Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Sabtu, 23 Februari 2013

Renungan Tentang Cinta dan Kesenangan





RENUNGAN DIANTARA CINTA DAN KESENANGAN


Patutkah kalau kita menyamakan cinta kasih dengan kesenangan ?. Benarkah anggapan sementara orang, bahwa cinta kasih adalah pemuasan berahi belaka ?. Tepatkah kalau cinta kasih mendatangkan cemburu, kemarahan, kebencian dan kedukaan ?.
………………………………………………………………….. 


Memang kasihanlah bagi siapapun yang menganggap cinta kasih sebagai suatu hal yang harus menjadi sumber kesenangan. Menjadi suatu hal yang harus menjadi pemuas keinginan diri sendiri belaka, karena siapa saja yang beranggapan demikian sudah pasti akan menemui kegagalan dalam cinta. Ia sudah pasti pada suatu waktu, akan kecewa karena cinta kasih yang tadinya dianggap sebagai sumber kesenangan dan tidaklah seperti yang diharapkan semula. 

Setiap bentuk kesenangan sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan kedukaan. Maka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan, sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan kedukaan. Pada akhirnya, cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan.  Jelaslah bahwa hal itu berarti, bahwa cinta kasih juga merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan!. Karena kesenangan mempunyai kebalikannya, yaitu kedukaan.  Maka, kalau kesenangan terluput, datanglah kekecewaan atau kedukaan.

Tidaklah mungkin untuk menentukan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu. Cinta kasih bukanlah benda atau hal mati yang sudah dapat ditentukan sifatnya. Namun jelas bukan cinta kasih kalau mendatangkan duka !. Pementingan mendatangkan duka, pengejaran kesenangan mendatangkan duka, jadi semua itu bukanlah cinta kasih !.


Maka jelaslah, rasa yang menimbulkan suka dan duka bukan cinta kasih. Hal masih dicengkeram suka duka tak mungkin mengenal bahagia Cinta kasih atau bahagia tentu jauh lebih tinggi di atas alam suka duka !.

Semenjak kecil, kita sudah terdidik dan terbiasa untuk menilai segala sesuatu melalui kata-kata. Pada akhirnya terjerumuslah kita semua ke dalam dunia penuh kepalsuan yang tersembunyi dibalik kata-kata manis !. Maka kepalsuan-kepalsuan melalui kata-kata manis dan senyum buatan ini oleh kita, dinamai : PERADABAN. Sesungguhnya inilah peradaban yang tidak beradab. Kita namakan pula kesopanan, namun ia adalah kesopanan yang tidak sopan. Kita sudah terbiasa untuk menilai keadaan luarnya saja. Inilah yang menyebabkan kita sering tergelincir oleh kemanisan kata-kata dan sikap palsu. 

Kita tidak lagi peka untuk mengenal keadaan yang lebih mendalam,  karena perasaan kita sudah dibikin tumpul oleh kebiasaan menilai kulitnya saja. Maka diobral oranglah kata-kata “aku cinta padamu”, sehingga tidak ada artinya lagi. Diobral orang pula senyum palsu, sikap menghormat dan menjilat yang kesemuanya itu sesungguhnya tidak wajar dan palsu adanya. Hal ini dapat kita lihat jelas sekali terjadi di sekeliling kita, bahkan dalam diri kita, kalau saja kita mau MEMBUKA MATA memandang dan mengamati apa adanya. Maka dapatkah kita hidup tanpa menjadi hamba kepalsuan ini ?.

Demikianlah pula dengan “Nurani Mencinta”. Dia sudah yakin benar akan perasaan cinta yang terbalas kepadanya, namun tidak puaslah hatinya kalau dia tidak mendengar pernyataan cinta itu melalui kata-kata, padahal pernyataan macam ini sesungguhnya tidak ada harganya sama sekali, karena apakah artinya kata-kata hampa dibandingkan dengan perasaan yang murni dan agung itu ?.

Memang demikianlah Cinta !. Amat besar kuasanya atas perasaan manusia. Sekali Cinta menyentuh hati sanubari insan, selanjutnya merupakan titik terang satu-satunya yang meniadakan segala persoalan hidup. Menjadi satu-satunya tujuan hidup penuh dengan hasrat dan harapan, melambungkan cita-cita setinggi angkasa, membuat yang terkena terapung muluk dan satu-satunya hal yang penting dalam hidup hanyalah tercapainya hasrat dan harapannya. 

Cinta memang indah, namun keindahan yang cemerlang menyilaukan hati sehingga terlupakan orang, bahwa di dalam keindahan itu terdapat lika-liku yang ruwet dan rumit, lika-liku yang mudah menyesatkan dan sekali terpeleset, segala kemanisan berubah kepahitan.  Madu berubah empedu, keindahan berubah keburukan dan kebahagiaan terbang pergi, kegembiraan berganti kedukaan !. Cinta, bagaikan pohon kembang nan indah. Namun sesungguhnya mengandung duri, mengandung ular yang mudah pula layu. Kalau pandai merawatnya, menghindarkan durinya, pandai memupuknya, barulah akan subur dan semakin indah !. Maka merawatnya, tiada lain dengan ketulusan. Kemudian memupuknya dengan kerinduan. Lalu menyiramnya dengan curahan kasih. Kemudian pada akhirnya menatanya dengan sayang.

Lalu apa dan bagaimana “Cinta Asmara” yang sesungguhnya itu ?. Cinta Asmara bukan sekedar terdorong oleh daya tarik masing-masing antara pria dan wanita, walaupun tentu saja dimulai oleh suatu daya tarik. Daya tarik, itu bisa saja berupa wajah rupawan, kedudukan tinggi, harta benda, kepandaian, atau keturunan keluarga orang besar. Akan tetapi juga dapat berupa sikap yang menyenangkan hati yang tertarik, tentu saja sikap ini pun bermacam-macam sesuai dengan selera masing-masing yang tertarik. Akan tetapi, hubungan kasih sayang ini barulah mendalam dan juga membahagiakan orang yang dicintanya. Sebaliknya, cinta asmara yang didorong oleh keinginan menyenangkan diri sendiri, sudah tentu akan bertumbuk kepada banyak hal yang mendatangkan derita. Derita ini timbul karena sekali waktu tentu orang yang dicintanya itu akan melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak menyenangkan hatinya lagi !. Sungguh, tiada sesuatu yang kekal di dalam kehidupan ini kecuali cinta kasih !.
Semenjak manusia tercipta, nafsu berahi merupakan nafsu yang paling kuat dan jika nafsu ini telah mencengkeram diri manusia, maka si manusia lupa akan segala hal, kehilangan kewaspadaannya dan seluruhnya menjadi permaianan nafsu. Dapat dilihat dalam catatan sejarah betapa banyaknya tokoh yang jatuh kerena diperhamba nafsu berahi, para ksatria yang runtuh karena wanita, dan orang-orang alim ulama yang tergoda oleh nafsu, godaan terkuat. Nafsu berahi merupakan anugerah alamiah yang memperindah cinta kasih antara pria dan wanita, mendorong manusia untuk berkembang biak dan sudahlah menjadi hukum alam. 
Namun apabila nafsu berahi tidak dikekang dan sudah mencengkeram diri manusia yang telah menciptakan hukum-hukum kesusilaan, maka segala rintangan, segala pantangan akan dilanggar di luar kesadarannya.


