Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Sabtu, 30 Oktober 2010

Legenda

CENRANA, Aju Maddara Tau
(Cendana, Pohon berdarah Manusia)

Salahsatu legenda yang termahsyur, adalah : Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari di Jawa Timur. Legenda itu ditandai dengan adanya kolam permandian yang kini menjadi salahsatu objek wisata di Kabupaten Tuban. Alur cerita rakyat tersebut mengingatkanku pada "Cenrana Maddara Tau", sebuah legenda Tanah Bugis yang membuahkan kepercayaan pada kalangan masyarakat Bugis hingga hari ini.

Tersebutlah sejenis kayu yang banyak tumbuh di kawasan Indonesia bagian Timur, yakni : Kayu Cendana (Sandal Wood). Getahnya berwarna merah dan aromanya menabarkan keharuman yang khas. Kayunya yang kuat dan berserat halus nan indah itu dipergunakan sebagai bahan perkakas yang dimuliakan, misalnya : Sarung Badik atau keris, dinding "jajareng" pada rumah kaum Bangsawan dan sebagai salahsatu unsur ramuan kayu yang ditempatkan pada wuwungan Saoraja (Istana). Adalah hal yang sangat terlarang (pEmmali) jika mempergunakan kayu cendana sebagai lantai pada rumah panggung atau dipan (ranjang). Perlakuan khusus ini berawal pada sebuah alur kisah dalam Legenda CEnrana Maddara Tau.

Legenda ini adalah sebuah kisah sedih yang kerapkali mengantar tidur lelapku. Tatkala kuberbaring diatas ranjang besi dimalam hari. Nampak dari dalam kelambu renda, samar-samar cahaya lentera minyak tanah yang temaram menerangi ayahandaku yang berkisah. Suaranya bergema di hatiku hingga kini...

Penghuni Lembah


Alkisah di Negeri Tompotikka, seorang pemuda tinggal menetap pada sebuah lembah. Namanya La Sangpuraga. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya dan mengapa ia tinggal menyendiri pada tempat sunyi itu. Setiap pagi hari ia senantiasa duduk berdiam diri diatas sebongkah batu besar yang terletak di pinggir telaga depan rumahnya. Tiada lain yang dilakukannya selain merenungi rerimbun bunga melati yang tumbuh liar di pinggir telaga itu. Lalu senja hari telah tiba, pemuda berparas tampan namun berwajah murung itu melangkah gontai menuju kembali ke rumahnya... Burung-burungpun kembali ke sarangnya, dikala permukaan telaga kini bermandikan sinar lembayung senja, pertanda matahari beranjak ke peraduan malamnya.

Sang Rembulan telah menampakkan diri seraya berkaca tanpa kata dipermukaan telaga yang tenang. Sampuraga menatap sendu pada sang dewi malam itu. Ooh, Sang Dewi.. Kau hanya menjenguk telaga cermin dirimu, bukan mengunjungi diriku.., keluhnya pedih. Perlahan ia meniup sebatang suling bambu yang digenggamnya sejak tadi. Bukan mulutnya yang meniup, melainkan hatinya. Bukan pula irama sulingnya yang berlagu, melainkan nuraninya. Alunan getar rasa gundah itu mengalun lambat memenuhi seantero lembah sunyi itu. Perasaannya yang gundah gulana menggetar lembut hingga membubung tinggi, mengusik Sang Rembulan yang sedang merenungi wajahnya yang pucat... Bunyi tiupan itu terasa mendayu-dayu, memetik dawai sukmanya yang dingin membeku selama ini. Duhai, Irama suling. Siapa gerangan peniupmu ?, bisiknya bersimbah air mata yang berjatuhan menimpa rerimbunan melati yang menebar keharumannya.

Sinar sang rembulan perlahan meredup. Irama suling yang mendayu-dayu merintih menyedot segenap sukmanya. Malam purnama penuh mulai gelap. Burung-burung malam dan serangga mulai ribut, menjerit tak beraturan. Penduduk yang menghuni perkampungan dibalik lereng lembah mulai khawatir.Rembulan adalah sumber kehidupan yang menjaga keseimbangan alam dikala matahari sedang tertidur. Serentak mereka mengambil alu seraya menumbuk-numbukkannya pada lesung kayu yang mereka miliki. Bunyi alu itu bertalu-talu hingga lama kelamaan membentuk irama tersendiri. Nada yang terhimpun oleh orang sekampung itu menghentak, menggugah sang rembulan yang terhanyut digulung alunan seruling Sampuraga. "Narippungni paimeng bannapatinna, napaddepungengngi lE' sumange'na..", ditangkapnyalah kembali jiwanya, seraya menghimpun kembali semangat hidupnya.. Cahayanya mulai bersinar kembali, lembut menyapu alam raya yang mulai terlelap dalam mimpi tidur malamnya.

La Sangpuraga menghentikan tiupan serulingnya. Iapun tergugah oleh bunyi tumbukan lesung dari lereng gunung seberang lembah. Pemuda itu merebahkan diri pelataran batu datar yang didudukinya. Matanya menatap jauh keatas langit malam, seakan mencoba menembus rerimbunan bintang-bintang berkelip. Angannya melayang jauh membubung tinggi hingga tersangkut entah dikhayangan lapis berapa.. Matanya terpejam seraya beranjak memasuki gerbang mimpinya. Sangpuraga tertidur memenuhi fitrah raganya, meringkuk seraya memeluk seruling kesayangannya...

Pertemuan...

Matahari telah meninggi hingga diatas wuwungan rumah tunggal di pinggir telaga itu. Air mata sang rembulan yang bertebaran dipucuk dedaunan kini menguap entah kemana.. Sang kekasih siang takkan membiarkan deraian air mata dewi pujaannya terjatuh ditelan bumi. Burung-burung terbang berkejaran dengan riangnya. La Sangpuraga tergolek diam dalam tidurnya diatas batu yang tergolek dibawah sebatang pohon yang rindang. Wajahnya yang tampan nampak tenang bagai bayi terlelap dalam buaiannya. Kerut diantara kedua alisnya seakan menguap bersama embun pagi. Garis-garis wajah yang kerap dihimpit derita itu seakan sirna membaur dalam mimpi indahnya. Mimpi apakah gerangan ?.. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum tipis, menandai betapa rupawannya pemuda ini. Tiba-tiba ia tersentak, terbangun dari tidurnya. Aroma mimpi indah telah raib, tersentuh alam nyata. Kerut wajahnya timbul kembali, seakan ikut terbangun dari mimpi tentramnya.

Bunyi kecipak air telaga ditingkahi suara cekikikan wanita, menggugah tidurnya. Nun jauh diseberang telaga yang menyerupai danau kecil itu, beberapa wanita sedang mandi sambil bermain air. La Sampuraga beranjak dari tempatnya, mengendap-endap dibalik rerimbunan melati mendekati mereka. Tak tergambarkan bagaimana indahnya panorama yang terhampar dihadapannya. Tujuh gadis yang luar biasa jelitanya sedang berenang hilir mudik sambil bercanda riuh rendah dengan riangnya. Mereka sama muda dan sama moleknya. Kecantikan yang sempurna, mustahil dimiliki oleh seorang manusia. Tidak jauh dari tempat itu, seberkas cahaya tujuh warna sedang mendarat dihamparan bebatuan dimana tergeletak pula beberapa carik kain selendang berwarna warni. "Agaknya mereka ini adalah bidadari dari Boting Langi..", pikir La Sampuraga. Tanpa menerbitkan suara, ia mengendap mendekati seraya meraih secarik selendang berwarna putih, kain terdekat yang dapat disodok dengan menggunakan bilah serulingnya. Dengan amat hati-hati, digulungnya selendang tipis itu lalu diselipkan dibalik lipatan sarungnya seraya bergegas menuju kembali ke rumahnya. Disimpannya selendang itu di loteng rumahnya yang tinggi, pada tempat tersembunyi yang hanya ia sendiri mampu membukanya.

Air murni yang memancar langsung dari pertiwi adalah hal yang paling disukai para dewi dari khayangan. Mereka mandi sambil bercengkrama sepuas-puasnya di telaga lembah itu. Tak terasa, waktu semakin merambat cepat. Matahari semakin meninggi, menebarkan sinarnya yang kian memanas. "Adinda semua, matahari mulai terik. Sinar pelangi mulai memudar. Marilah kita naik segera..". seru salah seorang yang rupanya paling tertua diantara mereka. Maka adik-adiknya menuruti dan bersegera kepinggir telaga seraya memasang "Larikkodo", selendang kedewiannya masing-masing. Namun, salah seorang bidadari itu tidak menemukan selendangnya. Saudarinya yang lain ikut mencari kesana kemari, namun tidak menemukannya jua. " Agaknya tempat ini baru saja didatangi manusia. Baunya masih tercium sampai disini.. ", Kata salahsatu bidadari yang dibenarkan yang lainnya. "Pasti orang itu yang mengambil selendangmu, dinda.", kata sang kakak cemas. Tak terbendung lagi, pecahlah tangis sang dewi yang kehilangan larikkodonya. Rasa panik akan ketakutannya akan ditinggal di tempat asing itu menimbulkan kengerian yang tak terbayangkan. "Lalu bagaimana dengan nasibku kini ?", tanyanya disela isak tangisnya.

Saudari-saudarinya tidak dapat berkata dan berbuat lain lagi. "Bersabarlah, adikku. Mungkin ini sudah ketentuan Dewata SEuwwaE (Dewata yang Tunggal) yang menakdirkanmu untuk menjadi tunas baru di Attawareng (dunia) ini..", kata Sang Dewi yang tertua. Akhirnya  mereka bergantian memeluk saudarinya yang malang itu, lalu melayang naik ke angkasa mengikuti alur lengkungan pelangi yang mulai memudar..

Tinggallah sang bidadari berdiri lunglai dengan kesedihan tak terperi. Dibalik genangan air matanya yang bening, ia memandangi saudara-saudaranya yang terbang melayang hingga bayangannya hilang dari pandangan. "Oh, Dewata SeuwwaE. Akkalarapangeng aga tongengsa kasi'na mupalEtEiyangngi atammu.. Agana gau'ku..?" (Oh, Dewata yang Tunggal. Cobaan apa gerangan yang Engkau timpakan pada hambamu ini..Apalah lagi dayaku kini ?), rintihnya memelas. Sepasang mata dari balik rerimbunan melati menyaksikan peristiwa itu dengan suasana hati tak menentu. Sampuraga telah berada di tempat sejak tadi. Rasa bersalah dan iba bercampur dengan takjub kini mengaduk-aduk hatinya.Dengan hati-hati ia keluar dari persembunyiannya, seraya mendekati Sang Dewi.

"Duhai, Sang Dewi. Apa gerangan yang membuatmu berduka ?", tanyanya dengan lembut. Sang Dewi mengangkat wajahnya seraya memandang Sampuraga dengan matanya yang bersinar teduh bak purnama. Pemuda yang dihimpit sepi itu terpana. "Sungguh, ini bukanlah sepasang mata.. melainkan sepasang bulan khayangan..", batinnya. "Aja'na takkutana, pau bawangni.. Aga sitongenna pattujungta ?" (Usahlah ditanya, katakan saja.. Apa gerangan yang kau inginkan ?), kata Sang Dewi balik bertanya. Entah dengan ramuan kosa kata yang bagaimana lagi kiranya dapat menggambarkan perasaan Sampuraga ketika itu. Seorang jejaka "canggung" yang sedang jatuh hati pada pandangan pertama.., lalu "ditodong" dengan pertanyaan tanpa basa-basi. 

Dipanggilnya segenap daya hidup dalam dirinya. Sampuraga menjawab dengan suara gemetar, seakan bukan bibirnya yang berucap, melainkan sukma jiwanya yang berkata, "Iyya tongeng minasaE, upangolo ri cappa ajEta lettu' ri cappa' gemme'ta. Uporennu  pasitonrai melle' temmaggangkaaku lao ridi', nasimata marEllau assimang lao ri sEsE alebbirengta.." (Maksudku yang sesungguhnya, kuhadapkan di ujung kaki hingga di ujung rambutmu, tiada lain harapan kasihku yang tiada terhingga kepadamu, seraya kumohonkan maaf terhadap kemuliaan dirimu..). Ia mengutarakan hasratnya dengan penuh kerendahan hati. "Iya sia minasakku, mattonra jari tokki, lEtE ri Manipi" (Adalah yang menjadi harapanku, berpegangan tangan denganmu, hingga ajal menjemput..)..

