Ana' Ogi'E, Sejauh Layarnya Terkembang...
Andi Oddang
Setelah merampunkan tulisan "Belawa, Negeri di Persimpangan Sejarah", tanpa diduga Blog sederhana ini mendapatkan kunjungan dari Adindaku ANDI SUWAIDI dan Ibu RAJA RACHMAWATI yang teramat saya muliakan. Setelah ditelusuri, mereka sesungguhnya kerabat kami yang lahir dan tumbuh di Tanjung Balai Karimun, Riau. Adinda Andi Suwaidi merupakan Generasi ke-VI dari La Pawellangi Petta PajumpEroE Arung Matoa Wajo ke-39 yang juga pada nazabnya yang lain adalah termasuk dalam rumpun Keluarga Besar La TEngko Petta Manciji'E ri Wajo (Leluhur ke-IV Penulis). Kemudian Ibu Raja Rachmawati adalah keturunan We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu ke-24/26 (Leluhur ke-VIII Penulis), "Ratu Agung" yang menurunkan salahsatu dari tangkai generasinya yang ke-III, yakni : OPU LIMA (Lima Opu Bersaudara) yang termahsyur menjadi tunas para Sultan di Malaka, Selangor, Johor, Mempawah, Pegatan, Linggih serta Yam Tuan Muda Riau dari generasi ke generasi.
Penulis sesungguhnya belum pernah bertemu rupa dengan kedua kerabat (Sompunglolo) ini. Bahkan juga belum pernah saling memperdengarkan suara lewat telepon. Namun, mereka terasa begitu dekat seakan darah yang mengalir melalui segenap pembuluh darah pada raganya adalah darahku jua. Darah yang sesungguhnya menyatu dalam diri leluhur kami.
Pertemuan lewat tulisan di dunia maya inilah yang menggelitik rasa keinginantahuanku untuk menilik lebih jauh tentang hal ihwal para Tokoh Bugis-Makassar di masa lalu yang menebarkan tunas keturunannya di Negeri Rantau. Memenuhi panggilan jiwa inilah sehingga beberapa pekerjaanku di kantor sempat terbengkalai selama beberapa hari. Pasalnya, penulis terpaksa menjelmakan diri sebagai "tikus gudang", membongkar kembali buku-buku dan copian artikel yang sempat terlupakan.
Maka tulisan ini mulai saya susun jua, buah pemikiran dan penelitian para Budayawan dan Sejarawan terkemuka yang selama ini menjadi panutanku, diantaranya : Prof. Dr. H. Andi Mattulada, Prof. MR. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH dan para Sejarawan lainnya yang nantinya akan saya lampirkan pada Catatan Kaki pada bagian akhir tulisan ini.
Akhirnya tiada lain yang dapat saya haturkan, semoga kiranya kumpulan catatan ini dapat menjadi perekat Silaturrahmi yang mengantarkan kita sekalin menuju Ridlo Allah SWT. Maka perkenankan kuhaturkan salam Takzim dan hormatku yang sedalam-dalamnya kepada,:
*Adinda Andi Suwaidi Sekeluarga di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau,
*Ibu Raja Rachmawati Sekeluarga di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau,
*Ibu Noor Lizah Nurdin Sekeluarga di Riau,
*Saudara kami Yang Mulia YB. Dato' Seri Aziem di Malaysia,
*Sempogiku Personel Blogger BUGIS BUKAN PATI DI SABAH, Malaysia
*Teman Facebookerku Hartini Marish di Malaysia...
Dengan ucapan : Ikatan Aqidah dan Budaya sesungguhnya tidaklah dibatasi oleh Negara dan Waktu..
Wassalam...
Pendahuluan
Pura ba'bara sompe'ku..
Pura tangkisi golingku..
Kulebbirengngi telleng natoaliE !
(Lontara Andi PallogE Petta Naba)
Telah terkembang layarku...
Telah terikat kemudiku..
Kumemilih tenggelam dari pada kembali !
(Lontara Andi PallogE Petta Naba)
..........................................................................................
" Bangsa Perantau", kiranya itulah julukan yang pas bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang terdiri dari 4 suku utama, merupakan induk dari beberapa suku lainnya. Mereka adalah : Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Namun secara umum di Negeri Rantau mereka lebih dikenal sebagai "Bugis Makassar".
Melakukan perjalanan jauh melintasi samudera nan luas, itulah salahsatu topik utama yang mendominasi alur kisah dalam kitab sastra Bugis kuno, yakni : I La Galigo (Epos terpanjang di dunia yang terdiri dari kurang lebih 8000 halaman Folio yang dapat ditemukan dan masih banyak lagi bagian lainnya yang belum terdata). Kisahnya bermula pada perjalanan La Toge'langi Batara Guru yang diturunkan dari Botinglangi (khayangan) ke Attawareng (Bumi), Perlawatan La Toge'langi Batara Guru ke Peretiwi (Negeri Bawah), Perlawatan La Tiuleng Batara Lattu' (putera La Tiuleng) ke Negeri Tompotikka, Pengembaraan Sawerigading (putera La Tiuleng, tokoh utama Epos I La Galigo) ke berbagai Negeri seberang lautan, Perlawatan Sawerigading ke Marapettang (Negeri Arwah), Perlawatan duta pernikahan Sawerigading ke Negeri Cina (Tana Ugi), Perlawatan penaklukan I La Galigo (putera Sawerigading) ke Pujananting, ............ perjalanan ekspedisi lainnya oleh para cucu Sawerigading hingga babak perjalanan terakhir Sawerigading dan keluarganya kembali ke Negeri Luwu "tinrelle'" (turun) ke Uri Liung (Negeri Dunia Bawah).
Bagi siapapun yang pernah membaca rangkaian Trilogy : Een Episode Uit Het I La Galigo Epos, Bijdragen Tot De Taal, Land en Volkenkinde, 117:363-383 (R.A.Kern-Leiden, 1961) atau I La Galigo, Cerita Bugis Kuno (R.A.Kern, Gajah Mada University Press-Yogyakarta, Cet. II-1993), kemudian membaca atau menonton film Trilogy : The Lord Of The Rings (The LOTR) karya John Ronald Revel Tolkien yang terbit pertamakalinya pada tahun 1937 (Judul : The Hobbiet), pastilah akan beranggapan jika J.R.R. Tolkien telah membaca beberapa episode I La Galigo sebelum mendapatkan ide imajinatif berkenaan flot dan karakter pada novel klasiknya yang mendunia tersebut. Anggapan ini disebabkan oleh banyaknya persamaan karakter pada tokoh-tokohnya ditambah pula plot dan setting cerita yang sangat mirip. Maka dalam hal ini, penulis sempat berseloroh bahwa bahkan mitologinya ikut pula merantau kemana-mana.
Ketika membuka catatan lama tentang perantauan orang Bugis-Makassar pada abad XVII, maka sebagian kalangan berpendapat jika motivasi perantauan itu disebabkan oleh "pengalaman pahit" yang dialaminya di Negeri sendiri, sehingga mereka bermaksud "membuang diri" beserta kepedihannya di Negeri Rantau yang jauh. Namun jika istilah "perantauan" ini dipahami sebagai "perjalanan / perlawatan ke Luar Negeri" (Imigrasi), maka pendapat itu ada benarnya. Perjanjian Bungaya (Cappayya ri Bungaya) pada tanggal 18 Nopember 1967 yang merupakan "gencatan senjata" antara pihak Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) beserta sekutunya (Luwu dan Wajo) dengan VOC bersama sekutunya (La Tenri Tatta Arung Palakka yang memimpin aliansi pasukan Bone dan Soppeng), dipahami beberapa petinggi kerajaan Makassar dan sekutunya sebagai pernyataan kalah perang yang tidak mungkin diterimanya. Walaupun hal ini ditempuh oleh I Mallombassi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin Sombayya Gowa dengan alasan demi menyelamatkan rakyat yang kian menderita. "Keberanian adalah suatu keutamaan, namun segalanya memerlukan kearifan dalam berpikir...", demikian ujar baginda. Namun kekecewaan petinggi lainnya yang tidak dapat menerima perjanjian itu tidak tertahankan jua. Dengan tidak mengurangi takzim dan sembah sujudnya pada Sang Sultan, mereka pamit untuk membuka front pertempuran melawan VOC di kawasan lain di luar wilayah imperium Kerajaan Makassar.
Kembali kepada topik kajian, yakni penjelajahan samudera para tokoh Bugis-Makassar sejauh layarnya terkembang. Pada era tahun 90-an, seorang pengusaha Jepang yang berkunjung ke Candi Borobudur (Jawa Tengah) sangat tertarik dengan relief bergambar Perahu pada candi Budha yang mengagumkan itu. Ia mengambil gambar relief tersebut dengan camera, lalu mencari informasi dimana kiranya dapat dipesan untuk pembuatannya. Sesuai petunjuk yang didapatnya, maka orang Jepang itu mengunjungi Pulau Sapudi (Madura), sentra pembuatan perahu tradisional di Jawa Timur. Namun tidak seorangpun di tempat tersebut yang mengenal jenis perahu yang tergambar pada relief candi Borobudur serta tidak bisa membuatnya sebagaimana dipesankan oleh orang Jepang itu. Maka kembalilah ia ke Jepang dengan rasa penasaran.
Berselang beberapa waktu setelah di Jepang, ia mendapatkan informasi tentang keberadaan sebuah masyarakat ahli pembuat perahu di Sulawesi Selatan, Indonesia. Didorong oleh minatnya yang tinggi tentang Budaya Maritim, akhirnya ia segera berkunjung kembali ke Indonesia. Didatanginyalah tempat sebagaimana tersebut sesuai informasi yang didapatnya, tepatnya di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba. Diluar dugaan, reaksi Pembuat Perahu yang melihat gambar perahu yang dipesan sesuai dengan pahatan relief itu biasa-biasa saja. Menurutnya, perahu tersebut adalah salahsatu jenis perahu Bugis-Makassar yang sejak dulu dikenal dengan nama : Lambo'...
Memahami "perantauan" sebagai sebuah tradisi bagi masyarakat Sulawesi Selatan, maka tradisi tersebut mutlak mestilah diimbangi dengan kemampuan teknologi pembuatan dan perahu yang handal pula. Selain itu, kemampuan navigasi dan keperkasaan dalam perang laut juga adalah suatu keunggulan yang harus dimiliki. Maka dalam hal ini, Pieter Van Dam (seorang penulis VOC pada abad ke-XVII) menguraikan dalam bukunya, "Beschrijving van de Oost-Indische Compagnie 2de Boek 5de Capittel" (Uraian Kompeni Hindia Timur Buku ke2 Bab ke5), bahwa : "Kerajaan Makassar, terletak di pulau besar Celebes, sebelum ini sangatlah termahsyur. Pertama karena perniagaannya, ........ selain dari pada itu karena keunggulannya berperang yang sangat hebat". Pada bagian lain bukunya tersebut, ia mengatakan : "... orang-orang arif yang mengenal keadaan Makassar, menganggap adalah suatu yang mustahil, pun orang-orang Muslim dan kafir dimana saja di kawasan Timur tidak dapat percaya, bahwa orang-orang Belanda Akan dapat mengalahkan Makassar, bahkan dunia akan kiamat sebelum Makassar terkalahkan. Oleh karena orang Makassar terkenal sebagai yang paling berani, paling unggul berperang di seluruh Hindia, suatu bangsa tak ada taranya dan sanggup mengerahkan lasykar ratusan ribu jumlahnya, yang bersenjatakan meriam dan bedil berpeluru berbisa serta dapat menembak sekeping uang kelip dengan tepat pada jarak 30 langkah." (terjemahan Sejarawan La Side' Daeng Tapala, Gowa , Kekuatan Maritim Kawasan Timur Nusantara Abad ke-16 dan 17, Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan, YKSST-1977).
Penilaian yang berkesan sebagai "sanjungan" dari penulis Belanda tersebut, memang sangatlah beralasan. Dalam kurun waktu tahun 1641, Kerajaan Gowa adalah merupakan suatu Imperium yang daerah pengaruhnya meliputi kawasan darat dan laut yang luasnya lebih dari separuh kawasan Indonesia pada masa ini. Terbentang mulai dari Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) disebelah barat sampai di Dobo (Maluku Tenggara) disebelah timur, memutar ke Kepulauan Sangir (Sulawesi Utara) di sebelah utara, membentang lurus ke selatan hingga di MarEgE (Australia Utara). Tidak kurang dari 70 Kerajaan besar dan kecil yang mengaku berlindung dibawah naungan "Laklang SipuwEa" (Payung Kebesaran Kerajaan Gowa).
Kebesaran imperium Gowa sebagai penguasa lautan yang mulai dirintis sejak tahun 1511 pada masa pemerintahan DaEng MatanrE KaraEng Tumaparrisi' Kallongna Sombayya Gowa ke-IX , kiranya inilah yang dapat dijadikan sebagai titik awal penelusuran jejak tokoh-tokoh Bugis-Makassar yang melakukan perjalanan jauh hingga menorehkan sejarahnya di Negeri Rantau.
1. Ekspedisi Perairan Timur
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa kemajuan dan perkembangan pesat yang menakjubkan dapat dicapai oleh Kerajaan Gowa sebagai Inperium pada kurun abad XVI-XVII, terutama berkat kekuatan Angkatan Lautnya yang besar. Dapat dibayangkan pada masa itu, apabila Kerajaan Gowa sedang berperang, lautan seolah menjadi hutan yang penuh dedaunan oleh layar kapal-kapal Phinisi mereka. Kapal-kapal itu datang serempak dalam jumlah ratusan, atau bahkan ada kalanya ribuan buah jika setiap kapal Phinisi itu dikawal oleh puluhan perahu Jung berlayar lebar.
Tertulis dalam Lontara Bilang (catatan harian Raja-Raja Gowa-Tallo') kepunyaan Baginda Andi Makkaraka Arung BEttEngpola yang diterjemahkan dan dipelajari oleh Sejarawan/Budayawan La Side' Daeng Tapala, menguraikan secara rinci ukuran-ukuran armada Makassar tersebut , yakni : Rata-rata sepanjang 17,1/2 meter dengan lebar perut 3 sampai 5 meter. Armada kenaikan Raja dan Laksamana umumnya berbentuk GallE' (GalEi), pendayungnya 200 smpai 400 orang, bersusun 3 sampai 4 tingkat.
Selanjutnya pada Lontara' Bilang disebutkan, I Manuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid Somba Gowa ke-XV (1639-1653) dalam rangka persiapan menyerbu Kerajaan Buton (Sulawesi Tenggara) dan Timor pada tahun 1640, baginda memerintahkan membuat GallE sebanyak 9 buah yang diberinya nama:
1. I GallE Dondona RallE Campaga, ukuran panjang 20 depa (35 m),
2. I GallE I Nyannyi' Sangguk, ukuran panjang 15 depa (27 m),
3. I GallE Mangkin Naiya, ukuran panjang 15 depa (27 m),
4. I GallE ParE' Makkuling, ukuran panjang 13 depa (23 m),
5. I GallE I Kalabiu, ukuran panjang 13 depa (23 m),
6. I GallE GalElEngan, ukuran panjang 13 depa (23 m),
7. I GallE Barang MamasE, ukuran panjang 13 depa (23 m),
8. I GallE Siga, ukuran panjang 13 depa (23 m),
9. I GallE Uwangang, ukuran panjang 13 depa (23 m).
2. Perantauan Ke Barat (Tana Bare')
Antara tahun 1400 M sampai dengan 1511, Kerajaan Malaka telah berdiri dengan jayanya. Sebuah kerajaan Islam yang lebih besar daripada pendahulunya, yakni Kerajaan Pasai (Aceh) yang telah hancur akibat serangan Kerajaan Majapahit pada tahun 1360 M. Pada kurun waktu itulah sehingga Orang Arab menamai Kerajaan Malaka sebagai "Mulaqat" yang berarti tempat pertemuan para pedagang dari segala penjuru dunia (Tun Sri Lanang, Sejarah Melayu).
Diceritakan lebih lanjut, bahwa salah seorang Raja Malaka yang termasyur membesarkan Negeri itu, adalah : Sultan Mansyur Syah, Raja Malaka ke-V (1454-1477). Pada masa pemerintahannya, Malaka mencapai puncak kemegahannya sehingga dianggap sebagai masa keemasan Kerajaan Tanah Melayu. Pada masa itu pulalah, Laksamana Hang Tuah mengepalai suatu perutusan menghadap pada Raja Majapahit. Tidak lama setelah itu, Raja Majapahit mengirimkan salah seorang puterinya ke Malaka untuk dijadikan isteri oleh Sultan Mansyur Syah. Demikian pula halnya dengan Kaisar Tiongkok, mengirimkan seorang puterinya beserta segenap dayang-dayang dan inang pengasuhnya dengan maksud yang sama.
"Dari seluruh Nusantara kepulauan kita ini berduyunglah dagang santri datang ke Malaka. Ada pula dari Jawa, terutama dari Jawa Timur. Dan ada pula dari Bugis, sehingga ada pencatat sejarah yang berkata, bahwa Hang Tuah itu sendiri adalah seorang Anak Bugis .." (Prof. Dr. HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama, II-180 - Pustaka Panjimas, Jakarta-1980). Kebesaran dan kemahsyuran kerajaan inilah yang "menggoda" pikiran KaraEng Same' ri Liukang, seorang "Pangeran Petualang" yang dikatakan dari Kerajaan Makassar untuk menaklukkan Negeri itu. Francois Valentijn, seorang penulis berkebangsaan Belanda memberitakan perihal tersebut dalam sebuah buku yang diterbitkan pada tahun1726 M, berjudul : "Oud en Nieuws Ooas-Indie", bahwa : "Dat de konigen van Macassar van ouds her al bekent, vermogen, en als zoodanige vorsten onder de konigen van't Oosten beroemtwaren, blyk ons int'jaar 1420 daar Crain Samarloeka, Coning Van Macassar, vorkombt, met 200 vaartuigen na Malaeka gaane, Oom dien koning te beoerlogen ..." (bahwa Raja-Raja Makassar sejak dahulu kala terkenal hartawan dan termahsyur diantara Raja-Raja dari Timur. Ternyata pada tahun 1420, KaraEng Samarluka seorang Raja dari Makassar telah mengunjungi Malaka dengan 200 kapal layar untuk memerangi Raja disana...). Sedikit dari kutipan berbahasa Belanda tersebut diatas, barulah penulis mengetahui jika kata "beken" (terkenal) berasal dari Bahasa Belanda.
Tun Sri Lanang yang dikenal pula sebagai "Encik Amin", salah seorang penulis "Syair Perang Makassar" yang juga menulis "Sejarah Melayu", memberitakan hal serupa dengan penggambaran yang sangat hidup dalam bukunya tersebut. "... sebelum ke Malaka, Raja Mangkasar Samerluki menyerang Siam. Banyaklah rantau Siam dialahkannya, tiada ada orang yang mengeluarinya. Setelah Siam, barulah Malaka diserangnya dan mendapat perlawanan yang hebat dari Laksamana Kerajaan Malaka, Hang Tuah. Maka Samerluki pun lalu ke Pasai (Sumatera). Banyaklah jajahan Pasai yang dibinasakannya. Maka Raja Pasai menitahkan Orang Kaya Raja Kanayan mengeluari Samerluki. Maka bertemu dengan Samerluki di Teluk Perlih. Maka berperanglah kelengkapan Mangkasar dengan kelengkapan perahu Raja Kanayan., maka oleh Samerluki disuruhnya campaki sauh terbang, kena perahu Raja Kanayan lekat, maka disuruhnya putar oleh Samerluki, maka kata Raja Kanayan : Puterlah olehmu, jika dekat niscaya aku amuk dengan jenawi bertumit ini. Maka disuruh tetas oleh Samerluki, maka ditetas oranglah, maka bercerailah kedua perahu itu. Maka kata Samerluki : Berani Raja Kanayan daripada Laksamana, ... Maka Samerluki pun kembali ke Mangkasar. (Kutipan "Sejarah Melayu" oleh H.D. Mangemba, "Makassar dan Makassar"-1994)
Membaca kutipan "Sejarah Melayu" dan berita dari Valentijn tersebut diatas, terbersit dalam benak penulis sebuah "keraguan" tentang kebenaran Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sebagai Inperium yang menaklukkan kawasan Nusantara, sebagaimana tertulis pada kitab Negara Kertagama. Bahwa jika sebuah peristiwa sejarah dipahami sebagai sebuah kejadian/peristiwa yang terjadi berupa penaklukan atau perlawatan sebuah Bangsa terhadap Bangsa lainnya, mestilah dikuatkan atau dibuktikan oleh fakta-fakta berupa hasil kebudayaan pada kedua Bangsa tersebut (Menurut Arnold J. Toynbee, Bapak Ilmu Sejarah Modern). Namun sejauh ini, penulis belum pernah mendapatkan sebaris tulisan dalam Lontara manapun di Sulawesi Selatan yang diteliti dan diangkat oleh para Sejarawan yang menyatakan, bahwa : Kerajaan Makassar, Luwu dan BantaEng PERNAH menjadi wilayah taklukan Kerajaan Majapahit.
Bahkan sebaliknya, Tertulis dalam Lontara I La galigo pada episode pelayaran Sawerigading ke Cina dalam misi melamar We Cudai' DaEng ri Sompa Punna BolaE ri La TanEtE, menceritakan bahwa sebuah perutusan pelamaran dari Mancapai' (Majapahit) bertemu dengan Sawerigading dan rombongannya di tengah laut, sehingga terjadi peperangan diantara mereka. Setelah terjadi pertempuran yang sengit, maka bertekuk lututlah Sattia Bongan (Ksatria Bongan ?, penulis) alias Lompeng ri Jawa.
"Engka mopaga pakkanna maElo ri pallaga ?" (Masih adakah pahlawanmu yang bisa diadu ?), tanya Sawerigading. Menjawablah Sattia Bongan dalam sujud sembahnya, "Angikko sia Lapuang, ki raukkaju. Riakko mmiri riakkeng teppa, mutappalireng.." (Engkau wahai Tuanku, laksana angin bertiup, sedang kami tiada lain laksana daun kayu, dimana dikau bertiup, disanalah kami terdampar..". Kemudian Sawerigading bertanya lagi, "Mulala'niga cittamu, lE' ri Punna BolaE ri La TanEtE ?" (Apakah kau telah memutuskan perhatianmu pada Punna BolaE ri La TanEtE ?). Maka Sattia Bongan pun menjawabnya pula, "Mauni mangerre' ri panganranna, tudang tellEwa-lEwa ri sabalinna, napatudangngi lE' ri nawa-nawa DatuE, ri lala' mua.." (Sekalipun teguh rasa cinta ini, duduk bersanding dengan kekasih, namun jika didudukkan paduka dalam hatinya, akan diceraikan jua.."). Akhirnya, Sawerigading memberikan bantuan kapal kepada Sattia Bongan beserta pasukannya yang tersisa untuk kembali ke Mancapai'. (kutipan beberapa lembar episode Lontara I Lagaligo milik Almarhum Andi Pangeran Opu TosinilElE "Opu Pabbicara Luwu" yang sempat penulis dapatkan melalui sebuah tulisan baginda yang diketik manual).
Topik ini akan diuraikan dalam judul tersendiri pada laman "Kajian Ininnawa".
Kembali kepada topik utama laman ini, maka berita perlawatan KaraEng Samerluka (Samerluki) atau KaraEng Same' ri Liukang sejauh ini adalah informasi terbesar dan yang pertama mengenai perlawatan orang Makassar ke Negeri Melayu yang oleh orang-orang Bugis disebut sebagai "Tana Bare'". Wallahualam Bissawwab.
3. Perantauan Ke Barat (Tana Bare')
Perlawatan orang Bugis ke Pulau Sumatera yang cukup menyita perhatian adalah ekspedisi Arung Palakka ke Pariaman (Sumatera Barat) pada era pertengahan Abad XVII. Arung Palakka seorang pangeran Bugis terkemuka pada zamannya, dengan gelar lengkapnya : La Tenri Tatta DaEng SErang to Unru Petta MalampE'E Gemme'na Arung Palakka, Datu Mario ri Wawo, Sultan Sa'aduddin Mangkau' ri BonE ke -XIV Petta MatinroE ri Bontoala' , juga digelari oleh orang Belanda sebagai "De Koningh der Bougies" (Raja Bugis).
Ekspedisi perang Arung Palakka bersama para lasykar Bugisnya (Lasykar To AngkE, Batavia) ke Pariaman, tiada lain adalah memenuhi salahsatu "uji kemampuan" yang ditetapkan oleh VoC sebagai persyaratan kemitraan dalam rangka penyerbuan ke Makassar yang kelak dikenal sebagai : Perang Makassar (1666-1669). Tidak banyak yang penulis dapat uraikan pada Perang Pariaman, selain bahwa Arung Palakka beserta pasukannya telah membumi hanguskan negeri itu atas permintaan VoC. Suatu peristiwa yang sesungguhnya memilukan, tiada lain sebagai ikhtiar untuk menarik perhatian VoC agar membantunya untuk menyerbu ke Makassar yang kala itu menjajah negerinya ( Bone dan Soppeng).
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa "perjalanan melintasi samudera (Massompe') bagi orang Bugis Makassar adalah merupakan sebuah budaya. Motivasi perjalanan jauh itu dalam hal ini dikategorikan pada 4 hal, yakni : ekspedisi perdagangan, ekspedisi peperangan, ekspedisi petualangan dan ekspedisi pengembaraan.
Ekspedisi perdagangan suku bangsa Bugis Makassar ke Tanah Melayu terjadi dalam jumlah relatif besar sejak pasca kekalahan Kerajaan Makassar atas aliansi VoC dan Arung Palakka sejak ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Politik Monopoli perdagangan pada kawasan timur Indonesia yang tersirat dalam Perjanjian Bongaya, memaksa para pedagang Makassar untuk merantau jauh ke wilayah di luar kekuasaan VoC. Mereka membawa rempah-rempah yang sebelumnya dibeli secara "menyelundup" (menurut istilah VoC) dari Maluku, kemudian memperdagangkannya di Bandar Malaka yang ramai. Maka pada kisaran masa itu, sehingga terdapat "Kampung Mengkasar" yang dihuni secara turun temurun oleh orang-orang Makassar.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yang Mulia Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH sewaktu perlawatan beliau ke Negeri Pahang - Malaysia pada pertengahan tahun 1977, ditemukannya para keturunan Bugis Makassar yang waktu itu banyak diantaranya sebagai orang-orang terkemuka di Kerajaan Malaysia. Tersebutlah nama besar Tun Abdul Razak bin Dato' Husain Almarhum (Ayahanda Najib Tun Razak, PM. Kerajaan Malaysia sekarang) yang semasa hidupnya menjadi Perdana Menteri Kerajaan Malaysia yang ke-2, adalah salahsatu dari sekian banyak keturunan Bugis Makassar yang bermukim di Pahang sejak awal abad XVIII. Olehnya itu, pada perkunjungan Tun Abdul Razak ke Ujung Pandang (Makassar) pada tahun 1973, beliau dianugerahi gelar : La Tatta Ambarala DaEng Manessa, gelar yang diambil dari leluhurnya sendiri yakni : La Tatta Ambarala saudara La Tenri Dolong To LEbba'E Datu Pammana.
Nama besar lainnya yang merupakan turunan Bugis Makassar di Pahang yang juga kerabat dekat Almarhum Tun Abdul Razak Daeng Manessa, adalah : Encik Zakaria bin Hitam. Seorang Sejarawan dan Budayawan yang telah banyak menulis seputar Sastra Melayu serta Sejarah Pahang.
Nama-nama tenar yang disebutkan diatas menimbulkan rasa penasaran, siapa gerangan leluhur yang menurunkan mereka ?. Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Faris, SH menguraikannya lebih lanjut pada Kata Pengantar sekaligus merupakan sambutan beliau terhadap tulisan Encik Zakaria bin Hitam, berjudul : Hubungan Sejarah Sulawesi Selatan dengan Pahang. Tersebutlah seorang Pangeran Makassar bernama "KaraEng Aji'" (Orang Pahang menyebutnya sebagai : Keraing Aji atau Tun Tuan atau Tok Tuan). Sebagaimana diketahui, bahwa Kemaharajaan Gowa sejak didirikannya memiliki Dewan Adat yang terdiri dari 9 Raja, dikenal sebagai "BatE Salapang". Maka besar kemungkinan, bahwa KaraEng Aji adalah salah seorang Anggota Dewan BatE Salapang pada abad XVIII.
Dikisahkan pada suatu ketika, KaraEng Aji melantik seorang anak angkatnya bernama "Landrof" (Landarope' ?, penulis) sebagai pejabat penting dalam lingkungan kewenangannya. Keputusan itu, mestilah berdasarkan jika Landrof dianggap memiliki kecakapan khusus untuk jabatan itu. Maka rakyat beserta para pembesar lainnya memprotes serta menolak kebijakan tersebut, pasalnya : Anak angkat KaraEng tersebut diketahui sebagai "Anak Haram". Demi penegakan SARA' (Syariat Islam), bahwa seorang "Anak Haram" sekali-sekali tidak boleh menduduki suatu jabatan dalam kerajaan, bahkan tidak berhak mendapatkan warisan, sekalipun.
Sebagai sebuah "Pribadi Siri'", terlebih lagi jika itu melekat pada diri seorang pangeran, maka KaraEng Aji sangat terpukul dengan kenyataan itu. Keputusannya ditentang oleh rakyatnya dan pembesar-pembesarnya sendiri !. Sebuah kekecewaan yang teramat sangat, menghimpit batinnya. Maka bersama permaisuri beserta anak-anaknya beliau menghimpun segenap pengikutnya untuk pergi meninggalkan Negeri Makassar, merantau sejauh-jauhnya ke seberang lautan dan bersumpah untuk tidak kembali lagi.
Mengalami hal seperti itu, orang-orang Makassar akan berkata dalam ungkapan syair, sbb :
AnggassEng tonja labba boyo
PaccE tanaEbba lading
TEna garringku
Namalantang pa'risikku
Takunjungnga bangun turu
Nakugunciri gulingku
KuallEanna tallangnga
Natoalia
Kusoronna bisEngku
Kucampa'na sombalakku
TammamElakka
Punna tEai labuang
Artinya kira-kira, sbb:
Kunikmati tawarnya buah labu
Pedih namun tak tergores pisau
Tiada apa-apa sakit kurasakan
Namun pedihnya menusuk hingga dilubuk hati
Semula kuperturutkan arus mengalir
Kemudiku telah kutancapkan
Aku memilih tenggelam
Dari pada bersurut kembali
Kudayung perahuku laju
Kukembangkan layarku
Pantang berbelok kearah belakang
Hingga kutemukan dermaga dihadapanku
Pelayaran itu akhirnya bersua pula dengan dermaga yang ditujunya, yakni : Kota Tinggi, Johor. KaraEng Aji beserta segenap keluarga dan pengikutnya menetap beberapa lama di negeri itu, sehingga orang-orang Johor menyebutnya sebagai : Tun Tuan. Namun setelah Sultan Abdul Jalil wafat, KaraEng Aji berpindah ke Negeri Pahang dalam tahun 1722 M. Disanalah beliau beserta dengan pengikut-pengikutnya membuka sebuah kawasan pemukiman yang sebelah menyebelah di sungai Pekan. Berhubung karena negeri asal nereka dari Makassar, maka kampung itupun dinamai sebagai : Kampung Mengkasar.
Pada pemukiman yang baru itulah, KaraEng Aji bersama dengan keluarga dan pengikut-pengikutnya menjalani hidup baru, jauh dari negeri asalnya. Mereka mengembangkan budaya leluhurnya dengan baik, namun senantiasa menjunjug tinggi adat dimana kakinya berpijak. Menurut Dr. W. Linehan, bahwa KaraEng Aji yang berasal dari Negeri Makassar, negeri yang memiliki budaya menenun kain sutera yang maju, maka beliau memperbaiki cara-cara menenun kain pada masyarakat Melayu setempat. Hingga kini, cara-cara bertenun disertai motif khas itu dikenali sebagai : Kain Tenun Pahang.
Keberadaan KaraEng Aji yang disebut oleh anak cucunya sebagai Tok Tuan itu semakin dikenal di Negeri Pahang. Tok Tuan atau KaraEng Aji adalah orang saleh yang dianggap sudah mencapai derajat kesufian seorang Waliullah padanya. Maka ramailah Kampung Mengkasar dikunjungi masyarakat Pahang untuk meminta untuk belajar mengaji dan meminta petuah menyangkut berbagai hal kepada beliau. Hingga wafatnya beliau, makamnya disifatkan sebagai tempat keramat, sebagaimana dikemukakan oleh Dr. W. Linehan : "His grave in Pekan Lama is revered as a shrine.."
KaraEng Aji yang semasa hidupnya memiliki 16 orang putera dan puteri. Salah seorang diantaranya, bernama : Tok PongkEng. Beliaulah yang merupakan leluhur Tun Abdul Razak bin Dato' Husain, Perdana Menteri Kerajaan Malaysia ke-II.
....Wallahualam bissawab..
Hannibal dari Tanah Melayu (bag. 1)
.. Pergi bersama sejarahnya, kiranya itulah yang terjadi dengan Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' (Upu Tandri Burang Dahing Rilaga) dan kelima puteranya beserta dengan segenap pengikutnya. Kepergiannya meninggalkan "Tana Ugi" (Sulawesi Selatan) seakan melenyapkan diri dari belantara kesejarahan Negeri Tumpah Darahnya. Nama dan kiprahnya tidak tersebut dalam "Lontara" Negeri yang melahirkannya.
Hingga berpuluh tahun atau mungkin berselang seabad setelah wafatnya di Siantang, perihal beliau beserta dengan anak keturunannya tertulis dengan tinta emas. Lewat pena bulu angsa, seorang cicit dari puteranya menuliskan tariqh perjalanan dan hal ikhwalnya dalam sebuah kitab bertuah, yakni : Tuhfat an Nafis. Lewat suntingan Sastrawan Buya HAMKA dan pengagum kitab itu, maka tulisan kecil ini kususun bagai menjahit selembar "Layar Phinisi" yang bahannya dari serpihan-serpihan kain yang bertebaran..