Penderitaan batin yang timbul akibat cinta asmara memang amatlah berat penanggungannya. Hati akan merasa amat kesunyian, amat nelangsa, hidup seakan-akan kosong tidak ada arti­nya, lenyaplah semua gairah hidup, lenyap semua kegembiraan, yang terasa hanyalah kelesuan, lemah lunglai rasanya seluruh tubuh, tanpa semangat membuat orang malas dan tak acuh. Semua ini timbul karena perasaan iba diri yang amat mendalam. Duka lara yang tak terperikan. 

Wahai, dari mana timbulnya duka lara ?. Akibat duka sudah jelas, membuat orang menjadi gelap pikiran dan tidak sabar, dan dalam keadaan sesak oleh duka itu jasmani pun bekerjalah untuk menolong dirinya dari ancaman bahaya karena duka, yaitu dengan jalan menciptakan air mata yang bercucuran keluar dan peristiwa ini dapat melampiaskan duka seperti bendungan yang dibuka sehingga genangan duka itu dapat membanjir keluar.


Akan tetapi dari manakah timbulnya duka ?. Jelaslah bahwa duka timbul dari pikiran sendiri. Pikiran dilayangkan kepada hal-hal yang sudah lewat, hal-hal yang dianggap merugikan diri sendiri, dianggap tidak cocok dengan apa yang dikehendaki sehingga hal yang telah terjadi itu mendatangkan kekecewa­an yang kemudian menciptakan rasa nelangsa dan iba kepada diri sendiri, menjadi duka.


Jelaslah bahwa duka menguasai batin hanya pada saat kita tidak sadar, pada saat kita tidak waspada, pada saat kita membiarkan batin diselubungi ke­nangan hal-hal yang sudah lewat. Dan kita melakukan sesuatu yang amat keliru, yaitu kita selalu ingin lari dari duka, yang datang menyerang. Ingin lari dari duka, ingin menghibur dan melupakan hal yang mendukakan.


Namun usaha menjauhkan duka ini malah memperbesar duka itu sendiri !. Kita tidak pernah mau menghadapi duka itu sebagaimana ada­nya, atau mengamati duka dengan penuh ke­waspadaan dan kesadaran. Mengamati betapa kita penuh dengan iba diri, betapa kita mengenang-ngenang hal yang merugikan itu, terus mengunyah-ngunyah kenangan itu sehingga semua kenangan itu seolah-olah merupakan sebuah tangan setan yang meremas-remas hati kita sendiri!.


Untuk dapat terbebas dari duka, kita harus mengenal duka sebagaimana adanya, kita harus berani mengamati duka, tidak lari darinya. Karena hanya dengan pengamatan yang penuh kewas­padaan  inilah maka akan timbul pengerti­an yang sedalam-dalamnya tentang duka, dan pengertian ini akan menimbulkan kesadaran yang dengan sendirinya akan melenyapkan duka tanpa kita berusaha menghilangkannya.


Namun sayang, betapa kita semua tidak sadar dan membiarkan diri ter­seret ke dalam arus suka-duka ini. Kita terseret duka, mengharapkan hiburan, menikmati hiburan yang mendatangkan suka, untuk kemudian diseret ke dalam duka kembali, dan demikian selanjutnya kita terjebak ke dalam lingkaran setan yang berupa suka dan duka. Namun yang lebih menyedihkan lagi, kita menganggap bahwa memang sudah demikian itulah hidup !. “C’ Est La Vie !”, demikian Orang Perancis mengatakannya. “Olala”, seolah-olah tidak ada jalan lain dalam kehidupan ini, kecuali menjadi hamba suka duka yang menyedihkan.


Kita manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka dan duka apabila kita masih terbelenggu oleh segala ikatan. Selama batin kita masih belum bebas dari rasa takut akan kesunyian, kita selalu mencari sandaran dan kita mengikatkan diri dengan segala yang anggap akan mendatangkan kesenangan abadi. Kita selalu mengejar kesenangan dan menuntut kesenangan dari segala sesuatu sehingga kita mengikatkan diri dengan suami/isteri, dengan keluarga, dengan kedudukan, dengan harta, dengan nama dan sebagainya. Pengikatan diri dengan semua ini dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan pencarian kesenangan baik kesenangan duniawi maupun kesenangan rohani. Kalau sewaktu-waktu kita diharuskan terpisah dengan semua itu, tentu saja menimbulkan duka dan sengsara yang sama artinya dengan kekecewaan karena kesenangan kita dirampas.


Sesungguhnya bahwa suka maupun duka bersumber kepada hati dan pikiran kita sendiri, tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi semua yang terjadi pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa kesenangan juga berarti kebahagiaan dan sumbernya terletak di harta, kedudukan, nama dan sebagainya.


Betapa bodohnya anggapan seperti itu, betapa dangkalnya. Dimanakah letak kekayaan? Apakah di kantong baju, di peti uang dan harta benda ?. Bukan, melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri. Biarpun orang memiliki lima buah gunung emas, apabila dia masih merasa kurang maka dia adalah miskin dan akan terus mengejar kekayaan dengan tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta adalah orang miskin apabila dia menginginkan barang yang lebih dari jumlah itu harganya. Orang tidak akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan, dari apapun yang berada di dalam tangannya, betapapun tinggi nilai benda itu, apabila dia menginginkan barang yang lain daripada yang telah dimilikinya. Sesungguhnya orang yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, takkan pernah merasa cukup dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa yang dinamakan kebahagiaan hidup.


