Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Jumat, 31 Desember 2010

Kajian Sejarah


MITOS SEKITAR SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI LUWU

“Aja laloki’ gaga manrE mabbokori babang malloang-loangngE.. Aja’to na dE’ musampoi lise’ parennungmu ri wettu maElomu matinro ! ” (Jangan sekali-kali makan sambil membelakangi pintu yang sedang terbuka.. Jangan pula tidak menutup isi “Parennung” sebelum tidur ! ), demikian kata “pemmali” (larangan, tabu) yang hingga kini masih banyak dipercayai sebagian kalangan masyarakat, utamanya orang tua-tua.
…………………………………………………………………………………………………………

Syahdan, La Pati Ware’ Daeng Parambong Pajung ri Luwu – XIII telah memeluk Agama Islam atas jasa 3 Datuk dari Tanah Melayu yang diantar oleh Tandi Pau Opunna Ware’ Maddika Bua. Sebagai seorang Raja Islam, baginda diberi gelar sebagai Sultan Muhammad Mudharuddin

Suatu hal  unik pada sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan yang membedakan dengan  kerajaan lainnya di Indonesia, bahwa Islam selalu dimulai pada Rajanya yang kemudian diikuti secara mutlak oleh rakyatnya. Hal tersebut terjadi disebabkan karena seorang raja dipandang oleh rakyatnya sebagai panutan.
Sebagaimana diuraikan pada beberapa Lontara besar di Sulawesi Selatan, bahwa setiap orang Raja yang dilantik (dikukuhkan), senantiasa dibacakan kembali perjanjian kontrak yang menjelaskan tentang hak dan kewajibannya sebagai seorang penguasa terhadap rakyatnya. Kemudian pejabat yang melantiknya juga mengucapkan ikrar dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat.  Sebagai contoh dapat dikemukakan disini adalah ikrar Matoa Ujung ketika mewakili rakyat Bone yang ditujukan kepada La MammatasilompoE ManurungngE ri Matajang Mangkau ri Bone I, sbb :

Angikko kiraungkaju
Riao miri riakkeng, matappalireng
Elo'nu ri ikkeng, adammu kua
Mattapako, kilao
Millauko, kiabbErE
Molliko, kisawe'
Mau'ni anammeng, pattarommeng
REkkuwa mutEaiwi, kitEai toisa
Iyakita, ampirikkeng temmakare'
Dongirikkeng, temmatippe'
Musalipurikkeng, temmacekkE'

Anginlah engkau dan kami dau kayu
Kemana engkau berhembus, kesana kami terbawa
Kehendakmu terhadap kami, itulah yang jadi
Engkau bertitah, kami menaati
Engkau meminta, kami memberi
Engkau memanggil, kami menyahut
Walaupun anak kami serta isteri kami
Apabila engkau tidak berkenan kepadanya, kamipun tidak berkenan pula
Akan tetapi, tuntunlah kami menuju keketentraman
Jagalah kami menuju kemakmuran
Selimuti kami, agar tidak kedinginan

Maka seorang Raja dipandang sebagai spirit kemakmuran kerajaan. Bencana dan malapetaka yang terjadi dalam negeri diyakini sebagai akibat pelanggaran Raja beserta kerabatnya. Begitupula halnya bagi rakyat, kejadian buruk yang menimpa dirinya diyakininya sebagai akibat ketidaktaatannya terhadap Raja junjungannya (Mabusung, kualat).

Demikian pula halnya dengan Sultan Muhammad Mudharuddin yang memerintahkan kepada segenap rakyatnya untuk masuk Islam. Maka dari hari ke hari, banyaklah rakyat Luwu yang masuk Islam dan langsung dibimbing oleh ketiga Muballiq yang bersejarah tersebut.

Tersebutlah seorang pangeran Luwu , bernama : Pati Paressa' Manjawari.  Beliau adalah salahseorang saudara Sultan Muhammad Mudharuddin. Iapun adalah seorang tokoh Luwu yang meminta tenggang waktu untuk masuk Islam. "..kami masih memiliki simpanan dendeng babi. Sekiranya kami masuk Islam saat ini, tentulah dendeng itu akan terbuang percuma. Maka kami mohon kiranya diberi waktu hingga dendeng itu habis terlebih dahulu, barulah kami memeluk agama Islam..", demikian alasannya.

Sebagai seorang Raja yang berpandangan jauh, Sultan memberikan perkenannya. Mengingat pula bahwa Pati Paressa Manjawari adalah salah seorang tokoh yang memiliki cukup banyak pengikut. Selain itu, Khatib Sulung menasehatkan agar memberi kelonggaran karena ajaran Islam sendiri menggariskan : Laa iqraha fi' diyn.. (Tidak ada paksaan dalam agama..)

Sebulan telah berlalu, Pati Paressa belum pula datang berkunjung ke LangkanaE (Istana). Karena merasa penasaran, Sultan menitahkan kepada salah seorang perangkat kerajaan untuk menanyakan kepada Pati Paressa perihal janjinya sebulan yang lalu. Namun jawaban yang diterima, bahwa dendeng babi itu belumlah habis. Satu bulan kemudian, Pati Paressa belum juga memunculkan diri di balairung istana. Sultan pun kemudian mengutus abdinya untuk menanyakan kembali. Namun jawabannya tetap sama, dendeng babi belumlah habis. Maka Sultan mulai hilang kesabaran, baginda memberi waktu terakhir selama 1 bulan sejak hari itu. Mustahil ia memiliki dendeng babi sebanyak itu, hingga 2 bulan dimakan tidak habis-habis.., demikian pikir Sultan.

Adapun halnya dengan Pati Paressa' Manjawari, sesungguhnya beliau tidaklah berdusta. Dendeng babi yang tersedia di rumahnya memang tidaklah habis, walaupun ia sekeluarga memakannya tiap hari. Pati Paressa adalah seorang pangeran yang kharismatik yang dicintai dan dikagumi. Para pengikutnya yang fanatik memegang kepercayaan lama tidak rela jika junjungannya itu memeluk agama Islam. Semua pangeran dan puteri Kerajaan Luwu yang lainnya sudah memeluk agama Islam. Jika Pati Paressa' memeluk agama Islam, maka habislah pemeluk kepercayaan lama dari kalangan bangsawan tinggi, tinggallah kita-kita ini dari kalangan rakyat yang tersisa, demikian pendapat para pemeluk kepercayaan lama itu.

Maka mereka mengupayakan agar dendeng babi itu tidaklah habis. Tanpa sepengetahuan Pati Paressa mereka menyelundupkan dendeng babi ke dapur rumah Pati Paressa. Dendeng Babi itu dimasukkan pada "parennung" (belanga tempat makanan yang diikat dengan anyaman daun lontar dan digantung agar tidak dimasuki semut atau tikus).

Akhirnya, sebulan yang diultimatumkan Sultan telah sampai waktunya. Baginda mengutus abdi istana untuk menanyakannya pada Pati Paressa'. Namun jawabannya tetap sama, dendeng babi belum habis. Maka murkalah Sultan."Kalau saudaraku sendiri mempermainkan titahku, bagaimana lagi dengan orang lain ?!..", pikir baginda. Hukum harus ditegakkan, dimulai pada lingkungan keluarga sendiri..!. Maka dijatuhkan putusan hukuman mati pada Pati Paressa' Manjawari, saudara Sultan sendiri. Dalam istilah adat Luwu, hukuman tersebut dikatakan sebagai : RipaggEnoi wennang cella' (Dikalungkan benang merah) atau Ribolongi alirinna (Dicat hitam tiang rumahnya).

Maka dipilihlah salah seorang pemberani Istana Luwu bernama La Bucai' untuk melaksnakan eksekusi mati terhadap Pati Paressa'. Sebagaimana diketahui, bahwa Pati Paressa' yang merupakan pangeran yang kharismatik, juga dikenal pula sebagai seorang yang memiliki kesaktian. Konon beliau memiliki ilmu kebal yang tidak mempan terhadap senjata apapun, termasuk bambu runcing dan kayu "tiloro' " (kelor). Bahkan menurut khabarnya, walaupun ditanam hidup-hidup atau ditenggelamkan di air pun tetap jua tidak akan binasa. Ilmu kebal itu dikenal sebagai : Makkasabandia'.

Namun, La Bucai' bukan pula seorang pemberani biasa. Dicarinya daya upaya untuk mencari kelemahan Pati Paressa' demi melaksakan amanat junjungannya. Iapun tahu, Pati Paressa' adalah seorang tokoh yang sangat percaya diri. Bahkan pangeran itu sengaja tidak memasang pengawal untuk menjaga di komplek istananya. Pada suatu malam, secara diam-diam ia menaiki rumah Pati Paressa' dengan badik terhunus. Didapatinya pintu rumah pangeran itu terbuka. Dilihatnya Pati Paressa sedang bersantap malam dalam posisi membelakangi pintu rumahnya. La Bucai tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia menikamkan badiknya pada punggung Pati Paressa'. Maka kodrat Allah berlaku seketika itu. Tikaman badik bertuah itu menembus punggung Pati Paressa hingga menewaskannya seketika itu pula.

Kematian Pati Paressa yang kebal terhadap apapun itu, akhirnya menjadi sebuah Mitos. Sejak itu, orang tua-tua berpesan kepada anak turunannya agar tidak makan dalam keadaan pintu terbuka. Bahkan lebih daripada itu, pintu tangga rumah juga harus ditutp pula pada malam hari. Selain itu, "parennung" harus ditutup pula pada malam hari sebelum tidur.

Setelah Pati Paressa' Majawari dimakamkan dengan cara sepatutnya sebagai seorang Pangeran Luwu, Sultan memanggil para pemuka kaum yang selama ini menjadi pengikut setia Pati Paressa'. "NarEkko mEmengngi mappotEa manengko selluki akkacoErengku, salaini TanaE Luwu.." (Sekiranya benar kalian tidak mau mengikuti pedomanku, tinggalkanlah Tanah Luwu..), sabda baginda dalam kemarahannya. Kemurkaan Sultan adalah sebuah hukuman. Suatu keputusan yang timpakan kepada pengikut setia Pati Paressa' itu dikenal dalam adat Luwu sebagai : Ri Paoppangi Tana (Ditelungkupkan tanah diatasnya). Hukuman pengusiran atas mereka sekeluarga, tidak boleh lagi menginjak negeri Luwu selamanya.

Maka kaum itu serentak meninggalkan Negeri Luwu, menuju ke Tanah Wajo. Setibanya di kerajaan Wajo, mereka menghadapkan sembah kepada La Sangkuru Patau MulajajiE Arung Matoa Wajo seraya memohonkan perlindungan dan diterima sebagai rakyat Tana Wajo.

Wallahualam Bissawwab..

Minggu, 26 Desember 2010

Ana' OgiE, Sejauh Layarnya Terkembang

Ksatria Makassar, menantang badai ! (Part 4)

Perang Terakhir Sang Ksatria (bag. 3)

Membaca, mengulas dan memahami sejarah mestilah dilakukan dengan mata tertutup, namun hati dan penalaran haruslah semakin dipertajam. Sejarah adalah mutlak sebagai sesuatu yang benar (nyata), walaupun didalamnya tidaklah mesti memuat sesuatu yang dinilai  "salah" atau "benar", "suka" atau "tidak suka", "setuju" atau "tidak setuju". Karena sejarah bukannya "Hitam Putih" belaka, melainkan terdiri dari segenap warna kehidupan sebagaimana halnya  pada saat ini dan masa yang akan datang. Walaupun itu tidaklah mesti benar adanya, namun setidaknya akan menjadi sebuah reverensi untuk menggali sebuah nilai kebijakan hidup.  Maka disinilah hakikat perlunya belajar pada sejarah. Menyikapi masa depan yang lebih baik haruslah berkaca pada cermin sejarah.  

Setelah membaca episode terdahulu tulisan ini, kakanda penulis sempat mengomentarinya secara langsung, bahwa apakah tulisan ini bukan sebuah eksploitasi dan "kebanggaan" berlebihan terhadap keberanian suku Makassar ?. Penulis menjawabnya dengan pertanyaan pula, "Untuk tujuan apa ?". Kita bukanlah orang Makassar. Namun tidak dapat kupungkiri, bahwa kisah keberanian itu memberiku ilham bahwa jika karakter itu dapat dipadukan dengan kecerdasan dan IMTAQ, maka itu adalah sebuah aset berharga bagi Agama, Bangsa dan Negara Kesatuan tercinta ini di masa depan. 

Pada prinsifnya, manusia di dunia ini pada dasarnya sama. Mereka sama memiliki rasa keberanian dan rasa ketakutan. Namun, kondisi alam dan budaya yang menjadi ruang terbentuknya karakter itu membuat para bangsa memiliki karakter khas mereka masing-masing. Seorang peneliti Indonesia berkebangsaan Amerika pernah mengemukakan pendapatnya tentang karakter suku Bangsa di Indonesia, bahwa : Keilmuan adalah kelebihan orang Melayu, Kecerdasan adalah kepunyaan orang Jawa dan Keberanian adalah kekhasan orang Bugis Makassar. Maka saya berpikir, betapa dahsyatnya Sumber Daya Manusia yang ada di Indonesia. Tapi kenapa bangsa yang hebat ini terpuruk sedemikian rupa ?.. Alkisah, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin sendiri menasehati para panglimanya  pada pasca penandatanganan Perjanjian Bungaya, bahwa : Keberanian haruslah diimbangi dengan Kearifan
...........................................................................................