Abad XVIII, perairan laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan yang ramai dilayari dari seluruh Bangsa Pelaut di seluruh dunia. Pada kurun waktu itu pulalah, armada laut Bugis memainkan peranan penting berkat keluasan jalur maritimnya yang mengatur jalur ekspedisinya ke Matan, Sambas dan Mempawah di Pulau Kalimantan, serta ke Riau, Lingga, Johor, Malaka, Selangor dan Kedah. Jaringan itu semakin diperluasnya hingga membentang kearah utara Laut Cina Selatan hingga perairan Sulu di Filipina Selatan. Para Pelaut Bugis itu bermarkas di Teluk Peninting dan Gunung KutE. Semua itu dicapainya berkat pengaruh kiprah seorang penguasa Selat Malaka pada jamannya, yakni : La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Matoa Wajo (kisahnya akan diuraikan dalam judul lain, penulis).
Pada kurun abad iru pulalah, Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' yang disertai kelima puteranya dan segenap pengikutnya berlayar ke Pulau Siantang. Kelima puteranya itu masing-masing bernama : Opu Daeng Manambung, Opu Daeng MarEwa, Opu Daeng Cella', Opu Daeng Parani dan Opu Daeng KamasE. Maka merapatlah armada mereka di pelabuhan Siantang dan disambut dengan ramahnya oleh seorang pelaut Bugis terkemuka di kawasan itu, yakni : Kari Abdul Malik yang juga dikenal sebagai Nakhoda Alang. Akhirnya mereka menetap di Siantang dalam waktu beberapa lama.
Penerimaan Nakhoda Alang dalam sebuah jalinan persahabatan yang akrab, membuat Opu DaEng Ri LEkke' berpikir untuk semakin mempererat hubungan itu sebagai hubungan kekeluargaan. Maka beliau melamar puteri Nakhoda Alang untuk dinikahkan dengan salah seorang puteranya, yaitu : Opu DaEng Parani (Opu Dahing Parni, versi Tuhfat An Nafis). Pernikahan itu dikaruniai sepasang putera puteri, yakni : Opu Daeng Kamboja dan Opu Daeng Khatijah.
Pemberian nama cucu Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke'tersebut diuraikan dengan indahnya dalam Kitab Tuhfat an Nafis, sbb ; "Kemudian lalulah Upu Dahing Rilaga itu berbalik ke Siantan serta keci itu. Maka apabila sampai ke Siantan, maka keci itu pun ditutuhlah dibuat penjajab perang. Syahdan, maka tatkala Opu Tandri Burang Dahing Rilaga balik dari Kambuja, maka anaknya Opu Dahin Parni pun sudah beranak seorang laki-laki, maka diberinya nama Dahing Kambuja. Kemudian beranak pula ia akan seorang anak perempuanbernama Dahing Khatijah. Akhirnya kelak Dahing Kambuja itu menjadi Yang Dipertuan Muda yang Ketiga di dalam Riau, dan Dahing Khatijah itu menjadi isteri Raja Alam, anak Yang Dipertuan Raja Kecik Siak ..".
Hal lain yang menarik pada keterangan dalam suntingan tersebut diatas, diuraikan bahwa setibanya dari perlawatan di Kamboja, Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' dan kelima puteranya mulai menyusun kekuatan Maritimnya dengan membangun Perahu Phinisi yang dipersenjatai. Sebuah "Langkah Besar" yang didasari "Ilham" dari mimpi Daeng Manambung, bahwa kelak anak cucu mereka akan menjadi penguasa kerajaan disebelah Johor dan Riau.
Dalam suasana kebahagiaan mendapatkan cucu serta kesibukan membangun armada Angkatan Laut itu, kodrat Allah berlaku pada setiap mahluk ciptaan-Nya. Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke', Pangeran Luwu yang bercita-cita besar itu wafat dan dimakamkan pada sebuah pulau kecil di dekat Pulau Matak dalam wilayah Siantan. Hingga kini, makam Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' dikenal sebagai "Keramat Pulau Siantan"(Dr. H. Wahyuddin Hamid, M.S., Passompe' Bugis Makassar, 2005).
Syahdan, kurun permulaan abad XVIII adalah merupakan tahun keemasan VoC di Hindia Timur, namun merupakan masa kelam di Tanah Melayu. Bermula sejak tahun 1511, ketika Kerajaan Malaka jatuh dalam taklukan Portugis. Setelah itu, maka Kerajaan peninggalan Sultan Mahmud Syah yang merupakan pusat kebudayaan Bangsa Melayu itu silih berganti dikuasai oleh Portugis, Belanda dan Inggris.
Turunnya pamor Kerajaan Malaka menjadikan Kerajaan Riau sebagai kerajaan Melayu lainnya yang masih bertahan, sebagai sebuah Imperium Melayu di abad XVIII. Kekuasaan Kerajaan Riau pada masa itu meliputi Johor, Lingga, Pahang, Terenggano, Indragiri, dan Kampar. Namun kerajaan Melayu satu-satunya itu nyaris padam ditelan sejarah ketika Raja Kecil dari Kesultanan Siak yang mengklaim dirinya sebagai pewaris sah Dinasti Malaka, menyerang Riau, Lingga dan Johor. Baginda Raja Kecil merasa diri lebih berhak menduduki tahta Riau daripada Raja Sulaiman yang berasal dari Dinasti Datuk Bendahara.
Pada masa genting itulah, Raja Sulaiman mengundang Opu Lima (Kelima Putera Alm. Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke') dan orang-orang Minangkabau untuk membantunya mengusir Raja Kecil yang menduduki Negeri Riau. Adapun halnya dengan Opu Daeng Parani (Dahing Parni) yang memimpin keempat saudaranya yang lain, melihat bahwa rupanya inilah jalan takdir menuju perwujudan penguasa turun temurun di Kawasan Tanah Melayu, sesuai ilham yang diterima Opu Daeng Manambung.
Maka Opu Daeng Parani bersaudara menghimpun para pelaut Bugis dan Makassar di Selat Malaka, lalu dikerahkan untuk memerangi Raja Kecil beserta pasukannya.Namun salah seorang tokoh Bugis yang merupakan "Pangeran Wajo", yakni : Daeng Matekko (Saudara La Maddukkelleng Arung Singkang Sultan Pasir) tidak bersedia ikut dalam persekutuan itu. Bahkan sebaliknya, beliau beserta pengikutnya memilih bersekutu dengan Raja Kecil untuk melawan Opu Daeng Parani bersaudara. Perihal ini menarik untuk didiskusikan, mengingat banyaknya pendapat yang berbeda mengenai alasan Daeng Matekko yang menolak bersekutu dengan Daeng Parani bersaudara. Suatu hal yang ganjil, mengingat kedua tokoh bangsawan perantau ini sama-sama berasal dari Tanah Bugis (Sempugi) yang semestinya bahu membahu dalam ikatan "PessE" (Solidaritas).
Menurut Dr. H. Wahyuddin Hamid, SE (Pasompe Bugis Makassar II, hal.36 - Telaga Zamzam, 2005), mengemukakan bahwa : " Ketidakbersediaan Daeng Matekko bekerjasama dengan Opu Lima Bersaudara mungkin disebabkan oleh dendam lama. Daeng Matekko adalah orang dari Wajo. Kerajaan Wajo pernah bersekutu dengan Gowa menghadapi Kerajaan Bugis dari Bone dan Luwu yang bersekutu dengan Belanda..". Hal yang masuk akal, mengingat penyebab kepergian Daeng Matekko meninggalkan Tana Wajo disebabkan karena dimurkai oleh Raja Bone. Dugaan lainnya yakni menurut penulis, bahwa bisa juga justru lebih merupakan sentimen pribadi antara masing-masing kedua Bangsawan Bugis yang menjaga prestise untuk tidak mau diperintah oleh Bangsawan Bugis lainnya.
Maka terjadilah perang saudara antara Raja Sulaiman yang dibantu oleh Opu Lima bersaudara, melawan Raja Kecil yang juga didukung oleh Bangsawan Bugis lainnya, yakni : Daeng Matekko beserta pengikut-pengikutnya yang kebanyakan terdiri dari Pelaut Pelaut Bugis Wajo. Dikisahkan dalam Tuhfat An Nafis, bahwa pertempuran besar antara Raja Kecil dengan Opu Daeng Parani bersaudara dalam mempertahankan dan memperebutkan Kerajaan Riau, terjadi sebanyak sepuluh kali. Sembilan kali diantaranya, pada pihak Raja Kecil dipimpin oleh Raja Alam (Putera Raja Kecil) dan satu kali dipimpin Raja Ismail (cucu Raja Kecil) melawan Opu Daeng Kamboja di Tumasik (Singapura). Akhirnya pada tahun 1721, Opu Daeng Parani bersaudara memenangkan perang yang dahsyat itu dengan mengusir Raja Kecil dan sekutunya meninggalkan negeri-negeri yang didudukinya. Maka dikukuhkanlah kembali Raja Sulaiman dalam gelarnya : Sultan Sulaiman Badrul'alam Syah (1721-1754).
Setelah memenangkan perang serta berhasil mendudukkan kembali Raja Sulaiman pada tahtanya, Opu Daeng Parani bersaudara memohon pamit. Namun Sultan Sulaiman khawatir jika sewaktu-waktu Raja Kecil yang kini mendirikan Kerajaan Buantan (kini Kerajaan Siak Sri Indrapura) dan bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1748) kembali lagi menyerang Riau. Maka dikukuhkanlah Opu Daeng MarEwa sebagai Yang Dipertuan Muda Riau I (1721-1729), bergelar : Kelana Jaya Putera. Yang Dipertuan Muda adalah sebuah jabatan yang setingkat dengan Perdana Menteri berkuasa penuh, dimana segala wewenang dan urusan pemerintahan berada dalam kekuasaannya.
Adapun halnya dengan saudara-saudara Opu Daeng MarEwa yang lain, mereka bertebaran di seantero Tanah Melayu dengan mendapatkan kemuliaan sebagaimana kejayaan leluhurnya di Tanah Bugis. Opu Daeng Parani menikahi puteri Raja Selangor. Kemudian beliau menikah lagi dengan adik Raja Kedah. Dengan demikian, Opu Daeng Parani adalah menantu Raja Selangor dan juga adik ipar Raja Kedah. Kemudian di Kalimantan Barat, Opu Daeng Manambung dinobatkan menjadi Sultan Mempawah yang bergelar : Pangeran Emas Surya Negara. Beliau inilah yang bermenantukan Syarif Abdurrahman (keturunan Said Al Qadri Jamalullail) yang mendirikan Kerajaan Pontianak dan dinobatkan sebagai Sultan Pontianak I. Opu lainnya adalah Opu Daeng Cella', beliau adalah Yang Dipertuan Muda Riau II (1729-1746) bergelar : Sultan Alauddin Syah. Beliau menggantikan kakaknya (Opu Daeng Marewa) yang berpulang kerahmatullah dalam tahun 1729 M. Kemudian putera Opu Daeng Ri LEkke' yang bungsu, yakni Opu Daeng KamasE dinobatkan menjadi Raja Sambas (Kalimantan Barat) bergelar : Pangeran Mangkubumi.
Dari seluruh kisah perantauan putera Bugis Makassar dari masa ke masa, maka menurut penulis bahwa Tokoh Besar Opu Daeng ri Lekke' dan kelima puteranya adalah peringkat pertama sebagai perantau paling sukses. Ketokohan Opu Daeng ri LEkke' dalam kurun waktu tertentu telah menempatkan diri sebagai puncak piramida tertinggi dalam silsilah (Royal Families Tree) Kerajaan Melayu dan Kalimantan. Kiprahnya melalui daya juang yang penuh keberanian dan diimbangi oleh strategi yang briliant membuahkan tulisan sejarah bertinta emas hingga akhir zaman.
Wallahualam Bissawwab..
Hannibal dari Negeri Melayu (bag. 2)
Judul yang kuangkat dari sebuah nama, seorang Jenderal yang memiliki naluri keberanian seakan tak terukur. "Hannibal de Chartago", pemimpin perkasa dari Chartagena - Afrika Utara yang menyeberang bersama pasukannya ke benua Eropa pada tahun 219 SM. Dalam kurun waktu 3 tahun kemudian, ia dengan pasukannya yang hanya berjumlah 45.000 personel, menyerbu Negara Yunani dengan kekuatan 100.000 prajurit bersenjata lengkap dan segar bugar. Namun dengan keberaniannya yang menggiriskan, serta didukung oleh kemampuan strategi yang mencengangkan, Hannibal memenangkan pertempuran itu. Mereka menewaskan 70.000 prajurit Yunani, sementara dipihaknya hanya 4.000 personal yang gugur.
Tulisan berikut ini adalah tentang keperkasaan seorang Jenderal Perkasa lainnya yang dilahirkan di Tanah Melayu. Seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang keberanian dan gebrakannya dianggap setara dengan Panglima dari Chartagena, ribuan tahun yang lalu. Maka oleh beberapa sejarawan Indonesia menjulukinya : Hannibal dari Tanah Melayu. Lalu dengan takzim pemuliaanku, kusebut namanya sebagai : Raja Aji "Asy Syahid Fi Sabilillah" Marhum Teluk Ketapang, Yang Dipertuan Muda Riau ke-IV.
Telah diuraikan pada bagian terdahulu, tentang kesuksesan Opu Lima bersaudara dalam merintis peletakan batu pertama dinastinya di Tanah Melayu dan Kalimantan yang kini bersusun bagai benteng kastil hingga saat ini. Bermula pada Opu Daeng MarEwah Yang Dipertuan Muda Riau I (Pangeran Kelana Jaya Putera) lalu berlanjut pada saudaranya, yakni : Opu Daeng Cella' Sultan Alauddin Syah Yang Dipertuan Muda Riau II. Pada masa pemerintahan Opu Daeng Cella' inilah, pengaruh dan wilayah taklukan Kesultanan Riau semakin meluas hingga di Kerajaan Selangor, Johor dan Pahang. Setelah Opu Daeng Cella' wafat dalam tahun 1746 M, maka dinobatkanlah Opu Daeng Kamboja (Putera Opu Daeng Parani dengan puteri Kari Abdul Malik) menjadi Yang Dipertuan Muda Riau III (1746-1777), menggantikan pamannya.
Opu Daeng Cella' Sultan Alauddin Syah Yang Dipertuan Muda Riau II memiliki dua putera, yakni : Raja Lumun dan Raja Aji. Pada tahun 1743 M, Raja Lumun dinobatkan menjadi Sultan Selangor I, bergelar : Sultan Salehuddin. Kemudian setelah Opu Daeng Kamboja wafat dalam tahun 1777 M, dinobatkanlah Raja Aji sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV, menggantikan saudara sepupunya tersebut.
Pada zaman pemerintahan Raja Aji Yang Dipertuan Muda Riau IV inilah dikatakan sebagai masa keemasan Kerajaan Riau. Prof. HAMKA menggambarkan pada masa itu, sbb : " ..Zaman Raja Aji inilah, Kerajaan Melayu mencapai kemajuan dan kebesarannya. Dan bercampurlah darah Bugis dan darah Melayu, yang akan menjadi dasar teguh kelaknya dari apa yang sekarang, kita namai Kebangsaan Indonesia !..." (Dari Perbendaharaan Lama, hal. 188-189).
Melihat kebesaran Kerajaan Riau itu, VoC yang sejak dulu berambisi untuk menguasai seluruh kepulauan di wilayah Hindia Timur, haruslah menempuh strategi diplomasi untuk menjalankan rencananya. Maka dari Batavia, dikirimlah utusan menemui Raja Aji dengan menawarkan perjanjian persahabatan yang menguntungkan keduanya. Perjanjian itu memuat berbagai hal menyangkut perniagaan dan pertahanan yang diarahkan untuk membendung dominasi Inggris yang amat dibenci oleh Raja Aji. Persetujuan yang menyatakan bahwa VoC akan menghargai adat istiadat Melayu dan Agamanya, serta memandang musuh Bangsa Melayu (Inggris) adalah musuh VoC dan musuh VoC juga musuh Riau. Lebih lanjut dinyatakan pula, bahwa segala harta rampasan perang yang didapat dari musuh bersama tersebut akan dibagi diantara keduanya dengan adil samarata. Akhirnya Yang Dipertuan Muda Riau tersebut tertarik menandatangani perjanjian itu, semata-mata untuk mempersempit ruang gerak Kolonial Inggris di Wilayah Selat Malaka.
Akhirnya pada suatu ketika, masuklah sebuah kapal dagang Inggris ke Wilayah Riau. Kapal itu sarat dengan muatan benda-benda berharga. Maka datanglah kapal perang VoC, menyerbu kapal itu. Disitanya segala harta benda yang ada, lalu dibawanya ke Malaka. Suatu tindakan yang menyalahi perjanjian dengan Raja Aji.
Mengetahui perihal tersebut, Raja Aji mengirim delegasi ke VoC di Malaka untuk meminta mereka memenuhi amar perjanjian yang telah dibuat. Namun sebagaimana biasanya VoC menolak tuntutan itu tanpa alasan yang masuk diakal para utusan Kerajaan Riau. Maka mereka kembali dengan tangan hampa, seraya melaporkan segala hal ikhwal sikap melecehkan dari petinggi-petinggi VoC dihadapan Raja Aji.
Maka bukan alang kepalang murkanya Raja berdarah pahlawan Bugis ini !. Diambilnya surat perjanjian itu lalu dirobek-robeknya. Ini adalah pelecehan terhadap "Siri" ! Sesuatu yang disebut oleh orang Melayu sebagai "Maruah". Sesuatu yang lebih dihargai 99 kali dibanding dengan selembar jiwa. "Naiya Siri'E, nyawa naranreng !" (Sesungguhnya SIRI itu selalu bersanding erat dengan nyawa !). Apabila SIRI yang tersentuh, maka jiwa berontak meminta dan bermohon untuk dipertaruhkan. Saatnya jiwa disabung ditengah gelanggang pertarungan !.
Rupanya itulah yang dikehendaki oleh VoC. Hubungan persahabatan yang dibinanya dengan Kerajaan Riau, hanyalah merupakan siasat untuk mengetahui sampai dimana kekuatan Kerajaan Melayu itu. Setelah data-data yang dikehendakinya dinilai sudah cukup lengkap, maka dicarikanlah gara-gara (alasan berkelahi) dengan melanggar kesepakatan yang telah ditandatangani bersama. Persahabatan telah bertukar dengan permusuhan !. Tak perlu kiranya menunggu serbuan pasukan Riau. Akan jauh lebih menguntungkan jika menyerang terlebih dahulu. Penyerangan adalah pertahanan yang terbaik. Berapa sih kekuatan sebuah Kerajaan Melayu yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil ?, begitulah pemikiran para petinggi militer VoC yang sudah menganalisa peta kekuatan Kerajaan Riau.
Akhirnya pada tahun 1783, VoC dengan segenap kekuatan tempurnya menyerbu Kerajaan Riau. Raja Aji beserta para lasykar Riau mempertahankan setiap jengkal negerinya dengan gagah berani. Jiwa hanyalah sebatas naik turunnya nafas dalam tubuh, namun harga diri yang terkandung dalam nilai "Siri" adalah abadi yang ditanggung oleh segenap keluarga dan kaum !. Rasa takut yang dinampakkan dalam perkelahian akan menjadi buah bibir yang memalukan sepanjang masa. Keluarga dan bangsa akan ikut terhina karenanya.
Perhitungan VoC berdasarkan data yang dihimpunnya ternyata salah sama sekali. Peperangan dahsyat itu telah berlangsung dengan sengitnya selama 10 bulan. Diuraikan oleh CR. Bokser dalam bukunya (Jan Compeni, Dalam Perang dan Damai) bahwa : Para Heeren (Pucuk Pimpinan VoC di Amsterdam) sangatlah kesal terhadap kinerja para pejabat VoC di Hindia. Peperangan di Selat Malaka melawan seorang Raja Bugis saja tidak mampu diselesaikan sesuai harapan. Sesuatu yang sama sekali diluar perhitungan mereka, bahwa Raja Aji dari para kerabatnya, beberapa Raja dan Pangeran Bugis dari Tanah Bugis (Sulawesi Selatan) berdatangan bersama dengan para lasykarnya untuk membantunya, mengambil bagian dalam mempertahankan Negeri Riau. Belum pula para pelaut dan perantau Bugis yang berkelompok meramaikan aktivitasnya masing-masing di Selat Malaka selama ini, semuanya turun tangan membantu Raja Aji dengan semangat Solidaritas Siri dan PessE.
Kitab Tuhfat an Nafis menyebutkan nama-nama Raja / Pangeran Bugis serta beberapa tokoh Bugis lainnya yang membantu Raja Aji, antara lain : Arung Lengnga, Arung Belawa, Panglima TalEbang (Daeng TalEba'), Daeng SalEkong, dll. Raja Aji dan para pahlawan itu membangun strategi pertahanan yang terpusat di Pulau Penyengat. Dalam hal ini, Sang Buya Hamka menggambarkan dengan tepat tentang perlawanan para lasykar Bugis yang bahu membahu dengan lasykar Melayu dalam peperangan itu, sbb : "Terpadulah gagah perkasa Melayu dengan Bugis mempertahankan daulat kebesarannya. Gegap gempitalah bunyi meriam "lelarentaka" dari kedua belah pihak, banyaklah pahlawan yang gugur ...".
Setelah pertempuran itu berlangsung selama 10 bulan, akhirnya VoC terpaksa mengundurkan diri, kembali ke Malaka. Tak terkira berapa nilai hitungan kerugian materil yang habis untuk membiayai penyerbuan yang gagal itu. Ditambah lagi dengan banyak serdadunya yang tewas dan luka-luka. Ironisnya, para serdadu itu kebanyakan terdiri dari orang-orang Jawa dan Ambon, bangsa kita jua.
Wallahualam bissawwab...
Hannibal dari Negeri Melayu (Bag.3-Tamat)
Seorang kerabatku bertanya, "apa persamaan Hannibal dengan Raja Aji ?". Maka berikut ini kucoba menjawabnya dalam uraianku yang miskin reverensi ini ....
Kemenangan Raja Aji Yang Dipertuan Muda Riau IV dalam perang 10 bulan melawan balatentara VoC Belanda membuat pamornya semakin tinggi menjulang. Tersebutlah seorang tokoh Bugis pula, yakni : Raja Ibrahim Sultan Selangor II (putera Raja Lumun "Sultan Salehuddin" Sultan Selangor I, saudara kandung Raja Aji). Melihat kemenangan pamandanya itu, maka timbullah semangatnya untuk mengusir Voc Belanda yang menduduki Kerajaan Malaka. Dalam pemikiran baginda, ada 2 hal yang menjadi alasan kuat untuk menghalau keberadaan VoC Belanda di Malaka, yakni :
1. Malaka adalah suatu pusat kebudayaan Bangsa Melayu,
2. Kerajaan Malaka adalah Negeri Jiran (Tetangga) Kerajaan Selangor.
Dengan demikian, keberadaan VoC yang semakin kuat dan berpengaruh di Malaka adalah merupakan ancaman serius terhadap Kerajaan Selangor pula. Maka bertolaklah baginda ke Riau, menghadapkan hormat dan takzimnya kepada pamandanya, Raja Aji Yang dipertuan Muda Riau IV. Dengan argumen yang realistis disertai bujukan-bujukan yang tak tertolakkan, Raja Ibrahim mengutarakan maksud itu kepada pamandanya. Baginda sangat optimis bahwa sekiranya Raja Aji beserta pasukannya menyerbu dari arah Selat Malaka dan ia beserta segenap pasukan Selangor menyerpu pula dari arah daratan, niscaya VoC Belanda akan terkepung dan takkan mungkin bisa bertahan lebih lama.
Akhirnya, walaupun beberapa petinggi Kesultanan Riau menasehatkan untuk tidak melakukan penyerbuan itu, namun begitu gigihnya Raja Ibrahim meyakinkan pamandanya itu, maka Raja Aji mengabulkannya jua. Maka diadakanlah konsolidasi kekuatan Angkatan Bersenjata Riau, termasuk para Raja-Raja dan Pangeran Bugis beserta lasykarnya. Segala sesuatunya dipersiapkan dengan waktu yang relatif singkat, mengingat bahwa kekuatan VoC Belanda yang habis terpukul itu tentulah belum pulih sebagaimana mulanya. Maka strategi serangan balik diperhitungkan dengan cermat oleh para ahli strategi perang yang sangat berpengalaman dari Tanah Bugis. Bahkan dalam ekspedisi ini mengikutkan pula Sultan Mahmud Syah (Sultan Riau) yang berkeras pula untuk ambil bagian dalam perjuangan membebaskan Malaka, negeri leluhurnya.
Setelah memilih hari baik yang telah dikoordinasikan dengan pihak Kerajaan Selangor, maka ekspedisi penyerbuan itu dimulai. Pelayaran itu mengarungi Selat Malaka dan mendarat pada sebuah teluk dibagian selatan Kota Malaka, yakni : Teluk Ketapang. Raja Aji beserta segenap pasukannya membangun basis strategi pertahanan di tempat itu.
Maka terjadilah peperangan amat hebat di Negeri Malaka. VoC Belanda mengerahkan segala kekuatan yang ada. Mereka berhasil mengajak Sultan Siak dan Trenggano untuk membantunya pula. Utamanya Sultan Siak yang memiliki dendam khusus terhadap Opu Lima Bersaudara beserta segenap keturunannya. Dikerahkannya para Pahlawan Perang dari kalangan Bugis Wajo untuk berdiri bahu membahu melawan Raja Aji dan Raja Ibrahim.
Dapat dibayangkan, bagaimana dahsyatnya peperangan antar multi etnis di Teluk Ketapang masa itu. Belanda beserta sekutunya berusaha mempertahankan kedudukannya di Negeri Malaka dengan segenap kekuatan yang ada. Setelah berlangsung selama 3 bulan, akhirnya keunggulan pasukan Raja Aji dan Sultan Selangor sudah mulai kelihatan. Serangan-serangan mereka semakin lama semakin dahsyat. Maka satu persatu negeri sekeliling Malaka mulai berjatuhan, takluk dibawah keunggulan Raja Aji. Kemudian penyerbuan itu memasuki negeri Malaka bagai air bah yang tak tertahankan lagi. Pihak VoC Belanda beserta sekutunya yang masih hidup tinggal bertahan dalam benteng pertahanan. Mereka kini terkepung dalam keadaan sangat memprihatinkan !. Tiada lain harapannya kini, selain menunggu bantuan dari Batavia yang sekiranya datang tepat pada waktunya untuk melepaskan mereka dari kepungan Raja Aji beserta para sekutunya yang perkasa.
Alkisah, Prof. HAMKA mengemukakan bagaimana kepiawaian cucu Raja Aji yakni : Pujangga Raja Ali Al Haj' bin Angku Raja Ahmad Al Haj' bin Raja Aji mengisahkan hikayat jalannya peperangan itu dengan "hidupnya" dalam kitab Tuhfat an Nafis. Syahdan, Raja Aji Yang Dipertuan Muda Riau IV memimpin penyerbuan dalam upaya membobol benteng VoC pada siang hari. Bilamana hari telah malam, baginda asyik mendengar fatwa ulama yang turut pula dalam angkatan perang itu. Setiap malam jum'at, Raja yang saleh itu khusyu melantunkan wirid denga membaca kitab "Dalail Al Khairat", syair puji-pujian terhadap Rasululullah Muhammad s a w.
Pengepungan terhadap Kota Malaka itu benar-benar membuat para serdadu VoC Belanda yang terkurung dalam bentengnya merasa prustasi. Beberapakali mereka berusaha memindahkan para penduduk sipil orang Belanda yang terdiri dari perempuan dan anak-anak untuk mengunsi pada tempat yang lebih aman. Sementara itu, perbekalan makanan dan amunisi semakin menipis. Akhirnya perihal pengepungan itu sampai pula pada kanyor pusat Gubernemen Hindia Belanda di Batavia. Para petinggi Belanda itu menjadi geger dan tidak menyangka bahwa seorang Raja Melayu yang tidak diperhitungkan mampu melakukan penyerbuan antar daratan sedahsyat itu. Sebuah terobosan yang amat berani, mengingatkan tentang riwayat Hannibal de Chartago yang melakukan ekspedisi penyerbuan dari Afrika Utara ke Yunani di Eropa.
Maka pihak Gubernemen Hindia Belanda mengirimkan bantuan berupa ekspedisi perang yang terdiri dari 20 Armada Perang yang memuat beribu-ribu serdadu dari Batavia. Maka terjadilah perang yang berkecamuk dengan dahsyatnya. Pasukan bantuan Voc Belanda dari Batavia itu masih dalam keadaan segar bugar serta berjumlah lebih banyak. Tak dapat dihindarkan, pertempuran tidak seimbang itu mengakibatkan pasukan Raja Aji amat terdesak, hingga mundur dan terkepung di basis pertahanannya di Teluk Ketapang. Tuhfat an Nafis mengisahkan bagaimana keperkasaan pahlawan Bugis dan Melayu dari pihak Raja Aji yang bertempur hingga titik darah yang penghabisan, dalam upayanya menahan "lautan balatentara VoC" yang menyerbu benteng pertahanan Raja Aji, sbb :
" Maka Arung Lengnga pun memacu kudanya, padahal ia tengah sakit, keluarlah dia menempuh bari Belanda, lalu ia mengamuk. Maka matilah dia dengan kudanya, dan Belanda pun banyak juga yang akan membawa itu, meletus dan pecah sebelum berangkat, Muda itu oleh segala orang-orang besar Holanda itu, serta dengan serdadu-serdadunya. Maka mengamuklah pula Daeng Salekong dan Panglima Talebang serta Haji Ahmad. Maka ketiganya mengamuk menyerbukan dirinya kepada baris Holanda yang berlapis-lapis itu. Maka seketika dia mengamuk itu, matilah ia syahid fi Sabilillah ketiganya dengan nama Laki-Laki. Dan beberapa orang baik-baik pun syahid ..." (kutipan Tuhfat an Nafis, HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama - hal. 191-192).
Dari dalam benteng pertahanannya, Raja Aji menyaksikan para Bangsawan Ksatria kerabatnya itu berguguran satu persatu. Perih duka bercampur geram yang teramat sangat berkecamuk dalam amarah yang seakan hendak meledakkan dadanya !. Baginda bangkit dari duduknya seraya mencabut "Badik Pusaka" warisan Daeng Cella', ayahandanya. Dengan lantangnya, beliau memekikkan kalimah agung : Allahu Akbar !. Para anak cucu dan abdinya berusaha menahan seraya memeluk kaki baginda. Namun dikuakkannya dengan keras segala halangan itu !. Baginda memburu keluar dari pintu benteng dengan badik terhunus yang siap ditikamkan pada gelombang balatentara VoC. Buya HAMKA mengisahkannya dengan lebih indah lagi : "Berlakulah kadar Allah, baru saja sampai dimuka benteng itu, sedirus datangnya beratus-ratus peluru menembus dirinya dan gugurlah Pahlawan Malaya Bugis itu dengan gagah perkasanya. Badik masih tergenggam erat di tangan kanannya dan Dalailul Khairat di tangan kirinya..".
Hannibal pun pada akhirnya kalah perang juga di Yunani. Ia memilih mati bunuh diri ketimbang ditawan oleh pasukan Yunani. Namun Raja Aji memilih gugur dalam pertempurannya. Dua pilihan akhir yang berbeda dari 2 tokoh sejarah dari ruang waktu yang berbeda pula. Adapun menurutku jika ditanya, Raja Aji lebih ksatria dibanding Hannibal yang terkenal itu.
Peristiwa heroik ini terjadi pada tahun 1784 M. Gugurnya Raja Aji menandai berakhirnya perang yang amat dahsyat itu dengan kemenangan di pihak VoC Belanda. Namun dikisahkan lebih lanjut, bahwa para pembesar Belanda yang hadir dan melihat peristiwa gugurnya Raja Pahlawan itu membuka topi seraya memberikan penghormatan. Esok harinya, jenasah Raja Aji dan segenap ksatria Bugis dan Melayu yang gugur pada tempat itu dimakamkan oleh para pembesar Belanda serta sisa-sisa patriot pengikut Raja Aji dengan penuh kebesaran. Raja Aji dimakamkan dibelakang benteng pertahanan VoC Belanda di tempat itu, sehingga lengkaplah gelar baginda, yakni : Raja Aji "Asy Sahid fi Sabilillah" Yang Dipertuan Muda Riau IV, Marhum Teluk Ketapang, seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang berjuang dan gugur di Kerajaan Malaysia kini.
Sebuah jejak sejarah yang tak terlupakan, menjadi perekat persahabatan antar kedua Bangsa yang serumpun. Bukanlah sekedar sahabat, melainkan kerabat yang sedarah, sedaging dan seketurunan. Indonesia dan Malaysia.
Wallahualam Bissawwab..
Ksatria Makassar, menantang badai ! (Bag. 1)
Manusia terlahir bersama rasa takutnya. Sesuatu yang mengendalikan naluri untuk bertahan hidup, sekaligus dapat pula menjadi penyebab hilangnya jiwa jika rasa takut itu berlebihan. Namun ada pula bangsa yang berusaha menghilangkan fitrah yang alami itu sejak lahirnya. Setiap putra putri Bugis Makassar senantiasa didoa'kan agar rasa takutnya tertanam atau hanyut bersama ari-arinya.
"Laono tauu', sompe'no bulisaa', musialloping kaka irungmu, tosiruntu' paimeng, mallongi-longi ri warekkeng totomu.." (Berangkatlah wahai rasa takut, merantaulah wahai rasa gelisah, satu perahu dengan kakak ari-arimu, semogalah kiranya kita bertemu lagi, pada derajat tinggi suratan takdirmu..), demikian antara lain nyanyian seorang Sanro (Dukun Beranak) ketika menghanyutkan ari-ari bayi yang ditempatkan pada perahu mainan di pinggir laut.