Sebaliknya, orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi kehidupan dengan segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan perasaan lapang, dengan gembira dan tidak pernah dia tenggelam di dalam duka maupun suka. Bagi dia, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini mengandung hikmah kehidupan yang luar biasa, yang indah dan wajar sehingga dia tidak lagi mengenal apa artinya kecewa, karena dia tidak mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa. Keadaan demikian ini membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran setan yang membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya, selalu jatuh bangun di antara suka dan duka. Akan tetapi betapa menyedihkan karena kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti ini !. Kita menerimanya sebagai hal yang “sudah semestinya”.


Hidup yang penuh dengan duka nestapa, kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri hati, segala macam kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk perang, pembunuhan dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya kadang-kadang saja ada kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat sekali-kali, dan kita sudah menerima kehidupan macam ini sebagai hal yang semestinya! Kita selalu mengejar kesenangan, dengan suka rela menghambakan diri kepada pemuasan kesenangan sungguhpun kita tahu bahwa di balik dari semua kesenangan itu terdapat kesusahan yang mengintai dan siap menerkam korbannya, yaitu : kita !.


Tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan kehidupan yang bersumber di dalam diri pribadi, kecuali KITA SENDIRI. Bukan kita yang mengusahakan perobahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri sendiri, akan tetapi dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal diri sendiri luar dalam, dengan pengawasan dan pengamatan setiap saat, akan timbul pengertian dan kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan sendirinya akan menghalau semua perintang dan penghalang dari perobahan. Pengertian yang mendalam inilah yang penting, bukan segala macam pengetahuan mati tentang filsafat atau kebatinan manapun, karena pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan menjadi slogan mati, klise-klise lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut, bahkan diperalat untuk membanggakan diri belaka.


Biasanya, kita manusia, di ujung dunia yang manapun juga, selalu mengejar-ngejar pengulangan kesenangan atau mencari keadaan yang lebih menyenang­kan atau dianggap lebih menyenangkan lagi, selalu mencoba untuk menjauhi atau menghindari apa saja yang dianggap me­nyusahkan. Kita ingin hidup ini penuh dengan yang manis-manis saja. Kita lupa bahwa selama kita mendambakan yang manis, maka akan bermunculanlah yang pahit, yang getir, yang masam dan sebagainya karena semua itu muncul apa­bila yang manis dan kita dambakan itu tidak tercapai. Itulah romantika hidup. Ya manis, ya pahit, ya getir. Semua itu merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, yang menjadi isi daripada kehidupan kita sekarang ini.


Mengapa kita tidak menerima semua itu secara wajar saja ?. Mengapa mesti bersenang kalau menda­patkan yang manis akan tetapi mengeluh kalau memperoleh yang pahit? Kalau kita menghadapinya dengan pengamatan mendalam, tanpa penilaian “si pikiran” yang mencari manis selalu, mungkin kita akan melihat sesuatu yang ajaib. Benar pahitkah yang kita anggap pahit itu dan benar maniskah yang kita anggap manis ?. Apakah akan terasa nikmatnya manis kalau kita tidak merasakan tidak enaknya pahit ? Apakah kita dapat mengenal terang kalau kita tidak mengenal gelap ?. Maka inilah yang saya maksudkan “memandang dari Sisi Gelap”, atau dengan kata lain : Sisi Pahit. 



******

Jumat, 22 Februari 2013

BELAHAN JIWA





RENUNGANKU TENTANG “PASANGAN YANG DITAKDIRKAN”
                                                                                   By. La Oddang

Ini bukanlah suatu imajinasi, melainkan hal yang sesungguhnya. Bahwa setiap segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan. Ada timur, ada barat. Ada selatan, ada utara. Ada siang dan ada pula malam. Termasuk pula menyangkut situasi dan kondisi. Ada kalanya sulit, kemudian setelah itu ada pula kemudahan. “Inna Ma’al Ushri Yushron..” (sesungguhnya setelah kesulitan, ada kemudahan..), demikian Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an (Surat Al Insyiroh). Ada gelap dan ada pula terang. Kemudian mahluk hidup diciptakan berpasang-pasangan, sebagaimana difirmankan Allah SWT pula dalam Surat Al Baqaroh.

……………………………………………………………………………………………………………………….


Selain dari pasangan antar jenis, manusia sebagai mahluk ciptaan Allah SWT yang paling mulia dikaruniai hati sanubari, dimana jiwanya senantiasa berdiam.  Maka setiap hati inipun sesungguhnya terdiri dari 2 bagian yang menyatu dalam setiap diri. Sebagian adalah dirinya dan sebagian lainnya adalah diri lawan jenisnya yang ditakdirkan sehati dengannya.

Pernahkah kau merasa “gundah tanpa sebab” sehingga seakan tidak mengenal diri sendiri ?
Pernahkah hatimu tiba-tiba bergetar tampa sebab yang jelas ?
Wahai, ..pernahkah tiba-tiba hatimu merasa bimbang ?
Atau pernahkah kau merasa amat dekat dengan seseorang yang baru kau kenal ?.
Padahal orang itu sesungguhnya nampak biasa saja menurut kriteriamu dalam menilai lawan jenis ?.

Semua itu adalah pertanda dan bukti nyata jika setiap manusia yang tumbuh hingga usia akil baliq, memiliki “belahan jiwa”. Kemudian inilah yang kemudian menjadi “Pasangan Cinta Sejati”. Namun amat sedikit orang yang mampu mengenali belahan pasangan takdirnya, hingga berpulang ke Rahmat Allah SWT. Hanya bagi mereka yang mendalami pengenalan dirinya, itulah yang terbuka mata batinnya untuk mengenali belahan jiwanya tersebut.

Ketika sepasang belahan jiwa bertemu, terkadang terasa biasa saja. Hal ini disebabkan karena tabir sifat keduniawian yang amat tebal menutupi hakekat diantara keduanya. Namun bagaimanapun, keduanya merasakan saling ketertarikan yang sama. Entah sebagai teman, atau apapun istilahnya selain cinta. Namun ketika tabir duniawi tersingkap, maka tidak boleh tidak, keduanya otomatis saling mencinta. Cinta yang sesungguhnya dan belum pernah dirasakannya sebelumnya. Maka pasangan takdir ini akan pasrah dalam gairah badaniah dan batiniah sepenuhnya, serta dengan tampa habis-habisnya sepanjang umur mereka.