Kisah keberanian para Orang-orang Makassar ini ditulis oleh Claude de Forbin pada memoarnya, beberapa hari setelah seluruh awak kapal Makassar terbasmi habis di Bangkok. Beliau mengemukakan bahwa seumur hidupnya belum pernah menemukan lawan yang sedemikian nekatnya. Mereka terdiri dari orang-orang yang pantang menyerah. Meskipun tubuhnya sudah tertembus peluru, namun mereka terus maju untuk menikam lawan-lawannya. Salah seorang awak kapal yang ditemukan masih hidup dalam keadaan terluka parah. Pada tubuhnya didapati 17 lubang bekas ditembusi peluru dan tombak pasukan Siam. Namun ketika diperiksa ia tiba-tiba bangun dan berusaha merampas senjata parajurit yang memeriksanya tersebut.

Setelah pertempuran di Bangkok tersebut, suasana perkampungan Makassar yang dipimpin oleh Daeng MangallE semakin tegang. Raja Phra Narai mengirim 10.000 personal pasukan gabungan Siam dan Perancis untuk mengepung perkampungan itu. Namun sebelum penyerbuan, Phra Narai masih memberikan kebijakan terakhir dengan mengutus seorang pejabat kerajaan bernama : Ophra Chula untuk berunding dengan Daeng MangallE. Kebetulan saja rumah kediaman Ophra Chula tidak begitu jauh dari Kampung Makassar, sehingga beliau memiliki hubungan baik dengan Daeng MangallE. Pada rumah Ophra Chula itulah, perundingan itu berlangsung.

Menyadari betapa kritisnya situasi dan kondisinya sebagai pihak yang lemah, Daeng MangallE mengajukan opsi pada Ophra Chula. "..sekiranya baginda Raja tidak lagi menyenangi kami, biarlah kami pergi dari negeri ini untuk selamanya. Akan tetapi, jika baginda tidak mengijinkan kami pergi, serta sudah bertekad untuk menghancurkan kami, maka biarlah kami menunggu nasib di rumah kami. Kami akan memperlihatkan kepada semua orang, bahwa kami adalah JANTAN. Bukannya perempuan Siam...".

Atas bujukan Ophra Chula, pada tanggal 20 September 1686 Pangeran Abdul Hamid Daeng MangallE diiringi  40 orang pengikutnya, berangkat ke Istana Ayuthia. Sebelumnya, beliau mengirim surat kepada Raja Phra Narai bahwa ia selaku pemimpin orang-orang Makassar yang bermukim di kampung Makassar, akan menghadapkan sembah serta memohon pengampunan kepada baginda, namun tetap tidak akan membicarakan daftar nama yang diminta dulu itu.

Sesampainya di depan gerang Istana, Daeng MangallE beserta rombongan disambut beberapa pejabat istana yang dikenalnya pula dengan baik. Mereka menyampaikan titah baginda Phra Narai, bahwa Daeng MangallE beserta rombongan dapat memasuki istana dengan syarat harus menanggalkan badik, keris serta segala persenjataannya di depan pintu gerbang. Mendengar penyampaian itu, murkalah Daeng MangallE !. Pangeran Makassar itu menyampaikan pula pesan kepada Raja Phrai Narai sebagai letupan amarahnya, : " Saya tidak akan tunduk jikalau syaratnya adalah menerima penghinaan sedemikian !. Saya menyadari, bahwa saya adalahsebatang pohon besar yang akarnya menghunjam dalam bumi yang saat ini terancam diterpa badai. Sekiranya badai itu datang menerpa, saya akan menahannya sekuat tenaga !. Kalaupun akhirnya saya haros roboh, maka tumbang pulalah segala batng pohon kecil yang tumbuh disekitarku. Raja mengetahui dimana rumahku. Kalupun saya tidak diperkenankan menghadap Raja dengan bersenjata, maka biarlah baginda sendiri yang datang menemui saya jika ia memang berurusan lebih lanjut !".

Jalannya Perang Terakhir

Mengetahui perihal pembangkangan Daeng MangallE, Raja Phra Narai memutuskan untuk menggunakan kekuatan militer untuk menundukkannya. Pada malam itu juga dikerahkanlah 6.000 personel pasukan kerajaan Siam ditambah gabungan perwira Eropa (Perancis, Portugis dan Inggris) untuk menyerbu Kampung Makassar. Selain itu, dikerahkan pula 2 Kapal Perang,  22 Galai dan 60 perahu kecil yang ditempatkan di Sungai Menam yang berbatasan dengan Kampung Makassar. Maka kedudukan Daeng MangallE beserta pengikut-pengikutnya sudah terkepung total. Tidak ada harapan lagi untuk selamat dari kepungan itu. Menyadari situasi tersebut, segenap orang Makassar itu saling bermaaf-maafan sebagai tanda akhir kebersamaan mereka yang juga akan menjadi akhir hidupnya.

Dr. Christian Pelras menguraikan lebih lanjut, bahwa keesokan hari, yakni  tanggal 21 September 1686 pada pukul setengah lima pagi,  Komandan pengawal pribadi Perdana Menteri bernama Okluan Mahamantri, bersama 7 orang anak buahnya mencoba menyeberangi Sungai Menam untuk menghubungi Ophra Chula. Namun karena kurang hati-hati, mereka ketahuan oleh penjaga kampung Makassar. Mereka dihadang lalu diserang. Akhirnya Okluang Mahamantri dan para anak buahnya tewas ditempat itu pula.

Mengetahui perihal tewasnya Okluang Mahamantri, maka serangan terhadap kampung Makassar dimulai. Perkampungan di pinggir sungai itu dibombardir oleh meriam kapal-kapal perang dan meriam pedati dari darat. Pasukan infantri juga menyusun barisan formasi ketat seraya menghujani perkampungan itu dengan rentetan tembakan senapan panjang yang sambung menyambung. Rumah-rumah di kampung Makassar terbakar dan hancur diterpa ledakan peluru meriam. Setelah beberapa lama dijadikan sasaran tembak, tidak nampak pula reaksi apa-apa di perkampungan itu. Maka dihentikanlah tembakan, dianggapnya bahwa penghuninya telah habis ditembusi peluru atau mungkin pula dilalap kobaran api.

Melihat kejadian itu, tanpa menunggu perintah, Kapten Coats dan seorang perwira Perancis serta diikuti beberapa personal pasukan Inggris, segera mendarat dibagian selatan Kampung Makassar. Namun diluar dugaan, mereka diserang oleh sekelompok orang-orang Makassar yang berhamburan keluar dari puing-puing reruntuhan rumahnya yang terbakar. Rupanya mereka telah menggali lubang-lubang perlindungan dibawah rumahnya. Mereka menyerang para pasukan Eropa itu dengan ganasnya. Alvey, seorang personel pasukan Inggris tewas dalam serangan mendadak itu. Kapten Coats berusaha pula meloloskan diri dengan terjun ke sungai hingga mati tenggelam. Pasukan lainnya berserabutan menyelamatkan diri kembali ke perahunya.

Mengetahui jika orang-orang Makassar itu masih banyak yang hidup, pasukan pengepung melancarkan kembali tembakan gencar selama 3 jam. Maka kebakaran hebat di Kampung Makassar semakin berkobar hingga terlihat jelas dari Kota Ayuthia. Sementara itu, Daeng MangallE mengkonsolidasi lasykarnya di pinggir Anak Sungai Menam yang terlindung dari jangkauan tembakan. Agaknya mereka memutuskan untuk menerobos kepungan untuk melakukan serangan balasan terhadap perkampungan Portugis yang tidak jauh pula dari tempat itu.

Namun Perdana Menteri Constance Phaulkon agaknya mengetahui rencana itu. Maka dengan dikawal 2 perahu yang masing-masing memuat 20 personal pasukan Perancis dibawah pimpinan Kapten Veret serta 15 perahu yang memuat Pasukan Kerajaan, menyergap para ksatria Makassar itu. Mereka menembak para orang-orang Makassar yang kesemuanya tidak bersenjata api itu dengan gencarnya. Daeng MangallE segera memerintahkan lasykarnya untuk mundur ke tengah rumpun-rumpun bambu yang berada dibelakang rumah mereka. Dari sanalah, mereka menyusun kembali strategi penyerangan dalam situasi yang serba sulit tersebut.

Melihat kondisi pihak penyerbu yang juga terbagi pada beberapa divisi, Daeng MangallE mengatur strategi pertahanan dalam 2 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 40 orang dan kelompok kedua terdiri dari 60 orang. Kini mereka memutuskan untuk melakukan penyerangan. Menyerang adalah pertahanan paling baik, mungkin begitulah dalam pemikiran mereka. Maka menyerbulah kelompok pertama dari depan lalu diimbangi kelompok kedua dari arah samping. Penyerbuan itu berhasil mengkocar-kacirkan pasukan kerajaan. Kemudian pada bagian lain, sekelompok orang Makassar menumpang sebuah perahu dengan menyamar sebagai orang Siam. Mereka berhasil masuk ke jantung pertahanan pasukan Perancis dan membunuh beberapa personelnya, antara lain : Kapten Udall, M. de Rouan, Carel dan Milon.

Namun penyerangan kelompok-kelompok kecil Orang Makassar itu tidak berlangsung lama. Serangan gencar pasukan Siam memukul mundur mereka hingga jauh memasuki Kampung Makassar. Gervaise menguraikan, bahwa kira-kira pukul 10.00 pagi, tibalah bantuan lasykar khusus Kerajaan Siam dibawah pimpinan Ophra Jumbarat. Pasukan yang masih segar bugar itu dikerahkan ke bagian utara anak sungai Menam untuk mencegah lolosnya orang-orang Makassar itu. Kemudian Perdana Menteri Phaulkon dengan 3000 personel lasykar yang dipimpinnya bergerak dari timur.  Maka posisi pergerakan Daeng MangallE beserta pengikutnya semakin terjepit. Mereka tinggal bertahan dalam bungker-bungker yang digali dibawah rumahnya. Peluru berdesingan bagai hujan lebat diatas mereka. Pasukan penyerbu semakin meransek maju sambil bergantian menembak serta mengisi peluru dan mesiu.

Akhirnya, tidak ada lagi yang dapat dilakukan. Mustahil menunggu para pasukan penyerbu itu mendekat hingga menembaki mereka bagai binatang buruan yang terjebak dalam lubang. Didahului Daeng MangallE yang memekik panjang seraya melompat naik dari lubangnya. Pangeran Makassar itu menyerbu diikuti pula para pengikutnya. Mereka menyerang pasukan Siam dengan ganasnya. Tubuh mereka kini bermandikan darahnya sendiri dan darah lawan-lawannya. Keringat yang mengucur deras bersama darahnya tak dipedulikannya lagi. Mereka menikamkan badiknya dengan buas dengan harapan cuma satu, membunuh lawannya sebanyak-banyaknya.

Dalam pertempuran itu, Daeng MangallE berusaha mendekati Perdana Menteri Phaulkon yang amat dibencinya. Setelah dirasa cukup dekat, ia menusukkan tombaknya pada orang Perancis itu. Namun salah seorang pengawal Phaulkon cukup sigap dengan menembaknya dari jarak dekat pula. Pangeran Makassar itu jatuh tersungkur namun tetap menusukkan tombaknya kesana kemari. Akhirnya beliaupun menghembuskan nafas terakhirnya dengan tetap mencekal erat gagang senjatanya. Terdapat 7 luka ditubuhnya, yakni 5 tusukan tombak dan 2 lubang bekas tembusan peluru dibahu dan di kepalanya.

Dr. Christian Pelras yang menguraikan tulisan Gervaise tersebut hidupnya, mengemukakan bahwa pertempuran yang terjadi pada tanggal 21 September 1686 itu berakhir pada jam 3.00 petang. Ditemukan 42 orang Makassar yang tewas di tepi anak sungai Menam, tempat pertarungan mereka yang terakhir. Beberapa puluh lainnya telah hanyut pula dalam keadaan tewas mengenaskan. Terdapat pula 55 orang yang ditawan, termasuk diantaranya 22 orang yang berkubu dalam mesjid, semuanya terluka parah.

Dr. H. Wahyuddin, M.S mengemukakan pula, bahwa sebagian besar orang-orang Makassar yang tertawan itu dibunuh dengan kejam. Empat orang diantaranya dijadikan tontonan hiburan dengan diadu dengan harimau. Beberapa pemuka agama ditanam sampai dileher lalu dibunuh oleh orang-orang Siam yang lalu lalang ditempat itu. Tidak tercatat pula perempuan dan anak-anak yang menjadi korban keganasan pertempuran itu. Banyak diantaranya yang mati terbakar dalam rumah-rumah mereka dan ada pula yang dibunuh oleh kepala keluarganya agar tidak dijadikan budak atau dilecehkan.