Hari demi hari, bayi itu pun tumbuh menjadi seorang "manusia berkepribadian" sebagaimana fitrahnya. Maka ditanamkanlah semboyang karakter pada dirinya untuk membela "Siri" (Harga Diri). Kehormatan Agama, Bangsa, Kedua Orang Tua, Anak, Istri dan orang yang meminta perlindungan beserta kehormatan diri adalah hal-hal dalam lembaga "Siri" yang mutlak dijadikan standar nilai harkat yang harus dijaga olehnya, melebihi jiwanya sendiri. Sebuah amanah yang jika jiwanya harus sirna dalam mempertahankannya, maka ia akan disebut sebagai "MatE ri Santangi" (Mati Mulia) atau "MatE ri Gollai" (Kematian yang manis). Maka setiap pribadi itu dipantangkan baginya untuk merasa gentar terhadap ancaman kematian. "Majeppu tania Ugi Mangkasara', narEkko tania arona maloo'" (Sesungguhnya bukanlah Bugis Makassar jika bukan dadanya yang terluka..", demikian diwasiatkan pada seorang putera Bugis. Lalu kepada putera Makassar, diwasiatkan pula : "TEai Mangkasara punna bokona loko.." (Bukanlah Makassar jika punggungnya yang terluka).
Kenapa harus dada yang terluka ?. Kenapa pula tidak boleh punggung yang terluka ?. Seseorang yang mati dengan luka dibagian dada atau tempat lain dibagian depan tubuhnya, menandakan ia telah melakukan perlawanan dengan berani hingga tarikan nafas terakhirnya. Adapun luka yang terdapat pada punggung, besar kemungkinan ia melarikan diri dari perkelahian hingga ajal menjemputnya. Kematian yang dinilai amat hina dan memalukan kaumnya. Taroko ikala rEkko dE'to mucauu, taroko matE rEkko dE'to mulari ! (Biarlah kau kalah, asalkan kau tidak gentar, biarlah kau mati, asalkan kau tidak lari !), kata seorang ibu pada puteranya.
Membaca kisah hidup Daeng MangallE yang ditulis oleh Sejarawan Prof. MR. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH, Dr. H. Wahyuddin Hamid, SE, Zainuddin Tika beserta sejarawan lainnya membuat pikiranku untuk mengulas sekilas motif budaya yang berpengaruh langsung pada pembentukan karakter tersebut diatas.
Apa dan siapa Daeng MangallE' ?. Menurutku yang sedang menulis profil-profil singkat tentang hal ikhwal para perantau Bugis Makassar pada judul laman ini, kiranya tokoh sejarah seorang Daeng MangallE' adalah simbol The Real Warrior and The Real Knight at all. Beliau adalah seorang Tu Barani (Sang Pemberani) dan seorang "Pakkanna" (Ksatria) dalam arti yang sesungguhnya. Putera Makassar yang menggoreskan kisah keberanian seorang ksatria perantau pada banyak negeri, dimana kisah heroiknya ditulis dan diberitakan oleh "Gervaise", seorang Theolog berkebangsaan Perancis pada abad XVII dalam bukunya yang berjudul : "Description Historique du Royaume de Macacar" yang kemudian diulas dan diteliti oleh Sejarawan Dr. Christian Pelras.
Berdasarkan buku yang ditulis oleh Gervaise itulah, maka para peneliti sejarah Makassar mulai membuka manuskrip-manuskrip untuk mengetahui siapa sebenarnya "Daen Maale" (nama tokoh Pahlawan dari Makassar dalam tulisan Gervaise) itu ?. Maka timbullah beberapa versi perihal silsilah beliau, antara lain :
1). Menurut catatan dalam daftar silsilah Raja-Raja Gowa pada Lontara Bilang , beliau adalah I Addulu' DaEng MangallE adalah putera I Mallombasi Daeng Mattawang "Sultan Hasanuddin" Sombayya ri Gowa XVI dari perkawinannya dengan I Hatijah I Lo'mo Tobo. Dengan demikian, beliau bersaudara kandung dengan : I Mannidori KarEk TojEng KaraEng GalEsong, I Syafiuddin Daeng Rikong dan I Rukiah Daeng Mami. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin yakni pada masa sebelum hingga Perang Makassar berlangsung, pangeran ini adalah Panglima Pasukan Tubarani (Pemberani) Butta Gowa yang juga sekaligus sebagai "Pa'lapa' Barambang" (Perisai Dada Raja Gowa), garda terdepan pasukan pengawal Sombayya Gowa. Setelah penandatanganan Perjanjian Bongaya, beliau adalah salah seorang tokoh yang tidak setuju dengan perjanjian tersebut sehingga memilih bergabung dengan kakaknya (KaraEng GalEsong) pada ekspedisi ke Pulau Jawa untuk membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten) dan Raden Trunojoyo (Prabu Maduretno) dalam memerangi VoC Belanda (Zainuddin Tika dkk, Daeng Ruru, Panglima Perang Kerajaan Perancis, Pustaka Refleksi, Makassar - 2008)
2). Menurut Pallontara Alm. Andi Paramata yang merupakan seorang ahli silsilah Wajo, bahwa pangeran yang dimaksud oleh Gervaise tersebut adalah "KaraEng MangallEkana", salah seorang saudara seayah I Mallombasi Daeng Mattawang "Sultan Hasanuddin" Sombayya ri Gowa XVI. Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh adanya sumber yang didapat oleh Alm. H. Andi Adjaib (Mantan Walikota Parepare), bahwa Sultan Hasanuddin memang memiliki saudara laki-laki yang tidak begitu disukainya, bergelar : Pasukki Langi' . Pangeran ini digelari demikian karena postur tubuhnya yang tinggi (jangkung). Konon beliau tidak disenangi oleh Sultan karena karakternya yang keras serta seringkali membantah kebijakan Raja Gowa tersebut (Prof. MR. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH, Sekelumit Kissah Daeng Ruru dan Daeng Tulolo di Perancis Pada Abad ke XVII, BKSS-1977).
3). Menurut sumber yang ditemukan pada sejarah kepahlawanan I Mannidori KarEk' TojEng KaraEng GalEsong, bahwa "Daen Maale" yang dimaksud pada buku Gervaise ini adalah : Abdul Hamid Daeng MangallE'. Pangeran ini adalah cucu Sultan Malikussaid Sombaya Gowa XV. Dalam uraian silsilahnya, dipaparkan sbb : Sultan Malikussaid Somba Gowa XV menikah dengan I Bissu KarE' Jannang, melahirkan seorang puteri bernama : I Sungguminasa I Rabiah DaEngta I Daeng Nisanga KaraEng Sanggiringan. Puteri Raja Gowa inilah yang dinikahkan dengan Salahuddin KaraEng Bungaya, maka lahirlah seorang putera bernama : Abdul Hamid DaEng MangallE'. Dengan demikian, beliau adalah kemenakan Sultan Hasanuddin Somba Gowa XVI. Selain tokoh yang disebutkan pertama (I Addulu' DaEng MangallE'), Daeng MangallE yang satu inipun juga ikut berjuang dalam membantu Sultan Ageng Tirtajasa (Sultan Banten) dan Raden Trunojoyo dalam peperangan melawan VoC Belanda di Pulau Jawa.
Terlepas dari yang mana benar pada ketiga versi tersebut diatas, namun jika berdasarkan alur kisah dan para tokoh pelakunya dalam buku Gervaise sebagaimana banyak ditulis pula oleh Prof. MR. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH, maka versi yang ketiga diataslah agaknya paling relevan. Demi memudahkan untuk menyimak susunan tulisan ini, maka bagian pertama ini dijadikan sebagai pengantar yang memuat perihal silsilah tokoh yang akan dituturkan kemudian. Akhirnya pada bagian berikut tulisan ini, selanjutnya penulis mencoba menguraikannya sebagai Abdul Hamid Daeng MangallE, kemenakan Sultan Hasanuddin, Sang Ayam Jago dari Timur.
Wallahualam Bissawwab..
Ksatria Makassar, menantang badai ! (bag. 2)
Gervaise, seorang pendidik dan juga seorang penulis dalam lingkungan istana Louis XIV, Kaisar Perancis. Beliau adalah putera salah seorang dokter pribadi Louis XIV, lalu menulis banyak hal tentang Makassar berdasarkan informasi dari kedua muridnya yang merupakan bangsawan Makassar. Suatu hal yang luar biasa bagi seorang yang justru belum pernah menginjak tanah Makassar.
Kedua putera Makassar itu adalah anak angkat Kaisar Louis XIV yang diserahkan kepada Gervaise untuk mendapatkan bimbingan Bahasa Perancis dan Protokoler kebangsawanan Perancis. Maka tulisan ini adalah kilas balik keberadaan kedua Bangsawan Makassar tersebut, masing-masing bernama : Monseigneur Luis Pierre Daeng Ruru de Macassart dan Louis Dauphin Daeng Tulolo de Macassart yang berhubungan langsung dengan "Daen Maale" (Daeng MangallE) sebagaimana dikisahkan kembali berikut ini.
............................................................................
Telah dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa Daeng MangallE adalah salah seorang petinggi Kerajaan Gowa (Makassar) yang tidak menyetujui Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 Nopember 1667. Beliau menolak keras menandatangani perjanjian tersebut. Namun tidak seperti para petinggi lainnya yang menolak pula perjanjian itui, Daeng MangallE untuk sementara tetap bertahan untuk tinggal di Kerajaan Makassar.
Diberitakan lebih lanjut oleh Gervaise, bahwa akibat dari penolakannya terhadap perjanjian itu, pihak Belanda mencari akal agar Daeng MangallE dibenci oleh "Craen Sombanco" (baca : KaraEng Sombangku I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin). Maka melalui seorang gundik yang dapat disogoknya, rencana licik itu berjalan dengan mulusnya. Gundik itu berhasil meyakinkan Sultan, bahwa Daeng MangallE yang memang tidak terlalu disukai itu, sedang mengatur sebuah rencana jahat terhadap diri Sultan, demi melanjutkan perang terhadap VoC Belanda dan sekutunya (Arung Palakka).
Mengingat karakter Daeng MangallE yang memang keras kepala dan kadang membantah kebijakan Sultan, maka fitnah yang dilancarkan oleh gundik itu sangatlah masuk akal. Sultan sendiri dapat menilai situasi dan kondisi para petinggi yang membantunya selama ini. KaraEng Karunrung (Mangkubumi Kerajaan Makassar), KaraEng Bontomarannu (Laksamana Besar Angkatan Laut Makassar), I Mannidori KaraEng GalEsong (Panglima Angkatan Darat, Putera Sultan Hasanuddin), La Tenri Lai' Tosengngeng Arung Matowa Wajo (Sekutu, menantu Sultan Hasanuddin) serta banyak lagi yang lainnya, mereka adalah orang-orang yang bertemperamen tinggi serta memiliki keberanian yang tidak lumrah. Tetapi sesungguhnya mereka tidak pernah ada yang berani membantah kebijakan Sultannya. Sesuatu yang membedakan dengan kepribadian Daeng MangallE', sepupu Sultan ini (Gervaise menulisnya sebagai Adik Sultan). Akhirnya Sultan mempercayai fitnah itu, lalu menyuruh pemberani kepercayaannya untuk membunuh Daeng MangallE'.
Mengetahui jika dirinya telah dijatuhi hukuman mati, pemuda ksatria yang pemberang ini memilih untuk menyingkir dari Kerajaan Makassar. Walau bagaimana keras wataknya, namun jauh didalam lubuk hatinya tersimpan rasa hormat yang tulus terhadap Sultan, Kakandanya yang diketahuinya dengan pasti sebagai Manusia Bijak. Adalah "Siri" jika menentang "Tunisombayya" (Yang Dipertuan Raja Gowa) dengan kekerasan senjata pula. Maka dengan ditemani oleh kedua pengawal kepercayaannya, beliau meninggalkan tanah Makassar berbekalkan emas permata yang disiapkannya sebelumnya.
Pelarian secara diam-diam itu membawanya bergabung dengan kontingen yang membawanya ke Pulau Jawa untuk melanjutkan peperangan dengan VoC Belanda, langsung pada pusat komandonya (Batavia). Suatu rencana yang justru sangat sesuai dengan kata hatinya. Dikemukakan oleh Sejarawan Prof. MR. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH, bahwa pasca Perjanjian Bungaya mengakibatkan terjadinya gelombang ekspedisi para petinggi Kerajaan Makassar dan sekutunya menuju Kerajaan Banten di Pulau Jawa bagian Barat.
Gelombang pertama adalah ekspedisi yang dipimpin oleh Laksamana Besar KaraEng Bontomarannu. Dalam kontingen itu ikut pula para pembesar Kerajaan Makassar beserta dengan lasykarnya, antara lain disebutkan : Sultan Harun Al Rasyid (KaraEng Tallo), I Ata TojEng DaEng Tulolo (Adik Sultan Hasanuddin), I Manindori KaraEng MangEppE' dan Syaiful Muluk KaraEng Bonto Majannang. Ekspedisi perang ini terdiri dari 4 armada dengan kekuatan 800 Lasykar yang bersenjata lengkap. Mereka merapat di Pelabuhan Banten pada tanggal 19 Agustus 1671 (Zainuddin Tika dkk, Daeng Ruru Panglima Perang Kerajaan Perancis, Pustaka Refleksi - Makassar 2008).
Gelombang kedua dipimpin oleh Settia Raja Opu Cenning Luwu (Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung Luwu XIX) dan I Muntu DaEng Mangappa (Putera KaraEng Bontomarannu), terdiri dari 2 armada dengan 350 Lasykar bersenjata lengkap pula. Kontingen ini mendarat di Banten pada tanggal 16 September 1671.
Gelombang ketiga dipimpin oleh I Mannidori KarE' TojEng KaraEng GalEsong (Putera Sultan Hasanuddin), dimana dalam kontingen inilah yang diikuti Abdul Hamid DaEng MangallE' bersama kedua pengawal setianya dan para tokoh besar Kerajaan Makassar yang lainnya. Mereka itu adalah, I Adulu' DaEng MangallE (Putera Sultan Hasanuddin), I Fatimah DaEng Takontu (Puteri Sultan Hasanuddin yang terkenal sebagai Panglima Srikandi Balira) dan La Mappa Arung Tonra KaraEng Rappocini'. Kontingen inilah yang paling besar dibanding sebelumnya, yakni : terdiri dari 70 buah armada perang yang memuat 20.000 lasykar bersenjata lengkap. Mereka mendarat di Pelabuhan Banten dalam bulan Oktober 1671.
Tidak dapat dilupakan pula, bahwa hampir bersamaan dengan gelombang pertama ekspedisi tersebut diatas telah menyusul pula kontingen lain yang bertolak dari Pelabuhan Makassar , yakni : Lasykar Gabungan Melayu-Makassar berkekuatan 1.200 personel yang dipimpin oleh Ibnu Iskandar Datu Louadin, seorang Minangkabau yang tinggal menetap sebagai pemimpin masyarakat Melayu di Makassar (Prof. MR. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, Makalah : Bantuan para pengunsi Sulawesi Selatan pada Syekh Yusuf dalam perang Banten - 1993).
Perlu dikemukakan bahwa, para pembesar Kerajaan Makassar dan sekutunya yang menolak menghentikan perang dengan VoC Belanda ini, menjadikan Kerajaan Banteng di Pulau Jawa sebagai tujuan membuka front pertempuran baru, disebabkan adanya Syekh Yusuf Tajul Khalwati Al Makassari (Tuanta Salamaka). Beliau adalah seorang putera Makassar, menantu I Mangngurangi DaEng Manrabia Sultan Alauddin Sombayya Gowa XVI (kakek Sultan Hasanuddin) yang diangkat sebagai "Mufti Kerajaan Banten", lalu dipermenantukan pula oleh Abu'l Fath Abdul Fattah Sultan Ageng Tirtayasa, Raja Banten (1651-1692). Pada masa pasca Perjanjian Bungaya yang kontroversial itu, telah terjadi perselisihan dalam keluarga antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya sendiri, yakni : Sultan Abu Nashar Abdul Kahar yang dikenal pula sebagai "Sultan Haji".
Sultan Haji adalah seorang yang sangat loyal terhadap VoC Belanda, sesuatu yang justru sangat dibenci oleh ayahandanya. Terjadilah pendurhakaan seorang putera kepada ayahandanya demi menuruti bujuk rayu VoC Belanda yang teramat sangat mempengaruhi pola berpikirnya. Maka Perang Banten yang terkenal itu meletus, perang antara ayah dan anak yang disebut oleh Budayawan/Sejarawan/Sastrawan/Ilmuwan dan Ulama Pahlawan Buya HAMKA sebagai : Kesedihan Besar Banten yang kedua.
Perang Banten (1678-1684) antara Sultan Ageng Tirtayasa beserta puteranya yang lain bernama : Pangeran Hasan (Pangeran Purbaya) yang dibantu oleh Syekh Yusuf dan para pahlawan Perang Makassar melawan Sultan Haji yang dibantu sepenuhnya oleh VoC Belanda. Perang itu berkecamuk dengan dahsyatnya, mengakibatkan korban jiwa dan harta benda yang amat banyak. Suatu hal menarik yang sehubungan dengan topik tulisan ini, bahwa dalam situasi perang yang memanas itu, tokoh Abdul Hamid Daeng MangallE diangkat pula menjadi menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Pangeran Pemberani dari Makassar itu mempersunting puteri baginda,bernama : Angke Syafiah.
Dalam bulan April 1675, ditengah berlangsungnya Perang Banten yang melibatkan banyak tokoh berbagai bangsa itu, tibalah Pangerang Kejoran (Adipati Anom), seorang bangsawan tinggi Kerajaan Mataram di Banten. Beliau adalah mertua Raden Trunojoyo yang sedang membangun pergerakan melawan Prabu Amangkurat I, Sultan Mataram. Pangeran Mataram itu meminta bantuan kepada para petinggi Makassar untuk membantu pergerakan Raden Trunojoyo melawan dominasi VoC Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Atas pertimbangan Syekh Yusuf, maka I Mannidori KarE' TojEng KaraEng GalEsong dan KaraEng Bontomarannu memenuhi undangan itu, melanjutkan perjuangan melawan VoC di Front Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maka berangkatlah kedua pahlawan Makassar itu bersama segenap lasykarnya untuk bergabung dengan Raden Trunojoyo di Kediri yang diturut pula oleh DaEng Mangika (putera Sultan Muhammad Ali Sombayya Gowa XVIII), I Mappa Arung Tonra KaraEng Rappocini', KaraEng Mamampang dan Sultan Harun Al Rasyid KaraEng Tallo yang disertai oleh para lasykar Bima. Dalam bulan itu pula, susul menyusul pahlawan lainnya untuk membantu Raden Tunojoyo, yakni : I Muntu Daeng Mangappa dan I Ata TojEng DaEng Tulolo bersama segenap lasykarnya pula (perihal riwayat ini akan disusun dalam judul tulisan lain, penulis).
Sepeninggal beberapa tokoh utama Lasykar Makassar yang mengalihkan perjuangannya ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, maka kekuatan pihak Sultan Ageng Tirtayasa pun berkurang. Pasukan Makassar yang tersisa dipimpin oleh Syekh Yusuf, Abdul Hamid DaEng MangallE, La Palissubaya Daeng Mattuju KaraEng LambEngi (Mantan Pajung ri Luwu), DaEng Kalibe KaraEng Malukessi beserta dengan I Fatimah DaEng Takontu. Tokoh terakhir disebut ini adalah panglima pasukan khusus yang keseluruhannya terdiri dari kaum wanita pemberani. Olehnya itu maka pembesar Belanda di Batavia menggelarinya sebagai : Garuda Betina dari Timur, julukan yang mirip dengan ayahnya, yakni : De Haantjes Van Oosten (Ayam Jantan Dari Timur), Sultan Hasanuddin.
Terpecahnya kekuatan lasykar Makassar yang mengakibatkan lemahnya pertahanan Pasukan Banten, akhirnya berakibat fatal. Dalam tahun 1680, La Palissubaya Daeng Mattuju KaraEng LambEngi tertangkap oleh pasukan VoC lalu menjalani hukuman pembuangan ke Cape Town, Afrika Selatan. Lalu 2 tahun kemudian, yakni tahun 1682, Sultan Ageng Tirtayasa juga tertangkap dan ditawan di Batavia hingga wafat pada tahun 1692. Maka tinggallah Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya, Pangeran Kidul serta segenap pimpinan lasykar Makassar melakukan perang gerilya di hutan-hutan wilayah Cirebon, Karawang, Cisarua, Ciaten, Priangan hingga ke Mataram. Dalam perang gerilya itu, Pangeran Kidul (putera Sultan Ageng Tirtayasa) gugur. Akhirnya setelah anak dan isterinya dijadikan sandera, Syekh Yusuf terpaksa menyerah pula. Beliau dijatuhi hukuman pembuangan ke Ceylon, Srilangka lalu dipindah ke Cape Town, Afrika Selatan.
Setelah Syekh Yusuf tertangkap, I Fatimah DaEng Takontu dan DaEng Kalibe' KaraEng Malukessi beserta segenap pasukannya meninggalkan Banten, melanjutkan perantauannya menuju ke Mempawa (Kalimantan Barat). Mereka diterima baik oleh Sultan Mempawa, seorang Pangeran Bugis pula, yakni : Opu DaEng Manambung (putera Opu DaEng RilEkke'). Kedua ksatria itu dinikahkan dan membuahkan seorang puteri bernama : DaEng Tipa. I Fatimah DaEng Takontu wafat di Mempawa dan dimakamkan di Pulau Tumaju, Kalimantan Barat (Syarifuddin KullE dkk, I Fatimah Daeng Takontu - Buana, 2005).
Lalu bagaimana halnya dengan Tokoh Utama riwayat ini ?. Dalam uraian yang menjadi setting kronologis eksistensinya pada Perang Banten diatas, didapati pula sumber yang simpan siur seputar ruang waktu perjuangannya. Menurut Sejarawan H.D. Mangemba, bahwa putera sulung DaEng MangallE bernama DaEng Ruru lahir di Jawa Timur dalam tahun 1672. Dengan demikian, jika dihubungkan dengan sumber lain yang juga simpan siur yang dikemukakan oleh Zainuddin Tika dkk (Daeng Ruru, Panglima Perang Kerajaan Perancis) sehubungan dengan kronologis perang Banten dan keberangkatan DaEng MangallE sekeluarga ke Ayuthia, Siam (Thailand), maka didapati pula jika Abdul Hamid Daeng MangallE ikut pula membantu perjuangan Raden Trunojoyo dan KaraEng GalEsong. Bahkan jika dihubungkan dengan kelahiran puteranya dalam tahun 1672 di Jawa Timur, berarti tokoh ini berjuang di Jawa Timur sebelum kedatangan KaraEng GalEsong dkk.
Agaknya terlalu berat bagi penulis yang masih amatiran ini untuk meneliti lebih jauh, sumber-sumber yang lebih tepat menyangkut tulisan ini. Apapun dan bagaimanapun kronologis sejarah sebelum keberangkatannya ke Negeri Siam, Gervaise yang menjadi sumber utama perihal ini memberitakan bahwa DaEng MangallE' sekeluarga bertolak ke Ayuthia, Siam dalam tahun 1674. Beliau disertai 60 keluarga Makassar dalam perantauannya tersebut.
Wallahualam Bissawwab..
Ksatria Makassar, menantang badai ! (bagian 4)
Perang Terakhir Sang Ksatria (2)
Bagian ini dikisahkan oleh Laksamana Claude de Forbin pada memoarnya, kemudian diuraikan oleh Gervaise dalam bukunya : "Desctiption Historique du Royaume de macacar " (diterbitkan dalam edisi Bahasa Inggris dalam judul : The History of the Kingdom of Macasar, Printed for T. Leight and D. Midwinter, the Rose and Grown in Paul's Church Yard, London 1701), lalu diteliti lebih lanjut oleh Dr. Dhristian Pelras hingga diuraikan dalam bentuk buku dan makalah oleh banyak ahli sejarah.
Selain itu, Bernard Orleans telah menuliskan pula perihal kisah ini dalam "Les Prancais at I' Indonesie du XVie au XXe Siecle (Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XV - XVI, Kepustakaan Populer Gramedia - 2006). Melalui tulisan merekalah maka tulisan sederhana ini diuraikan sebagaimana adanya. Sekedar menyampaikan dan menuliskan hasil bacaan ....
.....................................................................................
Setelah merapat di pelabuhan pemeriksaan Benteng Bangkok, Nakhoda Kapal Makassar itu turun bersama 6 awak kapalnya untuk menghadap ke Komandan Garnisun Pasukan Perancis yang mengepalai benteng tersebut, yakni : Kapten Forbin. Sang Nakhoda menanyakan perihal penahanan kapalnya seraya menunjukkan pas jalannya yang ditandatangani dan di cap stempel Perdana Menteri Constance Phaulkon. Kapten Forbin meminta maaf dan mengatakan jika pas jalan itu sudah benar. Namun sehubungan dengan kekacauan yang baru saja terjadi di Kota Ayuthia, maka Kapal mereka harus digeledah dengan alasan kekhawatiran jika ada anggota komplotan pemberontak yang bersembunyi untuk meloloskan diri. Untuk itu diminta agar semua awak kapal dinaikkan ke Benteng, sementara Pasukan Benteng menggeledah kapal itu.
Merasa tidak menyembunyikan apa-apa, Nakhoda menyetujui penggeledahan itu dengan syarat agar awak kapalnya yang dinaikkan ke benteng itu diperkenangkan tetap mengenakan Badik dan Kerisnya. Karena bagi Orang Bugis Makassar, Keris dan Badik adalah "jiwa kedua" dalam dirinya !, demikian penjelasan Nakhoda. Maka Kapten Forbin pun setuju dengan persyaratan itu. Mengingat bahwa pasukan pengawal benteng itu cukup banyak serta masing-masing dilengkapi dengan senjata api. Seberapa sih kemampuan sebuah senjata tajam genggam (dagger) dibanding dengan bedil dan flicker ?. Maka Nakhoda mengutus 2 orang diantara keenam awak kapal yang menyertainya untuk naik ke Kapal agar memanggil semua awak yang lain, turun ke anjungan.
Melihat kedua awak kapal itu berlalu, secara diam-diam Kapten Forbin memerintahkan kepada kedua ajudannya yang berkebangsaan Fortugis untuk mencegat dan menangkap keduanya serta melucuti badiknya. Namun kedua orang Portugis itu menolak melaksanakan perintah itu. Salah seorang diantaranya adalah seorang perwira tua Portugis menasehatkan pada Kapten Forbin bahwa menurut pengalamannya, bahwa orang Makassar tidak dapat ditundukkan dalam keadaan hidup, mereka harus langsung dibunuh. "Terus terang saja, jika anda sampai ketahuan ingin menangkap Kapten bersama awaknya di anjungan itu, dia dan sedikit orang yang bersamanya akan membunuh kita semuanya dan tidak membiarkan seorangpun hidup !" (Forbin, memoar 1686).
Maka Kapten Forbin berunding dengan ajudannya itu dengan menggunakan bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Nakhoda serta keempat awaknya. Lalu Forbin meminta permisi sebentar kepada tamu-tamunya tersebut untukmasuk sebentar kedalam benteng. Ia memanggil serta memerintahkan 20 pasukan pilihan dari unsur Kerajaan Siam untuk mengepung Nakhoda serta keempat awaknya yang tersisa.
Selanjutnya Forbin menulis dalam buku memoarnya, sbb : "Saya memerintahkan seorang Pejabat Siam untuk menyampaikan kepada Kapten Makassar, bahwa saya merasa sangat tersiksa karena mendapat perintah untuk menangkapnya, tapi ia (mereka, penulis) akan mendapat perlakuan baik dari saya. Saat kata pertama terlontar dari mulut Pejabat Siam itu, sambil mencampakkan "topi kain" (destar "Passapu", penulis) mereka ke tanah, keenam orang Makassar itu menghunus pisau (badik, penulis) dan menyerbu membabi buta seperti kesurupan, membunuh seketika itu si Pejabat Siam dan 6 orang rekannya yang ada dalam pavilium ..". Pejabat Siam yang dimaksud Kapten Forbin itu adalah petugas penerjemah.
Kapten Forbin nyaris tewas ditangan Nakhoda yang "A'jallo' " (mengamuk) itu, sekiranya tidak diselamatkan oleh seorang sersannya yang segera menembaknya mati. Ketika Nakhoda jatuh tersungkur ditembusi peluru, Tuan Beauregard", seorang Kapten Perancis yang berada ditempat itu pula melarang sersan untuk membunuhnya. Ia berjongkok untuk mengambil sebilah badik lain yang masih terselip dipinggang Nakhoda yang sedang sekarat itu. Namun ia salah menarik pada bagian sarung (warangka, wanuwa) badik itu. Tanpa disangka-sangka, orang yang nyawanya tinggal 1/4 bagian itu merengkuh gagang badiknya, seraya menikamkannya pada perut Kapten Beauregard. Setelah berhasil merobek perut lawannya, Nakhoda itu menghembuskan nafasnya yang terakhir, disusul Tuan Beauregard tak lama kemudian.
Adapun halnya dengan kedua awak kapal yang diutus terdahulu, merekapun mengamuk dengan sengitnya ketika akan ditangkap serta dilucuti. Setelah berhasil membunuh beberapa pengepungnya, merekapun terluka parah. Namun keduanya berhasil meloloskan diri dengan cara melompat turun ke laut.
Setelah menunggu beberapa lama, 48 awak kapal Makassar itu memutuskan untuk turun ke dermaga diluar benteng. Mereka menunggu Nakhoda beserta keenam temannya yang lain yang masuk kedalam anjungan benteng. Kapten Forbin mengirim 2 kompi Pasukan Portugis yang dipimpin oleh 2 perwira Inggris, yakni : Kapten Hue dan Kapten Michin untuk menghadang mereka di dermaga. Kapten Forbin sendiri memimpin 1 batalyon Lasykar Siam yang sedang mengikuti pelatihan militer untuk membantu kedua kompi itu.
Setelah berhadapan di dermaga, Kapten Forbin memerintahkan para awak Kapal Makassar itu untuk naik kembali ke kapalnya. Namun mereka menolak perintah itu dan berkata bahwa mereka tidak akan kembali ke kapal selama Nakhoda dan keenam kawannya belum datang. Namun tanpa koodinasi terlebih dahulu, tiba-tiba Kapten Hue memerintahkan pasukannya menyerbu ke-48 awak kapal Makassar itu.
Dr. H. Wahyuddin Hamid dalam bukunya : Passompe Bugis Makassar 2 yang dieditori Prof. Dr. H. Kulla Lagosi, MS, menguraikan peristiwa itu yang diberitakan dalam memoar Laksamana Forbin, bahwa ketika melihat pasukan Portugis dan Siam bergerak menyerbu mereka, para Awak Kapal Makassar yang sedang berjongkok itu serentak bangkit sambil menghunus badiknya. Dalam gambaran Forbin, dikatakan bahwa orang-orang Makassar yang berjongkok dengan cara mereka itu, tiba-tiba berdiri sambil menghunus pisauunya (badik, penulis). Mereka melingkari lengan kirinya masing-masing dengan sejenis kain selempang yang biasanya dililitkan dipinggang atau dikepala (pasti yang dimaksudnya itu adalah : Sarung yang dipergunakan sebagai perisai penangkis senjata tajam, penulis).
Lebih lanjut Forbin mengemukakan dalam terjemahan bahwa, ".. mereka menerjang pasukan Portugis dengan pisau ditangan, kepala menunduk dan dengan kekuatan besar menikam dan mencabik-cabik orang-orang Portugis, nyaris sebelum kami sadar bahwa mereka sudah diserang. Dari itu, mereka mendepak kearah pasukan yang saya pimpin dan kehabisan nafas, meski saya memiliki 1000 lebih prajurit bersenjatakan tombak dan bedil, orang-orang yang mengerikan itu menyerang pasukan saya sedemikian rupa sehingga semuanya terjungkal. Orang-orang Makassar itu bergerak dengan menginjaki perut mereka (lawan-lawannya yang terkapar, penulis) dan membunuh semua yang dapat dijangkau, bebar-benar pembantaian yang mengerikan..".
Kedua perwira Inggris yang memimpin Pasukan Portugis itu tewas seketika ditempat itu. Setelah berhasil menempus 2 kompi Pasukan Portugis dalam waktu yang teramat singkat itu, mereka menyerbu pula kearah Lasykar Siam yang dipimpin Forbin. Meskipun lasykar itu berjumlah 1000 personel, namun kenekatan para orang Makassar itu membuat mereka panik dan lari bercerai berai menyelamatkan diri masing-masing. Maka banyak pulalah yang jadi korban tikaman badik. Kapten Forbin terpaksa memundurkan pasukkannya yang jadi kacau itu ke dalam benteng, sementara beberapa yang lainnya berlarian menyelamatkan diri ke arah perkampungan dibelakang benteng. "..dalam keadaan kalang kabut itu, mereka mendesak kami hingga ke kaki tembok benteng yang baru, enam diantara mereka yang paling nekad menegjar pasukan yang kabur dan masuk kedalam teluk buatan yang menghadap sungai dekat tembok bersegi empat. Mereka melewati benteng disisi lain dan menjadikan semua tempat itu pembantaian yang mengerikan dengan membunuh tanpa memandang jenis usia dan jenis kelamin. Wanita dan anak-anak beserta semua yang bergerak didepan mereka. Mereka menyerang membabi buta guna bertempur sampai mati..." (Forbin, memoar ). Setelah menyebar maut di jalanan sepanjang perkampungan itu, keenam orang itu memasuki sebuah Biara (kuil Budha) seraya membunuh semua penghuninya. Mereka berkubu dalam biara itu dalam waktu beberapa lama.
Awak kapal yang tidak ikut menyerbu perkampungan itu kembali ke kapal untuk mengambil perlengkapan perang (bedil, tombak, perisai, dll..). Kemudian mereka membakar kapalnya sebagai tanda untuk bersiap bertempur sampai mati. Setelah itu, tanpa komando yang pasti mereka beriringan menyerbu perkampungan lasykar Siam yang tidak jauh dari dermaga. Perkampungan militer itu dibakarnya serta membunuh orang-orang yang ditemuinya. Para penduduk serta lasykar Siam berlarian menyelamatkan diri serta banyak pula diantaranya yang melompat ke sungai Menam. Rasa putus asa dalam keadaan tersudut, membuat mereka mengganas bagaikan gila. Kapten Forbin berusaha menahan amukan mereka dengan sebuah pasukan kecil bersenjata api, menembaki mereka dengan gencarnya. Namun orang-orang yang sudah kehilangan naluri kemanusiaan itu bergerak mundur ke hutan yang sulit diikuti oleh Pasukan Forbin.