Pasangan takdir adalah dipertemukan oleh takdir. Maka tiada mahluk yang dapat memisahkannya, serta hanya takdir pula yang memisahkannya, yakni : Ajal. Lalu apakah sebabnya Allah mentakdirkan pertemuan bagi sepasang belahan jiwa ?.

Duhai, Pasangan Takdir atau Belahan Jiwa adalah Rahmat dan sekaligus Ujian bagi manusia yang beriman dan bertaqwa. Tidak sedikit orang yang runtuh imannya disebabkan takdir pertemuannya dengan belahan jiwanya. Ia akan melanggar semua larangan Allah, demi pemuasan kasihnya terhadap Sang Cinta Sejati. Namun ada pula yang lulus ujian, kemudian hidup bersama pasangan takdirnya dalam lingkaran Sakinah Mawaddah wa Rohmah.

Pasangan Takdir adalah pasangan paling ideal. Mereka adalah 1 hati dalam 2 raga. Maka mereka akan selalu saling mengerti, saling memaklumi, saling mengasihi, saling memaafkan, saling peduli, saling menyayangi.. dan segalanya dalam  situasi dan kondisi. 

Wallahualam Bissawwab

******

Kamis, 21 Februari 2013

Catatan Muhibah


“LUWU, TANAH PERADABAN”,
Suatu Catatan Muhibah, by. La Oddang Panguriseng


“Disanjung sebagai To Manurung karena ia membawa peradaban ditengah masyarakat !”, kurang lebih demikian ujar Saudara Musli Anwar dalam suatu perbincangan santai di Kafe Aleta, Jum’at 8 Pebruari 2013. Obrolan santai malam itu berlangsung hangat, kala pertama bersua di alam nyata dengan Pung Ancha Maupe, Adik Faisal Toware, Sdr. Idwar dan Sdr. Musli Anwar. “To Manurung mengajarkan adab sopan santun yang begitu luhur serta aturan kehidupan bermasyarakat untuk bersinergi dengan alamnya..”, celetuk teman lainnya dengan santai. Seketika itu saya tersadar jika kini sedang duduk semeja dengan para orang muda Tana Luwu yang memaknai sejarah dan budaya negerinya dengan penuh khidmat. Mereka adalah jendela-jendela pengetahuanku tentang banyak hal lewat jejaring social facebook, khususnya seputar Sejarah Luwu, negeri leluhur para junjunganku.

Alhamdulillah, malam pertamaku di Kota Palopo ini adalah “ziarah ilmu pengetahuan” dengan teman-teman yang saya pandang benar-benar mendedikasikan segenap waktu dan pikirannya untuk sejarah dan budaya Tana Luwu yang dicintainya. Sementara keesokan harinya, Insya Allah kami dijadwalkan untuk menghadap Sri Baginda Datu Luwu ke – 40 di Istana Kedatuan, ziarah kemuliaan yang kami emban atas nama rumpun keluarga kami, bibit Wija Luwu yang bersemi dan tumbuh sebagaimana adanya di sebuah hamparan tanah endapan TellumpoccoE bernama : TanaE Belawa.
………………………………………………………………………..

“Assalamualakum Warahmatullahi Wabarakatuh”, dengan segenap takzim kupanjatkan salam dan do’a ketika memasuki gerbang barat Istana Kedatuan yang agung ini. Suatu komplek bangunan tua di pusat kota Palopo, namun senantiasa menyimpan nilai sejarah dan aura kemuliaannya. Pada istana ini telah merekam perihal kehidupan para Bangsawan Berdarah Murni ManurungngE yang Patriot Bangsa Sejati. Pada istana ini pula pada setiap jengkalnya tersimpan jejak-jejak peradaban “alebbireng” yang kemudian menebarkan bibitnya keseluruh penjuru negeri di Pulau laksana Bunga Angrek ini.

Bertemu lalu menghaturkan sembah takzim kehadapan Baginda Datu Luwu ke- 40, kiranya adalah pengalaman yang tak terlupakan sepanjang hayat dan Insya Allah akan menjadi buah tutur yang berharga bagi anak keturunan kami kelak. Kami berhadapan dengan sosok Raja yang tawaddu, ramah dan penuh kehangatan. Sosok pribadi agung yang pastinya akan membuat setiap kawulanya merasa betah duduk bersila dihadapannya dengan senantiasa berbesar hati. “AlEna tongengmi atanna DatuE sibawa rennunna pangoloi akkasuwiangenna ri cappa’ ajEna Opukku DatuE..”.

Demikian pula dengan para hadatnya yang sarat dengan Ilmu Pengetahuan. Berhadapan dengan Paduka Yang Mulia Opu Anton Pangeran serasa berada dalam suatu ruang penuh manuskrip Lontara yang amat luas. Berbincang-bincang dengan Paduka Opu Lolo bagaikan menggelar selembar Panguriseng seluas tikar balairung Istana, begitu luasnya perihal pengetahuan silsilah yang beliau ketahui. Demikian pula pertemuan awal dengan Paduka Yang Mulia Opu BalirantE Luwu, saya merasakan kesantunan adab Puteri yang menenteramkan, sehingga sejenak terlupa jika beliau sesungguhnya seorang Guru Besar Ilmu Sejarah. Hingga sanubari ini membatin, “Upe’pagaha To Luu’E..” (sungguh beruntung orang-orang Luwu..) .

Bagaimana tidak beruntung ?, kata batinku pula. Ketika Istana-Istana pada segenap Kabupaten/Kota yang lain di Sulawesi Selatan telah habis terbakar pada masa penjajahan Belanda dan masa kekacauan tahun 50-an, Istana Kedatuan Luwu masih lestari nan megah dengan segenap keagungannya. Tidak sekedar Istana tanpa mahkota, melainkan tahtanya senantiasa berkesinambungan dengan segenap perangkat hadatnya sampai hari ini.

Inilah “Istana Bangsa Luwu”, istana kerajaan satu-satunya yang memimpin “suatu bangsa” di Sulawesi Selatan. Suatu identitas kebangsaan yang mempersatukan beberapa tribe/ethnic dan agama didalamnya. Sementara itu, sejarahnya jika digali semakin dalam, maka kebesaran dan keagungannya semakin bercahaya.