Wallahualam Bissawab

Kamis, 23 Desember 2010


MASUKNYA ISLAM DI KERAJAAN LUWU

“…  aku  seorang pembaca..”, demikian jawabku ketika seorang teman menanyakan tentang bagaimana aku menulis. Menguraikan kembali dari apa yang kudengar dan kubaca dari tulisan orang lain kemudian menyimpulkannya sesuai penalaranku, itulah yang kulakukan saat ini.... dan juga kemarin. Maka akupun "Seorang Pemulung...".

Telah kubaca dan kusimak perihal kehidupan para tokoh sejarah yang datang dan pergi keluar Sulawesi Selatan dari masa ke masa, kiranya tidak ada yang lebih berjasa daripada ketiga Mujahid Islam dari Tanah Melayu terhadap negeri ini. Berbekal niat “Jihad fii Sabilillah” serta keutamaan ahlaq tawadlu yang melekat dalam sanubarinya, mereka merambah Tanah Bugis yang kacau balau itu dengan satu tujuan, yakni : Syiar Islam. Berkat perjuangan mereka yang tidak mengharap pamrih  itulah sehingga pada hari ini kita semua dapat merasakan nilmat Islam. Kiranya hanya Allah semata yang dapat membalas  jasa besar itu dengan pahala yang layak baginya, Amin.
……………………………………………………..………

Pada sebuah naskah susunan Paduka Andi Bau Sulolipu Opu To Tadampali Almarhum yang tidak sempat dipublikasikan, penulis menemukan sebuah riwayat yang menjadi embrio timbulnya beberapa mitos yang justru terlahir dalam rangkaian peristiwa syiar Islam di Tanah Luwu.  Syiar risalah yang justru bertujuan untuk meningkatkan taraf kemuliaan manusia agar tidak me-nuhan-kan mahluq sebagaimana sebelumnya.
Dalam tahun 1593 Masehi, bertepatan dengan tahun 1013 Hijriah, tibalah 3 orang Muballiq di Negeri Bua, salahsatu anak negeri utama Kerajaan Luwu. Para Mujahid itu masing-masing bernama :
1.    Khatib Sulaiman, bergelar Dato’ Patimang (Khatib Sulung)
2.    Abdul Makmur Khatib Tunggal, bergelar Dato’ ri Bandang
3.    Abdul Jawad Khatib Bungsu, bergelar Dato’ ri Tiro

Mereka adalah orang Minangkabau yang datang dari Kerajaan Johor dan sebelumnya tinggal beberapa waktu di Makassar. Atas saran dari penguasa kerajaan Makassar (Gowa-Tallo), yakni : I Mangngurangi Daeng Mangrabia Somba ri Gowa XIX (1593-1639) , bahwa misi mereka  sebaiknya dimulai pada Kerajaan Luwu yang dipandang sebagai negeri paling mulia dan tertua diantara kerajaan lainnya di jazirah Sulawesi.

Atas rekomendasi yang dibawanya dari Raja Gowa tersebut, ketiganya menemui Tandipau Opunna Ware’ Maddika Bua, penguasa negeri Bua yang merupakan salahsatu negeri utama Kerajaan Luwu yang dikenal sebagai : Ana’ TelluE ( Anak Negeri). Setelah melalui prosesi “Singkarume’ “, sebuah ritual ujian yang terdiri dari dialog debat  panjang dan disertai pula adu pertunjukan kesaktian. Atas izin Allah SWT, ketiganya dapat melalui ujian itu serta mengungguli kesaktian para tokoh penguji dalam istana Kereajaan Bua. Akhirnya Maddika Bua mengikrarkan Kalimah Syahadat, mengakui kebenaran risalah yang diemban para muballiq itu. “Kita harus segera menyampaikan ajaran selamat ini kepada Baginda PajungngE..”, kata Maddika Bua. Pucuk cinta diulam tiba, itulah yang diharap ketiga mujahid itu.

 Pada tanggal 12 Ramadhan 1013 H, dengan menggunakan perahu yang dinamai "Kimara",  Tandipau Opunna Ware' Maddika Bua bersama ketiga Penyiar Islam itu bertolak ke MalangkE', kotaraja Kerajaan Luwu dimana La Pati Arase' (Patiware' Sangaji) Daeng Parambong  Pajung ri Luwu - XIII bersemayam. Setelah merapat di pelabuhan MalangkE, mereka langsung menuju ke Istana. Dihadapan Baginda PajungngE, menghaturkan sembah baktinya kepada junjungan Negeri Luwu itu.

" Aga karEbatu mai, Maddika ?" (Bagaimana khabar anda, Maddika ?), sapa PajungngE.
"Usompai PajungngE, karEba makessing mua ipangolo ri cappa' ajEna datuE.." (Sembah bakti kepada PajunggE, khabar baik jua yang patik haturkan di ujung kaki paduka..), jawab Maddika Bua.
Kemudian Maddika Bua memperhadapkan maksud serta tujuan para Muballiq yang ditemaninya itu, yakni menyampaikan risalah Islam yang ajarkan oleh Rasulullah saw. 

Mendengar ajakan itu, PajungngE tertarik pula pada penuturan ketiga Muballiq itu. Terutama karena mengetahui bahwa mereka direkomendasikan oleh Sombayya Gowa untuk menghadapnya. Perlu dikemukakan disini, bahwa permaisuri La Patiware' Daeng Parambong Pajung Luwu XIII yang bernama KaraEng ri Balla' Bugisi ini adalah adik kandung I Mangngurangi Daeng Mangrabia Somba ri Gowa XIX. Dengan demikian, para Muballiq ini secara tidak langsung adalah utusan kakak iparnya sendiri. 

Selain daripada itu, baginda PajungngE tertarik pula dengan perilaku ketiga Muballiq itu yang santun namun bersikap sewajarnya. Mereka tidak berlebihan dalam tata cara penghormatan terhadapnya, menjilat-jilat sebagaimana rakyat kebanyakan.  Baginda memerintahkan agar diadakan “Singkarume’ “ dihadapannya, sebagaimana sebelumnya diadakan di Istana Maddika Bua. Namun kali ini, baginda menghendaki agar Maddika Bua sendiri yang menjadi penguji dipihaknya. Maka dilaksanakanlah tatacara itu dengan sungguh-sungguh.

Dihadapan ketiga Muballiq, Maddika Bua mengajukan pertanyaan-pertanyaannya.
" Dari mana anda sekalian berasal ? "
" Kami berasal dari Minangkabau dan bermukim di Kerajaan Johor ", jawab Khatib Sulung.
" Apakah maksud kedatangan anda ? "
" Kami datang dengan maksud mengembangkan agama Allah SWT yang telah disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.."
" Apakah saudara tidak mengetahui bahwa di Luwu ada kayu yang sangat kuat dari pada yang kuat, direndm air tidak termakan rayap, bahkan jika terbakarpun tak akan terbakar. Kayu itu bernama : Aju Tabu' ", tanya MaddikaE seraya mendeklamasikan syair Lontara, sbb :
Aju tabu' tekkE tabu'
Tuo ri tengnga tasi'
TekkE wajo-wajo

Kayu lapuk namun tidaklah lapuk
Tumbuhnya ditengah laut
Tanpa bayangan adanya

Ketiga Muballiq berpikir sejenak, lalu bertanya kepada Maddika Bua. " Bagaimana warna kayu tersebut ? "
" Warna kayu itu tidak dapat dinyatakan karena bahkan justru bayangannya pun tidak diketahui pula ", jawab MaddikaE. Maka menjawablah Khatib Sulung seraya mengucap : "Al Qawtu Kulluhuw Dulumaat', segala sesuatu itu hanyalah bayangan belaka..". PajungngE mengangguk-angguk membenarkan dengan takjub. Sebagaimana diketahui bahwa pada syair I Lagaligo ada dijelaskan perihal "kayu" ketika We Tenri Abeng Batari Bissu ri Langi WalinonoE Daeng Manuttek berkata kepada saudara kembarnya (Sawerigading), bahwa :
Engka aju tuo ri MANGKUTU
Aju bEtao bettawengngE
Napolangkana ula minrEli nabuai sawa
SinEppe lE balipenna
NassarangiE lE manu'-manu' tessirupaE

Ada pohon kayu yang tumbuh di MANGKUTU
Kayu bEtao yang tumbuh tunggal
Kediaman agung ular sawa minrEli
Tempat bersarang berbagai macam jenis burung..

Lafaldz "Alkawtu" yang diucapkan Khatib Sulung terdengar mirip dengan kata "Mangkutu" dalam syair I Lagaligo. Kemudian pengertian kalimat Arab itu persis pula yang dimaksud dengan pertanyaan Maddika Bua. Kayu "Tabu' " yang dimaknai sebagai kayu yang sangat keras itu sesungguhnya adalah "ADAT". Suatu norma aturan yang dibuat oleh manusia, namun sesungguhnya hanyalah merupakan "bayangan" belaka. Sesuatu yang Non-Permanen serta tidak memiliki eksistensi kemandirian. Hakikatnya, hanya Allah Azza Wajalla yang NYATA dan Abadi keberadaan-Nya. Demikian pula dengan konsep pengertian MaddikaE dan PajungngE tentang keberadaan segala sesuatu selain "DEwata SEuwwaE", Tuhan yang Maha Tunggal. " Iya MakkEloo, Iyato PaullE.." (Dia yang Menginginkan, Dia pula yang memiliki Kekuatan..", sama persis dengan "Laa hawlaa wa laa Quwwata Illa Billah.." dalam konsep Islam.

Ada suatu hal menarik yang patut dikemukakan disini, bahwa dialog antar agama dan kepercayaan yang terjadi ini berlangsung dengan santun. Ketiga Muballiq dari Tanah Melayu itu tidak sekalipun "mengeritik" atau berusaha menumbangkan nilai kepercayaan orang-orang Luwu yang didelegasikan kepada Maddika Bua. Padahal siapapun yang pernah membaca atau mendengar Syair I La Galigo sebagai suatu reverensi pokok kepercayaan orang Bugis pada masa itu, akan menemukan berbagai ketimpangan nilai yang sangat mendasar. Salahsatu contoh adalah "Azas Kemanusiaan" sebagai suatu nilai universal yang senantiasa dimaknai oleh hampir semua kepercayaan dan keyakinan ada di dunia ini. Namun Kitab I La Galigo justru mengabaikannya dengan senantiasa menguraikan tata cara pengorbanan manusia pada berbagai peristiwa sakral para Bangsawan Dewata (topik ini akan ditulis pada judul lain, penulis).

Demikian pula halnya dengan Maddika Bua dan PajungngE sendiri. Sikap santun ketiga tamunya itu dapat dimakluminya dengan menganalisa secara jujur perihal nilai-nilai persamaan yang justru diakuinya pula sebagai sesuatu yang mutlak kebenarannya. Mereka dapat melihat sendiri "celah" pada kepercayaannya sendiri tanpa ditunjukkan oleh ketiga Muballiq itu. Kehalusan makna tenggang rasa teruarai dengan halusnya tanpa tanda kutip.

Setelah dialog dirasa sudah cukup, Maddika Bua meminta 10 butir telur pada "pattumaling" (Kepala Protokoler Istana) atas perkenan PajungngE. Telur-telur itu disusun, bertumpuk satu demi satu tanpa sebutir pun yang jatuh. Kemudian dipersilahkanlah kepada ketiga Muballiq itu untuk mengimbangi kemampuan itu. Khatib Sulung menghampiri susunan telur itu, lalu membaca "Bismillaahirrohmanirrohiim.." seraya mengambil sebutir telur yang paling dibawah susunan itu. Atas izin dan kuasa Allah, 9 telur yang lainnya masih tersusun dalam keadaan melayang, tanpa menyentuh lantai karena sebutir telur yang menjadi tumpuannya telah diambil (dicabut) oleh Khatib Sulung. Kemudian bergantianlah kedua Khatib lainnya mengambil telur-telur itu mulai dari susunan paling bawah tanpa memecahkan sebutirpun diantaranya.

Maddika Bua meminta pula sebuah Balubu (guci) yang penuh terisi air. Balubu itu diangkatnya lalu dibaliknya hingga mulut balubu itu menghadap kebawah. Namun air didalamnya tidak setetespun yang tumpah ke lantai. Lalu dipersilahkan pulalah kepada ketiga Muballiq itu untuk melakukan hal yang sama. Dengan mengucapkan Basmalah, salah seorang Khatib memukul pecah balubu yang terbuat dari keramik itu. Namun air yang didalam Balubu yang pecah berkeping-keping itu tidak tumpah, tetap membulat sebagaimana bentuk balubu yang pecah itu.

Akhirnya Maddika Bua menghaturkan sembah kepada PajungngE, "Demikian Singkarume yang hamba sekalian lakukan di Bua, Tuanku. Selanjutnya patik serahkan segala sesuatunya atas kebijaksanaan paduka..". Maka PajungngE membuka sebentuk cincin pusaka kerajaannya di jari manisnya seraya berkata kepada ketiga Dato' dari Negeri Minangkabau itu. "Bawalah oleh kalian cincin ini ketengah laut, lalu buanglah. Jika kalian mampu mengembalikannya kepada kami, maka saya berjanji untuk memenuhi ajakan kalian untuk memeluk Agama Islam.". "Ampun beribu ampun, Tuanku. Hamba sekalian memohon waktu selama 3 hari. Semoga kiranya dalam waktu itu, Allah Yang Maha Kuasa mengembalikan cincin itu sebagaimana tuan inginkan..", kata Khatib Sulung. Maka PajungngE setuju dengan syarat waktu itu.