Ketika pelaut-pelaut Makassar itu mundur ke hutan, Kapten Forbin menerima laporan mengenai orang Makassar yang berkubu dalam Biara. Maka ia menunda pengejarannya kedalam hutan untuk segera menumpas penyandera itu. Perwira Perancis itu beserta 80 personel pasukan gabungan mengepung Biara yang dijadikan kubu pertahanan 6 orang Makassar. Namun setelah mengetahui jika semua Biarawan telah dibunuh, maka dibakarnya biara itu untuk memaksa mereka keluar. Akhirnya melalui pertempuran sengit, keenam pelaut itu dapat ditewaskan satu persatu.
Selanjutnya Kapten Forbin mengerahkan 2 Batalyon dan 1 Kompi pasukan gabungan untuk mengepung hutan dimana ke-17 pelaut Makassar yang sedang bersembunyi. Sisa pelaut yang masih bertahan itu mengalami penderitaan berat selama 3 minggu dalam musim penghujan ketika itu. Sebelum kawasan itu dikepung, mereka masih bisa mencari makan di perkebunan sekitar hutan. Namun kini, mereka terpaksa harus memakan daun-daunan hutan, sekedar menyambung hidup.
Penderitaan itu semakin parah ketika turun hujan lebat yang menyebabkan banjir dalam hutan. Mereka terpaksa harus berjalan di air sebatas lutut. Kapten Forbin dan pasukannya semakin meransek masuk ke hutan untuk memperkecil ruang gerak para pelaut itu. Mereka masih bertahan diatas sebuah bukit kecil yang dikelilingi air. Namun, jelaslah sudah, tidak ada lagi jalan untuk meloloskan diri. Kapten Forbin yang mengepung dikaki bukit berseru agar sebaiknya mereka menyerah saja. Ia berjanji untuk memintakan ampun bagi mereka kepada Raja Phra Narai.
Orang-orang Makassar yang semuanya dalam kondisi tubuh yang sangat lemah itu, menganggap seruan Forbin sebagai penghinaan. Mereka sadar bahwa mustahil akan mendapatkan pengampunan. Mati sebagai laki-laki jauh lebih terhormat daripada hidup sebagai manusia pengecut hina. Pemikiran itu seakan menghidupkan kembali sisa-sisa tenaga dalam tubuh mereka yang mulai pudar. Maka dengan seruan membahana, mereka berlarian turun dari bukit itu, seraya melemparkan tombaknya pada para pengepungnya. Mereka menerjungkan diri pada genangan air dengan badik terhunus diacung-acungkan dengan ganasnya, tidak sabar lagi untuk ditikamkan kepada para pasukan diseberang genangan itu. Namun, pasukan pengepung itu telah siaga dengan senjata api yang terkokang dan dibidikkan kepada sekumpulan orang kalap itu. Forbin menyerukan aba-aba "tembak", maka meletuslah rentetan demi rentetan tembakan yang memuntahkan ribuan butir peluru. Orang-orang Makassar yang nekad itu terlempar dan terjerembab di air, terkapar dan tewas tidak lama kemudian.
Suatu hal yang menarik dan menimbulkan kekaguman pada Forbin, mereka semua mati dalam keadaan masih mencekal gagang badiknya. Kematian para pemberani yang mengharamkan kata "menyerah" dalam kamus hidupnya.
Wallahualam Bissawwab..
Ksatria Makassar, menantang badai (bag.5)
"..dan meskipun pasukannya (Raja Siam Phara) terdiri atas 10.000 orang dan dibantu oleh 40 perwira Eropa (Perancis, Inggris dan Portugis), orang Makassar yang baru berapa ratus saja tetap tidak mau menyerah, malah bertahan selama beberapa hari. Akhirnya mereka semua mengamuk. Dalam pertempuran itu kira-kira 1000 orang Siam dan 17 perwira Eropa tewas, sedangkan dipihak Makassar hampir semua dibunuh, termasuk Daeng MangallE. Yang ditangkap hanyalah 55 orang, yang hampir semua luka-luka termasuk 2 orang anak lelaki Daeng MangallE yang bernama Daeng Ruru (yang berumur 14 tahun) dan Daeng Tulolo (12 tahun).
(DR. CH. Pelras,1975:58)
................................................................................................................
Abdul Hamid Daeng MangallE telah tiada. Para pengikutnya yang masih hidup menyebutnya sebagai "gugur" mempertahankan kehormatannya. Sebaliknya, orang Siam menyebutnya sebagai "tewas" dengan hina akibat membalas budi baik Raja Phra Narai dengan penghianatan. Entah yang mana lebih tepat diantara kedua persepsi tersebut, namun sejarah telah memberitakan suratan nasib itu dengan bijaknya, tanpa keberpihakan.
Adapun halnya dengan kedua putera Daeng MangallE tersebut diatas, merekapun ikut bertempur melawan pasukan penyerbunya. Keduanyapun telah terluka namun tetap mengamuk sambil bahu membahu saling melindungi. Akhirnya dilihatnya jenazah ayahnya terbujur dengan penuh luka. Tanpa memperdulikan para penyerangnya, mereka memeluk jenazah itu dengan kesedihan yang tak terkira. Keduanya niscaya terbunuh oleh pasukan Siam sekiranya tidak diselamatkan oleh pasukan Perancis yang kagum melihat keberanian anak-anak Makassar itu.
Dikemukakan pula oleh Sejarawan H.D. Mangemba bahwa setelah diselamatkan oleh pasukan Perancis, keduanya dibawa menghadap pada Duta Besar Perancis untuk Kerajaan Siam, yakni : Gervaise (sumber utama riwayat ini, penulis). Mengetahui serta melihat sendiri keberanian ayah kedua anak itu, muncullah dalam pemikiran Duta Besar itu untuk membawa keduanya ke Perancis. Keberanian ayahnya pastilah menurun pula kepada kedua puteranya. Sekiranya mereka mendapat didikan militer yang tepat, pastilah keduanya akan menjadi perwira tangguh yang berguna bagi Kerajaan Perancis, demikian kira-kira ide yang timbul dibenak Gervaise pada waktu itu.
Untuk mewujudkan idenya itu, Gervaise mengirim surat kepada Raja Louis XIV dengan mengabarkan perihal kedua putera Makassar itu serta memohon perkenan agar keduanya dibawa ke Perancis. Mengetahui khabar itu, Louis XIV mengirim surat pula kepada Raja Siam Phra Narai meminta agar kedua putera Daeng MangallE itu dikirim ke Perancis. Maka Phra Narai pun setuju dengan mengutus Perdana Menteri Siam, Constance Phaulkon untuk menyertai rombongan Duta Besar Gervaise yang mengantar kedua anak itu ke Perancis.
Pada tanggal 5 Nopember 1686, rombongan yang mengantar Daeng Ruru dan Daeng Tulolo bertolak dari Ayuthia menuju Perancis dengan kapal Perancis "Le Choce" dibawah pimpinan Kapten De Hautmesnil. Mereka menempuh perjalanan laut yang jauh selama 10 bulan hingga tiba dengan selamat di Kota Paris dalam tahun 1687.
Adapun halnya kedua putera Almarhum Daeng MangallE itu setelah mendarat di Kota Paris, mereka berada dalam asuhan dan pengurusan Duta Besar Gervaise. Untuk memberikan pendidikan awal dalam masa adaptasi di negeri yang serba asing bagi mereka itu, keduanya dititipkan pada sekolah yang paling terkenal di Paris, yakni : College de Clermont. Sebuah lembaga pendidikan yang dikelola oleh para Pastor Yesuit.
Pada awalnya, keduanya mendapatkan kesulitan dalam asrama sekolah itu. Pasalnya, mereka adalah anak Muslim yang mendapat pendidikan agama Kristen di lembaga itu. Mereka tetap teguh menjalankan Sholat Lima Waktu di asrama yang diasuh oleh para pastor itu. Walaupun berulangkali ditegur oleh pastor, namun mereka tetap teguh menjalankan ibadahnya sebagaimana yang ditanamkan kedua mendiang orang tuanya.
Beberapa hari menjalani kehidupan baru di asrama, keduanya dihadapkan pada Raja Louis. Melalui penerjemah, Raja Matahari Perancis tersebut mengatakan kekagumannya namun kurang senang pula karena mereka beragama Islam. ntuk itu baginda berharap agar keduanya memeluk agama Kristen.
Setelah kembali ke asrma sekolahnya, para aparat kerajaan menyampaikan keinginan Raja tersebut pada kedua anak itu. Tetapi keduanya menolak dengan keras. Namun begitu gigihnya bujukan para aparat kerajaan dan pendeta pengurus asrama itu, akhirnya keduanya menurut. Mereka bersedia pindah agama karena dijanjikan bahwa Raja Louis XIV berkehendak menjadikan mereka sebagai anak angkat, sekiranya keinginannya dipenuhi.
Maka kedua putera Daeng MangallE itu dibaptis dengan Raja Louis XIV sendiri yang menjadi bapak baptisnya. Mereka mendapatkan nama baptis pula disertai dengan gelar kebangsawanan Kerajaan Perancis. Daeng Ruru memperoleh nama sebagai : Louis Pierre Daeng Ruru de Macassar, sedang adiknya Daeng Tulolo mendapatkan nama, yakni : Luis Douphin Daeng Tulolo de Macassar.
Raja Louis XIV benar-benar telah memenuhi janjinya kepada kedua anak Makassar itu. Baginda memenuhi kebutuhan hidup mereka sebagaimana layaknya pangeran serta bertanggung jawab pula pada pemenuhan kebutuhan yang menyangkut pendidikannya. Keduanya yang telah terdaftar pada Kolese Jesuit le Grand untuk mempelajari Bahasa Perancis dengan mahir serta segala etiket pangeran Perancis. Selain itu, sebagai anggota keluarga kerajaan, keduanya pun mengikut tradisi pendidikan sebagaimana halnya para pangeran Perancis pada masa itu. Kakak beradik itu melengkapi pendidikannya dengan tradisi pendidikan militer selama 5 - 6 tahun. Maka mereka didaftarkan pula pada Sekolah Tinggi Militer Clermont yang terkenal itu.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Clermont dengan hasil yang amat memuaskan, maka dalam tahun 1682 mereka didaftar pula di pendidikan Marinir Tertinggi di Perancis, yakni : Sekolah Perwira Angkatan Laut di Brest.
(bersambung)
Andi Oddang
Sekapur Sirih
Bismillahirrohmaanirrohiim
Alhamdulillahirobbil Aalamien, Assholatu wassalaamu alaa' asrafil ambiyaa'i wal mursaliim, Asyhadu allaa' ilaaha' Illallaahu, wa asyhadu anna Muhammadan abduhuw warassuwlu, laa' nabiya ba'da. Ammaa ba'du...
Setelah merampunkan tulisan "Belawa, Negeri di Persimpangan Sejarah", tanpa diduga Blog sederhana ini mendapatkan kunjungan dari Adindaku ANDI SUWAIDI dan Ibu RAJA RACHMAWATI yang teramat saya muliakan. Setelah ditelusuri, mereka sesungguhnya kerabat kami yang lahir dan tumbuh di Tanjung Balai Karimun, Riau. Adinda Andi Suwaidi merupakan Generasi ke-VI dari La Pawellangi Petta PajumpEroE Arung Matoa Wajo ke-39 yang juga pada nazabnya yang lain adalah termasuk dalam rumpun Keluarga Besar La TEngko Petta Manciji'E ri Wajo (Leluhur ke-IV Penulis). Kemudian Ibu Raja Rachmawati adalah keturunan We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu ke-24/26 (Leluhur ke-VIII Penulis), "Ratu Agung" yang menurunkan salahsatu dari tangkai generasinya yang ke-III, yakni : OPU LIMA (Lima Opu Bersaudara) yang termahsyur menjadi tunas para Sultan di Malaka, Selangor, Johor, Mempawah, Pegatan, Linggih serta Yam Tuan Muda Riau dari generasi ke generasi.
Penulis sesungguhnya belum pernah bertemu rupa dengan kedua kerabat (Sompunglolo) ini. Bahkan juga belum pernah saling memperdengarkan suara lewat telepon. Namun, mereka terasa begitu dekat seakan darah yang mengalir melalui segenap pembuluh darah pada raganya adalah darahku jua. Darah yang sesungguhnya menyatu dalam diri leluhur kami.
Pertemuan lewat tulisan di dunia maya inilah yang menggelitik rasa keinginantahuanku untuk menilik lebih jauh tentang hal ihwal para Tokoh Bugis-Makassar di masa lalu yang menebarkan tunas keturunannya di Negeri Rantau. Memenuhi panggilan jiwa inilah sehingga beberapa pekerjaanku di kantor sempat terbengkalai selama beberapa hari. Pasalnya, penulis terpaksa menjelmakan diri sebagai "tikus gudang", membongkar kembali buku-buku dan copian artikel yang sempat terlupakan.
Maka tulisan ini mulai saya susun jua, buah pemikiran dan penelitian para Budayawan dan Sejarawan terkemuka yang selama ini menjadi panutanku, diantaranya : Prof. Dr. H. Andi Mattulada, Prof. MR. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH dan para Sejarawan lainnya yang nantinya akan saya lampirkan pada Catatan Kaki pada bagian akhir tulisan ini.
Akhirnya tiada lain yang dapat saya haturkan, semoga kiranya kumpulan catatan ini dapat menjadi perekat Silaturrahmi yang mengantarkan kita sekalin menuju Ridlo Allah SWT. Maka perkenankan kuhaturkan salam Takzim dan hormatku yang sedalam-dalamnya kepada,:
*Adinda Andi Suwaidi Sekeluarga di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau,
*Ibu Raja Rachmawati Sekeluarga di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau,
*Ibu Noor Lizah Nurdin Sekeluarga di Riau,
*Saudara kami Yang Mulia YB. Dato' Seri Aziem di Malaysia,
*Sempogiku Personel Blogger BUGIS BUKAN PATI DI SABAH, Malaysia
*Teman Facebookerku Hartini Marish di Malaysia...
Dengan ucapan : Ikatan Aqidah dan Budaya sesungguhnya tidaklah dibatasi oleh Negara dan Waktu..
Wassalam...
Pendahuluan
Pura ba'bara sompe'ku..
Pura tangkisi golingku..
Kulebbirengngi telleng natoaliE !
(Lontara Andi PallogE Petta Naba)
Telah terkembang layarku...
Telah terikat kemudiku..
Kumemilih tenggelam dari pada kembali !
(Lontara Andi PallogE Petta Naba)
..........................................................................................
" Bangsa Perantau", kiranya itulah julukan yang pas bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang terdiri dari 4 suku utama, merupakan induk dari beberapa suku lainnya. Mereka adalah : Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Namun secara umum di Negeri Rantau mereka lebih dikenal sebagai "Bugis Makassar".
Melakukan perjalanan jauh melintasi samudera nan luas, itulah salahsatu topik utama yang mendominasi alur kisah dalam kitab sastra Bugis kuno, yakni : I La Galigo (Epos terpanjang di dunia yang terdiri dari kurang lebih 8000 halaman Folio yang dapat ditemukan dan masih banyak lagi bagian lainnya yang belum terdata). Kisahnya bermula pada perjalanan La Toge'langi Batara Guru yang diturunkan dari Botinglangi (khayangan) ke Attawareng (Bumi), Perlawatan La Toge'langi Batara Guru ke Peretiwi (Negeri Bawah), Perlawatan La Tiuleng Batara Lattu' (putera La Tiuleng) ke Negeri Tompotikka, Pengembaraan Sawerigading (putera La Tiuleng, tokoh utama Epos I La Galigo) ke berbagai Negeri seberang lautan, Perlawatan Sawerigading ke Marapettang (Negeri Arwah), Perlawatan duta pernikahan Sawerigading ke Negeri Cina (Tana Ugi), Perlawatan penaklukan I La Galigo (putera Sawerigading) ke Pujananting, ............ perjalanan ekspedisi lainnya oleh para cucu Sawerigading hingga babak perjalanan terakhir Sawerigading dan keluarganya kembali ke Negeri Luwu "tinrelle'" (turun) ke Uri Liung (Negeri Dunia Bawah).
Bagi siapapun yang pernah membaca rangkaian Trilogy : Een Episode Uit Het I La Galigo Epos, Bijdragen Tot De Taal, Land en Volkenkinde, 117:363-383 (R.A.Kern-Leiden, 1961) atau I La Galigo, Cerita Bugis Kuno (R.A.Kern, Gajah Mada University Press-Yogyakarta, Cet. II-1993), kemudian membaca atau menonton film Trilogy : The Lord Of The Rings (The LOTR) karya John Ronald Revel Tolkien yang terbit pertamakalinya pada tahun 1937 (Judul : The Hobbiet), pastilah akan beranggapan jika J.R.R. Tolkien telah membaca beberapa episode I La Galigo sebelum mendapatkan ide imajinatif berkenaan flot dan karakter pada novel klasiknya yang mendunia tersebut. Anggapan ini disebabkan oleh banyaknya persamaan karakter pada tokoh-tokohnya ditambah pula plot dan setting cerita yang sangat mirip. Maka dalam hal ini, penulis sempat berseloroh bahwa bahkan mitologinya ikut pula merantau kemana-mana.
Ketika membuka catatan lama tentang perantauan orang Bugis-Makassar pada abad XVII, maka sebagian kalangan berpendapat jika motivasi perantauan itu disebabkan oleh "pengalaman pahit" yang dialaminya di Negeri sendiri, sehingga mereka bermaksud "membuang diri" beserta kepedihannya di Negeri Rantau yang jauh. Namun jika istilah "perantauan" ini dipahami sebagai "perjalanan / perlawatan ke Luar Negeri" (Imigrasi), maka pendapat itu ada benarnya. Perjanjian Bungaya (Cappayya ri Bungaya) pada tanggal 18 Nopember 1967 yang merupakan "gencatan senjata" antara pihak Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) beserta sekutunya (Luwu dan Wajo) dengan VOC bersama sekutunya (La Tenri Tatta Arung Palakka yang memimpin aliansi pasukan Bone dan Soppeng), dipahami beberapa petinggi kerajaan Makassar dan sekutunya sebagai pernyataan kalah perang yang tidak mungkin diterimanya. Walaupun hal ini ditempuh oleh I Mallombassi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin Sombayya Gowa dengan alasan demi menyelamatkan rakyat yang kian menderita. "Keberanian adalah suatu keutamaan, namun segalanya memerlukan kearifan dalam berpikir...", demikian ujar baginda. Namun kekecewaan petinggi lainnya yang tidak dapat menerima perjanjian itu tidak tertahankan jua. Dengan tidak mengurangi takzim dan sembah sujudnya pada Sang Sultan, mereka pamit untuk membuka front pertempuran melawan VOC di kawasan lain di luar wilayah imperium Kerajaan Makassar.
Kembali kepada topik kajian, yakni penjelajahan samudera para tokoh Bugis-Makassar sejauh layarnya terkembang. Pada era tahun 90-an, seorang pengusaha Jepang yang berkunjung ke Candi Borobudur (Jawa Tengah) sangat tertarik dengan relief bergambar Perahu pada candi Budha yang mengagumkan itu. Ia mengambil gambar relief tersebut dengan camera, lalu mencari informasi dimana kiranya dapat dipesan untuk pembuatannya. Sesuai petunjuk yang didapatnya, maka orang Jepang itu mengunjungi Pulau Sapudi (Madura), sentra pembuatan perahu tradisional di Jawa Timur. Namun tidak seorangpun di tempat tersebut yang mengenal jenis perahu yang tergambar pada relief candi Borobudur serta tidak bisa membuatnya sebagaimana dipesankan oleh orang Jepang itu. Maka kembalilah ia ke Jepang dengan rasa penasaran.
Berselang beberapa waktu setelah di Jepang, ia mendapatkan informasi tentang keberadaan sebuah masyarakat ahli pembuat perahu di Sulawesi Selatan, Indonesia. Didorong oleh minatnya yang tinggi tentang Budaya Maritim, akhirnya ia segera berkunjung kembali ke Indonesia. Didatanginyalah tempat sebagaimana tersebut sesuai informasi yang didapatnya, tepatnya di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba. Diluar dugaan, reaksi Pembuat Perahu yang melihat gambar perahu yang dipesan sesuai dengan pahatan relief itu biasa-biasa saja. Menurutnya, perahu tersebut adalah salahsatu jenis perahu Bugis-Makassar yang sejak dulu dikenal dengan nama : Lambo'...
Memahami "perantauan" sebagai sebuah tradisi bagi masyarakat Sulawesi Selatan, maka tradisi tersebut mutlak mestilah diimbangi dengan kemampuan teknologi pembuatan dan perahu yang handal pula. Selain itu, kemampuan navigasi dan keperkasaan dalam perang laut juga adalah suatu keunggulan yang harus dimiliki. Maka dalam hal ini, Pieter Van Dam (seorang penulis VOC pada abad ke-XVII) menguraikan dalam bukunya, "Beschrijving van de Oost-Indische Compagnie 2de Boek 5de Capittel" (Uraian Kompeni Hindia Timur Buku ke2 Bab ke5), bahwa : "Kerajaan Makassar, terletak di pulau besar Celebes, sebelum ini sangatlah termahsyur. Pertama karena perniagaannya, ........ selain dari pada itu karena keunggulannya berperang yang sangat hebat". Pada bagian lain bukunya tersebut, ia mengatakan : "... orang-orang arif yang mengenal keadaan Makassar, menganggap adalah suatu yang mustahil, pun orang-orang Muslim dan kafir dimana saja di kawasan Timur tidak dapat percaya, bahwa orang-orang Belanda Akan dapat mengalahkan Makassar, bahkan dunia akan kiamat sebelum Makassar terkalahkan. Oleh karena orang Makassar terkenal sebagai yang paling berani, paling unggul berperang di seluruh Hindia, suatu bangsa tak ada taranya dan sanggup mengerahkan lasykar ratusan ribu jumlahnya, yang bersenjatakan meriam dan bedil berpeluru berbisa serta dapat menembak sekeping uang kelip dengan tepat pada jarak 30 langkah." (terjemahan Sejarawan La Side' Daeng Tapala, Gowa , Kekuatan Maritim Kawasan Timur Nusantara Abad ke-16 dan 17, Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan, YKSST-1977).
Penilaian yang berkesan sebagai "sanjungan" dari penulis Belanda tersebut, memang sangatlah beralasan. Dalam kurun waktu tahun 1641, Kerajaan Gowa adalah merupakan suatu Imperium yang daerah pengaruhnya meliputi kawasan darat dan laut yang luasnya lebih dari separuh kawasan Indonesia pada masa ini. Terbentang mulai dari Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) disebelah barat sampai di Dobo (Maluku Tenggara) disebelah timur, memutar ke Kepulauan Sangir (Sulawesi Utara) di sebelah utara, membentang lurus ke selatan hingga di MarEgE (Australia Utara). Tidak kurang dari 70 Kerajaan besar dan kecil yang mengaku berlindung dibawah naungan "Laklang SipuwEa" (Payung Kebesaran Kerajaan Gowa).
Kebesaran imperium Gowa sebagai penguasa lautan yang mulai dirintis sejak tahun 1511 pada masa pemerintahan DaEng MatanrE KaraEng Tumaparrisi' Kallongna Sombayya Gowa ke-IX , kiranya inilah yang dapat dijadikan sebagai titik awal penelusuran jejak tokoh-tokoh Bugis-Makassar yang melakukan perjalanan jauh hingga menorehkan sejarahnya di Negeri Rantau.
1. Ekspedisi Perairan Timur
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa kemajuan dan perkembangan pesat yang menakjubkan dapat dicapai oleh Kerajaan Gowa sebagai Inperium pada kurun abad XVI-XVII, terutama berkat kekuatan Angkatan Lautnya yang besar. Dapat dibayangkan pada masa itu, apabila Kerajaan Gowa sedang berperang, lautan seolah menjadi hutan yang penuh dedaunan oleh layar kapal-kapal Phinisi mereka. Kapal-kapal itu datang serempak dalam jumlah ratusan, atau bahkan ada kalanya ribuan buah jika setiap kapal Phinisi itu dikawal oleh puluhan perahu Jung berlayar lebar.
Tertulis dalam Lontara Bilang (catatan harian Raja-Raja Gowa-Tallo') kepunyaan Baginda Andi Makkaraka Arung BEttEngpola yang diterjemahkan dan dipelajari oleh Sejarawan/Budayawan La Side' Daeng Tapala, menguraikan secara rinci ukuran-ukuran armada Makassar tersebut , yakni : Rata-rata sepanjang 17,1/2 meter dengan lebar perut 3 sampai 5 meter. Armada kenaikan Raja dan Laksamana umumnya berbentuk GallE' (GalEi), pendayungnya 200 smpai 400 orang, bersusun 3 sampai 4 tingkat.
Selanjutnya pada Lontara' Bilang disebutkan, I Manuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid Somba Gowa ke-XV (1639-1653) dalam rangka persiapan menyerbu Kerajaan Buton (Sulawesi Tenggara) dan Timor pada tahun 1640, baginda memerintahkan membuat GallE sebanyak 9 buah yang diberinya nama:
1. I GallE Dondona RallE Campaga, ukuran panjang 20 depa (35 m),
2. I GallE I Nyannyi' Sangguk, ukuran panjang 15 depa (27 m),
3. I GallE Mangkin Naiya, ukuran panjang 15 depa (27 m),
4. I GallE ParE' Makkuling, ukuran panjang 13 depa (23 m),
5. I GallE I Kalabiu, ukuran panjang 13 depa (23 m),
6. I GallE GalElEngan, ukuran panjang 13 depa (23 m),
7. I GallE Barang MamasE, ukuran panjang 13 depa (23 m),
8. I GallE Siga, ukuran panjang 13 depa (23 m),
9. I GallE Uwangang, ukuran panjang 13 depa (23 m).
2. Perantauan Ke Barat (Tana Bare')
Antara tahun 1400 M sampai dengan 1511, Kerajaan Malaka telah berdiri dengan jayanya. Sebuah kerajaan Islam yang lebih besar daripada pendahulunya, yakni Kerajaan Pasai (Aceh) yang telah hancur akibat serangan Kerajaan Majapahit pada tahun 1360 M. Pada kurun waktu itulah sehingga Orang Arab menamai Kerajaan Malaka sebagai "Mulaqat" yang berarti tempat pertemuan para pedagang dari segala penjuru dunia (Tun Sri Lanang, Sejarah Melayu).
Diceritakan lebih lanjut, bahwa salah seorang Raja Malaka yang termasyur membesarkan Negeri itu, adalah : Sultan Mansyur Syah, Raja Malaka ke-V (1454-1477). Pada masa pemerintahannya, Malaka mencapai puncak kemegahannya sehingga dianggap sebagai masa keemasan Kerajaan Tanah Melayu. Pada masa itu pulalah, Laksamana Hang Tuah mengepalai suatu perutusan menghadap pada Raja Majapahit. Tidak lama setelah itu, Raja Majapahit mengirimkan salah seorang puterinya ke Malaka untuk dijadikan isteri oleh Sultan Mansyur Syah. Demikian pula halnya dengan Kaisar Tiongkok, mengirimkan seorang puterinya beserta segenap dayang-dayang dan inang pengasuhnya dengan maksud yang sama.
"Dari seluruh Nusantara kepulauan kita ini berduyunglah dagang santri datang ke Malaka. Ada pula dari Jawa, terutama dari Jawa Timur. Dan ada pula dari Bugis, sehingga ada pencatat sejarah yang berkata, bahwa Hang Tuah itu sendiri adalah seorang Anak Bugis .." (Prof. Dr. HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama, II-180 - Pustaka Panjimas, Jakarta-1980). Kebesaran dan kemahsyuran kerajaan inilah yang "menggoda" pikiran KaraEng Same' ri Liukang, seorang "Pangeran Petualang" yang dikatakan dari Kerajaan Makassar untuk menaklukkan Negeri itu. Francois Valentijn, seorang penulis berkebangsaan Belanda memberitakan perihal tersebut dalam sebuah buku yang diterbitkan pada tahun1726 M, berjudul : "Oud en Nieuws Ooas-Indie", bahwa : "Dat de konigen van Macassar van ouds her al bekent, vermogen, en als zoodanige vorsten onder de konigen van't Oosten beroemtwaren, blyk ons int'jaar 1420 daar Crain Samarloeka, Coning Van Macassar, vorkombt, met 200 vaartuigen na Malaeka gaane, Oom dien koning te beoerlogen ..." (bahwa Raja-Raja Makassar sejak dahulu kala terkenal hartawan dan termahsyur diantara Raja-Raja dari Timur. Ternyata pada tahun 1420, KaraEng Samarluka seorang Raja dari Makassar telah mengunjungi Malaka dengan 200 kapal layar untuk memerangi Raja disana...). Sedikit dari kutipan berbahasa Belanda tersebut diatas, barulah penulis mengetahui jika kata "beken" (terkenal) berasal dari Bahasa Belanda.
Tun Sri Lanang yang dikenal pula sebagai "Encik Amin", salah seorang penulis "Syair Perang Makassar" yang juga menulis "Sejarah Melayu", memberitakan hal serupa dengan penggambaran yang sangat hidup dalam bukunya tersebut. "... sebelum ke Malaka, Raja Mangkasar Samerluki menyerang Siam. Banyaklah rantau Siam dialahkannya, tiada ada orang yang mengeluarinya. Setelah Siam, barulah Malaka diserangnya dan mendapat perlawanan yang hebat dari Laksamana Kerajaan Malaka, Hang Tuah. Maka Samerluki pun lalu ke Pasai (Sumatera). Banyaklah jajahan Pasai yang dibinasakannya. Maka Raja Pasai menitahkan Orang Kaya Raja Kanayan mengeluari Samerluki. Maka bertemu dengan Samerluki di Teluk Perlih. Maka berperanglah kelengkapan Mangkasar dengan kelengkapan perahu Raja Kanayan., maka oleh Samerluki disuruhnya campaki sauh terbang, kena perahu Raja Kanayan lekat, maka disuruhnya putar oleh Samerluki, maka kata Raja Kanayan : Puterlah olehmu, jika dekat niscaya aku amuk dengan jenawi bertumit ini. Maka disuruh tetas oleh Samerluki, maka ditetas oranglah, maka bercerailah kedua perahu itu. Maka kata Samerluki : Berani Raja Kanayan daripada Laksamana, ... Maka Samerluki pun kembali ke Mangkasar. (Kutipan "Sejarah Melayu" oleh H.D. Mangemba, "Makassar dan Makassar"-1994)
Membaca kutipan "Sejarah Melayu" dan berita dari Valentijn tersebut diatas, terbersit dalam benak penulis sebuah "keraguan" tentang kebenaran Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sebagai Inperium yang menaklukkan kawasan Nusantara, sebagaimana tertulis pada kitab Negara Kertagama. Bahwa jika sebuah peristiwa sejarah dipahami sebagai sebuah kejadian/peristiwa yang terjadi berupa penaklukan atau perlawatan sebuah Bangsa terhadap Bangsa lainnya, mestilah dikuatkan atau dibuktikan oleh fakta-fakta berupa hasil kebudayaan pada kedua Bangsa tersebut (Menurut Arnold J. Toynbee, Bapak Ilmu Sejarah Modern). Namun sejauh ini, penulis belum pernah mendapatkan sebaris tulisan dalam Lontara manapun di Sulawesi Selatan yang diteliti dan diangkat oleh para Sejarawan yang menyatakan, bahwa : Kerajaan Makassar, Luwu dan BantaEng PERNAH menjadi wilayah taklukan Kerajaan Majapahit.
Bahkan sebaliknya, Tertulis dalam Lontara I La galigo pada episode pelayaran Sawerigading ke Cina dalam misi melamar We Cudai' DaEng ri Sompa Punna BolaE ri La TanEtE, menceritakan bahwa sebuah perutusan pelamaran dari Mancapai' (Majapahit) bertemu dengan Sawerigading dan rombongannya di tengah laut, sehingga terjadi peperangan diantara mereka. Setelah terjadi pertempuran yang sengit, maka bertekuk lututlah Sattia Bongan (Ksatria Bongan ?, penulis) alias Lompeng ri Jawa.
"Engka mopaga pakkanna maElo ri pallaga ?" (Masih adakah pahlawanmu yang bisa diadu ?), tanya Sawerigading. Menjawablah Sattia Bongan dalam sujud sembahnya, "Angikko sia Lapuang, ki raukkaju. Riakko mmiri riakkeng teppa, mutappalireng.." (Engkau wahai Tuanku, laksana angin bertiup, sedang kami tiada lain laksana daun kayu, dimana dikau bertiup, disanalah kami terdampar..". Kemudian Sawerigading bertanya lagi, "Mulala'niga cittamu, lE' ri Punna BolaE ri La TanEtE ?" (Apakah kau telah memutuskan perhatianmu pada Punna BolaE ri La TanEtE ?). Maka Sattia Bongan pun menjawabnya pula, "Mauni mangerre' ri panganranna, tudang tellEwa-lEwa ri sabalinna, napatudangngi lE' ri nawa-nawa DatuE, ri lala' mua.." (Sekalipun teguh rasa cinta ini, duduk bersanding dengan kekasih, namun jika didudukkan paduka dalam hatinya, akan diceraikan jua.."). Akhirnya, Sawerigading memberikan bantuan kapal kepada Sattia Bongan beserta pasukannya yang tersisa untuk kembali ke Mancapai'. (kutipan beberapa lembar episode Lontara I Lagaligo milik Almarhum Andi Pangeran Opu TosinilElE "Opu Pabbicara Luwu" yang sempat penulis dapatkan melalui sebuah tulisan baginda yang diketik manual).
Topik ini akan diuraikan dalam judul tersendiri pada laman "Kajian Ininnawa".
Kembali kepada topik utama laman ini, maka berita perlawatan KaraEng Samerluka (Samerluki) atau KaraEng Same' ri Liukang sejauh ini adalah informasi terbesar dan yang pertama mengenai perlawatan orang Makassar ke Negeri Melayu yang oleh orang-orang Bugis disebut sebagai "Tana Bare'". Wallahualam Bissawwab.