Inilah keajaiban bahasa !. Amarah yang meluap, padam seketika oleh tutur kata yang lembut nan halus. Seni sastra yang terkandung dalam setiap bahasa, mampu membuka pintu hati bagi setiap nurani. Namun yang lebih ajaib lagi adalah : Cinta. Sebuah rasa yang mengalir lembut pada sungai ketulusan. Namun arus derasnya mampu menghanyutkan setiap mahluk yang memiliki hati, bahkan seorang dewi khayangan sekalipun. Tetapi yang lebih berkuasa diatasnya, adalah : Jodoh. Sebuah ketentuan yang digariskan oleh Yang Maha Kuasa terhadap mahluk-mahlukNya. "Tellu tenre' lEsangenna, Totoo'E na WErEwE, enrengngE Pura makkuwaE.." (Tiga hal yang tak dapat dielakkan : jodoh, rezeki dan nasib).

Cinta pada pandangan pertama, itulah yang terjadi pada kedua mahluk yang berasal dari alam berbeda itu. Jodoh adalah aturan yang tak terbantahkan. "Mauni luttu massuwajang, riwrinna bittaraE, nasilolongeng mua.." (Walau terbang jauh ke angkasa, hingga di tepian langit sekalipun, akan saling mendapatkan jua..). Segalanya tumbuh bersemi seketika itu juga. Sang Dewi menyambut kasih anak manusia itu dengan kekaguman hati yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa yang aneh, sesuatu yang medebarkan jantung dan semangat hidupnya yang sebelumnya dihimpit cemas dan kekhawatiran. Kini ia merasa tentram dan damai didekat pemuda itu. Lupalah dengan rasa sedihnya, sirna tak berbekas.. "Iya engkamu manguju, Matteta' waju mua, temmatimumpaju.." (Dikala dikau mengutarakan cintamu, Jiwaku terasa segar bugar...), sambutnya dengan suara rendah, hampir tak terdengar. Kemudian disambungnya lagi, "Jorii allempuno mai, mulise' Saoraja, muparEwa panrE.." (Duhai garis menujulah kemari, mulia bagai penghuni istana, kearifan para orang bijak ...). Maksudnya tiada lain : kuterima pinanganmu, karena dikau berbudi luhur nan mulia serta arif lagi bijaksana...).

"NaEkia engka parEllaukku lao ridi', Daeng. IyyEtona sompata lao ri alEku.." (Namun adinda memiliki satu permintaan padamu, kanda. Ini pulalah yang menjadi maharmu terhadapku..", ujar Sang Dewi. "Tapauni,ndi'. Aga parEllautta ?. Nasaba' iyaro mai melle'ku, tebbuluu tettanEtE, lappaa maneng muwa.." (Katakanlah, dinda. Apa gerangan permintaannmu ?. Karena kasih mesraku padamu, bukanlah gunung dan perbukitan, melainkan dataran yang lapang jua..), sahut La Sangpuraga dengan hati yang berbunga-bunga, menebarkan keharuman yang lebih semerbak dari seluruh kembang melati yang tumbuh di Lembah itu. "Naiyya uwEllau ridi', DaEng, aja' lalo tateppui asengku.Namoo sisengmuwa. Nasaba' akko tateppui, tatteppanitu taro assarangengta.. iyamiro bawang." (Adapun permintaanku, kanda.. Jangan pernah menyebut namaku. Walaupun cuma sekali. Karena apabila kanda menyebutnya, maka jatuhlah takdir perpisahan kita. Hanya itu..).

Alangkah leganya hati La Sangpuraga. Dikiranya permintaan Sang Dewi adalah sesuatu yang mustahil, misalnya mengeringkan telaga didepannya. Tanpa berpikir panjang dia menyanggupi permintaan itu. Namun dia bertanya jua, "Niga mEmeng palE aseng malebbita, ndi' ?. Tapauwangnga' EbarE' uwissengngi nadE urampEi" (Lalu siapakah namamu yang sebenarnya, adinda ?. Sebutkanlah agar kanda mengetahuinya untuk tidak menyebutnya..). Sang Dewi menunjuk pada rumpun bunga melati yang bermekaran, "Naiyya asengku, pada balona iyaaro unganna bunga-bungaEdE.." (Namaku adalah warna yang sama dengan warna kembang itu..), jawabnya.

Pada Akhirnya ...

Kedua inzan itu akhirnya dinikahkan oleh takdirnya. Mereka tinggal menetap di tempat sunyi itu dengan saling berbagi kasih. La Sangpuraga kini bukan lagi seorang pemuda yang pemurung dan penyendiri. Hari-harinya kini terasa bermakna. Tiada lain yang dipikirkannya selain membahagiakan isterinya tercinta. Begitu pula dengan Sang Dewi, ia menerima limpahan kasih suaminya dengan hati yang senantiasa memekarkan bunga tak bermusim. Mappammulani siampalu', Sitakka wiring lipa', Sisompung wEluwa' (Hatinya telah tertaut saling membelit bagai jalinan, menjelma dalam cinta kasih yang teramat dalam, bagai rambut yang saling menyambung..).

Saat demi saat, berkumpul dalam himpunan waktu.. Waktupun merambat hingga menamakan diri sebagai suatu masa. Pasangan yang berbahgia itu kini dikarunia seorang anak perempuan yang amat manis. Mereka menamai puteri buah hatinya itu, We Dalauleng. Pada suatu hari, La Sangpuraga sedang meraut rotan di depan rumahnya. Puterinya sedang asyik bermain-main didekatnya. Sementara itu, isterinya sedang mencuci pakaian di pinggir telaga, tidak jauh dari tempat itu. Tiba-tiba We Padauleng menjerit seraya menangis sambil memegangi jari tangannya. Ia teriris belahan rotan yang telah diraut ayahnya. La Sampuraga terkejut dan segera menggendong puterinya. Namun alangkah terkejutnya lelaki itu ketika melihat darah yang mengucur dari luka di jari puterinya berwarna putih seperti getah pohon Ara !. "Mabussa daraana !" (Darahnya berwarna berwarna putih !), teriaknya tanpa sadar. "Bussa" sesungguhnya adalah kosa kata Bahasa Bugis kuno yang kini berganti menjadi "PutE", berarti : Putih.

Mendengar teriakan La Sangpuraga, Sang Dewi meninggalkan cuciannya lalu merengut dan mendekap puterinya dengan air mata bercucuran. Ia menciumi We Dalauleng sambil menangis terisak-isak dengan hati hancur, dilanda sedih yang teramat mendalam. La Sangpuraga menyaksikan itu dengan terheran-heran. Belumlah usai terkejutnya melihat darah puterinya yang berwarna putih, kini isterinyapun bertingkah aneh. "Apa gerangan yang terjadi, Adinda ?", tanyanya cemas. "Kanda Sangpuraga yang tercinta. Mungkin tanpa kau sadari, kau baru saja menyebut namaku yang berarti tibalah masanya takdir memisahkan kita..", jawabnya sambil menangis. Bagai petir yang menyambar di telinganya, seperti itulah yang dirasakan La Sangpuraga ketika itu.. Ia terdiam bagai patung dan menerima puterinya yang diangsurkan isterinya yang bergegas naik ke rumah. Pandangan matanya kosong, bagai kehilangan kesadarannya.

Entah apa yang dicarinya diatas rumah, namun agknya tidak didapatinya jua. Sang Dewi berlari menuruni tangga dengan air mata yang menggenang pada wajahnya yang jelita. Tiba-tiba Sangkuraga teringat sesuatu serta mendapatkan kesadarannya kembali. "Percuma kau cari selendang itu, Adinda. Aku sudah membakarnya beberapa waktu yang lalu..", katanya dengan sedikit harapan yang terlintas pada mendung pikirannya. Sang Dewi memandangi dalam-dalam lelaki yang dicintainya itu seraya tersenyum pedih. "Ketiadaan selendang itu bukanlah halangan bagi takdir perpisahan kita, suamiku. Karena sesungguhnya ini bukanlah kemauanku.. melainkan kehendak DEwata yang Tunggal. Selamat berpisah, suamiku tercinta. Jaga dan rawatlah anak kita dengan sebaik-baiknya..". Setelah mengatakan kalimat terakhirnya itu, ia berlari menuju sebatang pohon besar yang tumbuh didekat batu datar di pinggir telaga. "ibuu.. jangan tinggalkan akuu..", jerit We Dalauleng menggenaskan. "Jangan tinggalkan kami, isteriku...", pinta La Sangpuraga yang terdengar bagai keluhan semilir angin yang berlalu..

Wanita khayangan yang malang itu berlari dan berlari dengan hati bagai teriris sembilu mendengar jeritan suami dan puterinya tercinta. Ketika semakin mendekati pohon besar itu, tiba-tiba batang pohon itu terbelah. Sang Dewi masuk kedalamnya. Perlahan batang pohon yang terbuka menyerupai rongga itu mulai tertutup. La Sangkuraga yang sedang menggendong puterinya berlari mengejar untuk menarik keluar isterinya dalam lubang pohon itu. Namun upaya terakhir itu terlambat.. tangannya hanya mampu meraih beberapa helai rambut Sang Dewi yang kini tidak nampak lagi didalam rongga pohon yang tertutup rapat.. Ia berlutut dan menjerit sejadi-jadinya, seraya memanggil nama isterinya yang tercinta. "Ooo..Bussaaaaaa...", puterinya ikut menangis dalam dekapannya.

Entah berapa lama ia berlutut sambil mendekap puterinya yang entah tertidur atau pingsan.. Petir sambung menyambung menyambar seakan ingin melebur lembah yang dilanda duka itu. Tiba-tiba terpancar sinar pelangi dari batang pohon besar didepan La Sangpuraga. Tercium aroma keharuman yang semerbak mewangi, ..aroma keharuman tubuh isterinya yang amat dikenalnya. Terdengarlah suara isterinya yang seakan datangnya dari segala arah. "Kakanda, tabahkan hatimu. Ada pertemuan, berarti ada pula perpisahan.. Inilah ketentuan takdir yang ditetapkan oleh Dewata SeuwwaE terhadap kita. Namun janganlah khawatir, kelak akan tiba waktunya bagi kita berdua untuk bersama selamanya. Maka untuk sementara ini, peliharalah puteri kita sebagai wujud tunas kita berdua. Jika suatu saat ia merindukanku, maka bawalah ia kebawah pohon ini.. ia akan merasakan kehadiranku...". Lelaki malang itu mendengarkan sambil mengangguk-anggukkan kepala tanpa menjawab sepatah katapun. Kerongkongannya terasa tercekik, dadanya terasa sesak oleh haru dan sedih yang seakan meluluhlantakkan jiwanya.....Lao mani' uwissengngi, AlEku natarana', Sara ininnawa (Setelah kepergianmu barulah kutahu, Jika diriku kini dilanda sedih, Derita batin yang tak berkesudahan...)
...........................................................................................................

Demikian menurut kata legenda. Sejak itulah pohon besar tempat raibnya Sang Dewi dikenal sebagai pohon CENRANA. Pohon yang disakralkan karena bergetah merah yang menyerupai darah manusia. Pada getah pohonnya menebarkan keharuman khas yang diyakini sebagai aroma bidadari dari khayangan. Adapun halnya dengan We Dalauleng, inilah salah satu tunas leluhur yang dianggap sebagai salahsatu cikal bakal para Bangsawan Bugis yang berpadu dengan Wija ManurungngE di Luwu dan Tompotikka.
 
Wallahualam Bissawwab.......... 

Jumat, 29 Oktober 2010

Kajian Ininnawa (8)

Anti Peluru !

"Puramooga tatarima paddisengenna Pettata iyya palEssEE'i piluruE, ana' ?" (sudahkah anda menerima Ilmu Membelokkan Peluru dari ayah anda, nak ?), demikian pertanyaan yang sering penulis terima dari beberapa orang tua-tua, diantaranya oleh Sertu (Purnawirawan) Tawakkale (Almarhum), setahun setelah mangkatnya ayahandaku pada tahun 1998...

Konon khabarnya, pada peristiwa Bone Pute berpuluh tahun yang lalu (tahun 50-an) terjadi pertempuran sengit antara DI/TII dengan TNI. Pasukan DI/TII dikepung oleh TNI dari 2 angkatan, yakni : Korps. AD dan AL (Marinir). Berkat keterampilan militer yang lebih terlatih serta didukung persenjataan yang lengkap, TNI berhasil mengepung dan mendesak posisi Pasukan DI/TII. Akhirnya hanya beberapa personil pasukan DI/TII yang berhasil selamat dan mampu meloloskan diri dari kepungan itu, diantaranya : Ayahandaku dan Sertu. Tawakkale'. Menurut Sertu. Tawakkale semasa hidupnya, ketika itu pasukan TNI menembaki mereka dengan gencarnya dari segala penjuru. Bunyi peluru berdesingan bagai bunyi kain yang dirobek disekeliling mereka. Tiba-tiba Andi Mori (ayahanda) berdiri seraya mengalungkan tali senapan Mouser yang dipanggulnya dipunggung. Ia berbalik menggapai padanya (Sertu. Tawakkale). "EccoEki' ri munrikku. Akkatenniki' ri salipikku. Aja' tamattEmba', aja'too takkampareng.." (ikutlah dibelakangku. Berpeganglah pada ikat pinggangku. Jangan menembak dan jangan pula menegur..).