Dengan dikawal 8 orang pendayung suruhan PajungngE, ketiga Muballiq itu berkayuh ke tengah laut. Setelah dirasa sudah cukup jauh dari garis pantai, dilemparnya cincin itu yang langsung tenggelam ke dasar lautan yang dalam. Kemudian mereka berkayuh kembali serta diterima dalam jamuan Istana Luwu yang megah itu.

Dua hari telah berlalu, seisi LangkanaE Luwu menunggu dengan harap-harap cemas. "Jangan-jangan cincin pusaka kerajaan benar-benar hilang ditelan lautan. Itu adalah pertanda buruk..!", pikir mereka. Namun halnya dengan ketiga Khatib, mereka nampak tenang-tenang saja. Segalanya telah dipasrahkan kepada Allah SWT dengan sikap Tawakkal sepenuhnya. "Allahumma innii andzilu bika haajatiyy.., wa'in do'fa ro'yii', wa qoshuro amaliiyy.. Waftaqortu 'ilaa Raohmatika..", Yaa Allah, kuhaturkan hajatku sepenuhnya kepada-Mu.. walau lemah akalku.. walau sedikit amalku.. Namun kutetap berharap pada rahmat-Mu..".

Hari ketiga telah tiba. Matahari pagi telah menebarkan jaring-jaring emasnya yang hangat. Seorang nelayan berjalan memasuki gerbang istana, seraya bermohon pada penjaga agar diperkenankan untuk melaksanakan "Kasuwiang". Suatu tradisi pengabdian pada masyarakat Bugis yang membawa persembahan khusus kepada Raja yang dicintainya. Persembahan itu dapat berupa benda pusaka, hewan ternak, hasil kebun atau hasil tangkapan ikan. Nelayan itu datang sambil menenteng seekor ikan besar yang dikailnya semalam. Ikan besar itu diambil oleh seorang abdi lalu membawanya ke dapur istana melalui tangga bagian belakang Istana. Namun, salah seorang khatib yang sedang berada dibagian teras istana meminta agar ikan itu dibawa ke Balairung.

Dihadapan PajungngE dan Maddika Bua beserta para pejabat istana, Khatib Sulung meminta agar ikan besar itu dibelah perutnya. Atas perkenan PajungngE, salah seorang abdi membelahnya. Maka nampaklah seberkas sinar yang bercahaya dalam usus ikan itu. Setelah diperiksa dan dibersihkan dengan seksama, nampaklah sebentuk cincin bertatahkan permata yang berkilauan, cincin pusaka Kerajaan Luwu yang dilemparkan ke laut pada 3 hari yang lalu. Maka hari itu adalah hari yang sangat bersejarah pada Kerajaan Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya, Baginda La Pati Arase' (Pati Ware' Sangaji) Daeng Parambong Pajung ri Luwu XIII mengikrarkan Dua Kalimah Syahadat, memeluk Agama Islam dengan sepenuh jiwa dan raganya. Seketika itu pula, dimulai pada seisi istana hingga seluruh rakyat Kerajaan Luwu diperintahkan untuk turun ke sungai untuk berwudlu sebagaimana diajarkan ketiga Khatib, lalu bersama-sama mengucapkan Syahadatain. Hari itu ditandai dalam lontara, yakni : 15 Ramadhan 1013 Hijriah bertepatan pada tahun 1593 Masehi.

Setelah memeluk Agama Islam, Khatib Sulaiman menabalkan sebuah gelar baru kepada baginda Pati Arase', yakni : Sultan Muhammad Mudharuddin. Adapun halnya dengan Tandipau Opunna Ware' Maddika Bua, beliau dianugerahi pula gelar baru oleh PajungngE, yaitu : Tandi Pau Maddika Bua "AssalengngE" Opunna Ware'  karena terlebih dahulu masuk Islam. Namun karena dianggap "lancang" mendahului Baginda PajungngE masuk Islam, maka Maddika Bua diberikan "Sangsi Kewajiban", sbb :
1. Mengembangkan Agama Islam di wilayahnya,
2. Memberikan pelaporan kepada PajungngE pada setiap waktu memasuki bulan puasa.

Kewajiban pelaporan sebagai pertanda masuknya bulan puasa itu terus berlansung selama turun temurun sejak masa pemerintahan La Pati Arase' (Pati Ware' Sangaji) Daeng Parambong Sultan Muhammad Mudharuddin Petta MatinroE ri Pattimang Pajung ri Luwu XIII hingga Andi Kambo Opu Daeng ri Sompa Petta MatinroE ri Bintangna Pajung ri Luwu XXXII.

Wallahualam Bissawwab..

(bersambung ke Mitos Pati Paressa Manjawari...)

Minggu, 19 Desember 2010

Ininnawa


Harga sebuah Ininnawa (Nurani)

Ini bukanlah kisah tentang kejujuran seseorang. Melainkan cerita tentang  sebuah "Nurani" yang berhasil memenangkan nafsu tamak yang selama ini kerap memenangkan pertarungannya.
..........................................................................

Parepare tahun 1994, Dyong telah berada kembali di kampung halamannya. Ia telah menikah dan memiliki seorang putera berumur hampir setahun. Seorang ayah muda yang berstatus pengangguran. Maka ia tinggal di rumah orang tuanya di pinggir kota kecil itu. Sementara kedua orang tuanya kembali menetap di Belawa, tanah kelahirannya. 

Memiliki keluarga kecil tanpa pekerjaan tetap adalah sebuah pengalaman tersendiri yang kini dialaminya. Si kecil kini harus meminum susu tambahan dan memakan bubur susu yang harus didapatkan pakai uang. Belum pula dengan sebungkus rokok yang ditelannya bulat-bulat setiap hari. Jangan lagi dengan sang isteri yang kadang merasa risih untuk hadir pada acara-acara pesta perkawinan para kerabat, karena terpaksa mengenakan baju kebaya pengantinnya sejak 2 tahun lalu. Lalu bagaimana pula halnya dengan belanja dapur ?. Si Dyong sih gak pusing-pusing amat. Walau sulit begitu, ia adalah anak petani dari Belawa. Mereka tidak pernah kekurangan beras dan ikan kering. Begitu pula dengan minyak goreng, segalanya didatangkan dari kampung kelahirannya itu. Pokoknya segalanya ditanggung gratis. Asal selera makan dapat dipertahankan. Jangan menuruti kata lidah, turuti saja kemauan perutmu. Begitulah prinsif hariannya.

Namun demikian, beban moril sebagai penganggur total tetap menderanya tiap hari. Pagi-pagi iapun tetap pamit kepada isterinya untuk mencari pekerjaan yang cocok. Sertifikat Akademi Pariwisata yang didapatnya di Bali, agaknya tidak begitu laris seperti perkiraannya semula. Map-map kuning yang disetornya pada banyak tempat mulai lusuh, namun belum pula mendapatkan hasil yang diharapkannya. Maka  iapun lebih sering molor siang-siang di rumah teman-temannya. Si Dyong selalu gelisah jika waktu ashar menjelang, saat ketika ia harus pulang ke rumah. Ia tidak tega membayangkan pandangan mata isterinya yang berbinar penuh harapan. “Pa.. Bagaimana hasilnya ? Adakah ?”, tanyanya selalu sambil melepas jaket suaminya. 

Hingga pada suatu waktu, nasib mempertemukannya dengan seorang Juragan Hotel di Parepare, yakni : H. Gandaria. Minatnya yang besar terhadap benda-benda seni kuno membuatnya mondar mandir di rumah orang tua itu.  Pada suatu hari,  Budayawan  tua itu  memperlihatkan sebuah bungkusan kuning kepadanya.

"Ketahuilah, nak. Dari sekian banyak koleksiku, barang  inilah yang paling mahal"
"Wah, memangnya barang apa, etta aji ?", tanya Dyong penasaran.

Ia membuka bungkusan itu, ternyata isinya adalah sebuah Kitab Suci Al Qur'an yang sangat indah. Sampulnya berbahan kulit rusa yang diukir. Kertasnya yang agak tebal sudah kekuning-kuningan saking tuanya. Tulisan ayat-ayat sucinya yang menampakkan ciri  tulisan tangan yang sangat indah dalam bingkai ornamen bunga-bungaan yang bernilai seni tinggi.

"Tapi masa kitab kuno ini lebih mahal dari keris emas, etta aji ?"

"Ya, memang lebih mahal. Beberapa hari yang lalu, seorang kenalanku yang kolektor di Gowa menawar kitab ini seharga 2 Milyar Rupiah.". "Waaah ?!", Si Dyong  meleletkan lidah seakan tak percaya.
"Koq tidak dijual saja, Etta Aji ?", tanyanya penasaran. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, orang tua kaya raya itu menjelaskan perihal Kitab Al Qur'an itu.

Kitab Al Qur'an tulisan tangan itu adalah sebuah barang langka. Konon, kitab itu adalah kitab suci yang dibawa oleh 3 Datuk penyiar Agama Islam ke Tanah Bugis. Setelah para mubalig itu berhasil menanamkan syiar Islamnya di Sulawesi Selatan, mereka menyimpan ketiga kitab itu pada 3 Kerajaan terbesar dan berpengaruh. Sebuah kitab disimpannya di Gowa, kemudian yang satunya pula disimpan di Luwu, lalu yang terakhir disimpannya juga di Bone.

"Kitab yang di Luwu masih tersimpan di Istana Luwu sampai sekarang. Kemudian yang tersimpan di Bone telah hilang, lalu kitab yang dulunya di Gowa adalah kitab yang kupegang ini.", jelas orang tua itu dengan bangga. "Maka jelaslah, bahwa kelangkaan serta nilai kesejarahan kitab ini yang membuat saya untuk mempertahankannya hingga sekarang. Padahal sudah banyak orang yang ingin membelinya..", lanjutnya.

"Etta Aji, bagaimana jika suatu waktu  saya dapatkan pula barang yang sama ? Maukah  orang membelinya 2 milyar ? “
“Kenapa tidak ?. Tapi.. kecil kemungkinan kau dapat menemukannya, anakku. Tidak usah berangan-angan untuk mencari sesuatu yang tidak jelas keberadaannya..”.

Malam yang telah larut merambati subuh. Dyong tidak bisa memejamkan mata sedikitpun. Percakapannya dengan H. Gandaria tadi siang menggoda pikirannya. Masalahnya, ia tahu dimana mendapatkan Al Qur’an tulisan tangan yang persis dengan yang dilihatnya tadi siang. 

Sejak beberapa abad, keluarganya telah menyimpan Al Qur’an tulisan tangan yang sangat dikeramatkan. Kitab Suci itu kini berada dalam perawatan tantenya, sepupu sekali ayahandanya di Belawa. Setiap tahun. Al Qur’an itu diupacarakan  sehingga kertasnya penuh noda darah ayam yang telah mengering. Konon, pada jaman dulu ketika wabah penyakit kolera berjangkit di Kabupaten Sidrap, maka Al Qur'an pusaka itu ditandu mengelilingi wilayah Belawa. Maka atas kuasa Allah, wabah itu tidak sampai berjangkit di daerah itu. Subhanallah, mending kitab suci itu kujual saja, daripada diolesi najis dan dikhurafatkan seperti itu. Tapi bagaimana caranya ?. Tantenya pasti berkeras mempertahankannya, pikirnya gundah.
.....................................................................................

Wanita tua renta itu memeluk Dyong dengan  mesranya ketika ia mencium tangannya. Seorang wanita yang kini  berumur 70-an tahun itu sejak dulu selalu ramah dan baik padanya. Sepupu sekali ayahandanya yang dipandangnya bagai ibunya sendiri.  Bertemu dengannya selalu menimbulkan haru.

“Kuru sumange’mu, anakku. Sejak lama ibu merindukanmu..”
“Iye. Etta. Anakda datang kemari karena rindu pula..”

Tante dan kemenakan itu berbincang-bincang mengenai banyak hal sebagai pelepas rindu. Setelah makan siang bersama, mereka duduk kembali di beranda tengah sambil melanjutkan perbincangannya. Sambil mendengarkan penuturan tantenya, Dyong berpikir keras bagaimana mendapatkan moment yang tepat untuk memulai misinya “meminjam” Al Qur’an Pusaka tersebut.