3. Perantauan Ke Barat (Tana Bare')
Perlawatan orang Bugis ke Pulau Sumatera yang cukup menyita perhatian adalah ekspedisi Arung Palakka ke Pariaman (Sumatera Barat) pada era pertengahan Abad XVII. Arung Palakka seorang pangeran Bugis terkemuka pada zamannya, dengan gelar lengkapnya : La Tenri Tatta DaEng SErang to Unru Petta MalampE'E Gemme'na Arung Palakka, Datu Mario ri Wawo, Sultan Sa'aduddin Mangkau' ri BonE ke -XIV Petta MatinroE ri Bontoala' , juga digelari oleh orang Belanda sebagai "De Koningh der Bougies" (Raja Bugis).
Ekspedisi perang Arung Palakka bersama para lasykar Bugisnya (Lasykar To AngkE, Batavia) ke Pariaman, tiada lain adalah memenuhi salahsatu "uji kemampuan" yang ditetapkan oleh VoC sebagai persyaratan kemitraan dalam rangka penyerbuan ke Makassar yang kelak dikenal sebagai : Perang Makassar (1666-1669). Tidak banyak yang penulis dapat uraikan pada Perang Pariaman, selain bahwa Arung Palakka beserta pasukannya telah membumi hanguskan negeri itu atas permintaan VoC. Suatu peristiwa yang sesungguhnya memilukan, tiada lain sebagai ikhtiar untuk menarik perhatian VoC agar membantunya untuk menyerbu ke Makassar yang kala itu menjajah negerinya ( Bone dan Soppeng).
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa "perjalanan melintasi samudera (Massompe') bagi orang Bugis Makassar adalah merupakan sebuah budaya. Motivasi perjalanan jauh itu dalam hal ini dikategorikan pada 4 hal, yakni : ekspedisi perdagangan, ekspedisi peperangan, ekspedisi petualangan dan ekspedisi pengembaraan.
Ekspedisi perdagangan suku bangsa Bugis Makassar ke Tanah Melayu terjadi dalam jumlah relatif besar sejak pasca kekalahan Kerajaan Makassar atas aliansi VoC dan Arung Palakka sejak ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Politik Monopoli perdagangan pada kawasan timur Indonesia yang tersirat dalam Perjanjian Bongaya, memaksa para pedagang Makassar untuk merantau jauh ke wilayah di luar kekuasaan VoC. Mereka membawa rempah-rempah yang sebelumnya dibeli secara "menyelundup" (menurut istilah VoC) dari Maluku, kemudian memperdagangkannya di Bandar Malaka yang ramai. Maka pada kisaran masa itu, sehingga terdapat "Kampung Mengkasar" yang dihuni secara turun temurun oleh orang-orang Makassar.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yang Mulia Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH sewaktu perlawatan beliau ke Negeri Pahang - Malaysia pada pertengahan tahun 1977, ditemukannya para keturunan Bugis Makassar yang waktu itu banyak diantaranya sebagai orang-orang terkemuka di Kerajaan Malaysia. Tersebutlah nama besar Tun Abdul Razak bin Dato' Husain Almarhum (Ayahanda Najib Tun Razak, PM. Kerajaan Malaysia sekarang) yang semasa hidupnya menjadi Perdana Menteri Kerajaan Malaysia yang ke-2, adalah salahsatu dari sekian banyak keturunan Bugis Makassar yang bermukim di Pahang sejak awal abad XVIII. Olehnya itu, pada perkunjungan Tun Abdul Razak ke Ujung Pandang (Makassar) pada tahun 1973, beliau dianugerahi gelar : La Tatta Ambarala DaEng Manessa, gelar yang diambil dari leluhurnya sendiri yakni : La Tatta Ambarala saudara La Tenri Dolong To LEbba'E Datu Pammana.
Nama besar lainnya yang merupakan turunan Bugis Makassar di Pahang yang juga kerabat dekat Almarhum Tun Abdul Razak Daeng Manessa, adalah : Encik Zakaria bin Hitam. Seorang Sejarawan dan Budayawan yang telah banyak menulis seputar Sastra Melayu serta Sejarah Pahang.
Nama-nama tenar yang disebutkan diatas menimbulkan rasa penasaran, siapa gerangan leluhur yang menurunkan mereka ?. Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Faris, SH menguraikannya lebih lanjut pada Kata Pengantar sekaligus merupakan sambutan beliau terhadap tulisan Encik Zakaria bin Hitam, berjudul : Hubungan Sejarah Sulawesi Selatan dengan Pahang. Tersebutlah seorang Pangeran Makassar bernama "KaraEng Aji'" (Orang Pahang menyebutnya sebagai : Keraing Aji atau Tun Tuan atau Tok Tuan). Sebagaimana diketahui, bahwa Kemaharajaan Gowa sejak didirikannya memiliki Dewan Adat yang terdiri dari 9 Raja, dikenal sebagai "BatE Salapang". Maka besar kemungkinan, bahwa KaraEng Aji adalah salah seorang Anggota Dewan BatE Salapang pada abad XVIII.
Dikisahkan pada suatu ketika, KaraEng Aji melantik seorang anak angkatnya bernama "Landrof" (Landarope' ?, penulis) sebagai pejabat penting dalam lingkungan kewenangannya. Keputusan itu, mestilah berdasarkan jika Landrof dianggap memiliki kecakapan khusus untuk jabatan itu. Maka rakyat beserta para pembesar lainnya memprotes serta menolak kebijakan tersebut, pasalnya : Anak angkat KaraEng tersebut diketahui sebagai "Anak Haram". Demi penegakan SARA' (Syariat Islam), bahwa seorang "Anak Haram" sekali-sekali tidak boleh menduduki suatu jabatan dalam kerajaan, bahkan tidak berhak mendapatkan warisan, sekalipun.
Sebagai sebuah "Pribadi Siri'", terlebih lagi jika itu melekat pada diri seorang pangeran, maka KaraEng Aji sangat terpukul dengan kenyataan itu. Keputusannya ditentang oleh rakyatnya dan pembesar-pembesarnya sendiri !. Sebuah kekecewaan yang teramat sangat, menghimpit batinnya. Maka bersama permaisuri beserta anak-anaknya beliau menghimpun segenap pengikutnya untuk pergi meninggalkan Negeri Makassar, merantau sejauh-jauhnya ke seberang lautan dan bersumpah untuk tidak kembali lagi.
Mengalami hal seperti itu, orang-orang Makassar akan berkata dalam ungkapan syair, sbb :
AnggassEng tonja labba boyo
PaccE tanaEbba lading
TEna garringku
Namalantang pa'risikku
Takunjungnga bangun turu
Nakugunciri gulingku
KuallEanna tallangnga
Natoalia
Kusoronna bisEngku
Kucampa'na sombalakku
TammamElakka
Punna tEai labuang
Artinya kira-kira, sbb:
Kunikmati tawarnya buah labu
Pedih namun tak tergores pisau
Tiada apa-apa sakit kurasakan
Namun pedihnya menusuk hingga dilubuk hati
Semula kuperturutkan arus mengalir
Kemudiku telah kutancapkan
Aku memilih tenggelam
Dari pada bersurut kembali
Kudayung perahuku laju
Kukembangkan layarku
Pantang berbelok kearah belakang
Hingga kutemukan dermaga dihadapanku
Pelayaran itu akhirnya bersua pula dengan dermaga yang ditujunya, yakni : Kota Tinggi, Johor. KaraEng Aji beserta segenap keluarga dan pengikutnya menetap beberapa lama di negeri itu, sehingga orang-orang Johor menyebutnya sebagai : Tun Tuan. Namun setelah Sultan Abdul Jalil wafat, KaraEng Aji berpindah ke Negeri Pahang dalam tahun 1722 M. Disanalah beliau beserta dengan pengikut-pengikutnya membuka sebuah kawasan pemukiman yang sebelah menyebelah di sungai Pekan. Berhubung karena negeri asal nereka dari Makassar, maka kampung itupun dinamai sebagai : Kampung Mengkasar.
Pada pemukiman yang baru itulah, KaraEng Aji bersama dengan keluarga dan pengikut-pengikutnya menjalani hidup baru, jauh dari negeri asalnya. Mereka mengembangkan budaya leluhurnya dengan baik, namun senantiasa menjunjug tinggi adat dimana kakinya berpijak. Menurut Dr. W. Linehan, bahwa KaraEng Aji yang berasal dari Negeri Makassar, negeri yang memiliki budaya menenun kain sutera yang maju, maka beliau memperbaiki cara-cara menenun kain pada masyarakat Melayu setempat. Hingga kini, cara-cara bertenun disertai motif khas itu dikenali sebagai : Kain Tenun Pahang.
Keberadaan KaraEng Aji yang disebut oleh anak cucunya sebagai Tok Tuan itu semakin dikenal di Negeri Pahang. Tok Tuan atau KaraEng Aji adalah orang saleh yang dianggap sudah mencapai derajat kesufian seorang Waliullah padanya. Maka ramailah Kampung Mengkasar dikunjungi masyarakat Pahang untuk meminta untuk belajar mengaji dan meminta petuah menyangkut berbagai hal kepada beliau. Hingga wafatnya beliau, makamnya disifatkan sebagai tempat keramat, sebagaimana dikemukakan oleh Dr. W. Linehan : "His grave in Pekan Lama is revered as a shrine.."
KaraEng Aji yang semasa hidupnya memiliki 16 orang putera dan puteri. Salah seorang diantaranya, bernama : Tok PongkEng. Beliaulah yang merupakan leluhur Tun Abdul Razak bin Dato' Husain, Perdana Menteri Kerajaan Malaysia ke-II.
....Wallahualam bissawab..
Hannibal dari Tanah Melayu (bag. 1)
.. Pergi bersama sejarahnya, kiranya itulah yang terjadi dengan Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' (Upu Tandri Burang Dahing Rilaga) dan kelima puteranya beserta dengan segenap pengikutnya. Kepergiannya meninggalkan "Tana Ugi" (Sulawesi Selatan) seakan melenyapkan diri dari belantara kesejarahan Negeri Tumpah Darahnya. Nama dan kiprahnya tidak tersebut dalam "Lontara" Negeri yang melahirkannya.
Hingga berpuluh tahun atau mungkin berselang seabad setelah wafatnya di Siantang, perihal beliau beserta dengan anak keturunannya tertulis dengan tinta emas. Lewat pena bulu angsa, seorang cicit dari puteranya menuliskan tariqh perjalanan dan hal ikhwalnya dalam sebuah kitab bertuah, yakni : Tuhfat an Nafis. Lewat suntingan Sastrawan Buya HAMKA dan pengagum kitab itu, maka tulisan kecil ini kususun bagai menjahit selembar "Layar Phinisi" yang bahannya dari serpihan-serpihan kain yang bertebaran..
Abad XVIII, perairan laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan yang ramai dilayari dari seluruh Bangsa Pelaut di seluruh dunia. Pada kurun waktu itu pulalah, armada laut Bugis memainkan peranan penting berkat keluasan jalur maritimnya yang mengatur jalur ekspedisinya ke Matan, Sambas dan Mempawah di Pulau Kalimantan, serta ke Riau, Lingga, Johor, Malaka, Selangor dan Kedah. Jaringan itu semakin diperluasnya hingga membentang kearah utara Laut Cina Selatan hingga perairan Sulu di Filipina Selatan. Para Pelaut Bugis itu bermarkas di Teluk Peninting dan Gunung KutE. Semua itu dicapainya berkat pengaruh kiprah seorang penguasa Selat Malaka pada jamannya, yakni : La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Matoa Wajo (kisahnya akan diuraikan dalam judul lain, penulis).
Pada kurun abad iru pulalah, Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' yang disertai kelima puteranya dan segenap pengikutnya berlayar ke Pulau Siantang. Kelima puteranya itu masing-masing bernama : Opu Daeng Manambung, Opu Daeng MarEwa, Opu Daeng Cella', Opu Daeng Parani dan Opu Daeng KamasE. Maka merapatlah armada mereka di pelabuhan Siantang dan disambut dengan ramahnya oleh seorang pelaut Bugis terkemuka di kawasan itu, yakni : Kari Abdul Malik yang juga dikenal sebagai Nakhoda Alang. Akhirnya mereka menetap di Siantang dalam waktu beberapa lama.
Penerimaan Nakhoda Alang dalam sebuah jalinan persahabatan yang akrab, membuat Opu DaEng Ri LEkke' berpikir untuk semakin mempererat hubungan itu sebagai hubungan kekeluargaan. Maka beliau melamar puteri Nakhoda Alang untuk dinikahkan dengan salah seorang puteranya, yaitu : Opu DaEng Parani (Opu Dahing Parni, versi Tuhfat An Nafis). Pernikahan itu dikaruniai sepasang putera puteri, yakni : Opu Daeng Kamboja dan Opu Daeng Khatijah.
Pemberian nama cucu Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke'tersebut diuraikan dengan indahnya dalam Kitab Tuhfat an Nafis, sbb ; "Kemudian lalulah Upu Dahing Rilaga itu berbalik ke Siantan serta keci itu. Maka apabila sampai ke Siantan, maka keci itu pun ditutuhlah dibuat penjajab perang. Syahdan, maka tatkala Opu Tandri Burang Dahing Rilaga balik dari Kambuja, maka anaknya Opu Dahin Parni pun sudah beranak seorang laki-laki, maka diberinya nama Dahing Kambuja. Kemudian beranak pula ia akan seorang anak perempuanbernama Dahing Khatijah. Akhirnya kelak Dahing Kambuja itu menjadi Yang Dipertuan Muda yang Ketiga di dalam Riau, dan Dahing Khatijah itu menjadi isteri Raja Alam, anak Yang Dipertuan Raja Kecik Siak ..".
Hal lain yang menarik pada keterangan dalam suntingan tersebut diatas, diuraikan bahwa setibanya dari perlawatan di Kamboja, Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' dan kelima puteranya mulai menyusun kekuatan Maritimnya dengan membangun Perahu Phinisi yang dipersenjatai. Sebuah "Langkah Besar" yang didasari "Ilham" dari mimpi Daeng Manambung, bahwa kelak anak cucu mereka akan menjadi penguasa kerajaan disebelah Johor dan Riau.
Dalam suasana kebahagiaan mendapatkan cucu serta kesibukan membangun armada Angkatan Laut itu, kodrat Allah berlaku pada setiap mahluk ciptaan-Nya. Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke', Pangeran Luwu yang bercita-cita besar itu wafat dan dimakamkan pada sebuah pulau kecil di dekat Pulau Matak dalam wilayah Siantan. Hingga kini, makam Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' dikenal sebagai "Keramat Pulau Siantan"(Dr. H. Wahyuddin Hamid, M.S., Passompe' Bugis Makassar, 2005).
Syahdan, kurun permulaan abad XVIII adalah merupakan tahun keemasan VoC di Hindia Timur, namun merupakan masa kelam di Tanah Melayu. Bermula sejak tahun 1511, ketika Kerajaan Malaka jatuh dalam taklukan Portugis. Setelah itu, maka Kerajaan peninggalan Sultan Mahmud Syah yang merupakan pusat kebudayaan Bangsa Melayu itu silih berganti dikuasai oleh Portugis, Belanda dan Inggris.
Turunnya pamor Kerajaan Malaka menjadikan Kerajaan Riau sebagai kerajaan Melayu lainnya yang masih bertahan, sebagai sebuah Imperium Melayu di abad XVIII. Kekuasaan Kerajaan Riau pada masa itu meliputi Johor, Lingga, Pahang, Terenggano, Indragiri, dan Kampar. Namun kerajaan Melayu satu-satunya itu nyaris padam ditelan sejarah ketika Raja Kecil dari Kesultanan Siak yang mengklaim dirinya sebagai pewaris sah Dinasti Malaka, menyerang Riau, Lingga dan Johor. Baginda Raja Kecil merasa diri lebih berhak menduduki tahta Riau daripada Raja Sulaiman yang berasal dari Dinasti Datuk Bendahara.
Pada masa genting itulah, Raja Sulaiman mengundang Opu Lima (Kelima Putera Alm. Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke') dan orang-orang Minangkabau untuk membantunya mengusir Raja Kecil yang menduduki Negeri Riau. Adapun halnya dengan Opu Daeng Parani (Dahing Parni) yang memimpin keempat saudaranya yang lain, melihat bahwa rupanya inilah jalan takdir menuju perwujudan penguasa turun temurun di Kawasan Tanah Melayu, sesuai ilham yang diterima Opu Daeng Manambung.
Maka Opu Daeng Parani bersaudara menghimpun para pelaut Bugis dan Makassar di Selat Malaka, lalu dikerahkan untuk memerangi Raja Kecil beserta pasukannya.Namun salah seorang tokoh Bugis yang merupakan "Pangeran Wajo", yakni : Daeng Matekko (Saudara La Maddukkelleng Arung Singkang Sultan Pasir) tidak bersedia ikut dalam persekutuan itu. Bahkan sebaliknya, beliau beserta pengikutnya memilih bersekutu dengan Raja Kecil untuk melawan Opu Daeng Parani bersaudara. Perihal ini menarik untuk didiskusikan, mengingat banyaknya pendapat yang berbeda mengenai alasan Daeng Matekko yang menolak bersekutu dengan Daeng Parani bersaudara. Suatu hal yang ganjil, mengingat kedua tokoh bangsawan perantau ini sama-sama berasal dari Tanah Bugis (Sempugi) yang semestinya bahu membahu dalam ikatan "PessE" (Solidaritas).
Menurut Dr. H. Wahyuddin Hamid, SE (Pasompe Bugis Makassar II, hal.36 - Telaga Zamzam, 2005), mengemukakan bahwa : " Ketidakbersediaan Daeng Matekko bekerjasama dengan Opu Lima Bersaudara mungkin disebabkan oleh dendam lama. Daeng Matekko adalah orang dari Wajo. Kerajaan Wajo pernah bersekutu dengan Gowa menghadapi Kerajaan Bugis dari Bone dan Luwu yang bersekutu dengan Belanda..". Hal yang masuk akal, mengingat penyebab kepergian Daeng Matekko meninggalkan Tana Wajo disebabkan karena dimurkai oleh Raja Bone. Dugaan lainnya yakni menurut penulis, bahwa bisa juga justru lebih merupakan sentimen pribadi antara masing-masing kedua Bangsawan Bugis yang menjaga prestise untuk tidak mau diperintah oleh Bangsawan Bugis lainnya.
Maka terjadilah perang saudara antara Raja Sulaiman yang dibantu oleh Opu Lima bersaudara, melawan Raja Kecil yang juga didukung oleh Bangsawan Bugis lainnya, yakni : Daeng Matekko beserta pengikut-pengikutnya yang kebanyakan terdiri dari Pelaut Pelaut Bugis Wajo. Dikisahkan dalam Tuhfat An Nafis, bahwa pertempuran besar antara Raja Kecil dengan Opu Daeng Parani bersaudara dalam mempertahankan dan memperebutkan Kerajaan Riau, terjadi sebanyak sepuluh kali. Sembilan kali diantaranya, pada pihak Raja Kecil dipimpin oleh Raja Alam (Putera Raja Kecil) dan satu kali dipimpin Raja Ismail (cucu Raja Kecil) melawan Opu Daeng Kamboja di Tumasik (Singapura). Akhirnya pada tahun 1721, Opu Daeng Parani bersaudara memenangkan perang yang dahsyat itu dengan mengusir Raja Kecil dan sekutunya meninggalkan negeri-negeri yang didudukinya. Maka dikukuhkanlah kembali Raja Sulaiman dalam gelarnya : Sultan Sulaiman Badrul'alam Syah (1721-1754).
Setelah memenangkan perang serta berhasil mendudukkan kembali Raja Sulaiman pada tahtanya, Opu Daeng Parani bersaudara memohon pamit. Namun Sultan Sulaiman khawatir jika sewaktu-waktu Raja Kecil yang kini mendirikan Kerajaan Buantan (kini Kerajaan Siak Sri Indrapura) dan bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1748) kembali lagi menyerang Riau. Maka dikukuhkanlah Opu Daeng MarEwa sebagai Yang Dipertuan Muda Riau I (1721-1729), bergelar : Kelana Jaya Putera. Yang Dipertuan Muda adalah sebuah jabatan yang setingkat dengan Perdana Menteri berkuasa penuh, dimana segala wewenang dan urusan pemerintahan berada dalam kekuasaannya.
Adapun halnya dengan saudara-saudara Opu Daeng MarEwa yang lain, mereka bertebaran di seantero Tanah Melayu dengan mendapatkan kemuliaan sebagaimana kejayaan leluhurnya di Tanah Bugis. Opu Daeng Parani menikahi puteri Raja Selangor. Kemudian beliau menikah lagi dengan adik Raja Kedah. Dengan demikian, Opu Daeng Parani adalah menantu Raja Selangor dan juga adik ipar Raja Kedah. Kemudian di Kalimantan Barat, Opu Daeng Manambung dinobatkan menjadi Sultan Mempawah yang bergelar : Pangeran Emas Surya Negara. Beliau inilah yang bermenantukan Syarif Abdurrahman (keturunan Said Al Qadri Jamalullail) yang mendirikan Kerajaan Pontianak dan dinobatkan sebagai Sultan Pontianak I. Opu lainnya adalah Opu Daeng Cella', beliau adalah Yang Dipertuan Muda Riau II (1729-1746) bergelar : Sultan Alauddin Syah. Beliau menggantikan kakaknya (Opu Daeng Marewa) yang berpulang kerahmatullah dalam tahun 1729 M. Kemudian putera Opu Daeng Ri LEkke' yang bungsu, yakni Opu Daeng KamasE dinobatkan menjadi Raja Sambas (Kalimantan Barat) bergelar : Pangeran Mangkubumi.
Dari seluruh kisah perantauan putera Bugis Makassar dari masa ke masa, maka menurut penulis bahwa Tokoh Besar Opu Daeng ri Lekke' dan kelima puteranya adalah peringkat pertama sebagai perantau paling sukses. Ketokohan Opu Daeng ri LEkke' dalam kurun waktu tertentu telah menempatkan diri sebagai puncak piramida tertinggi dalam silsilah (Royal Families Tree) Kerajaan Melayu dan Kalimantan. Kiprahnya melalui daya juang yang penuh keberanian dan diimbangi oleh strategi yang briliant membuahkan tulisan sejarah bertinta emas hingga akhir zaman.
Wallahualam Bissawwab..
Hannibal dari Negeri Melayu (bag. 2)
Judul yang kuangkat dari sebuah nama, seorang Jenderal yang memiliki naluri keberanian seakan tak terukur. "Hannibal de Chartago", pemimpin perkasa dari Chartagena - Afrika Utara yang menyeberang bersama pasukannya ke benua Eropa pada tahun 219 SM. Dalam kurun waktu 3 tahun kemudian, ia dengan pasukannya yang hanya berjumlah 45.000 personel, menyerbu Negara Yunani dengan kekuatan 100.000 prajurit bersenjata lengkap dan segar bugar. Namun dengan keberaniannya yang menggiriskan, serta didukung oleh kemampuan strategi yang mencengangkan, Hannibal memenangkan pertempuran itu. Mereka menewaskan 70.000 prajurit Yunani, sementara dipihaknya hanya 4.000 personal yang gugur.
Tulisan berikut ini adalah tentang keperkasaan seorang Jenderal Perkasa lainnya yang dilahirkan di Tanah Melayu. Seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang keberanian dan gebrakannya dianggap setara dengan Panglima dari Chartagena, ribuan tahun yang lalu. Maka oleh beberapa sejarawan Indonesia menjulukinya : Hannibal dari Tanah Melayu. Lalu dengan takzim pemuliaanku, kusebut namanya sebagai : Raja Aji "Asy Syahid Fi Sabilillah" Marhum Teluk Ketapang, Yang Dipertuan Muda Riau ke-IV.
Telah diuraikan pada bagian terdahulu, tentang kesuksesan Opu Lima bersaudara dalam merintis peletakan batu pertama dinastinya di Tanah Melayu dan Kalimantan yang kini bersusun bagai benteng kastil hingga saat ini. Bermula pada Opu Daeng MarEwah Yang Dipertuan Muda Riau I (Pangeran Kelana Jaya Putera) lalu berlanjut pada saudaranya, yakni : Opu Daeng Cella' Sultan Alauddin Syah Yang Dipertuan Muda Riau II. Pada masa pemerintahan Opu Daeng Cella' inilah, pengaruh dan wilayah taklukan Kesultanan Riau semakin meluas hingga di Kerajaan Selangor, Johor dan Pahang. Setelah Opu Daeng Cella' wafat dalam tahun 1746 M, maka dinobatkanlah Opu Daeng Kamboja (Putera Opu Daeng Parani dengan puteri Kari Abdul Malik) menjadi Yang Dipertuan Muda Riau III (1746-1777), menggantikan pamannya.
Opu Daeng Cella' Sultan Alauddin Syah Yang Dipertuan Muda Riau II memiliki dua putera, yakni : Raja Lumun dan Raja Aji. Pada tahun 1743 M, Raja Lumun dinobatkan menjadi Sultan Selangor I, bergelar : Sultan Salehuddin. Kemudian setelah Opu Daeng Kamboja wafat dalam tahun 1777 M, dinobatkanlah Raja Aji sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV, menggantikan saudara sepupunya tersebut.
Pada zaman pemerintahan Raja Aji Yang Dipertuan Muda Riau IV inilah dikatakan sebagai masa keemasan Kerajaan Riau. Prof. HAMKA menggambarkan pada masa itu, sbb : " ..Zaman Raja Aji inilah, Kerajaan Melayu mencapai kemajuan dan kebesarannya. Dan bercampurlah darah Bugis dan darah Melayu, yang akan menjadi dasar teguh kelaknya dari apa yang sekarang, kita namai Kebangsaan Indonesia !..." (Dari Perbendaharaan Lama, hal. 188-189).
Melihat kebesaran Kerajaan Riau itu, VoC yang sejak dulu berambisi untuk menguasai seluruh kepulauan di wilayah Hindia Timur, haruslah menempuh strategi diplomasi untuk menjalankan rencananya. Maka dari Batavia, dikirimlah utusan menemui Raja Aji dengan menawarkan perjanjian persahabatan yang menguntungkan keduanya. Perjanjian itu memuat berbagai hal menyangkut perniagaan dan pertahanan yang diarahkan untuk membendung dominasi Inggris yang amat dibenci oleh Raja Aji. Persetujuan yang menyatakan bahwa VoC akan menghargai adat istiadat Melayu dan Agamanya, serta memandang musuh Bangsa Melayu (Inggris) adalah musuh VoC dan musuh VoC juga musuh Riau. Lebih lanjut dinyatakan pula, bahwa segala harta rampasan perang yang didapat dari musuh bersama tersebut akan dibagi diantara keduanya dengan adil samarata. Akhirnya Yang Dipertuan Muda Riau tersebut tertarik menandatangani perjanjian itu, semata-mata untuk mempersempit ruang gerak Kolonial Inggris di Wilayah Selat Malaka.
Akhirnya pada suatu ketika, masuklah sebuah kapal dagang Inggris ke Wilayah Riau. Kapal itu sarat dengan muatan benda-benda berharga. Maka datanglah kapal perang VoC, menyerbu kapal itu. Disitanya segala harta benda yang ada, lalu dibawanya ke Malaka. Suatu tindakan yang menyalahi perjanjian dengan Raja Aji.
Mengetahui perihal tersebut, Raja Aji mengirim delegasi ke VoC di Malaka untuk meminta mereka memenuhi amar perjanjian yang telah dibuat. Namun sebagaimana biasanya VoC menolak tuntutan itu tanpa alasan yang masuk diakal para utusan Kerajaan Riau. Maka mereka kembali dengan tangan hampa, seraya melaporkan segala hal ikhwal sikap melecehkan dari petinggi-petinggi VoC dihadapan Raja Aji.
Maka bukan alang kepalang murkanya Raja berdarah pahlawan Bugis ini !. Diambilnya surat perjanjian itu lalu dirobek-robeknya. Ini adalah pelecehan terhadap "Siri" ! Sesuatu yang disebut oleh orang Melayu sebagai "Maruah". Sesuatu yang lebih dihargai 99 kali dibanding dengan selembar jiwa. "Naiya Siri'E, nyawa naranreng !" (Sesungguhnya SIRI itu selalu bersanding erat dengan nyawa !). Apabila SIRI yang tersentuh, maka jiwa berontak meminta dan bermohon untuk dipertaruhkan. Saatnya jiwa disabung ditengah gelanggang pertarungan !.
Rupanya itulah yang dikehendaki oleh VoC. Hubungan persahabatan yang dibinanya dengan Kerajaan Riau, hanyalah merupakan siasat untuk mengetahui sampai dimana kekuatan Kerajaan Melayu itu. Setelah data-data yang dikehendakinya dinilai sudah cukup lengkap, maka dicarikanlah gara-gara (alasan berkelahi) dengan melanggar kesepakatan yang telah ditandatangani bersama. Persahabatan telah bertukar dengan permusuhan !. Tak perlu kiranya menunggu serbuan pasukan Riau. Akan jauh lebih menguntungkan jika menyerang terlebih dahulu. Penyerangan adalah pertahanan yang terbaik. Berapa sih kekuatan sebuah Kerajaan Melayu yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil ?, begitulah pemikiran para petinggi militer VoC yang sudah menganalisa peta kekuatan Kerajaan Riau.
Akhirnya pada tahun 1783, VoC dengan segenap kekuatan tempurnya menyerbu Kerajaan Riau. Raja Aji beserta para lasykar Riau mempertahankan setiap jengkal negerinya dengan gagah berani. Jiwa hanyalah sebatas naik turunnya nafas dalam tubuh, namun harga diri yang terkandung dalam nilai "Siri" adalah abadi yang ditanggung oleh segenap keluarga dan kaum !. Rasa takut yang dinampakkan dalam perkelahian akan menjadi buah bibir yang memalukan sepanjang masa. Keluarga dan bangsa akan ikut terhina karenanya.
Perhitungan VoC berdasarkan data yang dihimpunnya ternyata salah sama sekali. Peperangan dahsyat itu telah berlangsung dengan sengitnya selama 10 bulan. Diuraikan oleh CR. Bokser dalam bukunya (Jan Compeni, Dalam Perang dan Damai) bahwa : Para Heeren (Pucuk Pimpinan VoC di Amsterdam) sangatlah kesal terhadap kinerja para pejabat VoC di Hindia. Peperangan di Selat Malaka melawan seorang Raja Bugis saja tidak mampu diselesaikan sesuai harapan. Sesuatu yang sama sekali diluar perhitungan mereka, bahwa Raja Aji dari para kerabatnya, beberapa Raja dan Pangeran Bugis dari Tanah Bugis (Sulawesi Selatan) berdatangan bersama dengan para lasykarnya untuk membantunya, mengambil bagian dalam mempertahankan Negeri Riau. Belum pula para pelaut dan perantau Bugis yang berkelompok meramaikan aktivitasnya masing-masing di Selat Malaka selama ini, semuanya turun tangan membantu Raja Aji dengan semangat Solidaritas Siri dan PessE.
Kitab Tuhfat an Nafis menyebutkan nama-nama Raja / Pangeran Bugis serta beberapa tokoh Bugis lainnya yang membantu Raja Aji, antara lain : Arung Lengnga, Arung Belawa, Panglima TalEbang (Daeng TalEba'), Daeng SalEkong, dll. Raja Aji dan para pahlawan itu membangun strategi pertahanan yang terpusat di Pulau Penyengat. Dalam hal ini, Sang Buya Hamka menggambarkan dengan tepat tentang perlawanan para lasykar Bugis yang bahu membahu dengan lasykar Melayu dalam peperangan itu, sbb : "Terpadulah gagah perkasa Melayu dengan Bugis mempertahankan daulat kebesarannya. Gegap gempitalah bunyi meriam "lelarentaka" dari kedua belah pihak, banyaklah pahlawan yang gugur ...".
Setelah pertempuran itu berlangsung selama 10 bulan, akhirnya VoC terpaksa mengundurkan diri, kembali ke Malaka. Tak terkira berapa nilai hitungan kerugian materil yang habis untuk membiayai penyerbuan yang gagal itu. Ditambah lagi dengan banyak serdadunya yang tewas dan luka-luka. Ironisnya, para serdadu itu kebanyakan terdiri dari orang-orang Jawa dan Ambon, bangsa kita jua.
Wallahualam bissawwab...
Hannibal dari Negeri Melayu (Bag.3-Tamat)
Seorang kerabatku bertanya, "apa persamaan Hannibal dengan Raja Aji ?". Maka berikut ini kucoba menjawabnya dalam uraianku yang miskin reverensi ini ....
Kemenangan Raja Aji Yang Dipertuan Muda Riau IV dalam perang 10 bulan melawan balatentara VoC Belanda membuat pamornya semakin tinggi menjulang. Tersebutlah seorang tokoh Bugis pula, yakni : Raja Ibrahim Sultan Selangor II (putera Raja Lumun "Sultan Salehuddin" Sultan Selangor I, saudara kandung Raja Aji). Melihat kemenangan pamandanya itu, maka timbullah semangatnya untuk mengusir Voc Belanda yang menduduki Kerajaan Malaka. Dalam pemikiran baginda, ada 2 hal yang menjadi alasan kuat untuk menghalau keberadaan VoC Belanda di Malaka, yakni :
1. Malaka adalah suatu pusat kebudayaan Bangsa Melayu,
2. Kerajaan Malaka adalah Negeri Jiran (Tetangga) Kerajaan Selangor.
Dengan demikian, keberadaan VoC yang semakin kuat dan berpengaruh di Malaka adalah merupakan ancaman serius terhadap Kerajaan Selangor pula. Maka bertolaklah baginda ke Riau, menghadapkan hormat dan takzimnya kepada pamandanya, Raja Aji Yang dipertuan Muda Riau IV. Dengan argumen yang realistis disertai bujukan-bujukan yang tak tertolakkan, Raja Ibrahim mengutarakan maksud itu kepada pamandanya. Baginda sangat optimis bahwa sekiranya Raja Aji beserta pasukannya menyerbu dari arah Selat Malaka dan ia beserta segenap pasukan Selangor menyerpu pula dari arah daratan, niscaya VoC Belanda akan terkepung dan takkan mungkin bisa bertahan lebih lama.
