang sesungguhnya berasal dari kata : KaraEng Luhuta (Pertuanan Luwu kita).



Sang bekas Ratu dengan kesaktian dan dendam kesumatnya yang membara, menjadikan celah tanjung itu menjadi kawasan angker. Ia senantiasa duduk pada puncak tebing, mengawasi perahu yang lalu lalang pada celah perairan itu. Jika ia melihat perahu yang ditumpangi oleh orang Luwu, maka ia menenggelamkannya tanpa rasa kasihan sama sekali !. Jazad orang-orang Luwu yang menjadi korbannya terkadang ada yang terdampar pada pantai timur, tidak begitu jauh dari kawasan kekuasan KaraEng LohEta. Maka masyarakat Bira menguburkannya dengan baik di pantai itu juga, hingga dikenal sebagai : Panrang Luhu.



Berbeda dengan ibundanya yang menyimpan dendam membara, adalah puteranya yang agaknya lebih bijaksana. Anak nakal yang sesungguhnya juru kunci keruwetan legenda ini, tidak menyimpan dendam membuta sebagaimana ibunya. Agaknya iapun memahami keputusan Baginda PayungngE dan segenap lasykar Luwu yang semata-mata hendak menegakkan aturan dengan seadil-adilnya. Sekiranya ia terlebih dahulu melihat sebuah perahu Luwu yang hendak melintasi kawasan maut itu, diambilnya sisir lalu menyisir rambut ibunya. Tiada lain maksudnya, memecah perhatian sang Ibunda agar tidak melihat perahu Luwu yang lewat itu. Maka selamatlah perahu itu beserta segenap penumpannya.



Pada suatu hari dengan ditemani masyarakat setempat, saya mengunjungi puncak tebing dimana KaraEng LohEta terakhir menerjunkan diri itu. Suatu tempat yang sesungguhnya amat indah sekaligus amat menyeramkan. Sebuah patahan tebing  yang menyerupai pulau kecil menjadikan perairan itu bagai suatu celah sempit yang amat berbahaya. Dari ketinggian lebih 100 meter, terdengar arus gelombang tak beraturan bagai mengaum tiada henti. Dalam setiap beberapa jam, senantiasa muncul pusaran air besar yang tengahnya menghitam bagai sumur besar, siap menelan apapun yang dapat dijangkaunya. Bahkan kapal-kapal PELNI yang rata-rata besar itu saya yakini dapat pula diputarnya bagai mainan kecil tak berarti, andai berani melintasi pusaran itu. Sementara jika melewatkan pandangan ketengah laut melewati sejenak kawasan maut itu, nampaklah Pulau BEtang yang juga nampak angkuh dengan tebing cadasnya , berdiri teguh bagai penjaga sebuah Pulau yang lebih besar dibelakangnya, yakni : Pulau Selayar.



Hingga tahun 70-an, kawasan Panrang Luhu adalah tempat transit para pelaut Bugis dari perairan Teluk Bone yang hendak melintasi perairan itu menuju Selat Makassar di pantai barat. Mereka melabuhkan kapalnya pada lepas pantai berpasir putih itu, kemudian menyerahkan kapalnya pada orang-orang Bira untuk “menyeberangkannya” hingga di Pantai Barat. Adapun halnya Nakhoda Bugis beserta awaknya, “memilih” berjalan kaki sejauh 2 km ke Pantai Barat untuk mendapatkan kembali perahunya menuju perairan Selat Makassar. Demikian pula sebaliknya bagi Perahu Bugis dari arah sebaliknya. “Mengapa tidak  mengambil haluan lewat celah Pulau BEtang dan Selayar menuju Selat Makassar, Opu ?”, tanyaku penasaran. Opu Tuan yang amat disegani itu tersenyum seraya menimpali,  “..butuh waktu sehari semalam untuk melintasi jalur yang jauh itu, ananda”.





Maka penuturan  panjang inipun diakhiri dulu sampai disini, adinda FAISAL  TOWARE. Jangan tanya perihal kesejarahannya dan Lontara yang menuliskannya, adinda. Sama pula halnya jika andai adinda menanyakan perihal tahun kelahiran “Si Malim Kundang” dan tahun wafatnya “Sangkuriang”.  Jangan pula menanyakan Lontara mana yang menuliskan kisah ini, karena pastilah tidak ditemukan dimanapun. Saya hanya tahu jika BIRA ada disebut pada Sure’ I La Galigo yang disebutnya sebagai “Waniaga” dan masyarakatnya yang disebut sebagai : TOWANIAGA”.


Keterangan Gambar :
"KaraEng LohEta" yang mengerikan bagi para pelaut bugis itu. Nampak pada kejauhan, Pulau BEtang dan dibaliknya adalah Pulau Selayar.. (Foto koleksi Carol Merlo)


Keterangan Gambar :

Pantai Panrangluhu yang berpasir putih dan berair jernih.. Pada ujung utara, nampak Pelabuhan Penyeberangan ke Pulau Selayar.. (Foto koleksi Carol Merlo)



Keterangan Gambar :

..namun dibalik keindahan pantainya, ada jejak yang menjadi pertanda penamaannya.







Wallahualam Bissawwab..

4 komentar:

  1. Assalamu'alaikum Wr. Wb. pak saya ingin bertanya tentang perahu pinisi. apakah ada upacara adat tertentu sebelum pembuatan kapan pinisi? terimakasih sebelumnya.

    BalasHapus
  2. Mitos, yg sudah sy patahkan.sy org luwu dan sudah melakukan perjalanan ke Selayar dengan sebuah badik. Semua tergantung niat dan tujuan.
    Dan cerita diatas sama persis dengan cerita sangkurilang di Jawa Barat.

    BalasHapus
  3. Sama persis dengan cerita sangkuriang di jawa barat

    BalasHapus
  4. Terima kasih ata tulisannya, agak mirip dengan cerita Sangkuriang tp soal diusir dari tanah Luwu itu persis dengan yg pernah diceritakan kakekku

    BalasHapus