“Nak, saatnya kau berpikir untuk memulai membangun rumah sendiri..”
Wah, kebetulan nih, inilah dia. Momen  yang  ditunggu – tunggu akhirnya tiba juga.
“Inilah yang membuat anakda datang kemari, etta..”
“Apa gerangan, anakku ?”
“Semalam anakda bermimpi aneh...Anakda tidak tahu takwilnya.”
“Ceritakanlah mimpimu itu, nak..”
“Ananda melihat diri sedang membangun sebuah rumah besar di puncak gunung...”
“Subhanallah, itu mimpi yang sangat baik, anakku..”
“Tapi inilah masalahnya, etta..”, kata Dyong dengan mimik lesu.
“Bagaimana, anakku  ?!”, tanya tentenya dengan cemas.
“Dalam penglihatan ananda ketika rumah  panggung itu didirikan, tiba-tiba terdengarlah suara tanpa wujud...”
“Apa katanya .. ?”, potong orang tua itu tidak sabar.
“Katanya.. Wahai, Dyong. Kalau kau tidak membaca sampai tamat Kitab Suci pusaka leluhurmu, maka rumah yang sedang kau bangun ini tidak akan kuberi atap.., demikian, etta.”
Orang tua itu menarik nafas lega seraya tersenyum bijak.
“Ah, kukira apa. Mudah saja itu, anakku. Kitab Suci itu ada padaku. Kau bisa meminjamnya dulu selama 2 bulan...”.

Mendengar kata tantenya itu, Dyong hampir bersorak saking gembiranya. Tak disangkanya semudah itu. Mimpi  jadi milyuner sudah diambang mata, pikirnya. Orang tua itu masuk ke kamarnya lalu keluar membawa bungkusan kain yang persis sama dengan yang dilihatnya pada H. Gandaria.

“Terimalah, anakku. Tapi.. tolong dijaga jangan sampai hilang. Dulu, ketika Saoraja (Istana) sedang terbakar, saya tidak memperdulikan keselamatan diri dan anak-anakku. Al Qur’an ini yang terlebih dahulu kuselamatkan. Maka kitab ini  jauh lebih berharga dari pada jiwaku...”, katanya sambil menyodorkan bungkusan itu pada si Dyong.

Setibanya di Parepare, Dyong duduk termenung di kamarnya sambil mengayun buaian puteranya. Kitab kuno yang menjanjikan uang milyaran rupiah itu tergeletak pula dihadapannya. "..uwangke'i iyE naiyya nyawaku, ana'. " (..lebih kuhargai ini daripada nyawaku, anakku.). Kalimat itu seakan berdengung dan berputar dalam benaknya. Kata terakhir dipenghujung "acara serah terima" oleh seorang tua yang percaya penuh pada "kebohongan" yang dikarangnya sendiri. Seorang bibi yang menaruh kepercayaan dan harapan besar terhadap "ilham palsu" kemenakannya yang badung tersebut. Harapan yang tiada lain hanya menginginkan agar kemenakan yang ditempatkan sebagai putera kesayangan dalam sanubarinya itu, dapat pula hidup layak sebagaimana orang lain. Harapan yang jernih tanpa mengharap pamrih atau apapun baginya. Dyongpun dapat melihat dan merasakan ketulusan itu.


"Pa, apakan tante tahu jika kau mau menjual pusaka ini ?", tanya isterinya yang masuk ke kamar seraya membawa secangkir kopi dan sepiring pisang goreng.
"Tidak, ma...", sahut Dyong seraya menggeleng lesu.
Ibu muda itu terpana seraya menatap mata suami penganggurannya itu dalam-dalam. Ia sangat tahu dan mengetahui seluk beluk watak lelaki yang pertamakali dikenalnya sebagai pemuda badung di Denpasar ini. Mereka bertemu dan saling mengenal di rantau Bali. Keduanya menikah di Jombang, Jawa Timur lalu Dyong membawa isterinya ini pulang ke Sulawesi.


"Pa.. Aku mengenalmu sebagai orang yang bernurani. Selama ini aku tidak menuntut apa-apa yang tidak bisa kau adakan untukku.  Akupun bersedia mengikutimu kemanapun kau pergi, namun pintaku hanya satu. Janganlah kau hidupi aku dan puteramu ini dengan  rezeki haram...itu saja.", ujarnya lembut namun tegas. Dyong tidak menjawabnya selain mengangguk seraya meneguk kopi hangat dicangkirnya yang usang. Air kopi yang manis-manis pahit itu kini terasa pahit dan getir memasuki tenggorokannya. Andai ia pernah meminum secangkir kopi yang dicampur dengan serbuk arang baterai mati, mungkin seperti itulah rasanya ketika itu.
...........................................................................



"Wah.. betul-betul persis, nak. Bagaimana dan dari mana kau dapatkan benda ini, nak ?", tanya H. Gandaria antusias.
"..sebenarnya ini adalah salahsatu dari pusaka keluarga kami, Etta Aji.". Dyong kemudian menceritakan hal ikhwal Al Qur'an Pusaka itu selengkapnya. Sang Budayawan yang mantan Puang Matoa Bissu itu mendengarkan dengan seksama sambil membuka dan memeriksa setiap lembaran Kitab Suci itu.
"Kalau begitu, Insya Allah besok kita berangkat ke Gowa besok. Namun terlebih dahulu kita singgah duli di kediaman Prof. Darmawan untuk memfoto scan kitab ini.. bersiap-siaplah jadi orang kaya, nak.".
"Terserah Etta Aji saja, bagaimana mengaturnya dengan baik. Ananda hanya menurut saja.", kata Dyong kemudian memohon pamit.

Bunyi detak jam dinding kini terasa sangat jelas. Malam telah larut, namun Dyong tidak bisa terlelap sedikitpun. Ia menoleh kesamping, isterinya telah tertidur sambil mengeloni si kecil. Ia terbangun seraya keluar kamar menuju ruang tengah. Disulutnya sebatang rokok lalu menghisap asapnya dalam-dalam. "Sadia-sadiani' mencaji tau sogi, na'.." (Bersiaplah menjadi kaya, nak..), demikian kata H. Gandaria yang selalu menggoda pikirannya.

Uang 2 milyar rupiah, atau anggap saja 1,5 milyar setelah dipotong zakat dan pajaknya, itu uang yang sangat banyak. Biarlah yang 1 milyar itu kuberikan saja kepada tanteku untuk dibelanja bersama anak cucunya. Sementara sisanya, kurasa 500 juta sudah cukup kujadikan modal usaha, demikian pikirnya. Namun lagi-lagi perkataan tantenya tentang nilai yang lebih berharga dari hidupnya itu menggedor nuraninya. Keringat dingin deras mengucur disela-sela rambut kepalanya. Si Dyong kini resah oleh kebimbangan yang mengombang-ambingkan jiwanya. Asap pembakaran tembakau rokoknya membuat sinar lampu diberanda tengah itu menjadi temaram. Asbak didepannya sudah penuh potongan-potongan filter rokok bagai belatung yang berkerumun. Dyong tertidur dilantai, entah mermimpi ataukah mungkin juga tidak sama sekali.

Dyong barulah terbangun setelah isterinya membangunkannya. "Pa.. bangun. Matahari telah tinggi. Ada tamu dari Hotel Gandaria..", katanya. "Persilahkan saja duduk dulu. Aku cuci muka dulu..", jawabnya sambil menyambar handuk lalu berlalu ke kamar mandi.

"Oh, ternyata kau Pak Masang..", sapa Dyong pada seorang lelaki yang dikenalnya sebagai supir pribadi H. Gandaria.
"Iye', ndi' . Nasuruhka' Puang Aji jemputki'. ", jawabnya dengan logat Pareparenya yang kental.
"Kalau begitu, minum maki' dulu kopita'. Mauka' dulu pakEan", timpal si Dyong pula.

Di dalam kamarnya, Dyong duduk bertopang dagu. Iapun gundah kembali. Kali ini, jantungnya semakin terasa berdebar-debar tak karuan. Nilai hidup tantenya kembali menggugah pemikirannya, meresap hingga nuraninya yang terdalam. "Ah, sudahlah...", gerutunya seraya melangkah ke kamar tamu.

"Maafkan, Pak Masang. Anda sampai menunggu lama.."
"Ndak apa-apa, ndi'. Sudah siap berangkat ?"
"Inilah.. Masalahnya saya merasa tidak enak badan hari ini.."
"Lalu bagaimanami dengan Puang Aji ?. Sudah siap-siapmi tadi berangkat.."
"Tolong disampaikan permohonan maaf saya.. Saya tidak bisa berangkat kemana-mana hari ini.."
"IyE'.., na pucat memang jE' kulihat mukata, ndi'.."

...................................................................................

Beberapa hari kemudian, H. Gandaria sendiri yang bertandan menemui si Dyong.
"Kenapa mesti ragu, nak ? Kau bukannya menjual benda pusaka itu. Melainkan kau justru melestarikannya. Karena jika dipelihara di rumah tantemu, lama kelamaan Manuskrip suci itu akan hancur karena tidak terawat sebagaimana mestinya. Lagipula, Al Quran suci itu selalu diolesi dengan darah ayam.. itu dosa besar...", jelasnya panjang lebar. Dyong mendengarkan dengan tenang. Wajahnya kini berseri-seri.
"Maafkan ananda Etta Aji. Kemarin anada telah mengembalikan Kitab Al Qur'an itu pada tanteku. Ananda tidak mampu melawan kata 'Ininnawaku" sendiri.. Sekali lagi, maafkan ananda..", kata Dyong dengan sungguh-sungguh.
.................................................................................

Ininnawa.. Nurani kemanusiaan yang senantiasa berkata benar. Sesuatu yang selalu ada pada setiap inzan. Hanya karena hingar bingarnya kehidupan, sehingga kadang suaranya tak terdengar. Suaranya yang lembut nan berbudi bahasa halus itu hanya dapat disimak dalam suasana hening....

Puang BeccE' Pamuri, tante Si Dyong telah wafat pada tahun 2008 yang lalu. Pada saat akhirnya, Dyong memegang erat jemari tantenya tercinta hingga Jiwa itu telah kembali kepada pencipta-Nya. Wafat dengan tentram dalam hantaran merdu kalimah "Laa Ilaaha' Illallahu, Muhammadarrasulullah..".  Adapun halnya dengan Al Qur'an Tua itu, kini berada dalam perawatan putera tertua tantenya, yakni : H. Massarasa di TippuluE. Belawa.

Nurani kebenaran telah memenangkan pertarungannya hari ini. Bagaimana pada pertarungan berikutnya esok ? .. Kita lihat besok saja.

Wallahualam Bissawwab..

Sabtu, 18 Desember 2010

Ana' OgiE, Sejauh Layarnya Terkembang

Ksatria Makassar, menantang badai ! (bagian 4)

Perang Terakhir Sang Ksatria (2)

Bagian ini dikisahkan oleh Laksamana Claude de Forbin pada memoarnya, kemudian diuraikan oleh Gervaise dalam bukunya : "Desctiption Historique du Royaume de macacar " (diterbitkan dalam edisi Bahasa Inggris dalam judul : The History of the Kingdom of Macasar, Printed for T. Leight and D. Midwinter, the Rose and Grown in Paul's Church Yard, London 1701), lalu diteliti lebih lanjut oleh Dr. Dhristian Pelras hingga diuraikan dalam bentuk buku dan makalah oleh banyak ahli sejarah.

Selain itu, Bernard Orleans telah menuliskan pula perihal kisah ini dalam "Les Prancais at I' Indonesie du XVie au XXe Siecle (Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XV - XVI, Kepustakaan Populer Gramedia - 2006). Melalui tulisan merekalah maka tulisan sederhana ini diuraikan sebagaimana adanya. Sekedar menyampaikan dan menuliskan hasil bacaan ....
.....................................................................................

Setelah merapat di pelabuhan pemeriksaan Benteng Bangkok, Nakhoda Kapal Makassar itu turun bersama 6 awak kapalnya untuk menghadap ke Komandan Garnisun Pasukan Perancis yang mengepalai benteng tersebut, yakni : Kapten Forbin. Sang Nakhoda menanyakan perihal penahanan kapalnya seraya menunjukkan pas jalannya yang ditandatangani dan di cap stempel Perdana Menteri Constance Phaulkon. Kapten Forbin meminta maaf  dan mengatakan jika pas jalan itu sudah benar. Namun sehubungan dengan kekacauan yang baru saja terjadi di Kota Ayuthia, maka Kapal mereka harus digeledah dengan alasan kekhawatiran jika ada anggota komplotan pemberontak yang bersembunyi untuk meloloskan diri. Untuk itu diminta agar semua awak kapal dinaikkan ke Benteng, sementara Pasukan Benteng menggeledah kapal itu.

Merasa tidak menyembunyikan apa-apa, Nakhoda menyetujui penggeledahan itu dengan syarat agar awak kapalnya yang dinaikkan ke benteng itu diperkenangkan tetap mengenakan Badik dan Kerisnya. Karena bagi Orang Bugis Makassar, Keris dan Badik adalah "jiwa kedua" dalam dirinya !, demikian penjelasan Nakhoda. Maka Kapten Forbin pun setuju dengan persyaratan itu. Mengingat bahwa pasukan pengawal benteng itu cukup banyak serta masing-masing dilengkapi dengan senjata api. Seberapa sih kemampuan sebuah senjata tajam genggam (dagger) dibanding dengan bedil dan flicker ?. Maka Nakhoda mengutus 2 orang diantara keenam awak kapal yang menyertainya untuk naik ke Kapal agar memanggil semua awak yang lain, turun ke anjungan.