Ejaji, uwaccoEri tongenni adanna Pettata, ana'. UpakkapejjEng matakku, uwapparimeng mani bawang lao ri Akuasanna PuwangngE. Aga usirEnrEngna lao, muttama ri ale'E. Pada bawangmani akko riyampoorengngi pEluruE manennEE. PammasEna PuwangngE, dE' gaga pEluru pakenna iya' dua. Makkotoo paimeng sininna tentara pakeppungngE, mellang-mellang matanna natollalo ri yolona, na dE' naitaki'... (maka kuturuti perkataan ayah anda, nak. Kupejamkan mata seraya kuberserah diri pada Allah. Lalu berpeganganlah kami berdua, berjalan memasuki hutan. Peluru bagaikan disebar beterbangan disekeliling kami. Namun berkat rahmat Allah, tidak sebutir pelurupun yang mengenai kami berdua. Begitu pula dengan para tentara yang mengepung, matanya terbuka namun tidak melihat kami berdua yang berlalu dihadapannya, mereka tidak melihat kami...) , demikian kisah Pak Tawakkale' kepadaku. 
.................................................................................................................

Selama hidupnya, kukenal ayahandaku sebagai sosok pribadi yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang begitu menonjol selain kekerasan hatinya dalam berprinsif. "Namoo muisseng waE racung akko purani mukadoi, Enungngi !" (walau pada akhirnya baru kau tahu jika itu adalah air beracun, namun kau sudah menyanggupi, maka minumlah itu !), demikian pesannya. Selain itu, beliau adalah seorang kutu buku yang hampir setiap waktu tenggelam dalam bacaannya. Kemudian pada saat lain, beliau memanggilku untuk memperdengarkan ceritanya tentang berbagai hal, utamanya yang bertajuk sejarah dan budaya. Jika sudah begitu, asap rokoknya mengepul bagai cerobong pabrik.

Pada suatu kesempatan di tahun 1993, kutanyakan perihal Ilmu Peluru yang konon dimilikinya. Beliau menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum kecil bagai mencemooh. "Caritaanami tu tauwwE, :Laoddang..." (itu sih cuma cerita orang saja, Laoddang..). "EbarE' makkoo tongeng ammaaniha, Etta ?" (Tapi mungking saja benar, Etta ?). Maka dengan mimik serius beliau menjelaskan dengan panjang lebar....
...............................................................................................................

Sesungguhnya "Manusia"(TAU) pada hakikatnya SATU. Namun "Orang" (Rupa Tau), itulah yang banyak jumlahnya. "Manusia Sejati" (Tau Tongeng-TongengngE) yang jumlahnya cuma 1 itu berada pada diri setiap orang. Dia sedang berada dalam dirimu, pada saat yang sama juga berada dalam diriku, serta berada pula pada semua orang. AKU adalah KAU, Kau adalah AKU dan KAU adalah MEREKA... Dengan demikian, jika kau memahami hal itu, maka KAU tidaklah mungkin TEGA merusak, menyakiti atau terlebuh membunuh ORANG LAIN. Karena pada hakikatnya ORANG LAIN itu adalah DIRIMU jua.

"Lalu bagaimana hubungannya dengan Ilmu Anti Peluru itu, Etta ?", tanyaku kurang sabar. "Ketahuilah, MANUSIA adalah mahluk semulia-mulianya yang diciptakan ALLAH. Dibandingkan dengan peluru yang cuma hasil KREASI MANUSIA, apalah artinya peluru ?", jawabnya dengan pandangan tajam. "Jika saat ini kau adalah MANUSIA, maka TIDAK ADA ORANG yang mampu melukai dirimu, apalagi menghilangkan jiwamu. Yakinlah itu !", kuncinya.

Memahami "Ilmu Manusia" ini, maka hati haruslah bersih dari segala niat buruk pada sesama manusia. Barangsiapa yang memahami jika "Manusia cuma Satu", lalu didalam lubuk hatinya masih tersimpan niat untuk mencelakakan orang lain, maka dia yang terlebih dahulu "dimangsa" niatnya tersebut. "Aku tidak pernah berniat menembak orang dalam peperangan, apalagi membidiknya. Walaupun sebenarnya akupun seorang penembak jitu. Kupegang dan kutembakkan senjata apiku hanya sebagai sekedar melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabku sebagai lasykar. Namun sebelum kutembakkan, aku senantiasa berdo'a : EE Puwangku. Iyyatoona toTapatotoriE nakenna pElurukku. DE'Elo paulEku, sangadinna Idi'mi PaullE...(Yaa Allah, hanya bagi yang Engkau takdirkan baginyalah yang terkena peluruku. Sesungguhnya aku tidak memiliki kekuasaan apa-apa terhadap segala ketentuan yang Engkau gariskan...)", tuturnya santai.

Ilmu sulit....., pikirku. Wallahualam Bissawwab.

Rabu, 27 Oktober 2010

Kajian Ininnawa (7)

MappalElE Buluu... (Memindahkan Gunung)

"Watak, sifat, tabiat dan kebiasaan pada manusia dapat berubah. Namun yang tidak dapat berubah, adalah : Tempramental. Seseorang yang bertempramen tinggi sejak lahirnya akan terus seperti itu hingga matinya....", demikian ujar Prof. Dr. H. Siri Dangnga, MS pada suatu kesempatan di tahun 2007 yang lalu..

Tiba-tiba terbersit pada pikiranku sebuah ungkapan lama yang selalu diwasiatkan orang-orang tua dulu. "Maaf, Prof. Jika halnya seperti itu, lalu bagaimana halnya dengan pesan orang-orang tua yang mengatakan : LElE Buluu, TellElE Abiasang (Gunung dapat berpindah tapi kebiasaan tidak dapat berpindah) ? ", sanggahku. Professor Peramah itu tersenyum seraya menjawab : " Ungkapan yang anda sebutkan itu masih pakE tanda koma dibelakangnya. Karena ungkapan lengkapnya berbunyi : LElE Buluu TellElE Abiasang, naEkia lElEmoo AbiasangengngE, Abiasangtoopa PalElEi (Gunung dapat berpindah tapi kebiasaan tidak dapat berpindah, namun kebiasaan dapat berpindah jika Kebiasaan pula yang memindahkannya) "...
............................................................................................
Sungguh, tidak semua orang mendapatkan peruntungan untuk menyadari kebiasaan buruknya. Pada umumnya orang pada sibuk mencari "dalih pembenaran" untuk membenarkan kebiasaan yang pada hakekatnya "amat tahu" jika itu adalah hal yang buruk. Karena "menyadari sesuatu" membutuhkan kejujuran dan keberanian. Jujur menilai diri apa adanya dan berani membangun sebuah kebiasaan baik untuk mengalihkan kebiasaan buruk yang melekat bagai "karang gigi" selama ini.

Sebagaimana halnya dengan karang pada gigi yang akan merusak gigi jika dibiarkan melekat, namun dapat menyebabkan gigi nampak berlobang jika dibuang. Maka seseorang haruslah berani tersenyum dengan gigi berlubang jika karang gigi itu dibuka. Tetapi jauh lebih baik dari pada membiarkan karang gigi tetap lestari untuk dijadikan sarang bakteri yang menggerogoti gigi hingga habis.

Tiba-tiba aku teringat dengan kisah seorang pemuda kaya. Kebiasaanya tiap hari tiada lain hanya mabuk-mabukan, berjudi, berkelahi dan segala prilaku buruk lainnya. Pada suatu malam ia bermimpi melihat dirinya meninggal dunia dan sedang menghadapi pengadilan akhirat. Sungguh, amal baiknya sangat tidak mengcukupi untuk membayar segala dosa yang pernah dilakukan selama hidupnya. Maka digiringlah ia menuju neraka. Pemuda itu menjerit sekeras-kerasnnya , memohon ampun seraya menyesali segala perbuatannya... tiba-tiba ia terbangun dari mimpi buruk tersebut. Alangkah leganya hatinya dan seketika itu juga ia berjanji untuk merubah segala kebiasaan buruknya.

Walhasil, pemuda itu mencoba menghitung segala jenis dosa yang rutin dilakukannya. Ia mengambil sebuah papan lalu menancapkan sebatang paku pada permukaannya sebagai tanda setiap jenis kebiasaan buruknya. Hasilnya sungguh mengejutkan !. Papan itu dipenuhi paku yang menancap dalam-dalam. Sungguh pemuda yang luar biasa bejadnya. Maka bersungguh-sungguhlah ia merubah prilaku buruknya. Setiapkali ia "merasa berhasil" menghentikan sebuah kebiasaan buruknya, dicabutnya sebatang paku yang menandai kebiasaan itu. Berkat kesungguhannya, paku-paku yang menancap pada papan itu habis tercabut. Namun setiapkali memandangi papan yang tidak ada pakunya lagi itu, pemuda itu menangis sedih.. "Bukankah mestinya kau bersyukur karena paku-paku itu telah tercabut, anakku ?", tanya ayahnya. "Aku mensyukurinya, ayah.. Namun aku menangisi permukaan papan ini karena walau paku-pakunya telah tercabut, tetapi BEKAS pakunya menampakkan lubang yang buruk....." . Wallahualam Bissawwab....

Senin, 25 Oktober 2010

Kajian Ininnawa (6)

HARAP MAKLUM !

..entah tahun berapa ketika itu, aku telah lupa. Namun yang jelas kuingat, saat itu adalah masa-masa ketika nuraniku sedang mencari dan mencari pencitraan tentang "DIRIKU" yang sebenarnya...


Lelaki itu nampak bersitegang dihadapan seorang berpakaian safari berlencana "Kepala Desa", yakni pamanku. "Sungguh, Puang. Saya berkata benar ! Dia itulah yang bicara dua kali (pendusta)..", katanya dengan wajah merah padam. Ia terus berbicara menyampaikan segala isi hatinya seraya meyakinkan jika dialah yang paling benar. Pak Kades dihadapannya mendengarkan dengan wajah cerah sambil sesekali mangut-mangut membenarkan. Setelah beberapa lama, lapat-lapat kumengerti jika ternyata orang itu sedang mengklarifikasi tuduhan orang yang ditimpakan kepadanya selaku "penyerobot batas tanah". Biasa, panorama di kampung halaman...

Setelah merasa puas dengan klarifikasinya, lelaki itu mohon pamit seraya tidak lupa mohon maaf sekiranya ada dalam sikapnya tadi yang tidak pada tempatnya. "Ternyata, cukup santun juga ini orang...", pikirku. Namun berselang tidak terlalu lama setelah itu, datanglah lelaki lain mengucapkan salam. "Wah, tamu dari mana lagi nih ?". Ternyata lelaki itu adalah lawan dari lelaki sebelumnya. Untung aja gak ketemu disini tadi. Bisa-bisa akupun jadi ikut repot melerai. Maka iapun menjelaskan perihal kebenaran "tuduhannya" dengan berbagai alasan yang cukup logis. Sebagaimana biasanya, Sang Paman tetap tersenyum cerah, mendengarkan dengan sabar sambil sesekali membenarkan..., hingga tamu itupun mohon pamit.

Wah, ada yang tidak beres kalau begini ...,menurut logikaku. Jika kedua belah pihak "dibenarkan", apakah tidak mungkin jika mereka malah "berkelahi" pada akhirnya ?. Setelah dipikir dan dipikir kembali, tidak kena-kena juga. Maka kuajukan jua pertanyaan itu pada Sang Paman.

Beliau tersenyum cerah dengan sinar mata terang nan jernih. Nampak tiada beban yang tersembunyi didalamnya, ketika mendengar pertanyaanku yang menyergahnya. " Amati dan selami sedalam-dalamnya, Oddang..", ujarnya. "Duami passaleng nassabaari nasisala rupa tauwwE ri lalengna lino.." (Hanya 2 hal yang menjadi penyebab perselisihan antar sesama manusia di dunia ini...) . Yang manakah dimaksud, Puang ?, tanyaku penasaran. "Anu TemmanessaE sibawa Anu TenripahangngE" (Hal yang TIDAK JELAS dan Hal yang TIDAK DIPAHAMI), jawab beliau dengan suara datar...
.................................................................................................