Akhirnya, walaupun beberapa petinggi Kesultanan Riau menasehatkan untuk tidak melakukan penyerbuan itu, namun begitu gigihnya Raja Ibrahim meyakinkan pamandanya itu, maka Raja Aji mengabulkannya jua. Maka diadakanlah konsolidasi kekuatan Angkatan Bersenjata Riau, termasuk para Raja-Raja dan Pangeran Bugis beserta lasykarnya. Segala sesuatunya dipersiapkan dengan waktu yang relatif singkat, mengingat bahwa kekuatan VoC Belanda yang habis terpukul itu tentulah belum pulih sebagaimana mulanya. Maka strategi serangan balik diperhitungkan dengan cermat oleh para ahli strategi perang yang sangat berpengalaman dari Tanah Bugis. Bahkan dalam ekspedisi ini mengikutkan pula Sultan Mahmud Syah (Sultan Riau) yang berkeras pula untuk ambil bagian dalam perjuangan membebaskan Malaka, negeri leluhurnya.
Setelah memilih hari baik yang telah dikoordinasikan dengan pihak Kerajaan Selangor, maka ekspedisi penyerbuan itu dimulai. Pelayaran itu mengarungi Selat Malaka dan mendarat pada sebuah teluk dibagian selatan Kota Malaka, yakni : Teluk Ketapang. Raja Aji beserta segenap pasukannya membangun basis strategi pertahanan di tempat itu.
Maka terjadilah peperangan amat hebat di Negeri Malaka. VoC Belanda mengerahkan segala kekuatan yang ada. Mereka berhasil mengajak Sultan Siak dan Trenggano untuk membantunya pula. Utamanya Sultan Siak yang memiliki dendam khusus terhadap Opu Lima Bersaudara beserta segenap keturunannya. Dikerahkannya para Pahlawan Perang dari kalangan Bugis Wajo untuk berdiri bahu membahu melawan Raja Aji dan Raja Ibrahim.
Dapat dibayangkan, bagaimana dahsyatnya peperangan antar multi etnis di Teluk Ketapang masa itu. Belanda beserta sekutunya berusaha mempertahankan kedudukannya di Negeri Malaka dengan segenap kekuatan yang ada. Setelah berlangsung selama 3 bulan, akhirnya keunggulan pasukan Raja Aji dan Sultan Selangor sudah mulai kelihatan. Serangan-serangan mereka semakin lama semakin dahsyat. Maka satu persatu negeri sekeliling Malaka mulai berjatuhan, takluk dibawah keunggulan Raja Aji. Kemudian penyerbuan itu memasuki negeri Malaka bagai air bah yang tak tertahankan lagi. Pihak VoC Belanda beserta sekutunya yang masih hidup tinggal bertahan dalam benteng pertahanan. Mereka kini terkepung dalam keadaan sangat memprihatinkan !. Tiada lain harapannya kini, selain menunggu bantuan dari Batavia yang sekiranya datang tepat pada waktunya untuk melepaskan mereka dari kepungan Raja Aji beserta para sekutunya yang perkasa.
Alkisah, Prof. HAMKA mengemukakan bagaimana kepiawaian cucu Raja Aji yakni : Pujangga Raja Ali Al Haj' bin Angku Raja Ahmad Al Haj' bin Raja Aji mengisahkan hikayat jalannya peperangan itu dengan "hidupnya" dalam kitab Tuhfat an Nafis. Syahdan, Raja Aji Yang Dipertuan Muda Riau IV memimpin penyerbuan dalam upaya membobol benteng VoC pada siang hari. Bilamana hari telah malam, baginda asyik mendengar fatwa ulama yang turut pula dalam angkatan perang itu. Setiap malam jum'at, Raja yang saleh itu khusyu melantunkan wirid denga membaca kitab "Dalail Al Khairat", syair puji-pujian terhadap Rasululullah Muhammad s a w.
Pengepungan terhadap Kota Malaka itu benar-benar membuat para serdadu VoC Belanda yang terkurung dalam bentengnya merasa prustasi. Beberapakali mereka berusaha memindahkan para penduduk sipil orang Belanda yang terdiri dari perempuan dan anak-anak untuk mengunsi pada tempat yang lebih aman. Sementara itu, perbekalan makanan dan amunisi semakin menipis. Akhirnya perihal pengepungan itu sampai pula pada kanyor pusat Gubernemen Hindia Belanda di Batavia. Para petinggi Belanda itu menjadi geger dan tidak menyangka bahwa seorang Raja Melayu yang tidak diperhitungkan mampu melakukan penyerbuan antar daratan sedahsyat itu. Sebuah terobosan yang amat berani, mengingatkan tentang riwayat Hannibal de Chartago yang melakukan ekspedisi penyerbuan dari Afrika Utara ke Yunani di Eropa.
Maka pihak Gubernemen Hindia Belanda mengirimkan bantuan berupa ekspedisi perang yang terdiri dari 20 Armada Perang yang memuat beribu-ribu serdadu dari Batavia. Maka terjadilah perang yang berkecamuk dengan dahsyatnya. Pasukan bantuan Voc Belanda dari Batavia itu masih dalam keadaan segar bugar serta berjumlah lebih banyak. Tak dapat dihindarkan, pertempuran tidak seimbang itu mengakibatkan pasukan Raja Aji amat terdesak, hingga mundur dan terkepung di basis pertahanannya di Teluk Ketapang. Tuhfat an Nafis mengisahkan bagaimana keperkasaan pahlawan Bugis dan Melayu dari pihak Raja Aji yang bertempur hingga titik darah yang penghabisan, dalam upayanya menahan "lautan balatentara VoC" yang menyerbu benteng pertahanan Raja Aji, sbb :
" Maka Arung Lengnga pun memacu kudanya, padahal ia tengah sakit, keluarlah dia menempuh bari Belanda, lalu ia mengamuk. Maka matilah dia dengan kudanya, dan Belanda pun banyak juga yang akan membawa itu, meletus dan pecah sebelum berangkat, Muda itu oleh segala orang-orang besar Holanda itu, serta dengan serdadu-serdadunya. Maka mengamuklah pula Daeng Salekong dan Panglima Talebang serta Haji Ahmad. Maka ketiganya mengamuk menyerbukan dirinya kepada baris Holanda yang berlapis-lapis itu. Maka seketika dia mengamuk itu, matilah ia syahid fi Sabilillah ketiganya dengan nama Laki-Laki. Dan beberapa orang baik-baik pun syahid ..." (kutipan Tuhfat an Nafis, HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama - hal. 191-192).
Dari dalam benteng pertahanannya, Raja Aji menyaksikan para Bangsawan Ksatria kerabatnya itu berguguran satu persatu. Perih duka bercampur geram yang teramat sangat berkecamuk dalam amarah yang seakan hendak meledakkan dadanya !. Baginda bangkit dari duduknya seraya mencabut "Badik Pusaka" warisan Daeng Cella', ayahandanya. Dengan lantangnya, beliau memekikkan kalimah agung : Allahu Akbar !. Para anak cucu dan abdinya berusaha menahan seraya memeluk kaki baginda. Namun dikuakkannya dengan keras segala halangan itu !. Baginda memburu keluar dari pintu benteng dengan badik terhunus yang siap ditikamkan pada gelombang balatentara VoC. Buya HAMKA mengisahkannya dengan lebih indah lagi : "Berlakulah kadar Allah, baru saja sampai dimuka benteng itu, sedirus datangnya beratus-ratus peluru menembus dirinya dan gugurlah Pahlawan Malaya Bugis itu dengan gagah perkasanya. Badik masih tergenggam erat di tangan kanannya dan Dalailul Khairat di tangan kirinya..".
Hannibal pun pada akhirnya kalah perang juga di Yunani. Ia memilih mati bunuh diri ketimbang ditawan oleh pasukan Yunani. Namun Raja Aji memilih gugur dalam pertempurannya. Dua pilihan akhir yang berbeda dari 2 tokoh sejarah dari ruang waktu yang berbeda pula. Adapun menurutku jika ditanya, Raja Aji lebih ksatria dibanding Hannibal yang terkenal itu.
Peristiwa heroik ini terjadi pada tahun 1784 M. Gugurnya Raja Aji menandai berakhirnya perang yang amat dahsyat itu dengan kemenangan di pihak VoC Belanda. Namun dikisahkan lebih lanjut, bahwa para pembesar Belanda yang hadir dan melihat peristiwa gugurnya Raja Pahlawan itu membuka topi seraya memberikan penghormatan. Esok harinya, jenasah Raja Aji dan segenap ksatria Bugis dan Melayu yang gugur pada tempat itu dimakamkan oleh para pembesar Belanda serta sisa-sisa patriot pengikut Raja Aji dengan penuh kebesaran. Raja Aji dimakamkan dibelakang benteng pertahanan VoC Belanda di tempat itu, sehingga lengkaplah gelar baginda, yakni : Raja Aji "Asy Sahid fi Sabilillah" Yang Dipertuan Muda Riau IV, Marhum Teluk Ketapang, seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang berjuang dan gugur di Kerajaan Malaysia kini.
Sebuah jejak sejarah yang tak terlupakan, menjadi perekat persahabatan antar kedua Bangsa yang serumpun. Bukanlah sekedar sahabat, melainkan kerabat yang sedarah, sedaging dan seketurunan. Indonesia dan Malaysia.
Wallahualam Bissawwab..
Ksatria Makassar, menantang badai ! (Bag. 1)
Manusia terlahir bersama rasa takutnya. Sesuatu yang mengendalikan naluri untuk bertahan hidup, sekaligus dapat pula menjadi penyebab hilangnya jiwa jika rasa takut itu berlebihan. Namun ada pula bangsa yang berusaha menghilangkan fitrah yang alami itu sejak lahirnya. Setiap putra putri Bugis Makassar senantiasa didoa'kan agar rasa takutnya tertanam atau hanyut bersama ari-arinya.
"Laono tauu', sompe'no bulisaa', musialloping kaka irungmu, tosiruntu' paimeng, mallongi-longi ri warekkeng totomu.." (Berangkatlah wahai rasa takut, merantaulah wahai rasa gelisah, satu perahu dengan kakak ari-arimu, semogalah kiranya kita bertemu lagi, pada derajat tinggi suratan takdirmu..), demikian antara lain nyanyian seorang Sanro (Dukun Beranak) ketika menghanyutkan ari-ari bayi yang ditempatkan pada perahu mainan di pinggir laut.
Hari demi hari, bayi itu pun tumbuh menjadi seorang "manusia berkepribadian" sebagaimana fitrahnya. Maka ditanamkanlah semboyang karakter pada dirinya untuk membela "Siri" (Harga Diri). Kehormatan Agama, Bangsa, Kedua Orang Tua, Anak, Istri dan orang yang meminta perlindungan beserta kehormatan diri adalah hal-hal dalam lembaga "Siri" yang mutlak dijadikan standar nilai harkat yang harus dijaga olehnya, melebihi jiwanya sendiri. Sebuah amanah yang jika jiwanya harus sirna dalam mempertahankannya, maka ia akan disebut sebagai "MatE ri Santangi" (Mati Mulia) atau "MatE ri Gollai" (Kematian yang manis). Maka setiap pribadi itu dipantangkan baginya untuk merasa gentar terhadap ancaman kematian. "Majeppu tania Ugi Mangkasara', narEkko tania arona maloo'" (Sesungguhnya bukanlah Bugis Makassar jika bukan dadanya yang terluka..", demikian diwasiatkan pada seorang putera Bugis. Lalu kepada putera Makassar, diwasiatkan pula : "TEai Mangkasara punna bokona loko.." (Bukanlah Makassar jika punggungnya yang terluka).
Kenapa harus dada yang terluka ?. Kenapa pula tidak boleh punggung yang terluka ?. Seseorang yang mati dengan luka dibagian dada atau tempat lain dibagian depan tubuhnya, menandakan ia telah melakukan perlawanan dengan berani hingga tarikan nafas terakhirnya. Adapun luka yang terdapat pada punggung, besar kemungkinan ia melarikan diri dari perkelahian hingga ajal menjemputnya. Kematian yang dinilai amat hina dan memalukan kaumnya. Taroko ikala rEkko dE'to mucauu, taroko matE rEkko dE'to mulari ! (Biarlah kau kalah, asalkan kau tidak gentar, biarlah kau mati, asalkan kau tidak lari !), kata seorang ibu pada puteranya.
Membaca kisah hidup Daeng MangallE yang ditulis oleh Sejarawan Prof. MR. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH, Dr. H. Wahyuddin Hamid, SE, Zainuddin Tika beserta sejarawan lainnya membuat pikiranku untuk mengulas sekilas motif budaya yang berpengaruh langsung pada pembentukan karakter tersebut diatas.
Apa dan siapa Daeng MangallE' ?. Menurutku yang sedang menulis profil-profil singkat tentang hal ikhwal para perantau Bugis Makassar pada judul laman ini, kiranya tokoh sejarah seorang Daeng MangallE' adalah simbol The Real Warrior and The Real Knight at all. Beliau adalah seorang Tu Barani (Sang Pemberani) dan seorang "Pakkanna" (Ksatria) dalam arti yang sesungguhnya. Putera Makassar yang menggoreskan kisah keberanian seorang ksatria perantau pada banyak negeri, dimana kisah heroiknya ditulis dan diberitakan oleh "Gervaise", seorang Theolog berkebangsaan Perancis pada abad XVII dalam bukunya yang berjudul : "Description Historique du Royaume de Macacar" yang kemudian diulas dan diteliti oleh Sejarawan Dr. Christian Pelras.
Berdasarkan buku yang ditulis oleh Gervaise itulah, maka para peneliti sejarah Makassar mulai membuka manuskrip-manuskrip untuk mengetahui siapa sebenarnya "Daen Maale" (nama tokoh Pahlawan dari Makassar dalam tulisan Gervaise) itu ?. Maka timbullah beberapa versi perihal silsilah beliau, antara lain :
1). Menurut catatan dalam daftar silsilah Raja-Raja Gowa pada Lontara Bilang , beliau adalah I Addulu' DaEng MangallE adalah putera I Mallombasi Daeng Mattawang "Sultan Hasanuddin" Sombayya ri Gowa XVI dari perkawinannya dengan I Hatijah I Lo'mo Tobo. Dengan demikian, beliau bersaudara kandung dengan : I Mannidori KarEk TojEng KaraEng GalEsong, I Syafiuddin Daeng Rikong dan I Rukiah Daeng Mami. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin yakni pada masa sebelum hingga Perang Makassar berlangsung, pangeran ini adalah Panglima Pasukan Tubarani (Pemberani) Butta Gowa yang juga sekaligus sebagai "Pa'lapa' Barambang" (Perisai Dada Raja Gowa), garda terdepan pasukan pengawal Sombayya Gowa. Setelah penandatanganan Perjanjian Bongaya, beliau adalah salah seorang tokoh yang tidak setuju dengan perjanjian tersebut sehingga memilih bergabung dengan kakaknya (KaraEng GalEsong) pada ekspedisi ke Pulau Jawa untuk membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten) dan Raden Trunojoyo (Prabu Maduretno) dalam memerangi VoC Belanda (Zainuddin Tika dkk, Daeng Ruru, Panglima Perang Kerajaan Perancis, Pustaka Refleksi, Makassar - 2008)
2). Menurut Pallontara Alm. Andi Paramata yang merupakan seorang ahli silsilah Wajo, bahwa pangeran yang dimaksud oleh Gervaise tersebut adalah "KaraEng MangallEkana", salah seorang saudara seayah I Mallombasi Daeng Mattawang "Sultan Hasanuddin" Sombayya ri Gowa XVI. Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh adanya sumber yang didapat oleh Alm. H. Andi Adjaib (Mantan Walikota Parepare), bahwa Sultan Hasanuddin memang memiliki saudara laki-laki yang tidak begitu disukainya, bergelar : Pasukki Langi' . Pangeran ini digelari demikian karena postur tubuhnya yang tinggi (jangkung). Konon beliau tidak disenangi oleh Sultan karena karakternya yang keras serta seringkali membantah kebijakan Raja Gowa tersebut (Prof. MR. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH, Sekelumit Kissah Daeng Ruru dan Daeng Tulolo di Perancis Pada Abad ke XVII, BKSS-1977).
3). Menurut sumber yang ditemukan pada sejarah kepahlawanan I Mannidori KarEk' TojEng KaraEng GalEsong, bahwa "Daen Maale" yang dimaksud pada buku Gervaise ini adalah : Abdul Hamid Daeng MangallE'. Pangeran ini adalah cucu Sultan Malikussaid Sombaya Gowa XV. Dalam uraian silsilahnya, dipaparkan sbb : Sultan Malikussaid Somba Gowa XV menikah dengan I Bissu KarE' Jannang, melahirkan seorang puteri bernama : I Sungguminasa I Rabiah DaEngta I Daeng Nisanga KaraEng Sanggiringan. Puteri Raja Gowa inilah yang dinikahkan dengan Salahuddin KaraEng Bungaya, maka lahirlah seorang putera bernama : Abdul Hamid DaEng MangallE'. Dengan demikian, beliau adalah kemenakan Sultan Hasanuddin Somba Gowa XVI. Selain tokoh yang disebutkan pertama (I Addulu' DaEng MangallE'), Daeng MangallE yang satu inipun juga ikut berjuang dalam membantu Sultan Ageng Tirtajasa (Sultan Banten) dan Raden Trunojoyo dalam peperangan melawan VoC Belanda di Pulau Jawa.
Terlepas dari yang mana benar pada ketiga versi tersebut diatas, namun jika berdasarkan alur kisah dan para tokoh pelakunya dalam buku Gervaise sebagaimana banyak ditulis pula oleh Prof. MR. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH, maka versi yang ketiga diataslah agaknya paling relevan. Demi memudahkan untuk menyimak susunan tulisan ini, maka bagian pertama ini dijadikan sebagai pengantar yang memuat perihal silsilah tokoh yang akan dituturkan kemudian. Akhirnya pada bagian berikut tulisan ini, selanjutnya penulis mencoba menguraikannya sebagai Abdul Hamid Daeng MangallE, kemenakan Sultan Hasanuddin, Sang Ayam Jago dari Timur.
Wallahualam Bissawwab..
Ksatria Makassar, menantang badai ! (bag. 2)
Gervaise, seorang pendidik dan juga seorang penulis dalam lingkungan istana Louis XIV, Kaisar Perancis. Beliau adalah putera salah seorang dokter pribadi Louis XIV, lalu menulis banyak hal tentang Makassar berdasarkan informasi dari kedua muridnya yang merupakan bangsawan Makassar. Suatu hal yang luar biasa bagi seorang yang justru belum pernah menginjak tanah Makassar.
Kedua putera Makassar itu adalah anak angkat Kaisar Louis XIV yang diserahkan kepada Gervaise untuk mendapatkan bimbingan Bahasa Perancis dan Protokoler kebangsawanan Perancis. Maka tulisan ini adalah kilas balik keberadaan kedua Bangsawan Makassar tersebut, masing-masing bernama : Monseigneur Luis Pierre Daeng Ruru de Macassart dan Louis Dauphin Daeng Tulolo de Macassart yang berhubungan langsung dengan "Daen Maale" (Daeng MangallE) sebagaimana dikisahkan kembali berikut ini.
............................................................................
Telah dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa Daeng MangallE adalah salah seorang petinggi Kerajaan Gowa (Makassar) yang tidak menyetujui Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 Nopember 1667. Beliau menolak keras menandatangani perjanjian tersebut. Namun tidak seperti para petinggi lainnya yang menolak pula perjanjian itui, Daeng MangallE untuk sementara tetap bertahan untuk tinggal di Kerajaan Makassar.
Diberitakan lebih lanjut oleh Gervaise, bahwa akibat dari penolakannya terhadap perjanjian itu, pihak Belanda mencari akal agar Daeng MangallE dibenci oleh "Craen Sombanco" (baca : KaraEng Sombangku I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin). Maka melalui seorang gundik yang dapat disogoknya, rencana licik itu berjalan dengan mulusnya. Gundik itu berhasil meyakinkan Sultan, bahwa Daeng MangallE yang memang tidak terlalu disukai itu, sedang mengatur sebuah rencana jahat terhadap diri Sultan, demi melanjutkan perang terhadap VoC Belanda dan sekutunya (Arung Palakka).
Mengingat karakter Daeng MangallE yang memang keras kepala dan kadang membantah kebijakan Sultan, maka fitnah yang dilancarkan oleh gundik itu sangatlah masuk akal. Sultan sendiri dapat menilai situasi dan kondisi para petinggi yang membantunya selama ini. KaraEng Karunrung (Mangkubumi Kerajaan Makassar), KaraEng Bontomarannu (Laksamana Besar Angkatan Laut Makassar), I Mannidori KaraEng GalEsong (Panglima Angkatan Darat, Putera Sultan Hasanuddin), La Tenri Lai' Tosengngeng Arung Matowa Wajo (Sekutu, menantu Sultan Hasanuddin) serta banyak lagi yang lainnya, mereka adalah orang-orang yang bertemperamen tinggi serta memiliki keberanian yang tidak lumrah. Tetapi sesungguhnya mereka tidak pernah ada yang berani membantah kebijakan Sultannya. Sesuatu yang membedakan dengan kepribadian Daeng MangallE', sepupu Sultan ini (Gervaise menulisnya sebagai Adik Sultan). Akhirnya Sultan mempercayai fitnah itu, lalu menyuruh pemberani kepercayaannya untuk membunuh Daeng MangallE'.
Mengetahui jika dirinya telah dijatuhi hukuman mati, pemuda ksatria yang pemberang ini memilih untuk menyingkir dari Kerajaan Makassar. Walau bagaimana keras wataknya, namun jauh didalam lubuk hatinya tersimpan rasa hormat yang tulus terhadap Sultan, Kakandanya yang diketahuinya dengan pasti sebagai Manusia Bijak. Adalah "Siri" jika menentang "Tunisombayya" (Yang Dipertuan Raja Gowa) dengan kekerasan senjata pula. Maka dengan ditemani oleh kedua pengawal kepercayaannya, beliau meninggalkan tanah Makassar berbekalkan emas permata yang disiapkannya sebelumnya.
Pelarian secara diam-diam itu membawanya bergabung dengan kontingen yang membawanya ke Pulau Jawa untuk melanjutkan peperangan dengan VoC Belanda, langsung pada pusat komandonya (Batavia). Suatu rencana yang justru sangat sesuai dengan kata hatinya. Dikemukakan oleh Sejarawan Prof. MR. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH, bahwa pasca Perjanjian Bungaya mengakibatkan terjadinya gelombang ekspedisi para petinggi Kerajaan Makassar dan sekutunya menuju Kerajaan Banten di Pulau Jawa bagian Barat.
Gelombang pertama adalah ekspedisi yang dipimpin oleh Laksamana Besar KaraEng Bontomarannu. Dalam kontingen itu ikut pula para pembesar Kerajaan Makassar beserta dengan lasykarnya, antara lain disebutkan : Sultan Harun Al Rasyid (KaraEng Tallo), I Ata TojEng DaEng Tulolo (Adik Sultan Hasanuddin), I Manindori KaraEng MangEppE' dan Syaiful Muluk KaraEng Bonto Majannang. Ekspedisi perang ini terdiri dari 4 armada dengan kekuatan 800 Lasykar yang bersenjata lengkap. Mereka merapat di Pelabuhan Banten pada tanggal 19 Agustus 1671 (Zainuddin Tika dkk, Daeng Ruru Panglima Perang Kerajaan Perancis, Pustaka Refleksi - Makassar 2008).
Gelombang kedua dipimpin oleh Settia Raja Opu Cenning Luwu (Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung Luwu XIX) dan I Muntu DaEng Mangappa (Putera KaraEng Bontomarannu), terdiri dari 2 armada dengan 350 Lasykar bersenjata lengkap pula. Kontingen ini mendarat di Banten pada tanggal 16 September 1671.
Gelombang ketiga dipimpin oleh I Mannidori KarE' TojEng KaraEng GalEsong (Putera Sultan Hasanuddin), dimana dalam kontingen inilah yang diikuti Abdul Hamid DaEng MangallE' bersama kedua pengawal setianya dan para tokoh besar Kerajaan Makassar yang lainnya. Mereka itu adalah, I Adulu' DaEng MangallE (Putera Sultan Hasanuddin), I Fatimah DaEng Takontu (Puteri Sultan Hasanuddin yang terkenal sebagai Panglima Srikandi Balira) dan La Mappa Arung Tonra KaraEng Rappocini'. Kontingen inilah yang paling besar dibanding sebelumnya, yakni : terdiri dari 70 buah armada perang yang memuat 20.000 lasykar bersenjata lengkap. Mereka mendarat di Pelabuhan Banten dalam bulan Oktober 1671.
Tidak dapat dilupakan pula, bahwa hampir bersamaan dengan gelombang pertama ekspedisi tersebut diatas telah menyusul pula kontingen lain yang bertolak dari Pelabuhan Makassar , yakni : Lasykar Gabungan Melayu-Makassar berkekuatan 1.200 personel yang dipimpin oleh Ibnu Iskandar Datu Louadin, seorang Minangkabau yang tinggal menetap sebagai pemimpin masyarakat Melayu di Makassar (Prof. MR. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, Makalah : Bantuan para pengunsi Sulawesi Selatan pada Syekh Yusuf dalam perang Banten - 1993).
Perlu dikemukakan bahwa, para pembesar Kerajaan Makassar dan sekutunya yang menolak menghentikan perang dengan VoC Belanda ini, menjadikan Kerajaan Banteng di Pulau Jawa sebagai tujuan membuka front pertempuran baru, disebabkan adanya Syekh Yusuf Tajul Khalwati Al Makassari (Tuanta Salamaka). Beliau adalah seorang putera Makassar, menantu I Mangngurangi DaEng Manrabia Sultan Alauddin Sombayya Gowa XVI (kakek Sultan Hasanuddin) yang diangkat sebagai "Mufti Kerajaan Banten", lalu dipermenantukan pula oleh Abu'l Fath Abdul Fattah Sultan Ageng Tirtayasa, Raja Banten (1651-1692). Pada masa pasca Perjanjian Bungaya yang kontroversial itu, telah terjadi perselisihan dalam keluarga antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya sendiri, yakni : Sultan Abu Nashar Abdul Kahar yang dikenal pula sebagai "Sultan Haji".
Sultan Haji adalah seorang yang sangat loyal terhadap VoC Belanda, sesuatu yang justru sangat dibenci oleh ayahandanya. Terjadilah pendurhakaan seorang putera kepada ayahandanya demi menuruti bujuk rayu VoC Belanda yang teramat sangat mempengaruhi pola berpikirnya. Maka Perang Banten yang terkenal itu meletus, perang antara ayah dan anak yang disebut oleh Budayawan/Sejarawan/Sastrawan/Ilmuwan dan Ulama Pahlawan Buya HAMKA sebagai : Kesedihan Besar Banten yang kedua.
Perang Banten (1678-1684) antara Sultan Ageng Tirtayasa beserta puteranya yang lain bernama : Pangeran Hasan (Pangeran Purbaya) yang dibantu oleh Syekh Yusuf dan para pahlawan Perang Makassar melawan Sultan Haji yang dibantu sepenuhnya oleh VoC Belanda. Perang itu berkecamuk dengan dahsyatnya, mengakibatkan korban jiwa dan harta benda yang amat banyak. Suatu hal menarik yang sehubungan dengan topik tulisan ini, bahwa dalam situasi perang yang memanas itu, tokoh Abdul Hamid Daeng MangallE diangkat pula menjadi menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Pangeran Pemberani dari Makassar itu mempersunting puteri baginda,bernama : Angke Syafiah.
Dalam bulan April 1675, ditengah berlangsungnya Perang Banten yang melibatkan banyak tokoh berbagai bangsa itu, tibalah Pangerang Kejoran (Adipati Anom), seorang bangsawan tinggi Kerajaan Mataram di Banten. Beliau adalah mertua Raden Trunojoyo yang sedang membangun pergerakan melawan Prabu Amangkurat I, Sultan Mataram. Pangeran Mataram itu meminta bantuan kepada para petinggi Makassar untuk membantu pergerakan Raden Trunojoyo melawan dominasi VoC Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Atas pertimbangan Syekh Yusuf, maka I Mannidori KarE' TojEng KaraEng GalEsong dan KaraEng Bontomarannu memenuhi undangan itu, melanjutkan perjuangan melawan VoC di Front Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maka berangkatlah kedua pahlawan Makassar itu bersama segenap lasykarnya untuk bergabung dengan Raden Trunojoyo di Kediri yang diturut pula oleh DaEng Mangika (putera Sultan Muhammad Ali Sombayya Gowa XVIII), I Mappa Arung Tonra KaraEng Rappocini', KaraEng Mamampang dan Sultan Harun Al Rasyid KaraEng Tallo yang disertai oleh para lasykar Bima. Dalam bulan itu pula, susul menyusul pahlawan lainnya untuk membantu Raden Tunojoyo, yakni : I Muntu Daeng Mangappa dan I Ata TojEng DaEng Tulolo bersama segenap lasykarnya pula (perihal riwayat ini akan disusun dalam judul tulisan lain, penulis).
Sepeninggal beberapa tokoh utama Lasykar Makassar yang mengalihkan perjuangannya ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, maka kekuatan pihak Sultan Ageng Tirtayasa pun berkurang. Pasukan Makassar yang tersisa dipimpin oleh Syekh Yusuf, Abdul Hamid DaEng MangallE, La Palissubaya Daeng Mattuju KaraEng LambEngi (Mantan Pajung ri Luwu), DaEng Kalibe KaraEng Malukessi beserta dengan I Fatimah DaEng Takontu. Tokoh terakhir disebut ini adalah panglima pasukan khusus yang keseluruhannya terdiri dari kaum wanita pemberani. Olehnya itu maka pembesar Belanda di Batavia menggelarinya sebagai : Garuda Betina dari Timur, julukan yang mirip dengan ayahnya, yakni : De Haantjes Van Oosten (Ayam Jantan Dari Timur), Sultan Hasanuddin.
Terpecahnya kekuatan lasykar Makassar yang mengakibatkan lemahnya pertahanan Pasukan Banten, akhirnya berakibat fatal. Dalam tahun 1680, La Palissubaya Daeng Mattuju KaraEng LambEngi tertangkap oleh pasukan VoC lalu menjalani hukuman pembuangan ke Cape Town, Afrika Selatan. Lalu 2 tahun kemudian, yakni tahun 1682, Sultan Ageng Tirtayasa juga tertangkap dan ditawan di Batavia hingga wafat pada tahun 1692. Maka tinggallah Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya, Pangeran Kidul serta segenap pimpinan lasykar Makassar melakukan perang gerilya di hutan-hutan wilayah Cirebon, Karawang, Cisarua, Ciaten, Priangan hingga ke Mataram. Dalam perang gerilya itu, Pangeran Kidul (putera Sultan Ageng Tirtayasa) gugur. Akhirnya setelah anak dan isterinya dijadikan sandera, Syekh Yusuf terpaksa menyerah pula. Beliau dijatuhi hukuman pembuangan ke Ceylon, Srilangka lalu dipindah ke Cape Town, Afrika Selatan.
Setelah Syekh Yusuf tertangkap, I Fatimah DaEng Takontu dan DaEng Kalibe' KaraEng Malukessi beserta segenap pasukannya meninggalkan Banten, melanjutkan perantauannya menuju ke Mempawa (Kalimantan Barat). Mereka diterima baik oleh Sultan Mempawa, seorang Pangeran Bugis pula, yakni : Opu DaEng Manambung (putera Opu DaEng RilEkke'). Kedua ksatria itu dinikahkan dan membuahkan seorang puteri bernama : DaEng Tipa. I Fatimah DaEng Takontu wafat di Mempawa dan dimakamkan di Pulau Tumaju, Kalimantan Barat (Syarifuddin KullE dkk, I Fatimah Daeng Takontu - Buana, 2005).
Lalu bagaimana halnya dengan Tokoh Utama riwayat ini ?. Dalam uraian yang menjadi setting kronologis eksistensinya pada Perang Banten diatas, didapati pula sumber yang simpan siur seputar ruang waktu perjuangannya. Menurut Sejarawan H.D. Mangemba, bahwa putera sulung DaEng MangallE bernama DaEng Ruru lahir di Jawa Timur dalam tahun 1672. Dengan demikian, jika dihubungkan dengan sumber lain yang juga simpan siur yang dikemukakan oleh Zainuddin Tika dkk (Daeng Ruru, Panglima Perang Kerajaan Perancis) sehubungan dengan kronologis perang Banten dan keberangkatan DaEng MangallE sekeluarga ke Ayuthia, Siam (Thailand), maka didapati pula jika Abdul Hamid Daeng MangallE ikut pula membantu perjuangan Raden Trunojoyo dan KaraEng GalEsong. Bahkan jika dihubungkan dengan kelahiran puteranya dalam tahun 1672 di Jawa Timur, berarti tokoh ini berjuang di Jawa Timur sebelum kedatangan KaraEng GalEsong dkk.
Agaknya terlalu berat bagi penulis yang masih amatiran ini untuk meneliti lebih jauh, sumber-sumber yang lebih tepat menyangkut tulisan ini. Apapun dan bagaimanapun kronologis sejarah sebelum keberangkatannya ke Negeri Siam, Gervaise yang menjadi sumber utama perihal ini memberitakan bahwa DaEng MangallE' sekeluarga bertolak ke Ayuthia, Siam dalam tahun 1674. Beliau disertai 60 keluarga Makassar dalam perantauannya tersebut.
Wallahualam Bissawwab..
Ksatria Makassar, menantang badai ! (bag.3)
Siam di masa lalu, Thailand di masa kini. Sebuah bangsa Asia Tenggara yang memiliki seni budaya paling maju pada jamannya. Kuil Angkor Wat adalah salahsatu bukti kebesarannya, berdiri teguh menjulang ke angkasa hingga pada hari ini.
Negeri inilah yang dituju DaEng MangallE sekeluarga beserta pengikutnya yang terdiri dari 60 keluarga. Dr. Crhistian Pelras menguraikan riwayat kepahlawanan ini berdasarkan buku yang ditulis oleh Gervaise dan buku memoir Laksamana Forbin, seorang berkebangsaan Perancis pula yang menjabat sebagai Komandan Loji Pertahanan dalam Benteng Bangkok pada penghujung abad XVII.