Melihat kedua awak kapal itu berlalu, secara diam-diam Kapten Forbin memerintahkan kepada kedua ajudannya yang berkebangsaan Fortugis untuk mencegat dan menangkap keduanya serta melucuti badiknya. Namun kedua orang Portugis itu menolak melaksanakan perintah itu. Salah seorang diantaranya adalah seorang perwira tua Portugis menasehatkan pada Kapten Forbin bahwa menurut pengalamannya, bahwa orang Makassar tidak dapat ditundukkan dalam keadaan hidup, mereka harus langsung dibunuh. "Terus terang saja, jika anda sampai ketahuan ingin menangkap Kapten bersama awaknya di anjungan itu, dia dan sedikit orang yang bersamanya akan membunuh kita semuanya dan tidak membiarkan seorangpun hidup !" (Forbin, memoar 1686).

Maka Kapten Forbin berunding dengan ajudannya itu dengan menggunakan bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Nakhoda serta keempat awaknya. Lalu Forbin meminta permisi sebentar kepada tamu-tamunya tersebut untukmasuk sebentar kedalam benteng. Ia memanggil serta memerintahkan 20 pasukan pilihan dari unsur Kerajaan Siam untuk mengepung Nakhoda serta keempat awaknya yang tersisa.

Selanjutnya Forbin menulis dalam buku memoarnya, sbb : "Saya memerintahkan seorang Pejabat Siam untuk menyampaikan kepada Kapten Makassar, bahwa saya merasa sangat tersiksa karena mendapat perintah untuk menangkapnya, tapi ia (mereka, penulis) akan mendapat perlakuan baik dari saya. Saat kata pertama terlontar dari mulut Pejabat Siam itu, sambil mencampakkan "topi kain" (destar "Passapu", penulis) mereka ke tanah, keenam orang Makassar itu menghunus pisau (badik, penulis) dan menyerbu membabi buta seperti kesurupan, membunuh seketika itu si Pejabat Siam dan 6 orang rekannya yang ada dalam pavilium ..". Pejabat Siam yang dimaksud Kapten Forbin itu adalah petugas penerjemah.

Kapten Forbin nyaris tewas ditangan Nakhoda yang "A'jallo' " (mengamuk) itu, sekiranya tidak diselamatkan oleh seorang sersannya yang segera menembaknya mati. Ketika Nakhoda jatuh tersungkur ditembusi peluru, Tuan Beauregard", seorang Kapten Perancis yang berada ditempat itu pula melarang sersan untuk membunuhnya. Ia berjongkok untuk mengambil sebilah badik lain yang masih terselip dipinggang Nakhoda yang sedang sekarat itu. Namun ia salah menarik pada bagian sarung (warangka, wanuwa) badik itu. Tanpa disangka-sangka, orang yang nyawanya tinggal 1/4 bagian itu merengkuh gagang badiknya, seraya menikamkannya pada perut Kapten Beauregard. Setelah berhasil merobek perut lawannya, Nakhoda itu menghembuskan nafasnya yang terakhir, disusul Tuan Beauregard tak lama kemudian.

Adapun halnya dengan kedua awak kapal yang diutus terdahulu, merekapun mengamuk dengan sengitnya ketika akan ditangkap serta dilucuti. Setelah berhasil membunuh beberapa pengepungnya, merekapun terluka parah. Namun keduanya berhasil meloloskan diri dengan cara melompat turun ke laut.

Setelah menunggu beberapa lama, 48 awak kapal Makassar itu memutuskan untuk turun ke dermaga diluar benteng. Mereka menunggu Nakhoda beserta keenam temannya yang lain yang masuk kedalam anjungan benteng. Kapten Forbin mengirim 2 kompi Pasukan Portugis yang dipimpin oleh 2 perwira Inggris, yakni : Kapten Hue dan Kapten Michin untuk menghadang mereka di dermaga. Kapten Forbin sendiri memimpin 1 batalyon Lasykar Siam yang sedang mengikuti pelatihan militer untuk membantu kedua kompi itu.

Setelah berhadapan di dermaga, Kapten Forbin memerintahkan para awak Kapal Makassar itu untuk naik kembali ke kapalnya. Namun mereka menolak perintah itu dan berkata bahwa mereka tidak akan kembali ke kapal selama Nakhoda dan keenam kawannya belum datang. Namun tanpa koodinasi terlebih dahulu, tiba-tiba Kapten Hue memerintahkan pasukannya menyerbu ke-48 awak kapal Makassar itu.

Dr. H. Wahyuddin Hamid dalam bukunya : Passompe Bugis Makassar 2 yang dieditori Prof. Dr. H. Kulla Lagosi, MS, menguraikan peristiwa itu yang diberitakan dalam memoar Laksamana Forbin, bahwa ketika melihat pasukan Portugis dan Siam bergerak menyerbu mereka, para Awak Kapal  Makassar yang sedang berjongkok itu serentak bangkit sambil menghunus badiknya. Dalam gambaran Forbin, dikatakan bahwa orang-orang Makassar yang berjongkok dengan cara mereka itu, tiba-tiba berdiri sambil menghunus pisauunya (badik, penulis). Mereka melingkari lengan kirinya masing-masing dengan sejenis kain selempang yang biasanya dililitkan dipinggang atau dikepala (pasti yang dimaksudnya itu adalah : Sarung yang dipergunakan sebagai perisai penangkis senjata tajam, penulis).

Lebih lanjut Forbin mengemukakan dalam terjemahan bahwa, ".. mereka menerjang pasukan Portugis dengan pisau ditangan, kepala menunduk dan dengan kekuatan besar menikam dan mencabik-cabik orang-orang Portugis, nyaris sebelum kami sadar  bahwa mereka sudah diserang. Dari itu, mereka mendepak kearah pasukan yang saya pimpin dan kehabisan nafas, meski saya memiliki 1000 lebih prajurit bersenjatakan tombak dan bedil, orang-orang yang mengerikan itu menyerang pasukan saya sedemikian rupa sehingga semuanya terjungkal. Orang-orang Makassar itu bergerak dengan menginjaki perut mereka (lawan-lawannya yang terkapar, penulis) dan membunuh semua yang dapat dijangkau, bebar-benar pembantaian yang mengerikan..".

Kedua perwira Inggris yang memimpin Pasukan Portugis itu tewas seketika ditempat itu. Setelah berhasil menempus 2 kompi Pasukan Portugis dalam waktu yang teramat singkat itu, mereka menyerbu pula kearah Lasykar Siam yang dipimpin Forbin. Meskipun lasykar itu berjumlah 1000 personel, namun kenekatan para orang Makassar itu membuat mereka panik dan lari bercerai berai menyelamatkan diri masing-masing. Maka banyak pulalah yang jadi korban tikaman badik. Kapten Forbin terpaksa memundurkan pasukkannya yang jadi kacau itu ke dalam benteng, sementara beberapa yang lainnya berlarian menyelamatkan diri ke arah perkampungan dibelakang benteng. "..dalam keadaan kalang kabut itu, mereka mendesak kami hingga ke kaki tembok benteng yang baru, enam diantara mereka yang paling nekad menegjar pasukan yang kabur dan masuk kedalam teluk buatan yang menghadap sungai dekat tembok bersegi empat. Mereka melewati benteng disisi lain dan menjadikan semua tempat itu pembantaian yang mengerikan dengan membunuh tanpa memandang jenis usia dan jenis kelamin. Wanita dan anak-anak beserta semua yang bergerak didepan mereka. Mereka menyerang membabi buta guna bertempur sampai mati..." (Forbin, memoar ). Setelah menyebar maut di jalanan sepanjang perkampungan itu, keenam orang itu memasuki sebuah Biara (kuil Budha) seraya membunuh semua penghuninya. Mereka berkubu dalam biara itu dalam waktu beberapa lama.

Awak kapal yang tidak ikut menyerbu perkampungan itu kembali ke kapal untuk mengambil perlengkapan perang (bedil, tombak, perisai, dll..). Kemudian mereka membakar kapalnya sebagai tanda untuk bersiap bertempur sampai mati. Setelah itu, tanpa komando yang pasti mereka beriringan menyerbu perkampungan lasykar Siam yang tidak jauh dari dermaga. Perkampungan militer itu dibakarnya serta membunuh orang-orang yang ditemuinya. Para penduduk serta lasykar Siam berlarian menyelamatkan diri serta banyak pula diantaranya yang melompat ke sungai Menam. Rasa putus asa dalam keadaan tersudut, membuat mereka mengganas bagaikan gila. Kapten Forbin berusaha menahan amukan mereka dengan sebuah pasukan kecil bersenjata api, menembaki mereka dengan gencarnya. Namun orang-orang yang sudah kehilangan naluri kemanusiaan itu bergerak mundur ke hutan yang sulit diikuti oleh Pasukan Forbin.

Ketika pelaut-pelaut Makassar itu mundur ke hutan, Kapten Forbin menerima laporan mengenai orang Makassar yang berkubu dalam Biara. Maka ia menunda pengejarannya kedalam hutan untuk segera menumpas penyandera itu. Perwira Perancis itu beserta 80 personel pasukan gabungan mengepung Biara yang dijadikan kubu pertahanan 6 orang Makassar. Namun setelah mengetahui jika semua Biarawan telah dibunuh, maka dibakarnya biara itu untuk memaksa mereka keluar. Akhirnya melalui pertempuran sengit, keenam pelaut itu dapat ditewaskan satu persatu.

Selanjutnya Kapten Forbin mengerahkan 2 Batalyon dan 1 Kompi pasukan gabungan untuk mengepung hutan dimana ke-17 pelaut Makassar yang sedang bersembunyi. Sisa pelaut yang masih bertahan itu mengalami penderitaan berat selama 3 minggu dalam musim penghujan ketika itu. Sebelum kawasan itu dikepung, mereka masih bisa mencari makan di perkebunan sekitar hutan. Namun kini, mereka terpaksa harus memakan daun-daunan hutan, sekedar menyambung hidup.

Penderitaan itu semakin parah ketika turun hujan lebat yang menyebabkan banjir dalam hutan. Mereka terpaksa harus berjalan di air sebatas lutut. Kapten Forbin dan pasukannya semakin meransek masuk ke hutan untuk memperkecil ruang gerak para pelaut itu. Mereka masih bertahan diatas sebuah bukit kecil yang dikelilingi air. Namun, jelaslah sudah, tidak ada lagi jalan untuk meloloskan diri. Kapten Forbin yang mengepung dikaki bukit berseru agar sebaiknya mereka menyerah saja. Ia berjanji untuk memintakan ampun bagi mereka kepada Raja Phra Narai.

Orang-orang Makassar yang semuanya dalam kondisi tubuh yang sangat lemah itu, menganggap seruan Forbin sebagai penghinaan. Mereka sadar bahwa mustahil akan mendapatkan pengampunan. Mati sebagai laki-laki jauh lebih terhormat daripada hidup sebagai manusia pengecut hina. Pemikiran itu seakan menghidupkan kembali sisa-sisa tenaga dalam tubuh mereka yang mulai pudar. Maka dengan seruan membahana, mereka berlarian turun dari bukit itu, seraya melemparkan tombaknya pada para pengepungnya. Mereka menerjungkan diri pada genangan air dengan badik terhunus diacung-acungkan dengan ganasnya, tidak sabar lagi untuk ditikamkan kepada para pasukan diseberang genangan itu. Namun, pasukan pengepung itu telah siaga dengan senjata api yang terkokang dan dibidikkan kepada sekumpulan orang kalap itu. Forbin menyerukan aba-aba "tembak", maka meletuslah rentetan demi rentetan tembakan yang memuntahkan ribuan butir peluru. Orang-orang Makassar yang nekad itu terlempar dan terjerembab di air, terkapar dan tewas tidak lama kemudian.

Suatu hal yang menarik dan menimbulkan kekaguman pada Forbin, mereka semua mati dalam keadaan masih mencekal gagang badiknya. Kematian para pemberani yang mengharamkan kata "menyerah" dalam kamus hidupnya.

Wallahualam Bissawwab..


(bersambung.. kebagian selanjutnya)

Jumat, 17 Desember 2010

Ininnawa

Mana yang lebih HARAM ?

Maaf saudara Dyong. Lagi-lagi aib anda jadi topik ininnawaku hari ini..
............................................................................................

Dyong, pemuda pemimpi itu kini tinggal sendiri di Pulau Bali. Sendiri, dalam artian ia tidak punya sanak keluarga dan bahkan kenalan sekampung di rantau jauh. Namun ia selalu ingat pesan orang tuanya. "Ana'.. padaitu laona narEkko icammingi alEta. NarEkko mapacii'i na makessing jakka-jakkana bEluwa'mu, makkessing matoitu muita alEmu ri cammingngE. Makkomatoi paimeng padatta rupa tau.. narEkko makessingngi' lao ri padatta, makessingtohatu lao ridi'.. " (Anakku, ibarat berdiri didepan cermin. Sekiranya kau berpakaian rapi serta menyisir rambut dengan baik, maka bayanganmu dalam cermin itu akan kelihatan baik pula. Demikian pula halnya dengan sesama manusia, jika kau bersikap baik kepadanya, maka iapun akan sersikap baik pula kepadamu..).