Mulai dari Tradisi Perjuangan menentang VoC yang mencatatkan Pahlawan Besar Puetta La Palissubaya Sultan Nazaruddin DaEng Mattuju KaraEng LambEngi Pajung Luwu ke – 18  (1637 – 1662) yang adalah Pahlawan Nusantara I (pertama) yang diasingkan oleh Belanda di Cape Town (Afrika Selatan), 14 tahun sebelum Syekh Yusuf "Petta Tosalama'E" Tajul Khalwati Al Makassari (Menantu Sultan Ageng Tirtayasa) diasingkan pada tempat yang sama (Ligtvoet.1877:144). Baginda adalah sekutu Sultan Hasanuddin Sombayya Gowa Tumenanga ri Balla’ Pangkana  yang amat ulet selama Perang Makassar (1667-1669) yang kemudian melanjutkan perjuangan menentang VoC dan sekutunya dengan membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Semangat perjuangan yang pantang menyerah itu kemudian diwariskan kepada puteranya, yakni : Puetta Sattiaraja Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung ri Luwu ke-19 (1662 – 1675). Pangeran Patriot ini bahkan aktif menggempur VoC dan sekutunya sejak umur remaja ketika masih menjabat selaku Opu Cenning Luwu.

Hingga kemudian pada awal memasuki abad XX, Ekspedisi Pendaratan Pasukan Belanda haruslah bertempur habis-habisan melawan Pasukan Kedatuan Luwu barulah dapat menginjakkan kakinya di Bumi Sawerigading ini. Bermula ketika Gouverneur Van Celebes mengajukan tuntutan sepihak  kepada Datu Luwu Puetta We Kambo Opu DaEng Risompa MatinroE Bintangna Pajung Luwu ke – 32. Suatu tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi Baginda Ratu beserta Hadatnya, demi menjunjung harkat dan martabat Tana Luwu. Maka dalam suatu perundingan pada tanggal 11 September 1905 di PonjalaE, Opu Pabbicara Kerajaan Luwu yakni Andi Tadda Opu Tosangaji tidak kuasa menahan kemarahannya melihat keangkuhan Opsir Belanda dengan serta merta melemparnya dengan sebuah “Ammiccueng” (teko tempat ludah). Insinden tersebut mengakibatkan perundingan gagal. Maka pertempuran frontal yang menelan banyak korban pada kedua belah pihak akhirnya pecah. Pada suatu pertempuran sengit selama 14 jam di PonjalaE dan Balandai pada tanggal 12 September 1905, Tana Luwu dibasahi darah para musuh dan ksatria terbaiknya, diantaranya : Andi Tadda Opu Tosangaji  dan To Ijo.

Dari masa ke masa, Tana Luwu senantiasa melahirkan Patriot Agungnya. Pada masa Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan, ketokohan Pahlawan Nasional Puetta Andi Djemma Opu ToappamEne’ Wara-WaraE MatinroE ri Panaikang Pajung Luwu ke-33 adalah salahsatu yang bersinar gemilang dalam Sejarah Perjuangan Bangsa ini. Baginda adalah termasuk Raja I (pertama) selain Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menyatakan dukungan penuh terhadap Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menggali kesejarahan Tana Luwu tiada habisnya hingga penggalian mencapai titik terdalam pada masa “In Illo Tempora” (masa permulaan), dikala para Dewata merintis system kehidupan bermasyarakat di Pulau Sulawesi ini. Epos Warisan Dunia I La Galigo adalah kisah kepahlawanan Bangsa Luwu. Demikian pula dengan budaya cendekiawannya, kiranya Luwu dapat berbangga dengan Tokoh To Ciung Tongeng MaccaE ri Luwu yang adalah “Guru Besar” Cendekiawan La Pagala NEnE’ Mallomo TopamulaE DEcEng ri SidEnrEng dan Puetta La Mannussa’ Towakkarangeng Datu Soppeng ke-9.

“Maupe’ tongeng na malebbii’ To Luu’E” (sungguh beruntung dan mulia orang-orang Luwu), demikian selalu kata batinku sepulang dari Istana Kedatuan. Pada mulanya kami berencana bermalam 1 malam di Palopo, namun pada akhirnya jua kami menambah waktu hingga 2 malam. “Sebatang Rantin pohon WalenrEng” ini masih betah berlama-lama dibawah naungan pohon asal muasalnya. Sepanjang malam, saya selalu berdiskusi dengan Kakanda H. Andi Pajung perihal kebesaran Luwu ini.

Hingga kemudian terbitlah harapan yang sedemikian besarnya pada kami. Semoga sekalian Orang Luwu merasa bangga pula dengan berkah ini. Menjadi bagian dari suatu Bangsa yang besar di masa lalu, sungguh suatu rahmat. Menjadi warga suatu daerah yang memiliki “Istana Kedatuan” (Kraton), sungguh suatu hal yang membanggakan. Menjadi kawula dari Seorang Raja dan para hadatnya yang berbudi luhur, adalah suatu kemuliaan yang besar.

Namun tidaklah cukup dengan sekedar bangga, lebih dari itu amat dituntut rasa memiliki yang tulus berlandaskan kesyukuran. Bangsa Luwu dengan keragaman bahasa, etnik dan agamanya sudah saatnya untuk kembali kepada kesadaran luhur dalam kesamaan identitasnya sebagai suatu kesatuan dalam naungan “Satu Payung” untuk semuanya. Corak dan simbol busana boleh jadi berbeda, namun inilah kebesaran Luwu pada masa lalu yang menyatu dalam keberagamannya. Istana anak negeri Luwu boleh jadi berbeda bentuk satu sama lainnya, namun ibarat batu mulia beraneka warna yang bertaburan dalam suatu cincin kebesaran, sesungguhnya menjadi kesatuan dalam se-bentuk cincin emas kemuliaannya. Maka segenap Istana Anak Negeri itu disatukan oleh “LangkanaE”, Istana Kedatuan Luwu. Istana suatu Bangsa, bukannya Istana suatu Suku. Bangsa Luwu dengan “Alebbireng Pangaderengna”, terpancar dari Tata Kramanya yang halus semoga kiranya senantiasa membumi, walau Sang Manurung telah kembali pada asalnya masing-masing. Semoga, Amin Yaa Robbal Alamin

Wallahualam Bissawwab.