……………………………………………………………………………………………………………….
Sang Docja Pacdi Kerajaan Siam
Negeri besar yang juga dijuluki sebagai Negeri Gajah Putih dan Negeri Seribu Pagoda ini tak pernah dijajah oleh bangsa Asing. Kerajaan berdaulat yang memberi keleluasaan terhadap seluruh bangsa yang mau berdagang, asal mau mengikuti aturan yang ditetapkan Raja Siam, Phra Narai yang agung. Baginda menggariskan kewajiban kepada semua perwakilan bangsa asing yang menetap di negeri itu untuk ikut berperang membantu pasukan kerajaan sewaktu-waktu dibutuhkan. Maka ramailah negeri itu ditempati kantor-kantor perwakilan dagang berbagai bangsa, diantaranya : Portugis, Perancis, Belanda, Inggris, Jepang, dll.
Phra Narai adalah seorang Raja yang berpikiran maju. Baginda memiliki visi yang jauh ke depan sehingga amat memandang perlu untuk membuka segenap pintu Kerajaan Siam terhadap segala jenis budaya luar, yang nantinya akan ikut memahsyurkan Kerajaan itu pada dunia luar. Kebijakan itu dimulai pada struktur pejabat lingkungan istana sendiri. Kerajaan Siam pernah mengangkat seorang bangsa Yunani bernama Constantino Hierachi sebagai penasehat Raja.
Selain tinjauan baginda yang amat maju tersebut, Phra Narai sangat berkepentingan untuk memberdayakan kekuatan bangsa-bangsa asing tersebut untuk memperkuat kedudukannya sebagai raja Siam. Kondisi politik dalam lingkungan keluarga Kerajaan Siam pada masa itu penuh dengan intrik dan persekongkolan antar para pangeran yang sangat rawan kudeta. Raja Phra Narai sendiri adalah ahli waris dari pendahulunya yang sukses merebut tahta dari raja sebelumnya. Belum pula perhubungan politik bilateral yang sering mengalami ketegangan dengan Kerajaan-kerajaan tetangganya seperti Myanmar dan lainnya, semua itu memerlukan pemberdayaan kekuatan yang didapatkan dari berbagai elemen disertai perhitungan matang pula. Jangan sampai kekuatan yang dipupuk itu akan menjadi lawan dikemudian hari pula.
Daeng MangallE beserta rombongan tiba di Ayuthia (Ayathaya) dalam tahun 1674. Raja Phra Narai menyambutnya dengan hangat. Baginda cukup banyak mengetahui, berdasarkan informasi dari bangsa-bangsa Eropa perihal kepahlawanan orang-orang Bugis Makassar yang terkenal gigih itu. Terhadap sosok seorang Daeng MangallE, baginda telah mengetahuinya pula dari cerita orang-orang Bugis Makassar dan Banten yang sebelumnya sudah menetap di Negeri itu, bahwa beliau adalah seorang pahlawan Makassar yang berpengalaman pada banyak perang besar di Sulawesi dan Jawa. Memberdayakan orang yang berkemampuan seperti ini, niscaya kedudukannya sebagai seorang besar Siam akan semakin kokoh, demikian pemikiran Baginda. Maka Raja yang pemurah itu menganugerahkan sebuah kawasan perkampungan yang mereka namai pula sebagai : Kampung Makassar.
Adapun halnya dengan Daeng MangallE sendiri, beliau diangkat sebagai “Docja Pacdi” sebuah jabatan setingkat menteri yang mengurusi keuangan Negara. Tidak lama setelah menerima anugerah jabatan itu, lahirlah putera kedua Daeng MangallE yang diberinya nama : Daeng Tulolo. Kini Daeng MangallE telah memiliki 2 Putera, yakni DaEng Ruru dan DaEng Tulolo. DaEng Ruru yang konon nama aslinya sebagai DaEng Rurung lahir di Kakaper, Jawa Timur dalam tahun 1672 (menurut H.D. Mangemba).
Sang Docja Pacdi Daeng MangallE melaksanakan tugasnya sebagai bendaharawan Kerajaan Siam dengan baik. Setelah beberapa tahun memangku jabatan tersebut, terbukalah perhubungan baik dalam bentuk perdagangan antara Kerajaan Siam dengan Kerajaan Gowa. Somba Gowa yang pada masa itu adalah I Mappasossong Daeng MangEwai KaraEng BisEi (menurut Prof. MR. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH) telah menjalin hubungan baik dengan Daeng MangallE yang memperhubungkannya pula dengan Phra Narai. Maka ramai pulalah perahu dagang Makassar berlabuh di Ayuthia, Siam.
Kemajuan demi kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Siam dalam waktu relativ singkat masa tersebut, membuat Phra Narai semakin berambisi untuk mengukuhkan negerinya sebagai suatu poros kekuatan baru di kawasan Asia Tenggara. Baginda ingin mengimbangi pengaruh Belanda yang menguasai samudera Hindia. Baginda sadar, bahwa memenuhi ambisinya tersebut haruslah melalui jalinan persahabatan (Kemitraan) dengan salah satu Kerajaan Besar lainnya di Eropa. Maka dikirimnyalah sebuah delegasi ke Raja James II di Inggris, namun tidak membuahkan hasil sebagaimana diharapkannya.
Phra Narai kemudian mengirimkan delegasi persahabatan ke Raja Louis XIV, Kaisar Matahari Perancis. Delegasi pertama itu mengalami kecelakaan laut dan tenggelam di perairan Madagaskar. Maka dikirimnya pula delegasi berikutnya yang akhirnya mendapat sambutan yang sepantasnya oleh Kerajaan Perancis. Louis XIV mengutus delegasi balasan pula pada tanggal 1 Maret 1687 yang terdiri dari 6 Armada Perang yang memuat satu detasemen militer yang terdiri dari 636 personel pasukan. Jalinan persahabatan dengan salahsatu kekuatan besar Eropa tersebut sangat diharapkan Phra Narai sehingga baginda mengangkat seorang Perancis bernama Constance Phaulkon sebagai Perdana Menteri Kerajaan Siam, jauh sebelum perutusan Raja Louis XIV itu tiba di Ayuthia.
Wallahualam Bissawab
Ksatria Makassar, menantang badai ! (bag. 4)
Perang Terakhir Sang Ksatria (1)
SE'rE, sE'rEji Batara baulE
KupattanjEngang sarEngku
Barang kubuntulu sarEng mabaji
Allo ri bokoku ...
Hanya satu, kepada satu Tuhan jualah
Kupasrahkan segala nasibku
Kiranya kutemui jua takdir baik
Kelak dihari setelah matiku.. (syair Makassar)
Siri'Emi rionroang ri lino
Utettong ri ade'E
Jagaiangnami siri'ta
Naiya siri'E,
Sunge' naranreng
Nyawa nakira-kira
Karena "Siri" maka kita hidup di dunia
Aku setia nan teguh pada nilai adat
Segalanya demi menjaga harga diri
Sesungguhnya "siri" itu,
Jiwa imbalannya
Nyawa taruhannya (syair Bugis)
..............................................................................................
Ayuthia, pusat Kerajaan Siam pada abad XVII. Sebuah kota pelabuhan yang ramai dihuni berbagai bangsa yang memiliki kantor perwakilannya (Konsulat) masing-masing. Adalah sebuah kesuksesan besar bagi seorang Phra Narai, prinsip keterbukaannya terhadap bangsa-bangsa Eropa dan Asia lainnya tidak sedikitpun mempengaruhi kedaulatannya sebagai satu-satunya penguasa Siam. Namun perhatiannya yang banyak tercurah pada masalah politik luar negeri itu membuatnya lalai dalam hal stabilitas politik dalam negerinya sendiri.
Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa Perdana Menteri Kerajaan Siam pada masa itu adalah seorang Eropa, yakni Constance Phaulkon. Menilik situasinya, maka kelompok bangsa-bangsa Asia yang terdiri dari orang Melayu (Minangkabau), Champa dan Makassar yang sudah berada di negeri tersebut sebelum Daeng MangallE, merasa terpinggirkan. Maka timbullah rasa tidak puas yang bermula pada komunitas Bangsa Melayu yang menular pula pada kelompok orang-orang Champa. Akhirnya dibentuklah sebuah persekutuan pemberontakan yang dipelopori oleh pemuka masyarakat Melayu. Mereka mengajak para bangsa-bangsa Asia yang beragama Islam lainnya untuk bergabung dengan gerakan itu. Sebuah gerakan makar menggulingkan Raja Phra Narai.
Adapun halnya dengan Daeng MangallE sendiri, pejabat istana inipun tidak luput dari ajakan itu. Diperhadapkanlah beliau dengan situasi politik pemerintahan Phra Narai pada masa itu, dimana para komunitas Bangsa Eropa lebih dominan daripada para perantau Asia sendiri. Terlebih-lebih jika menyangkut alasan "Ukhuwah Islam" (Persaudaraan Islam), maka Daeng MangallE' sendiri mau tidak mau, terpaksa ikut pula mendukung persekutuan itu. Sebagaimana diketahui, bahwa Agama adalah menempati peringkat teratas dalam lembaga "Siri". Sesuatu yang mutlak dijunjung tinggi diatas segalanya.
Pada tahun 1682, terjadilah pemberontakan orang-orang Melayu tersebut. Daeng MangallE' beserta lasykar Makassarnya ikut pula terlibat dalam gerakan itu. Namun karena gerakan itu tidak terkoordinasi dengan baik, akhirnya pemberontakan itu berhasil dipadamkan. Phra Narai adalah seorang penguasa yang pemurah. Kaum pemberontak itu diampuninya tanpa persyaratan khusus yang mengikat, asal berjanji tidak mengulanginya lagi.
Adapun halnya dengan Daeng MangallE, ia merasa tidak ada muka lagi untuk kembali menduduki jabatannya sebagai "Docja Pacdi". Beliau dan pengawal pribadinya tidak pernah lagi memunculkan diri di Istana. Sesuatu yang dapat dimaklumi, mengingat jika tindakannya inipun adalah hal yang sangat disayangkan. Dari semua sumber yang ditulis dan diulas oleh para sejarawan, baik Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH, Dr. H. Wahyuddin, M.S, Zainuddin Tika dan lainnya, menyangkut peristiwa keterlibatan DaEng MangallE dalam pemberontakan ini, semuanya mengatakan "sayang, dia sampai terbujuk terbujuk...".Orang tua-tua Bugis Makassar senantiasa berpesan, bahwa : Banna waE cekkE'nami tauwE pawErEng, Tengmangkingni risolangi.. (Walaupun cuma segelas air dingin yang diberikannya dengan ikhlas, maka pantanglah ia dicelakakan..). Pepatah Melayu mengatakan: Ada ubi ada talas, ada budi ada balas.. pantang air susu dibalas air tuba..
Suasana di perkampungan Makassar mulai tidak tenang. Walaupun sudah diberi ampunan oleh raja, namun mereka tetap merasa was-was. Akhirnya dalam bulan Pebruari 1686, masyarakat Melayu menghimpun lasykarnya sebanyak 2000 orang. Mereka beserta orang-orang Champa mengajak Daeng MangallE beserta komunitas Makassarnya untuk kembali mengadakan pemberontakan. Gerakan kali ini didukung penuh oleh seorang Pangeran, adik tiri Raja Phra Narai sendiri. Ia adalah seorang tokoh yang berambisi untuk merebut tahta kakaknya. Melihat upaya pemberontakan orang-orang Melayu, Champa dan Makassar, maka dipandangnya gabungan itu sebagai sebuah kekuatan yang memungkinkan tercapainya ambisi pribadinya tersebut. Dibujuknya pemuka Masyarakat ketiga bangsa itu dengan janji bahwa iapun bersedia memeluk Agama Islam sekiranya gerakan itu kelak berhasil. Maka terbentuklah persekutuan itu yang didukung pula sepenuhnya oleh Daeng MangallE. Bahkan lebih jauh lagi, Kampung Makassar dijadikan sebagai basis utama pergerakan makar itu.
Dalam perundingan yang diadakan di Kampung Makassar, mereka menetapkan bahwa aksi kudeta dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 15 Agustus 1686, jam 11.00 malam. Rencana penyerangan terhadap istana serta membunuh Phra Narai dilakukan pada saat Raja kembali dari perjalanannya ke kota Loburi. Namun rencana gerakan itu akhirnya bocor juga. Pihak istana mengatur penjagaan ketat yang terdiri dari gabungan 10.000 personel pasukan kerajaan dan perwakilan bangsa-bangsa Eropa pada setiap sudut kota. Bahkan kini mereka sedang bersiap-siap melakukan penumpasan terlebih dahulu terhadap pemberontakan itu. Maka gagallah rencana kudeta itu.
Melalui Perdana Menteri Constance Phaulkon, Raja Phra Narai mengeluarkan ultimatum yang disampaikan kepada para pemuka masyarakat yang memberontak itu. Dalam waktu 4 hari, mereka harus datang ke istana untuk mengakui kesalahannya serta memberitahukan nama-nama anggota komplotan lainnya. Jika tidak, mereka beserta segenap warga masyarakatnya dijatuhi hukuman penyiksaan yang mengerikan !. Maka sebagian orang Melayu dan Champa datang ke Pichilok, yakni tempat peristirahatan Raja Phra Narai di luar kota Ayuthia. Mereka memohon pengampunan seraya menyampaikan daftar nama para tokoh masyarakat Islam lainnya yang terlibat.
Kini tinggallah Daeng MangallE dan segenap penduduk Kampung Makassar menunggu nasib.
SE'rE, sE'rEji Batara baulE
KupattanjEngang sarEngku
Barang kubuntulu sarEng mabaji
Allo ri bokoku ...
Hanya satu, kepada satu Tuhan jualah
Kupasrahkan segala nasibku
Kiranya kutemui jua takdir baik
Kelak dihari setelah matiku..
Kiranya seperti itulah yang mereka alami saat itu. 4 hari yang telah diultimatumkan Sang Raja telah lewat. Kiranya tiada lain yang ditunggu kini, selain kematian. Akhir hidup yang diharap semoga terhormat jua adanya.
Sebelum mengambil tindakan tegas, Phra Narai masih memberi kebijakan dengan mengirim utusan kepada Daeng MangallE yang menghimbaunya untuk segera menyerah serta memberikan pula nama-nama anggota komplotan makar lainnya. Seraya membusungkan dada, Daeng MangallE bersumpah atas nama kehormatan dirinya sebagai seorang Pangeran Makassar, bahwa ia tidak akan menyerahkan nama-nama para sekutunya yang bersalah tersebut. Adalah pantang bagi seorang Makassar untuk melanggar prinsip "PaccE" (Solidaritas). Mereka memilih mati terhormat dari pada menghianati teman seperjuangannya. Beliau mengemukakan pada utusan itu mengenai "Manifestasi Siri" bagi seorang Ksatria Makassar untuk merendahkan diri dihadapan seorang Raja yang hendak dimusuhinya. Dikatakannya pula bahwa, sebuah rahasia yang dipercayakan terhadap seorang Makassar senantiasa dibawanya hingga ke liang lahatnya.
Lebih lanjut, Daeng MangallE mengatakan pula kepada utusan itu mengenai niat baik Raja Phra Narai, bahwa : "Saya harus katakan bahwa saya tidak mempercayainya sedikitpun, karena sekarang ini Perdana Menteri ialah seorang Perancis dan antara saya dan dia ada saling benci dengan alasan perbedaan agama..". Akibat jawaban itu, Kampung Makassar dikepung oleh Pasukan Kerajaan. Setelah berjalan selama 1 bulan, Phra Narai mulai kehilangan kesabaran. Akhirnya baginda memutuskan untuk menggunakan kekuatan militer sepenuhnya untuk menumpas habis orang-orang Makassar yang keras kepala itu. (Prof. Dr. H. Andi Mattulada, Opcit hal. 120).
Mengetahui niat Raja Siam tersebut, Deng MangallE beserta segenap penduduk mempersiapkan pula segala sesuatunya. Bagaimanapun, mereka adalah para mantan lasykar Makassar yang berpengalaman pada banyak peperangan sebelumnya. Sejak dari Makassar, Banten hingga di Mataram sampai di Jawa Timur. Maka terjadilah ketegangan diantara kedua belah pihak.
Ditengah situasi tegang yang memanas itu, tibalah sebuah kapal dagang dari Makassar. Mereka membawa barang dagangan dan budak serta bingkisan hadiah dari Sombayya Gowa untuk disampaikan kepada Daeng MangallE. Namun rupanya bingkisan itu tak disampaikan pula, mengingat situasi Kampung Makassar yang sedang dikepung oleh Pasukan Kerajaan. Setelah barang dagangannya habis terjual, Nakhoda kapal yang berawak 53 personel itu turun menemui Perdana Menteri Constance Phaulkon. Ia meminta pas jalan seraya menjelaskan jika mereka tidak tahu menahu perihal pemberontakan yang melibatkan Daeng MangallE. Maka Perdana Menteri memberinya pas jalan yang diminta.
Setelah Nakhoda beserta pengawalnya meninggalkan gedung Perdana Menteri, Phaulkon mengeluarkan perintah rahasia kepada Komandan Kapal Patroli Kerajaan Siam, yakni : Captain Coates, seorang Inggris. Perintah rahasia itu bermaksud agar mencegat Kapal Makassar itu karena dikhawatirkan mereka bergabung dengan para pemberontak di Kampung Makassar.
Diberitakan pada buku memoar Laksamana Forbin yang ketika itu masih berpangkat kapten, dimana beliau adalah Komandan Benteng Bangkok. Bahwa pencegatan dan penembakan kapal Makassar itu semula direncanakan ketika mereka keluar di penghujung sungai Menam yang membelah Kota Ayuthia. Mereka telah mempersiapkan alasan, bahwa penembakan itu terjadi karena Kapal Makassar itu menolak berhenti ketika dimintai pas jalan. Namun karena dikhawatirkan pula terjadi tembak menembak meriam yang dapat mengenai Kantor Dagang VoC yang berada disekitar tempat itu, maka kapal mereka dibiarkan keluar.
Setelah kapal itu berlalu, pesan berantai dengan segera disampaikan kepada Kapten Forbin yang berada pada benteng di ujung muara sungai Menam. Komandan Benteng itu diperintahkan agar menahan kapal itu dengan merentangkan rantai besar yang selama ini berfungsi sebagai portal. Maka diberilah tanda agar kapal itu berhenti dan merapat di pelabuhan pemeriksaan.
Perang Terakhir Sang Ksatria (1)
SE'rE, sE'rEji Batara baulE
KupattanjEngang sarEngku
Barang kubuntulu sarEng mabaji
Allo ri bokoku ...
Hanya satu, kepada satu Tuhan jualah
Kupasrahkan segala nasibku
Kiranya kutemui jua takdir baik
Kelak dihari setelah matiku.. (syair Makassar)
Siri'Emi rionroang ri lino
Utettong ri ade'E
Jagaiangnami siri'ta
Naiya siri'E,
Sunge' naranreng
Nyawa nakira-kira
Karena "Siri" maka kita hidup di dunia
Aku setia nan teguh pada nilai adat
Segalanya demi menjaga harga diri
Sesungguhnya "siri" itu,
Jiwa imbalannya
Nyawa taruhannya (syair Bugis)
..............................................................................................
Ayuthia, pusat Kerajaan Siam pada abad XVII. Sebuah kota pelabuhan yang ramai dihuni berbagai bangsa yang memiliki kantor perwakilannya (Konsulat) masing-masing. Adalah sebuah kesuksesan besar bagi seorang Phra Narai, prinsip keterbukaannya terhadap bangsa-bangsa Eropa dan Asia lainnya tidak sedikitpun mempengaruhi kedaulatannya sebagai satu-satunya penguasa Siam. Namun perhatiannya yang banyak tercurah pada masalah politik luar negeri itu membuatnya lalai dalam hal stabilitas politik dalam negerinya sendiri.
Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa Perdana Menteri Kerajaan Siam pada masa itu adalah seorang Eropa, yakni Constance Phaulkon. Menilik situasinya, maka kelompok bangsa-bangsa Asia yang terdiri dari orang Melayu (Minangkabau), Champa dan Makassar yang sudah berada di negeri tersebut sebelum Daeng MangallE, merasa terpinggirkan. Maka timbullah rasa tidak puas yang bermula pada komunitas Bangsa Melayu yang menular pula pada kelompok orang-orang Champa. Akhirnya dibentuklah sebuah persekutuan pemberontakan yang dipelopori oleh pemuka masyarakat Melayu. Mereka mengajak para bangsa-bangsa Asia yang beragama Islam lainnya untuk bergabung dengan gerakan itu. Sebuah gerakan makar menggulingkan Raja Phra Narai.
Adapun halnya dengan Daeng MangallE sendiri, pejabat istana inipun tidak luput dari ajakan itu. Diperhadapkanlah beliau dengan situasi politik pemerintahan Phra Narai pada masa itu, dimana para komunitas Bangsa Eropa lebih dominan daripada para perantau Asia sendiri. Terlebih-lebih jika menyangkut alasan "Ukhuwah Islam" (Persaudaraan Islam), maka Daeng MangallE' sendiri mau tidak mau, terpaksa ikut pula mendukung persekutuan itu. Sebagaimana diketahui, bahwa Agama adalah menempati peringkat teratas dalam lembaga "Siri". Sesuatu yang mutlak dijunjung tinggi diatas segalanya.
Pada tahun 1682, terjadilah pemberontakan orang-orang Melayu tersebut. Daeng MangallE' beserta lasykar Makassarnya ikut pula terlibat dalam gerakan itu. Namun karena gerakan itu tidak terkoordinasi dengan baik, akhirnya pemberontakan itu berhasil dipadamkan. Phra Narai adalah seorang penguasa yang pemurah. Kaum pemberontak itu diampuninya tanpa persyaratan khusus yang mengikat, asal berjanji tidak mengulanginya lagi.
Adapun halnya dengan Daeng MangallE, ia merasa tidak ada muka lagi untuk kembali menduduki jabatannya sebagai "Docja Pacdi". Beliau dan pengawal pribadinya tidak pernah lagi memunculkan diri di Istana. Sesuatu yang dapat dimaklumi, mengingat jika tindakannya inipun adalah hal yang sangat disayangkan. Dari semua sumber yang ditulis dan diulas oleh para sejarawan, baik Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH, Dr. H. Wahyuddin, M.S, Zainuddin Tika dan lainnya, menyangkut peristiwa keterlibatan DaEng MangallE dalam pemberontakan ini, semuanya mengatakan "sayang, dia sampai terbujuk terbujuk...".Orang tua-tua Bugis Makassar senantiasa berpesan, bahwa : Banna waE cekkE'nami tauwE pawErEng, Tengmangkingni risolangi.. (Walaupun cuma segelas air dingin yang diberikannya dengan ikhlas, maka pantanglah ia dicelakakan..). Pepatah Melayu mengatakan: Ada ubi ada talas, ada budi ada balas.. pantang air susu dibalas air tuba..
Suasana di perkampungan Makassar mulai tidak tenang. Walaupun sudah diberi ampunan oleh raja, namun mereka tetap merasa was-was. Akhirnya dalam bulan Pebruari 1686, masyarakat Melayu menghimpun lasykarnya sebanyak 2000 orang. Mereka beserta orang-orang Champa mengajak Daeng MangallE beserta komunitas Makassarnya untuk kembali mengadakan pemberontakan. Gerakan kali ini didukung penuh oleh seorang Pangeran, adik tiri Raja Phra Narai sendiri. Ia adalah seorang tokoh yang berambisi untuk merebut tahta kakaknya. Melihat upaya pemberontakan orang-orang Melayu, Champa dan Makassar, maka dipandangnya gabungan itu sebagai sebuah kekuatan yang memungkinkan tercapainya ambisi pribadinya tersebut. Dibujuknya pemuka Masyarakat ketiga bangsa itu dengan janji bahwa iapun bersedia memeluk Agama Islam sekiranya gerakan itu kelak berhasil. Maka terbentuklah persekutuan itu yang didukung pula sepenuhnya oleh Daeng MangallE. Bahkan lebih jauh lagi, Kampung Makassar dijadikan sebagai basis utama pergerakan makar itu.
Dalam perundingan yang diadakan di Kampung Makassar, mereka menetapkan bahwa aksi kudeta dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 15 Agustus 1686, jam 11.00 malam. Rencana penyerangan terhadap istana serta membunuh Phra Narai dilakukan pada saat Raja kembali dari perjalanannya ke kota Loburi. Namun rencana gerakan itu akhirnya bocor juga. Pihak istana mengatur penjagaan ketat yang terdiri dari gabungan 10.000 personel pasukan kerajaan dan perwakilan bangsa-bangsa Eropa pada setiap sudut kota. Bahkan kini mereka sedang bersiap-siap melakukan penumpasan terlebih dahulu terhadap pemberontakan itu. Maka gagallah rencana kudeta itu.
Melalui Perdana Menteri Constance Phaulkon, Raja Phra Narai mengeluarkan ultimatum yang disampaikan kepada para pemuka masyarakat yang memberontak itu. Dalam waktu 4 hari, mereka harus datang ke istana untuk mengakui kesalahannya serta memberitahukan nama-nama anggota komplotan lainnya. Jika tidak, mereka beserta segenap warga masyarakatnya dijatuhi hukuman penyiksaan yang mengerikan !. Maka sebagian orang Melayu dan Champa datang ke Pichilok, yakni tempat peristirahatan Raja Phra Narai di luar kota Ayuthia. Mereka memohon pengampunan seraya menyampaikan daftar nama para tokoh masyarakat Islam lainnya yang terlibat.
Kini tinggallah Daeng MangallE dan segenap penduduk Kampung Makassar menunggu nasib.
SE'rE, sE'rEji Batara baulE
KupattanjEngang sarEngku
Barang kubuntulu sarEng mabaji
Allo ri bokoku ...
Hanya satu, kepada satu Tuhan jualah
Kupasrahkan segala nasibku
Kiranya kutemui jua takdir baik
Kelak dihari setelah matiku..
Kiranya seperti itulah yang mereka alami saat itu. 4 hari yang telah diultimatumkan Sang Raja telah lewat. Kiranya tiada lain yang ditunggu kini, selain kematian. Akhir hidup yang diharap semoga terhormat jua adanya.
Sebelum mengambil tindakan tegas, Phra Narai masih memberi kebijakan dengan mengirim utusan kepada Daeng MangallE yang menghimbaunya untuk segera menyerah serta memberikan pula nama-nama anggota komplotan makar lainnya. Seraya membusungkan dada, Daeng MangallE bersumpah atas nama kehormatan dirinya sebagai seorang Pangeran Makassar, bahwa ia tidak akan menyerahkan nama-nama para sekutunya yang bersalah tersebut. Adalah pantang bagi seorang Makassar untuk melanggar prinsip "PaccE" (Solidaritas). Mereka memilih mati terhormat dari pada menghianati teman seperjuangannya. Beliau mengemukakan pada utusan itu mengenai "Manifestasi Siri" bagi seorang Ksatria Makassar untuk merendahkan diri dihadapan seorang Raja yang hendak dimusuhinya. Dikatakannya pula bahwa, sebuah rahasia yang dipercayakan terhadap seorang Makassar senantiasa dibawanya hingga ke liang lahatnya.
Lebih lanjut, Daeng MangallE mengatakan pula kepada utusan itu mengenai niat baik Raja Phra Narai, bahwa : "Saya harus katakan bahwa saya tidak mempercayainya sedikitpun, karena sekarang ini Perdana Menteri ialah seorang Perancis dan antara saya dan dia ada saling benci dengan alasan perbedaan agama..". Akibat jawaban itu, Kampung Makassar dikepung oleh Pasukan Kerajaan. Setelah berjalan selama 1 bulan, Phra Narai mulai kehilangan kesabaran. Akhirnya baginda memutuskan untuk menggunakan kekuatan militer sepenuhnya untuk menumpas habis orang-orang Makassar yang keras kepala itu. (Prof. Dr. H. Andi Mattulada, Opcit hal. 120).
Mengetahui niat Raja Siam tersebut, Deng MangallE beserta segenap penduduk mempersiapkan pula segala sesuatunya. Bagaimanapun, mereka adalah para mantan lasykar Makassar yang berpengalaman pada banyak peperangan sebelumnya. Sejak dari Makassar, Banten hingga di Mataram sampai di Jawa Timur. Maka terjadilah ketegangan diantara kedua belah pihak.
Ditengah situasi tegang yang memanas itu, tibalah sebuah kapal dagang dari Makassar. Mereka membawa barang dagangan dan budak serta bingkisan hadiah dari Sombayya Gowa untuk disampaikan kepada Daeng MangallE. Namun rupanya bingkisan itu tak disampaikan pula, mengingat situasi Kampung Makassar yang sedang dikepung oleh Pasukan Kerajaan. Setelah barang dagangannya habis terjual, Nakhoda kapal yang berawak 53 personel itu turun menemui Perdana Menteri Constance Phaulkon. Ia meminta pas jalan seraya menjelaskan jika mereka tidak tahu menahu perihal pemberontakan yang melibatkan Daeng MangallE. Maka Perdana Menteri memberinya pas jalan yang diminta.
Setelah Nakhoda beserta pengawalnya meninggalkan gedung Perdana Menteri, Phaulkon mengeluarkan perintah rahasia kepada Komandan Kapal Patroli Kerajaan Siam, yakni : Captain Coates, seorang Inggris. Perintah rahasia itu bermaksud agar mencegat Kapal Makassar itu karena dikhawatirkan mereka bergabung dengan para pemberontak di Kampung Makassar.
Diberitakan pada buku memoar Laksamana Forbin yang ketika itu masih berpangkat kapten, dimana beliau adalah Komandan Benteng Bangkok. Bahwa pencegatan dan penembakan kapal Makassar itu semula direncanakan ketika mereka keluar di penghujung sungai Menam yang membelah Kota Ayuthia. Mereka telah mempersiapkan alasan, bahwa penembakan itu terjadi karena Kapal Makassar itu menolak berhenti ketika dimintai pas jalan. Namun karena dikhawatirkan pula terjadi tembak menembak meriam yang dapat mengenai Kantor Dagang VoC yang berada disekitar tempat itu, maka kapal mereka dibiarkan keluar.
Setelah kapal itu berlalu, pesan berantai dengan segera disampaikan kepada Kapten Forbin yang berada pada benteng di ujung muara sungai Menam. Komandan Benteng itu diperintahkan agar menahan kapal itu dengan merentangkan rantai besar yang selama ini berfungsi sebagai portal. Maka diberilah tanda agar kapal itu berhenti dan merapat di pelabuhan pemeriksaan.
Ksatria Makassar, menantang badai ! (bagian 4)
Perang Terakhir Sang Ksatria (2)
Bagian ini dikisahkan oleh Laksamana Claude de Forbin pada memoarnya, kemudian diuraikan oleh Gervaise dalam bukunya : "Desctiption Historique du Royaume de macacar " (diterbitkan dalam edisi Bahasa Inggris dalam judul : The History of the Kingdom of Macasar, Printed for T. Leight and D. Midwinter, the Rose and Grown in Paul's Church Yard, London 1701), lalu diteliti lebih lanjut oleh Dr. Dhristian Pelras hingga diuraikan dalam bentuk buku dan makalah oleh banyak ahli sejarah.
Selain itu, Bernard Orleans telah menuliskan pula perihal kisah ini dalam "Les Prancais at I' Indonesie du XVie au XXe Siecle (Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XV - XVI, Kepustakaan Populer Gramedia - 2006). Melalui tulisan merekalah maka tulisan sederhana ini diuraikan sebagaimana adanya. Sekedar menyampaikan dan menuliskan hasil bacaan ....
.....................................................................................
Setelah merapat di pelabuhan pemeriksaan Benteng Bangkok, Nakhoda Kapal Makassar itu turun bersama 6 awak kapalnya untuk menghadap ke Komandan Garnisun Pasukan Perancis yang mengepalai benteng tersebut, yakni : Kapten Forbin. Sang Nakhoda menanyakan perihal penahanan kapalnya seraya menunjukkan pas jalannya yang ditandatangani dan di cap stempel Perdana Menteri Constance Phaulkon. Kapten Forbin meminta maaf dan mengatakan jika pas jalan itu sudah benar. Namun sehubungan dengan kekacauan yang baru saja terjadi di Kota Ayuthia, maka Kapal mereka harus digeledah dengan alasan kekhawatiran jika ada anggota komplotan pemberontak yang bersembunyi untuk meloloskan diri. Untuk itu diminta agar semua awak kapal dinaikkan ke Benteng, sementara Pasukan Benteng menggeledah kapal itu.
Merasa tidak menyembunyikan apa-apa, Nakhoda menyetujui penggeledahan itu dengan syarat agar awak kapalnya yang dinaikkan ke benteng itu diperkenangkan tetap mengenakan Badik dan Kerisnya. Karena bagi Orang Bugis Makassar, Keris dan Badik adalah "jiwa kedua" dalam dirinya !, demikian penjelasan Nakhoda. Maka Kapten Forbin pun setuju dengan persyaratan itu. Mengingat bahwa pasukan pengawal benteng itu cukup banyak serta masing-masing dilengkapi dengan senjata api. Seberapa sih kemampuan sebuah senjata tajam genggam (dagger) dibanding dengan bedil dan flicker ?. Maka Nakhoda mengutus 2 orang diantara keenam awak kapal yang menyertainya untuk naik ke Kapal agar memanggil semua awak yang lain, turun ke anjungan.
Melihat kedua awak kapal itu berlalu, secara diam-diam Kapten Forbin memerintahkan kepada kedua ajudannya yang berkebangsaan Fortugis untuk mencegat dan menangkap keduanya serta melucuti badiknya. Namun kedua orang Portugis itu menolak melaksanakan perintah itu. Salah seorang diantaranya adalah seorang perwira tua Portugis menasehatkan pada Kapten Forbin bahwa menurut pengalamannya, bahwa orang Makassar tidak dapat ditundukkan dalam keadaan hidup, mereka harus langsung dibunuh. "Terus terang saja, jika anda sampai ketahuan ingin menangkap Kapten bersama awaknya di anjungan itu, dia dan sedikit orang yang bersamanya akan membunuh kita semuanya dan tidak membiarkan seorangpun hidup !" (Forbin, memoar 1686).