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Dyong pun memiliki banyak teman. Dasar anak jalanan, iapun punya kenalan baik dimana-mana. Mereka terdiri dari anak Sanur setempat dan beberapa pula antaranya pemuda Arab yang tinggal disekitar Jalan Sulawesi, Denpasar. Namun pergaulannya dengan berbagai kalangan remaja sekitarnya membuat penyakit lamanya kambuh. Malah agaknya lebih parah lagi. Si Dyong mabuk lagi.. Mabuk lagi, seperti judul lagu dangdut.

Arak Bali agaknya mudah didapatkan diseluruh permukaan Pulau Bali. Cairan bening namun sekeras larutan spirtus itu dapat dibeli pada setiap warung-warung kecil yang bertebaran pada hampir setiap sudut jalan. Dengan uang Rp. 1.500,-(Th. 1990), maka dijamin sudah bisa teler. Tanpa sanak saudara yang dapat menegur atau mengingatkan, si Dyong selalu mabuk tiap malam. Pemuda yang kini gondrong lagi  itu menjadi alkoholik. Ia tidak dapat menyebut "RRRRrrr" keesokan harinya sebelum meneguk setengah gelas arak. Namun uniknya, iapun tidak pernah meninggalkan shalat lima waktunya. Walaupun kadang ia sholat isya dengan oleng sambil melafadzkan surah Al-Alaq bercampur An-Nas.. Astaghfirulloh.

Waktu merambat tak terasa. Dyong menjalani pola hidupnya dengan semakin liar. Tatto beraneka macam motif kini memenuhi punggungnya. "Ananda tetap dalam lindungan dan limpahan rahmat Allah SWT, ..serta senantiasa mengingat pesan Ayah dan Ibunda tercinta..", demikian selalu ditulis pada awal surat-suratnya yang terkirim tiap bulan ke orang tuanya. Dasar anak pembual !. Padahal bahkan kini ia sudah berkenalan pula dengan obat-obat bius yang diraciknya sendiri. Kadang-kadang ia mengambil jamur-jamur kecil yang tumbuh diatas kotoran sapi (Jamur Sampi), lalu diraciknya dan dimakannya pula. Bahkan suatu ketika iapun pernah bereksprimen, meminum tablet "Napacin" sebanyak 3 butir sekaligus. Hasilnya lumayan, ia bisa tertawa ha ha hi hi selama sehari penuh dikamarnya.

Pada suatu hari, Shodiq si pemuda Arab mengajaknya makan-makan di pelataran Bali Beach Hotel. " lagi banyak duit, nih ?", seloroh si Dyong. "Gak juga, cuma kebetulan aja arisanku naik", sahut pemuda mancung itu santai. Setibanya di restauran pantai itu, mereka memilih meja yang agak dekat dengan bibir pantai Sanur, mengahadap pemandangan Pulau Nusa Penida nun jauh diseberang sana.

"Permisi, mau pesan minum apa dulu..?", tanya Waitress dengan ramah.
"Dyong pasti mau minum Bir, ya ?", sergah Shodiq sambil membaca daftar menu.
"Iya, dong ?. Masa iya Fanta sih ? Minuman bayi itu..", canda si Dyong.
"Ok, kalau begitu tolong ambilkan Large Beer 3 botol dan Fanta 1 botol.."
"Terus makannya, pak ?", tanya waitress sambil menulis pesanan itu.
"Dyong mau makan apa nEEh ?", balik si Shodik.
"Aha, apa aja.. Kalo aku sih, yang penting minumnya mantap..", jawab Dyong malas.
"Kalau begitu, Sate Sapi 1 Porsi dan Sate Babi 1 Porsi plus nasi putih 2 piring.."
.................................................................................
" Busyet juga nih si Arab. Masa iya makan Babi juga ?! Dasar Arab linglung..", pikir Si Dyong sambil menikmati teguk demi teguk Bir Bintang yang berlimpah didepannya. Sementara si Shodiq sekali-kali menghirup straw yang terpancang dalam botol Fanta Strawbery yang dipesannya. Ia mengeluhkan perihal pertunangannya dengan seorang kerabat ayahnya yang tinggal di Surabaya. "Waah, brEkElhE juga nih urusan. Masa iya aku mau ditunangkan dengan seorang gadis yang tidak kucinta ?!"..

Setelah Bir Bintang sudah "menguap" 2 botol, akhirnya sate pesanan mereka dihidangkan juga. Dua porsi sate panas mengepul membangkitkan selera keduanya.
"Mana sate babinya ?", tanya Shodiq.
"Niki, pak..", jawab Waitress dengan logat Balinya yang kental.
"O ya, berikan sama mas itu..", kata Shodiq sambil menunjuk Dyong.
"Ha ?!!.. aku tidak makan Babi, Diqq !", sergah Dyong terkejut.
"Lho, emangnya kenapa ?"
"Aku khan Orang Islam seperti kamu juga !"
"Iyyaa, aku tahu.. tapi kamu suka minum Khamr juga, khan ?"
"Iya memang, ..tapi Babi khan Haram..", tangkis si Dyong.
"Wee.. mana yang lebih haram Babi atau Alkohol ?"
"............... ??"
"Dimana ada dalil yang mengatakan jika Babi lebih haram dari pada minuman keras ?", berondong si Shodiq... "Makanya, jika kau sudah meminum minuman keras, maka makan pulalah daging babi, anjing, kucing atau yang lainnya. Lakukan pula perbuatan haram lainnya. Jangan setengah-setengah melakukannya.. "
.................................................................................................

Pengalaman kecil tapi sangat bermakna bagi Dyong. Secercah sinar mulai menyala kembali dalam ruang hatinya yang selama ini gelap gulita. Rasa takut dan segan melakukan dosa sedikit demi sedikit mulai timbul di benaknya yang berambut tebal itu.

Hingga dalam suatu kesempatan, ia mengikuti sebuah pengajian Agama Islam yang diselenggarakan keluarga besar Shodiq. Ketika tiba pada sesi acara tanya jawab, Dyong yang nyelEnEh itu mengajukan pertanyaan. "Pak Udstaz yang terhormat, apakah sebabnya Tuak Manis itu halal, sementara Tuak Pahit itu haram ? Padahal, keduanya keluar dari batang pohon yang sama..". Sang Udstaz menjawab : " jawabannya sama halnya dengan sesuatu yang keluar dari lubang pantat bebek. Telur yang keluar dari lubang itu halal dimakan, sementara yang lainnya (Tai) yang juga keluar dari lubang yang sama, haram dimakan. Nah.. pilih yang mana ?" .. Subhanallah, Si Dyong kini tidak cekik botol lagi...

Wallahualam Bissawwab...

Ana' OgiE, Sejauh Layarnya Terkembang

Ksatria Makassar, menantang badai ! (bag. 4)


Perang Terakhir Sang Ksatria (1)


SE'rE, sE'rEji Batara baulE
KupattanjEngang sarEngku
Barang kubuntulu sarEng mabaji
Allo ri bokoku ...

Hanya satu, kepada satu Tuhan jualah
Kupasrahkan segala nasibku
Kiranya kutemui jua takdir baik
Kelak dihari setelah matiku.. (syair Makassar)

Siri'Emi rionroang ri lino
Utettong ri ade'E
Jagaiangnami siri'ta
Naiya siri'E,
Sunge' naranreng
Nyawa nakira-kira

Karena "Siri" maka kita hidup di dunia
Aku setia nan teguh pada nilai adat
Segalanya demi menjaga harga diri
Sesungguhnya "siri" itu,
Jiwa imbalannya
Nyawa taruhannya (syair Bugis)

..............................................................................................

Ayuthia, pusat Kerajaan Siam pada abad XVII. Sebuah kota pelabuhan yang ramai dihuni berbagai bangsa yang memiliki kantor perwakilannya (Konsulat) masing-masing. Adalah sebuah kesuksesan besar bagi seorang Phra Narai, prinsip keterbukaannya terhadap bangsa-bangsa Eropa dan Asia lainnya tidak sedikitpun mempengaruhi kedaulatannya sebagai satu-satunya penguasa Siam. Namun perhatiannya yang banyak tercurah pada masalah politik luar negeri itu membuatnya lalai dalam hal stabilitas politik dalam negerinya sendiri.

Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa Perdana Menteri Kerajaan Siam pada masa itu adalah seorang Eropa, yakni Constance Phaulkon. Menilik situasinya, maka kelompok bangsa-bangsa Asia yang terdiri dari orang Melayu (Minangkabau), Champa dan Makassar yang sudah berada di negeri tersebut sebelum Daeng MangallE, merasa terpinggirkan. Maka timbullah rasa tidak puas yang bermula pada komunitas Bangsa Melayu yang menular pula pada kelompok orang-orang Champa. Akhirnya dibentuklah sebuah persekutuan pemberontakan yang dipelopori oleh pemuka masyarakat Melayu. Mereka mengajak para bangsa-bangsa Asia yang beragama Islam lainnya untuk bergabung dengan gerakan itu. Sebuah gerakan makar menggulingkan Raja Phra Narai.

Adapun halnya dengan Daeng MangallE sendiri, pejabat istana inipun tidak luput dari ajakan itu. Diperhadapkanlah beliau dengan situasi politik pemerintahan Phra Narai pada masa itu, dimana para komunitas Bangsa Eropa lebih dominan daripada para perantau Asia sendiri. Terlebih-lebih jika menyangkut alasan "Ukhuwah Islam" (Persaudaraan Islam), maka Daeng MangallE' sendiri mau tidak mau, terpaksa ikut pula mendukung persekutuan itu. Sebagaimana diketahui, bahwa Agama adalah menempati peringkat teratas dalam lembaga "Siri". Sesuatu yang mutlak dijunjung tinggi diatas segalanya.

Pada tahun 1682, terjadilah pemberontakan orang-orang Melayu tersebut. Daeng MangallE' beserta lasykar Makassarnya ikut pula terlibat dalam gerakan itu. Namun karena gerakan itu tidak terkoordinasi dengan baik, akhirnya pemberontakan itu berhasil dipadamkan. Phra Narai adalah seorang penguasa yang pemurah. Kaum pemberontak itu diampuninya tanpa persyaratan khusus yang mengikat, asal berjanji tidak mengulanginya lagi.

Adapun halnya dengan Daeng MangallE, ia merasa tidak ada muka lagi untuk kembali menduduki jabatannya sebagai "Docja Pacdi". Beliau dan pengawal pribadinya tidak pernah lagi memunculkan diri di Istana. Sesuatu yang dapat dimaklumi, mengingat jika tindakannya inipun adalah hal yang sangat disayangkan. Dari semua sumber yang ditulis dan diulas oleh para sejarawan, baik Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH, Dr. H. Wahyuddin, M.S, Zainuddin Tika dan lainnya, menyangkut peristiwa keterlibatan DaEng MangallE dalam pemberontakan ini, semuanya mengatakan "sayang, dia sampai terbujuk terbujuk...".Orang tua-tua Bugis Makassar senantiasa berpesan, bahwa : Banna waE cekkE'nami tauwE pawErEng, Tengmangkingni risolangi.. (Walaupun cuma segelas air dingin yang diberikannya dengan ikhlas, maka pantanglah ia dicelakakan..). Pepatah Melayu mengatakan: Ada ubi ada talas, ada budi ada balas.. pantang air susu dibalas air tuba..

Suasana di perkampungan Makassar mulai tidak tenang. Walaupun sudah diberi ampunan oleh raja, namun mereka tetap merasa was-was. Akhirnya dalam bulan Pebruari 1686, masyarakat Melayu menghimpun lasykarnya sebanyak 2000 orang. Mereka beserta orang-orang Champa mengajak Daeng MangallE beserta komunitas Makassarnya untuk kembali mengadakan pemberontakan. Gerakan kali ini didukung penuh oleh seorang Pangeran, adik tiri Raja Phra Narai sendiri. Ia adalah seorang tokoh yang berambisi untuk merebut tahta kakaknya. Melihat upaya pemberontakan orang-orang Melayu, Champa dan Makassar, maka dipandangnya gabungan itu sebagai sebuah kekuatan yang memungkinkan tercapainya ambisi pribadinya tersebut. Dibujuknya pemuka Masyarakat ketiga bangsa itu dengan janji bahwa iapun bersedia memeluk Agama Islam sekiranya gerakan itu kelak berhasil. Maka terbentuklah persekutuan itu yang didukung pula sepenuhnya oleh Daeng MangallE. Bahkan lebih jauh lagi, Kampung Makassar dijadikan sebagai basis utama pergerakan makar itu.

Dalam perundingan yang diadakan di Kampung Makassar, mereka menetapkan bahwa aksi kudeta dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 15 Agustus 1686, jam 11.00 malam. Rencana penyerangan terhadap istana serta membunuh Phra Narai dilakukan pada saat Raja kembali dari perjalanannya ke kota Loburi. Namun rencana gerakan itu akhirnya bocor juga. Pihak istana mengatur penjagaan ketat yang terdiri dari gabungan 10.000 personel pasukan kerajaan dan perwakilan bangsa-bangsa Eropa pada setiap sudut kota. Bahkan kini mereka sedang bersiap-siap melakukan penumpasan terlebih dahulu terhadap pemberontakan itu. Maka gagallah rencana kudeta itu.