Sungguh... pada hakekatnya semua manusia terlahir dengan hati yang menyimpan hal-hal baik tak terhingga didalamnya. Maka sebenarnya manusia tidak pernah melakukan kesalahan, melainkan kekhilafan yang merupakan sisi lain dari fitrah baiknya. Demikian yang pernah kubaca, namun lagi-lagi aku lupa entah siapa yang mengatakan itu.

Benarlah kiranya, KETIDAKJELASAN terhadap sesuatu hal yang menyebabkan pemikiran membuat PENILAIAN yang berbeda dari hal sesungguhnya. Maka merupakan kewajiban bagi manusia lainnyalah yang terpanggil untuk MENJELASKAN perihal tersebut. Lalu KETIDAKPAHAMAN terhadap suatu hal pulalah yang membuat segala sesuatu menjadi DISALAHPAHAMI. Maka kewajiban pulalah bagi yang memahami untuk memberikan pemahaman yang benar tentangnya...

Namun terkadang emosi yang menyulut kejengkelan kepada orang-orang yang sering kurang memahami. Maka kesabaran adalah "pintu utama" menuju "pemahaman". Anda takkan pernah dapat memahami sesuatu dengan amarah, demikian kata pamanku. Maka hunilah rumah nuranimu dengan tentram, berawal sejak memasuki pintu sabarmu.

Sungguh...
Memandang tidaklah mesti berarti melihat..
Melihat tidaklah mutlak berarti mengetahui...
Tahu tidaklah pasti mengerti....
Mengerti belum tentu memahami.....
Memahami bukanlah sejatinya memaklumi...
dan... Memaklumi tidaklah mutlah MEMAKNAI....

Subhanallah.. Wallahualam bissawwab.

                                 

Sabtu, 23 Oktober 2010

Sejarah Belawa Part 12 (Penutup)

Penutup

Tersebutlah pada suatu hari di Angkara, Turki. Muhammad Arsyad sepeninggal kakaknya (La Wahide') telah menikah dengan seorang gadis peranakan Melayu-Arab berasal dari DELI (Sumatera) yang kesehariannya berprofesi sebagai Bidan. Mereka dikaruniai seorang puteri bernama : SAWIAH. Maka Muhammad Arsyad dipanggil sebagai "Puanna Sawiah" dan isterinya menjadi "Mak Sawiah".

Konon Sawiah yang merupakan gadis kecil berumur belasan tahun kala itu, sangat berkeinginan untuk mengunjungi kakek-neneknya di Belawa. Namun kesibukan kedua orang tuanya di Negeri rantau jauh tersebut tidaklah memungkinkan untuk itu. Pada suatu hari, Muhammad Arsyad jatuh sakit. Demikian parahnya sehingga ia tidak sadarkan diri selama berhari-hari. Setelah sadar, beliau teringat dengan negeri kelahirannya, yakni : Belawa. Maka ia bernazar dalam rangkaian do'anya : EE Puekku. NarEkko maEloni' palE malai taro-tarota ri alEku, ri tana ncajiakkupi talai. Nasaba' maEloka' kasi'na pasipulungngi buku-bukukku sibawa sininna buku-bukunna tomatowakku.. (Yaa Tuhanku. Andai benar adanya Engkau berkehendak mengambil nyawa yang Engkau titipkan kepadaku, kiranya nantilah setelah di negeri kelahiranku. Karena aku sangatlah berkeinginan sekiranya tulang belulangku berkumpul dengan tulang belulang orang tuaku...). Sungguh Allah Maha Besar, maka hanya beberapa setelah itu, Muhammad Arsyad berangsur-angsur sembuh.


 Akhirnya melalui perjalanan panjang dan beberapa kali berganti kapal dan kendaraan darat, maka tibalah Muhammad Arsyad sekeluarga di TippuluE. Semua orang yang melihatnya "panglin" karena wajah dan posturnya sudah sangat berubah. Beliau meninggalkan Belawa ketika masih remaja belasan tahun dan kini ia pulang sebagai orang dewasa dengan wajahnya yang dihiasi kumis dan cambang bersambung dengan janggutnya. Namun beliau merasa sedih karena ternyata ayah dan ibunya telah wafat beberapa tahun yang lalu. Maka menetaplah ia dan keluarganya selama beberapa bulan di TippuluE sambil mengurus dan menjual tanah warisannya. Karena ia berkeinginan untuk menetap di Deli, kampung halaman isterinya.

Setelah waktu yang ditentukan untuk keberangkatannya menjelang, maka bersiap-siaplah beliau sekeluarga dan para pengantarnya ke Parepare untuk naik kapal. Namun  berlakulah ketentuan Allah, subuh hari persis pada hari keberangkatan itu, Muhammad Arsyad tiba-tiba terjatuh setelah melaksanakan sholat subuh. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada waktu itu juga. Maka keberangkatan hari itu menjadi keberangkatan beliau selamanya kehadirat Pencipta-Nya. Tak terbayangkan dan tak tergambarkan lagi bagaimana kesedihan isteri dan puteri tunggalnya ketika itu. Entah beberapa lama setelah kejadian tragis itu, barulah janda Muhammad Arsyad dan puterinya bertolak ke DELI dan tidak pernah terdengar khabar beritanya hingga saat ini.

Pengunjung dan pembaca yang budiman. Melalui tulisan ini saya mencoba mencari khabar dan informasi tentang keturunan puteri tunggal Muhammad Arsyad tersebut yang diperkirakan banyak berada di Pulau Sumatera. Kemungkinan besar Sawiah sudah wafat, namun kami yakin jika anak keturunannya masih banyak. I Sawiah adalah sapposiseng  (bersepupu satu kali / saudara misan) dengan ayahanda penulis, yakni : Andi Panguriseng (Andi Mori). Besar harapan saya sekiranya diantara anak cucu Puang Sawiahku  yang kebetulan membaca uraian ini dapat menghubungi saya melalui kolom komentar yang disediakan. Almarhum ayahanda kami senantiasa berpesan agar mencari keberadaan anda semua. Kami senantiasa menunggu dan merindukan anda semua...

Selain itu  melalui tulisan ini pula saya mencoba mencari keberadaan para sanak keluarga kami yang lain, yakni : Keturunan Andi Munta Daeng Mattappa (saudara kandung nenek penulis), Andi Makkarumpa' (Adik nenek penulis) dan Andi Tangkung (Kakanda Ayahanda penulis) yang kemungkinan banyak tersebar di Provinsi Jambi dan Kepulauan Riau. Datang dan berkunjunglah kemari, negeri peninggalan leluhur kita semua. Kami merindukan anda semua...

...........................................................................................

Belawa adalah negeri persimpangan segala batas. Persimpangan daratan dan danau serta persimpangan antara beberapa kerajaan dengan silsilah keturunannya yang beragam. Kiranya pengetahuan saya yang dangkal ini tidaklah mencukupi untuk memaparkan "Sejarah Belawa" yang lebih lengkap dan pantas untuk dikatakan sebuah tulisan sejarah.

Beberapa hari yang lalu, teman saya berkata : "Waah, anda ternyata seorang PENULIS SEJARAH". Saya menggelengkan kepala dan sama sekali menolak anggapan itu. Sungguh saya tidak berani dikatakan demikian. Pengetahuan saya yang terbatas ini hanyalah didapatkan dari bertanya, mendengar dan membaca. Tidak pernah melalui bangku pendidikan dimanapun. Maka, "Saya tidaklah sedang MENULIS SEJARAH, melainkan saya sedang MEMBUAT SEJARAH SAYA SENDIRI". Karena dengan tulisan ini saya mencoba berbuat dan menggoreskan karya tulis (jika sekiranya pantas disebut KARYA) untuk dikenang oleh anak keturunanku kelak. Sesuatu yang sekiranya dapat berguna dan pantas untuk diteliti kebenarannya pada hari ini, esok, lusa atau dikemudian hari.

Setelah tulisan ini masih ada beberapa topik seputar kesejarahan Belawa yang masih samar-samar dalam benak penulis, yakni :
1. Kisah lengkap tentang La Monri Arung Belawa MammulangngE
    Petta MatinroE ri Gucinna,
2. Latar belakang terjadinya dualisme kepemimpinan di Belawa yang
    membagi Kerajaan Belawa menjadi 2 bagian, yakni : Belawa Alau
    dan Belawa Orai'. Kapan, bagaimana dan oleh siapa ?
3. Silsilah keturunan La Raga Arung Belawa yang pernah berperang
    dengan La Toappo Arung Berru Addatuang Sidenreng XII,

4. Arung Belawa yang merantau bersama para lasykar pemberaninya
    ke Sumatera dan Negeri Malaka yang termahsyur menamai pelabuhan
    Belawan (asal kata AbbElawang) dan menyerbu pasukan Belanda di
    Tanjung Pinang (Riau). Selain itu beliau juga membantu Raja Haji
     Yamtuan Muda Riau Marhum Teluk Ketapang (Bangsawan Bugis
     yang telah dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional asal Riau) dalam
     peperangannya dengan Belanda (tersebut dalam Kitab Tuhfat an Nafis
     dan Sejarah Riau).

Tulisan ini saya dedikasikan untuk Almarhum Ayahandaku tercinta : Andi Panguriseng. "Etta, upabolEni minasatta..". Semoga arwahnya mendapatkan tempat yang layak disisi Allah Subhanahu Wata'alaa... Amin. Mohon maaf atas segala khilaf dan kekurangannya. Amin.

Wassalam





                                                         Parepare, 24 Oktober 2010

                                                         Saat aku sedang demam hari ini...
















 

tana ogi



LAGU BERBAHASA SUMBAWA

Pengunjung yang terhormat..,

Nuansa budaya Indonesia sesungguhnya tidak jauh berbeda
Seperti yang anda saksikan sendiri pada KLIP ini,
pakaian adat Sumbawa mirip dengan Pakaian adat Bugis.
Karena sesungguhnya asal muasal kita sama...

(Andi Oddang)

Jumat, 22 Oktober 2010

Shenja (Stereo)



TEMU JIWA
Dyong

Kusebut tanpa kata ketika itu
Kala siang bersua malam
Pertemuan ombak dan pantai
Gelorakan rindu di ruang waktu
Biarkan hati yang berbuat
Tubuh hanyalah kendaraan belaka
Sinar mata cuma jendela
Tampakkan kehendak sukma jiwa
Bacakan puisi nafas abdinya
Kalimat nurani tak kuasa disela...
Hembuskan saja..
Alirkan saja..
.......
Once upon a time..

Minggu, 17 Oktober 2010

Song #21 - The Man Who Chose To Smile - A happy feel good instrumental ...




 SENYUM
      Dyong

Tertulis indah pada bacaanku
Jika hidup terkadang tidaklah ramah
Lelah kaki melangkah
Menapak jalannya berbatu
Merindu sejuknya air
Fatamorgana sekedar perintang asa
Tongkat butut ini merintih sejak tadi
Tidakkah kau tahu
Jika sebuah kolam teduh terhampar
Pada setiap hati ?
Dinginkan jiwa...
Tenangkan sukma...
Dengan seulas senyum...
Terima saja..

                                        Parepare, ketika aku lelah .. hari ini.

Sabtu, 16 Oktober 2010

Armik - Taj Mahal



TUGU SEBUAH RASA....
                               Dyong

Teguh menatap langit
Bersimpuh angkuh menantang zaman
Nafasnya tetap dengan dada terangkat

Walau bilur luka memenuhi tubuhnya..
Ragam permata telah disamun waktu

Pertanda suramnya masa tak bermata..
Tapi keindahan bukannya oleh batu mulia
Adalah kasih tak terbatas umur yang menempanya
Pada kucuran air mata pemuas dahaganya
Kenangan sebuah cinta yang tak bertepi
Prasasti rindu yang tak terhingga..
Tugu kesetiaan yang tak tergoyahkan..
Demi sebuah kata... Hatiku
Oh Jahan.. Oh Muntaj...


                                      Parepare, 16 Oktober 2010

Rabu, 13 Oktober 2010

Kajian Ininnawa (5)



PessE (Solidaritas Kemanusiaan)

" REkko teppaullEini ipatettong SIRI"E, paddeppungengngi PESSEWE..." (Jikalau HARGA DIRI tak kuasa ditegakkan lagi, maka himpunlah SOLIDARITAS KEMANUSIAAN...) ...

Allah pastilah memiliki rencana tersendiri sehingga bencana ini ditimpakan di Negeri Serambi Mekah .. Betapa tidak, bertahun-tahun lamanya manusia saling sembelih satu sama lainnya. Darah antar saudara dikucurkan begitu saja, atas nama "Martabat Bangsa dan Negara". Lupa bahwa "Darah dan Jiwa Kemanusiaan" adalah martabat tertinggi seorang manusia. Nilai itulah yang dibahasakan sebagai : NURANI (ininnawa). Dengan itulah, manusia dinyatakan sebagai Mahluk paling MULIA dari sekian banyak ciptaan Allah yang lainnya.