Rabu, 13 Februari 2013


 Keterangan Gambar :

Bersiap-siap berkunjung pada acara malam di Istana Kedatuan Luwu, Palopo (Hotel Buana, 8 Pebruari 2013)


PERBINCANGAN SEPUTAR BERITA TO MANURUNG
                                                                  By. La Oddang


Adalah hal menarik ketika Paduka Opu Anton Pangerang menuturkan tentang Keagungan Sejarah Luwu pada hari Sabtu, 9 Pebruari 2013 di Ruang Keluarga Istana Kedatuan Luwu, Palopo. “Luwu dengan Mytologi Tomanurungnya yang komplit, senantiasa disertai dengan alur kisah yang terlembaga. Jika para Tokoh Manurung yang menjelma pada negeri-negeri sekitar Luwu muncul tanpa identitas yang tidak jelas asal muasalnya, maka para Tomanurung di Luwu muncul dengan identitas nazab dan asal muasal yang dikisahkan dengan mendetai lewat suatu epos warisan dunia bernama : I La Galigo”, demikian ujar beliau.

Seketika itu saya teringat dengan pemikiran senada dari uraian Paduka Prof. Mr. Dr. H. Andi Zainal Abidin (The Emergence Of The Kingdom Of Luwu), dikatakannya : “Hampir-hampir semua Lontara Bugis yang mengisahkan Raja Pertama yang digelar To Manurung, dilukiskan secara RAGU-RAGU oleh Penulis Lontara, dengan kalimat-kalimat sebagai berikut : Nariaseng garE’ Tomanurung, nasaba’ tenrisseng asenna, tenrissengto apolEngenna (Konon Ia digelar Orang Turun dari Khayangan karena ia tidak diketahui nama dan asal muasalnya)”.

Perihal eksistensi To Manurung sebagaimana yang mendasari pemikiran kedua pakar sejarah Sulawesi Selatan tersebut adalah sesuai uraian apa adanya yang tertera pada bagian pertama sekian banyaknya Lontara Atturiolong (Lontara Patturiolong ; Makassar) pada banyak negeri di Sulawesi Selatan dan Barat.

Pada bagian pertama Lontara Soppeng, diuraikan dengan singkat, sbb :
“..pitullapini dE’ puwangna To SoppEngngE // Puppu tE-E ri Galigo // Naiyyamani Matowa ennengngEpulona paoto’ palEwu’i tanaE // Namarunna Petta ri SEkkanyili’ // Napaissengna Matowa Tinco // Napoadangngi Matowa Botto, Matowa Ujung, Matowa Bila makkedaE engkaro Manurung ri SEkkanyili’..,” (..sudah tujuh generasi tidak ada penguasa bagi rakyat SoppEng // Tiada lagi penguasa dari masa Galigo // Hanyalah Enam Puluh Tetua yang menentukan nasib negeri // Kemudian turunlah Pertuanan Kita di SEkkanyili // Maka ini diketahui oleh Matowa Tinco // Diberitahukanlah kepada Matowa Botto, Matowa Ujung, Matowa Bila bahwa ada Manurung di SEkkanyili’ ..,).

Petta ManurungngE ri SEkkanyili yang diperkirakan hidup dalam tahun 1300, kemudian pada Lontara Soppeng yang lain “baru diketahui” bernama “La Temmalala”, bertitah kepada segenap Matoa yang mengelu-elukan kemunculannya :

“..engkatu sapposisekku manurung ri Libureng // MadEcEngngi muakkareng alE muduppaiwi // Kuduwa sapparekko mupodEcEngngE // Naiyya’ tudang ri SoppEngriaja // Naiyatonasa Datu ri SoppEngrilau, ..” (..aku memiliki sepupu sekali yang Manurung ri Libureng // Sebaiknya kalian menjemputnya // Agar kiranya kami berdua mencarikan kalian kebaikan // Akulah yang bertahta di SoppEngriaja // Lalu dia yang menjadi Datu di SoppEngrilau, ..).

Maka para Matoa itu melaksanakan titah ManurungngE, hingga tiba pada suatu tempat bernama “GoariE” dalam wilayah Libureng, didapatilah Sang Manurung sedang duduk di gucinya. Maka digelarilah sebagai “ManurungngE ri GoariE”. Lontara SoppEng tidak menjelaskan dengan tegas, perihal jenis kelamin Sang Manurung ini, sehingga pagi para penela’ah yang tidak pernah membaca reverensi SoppEng lainnya dengan mudah berpresepsi bahwa “Sepupu Sekali ManurungngE ri SEkkanyili” ini mestilah seorang lelaki pula. Namun kemudian pada suatu Lontara Panguriseng SoppEng didapati bahwa Sang Manurung ini adalah bernama : WE Temmapupu ManurungngE ri GoariE yang diketahui kemudian sebagai permaisuri La Temmalala ManurungngE ri SEkkanyili Datu SoppEng I.

Demikian pula halnya dengan suatu peristiwa besar di Matajang yang diperkirakan pada tahun 1330, munculnya seorang tokoh misterius yang dipandang luar biasa beserta dengan perangkatnya yang terbuat dari emas permata berkilauan, yakni : ManurungngE ri Matajang. Sang Dewata yang berujud manusia itu kemudian “dirajakan” oleh PituE Uluanang (Tujuh Tetua Kaum) dengan gelar “Mangkau’E” (Yang Berdaulat), serta sebutan lainnya yang khas, yakni : “La MammatasilompoE” berkat ketajaman pandangannya yang konon mampu mengetahui jumlah ratusan rakyatnya yang berkumpul dalam suatu dataran rendah (lapangan). Peristiwa singkat tersebut dengan serta merta ditandai sebagai titik masa berdirinya Kerajaan Bone, sebagaimana diuraikan pada Lontara Akkarungeng ri Bone (Drs. A. Amir Sessu). Suatu Lontara Bugis pula yang terlebih dahulu memberitakan ikhwal permulaan masa SianrE BalE (masa kacau balau bagai ikan-ikan yang saling memakan) terjadi setelah habisnya turunan Puetta MEnrE’E ri Galigo di muka bumi.