Melalui Perdana Menteri Constance Phaulkon, Raja Phra Narai mengeluarkan ultimatum yang disampaikan kepada para pemuka masyarakat yang memberontak itu. Dalam waktu 4 hari, mereka harus datang ke istana untuk mengakui kesalahannya serta memberitahukan nama-nama anggota komplotan lainnya. Jika tidak, mereka beserta segenap warga masyarakatnya dijatuhi hukuman penyiksaan yang mengerikan !. Maka sebagian orang Melayu dan Champa datang ke Pichilok, yakni tempat peristirahatan Raja Phra Narai di luar kota Ayuthia. Mereka memohon pengampunan seraya menyampaikan daftar nama para tokoh masyarakat Islam lainnya yang terlibat.

Kini tinggallah Daeng MangallE dan segenap penduduk Kampung Makassar menunggu nasib.
SE'rE, sE'rEji Batara baulE
KupattanjEngang sarEngku
Barang kubuntulu sarEng mabaji
Allo ri bokoku ...

Hanya satu, kepada satu Tuhan jualah
Kupasrahkan segala nasibku
Kiranya kutemui jua takdir baik
Kelak dihari setelah matiku..
Kiranya seperti itulah yang mereka alami saat itu. 4 hari yang telah diultimatumkan Sang Raja telah lewat. Kiranya tiada lain yang ditunggu kini, selain kematian. Akhir hidup yang diharap semoga terhormat jua adanya.

Sebelum mengambil tindakan tegas, Phra Narai masih memberi kebijakan dengan mengirim utusan kepada Daeng MangallE yang menghimbaunya untuk segera menyerah serta memberikan pula nama-nama anggota komplotan makar lainnya. Seraya membusungkan dada, Daeng MangallE bersumpah atas nama kehormatan dirinya sebagai seorang Pangeran Makassar, bahwa ia tidak akan menyerahkan nama-nama para sekutunya yang bersalah tersebut. Adalah pantang bagi seorang Makassar untuk melanggar prinsip "PaccE" (Solidaritas). Mereka memilih mati terhormat dari pada menghianati teman seperjuangannya. Beliau mengemukakan pada utusan itu mengenai "Manifestasi Siri" bagi seorang Ksatria Makassar untuk merendahkan diri dihadapan seorang Raja yang hendak dimusuhinya. Dikatakannya pula bahwa, sebuah rahasia yang dipercayakan terhadap seorang Makassar senantiasa dibawanya hingga ke liang lahatnya.

Lebih lanjut, Daeng MangallE mengatakan pula kepada utusan itu mengenai niat baik Raja Phra Narai, bahwa : "Saya harus katakan bahwa saya tidak mempercayainya sedikitpun, karena sekarang ini Perdana Menteri ialah seorang Perancis dan antara saya dan dia ada saling benci dengan alasan perbedaan agama..". Akibat jawaban itu, Kampung Makassar dikepung oleh Pasukan Kerajaan. Setelah berjalan selama 1 bulan, Phra Narai mulai kehilangan kesabaran. Akhirnya baginda memutuskan untuk menggunakan kekuatan militer sepenuhnya untuk menumpas habis orang-orang Makassar yang keras kepala itu. (Prof. Dr. H. Andi Mattulada, Opcit hal. 120).

Mengetahui niat Raja Siam tersebut, Deng MangallE beserta segenap penduduk mempersiapkan pula segala sesuatunya. Bagaimanapun, mereka adalah para mantan lasykar Makassar yang berpengalaman pada banyak peperangan sebelumnya. Sejak dari Makassar, Banten hingga di Mataram sampai di Jawa Timur. Maka terjadilah ketegangan diantara kedua belah pihak.

Ditengah situasi tegang yang memanas itu, tibalah sebuah kapal dagang dari Makassar. Mereka membawa barang dagangan dan budak serta bingkisan hadiah dari Sombayya Gowa untuk disampaikan kepada Daeng MangallE. Namun rupanya bingkisan itu tak disampaikan pula, mengingat situasi Kampung Makassar yang sedang dikepung oleh Pasukan Kerajaan. Setelah barang dagangannya habis terjual, Nakhoda kapal yang berawak 53 personel itu turun menemui Perdana Menteri Constance Phaulkon. Ia meminta pas jalan seraya menjelaskan jika mereka tidak tahu menahu perihal pemberontakan yang melibatkan Daeng MangallE. Maka Perdana Menteri memberinya pas jalan yang diminta.

Setelah Nakhoda beserta pengawalnya meninggalkan gedung Perdana Menteri, Phaulkon mengeluarkan perintah rahasia kepada Komandan Kapal Patroli Kerajaan Siam, yakni : Captain Coates, seorang Inggris. Perintah rahasia itu bermaksud agar mencegat Kapal Makassar itu karena dikhawatirkan mereka bergabung dengan para pemberontak di Kampung Makassar.

Diberitakan pada buku memoar Laksamana Forbin yang ketika itu masih berpangkat kapten, dimana beliau adalah Komandan Benteng Bangkok. Bahwa pencegatan dan penembakan kapal Makassar itu semula direncanakan ketika mereka keluar di penghujung sungai Menam yang membelah Kota Ayuthia. Mereka telah mempersiapkan alasan, bahwa penembakan itu terjadi karena Kapal Makassar itu menolak berhenti ketika dimintai pas jalan. Namun karena dikhawatirkan pula terjadi tembak menembak meriam yang dapat mengenai Kantor Dagang VoC yang berada disekitar tempat itu, maka kapal mereka dibiarkan keluar.

Setelah kapal itu berlalu, pesan berantai dengan segera disampaikan kepada Kapten Forbin yang berada pada benteng di ujung muara sungai Menam. Komandan Benteng itu diperintahkan agar menahan kapal itu dengan merentangkan rantai besar yang selama ini berfungsi sebagai  portal. Maka diberilah tanda agar kapal itu berhenti dan merapat di pelabuhan pemeriksaan.


(bersambung ke bag. selanjutnya)

Rabu, 15 Desember 2010

Ana' OgiE, Sejauh Layarnya Terkembang


Ksatria Makassar, menantang badai ! (bag.3)

Siam di masa lalu, Thailand di masa kini.  Sebuah bangsa Asia Tenggara yang memiliki seni budaya paling maju pada jamannya. Kuil Angkor Wat adalah salahsatu bukti kebesarannya, berdiri teguh menjulang ke angkasa hingga pada hari ini.

Negeri inilah yang dituju DaEng MangallE sekeluarga beserta pengikutnya yang terdiri dari 60 keluarga. Dr. Crhistian Pelras menguraikan riwayat kepahlawanan ini berdasarkan buku yang ditulis oleh Gervaise dan buku memoir Laksamana Forbin, seorang berkebangsaan Perancis pula yang menjabat sebagai Komandan Loji Pertahanan dalam Benteng Bangkok pada penghujung abad XVII.
……………………………………………………………………………………………………………….

Sang Docja Pacdi Kerajaan Siam

Negeri besar yang juga dijuluki sebagai Negeri Gajah Putih dan Negeri Seribu Pagoda ini tak pernah dijajah oleh bangsa Asing. Kerajaan berdaulat yang memberi  keleluasaan terhadap seluruh bangsa yang mau berdagang, asal mau mengikuti aturan yang ditetapkan Raja Siam, Phra Narai yang agung. Baginda menggariskan kewajiban kepada semua perwakilan bangsa asing yang menetap di negeri itu untuk ikut berperang membantu pasukan kerajaan sewaktu-waktu dibutuhkan. Maka ramailah negeri itu ditempati kantor-kantor perwakilan dagang berbagai bangsa, diantaranya : Portugis, Perancis, Belanda, Inggris, Jepang, dll.

 Phra Narai adalah seorang Raja yang berpikiran maju. Baginda memiliki visi yang jauh ke depan sehingga amat memandang perlu untuk membuka segenap pintu Kerajaan Siam terhadap segala jenis budaya luar,  yang nantinya akan ikut memahsyurkan Kerajaan itu pada dunia luar. Kebijakan itu dimulai pada struktur pejabat lingkungan istana sendiri. Kerajaan Siam pernah mengangkat seorang bangsa Yunani bernama Constantino Hierachi sebagai penasehat Raja.

Selain tinjauan baginda yang amat maju tersebut, Phra Narai sangat berkepentingan untuk memberdayakan kekuatan bangsa-bangsa asing tersebut untuk memperkuat kedudukannya sebagai raja Siam.  Kondisi politik dalam lingkungan keluarga Kerajaan Siam pada masa itu penuh dengan intrik dan persekongkolan antar para pangeran yang sangat rawan kudeta. Raja Phra Narai sendiri adalah ahli waris dari pendahulunya yang sukses merebut tahta dari raja sebelumnya.  Belum pula perhubungan politik bilateral yang sering mengalami ketegangan dengan Kerajaan-kerajaan tetangganya seperti Myanmar dan lainnya, semua itu memerlukan pemberdayaan kekuatan yang didapatkan dari berbagai elemen disertai perhitungan matang pula. Jangan sampai kekuatan yang dipupuk itu akan menjadi lawan dikemudian hari pula.

Daeng MangallE beserta rombongan tiba di Ayuthia (Ayathaya) dalam tahun 1674. Raja Phra Narai menyambutnya dengan hangat. Baginda cukup banyak mengetahui, berdasarkan informasi dari bangsa-bangsa Eropa perihal kepahlawanan orang-orang Bugis Makassar yang terkenal gigih itu.  Terhadap sosok seorang Daeng MangallE, baginda telah mengetahuinya pula dari cerita orang-orang Bugis Makassar dan Banten yang sebelumnya sudah menetap di Negeri itu, bahwa beliau adalah seorang pahlawan Makassar yang berpengalaman pada banyak perang besar di Sulawesi dan Jawa. Memberdayakan orang yang berkemampuan seperti ini, niscaya kedudukannya sebagai seorang besar Siam akan semakin kokoh, demikian pemikiran Baginda. Maka Raja yang pemurah itu menganugerahkan sebuah kawasan perkampungan  yang mereka namai pula sebagai : Kampung Makassar

Adapun halnya dengan Daeng MangallE sendiri, beliau diangkat sebagai “Docja Pacdi” sebuah jabatan setingkat menteri yang mengurusi keuangan Negara. Tidak lama setelah menerima anugerah jabatan itu, lahirlah putera kedua Daeng MangallE yang diberinya nama : Daeng Tulolo.  Kini Daeng MangallE telah memiliki 2 Putera, yakni DaEng Ruru dan DaEng Tulolo. DaEng Ruru yang konon nama aslinya sebagai DaEng Rurung lahir di Kakaper, Jawa Timur dalam tahun 1672 (menurut H.D. Mangemba).

Sang Docja Pacdi Daeng MangallE melaksanakan tugasnya sebagai bendaharawan Kerajaan Siam dengan baik. Setelah beberapa tahun memangku jabatan tersebut, terbukalah perhubungan baik dalam bentuk perdagangan antara Kerajaan Siam dengan Kerajaan Gowa. Somba Gowa yang pada masa itu adalah I Mappasossong Daeng MangEwai KaraEng BisEi (menurut Prof. MR. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH) telah menjalin hubungan baik dengan Daeng MangallE yang memperhubungkannya pula dengan Phra Narai. Maka ramai pulalah perahu dagang Makassar berlabuh di Ayuthia, Siam.

Kemajuan demi kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Siam dalam waktu relativ  singkat masa tersebut, membuat Phra Narai semakin berambisi untuk mengukuhkan negerinya sebagai suatu poros kekuatan baru di kawasan Asia Tenggara. Baginda ingin mengimbangi pengaruh Belanda yang menguasai samudera Hindia. Baginda sadar, bahwa memenuhi ambisinya tersebut haruslah melalui jalinan persahabatan (Kemitraan) dengan salah satu Kerajaan Besar lainnya di Eropa. Maka dikirimnyalah sebuah delegasi ke Raja James II di Inggris, namun tidak membuahkan hasil sebagaimana diharapkannya. 

Phra Narai kemudian mengirimkan delegasi persahabatan ke Raja Louis XIV, Kaisar Matahari Perancis. Delegasi pertama itu mengalami kecelakaan laut dan tenggelam di perairan Madagaskar. Maka dikirimnya pula delegasi berikutnya yang akhirnya mendapat sambutan yang sepantasnya oleh Kerajaan Perancis. Louis XIV mengutus delegasi balasan pula pada tanggal 1 Maret 1687 yang terdiri dari 6 Armada Perang yang memuat satu detasemen militer yang terdiri dari  636 personel pasukan.  Jalinan persahabatan dengan salahsatu kekuatan besar Eropa tersebut sangat diharapkan Phra Narai sehingga baginda mengangkat seorang Perancis  bernama Constance Phaulkon sebagai Perdana Menteri Kerajaan Siam, jauh sebelum perutusan Raja Louis XIV itu  tiba di Ayuthia.

Wallahualam Bissawab

(bersambung ke bag. Selanjutnya)