Lihatlah .. Jazad saudara kemanusiaan kita bergelimpangan dengan bilur luka yang tak terperi ini.
Dengarkan.. Rintihannya yang meluluhkan kristal ego dalam hati kita selama ini..
Rasakan, tidakkah terasa ada sesuatu yang menggiris perih dalam perut kita ?..
Duhai, saudaraku .. Tahukah kita bahwa jazad yang terhampar itu pernah dilahirkan seperti kita ?
Merekapun pernah mendengar azan dilantungkan lembut ditelinganya, seperti kita..
Merekapun telah di Aqikah, seperti kita juga..
Merekapun pernah menghisap air susu ibunya, seperti kita pula...
Merekapun telah mendapatkan belaian kasih sayang orangtuanya.., seperti kita.
Ditimang.. dipeluk dan dibuai dalam ayunannya, seperti kita..
Tapi sekarang ... lihatlah. Tubuh-tubuh yang pernah dibelai dan disayang itu berserakan.. terhampar bagai ikan-ikan yang terdampar.... Sementara yang selamat, merintih kesakitan lahir bathin.. Terluka luar dalam.. Kesakitan oleh luka tubuh .. Merana oleh lara hatinya. Kehilangan harta dan orang-orang yang disayanginya...

Ininnawa.. bahasa, suku bangsa atau mungkin saja keyakinan mereka ada yang berbeda diantara kami. Tapi apakah air susu ibunya berbeda rasa pula dengan air susu ibu kami ? .. mereka telah menghirup udara yang sama dengan kami .. kini terhampar .. Mereka saudaraku. Sesamaku manusia....
.........................................................................................

Sungguh.. Solidaritas Kemanusiaan inilah yang sekiranya dapat mendekatkan seseorang pada Hidayah dan Inayah Allah... Hidup ini akan tiada artinya tanpa petunjuk dan pertolongan-Nya.

Syahdan, pada suatu hari Alexander The Great (Iskandar Zulkarnain) Sang Raja Agung Negeri Macedonia memerintahkan untuk memugar kembali makam Raja Phillip (Ayahanda Alexander) yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi. Sebagaimana diketahui, bahwa Raja Phillip yang mati ditikam oleh pelayannya itu dikuburkan bersama para budak setianya. Maka dibongkarlah makam raja itu. Tulang belulang yang sudah memutih diletakkan pada selembar kain sutera yang sedianya akan diarak keliling Athena. Tiba-tiba Alexander bertanya, : " Yang mana gerangan kerangka Ayahandaku ? ". Masalahnya, diatas hamparan kain itu tergeletak beberapa tengkorak dan tulang belulang yang bercampur satu sama lainnya. Maka segenap yang hadir tersebut kebingungan, tidak tahu harus menjawab bagaimana. " Ampunkan hamba sekalian dibawah duli tuanku.. sungguh patik tidak dapat lagi membedakan yang mana tulang belulang Baginda Raja Phillip dan yang mana pula tulang belulang para budaknya...", jawab Agamemnon, penasehat terpercaya Alexander.....
..............................................................................................

Wallahualam Bissawwab..........

Selasa, 12 Oktober 2010

Sang Teratai



 Teratai Sunyi
              Dyong

Hamparan telaga ditengah rimba
Ketika sukmaku menyebut diri ...
Sebagai alam hunian jiwa
Pada Permukaannya..
Menengadah daunnya haturkan do'a
Seraya mekarkan bunga..
Kesucian cintanya..
Putih berbilur kuning menatap angkuh
Menantang teriknya
Penguasa hari ini !
Walau kutahu ..
Dan kaupun tahu !
Akar hatiku terbenam
Pada lumpur dasar kolam ini
Jangan harap kumerasa
Sakit dalam himpitan ini
Tak perlu tiup seruling angin
Rumpun bambu takkan menari
Kunyanyikan laguku sendiri ..
Kusenandungkan nadaku .. sendiri !
Aku hanya butuh...
Ingatanku tentang sepatah dua kata
Ramuan kalimat sastraku
Untuk melupakanmu...

                                     Parepare, 12 Oktober 2010

Senin, 11 Oktober 2010

Sejarah Belawa (Part 11)

Petta Pabbicara Terakhir

Inilah kisah tentang kasih yang tak sampai. Disebabkan oleh ketetapan adat yang memenjarakan segala keinginannya . Membawa rana ke negeri rantau.. hingga takdir memanggilnya kembali ke Tanah Kelahiran. Demi amanat bhakti untuk menata dan menjaga adat yang telah meremukkan hatinya... 

Adalah hal yang lumrah jika seorang pemuda berumur 17-an, melihat dunia penuh warna cerah. Berawal dari sebuah kerlingan mata seorang gadis yang menarik hatinya pada suatu hari, maka ia tidak dapat lagi membedakan antara mimpi dan terbangunnya di dunia nyata. Itulah yang kini dialami La Wahide Daeng Mamiru, remaja yang hatinya dicekam rindu dendam terhadap seorang gadis remaja bernama I Buadare'.

 La Wahide adalah putera Abdul Razak Daeng Malebbi Petta PabbicaraE Belawa (putera La Sulungkau' Daeng Pagala Datu Lolo TippuluE MatinroE ri Passiringna dengan I Tiwajo Ana'na Arung Barukku') dari isterinya yang bernama I Jamilah (puteri La Makkulawu Petta Ugi dengan I Manjong). La Makkulawu Petta Ugi bersaudara kandung dengan La Tune' Sangiang Arung Bettempola sehingga dengan demikian I Jamilah bersepupu sekali (massappo siseng) dengan La TEngko Petta Manciji'E ri Wajo.

Perihal La Wahide' yang sedang dimabuk asmara ini, mendapat tantangan keras dari ayahandanya sendiri. Berkali-kali ia mengajukan permohonan kiranya dapat dilamarkan pada gadis pujaan hatinya, namun Sang Ayah tetap berkata "tidak". Sekali tidak bisa, tetap tidak bisa !, demikian jawabnya. Penyebabnya cuma satu hal, yakni : I Buadare' adalah anak sahayanya sendiri. Aja lalo MusEai tEdong tonangengmu ! (jangan sampai kau menaiki kerbau tungganganmu !), demikian istilah prilaku seorang bangsawan yang memperistri sahayanya pada masa itu. Terlebih lagi, Daeng Malebbi adalah Petta Pabbicara Ade' yang masuk dalam jajaran Ade' Patappulo Tana Wajo. Seorang Petta Pabbicara yang bertanggung jawab sebagai hakim perkara adat di Belawa. Bertindak selaku penasehat Arung Belawa bersama dengan Kadhi (Kali Belawa) yang merupakan hakim perkara Sara' (Syariah). Maka ia adalah sosok teladan dan paku adat yang menjaga teguhnya kehidupan masyarakat adat TanaE Belawa dan Wajo pada umumnya. Adalah merupakan sebuah tamparan keras bagi beliau jika puteranya sendiri melakukan pelanggaran adat yang secara langsung meronrong martabatnya sendiri.

La Wahide' sebenarnya menyadari posisi ayahandanya itu. Namun gelora asmara yang berkecamuk dalam hatinya terlalu sulit menerima kenyataan jika bahtera cintanya tak dapat ia labuhkan pada dermaga hati I Buadare'. Bukankah beberapa bangsawan memiliki gundik dari kalangan "ata" (sahaya) ?. Bahkan saudara-saudara ayahnya pun melakukan hal itu. Justru Ayahandanya sendirilah yang "lain sendiri" pada jaman itu, hanya memiliki seorang  istri, yakni : Ibundanya.

Pada suatu pagi yang cerah, La Wahide' lagi-lagi merajuk pada Ibundanya. " Akko dE naturuuka' Petta BoranEwE pubEnEi I Buadare', lebbi maddE'E lao sompe', Petta Indo' ! " (Sekiranya memang Petta BoranEwE bersikeras tidak merestuiku untuk mengawini I Buadare', maka lebih baik aku pergi merantau, Ibunda...), demikian katanya dengan nada mengancam. Dipikirnya bahwa ancaman ini akan meluluhkan hati orang tuanya. Bagaimana tidak ? Ia adalah putera yang dipersiapkan untuk menggantikan ayahandanya sebagai Petta Pabbicara. Maka menangislah Andi Jamilah mendengar ancaman puteranya tercinta itu. Tiba-tiba muncullah Petta PabbicaraE, keluar dari kamarnya. Dengan wajah dingin mengeras, beliau mengajukan pertanyaan pada La Wahide', : "TEga lipu lao musompeki ? Pauni, siaga ringgi' muapparellueng, upassadiangengko..." (Dimana kiranya kau mau merantau ? Katakan saja, berapa Ringgit uang kau butuhkan, nantilah kusediakan untukmu...). Mendengar perkataan suaminya, meledaklah tangis Andi Jamilah. Sementara itu, La Wahide' hanya terpekur diam seribu basa... Maksudnya hanya mengancam, tapi malah ditantang balik. Malulah jika ia bersurut langkah... Laki-laki.

Menurut catatan La Wahide', awal perantauannya itu terjadi pada tahun 1866. Tujuan perjalanannya adalah Balik Papan (Kalimantan Timur). Hanya beberapa hari setelah ancamannya berbalik arah, maka berangkatlah ia dengan lara yang tak terperi. Ibundanya tak kuasa menahan tangis seraya memeluk leher puteranya itu, seakan tak mau melepaskannya. Perpisahan yang mengharukan antara Ibu dan puteranya yang ternyata dikemudian hari diketahui jika itulah saat terakhir pertemuannya (Andi Jamila mangkat ketika La Wahide masih dalam perantauan). Sementara Petta PabbicaraE sendiri nampak biasa-biasa saja. Terlalu sulit menerka isi hati lelaki berkumis tebal melengkung keatas (mattippaa) itu. Maka La Wahide berangkat dengan menunggang kuda ke Parepare, diantar beberapa orang kerabat dan sahayanya.

Tidak banyak yang diketahui tentang pengalaman La Wahide' di Balik Papan. Cuma yang sempat ditulisnya adalah segelintir pengalamannya ketika bekerja sebagai "juru tulis" di Pelabuhan, termasuk keheranannya ketika menyaksikan burung perkutut yang disabung seperti ayam di arena judi. Suatu peristiwa yang dianggapnya istimewa adalah ketika menyaksikan pengeboran minyak untuk pertama kalinya di Balik Papan oleh orang-orang Belanda. Namun tahun peristiwa itu juga tidak ditulisnya.

Setelah 3 tahun berselang di Balik Papan, pada suatu hari merapatlah sebuah kapal dari Parepare. Sebagaimana biasanya, La Wahide selalu jalan-jalan ke pinggir pelabuhan kalau ada Kapal Parepare yang merapat. Maksudnya tiada lain, siapa tahu diantara penumpan yang turun itu ada diantaranya orang dari Belawa yang dapat ditanyai tentang informasi terakhir mengenai orang tua dan juga keadaan Negeri Tumpah Darahnya tersebut. Tiba-tiba ia terhenyak, seorang lelaki paruh baya yang amat dikenalnya mengenakan jas putih berdiri di geladak sambil bertelekan pada tongkatnya. Orang itu adalah ayahandanya, Petta Pabbicara Daeng Malebbi. Beliau disertai putera bungsunya (adik La Wahide') yaitu : Muhammad Arsyad.

" Pulanglah ke Belawa. Ibumu sangat merindukanmu..", kata Petta PabbicaraE setibanya  mereka tiba dikediaman La Wahide. Alangkah senangnya hati pemuda yang dirundung rindu dendam asmara itu. Umurnya kini sudah menginjak 20 tahun. Pastilah ayahandanya kini "luluh" dan mau merestui pernikahannya dengan I Buadare', pikirnya. " Kalau begitu, apakah Petta sudah mau melamarkan saya ke orang tua I Buadare' ? ", tanyanya penuh harap. Seketika itu juga, wajah Petta PabbicaraE kembali membesi oleh amarah yang ditahan-tahannya. " NarEkko dE' tongenna mullEi mallupaiwi Ero makkunraiyyE, aja' sisengna mulEsu. Onrono maiyyE.. !" (kalau kau memang sudah tidak dapat lagi melupakan perempuan itu, maka tidak usahlah kau kembali sekalian. Tinggal menetaplah disini ... !). Sungguh seorang yang berkomitmen baja dan tidak mengenal kompromi terhadap penegakan adat. "Siri na PessE ri Lipuu'E Pangadereng" (Martabat dan Solidaritas dalam lingkar adat) adalah harga mati baginya. Tidak dapat ditawar oleh siapapun !.