Pada kurun masa yang sama dengan kemunculan Manurung di Soppeng dan Bone, pada sebuah pemukiman pesisir teluk Parepare bernama Bacukiki, terbit pula seorang Manurung. Tokoh yang konon muncul bersama perangkat perlengkapannya yang terbuat dari emas berkilauan pula. Manusia dewa tersebut dinamai : ManurungngE ri Bacukiki. Berbeda dengan To Manurung di Tana Bone dan Soppeng, beliau diketahui langsung memiliki “nama”, yakni : La BungEnge’ (La BangengE), namun tetap pula tidak diketahui dari mana asal usulnya. Demikian pula dengan  alur  kisah selanjutnya To Manurung yang satu ini, tidak menetap di kawasan dimana  ia  manurung  (diturunkan ?). Beliaupun tidak disambut dengan ikrar kesetiaan oleh para tetua negeri dimana ia diketahui telah muncul (Bacukiki). Puetta ManurungngE kemudian melakukan perjalanan ke utara hingga bertemu dan menikahi Tomanurung Perempuan bernama : WE Teppulinge’ ManurungngE ri La Waramparang (Suppa).

ManurungngE ri Bacukiki adalah seorang pioneer, sekaligus seorang visioner. Beliau tidaklah serta merta menjadi Raja ditempat dimana ia manurung dan juga pada negeri dimana ia mempersunting Tokoh Manurung setempat. Beliau melakukan pengembaraan seputar kawasan LimaE Ajattappareng untuk mencari kawasan potensial bagi kehidupan anak turunannya dan pengikut-pengikutnya. Hingga perjalanannya tiba pada suatu negeri yang ia namai Sawitto dan beliau menjadi Addatuang Sawitto I. Pada generasi berikutnya, ManurungngE ri Bacukiki kemudian berhasil mewujudkan visinya dengan mendudukkan anak-anaknya sebagai Raja dan Ratu pada negeri-negeri yang kemudian beraliansi dalam suatu persekutuan LimaE Ajattappareng.

Demikian pula dengan kisah kemunculan para To Manurung pada negeri-negeri lainnya, selain Luwu dan Pammana. KaraEngta Tumanurungnga ri TamalatE (KaraEng BaEnEa) di Gowa, Puang Tamboro Langi di kawasan Tallu LEmbangna, Tokombong Di Wura dan TowissE Di Tallang di kawasan Pitu Ulunna Salu’ dan Pitu Babanna Binanga, NEnE’ Matindo Dama di Duri, ManurungngE ri Ujung LohE di Bulukumba serta segenap lainnya adalah menggambarkan perihal tokoh yang tidak jelas asal muasalnya. Bahkan pada Lontara Sukkuna Wajo mengemukakan dengan lebih jujur dan realis tentang ketokohan ManurungngE ri Lampulungeng, bahwa : “Nariaseng garE’ Tomanurung, nasaba’ tenrisseng asenna, tenrissengto apolEngenna (Konon Ia digelar Orang Turun dari Khayangan karena ia tidak diketahui nama dan asal muasalnya)”.

Lalu bagaimana halnya dengan To Manurung di Negeri Luwu dan Pammana yang dikatakan sebagian besar Sejarawan Bugis-Makassar sebagai Negeri Tertua di Jazirah Sulawesi ?. Negeri Asal Muasal ini terlahir bersama Epos Sastranya, yakni : I La Galigo. Suatu Kitab Sastra Suci yang mengabarkan tentang ihwal Tokoh To Manurung di Luwu dengan informasi yang lengkap tentang nama, gelar, leluhur,  negeri asal usul, serta para generasi setelahnya. Hingga kemudian, R A Kern menyebutnya sebagai : Roman Keluarga Dewata.

Bermula pada Bab I yang berjudul “Mula Tau” Kitab Sastra terpanjang di dunia ini menguraikan pergulatan batin Sang Patoto’E dan permaisurinya di Botinglangi (Khayangan) yang harus melepas putera kesayangannya (La Toge’langi Batara Guru Sunge’ ri Sompa Aji Sangkuru Wirang) untuk diturunkan ke Attawareng (Dunia Tengah). Hingga kemudian kisah berlanjut, dimana Batara Guru haruslah jua memenuhi takdirnya untuk membuka peradaban sifat-sifat langit di tengah-tengah masyarakat manusia di Attawareng.

Proses “Manurung” Sang Pangeran Botinglangi itu digambarkannya dengan sangat dahsyat, sbb :
“Kuwa adanna To PalanroE // Appangarao Sangka Batara // Narileggareng calikerrana lE’ langi’E //
LE’ narireddu’ temmaggongratu // LE’ passuluna tange’ Batara Rakkile’E // Risenne’ dua lE’ langi’E // Ripattingowa lE’ pitullappi lE’ bittaraE // riyulo maneng lE ata dewata tessirupaE // Nawoni pettang To LettEile’ // Paturung riu Sangiyang Pajung // PabbittE oling Rumamakkompo // MappasiyanrE wEro rakkile’ Pulaka Liye’ // Palluwa’-luwa’ api dewata To Walabboreng // Nariyulona tojang rakkile’ natonangiE lE’ awo pettung // NalEwuriE Batara Guru // Nasinrang guttu // Mallarung-larung Balasariwu // WEro sianrE Oddang sibali lE’ rumaE // SibEtta-bEtta lE’ olingngE // Malluwa’-luwa’ lE api dewata sitinroo’E Balasariwu // Masisi’ lao pananrangngE tanra telluE // LE’ wEppangngE // lE’ manu’-manu’E // LE’ woromporong // lE’ tappituE // LE’ To Sunra’E // PaddengngengngE // PErosolaE // Ata dEwata tessErupaE // Larung-larungngi Datu Puwanna // Mattoddang maneng To Walebboreng PulakaliyE // … “

( Demikianlah titah To PalanroE // Memerintahlah engkau Sangka Batara // Untuk membuka palang pintu langit // Lalu dicabutlah tanpa membunyikan gong pusaka // Kunci pintu langit nan berkilauan itu // Maka langit terbelah dua // Terbukalah tujuh lapisan langit // Diturunkanlah abdi dewata yang beraneka ragam itu // Kemudian diturunkan pula gelap kelam para orang LettEile’ // Diturunkan pula angin badai Sangiyang Pajung // Mengadu petirlah Rumamakkompo // Saling membenturkan kilat dan badai PulakaliyE // Dinyalakanlah kilat oleh orang Walabboreng // Kemudian diturunkanlah ayunan emas dimana diletakkan Bambu Betung //  Yang disemayami Batara Guru // Diiringi ledakan petir Balasariwu // Kilat yang tiada terputus nan saling sambung menyambung // Guntur saling sambut menyambut // Saling berlombalah petir dan kilat yang mengiringi Balasariwu // Segalanya beranjak sebagai pertanda rasi bintang Tanra TelluE // Rasi bintang WEppangngE // Rasi bintang Manu’-Manu’E // Rasi bintang WoromporongngE // Rasi bintang TappituE // Begitu pula dengan para orang dari Sunra’ // Para pemburu // Para PErosolaE // Serta para dewata turut mengiringi Junjungannya // Maka berangkatlah para orang Walebboreng dan PulakaliyE // ..).