Maka kembalilah Petta PabbicaraE dengan sesal serta kecewa yang mendalam. Sementara Muhammad Arsyad memilih tinggal di Balik Papan untuk menemani kakaknya dengan alasan hendak menimba pengalaman. Setelah beberapa lama menetap di Balik Papan, kedua saudara itu melanjutkan perantauannya ke Banjarmasin. Mereka menetap di daerah itu sambil menimba ilmu di Pesantren yang didirikan oleh Syeh Albanjari. Hal ini diketahui setelah membaca beberapa buku tasauf tulisan La Wahide', diantaranya : "Sipa' DuappuloE" (Sifat Dua Puluh) yang senantiasa menuliskan do'a dan penghormatan terhadap gurunya, anutan dan pemimpinnya Dunia Akhirat yakni Syekh Muhammad Albanjari.

Tidak ada catatan yang ditemukan penulis tentang waktu dan lamanya La Wahide dan adiknya menuntut ilmu di Tanah Banjar itu, kecuali sedikit informasi tentang sebuah buku tulisan tangan La Wahide yang diperlihatkan oleh Almarhum Pamanda H. Abd. Rauf Pattola. Menurut beliau, bahwa buku itu adalah semacam "skripsi" La Wahide yang menandai selesainya beliau belajar di Pesantren itu. Namun penulis agak meragukan keterangan tersebut, pasalnya buku itu isinya tiada lain merupakan Buku Ilmu Falaq (Falaqiah) atau Sure' Kutika.


Setelah beberapa lama menuntut ilmu di Tanah Banjar, kedua saudara itu melanjutkan pengembaraannya ke DELI (Medan). Namun tidak lama mereka menetap di Pulau Sumatera, La Wahide dan adiknya menuju ke Turki dengan menumpan kapal Belanda. Pada tempat yang baru inilah mereka menetap cukup lama. Keduanya mengikuti sebuah program pendidikan di Universitas Angkara di Kota Angkara, Turki. Setelah menamatkan pendidikan di Perguruan Islam yang masyhur itu, La Wahide memutuskan untuk kembali. Sudah cukup lama ia meninggalkan Belawa. Namun masalahnya, adiknya belum mau meninggalkan Kota Ilmu Pengetahuan itu disebabkan karena ia memutuskan untuk bekerja sambil melanjutkan pendidikannya pada tingkat yang lebih tinggi. Maka dengan berat hati, kembalilah La Wahide ke Tanah Air.

Setibanya di Belawa, maka begitu banyak kesedihan yang menyambut kedatangannya. Ibundanya telah wafat beberapa tahun yang lalu. Sementara Ayahandanya telah renta. Sementara itu, I Buadare' si gadis idamannya selama ini telah dinikahkan oleh keluarganya serta telah melahirkan beberapa anak. Maka sempurnalah sudah kesedihan yang ditelannya dengan getir. Oleh ayahandanya, La Wahide diusulkan untuk dilamarkan pada seorang janda muda beranak satu yang cantik jelita, yakni : I Patinrosi Daeng Sagala (Puteri Petta Pangulu Daeng Paliweng). Maka pemuda yang patah hati itu menurut saja tanpa perlawanan samasekali. Jangankan menikah dengan Janda cantik dari keluarga sesama bangsawan, sedangkan andai disuruh menikahi puteri malaikat maut sekalipun ia mau saja.

Setelah Abdul Razak Daeng Malebbi Petta Pabbicara Belawa Ade' Patappulo Wajo mangkat, maka ditetapkanlah La Wahide Daeng Mamiru selaku pengganti ayahandanya. Sebuah jabatan penting yang pantas disandang olehnya karena mengingat beliau adalah putera Petta PabbicaraE yang mangkat dan Sepupu Dua Kali dengan Datu Bolong Arung Belawa (Andi Patongai). Namun tidak lama jabatan itu diembannya karena struktur dan fungsi lembaga "Ade' Patappulo Tana Wajo" mulai meredup. Maka fungsi Petta Pabbicara tidak begitu banyak lagi, utamanya selaku "Hakim Adat". Tiada lain yang dapat dikerjakannya selain memeriksa dan mengesahkan lembar "Sitambung" (daftar silsilah) untuk selanjutnya diperhadapkan kepada Arung Belawa untuk ditandatangani. Akhirnya pada suatu hari, La Wahide mengenakan kopiah Turki yang berwarna merah mengadakan perjalanan ke Saoraja JampuE (kediaman Arung Belawa) untuk meletakkan jabatannya dengan hormat.

La Wahide Daeng Mamiru yang bukan lagi sebagai Petta Pabbicara Ade' tidak lagi memiliki jabatan apa-apa. Beliau memilih untuk lebih banyak berdiam diri untuk lebih mendekatkan diri pada Allah SWT melalui jalan Tasawuf yang ditekuninya. Kiranya inilah alasan utamanya sehingga meletakkan jabatan Petta Pabbicara. Hari demi hari dilaluinya dengan menulis dan berzikir. Beliau membawa banyak buku-buku berbagai bahasa dari Turki. Sebagaimana dikisahkan oleh ayahanda penulis, bahwa La Wahide yang cendekia itu mampu menguasai beberapa bahasa asing, yaitu : Belanda, Arab, Turki dan Melayu. Selain itu, beliau pula aktif menyalin kembali beberapa Lontara yang menjadi pedoman penting sehingga penulis dapat menulis uraian ini.

Karena ketekunannya meniti jalan "Tasawuf" melalui Thariqah Al Qadiriyah, La Wahide' tidak begitu peduli dengan urusan keduniawian lagi. "Saoraja JalampengngE" yang semestinya menjadi hak warisnya diserahkan bersama sekalian isinya kepada adik perempuannya, yakni : I Londong (Petta Londo). Demikian pula dengan sawah beserta kebun kelapa, dibagi-bagikan kepada adik-adiknya yang lain. Beliau hanya menempati rumah kecil beserta sedikit kebun kelapa yang menjadi sumber penghidupan keluarganya. Maka kesehariannya yang menuntut kehidupan "Sufi" itu menarik perhatian Datu Bolong Arung Belawa. Pada suatu hari, Baginda Arung Belawa bersama Kali Belawa (Kadhi) sendiri yang datang berkunjung ke TippuluE untuk mengukuhkan La Wahide' Daeng Mamiru sebagai "Petta Passongko'E" yang bertugas sebagai "Imam Sholat" jikalau Datu Belawa sendiri kebetulan Sholat berjamaah.

Ketekunannya menulis meninggalkan banyak karya tulis, utamanya tentang peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masanya. Terutama menyangkut pada perjalanan hidupnya sendiri. Diantara catatan-catatannya adalah peristiwa kelahiran anak-anaknya dan mangkatnya isterinya tercinta, sebagaimana dikutip, sebagai berikut :
 1. Uleng najajiangngE ana'ku I TENRI WALE', siwenni ompoona uleng sawwaleng ri essoona jumaa'E tettE' pitu ri ElEE'E, mattengngangngi massempajang alleppereng tauwwE ri Masigi'E. Najaji rilalenna taung Jing 1342, nataddenne' posiina ri essoona sEnEngngE ri arawEngngE tettE pitu jangngE.... (Bulan kelahiran anakku I Tenri Wale', semalam setelah terbitnya bulan Syawal pada hari jum'at jam 7.00 pagi persis ketika sholat Iedul Fitri di mesjid. Lahir pada tahun Jin 1342 Hijriah, jatuh pusarnya pada hari senin sore jam 19.00 ..?.)  2. NalElE ri PammasEEna Puang Allahu Ta'ala, ana'ku I Tenri Wale', 27 ompoona uleng sulehajji taung 1344 ri essoona sattungngE taun Ba... (telah berpulang ke Rahmatullah anakku I Tenri Wale', 27 Dzulhijjah 1344 pada hari sabtu tahun Ba...) 3. Najaji ana'ku I TANGKUNG, 26 ompoona saapareng essona salasaE tettE' 6 jangngE rilalengna taung Ba 1345 H/1925 M, nataddenne' posiina riessoona jumaa'E ri arawEngngE.. (lahir anakku I Tangkung, 26 Safar hari selasa jam 6.00 pada tahun Ba 1345 H/1925 M, jatuh pusarnya pada hari jum'at sore...) 4. 14 ompoona ramalang najaji ana'ku LA TENRI SESSU' (La Mappasessu') tettE' 1.00 jangngE rilalengna taung 1347 H/1928 M nataddenne' posiina riessoona jumma'E ri ElEE'E tettE' 8 jangngE... (14 Ramadlan telah lahir anakku La Tenri Sessu' (La Mappasessu') jam 1.00 pada tahun 1347 H/1925 M, jatuh pusarnya pada hari jum'at pagi jam 8.00...) 5. 16 ompoona uleng saapareng rilalengna taung JING najaji ana'ku I REMMANG, tettE' 4.00 jangngE ri arawEngngE rilalengna taung 1930, nataddenne' posiina ri essoona arabaa'E .. (16 Safar dalam tahun JING telah lahir anakku I Remmang, jam 4.00 sore dalam tahun  1930, jatuh pusarnya pada hari rabu ..) 6. Tellumpenni ompoona JumadilahEreng 1932 (01 Oktober 1932) najaji ana'ku LA PANGURISENG (ayahanda PENULIS) riwenninna aha'E ri subuE tettE 6 00 jangngE ri ElEE'E nataddenne'posiina ri essoona arabaa'E ri arawEngngE.. (3 malam terbitnya bulan jumadilakhir 1932 (01 Oktober 1932) telah lahir anakku La Panguriseng (Ayahanda PENULIS) pada malam ahad subuh jam 6.00 pagi, jatuh pusarnya pada hari rabu sore ..) 7. Tanggal 5 Pebruari 1935 rilalengna taung JING najaji ana'ku LA PATAU' ri essoona salasaE tettE' 2.00 jangngE ri loroE. Duampenni ompoona uleng suleka'idah hijerraana Nabitta 1353, nataddenne' posiina ri wenninna sattungngE .. (Tanggal 5 Pebruari 1935 dalam tahun JING telah lahir anakku La Patau' pada hari selasa jam 2.00 dluhur. Dua malam terbitnya bulan Dzulkaidah Hijrahnya nabi ke-1353, jatuh pusarnya pada malam sabtu ..)
8. 23 ompoona uleng saapareng nalElE ri pammasEEna Puang Allahu Ta'ala I PATINROSI DAENG SAGALA ri essona Arabaa'E 1937.. (23 Safar dalam tahun JING telah berpulang ke Rahmatullah, I PATINROSI DAENG SAGALA pada hari rabu 1937 ..)

Akhirnya pada hari jum'at dalam tahun 1953, ketika pembaca khutbah Jum'at telah naik di mimbar, La Wahide Daeng Mamiru Pabbicara TippuluE menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan tenang. Akhir hidup seorang penulis dan pengembara yang justru ironisnya, anak-anaknya lupa menuliskan tanggal dan hari wafatnya. Sepeninggalnya, maka tidak ada lagi seorang Petta Pabbicara Ade' yang dilantik di Belawa... Wallahualam bissawab...


           

(bersambung ke Part 12)

Kamis, 07 Oktober 2010

Sejarah Belawa Part. 10

Belawa, memasuki Awal Abad XX (bag. 1)

Mengetahui jika junjungan yang dihormati dan disayangnya bagai puterinya sendiri telah wafat di Negeri pengasingannya, Petta Pangulu amat berduka. Dikisahkan oleh NEnE Rukka bahwa pada suatu hari, beliau keluar dari biliknya dan langsung menuju ke sungai. Panglima tua yang semakin uzur itu mandi cukup lama lalu naik kembali ke Saoraja sambil membawa sebongkah batu sungai berwarna coklat kelabu yang berukuran agak panjang (panjang kira-kira 50cm dan berdiameter kira-kira 20 cm). Beliau meletakkannya bersandar pada dinding "jajareng" (dinding tengah) seraya berkata, : "Akko matEka' baja sangadiE, iyEna matu mEsaku.." (sekiranya esok atau lusa aku meninggal dunia, maka inilah batu nisanku..).