Adapun halnya kemudian dengan La Toge'langi Batara Guru Sunge' ri Sompa Aji Sangkuru Wira ManurungngE ri Tellampulaweng Pajung ri Luwu I menjadi penguasa Attawareng, yang menandai lahirnya Kerajaan Luwu.

Pada kurun generasi yang sejajar, terbit pula To Manurung lain yaitu : TurubElaE Laurengpessi ri Coppo' MEru ManurungngE ri Sawammegga Datu Tompotikka I (putera La Oddangriu Sankabatara ri RuwallettE), yang menandai lahirnya Kerajaan Tompotikka. Suatu wangsa yang kemudian ditakdirkan pula menjalin perhubungan darah dengan wangsa turunan Batara Guru yang bertahta di Luwu, berkat pernikahan puterinya dengan putera Sang Raja Luwu I tersebut. Maka generasi berikutnya dari kedua wangsa tersebut menyatu menjadi keturunan bersama, yakni : Luwu dan Tompotikka yang kemudian membaur pula dengan turunan wangsa Cina pada generasi setelahnya.

Sezaman dengan La Togelangi Batara Guru, terbitlah Tomanurung lainnya yang diturunkan di Cina, yaitu : La Tenriangke' ManurungngE ri Tellampulaweng Datu Cina I, yang menandai lahirnya Kerajaan Cina yang kelak berganti nama menjadi Pammana. Kemudian terjadilah pernikahan yang amat terkenal antar keturunan mereka, yaitu : Sawerigading Opunna Ware' (cucu Batara Guru) dengan We Cudai' DaEng ri Sompa Punna BolaE ri LatanEtE (cucu La Tenriangke'). Maka pada masa itulah dinyatakan sebagai penyatuan 2 Bangsa, yakni Luwu dan Cina yang pada keturunan mereka mengidentiitaskan diri sebagai "Towugi" yang diambil berdasar nama ayahanda We Cudai', yakni : La Sattumpogi Punna LipuE ri Cina , yang kemudian menobatkan menantunya (Sawerigading) menjadi "Datu Cina".

“Kearifan senantiasa mencetak dirinya dari masa ke masa”, kiranya demikian sejarah menyebut dirinya melalui jendela waktu. Para To Manurung yang terbit di Jazirah Sulawesi dengan jarak tempuh yang mengantarai tempat mereka masing-masing, namun pada akhirnya menyatukan darah kemuliaan mereka pada masa kini. Sejauh yang penulis telusuri perihal silsilah para Raja dan Ratu serta segenap Bangsawan di Sulawesi Selatan dan Barat, kiranya mereka kini adalah turunan dari para To Manurung dari berbagai negeri sebagaimana yang disebutkan dalam catatan perbincangan selintas ini. Maka tidak ada lagi diantaranya yang bisa berujar : Saya adalah turunan ManurungngE ri Ussu’ dan anda adalah turunan ManurungngE ri Matajang. Melainkan dikatakannya : Kita adalah turunan para pembawa peradaban Pangadereng di Bumi Tercinta ini, maka adalah kewajiban kita bersama untuk melestarikannya.


Wallahualam Bissawwab.



 Keterangan Gambar :

Bersama Paduka Yang Mulia Junjungan Kami, Sribaginda Andi Maradang Opu Datu Luwu ke- 40 di Ruang Keluarga Istana Kedatuan Luwu, Palopo (9 Pebruari 2013).



 Keterangan Gambar :

Kakanda Dr. H. Andi Pajung, S.Pd, M.Pd bersama Paduka Yang Mulia Junjungan Kami, Sribaginda Andi Maradang Opu Datu Luwu ke- 40 di Ruang Keluarga Istana Kedatuan Luwu, Palopo (9 Pebruari 2013).



 Keterangan Gambar :

Suasana santai dalam acara Ramah Tamah Keluarga Kedatuan Luwu, dari kiri ke kanan : Paduka Yang Mulia Junjungan Kami, Sribaginda Andi Maradang Opu Datu Luwu ke- 40, Paduka Yang Mulia Andi Sitti Khusaimah Opu DaEng Pajung Opu Cenning Luwu (Puteri Mahkota Kerajaan Luwu), Sdr. Faisal To Ware' (Malili), Sdr Idwar Anwar (Penulis), Sdr. Muslyh (Pelukis/Budayawan Luwu), Paduka Yang Mulia Opu Lolo (Pengurus Protokoler Rumah Tangga Istana Kedatuan Luwu), Paduka Yang Mulia Prof. Dr. Andi Ima Kesuma, M.Pd Opu BalirantE (Menteri Urusan Kesejahteraan Kedatuan Luwu).


Keterangan Gambar :

Suasana santai dalam acara Ramah Tamah Keluarga Kedatuan Luwu, dari kiri ke kanan : Paduka Yang Mulia Opu Lolo (Pengurus Protokoler Rumah Tangga Istana Kedatuan Luwu), Paduka Yang Mulia Prof. Dr. Andi Ima Kesuma, M.Pd Opu BalirantE (Menteri Urusan Kesejahteraan Kedatuan Luwu), Paduka Yang Mulia Opu Andi Anton Pangerang (Sejarawan Luwu, Putera Alm. Andi Pangerang Opu TosinilElE Maddika Bua Opu Pabbicara Luwu), Andi Oddang (Penulis), Kakanda H. Dr. Andi Pajung, S.Pd. Mpd, Andi Ancha Maupe', Paduka Yang Mulia Junjungan Kami, Sribaginda Andi Maradang Opu Datu Luwu ke- 40, Sdr. Faisal To Ware' (Malili), Sdr Idwar Anwar (Penulis Sejarah Luwu), Sdr. Muslyh (Pelukis/Budayawan Luwu).




 Keterangan Gambar :

Komplek Istana LangkanaE Kedatuan Luwu, Palopo.