Maka berlakulah ketentuan Allah Azza Wajallaa. Tidak lama setelah peristiwa itu, Petta Pangulu wafat dalam tahun 1917. Menurut kesaksian sepupu ayahanda penulis bernama I BeccE' Pamuri  (umur 85 th) pada tahun 2005 di TippuluE, bahwa : " Baiccu'mopa na lElE ri pammasENa Petta Pangulu. NaEkia manessa paringerrangku Ero wettuE, MONI SIBELAWA ballili'E ri wettu riulEE bare' Petta Pangulu lao ri Jara'E.." (Aku masih kecil ketika Petta Pangulu wafat. Namun masih jelas dalam ingatanku bahwa waktu itu ketika Jenazah Petta Pangulu diusung menuju pemakaman, seluruh senapan di Belawa ditembakkan keudara, gegap gempita mengiring keberangkatannya...). Sesuai wasiatnya, makam beliau ditandai dengan sebongkah batu sungai berukuran kecil diatas pusaranya. Menurut NEnE Rukka, maksud beliau tersebut agar para pengagumnya tidak  mengkultuskan makamnya. Begitulah akhir seorang legendaris pada jamannya yang merupakan Panglima terakhir kerajaan Belawa.

Adapun halnya dengan Saoraja Bakkaa'E sepeninggal Petta Pangulu, konon Saoraja tersebut "dijual" pada seorang bangsawan yang berdiam di Bilokka (Sidenreng). Tidak ada yang tahu persis, siapa  diantara anaknya yang menjual dan mengapa situs peninggalan La Paranrengi Daeng Sijerra tersebut diperjualbelikan. Bahkan bekas-bekas berdirinya komplek Saoraja itu menurut ayahanda penulis, terletak dipinggir sungai KarajaE sebelah barat, persis dimulut jembatan SappaE sekarang ini.  Kira-kira 5 meter sebelah selatan jembatan tersebut, terdapatlah  sebuah "Limpungeng" (kedung atau bahagian sungai yang dalam) dimana senapan, amunisi dan peluru para Lasykar Belawa dibuang (ditenggelamkan) atas perintah Arung Belawa.

Selama hidupnya, Petta Pangulu memiliki 2 orang isteri sah dan beberapa gundik yang kesemuanya itu melahirhan beberapa putera dan puteri. Kedua isteri sah beliau adalah puteri La Mude' SullEwatang Laomapada dengan I RawE (kerabat Bettempola) yang masing-masing bernama : I Tuwo dan I Bada'. Dari I Tuwo, beliau mendapatkan keturunan masing-masing bernama : I Munta Daeng Mattappa, (wafat di Jambi), I Patinrosi ArungngE Daeng Sagala dan La Massi' Daeng Pagiling. Setelah I Tuwo meninggal dunia, maka atas ininsiatif Arung Belawa (Datu Tenri Kawareng) maka beliau diperjodohkan dengan adik I Tuwo (ipasitola angkalungeng) bernama ; I Bada'. Dari isteri kedua inilah maka lahirlah : La Makkarumpa' (wafat di Jambi). Sementara dari beberapa gundiknya juga mendapatkan keturunan yang tidak dapat diuraikan pada kolom ini.

Setelah lowong beberapa tahun lamanya, maka dinobatkanlah kemenakan Arung Belawa terdahulu bernama : La Onro Arung Belawa (putera I Panangngareng Datu Madello dengan La MappangilE Addatuang Sidenreng). I Panangngareng Datu Madello adalah adik kandung I Tenri Kawareng Arung Belawa MallinrungngE ri Pompanua. Arung Belawa ini masih berumur remaja ketika dilantik menjadi Arung Belawa. Menurut beberapa sumber yang penulis dapatkan, antara lain : La Maccaning (Wa Caning Alm.) bahwa masa pemerintahan baginda yang berumur amat muda ini menjadikan Belawa menjadi aman tenteram.  Salahsatu gebrakan awal baginda adalah dengan memprakarsai pembangunan Mesjid Raya  yang kini dikenal sebagai Mesjid Darussalam yang terkenal itu. Talenta kepemimpinan Datu La Onro berkat wawasannya yang luas terhadap kondisi Sulawesi Selatan pada masa itu yang didapatkan dari didikan orang tuanya. Perlu dikemukakan disini, bahwa La MappangilE Addatuang Sidenreng (ayahanda Datu La Onro) adalah putera La ParEnrEngi KaraEng TinggimaE seorang Pangeran Tana Gowa yang dapat dikatakan sebagai "Arung Ajattappareng". KaraEng TinggimaE' pun sesungguhnya adalah Pangeran Tana Wajo karena beliau adalah putera Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE' Petta MatinroE ri Cappa' Galung Arung Matoa Wajo ke-XLIII dari permaisurinya bernama : I Dala WEttoing KaraEng KanjEnnE'.

Tersebutlah pada masa yang sama, bertahtalah La Patongai (bergelar Datu Bolong) di Doping. Daerah yang merupakan kawasan Tana Wajo yang dulunya bernama PEnrang. Tahta itu adalah merupakan warisan Baginda dari Nenekdanya yang bernama : Sompa ri Timo MajjampaE Petta PabbatE PEnrang. Baginda tinggal di Doping bersama isterinya bernama :  I Bossa setelah isteri Baginda yang terdahulu bernama : Bau' Mapparimeng Datu Madello wafat beberapa tahun sebelumnya. Selain itu, baginda ditemani oleh kakandanya dari lain ibu bernama : I Batari Petta Lonra (juga puteri La TEngko Petta Manciji'E ri Wajo dengan I REwo Ana'na Arung Batu). Namun setelah beberapa tahun menetap dan memerintah di Doping, terjadilah "perselisihan" dengan Dewan Petta EnnengngE disebabkan sesuatu hal yang tidak dapat diuraikan pada tulisan ini. Akibatnya, Baginda meninggalkan Doping bersama isteri, anak, kakak dan segenap sahayanya menuju ke Belawa dimana kemenakannya (Datu La Onro) sedang bertahta di Belawa.

Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab terdahulu, bahwa Datu La Onro Arung Belawa adalah putera I Panangngareng Datu Madello, saudara kandung Datu Bolong. Mengetahui pamandanya tinggal menetap di Belawa dan sedang membangun Saoraja di JampuE, Datu La Onro Arung Belawa melantik (napasalEppangi) "bibinya" yakni : I Bossa selaku SullEwatang Belawa Orai'. Namun tidak beberapa lama kemudian disebabkan suatu hal, Datu La Onro Arung Belawa pergi meninggalkan Belawa dan menetap di Sidenreng, negeri kekuasaan ayahandanya.

Setelah kepergian Datu La Onro, maka dinobatkanlah La Patongai Datu Doping menjadi Arung Belawa. yang merupakan Arung Belawa terakhir karena setelahnya, tidak ada lagi Arung Belawa yang dilantik (IpakkalEjja' ri Tuppu Batu Tana Bangkala'na Belawa). Berselang beberapa waktu setelah penobatannya, Baginda menempatkan Kakandanya ( I Batari) menjadi Petta Lonra. I Batari Petta Lonra menikah dengan sepupu sekalinya (juga sepupu satu kali Datu Bolong) bernama Petta Landeng, putera Sitti Hawang Datu MakkunraiyyE (saudara kandung La TEngko Petta Manciji'E).

Baginda Datu Bolong merupakan seorang Raja yang kharismatik dan banyak kisah menarik seputar masa hidupnya. Semasa kecil, penulis pernah mendengar cerita tentang Baginda Datu Bolong dari seorang Makassar bernama Bilala' Nongci (Bilal mesjid Lonra). " Iya', Mangkasa ka', ana'. Maddarupang-rupangni Arung Maraja pura utuju pakkita. NaEkia, dE'pa gaga pada karame'na Datu Bolong..." (saya adalah orang Makassar. Sudah banyak raja-raja yang pernah kulihat, namun belum ada yang menyamai keramatnya/kharismanya paras Datu Bolong).

Tersebutlah sebuah kisah yang dituturkan oleh Andi Patau' (adik kandung ayahanda penulis), pada suatu ketika Datu Bolong mendapat undangan dari Andi Mappanyukki' Sultan Ibrahim Datu Suppa' Petta Mangkau' ri Bone. Baginda diundang ke Watampone untuk menghadiri rapat (Tudang Ade') yang dihadiri kalangan Raja-Raja Se-Sulawesi Selatan untuk membicarakan perihal dukungan terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI....

Sebagaimana dituturkan Pamanda yang waktu itu membawa "Saleppa" (Kotak Sirih) baginda Datu Bolong, bahwa  Arung Belawa Andi Patongai datang agak terlambat pada majelis itu. Oleh Pattumaling (Petugas Protokoler Istana), baginda ditempatkan agak jauh dari posisi "Ulu Tudangeng" yang ditempati Baginda ArumponE (Andi Mappanyukki'). Tiba-tiba ArumponE menyeru pada Pattumaling, : "TaniajE' akkoro monro tudangenna Andi Patongai. Akko maiyyE tudangenna..." (Bukan disitu tempatnya Andi Patongai. Mestinya disini...), kata Petta Mangkau'E tersebut sambil menunjuk tempat kosong disampingnya. Sejak itu, termahsyurlah Baginda Datu Bolong sebagai seorang raja dari sebuah negeri kecil, namun sangat diutamakan sebagai seorang Datu Maddara Matase' (Maddara Takkuu), adinda I Tenri Kawareng Arung Belawa MallinrungngE ri Pompanua. Sejak itu pulalah, Baginda diberi gelar "Andi" sebagaimana ArumponE sendiri yang menyebutnya demikian.

Perlu dikemukakan dari beberapa sumber yang salahsatunya dari Opu Tuan Abd. Halid (Almarhum) dari Bira, Bulukumba. Beliau menuturkan kepada penulis pada tahun 1999, bahwa : Asal muasal gelar "Andi" pada bangsawan Bugis dan Makassar berawal pada " I Mappanyukki Sultan Ibrahim " semasa baginda menjadi ArumponE. Pada suatu waktu, seorang berkebangsaan Perancis datang berkunjung pada Istana Beliau di Watampone. Pada perbincangan tentang seputar keadaan Sulawesi Selatan pada masa itu, orang Perancis tersebut senantiasa menyebut nama baginda ArumponE sebagai : "AndiEr Mappanyukki". Menurut juru bahasa yang menyertainya, itu berarti : "Paduka Yang Mulia Mappanyukki" atau dalam bahasa Inggris kira-kira disamakan dengan : You Are Majesty Mappanyukki". Maka setelah peristiwa itu, baginda ArumponE disebut namanya sebagai : Andi Mappanyukki, menyesuaikan dalam lidah bahasa Bugis.

Menurut keterangan dari ayahanda, bahwa sejak beberapa lama sekembalinya dari WatamponE, Baginda Datu Bolong mulailah tertulis namanya sebagai "Andi Patongai". Pada masa itu tidak seorangpun di Belawa yang memakai gelar "Andi" selain Baginda. Namun sebagaimana halnya sesuatu yang lagi "Trend", maka mulailah beberapa gelintir bangsawan mencoba-coba menggunakan gelar tersebut. Hingga pada suatu waktu, seorang putera bangsawan bernama La MappangilE disebut namanya oleh La Kube' (salah seorang abdi Datu Bolong) disebut sebagai " Andi MappangilE " dihadapan Baginda. Seketika Baginda Datu Bolong marah besar seraya berkata : " Andi MappangilE nigajE'tu ?!. SEddimi iya' uwisseng riyaseng ANDI MAPPANGILE, iyya monroE ri Sidenreng (maksudnya :Andi MappangilE Addatuang Sidenreng)" (Andi MappangilE yang mana lagi ?! Cuma satu Andi MappangilE yang saya tahu, yaitu yang tinggal di Sidenreng..). Sungguh, baginda MallinrungngE tersebut begitu ketatnya menjaga tatanan agar tidak terjadi ketimpangan sejarah dibelakang hari.

Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa memiliki 3 (tiga) isteri sah selama hidupnya. Isteri Pertama bernama : Andi Patinrosi ArungngE Daeng Sagala (puteri La Muhamma' Tang Daeng Paliweng Petta Pangulu dengan I Tuwo ana'na La Mude SullEwatang Laomapada) mendapatkan seorang putera yang meninggal semasa bayi, bernama : Andi Bau Monri. Mereka bercerai dengan baik-baik karena Daeng Sagala tidak mau dimadu. Isteri Kedua bernama : Andi Bau' Mapparimeng Datu Madello ( Puteri Petta MorEwE, cucu DatuE La Pajung, Soppeng. Menurut Lontara' Panguruseng susunan Andi Nurdjaya Hamzah La Sumange'rukka) yang melahirkan : 1. Andi Bau' Patiroi, 2. H. Andi Bau' Singke' 3. Andi Bau Isa. Setelah  Datu Madello wafat, maka Baginda menikah lagi dengan Isteri Ketiga adalah : Andi Bossa (puteri Opu CakElE, menurut Alm. Andi BallohE') yang juga akrab dipanggil Petta Indo oleh anak-anaknya.  Dari isteri terakhir inilah, maka lahirlah : 1. Andi Bau' Sulolipu Petta KaraEngngE Camat Belawa I , 2. Andi Bau Mintang.

Menjelang pertengahan Abad XX, hubungan Belawa dan Sidenreng terkadang masih terjadi percikan-percikan api yang memicu bentrokan di daerah perbatasan sebelah utara (Soppa'E dan Lonra YasE'). Atas prakarsa Andi Batari Petta Lonra (saudara seayah Arung Belawa Datu Bolong) diikatlah jalinan kekerabatan dengan beberapa Raja-raja lokal yang berada di wilayah Sidenreng, melalui pernikahan putera puteri mereka. Tujuan politik perkawinan ini tiada lain agar tercipta perdamaian yang meredam segala bentuk pertikaian dalam jalinan kekerabatan. Maka oleh Arung Belawa, pada suatu hari diutuslah Andi Batari Petta Lonra untuk menyampaikan lamaran bagi Andi Bau Sulolipu Petta KaraEngngE ke La Pannyiwi Arung Utting untuk mendapatkan puteri beliau bernama : Andi Bua. Maka pernikahan putera puteri Belawa dan Utting terlaksana dengan meriah yang mempersatukan kembali perhubungan kedua kerajaan yang bersaudara dimasa lalu. Wallahualam Bissawwab


Keterangan Gambar :

Sri Baginda Arung Belawa Terakhir : Andi Patongai Datui Doping Arung Belawa (Datu Bolong).




ZIARAH KE JARA' ARUNG BELAWA 



Keterangan Gambar :

Makam Baginda Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa  (ornamen berbentuk kubah), dibelakangnya Penulis berdiri disamping kiri kanan makam kakek nenek penulis, Andi Dai' dan Andi Mapparimeng.


 Keterangan Gambar :

Makam La Sipatu Arung Belawa

 


Keterangan Gambar :

Makam La TEngko Petta Manciji ri Wajo, terlantar disamping para turunannya.


Keterangan Gambar :

 Makam I Soji Datu Madello Arung Belawa  


 Keterangan Gambar :

Makam Andi Panangngareng Datu Madello



 Keterangan Gambar :

Makam Andi Passamula "Datu Cella' Belawa"



 Keterangan Gambar :

Makam Andi Dai' dan Andi Mapparimeng Petta Lonra


 Keterangan Gambar :

Makam Pamanda Andi LaodjEng (kakanda Ibunda Penulis)



(bersambung ke Part 11.)



Arajang

Dari kiri ke kanan : Banranga Pakka Duana Sidenreng, Banranga Tellu Latte'na Sidenreng dan Banranga Lao Tungke'na Sidenreng (dalam perawatan Kakanda H. Andi Pajung, S.Pd, M.Pd)

Keterangan : Gagang dan sarung ketiga tombak pusaka ini dilapisi perak murni serta "Rambut Banranga" yang terikat dibawah "pandok" tumbuh memanjang dengan sendirinya (tiap tahun dipotong).



Rabu, 06 Oktober 2010

Menanti Pagi

Menanti Pagi
             Dyong

Cermin yakinku
Dimana nuraniku berkaca diri
Buka jendela
Rasakan lembutnya
Usapan semilir angin kembara
Pegang erat surai kejujuran
Telusuri pekatnya rimba jiwa
Halau bimbang
Karib nelangsa
Sambut cahaya
Lentera indraku temaram
Letakkan pelan ...
Pada kaki singgasana..
Hati yang tertidur diatas buaian
Meringkuk dalam pelukan... lelahnya
Agar mimpi malam ini takkan berakhir

                             Parepare, pada suatu waktu...

Selasa, 05 Oktober 2010

Wari (Pranata)

Bicaranna PangaderengngE (Bahasa Tata Krama)

Pendahuluan


Perihal "Ade" yang terlembaga dalam 4 ruang, yakni : Warii', Bicara, Tuppu dan Rapang begitu rumit untuk dikaji oleh pemerhati autodidak yang memiliki serba keterbatasan seperti saya. Namun disadari bahwa dari sekian banyak serpihan nilai yang berserakan kini memerlukan upaya pelestarian, agar nilai-nilai luhur yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari itu tidak menjadi sekedar penghias permukaan sejarah, walau dengan agak tertatih-tatih.

Salahsatu "kegelisahan" penulis saat ini adalah semakin jauhnya anak-anak kita dari "lingkaran Pangadereng" yang nampak jelas tercermin dalam Tata Bahasa sehari-harinya. Bahkan lebih parah lagi, banyak diantaranya yang sudah tidak dapat berbahasa Bugis lagi. Namun yang lebih parah lagi,  terjadinya "Abrasi Nilai" sehingga beberapa diantaranya yang begitu "Bangga" dengan predikat kebangsawanannya dengan terang-terangan menyebut diri : Bangsawan. Maka jelaslah jika "Ade' Bicara" sangatlah memerlukan "Rekulturasi" yang dapat dimulai pada diri sendiri, keluarga dan masyarakat kita. 

Disadari bahwa tidak banyak sumber tulisan yang dapat dijadikan sebagai reverensi karena "Ade' Bicara" ini merupakan pembiasaan yang dibudayakan sejak dini dalam sebuah keluarga (Rumah Tangga) yang solid. Sesuatu yang ditanamkan dengan penuh kesungguhan oleh orang tua kepada anaknya dengan penuh kesungguhan, sehingga kadang-kadang pada prosesnya membuahkan "cubitan-cubitan". " IgaleccEE timuE akko tosala teppu..." (mulut dicubit jika salah sebut).

Dengan demikian, Ade' Bicara yang berhubungan dengan Warii' sangatlah dijiwai oleh makna "Sirii' PessE"  (Martabat dan Solidaritas Kemanusiaan) sehingga disifatkan sebagai "Atribut" yang menandakan dari mana asal muasal keturunan seseorang. Maka dari beberapa topik yang telah ditinjau pada bagian terdahulu, maka sub kajian inilah yang paling berat bagi Penulis. Namun tetap juga saya haturkan, setidaknya inilah sekelumit "Wariina Belawa".

Selama penulis tinggal menetap di Parepare, banyak mengenal handai taulan dari Belawa yang mungkin bermaksud baik untuk memperkenalkan diri dan asal keturunannya dengan mengungkapkan : "...napuappoka' Datu Anu..." (Aku cucunya Datu Anu...). Bertitik tolak dari hal inilah, sehingga saya mencoba menguraikan tulisan ini dengan segala keterbatasan pengetahuan saya. Sebagaimana Almarhum Ayahanda berpesan dengan sangat kepada kami :  "Tania Waramparang upammanaarekko ana'. Tania too PakkEasengeng. NaEkia, Ade' Assipakalebbirengmi tu upammanarekko, mupammanareng toi ri wija-wijammu... " ( Bukan harta yang kuwariskan padamu, anakku. Bukan pula gelar. Namun Adat Saling Menghargai yang kuwariskan kepadamu dan wariskan pula kepada anak keturunannmu...". Sementara pada waktu lain, penulis juga pernah membaca wasiat Yang saya Muliakan Andi Ninnong Datu Tempe Petta Ranreng Tuwa Wajo, bahwasanya : "Sipa'Engmi paompo assalengngE.." (Tabiatlah yang akan memperlihatkan asal muasal..). 

Semoga kiranya ada diantara pembaca yang budiman, berkenan memberikan koreksi dan saran perbaikan untuk menambah pengetahuan yang bermamfaat bagi kita semua. Untuk itu, dengan segala hormat dan takzim, penulis menghaturkan terima kasih. 



Atanna DatuE (Hambanya Datu)

" Dua ri lino temmakkEana' temmakkEappo, iyanaritu : AtorengngE na DatuE " (Ada dua hal di dunia yang tidak beranak cucu, yaitu : Peraturan dan Datu). 

Sering didapatkan orang bercerita atau berkisah tentang silsilah leluhurnya. Ketika ditanya, " TabE', niga asenna turungengki' " (Maaf, siapa kiranya yang leluhur yang menurungkan anda ?". Maka menjawablah ia dengan hormatnya : " Rai-rai ajEnaka' DatuE ri yasengngE Datu Anu..., nasaba' alEna Puekku Datu MallinrungngE incajiangngi Topajajiakku boranEwE" (saya tidaklah lebih merupakan daki kakinya Raja yang bernama Datu Anu..., sebab beliaulah yang melahirkan orangtuaku yang lelaki).   

Tersebutlah Alm. Puekku Andi Bau Sumange' Rukka, semasa hidupnya sangat akrab dengan penulis. Saya mengenalnya sebagai seorang bangsawan tinggi yang tergolong "Ana' Mattola". Beliau adalah putera Petta Karaeng Sumange' Alam (putera Andi Mappanyompa Datu KapE Maddanreng Pammana) dengan Datu Kacupe' (Soppeng). Dengan demikian, beliau adalah pangeran Wajo, Soppeng, Gowa dan Sidenreng. Sebagian orang mengenal beliau sebagai sosok bangsawan yang tidak begitu memperhatikan pranata pada era masa kini. Namun menurut penulis, beliau adalah seorang Bangsawan yang sangat "mengerti" dengan tata bahasa bangsawan. Beliau sekalipun tidak pernah menyebut Datu KapE sebagai "nEnEku", melainkan disebutnya sebagai : Datu KapE mallinrungngE incajiangngE topajajiakku boranEwE.. (Almarhum Datu KapE yang melahirkan orang tuaku yang laki-laki).

Pada saat lain, dalam sebuah perbincangan yang cukup lama dengan Puekku H. Andi Baso (putera Andi Bau Patiroi di Balikpapan, Kaltim), beliau juga menyebut ayahandanya sebagai : DatuE (Tidak menyebut nama secara langsung). Kemudian beliau senantiasa menyebut "kakeknya" dengan nama gelarnya : Datu Bolong MallinrungngE (Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa). Demikian pula dengan Puekku H. Andi Bau Musba (Datu Cebba') yang senantiasa menyebut Ibundanya yang mulia sebagai : Datu MakkunraiyyE (Almarhumah Datu Sami'). Dari inilah sehingga penulis dapat melihat bahwa tata bahasa tinggi yang tercermin pada istilah penyebutan dalam rumah tangga Bangsawan memang memiliki aturan yang tertata rapi serta terpelihara dari waktu ke waktu.

Sebaliknya pada suatu ketika penulis berbincang-bincang dengan seseorang yang mengaku berasal dari Belawa. Dengan ringannya ia berkata : Napuappoka' PettaE Palla'E  (saya adalah cucu Petta Palla'E). Lalu saya bertanya : TEgaE ana' ri jajianna DatuE turungengki' ? (Anak yang mana dari Baginda yang menurunkan anda ?). Maka disebutnyalah sebuah nama. Akhirnya saya dapat mengerti apa adanya. Maklum, nama tersebut adalah salah seorang anak La Tamang Petta Palla'E yang tidak diakui karena digolongkan Anak Harami (Ana' BulE).

Perihal aturan tak tertulis ini sempat saya tanyakan kepada Ayahanda Almarhum. " Aga saba'na na dE' siseng-siseng nawedding ipoada makkedaE : Napoappoka' DatuE ? " (Apa sebabnya sehingga kita tidak diperkenankan mengatakan : Saya adalah cucunda Datu ?). Maka beliau menjelaskan, sbb :
1. Naiyya DatuE dE'na natopada, matase'i DatuE
2. Ebara'si pada, naEkiya engka bunga najujung DatuE
3. Pappakalebbiina DatuE polE ri wija-wijanna, nakkacoE lEbba'E.
Pengertian bebasnya kira-kira, sbb :
1. Kita tidak lagi sama dengan Datu, baginda memiliki darah murni dan kita sudah tercampur
2. Andaikan sama berdarah murni, namun Datu memiliki Tahta atau Jabatan dan kita tidak memilikinya
3. Pemuliaan Sang Datu dari keturunannya agar diikuti oleh masyarakat umum.

Namun terlepas dari perihal tersebut, tantangan dimasa kini adalah terjadinya transformasi budaya dimana faktor kebahasaan juga ikut berperan didalamnya. Kaidah Bahasa Bugis halus terkadang sulit diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Maka dalam tinjauan ini, Penulis beranggapan bahwa : Sah-sah saja jika sekiranya seorang Cucu Datu (Appo Datu) mengungkapkan dalam Bahasa Indonesia, bahwa : "Saya adalah Cucunya Datu...". Karena pengungkapan terjemahan langsungnya dari Bahasa Bugis akan terasa sangat janggal.

Wallahualam bissawab

(bersambung... ke Ana'E ri Topajiajanna)