Maka Kapten Forbin berunding dengan ajudannya itu dengan menggunakan bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Nakhoda serta keempat awaknya. Lalu Forbin meminta permisi sebentar kepada tamu-tamunya tersebut untukmasuk sebentar kedalam benteng. Ia memanggil serta memerintahkan 20 pasukan pilihan dari unsur Kerajaan Siam untuk mengepung Nakhoda serta keempat awaknya yang tersisa.
Selanjutnya Forbin menulis dalam buku memoarnya, sbb : "Saya memerintahkan seorang Pejabat Siam untuk menyampaikan kepada Kapten Makassar, bahwa saya merasa sangat tersiksa karena mendapat perintah untuk menangkapnya, tapi ia (mereka, penulis) akan mendapat perlakuan baik dari saya. Saat kata pertama terlontar dari mulut Pejabat Siam itu, sambil mencampakkan "topi kain" (destar "Passapu", penulis) mereka ke tanah, keenam orang Makassar itu menghunus pisau (badik, penulis) dan menyerbu membabi buta seperti kesurupan, membunuh seketika itu si Pejabat Siam dan 6 orang rekannya yang ada dalam pavilium ..". Pejabat Siam yang dimaksud Kapten Forbin itu adalah petugas penerjemah.
Kapten Forbin nyaris tewas ditangan Nakhoda yang "A'jallo' " (mengamuk) itu, sekiranya tidak diselamatkan oleh seorang sersannya yang segera menembaknya mati. Ketika Nakhoda jatuh tersungkur ditembusi peluru, Tuan Beauregard", seorang Kapten Perancis yang berada ditempat itu pula melarang sersan untuk membunuhnya. Ia berjongkok untuk mengambil sebilah badik lain yang masih terselip dipinggang Nakhoda yang sedang sekarat itu. Namun ia salah menarik pada bagian sarung (warangka, wanuwa) badik itu. Tanpa disangka-sangka, orang yang nyawanya tinggal 1/4 bagian itu merengkuh gagang badiknya, seraya menikamkannya pada perut Kapten Beauregard. Setelah berhasil merobek perut lawannya, Nakhoda itu menghembuskan nafasnya yang terakhir, disusul Tuan Beauregard tak lama kemudian.
Adapun halnya dengan kedua awak kapal yang diutus terdahulu, merekapun mengamuk dengan sengitnya ketika akan ditangkap serta dilucuti. Setelah berhasil membunuh beberapa pengepungnya, merekapun terluka parah. Namun keduanya berhasil meloloskan diri dengan cara melompat turun ke laut.
Setelah menunggu beberapa lama, 48 awak kapal Makassar itu memutuskan untuk turun ke dermaga diluar benteng. Mereka menunggu Nakhoda beserta keenam temannya yang lain yang masuk kedalam anjungan benteng. Kapten Forbin mengirim 2 kompi Pasukan Portugis yang dipimpin oleh 2 perwira Inggris, yakni : Kapten Hue dan Kapten Michin untuk menghadang mereka di dermaga. Kapten Forbin sendiri memimpin 1 batalyon Lasykar Siam yang sedang mengikuti pelatihan militer untuk membantu kedua kompi itu.
Setelah berhadapan di dermaga, Kapten Forbin memerintahkan para awak Kapal Makassar itu untuk naik kembali ke kapalnya. Namun mereka menolak perintah itu dan berkata bahwa mereka tidak akan kembali ke kapal selama Nakhoda dan keenam kawannya belum datang. Namun tanpa koodinasi terlebih dahulu, tiba-tiba Kapten Hue memerintahkan pasukannya menyerbu ke-48 awak kapal Makassar itu.
Dr. H. Wahyuddin Hamid dalam bukunya : Passompe Bugis Makassar 2 yang dieditori Prof. Dr. H. Kulla Lagosi, MS, menguraikan peristiwa itu yang diberitakan dalam memoar Laksamana Forbin, bahwa ketika melihat pasukan Portugis dan Siam bergerak menyerbu mereka, para Awak Kapal Makassar yang sedang berjongkok itu serentak bangkit sambil menghunus badiknya. Dalam gambaran Forbin, dikatakan bahwa orang-orang Makassar yang berjongkok dengan cara mereka itu, tiba-tiba berdiri sambil menghunus pisauunya (badik, penulis). Mereka melingkari lengan kirinya masing-masing dengan sejenis kain selempang yang biasanya dililitkan dipinggang atau dikepala (pasti yang dimaksudnya itu adalah : Sarung yang dipergunakan sebagai perisai penangkis senjata tajam, penulis).
Lebih lanjut Forbin mengemukakan dalam terjemahan bahwa, ".. mereka menerjang pasukan Portugis dengan pisau ditangan, kepala menunduk dan dengan kekuatan besar menikam dan mencabik-cabik orang-orang Portugis, nyaris sebelum kami sadar bahwa mereka sudah diserang. Dari itu, mereka mendepak kearah pasukan yang saya pimpin dan kehabisan nafas, meski saya memiliki 1000 lebih prajurit bersenjatakan tombak dan bedil, orang-orang yang mengerikan itu menyerang pasukan saya sedemikian rupa sehingga semuanya terjungkal. Orang-orang Makassar itu bergerak dengan menginjaki perut mereka (lawan-lawannya yang terkapar, penulis) dan membunuh semua yang dapat dijangkau, bebar-benar pembantaian yang mengerikan..".
Kedua perwira Inggris yang memimpin Pasukan Portugis itu tewas seketika ditempat itu. Setelah berhasil menempus 2 kompi Pasukan Portugis dalam waktu yang teramat singkat itu, mereka menyerbu pula kearah Lasykar Siam yang dipimpin Forbin. Meskipun lasykar itu berjumlah 1000 personel, namun kenekatan para orang Makassar itu membuat mereka panik dan lari bercerai berai menyelamatkan diri masing-masing. Maka banyak pulalah yang jadi korban tikaman badik. Kapten Forbin terpaksa memundurkan pasukkannya yang jadi kacau itu ke dalam benteng, sementara beberapa yang lainnya berlarian menyelamatkan diri ke arah perkampungan dibelakang benteng. "..dalam keadaan kalang kabut itu, mereka mendesak kami hingga ke kaki tembok benteng yang baru, enam diantara mereka yang paling nekad menegjar pasukan yang kabur dan masuk kedalam teluk buatan yang menghadap sungai dekat tembok bersegi empat. Mereka melewati benteng disisi lain dan menjadikan semua tempat itu pembantaian yang mengerikan dengan membunuh tanpa memandang jenis usia dan jenis kelamin. Wanita dan anak-anak beserta semua yang bergerak didepan mereka. Mereka menyerang membabi buta guna bertempur sampai mati..." (Forbin, memoar ). Setelah menyebar maut di jalanan sepanjang perkampungan itu, keenam orang itu memasuki sebuah Biara (kuil Budha) seraya membunuh semua penghuninya. Mereka berkubu dalam biara itu dalam waktu beberapa lama.
Awak kapal yang tidak ikut menyerbu perkampungan itu kembali ke kapal untuk mengambil perlengkapan perang (bedil, tombak, perisai, dll..). Kemudian mereka membakar kapalnya sebagai tanda untuk bersiap bertempur sampai mati. Setelah itu, tanpa komando yang pasti mereka beriringan menyerbu perkampungan lasykar Siam yang tidak jauh dari dermaga. Perkampungan militer itu dibakarnya serta membunuh orang-orang yang ditemuinya. Para penduduk serta lasykar Siam berlarian menyelamatkan diri serta banyak pula diantaranya yang melompat ke sungai Menam. Rasa putus asa dalam keadaan tersudut, membuat mereka mengganas bagaikan gila. Kapten Forbin berusaha menahan amukan mereka dengan sebuah pasukan kecil bersenjata api, menembaki mereka dengan gencarnya. Namun orang-orang yang sudah kehilangan naluri kemanusiaan itu bergerak mundur ke hutan yang sulit diikuti oleh Pasukan Forbin.
Ketika pelaut-pelaut Makassar itu mundur ke hutan, Kapten Forbin menerima laporan mengenai orang Makassar yang berkubu dalam Biara. Maka ia menunda pengejarannya kedalam hutan untuk segera menumpas penyandera itu. Perwira Perancis itu beserta 80 personel pasukan gabungan mengepung Biara yang dijadikan kubu pertahanan 6 orang Makassar. Namun setelah mengetahui jika semua Biarawan telah dibunuh, maka dibakarnya biara itu untuk memaksa mereka keluar. Akhirnya melalui pertempuran sengit, keenam pelaut itu dapat ditewaskan satu persatu.
Selanjutnya Kapten Forbin mengerahkan 2 Batalyon dan 1 Kompi pasukan gabungan untuk mengepung hutan dimana ke-17 pelaut Makassar yang sedang bersembunyi. Sisa pelaut yang masih bertahan itu mengalami penderitaan berat selama 3 minggu dalam musim penghujan ketika itu. Sebelum kawasan itu dikepung, mereka masih bisa mencari makan di perkebunan sekitar hutan. Namun kini, mereka terpaksa harus memakan daun-daunan hutan, sekedar menyambung hidup.
Penderitaan itu semakin parah ketika turun hujan lebat yang menyebabkan banjir dalam hutan. Mereka terpaksa harus berjalan di air sebatas lutut. Kapten Forbin dan pasukannya semakin meransek masuk ke hutan untuk memperkecil ruang gerak para pelaut itu. Mereka masih bertahan diatas sebuah bukit kecil yang dikelilingi air. Namun, jelaslah sudah, tidak ada lagi jalan untuk meloloskan diri. Kapten Forbin yang mengepung dikaki bukit berseru agar sebaiknya mereka menyerah saja. Ia berjanji untuk memintakan ampun bagi mereka kepada Raja Phra Narai.
Orang-orang Makassar yang semuanya dalam kondisi tubuh yang sangat lemah itu, menganggap seruan Forbin sebagai penghinaan. Mereka sadar bahwa mustahil akan mendapatkan pengampunan. Mati sebagai laki-laki jauh lebih terhormat daripada hidup sebagai manusia pengecut hina. Pemikiran itu seakan menghidupkan kembali sisa-sisa tenaga dalam tubuh mereka yang mulai pudar. Maka dengan seruan membahana, mereka berlarian turun dari bukit itu, seraya melemparkan tombaknya pada para pengepungnya. Mereka menerjungkan diri pada genangan air dengan badik terhunus diacung-acungkan dengan ganasnya, tidak sabar lagi untuk ditikamkan kepada para pasukan diseberang genangan itu. Namun, pasukan pengepung itu telah siaga dengan senjata api yang terkokang dan dibidikkan kepada sekumpulan orang kalap itu. Forbin menyerukan aba-aba "tembak", maka meletuslah rentetan demi rentetan tembakan yang memuntahkan ribuan butir peluru. Orang-orang Makassar yang nekad itu terlempar dan terjerembab di air, terkapar dan tewas tidak lama kemudian.
Suatu hal yang menarik dan menimbulkan kekaguman pada Forbin, mereka semua mati dalam keadaan masih mencekal gagang badiknya. Kematian para pemberani yang mengharamkan kata "menyerah" dalam kamus hidupnya.
Wallahualam Bissawwab..
Ksatria Makassar, menantang badai (bag.5)
"..dan meskipun pasukannya (Raja Siam Phara) terdiri atas 10.000 orang dan dibantu oleh 40 perwira Eropa (Perancis, Inggris dan Portugis), orang Makassar yang baru berapa ratus saja tetap tidak mau menyerah, malah bertahan selama beberapa hari. Akhirnya mereka semua mengamuk. Dalam pertempuran itu kira-kira 1000 orang Siam dan 17 perwira Eropa tewas, sedangkan dipihak Makassar hampir semua dibunuh, termasuk Daeng MangallE. Yang ditangkap hanyalah 55 orang, yang hampir semua luka-luka termasuk 2 orang anak lelaki Daeng MangallE yang bernama Daeng Ruru (yang berumur 14 tahun) dan Daeng Tulolo (12 tahun).
(DR. CH. Pelras,1975:58)
................................................................................................................
Abdul Hamid Daeng MangallE telah tiada. Para pengikutnya yang masih hidup menyebutnya sebagai "gugur" mempertahankan kehormatannya. Sebaliknya, orang Siam menyebutnya sebagai "tewas" dengan hina akibat membalas budi baik Raja Phra Narai dengan penghianatan. Entah yang mana lebih tepat diantara kedua persepsi tersebut, namun sejarah telah memberitakan suratan nasib itu dengan bijaknya, tanpa keberpihakan.
Adapun halnya dengan kedua putera Daeng MangallE tersebut diatas, merekapun ikut bertempur melawan pasukan penyerbunya. Keduanyapun telah terluka namun tetap mengamuk sambil bahu membahu saling melindungi. Akhirnya dilihatnya jenazah ayahnya terbujur dengan penuh luka. Tanpa memperdulikan para penyerangnya, mereka memeluk jenazah itu dengan kesedihan yang tak terkira. Keduanya niscaya terbunuh oleh pasukan Siam sekiranya tidak diselamatkan oleh pasukan Perancis yang kagum melihat keberanian anak-anak Makassar itu.
Dikemukakan pula oleh Sejarawan H.D. Mangemba bahwa setelah diselamatkan oleh pasukan Perancis, keduanya dibawa menghadap pada Duta Besar Perancis untuk Kerajaan Siam, yakni : Gervaise (sumber utama riwayat ini, penulis). Mengetahui serta melihat sendiri keberanian ayah kedua anak itu, muncullah dalam pemikiran Duta Besar itu untuk membawa keduanya ke Perancis. Keberanian ayahnya pastilah menurun pula kepada kedua puteranya. Sekiranya mereka mendapat didikan militer yang tepat, pastilah keduanya akan menjadi perwira tangguh yang berguna bagi Kerajaan Perancis, demikian kira-kira ide yang timbul dibenak Gervaise pada waktu itu.
Untuk mewujudkan idenya itu, Gervaise mengirim surat kepada Raja Louis XIV dengan mengabarkan perihal kedua putera Makassar itu serta memohon perkenan agar keduanya dibawa ke Perancis. Mengetahui khabar itu, Louis XIV mengirim surat pula kepada Raja Siam Phra Narai meminta agar kedua putera Daeng MangallE itu dikirim ke Perancis. Maka Phra Narai pun setuju dengan mengutus Perdana Menteri Siam, Constance Phaulkon untuk menyertai rombongan Duta Besar Gervaise yang mengantar kedua anak itu ke Perancis.
Pada tanggal 5 Nopember 1686, rombongan yang mengantar Daeng Ruru dan Daeng Tulolo bertolak dari Ayuthia menuju Perancis dengan kapal Perancis "Le Choce" dibawah pimpinan Kapten De Hautmesnil. Mereka menempuh perjalanan laut yang jauh selama 10 bulan hingga tiba dengan selamat di Kota Paris dalam tahun 1687.
Adapun halnya kedua putera Almarhum Daeng MangallE itu setelah mendarat di Kota Paris, mereka berada dalam asuhan dan pengurusan Duta Besar Gervaise. Untuk memberikan pendidikan awal dalam masa adaptasi di negeri yang serba asing bagi mereka itu, keduanya dititipkan pada sekolah yang paling terkenal di Paris, yakni : College de Clermont. Sebuah lembaga pendidikan yang dikelola oleh para Pastor Yesuit.
Pada awalnya, keduanya mendapatkan kesulitan dalam asrama sekolah itu. Pasalnya, mereka adalah anak Muslim yang mendapat pendidikan agama Kristen di lembaga itu. Mereka tetap teguh menjalankan Sholat Lima Waktu di asrama yang diasuh oleh para pastor itu. Walaupun berulangkali ditegur oleh pastor, namun mereka tetap teguh menjalankan ibadahnya sebagaimana yang ditanamkan kedua mendiang orang tuanya.
Beberapa hari menjalani kehidupan baru di asrama, keduanya dihadapkan pada Raja Louis. Melalui penerjemah, Raja Matahari Perancis tersebut mengatakan kekagumannya namun kurang senang pula karena mereka beragama Islam. ntuk itu baginda berharap agar keduanya memeluk agama Kristen.
Setelah kembali ke asrma sekolahnya, para aparat kerajaan menyampaikan keinginan Raja tersebut pada kedua anak itu. Tetapi keduanya menolak dengan keras. Namun begitu gigihnya bujukan para aparat kerajaan dan pendeta pengurus asrama itu, akhirnya keduanya menurut. Mereka bersedia pindah agama karena dijanjikan bahwa Raja Louis XIV berkehendak menjadikan mereka sebagai anak angkat, sekiranya keinginannya dipenuhi.
Maka kedua putera Daeng MangallE itu dibaptis dengan Raja Louis XIV sendiri yang menjadi bapak baptisnya. Mereka mendapatkan nama baptis pula disertai dengan gelar kebangsawanan Kerajaan Perancis. Daeng Ruru memperoleh nama sebagai : Louis Pierre Daeng Ruru de Macassar, sedang adiknya Daeng Tulolo mendapatkan nama, yakni : Luis Douphin Daeng Tulolo de Macassar.
Raja Louis XIV benar-benar telah memenuhi janjinya kepada kedua anak Makassar itu. Baginda memenuhi kebutuhan hidup mereka sebagaimana layaknya pangeran serta bertanggung jawab pula pada pemenuhan kebutuhan yang menyangkut pendidikannya. Keduanya yang telah terdaftar pada Kolese Jesuit le Grand untuk mempelajari Bahasa Perancis dengan mahir serta segala etiket pangeran Perancis. Selain itu, sebagai anggota keluarga kerajaan, keduanya pun mengikut tradisi pendidikan sebagaimana halnya para pangeran Perancis pada masa itu. Kakak beradik itu melengkapi pendidikannya dengan tradisi pendidikan militer selama 5 - 6 tahun. Maka mereka didaftarkan pula pada Sekolah Tinggi Militer Clermont yang terkenal itu.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Clermont dengan hasil yang amat memuaskan, maka dalam tahun 1682 mereka didaftar pula di pendidikan Marinir Tertinggi di Perancis, yakni : Sekolah Perwira Angkatan Laut di Brest.
(bersambung)
LA PALLAWAGAU’, Tokoh Besar Yang Padam di Anak Negeri Perbatasan
Sekapur sirih
Kadang
saya bertanya dalam hati, apa yang membanggakan bagi Belawa dimasa lalu
sehingga konon kerap dikunjungi banyak Raja-Raja Besar dari seluruh
penjuru TellumpoccoE (Bone, Wajo dan Soppeng) ?. Mereka datang bukan
sekedar berkunjung, melainkan berziarah pada beberapa komplek pemakaman
yang sesungguhnya nampak amat bersahaja. Maka jelaslah jika makam yang
diziarahi itu adalah tempat bersemayamnya seorang tokoh besar yang
kerap kupertanyakan, yakni : La Pallawagau’.
Berawal dari interest Bp. Bakhtiar D. Lamallolongeng,
seorang kerabatku yang amat saya hormati terhadap sosok ketokohan La
Pallawagau’, sehingga sekilas pengenalanku tentang Baginda inilah,
terwujud dalam sebuah uraian sederhana pada laman blog kita bersama ini.
Sebuah tulisan yang tidak lebih sekedar “carita ri yaccaritang”.
Bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai suatu bahan kajian karena
sumber reverensinya lebih banyak berupa suntingan pengalaman pribadi
dari mendengar dan mendengar, serta sedikit membaca yang diselingi
dengan sedikit berpikir dalam proses perangkaiannya sebagai suatu
tulisan sebagaimana adanya ini.
“agatu akko engka pada wedding icarita…”, kira-kira demikian yang ingin saya sampaikan pada Bp. Bakhtiar D. Lamallolongeng. Lebih dan kurangnya, “pada idi’ manengpa sining tomaleebbiku pada paggenne’i, iyarE’ga padEcEngiwi..”.
Gelar Anumerta yang Keramat !
Salahsatu
pengalaman menyenangkan dimasa kecil di Belawa dulu adalah saat-saat
menemani Ayahanda berziarah ke seluruh Jara’E (Komplek Pemakaman
Raja-Raja) yang ada di beberapa tempat di Belawa. Biasanya kami
melaksanakan ritual itu secara berombongan dengan segenap keluarga pada
hari sesudah lebaran Iedul Fitri dan Iedul Adha. Terkadangpula
dilaksanakan pada menjelang memasuki bulan puasa. Pada saat itulah,
ayahanda senantiasa menjadi penunjuk pusara sekaligus berkisah tentang
hal ikhwal tokoh yang diziarahi itu. Maka ragam kisah menarik mengalir
lancar dari mulut “Sang Lontara Hidup” yang tak pernah tamat itu.
Hingga
muhibah ziarah kami tiba di “Jara’ LompoE” di sebelah selatan lapangan
bola TippuluE. Komplek pemakaman inilah yang menurut ayahanda adalah
paling sakral dari sekian banyak komplek pemakaman Raja-Raja di Belawa,
demikian menurut ayahanda. Pada komplek pemakaman inilah telah
dimakamkan Raja-Raja besar, diantaranya : La Sappo Petta Ogi Arung
Belawa Petta ri Palireng MatinroE ri CeempaE, La Tamang Petta Palla’E,
Petta PattennungngE, We Tenri Balobo Dg. RiyasE’ Datu Pammana, La Tokong
(La Toto) Petta PalEkoreng Datu Pammana, La Pasanrangi Petta PajjawaE,
La Paranrengi Dg. Sijerra, La Rappe’ Arung Liu, Petta MatinroE ri
Duninna dan banyak lagi yang lainnya.
Khusus
nama anumerta yang terakhir disebut diatas, saya menganggapnya sebagai
suatu hal yang menarik. Pasalnya setiapkali ayahanda menyebutnya, beliau
sertamerta merendahkan suara sehingga lebih menyerupai “berbisik”.
Anehnya pula, beliau tidak banyak bercerita ketika menabur bunga diatas
pusara itu. Bahkan paman dan bibiku yang lain senantiasa menjunjung
(najujung) udara yang keluar dari mulutnya setelah menyebut nama
tersebut.
“Niga tongengjE’ EEro Petta MatinroE Duninna, Etta ?” (siapakah sesungguhnya Petta MatinroE ri Duninna, Ayahanda ?), demikian sergahku pada suatu ketika.
“Iyanaro nEnE Puetta malinrrungngE nasaba’ riyemme’i ri torisaloo’E.
Siwajo, siLuwu, si SoppEng sibawa sEddi SidEnrEng turung madduru’
torisalo. Massebbu torisalo riwuno, nainappa rilolongeng ujuuna DatuE
riwettangna torisaloo’E. Ripasilemme’i ronnang torisaloo’E sibawa ujuuna
Datu MallinrungngE, iyanaro passabareng nariyasengni Datu MatinroE ri
Duninna….” (Baginda adalah leluhur kita yang wafat akibat ditelan
oleh seekor buaya. Ketika itulah seluruh rakyat Wajo, Luwu, Soppeng dan
Sidenreng dikerahkan untuk berburu buaya. Beribu-ribu buaya yang dibunuh
barulah ditemukan jazad baginda dalam perut salahseekor diantaranya.
Maka jazad baginda dimakamkan bersama dengan buaya itu yang dianggap
sebagai peti matinya. Itulah sebabnya baginda digelari sebagai Petta
MatinroE ri Duninna….).
Sepenggal
kalimat itu semakin membuatku penasaran tentang hal ikhwal baginda itu.
Seorang tokoh yang tewas akibat diterkam seekor buaya mengakibatkan
dikerahkannya rakyat Wajo, Luwu, Soppeng dan Sidenreng, siapakah
gerangan tokoh yang amat berpengaruh pada 4 Negeri Besar tersebut ?.
Maka dengan mimik serius dan teramat takzim,, ayahanda menjawab : “ Naiyya aseng tongenna DatuE MallinrungngE, iyanaritu : La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana KaraEng MandallE' Arung Tellu Latte’ ri Sidenreng Petta Pilla’E ri Wajo.
(sesungguhnya nama dan gelar baginda, adalah: La Pallawagau’ Arung
Maiwa Datu Pammana KaraEng MandallE' Arung Tellu Latte’ ri Sidenreng
Petta Pilla’E ri Wajo).
Barulah
kini saya sadar betapa pantas jika kematian Baginda yang tragis itu
menggemparkan Kerajaan-Kerajaan Besar di Jazirah Celebes ini.
Sesungguhnya Baginda adalah seorang Raja Agung Pammana, seorang Panglima
Besar Kerajaan Wajo pada puncak keemasannya serta pernah pula sebagai
Perdana Menteri Kerajaan Sidenreng.
Sebuah
pengalaman kecil, pada suatu ketika saya berbincang-bincang dengan Alm.
Puekku Petta Aji Baso' Patiroi semasa hidupnya. Beliau juga sangat
penasaran dengan tokoh "Petta MatinroE ri Duninna". Konon hingga waktu
itu beliau sejak lama "Mabbacadoang Otti Barangeng" (Ritual Baca Do'a
dengan menghidangkan Pisang Emas) untuk disampaikan pada roh "Petta
MatinroE Duninna" dan "Petta Bombo". Siapakah sesungguhnya mereka ?,
tanya beliau. Ritual tersebut senantiasa diadakan setiap tahun menuruti
pesan Ibunda Beliau turun temurun. Maka sesuai dengan uraian pada bagian
pertama tulisan ini, jelaslah bahwa makam Baginda La Pallawagau' berada
di Jara' LompoE TippuluE, Belawa.
La Pallawagau' atau La Mappasiling ?
Rasa takjub dan penasaran perihal "Petta MatinroE ri Duninna" semakin membawaku pada penelusuran samar-samar yang semakin jauh. Hingga tiba pada titik persimpangan, dimana sosok Petta MatinroE ri Duninna kini menjadi dua orang yang berbeda !. Sang ayahanda sendiri pada banyak kesempatan, menyebut Petta MatinroE ri Duninna sebagai : "La Pallawagau", kemudian kadang pula pada kesempatan lain menyebutnya lagi sebagai "La Mappasiling". Beliau menyebut gelar anumerta yang sama pada kedua nama itu silih berganti hingga sayapun tidak pernah sempat meminta kejelasan perihal itu hingga wafatnya. Hal tersebut terjadi karena ketika itu, saya belum menganggapnya sebagai suatu hal penting sebagaimana saat ini.
Lalu siapakah sebenarya "La Mappasiling" ?. Baginda tiada lain adalah Ayah Mertua daripada La Pallawagau sendiri atau suami We Tenri LElEang Pajung ri Luwu XXI-XXIII Petta MatinroE ri SorEang. Pada beberapa Pallontara, nama baginda disebut bermacam-macam, yakni : La Mappasiling, La Mappaselling, La Mappasili' dan La Mappasali. Baginda adalah Datu Pattojo serta putera La Kareddu Arung Sekkanyili dengan Ana'na WatanglipuE ri Pammana. Maka sekiranya beliau yang dimaksud pula sebagai "Petta MatinroE ri Duninna", sebagaimana disebut pula pada Lontara AkkarungengngE ri Bone, dengan demikian nama lengkap beliau adalah : La Mappasiling Datu Pattojo Petta MatinroE ri Duninna.
Akhirnya terlepas daripada siapakah sesungguhnya pada kedua tokoh besar ini yang benar sebagai "Petta MatinroE ri Duninna", kiranya itulah yang dimakamkan di Jara' LompoE TippuluE, Belawa. Ketidakjelasan ini tentu saja diakibatkan keterbasan pengetahuan penulis untuk mencari kebenarannya melalui suatu riset sejarah. Inilah kiranya yang menjadi penyebab sehingga kedua tokoh penting ini tidaklah disebut-sebut terlalu menonjol pada tulisan kita yang terdahulu, yakni "Kerajaan Belawa, Negeri di Batas Persimpangan Sejarah" (laman SEJARAH BELAWA). Terkhusus lagi pada topik tulisan ini adalah uraian sekilas hal ikhwal ketokohan La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana KaraEng MandallE' Arung Tellu Latte’ ri Sidenreng Petta Pilla’E ri Wajo, maka perihal "Petta MatinroE ri Duninna" tidaklah disebut lebih jauh lagi.
Silsilah La Pallawagau' Arung Maiwa
Menelusuri silsilah beliau pada beberapa lontara silsilah, kiranya nama baginda lebih banyak ditampilkan sebagai "pendamping" daripada isterinya belaka. Lontara Silsilah Luwu, Bone, Gowa dan Soppeng juga menulisnya demikian. Namun pada akhirnya, jika penelusuran dimulai pada Lontara Silsilah Ajattapareng dan Pammana, maka baginda ditemukan sebagai tokoh yang memperhubungkan antara dua negeri besar, yakni : Pammana dan Sidenreng.
Bermula pada La BungEnge' ManurungngE ri Bacukiki Addituang Sidenreng I yang bersambung turun menurun hingga La MalEwai Addituang Sidenreng VII yang memperisterikan I Saddia, maka lahirlah seorang putera bernama "Janggo' LampE Ulu Arung Maiwa Arung Tellu Latte' ri Sidenreng". Janggo LampE Ulu memperisteri I Tenri Datu Pammana, maka lahirlah : La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana KaraEng MandallE' Arung Tellu Latte’ ri Sidenreng Petta Pilla’E ri Wajo dan I Tungke' Datu Tempe.
Saudara La Pallawa Gau', yakni : I Tungke Datu Tempe diperisteri oleh La Toappo Arung Berru Addituang Sidenreng XII, maka inilah yang melahirkan : La Wawo Addituang Sidenreng XIII.
Adapun halnya dengan La Pallawagau', baginda memperisteri We Tenriabang DatuE Watu Datu Pattojo (Puteri La Mappasiling Datu Pattojo dengan We Tenri LElEang Petta MatinroE ri Soreang Pajung Luwu XXI-XXIII), melahirkan putera puteri yang nantinya merupakan "The Rule Maker" pada berbagai peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan pada masa itu.
La Pallawagau' dengan isterinya, yakni : We Tenri Abang Dg. Baji memiliki 5 putera puteri yang disebut serta diuraikan secara berurut , sebagai berikut :
1. We Tenri Balobo Dg. RiyasE Datu Pammana
We Tenri Balobo dinikahkan pertamakali dengan La Tenri Arung Baranti Arung Tellu Latte' Sidenreng, melahirkan La Patombongi KaraEng Bontotangnga (suami I Tenritana KarEng Balla' Sugi).
We Tenri Balobo dinikahkan keduakalinya dengan La Sappo Arung Palireng Petta Ogi Arung Belawa MatinroE ri CempaE, melahirkan La Tamang Petta Palla'E.
La Tamang menikahi I LEkke', melahirkan : La Pamessangi Baso Parepare
2. We Mappanyiwi Datu Pammana
We Mappanyiwi dinikahkan dengan La Canno' Petta LampE Uttu Arung Gilireng Petta Cakkuridi ri Wajo, melahirkan : La Makkulau Arung Gilireng Petta Cakkuridi ri Wajo (suami I Madditana Arung Rappeng).
3. La Tenridolo To Lebba'E Datu Pammana
4. We Sompa Daeng Sinring Datu Pammana
We Sompa dinikahkan dengan La Settiang Opu Maddika Bua, melahirkan : La Potto Maddanreng Pammana (suami I Baru Datu Patila) , La Patarai Opu Tomuanneng (suami I Ninnong Datu Tempe) dan I Nomba Petta Mabbola SadaE Datu Pammana (isteri Muhammad Arsyad Petta CambangngE).
La Potto menikah dengan I Baru, melahirkan : Tenri SampEang DenrawaliE (isteri La Gau' Arung BEttEmpola Petta MatinroE ri Masigi'na).
La Patarai menikah dengan I Ninnong, melahirkan : I Pacu' Petta Mabbola JEnnE'E (isteri La Patau' KaraEng TanEtE),
5. I BubEng KaraEng PambinEang
I BubEng dinikahkan dengan sepupu sekalinya sendiri, yakni : La Wawo Addituang Sidenreng XIII, melahirkan : Muhammad Arsyad Petta CambangngE dan I Ninnong Datu Tempe.
Muhammad Arsyad menikah dengan I Nomba, melahirkan : Toaccalo Arung Maiwa
I Ninnong menikah dengan La Makkarakalangi Baso Tancung Datu Marioriawa, melahirkan : 1. I Bau' Datu Tempe (isteri La Patongai Datu Lompulle') , 2. I CEcu' BessE' Tempe (isteri Toaccalo Arung Maiwa), 3. La Koro Arung Padali Batara Wajo Arungmatowa Wajo XLI.
Menilik daripada perkembangan generasi kedua La Pallawagau' diatas, maka jelaslah bahwa pada generasi ke-tiga hingga ke-lima berikutnya, cucu La Pallawagau' bertebaran menjadi penguasa di Sidenreng, Wajo, Soppeng, Bone, Luwu, Segeri, MAndallE, Mandar dan Gowa. Para anak keturunannya akan menjadi Datu Pammana, Arung Matowa Wajo, Datu Soppeng, Mangkau' ri Bone, Addatuang Sidenreng, Addatuang Sawitto, Arung Alitta, Datu Suppa, Arung Rappeng, Arung Belawa, Arung Utting, Arung Berru, Arung Bacukiki, Arung MallusEtasi, Arung Maiwa, Datu pattojo dan lain sebagainya.
Sang Patriot !
Menelusuri kisah hidup La Pallawagau, kiranya mestilah membuka berbagai literatur yang mengisahkan tentang seorang Tokoh Besar Pahlawan Nasional dari Negeri Bugis, yakni : La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Singkang Arung Peneki Arung Matoa Wajo Petta PamaradEkangengni Wajo.
Sekilas tentang La Maddukelleng, baginda adalah putera La Urenglangi (La Raunglangi) Tosadapotto Arung Peneki yang kerap pula disebut sebagai La Paulangi. Pernikahan La Urenglangi dengan We Tenri Ampa Arung Singkang yang kerap pula disebut sebagai I Saomi (saudara La SalEwangeng To Tenriruwa Arung Matoa Wajo XXX), membuahkan dua putera, yakni : La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Singkang Petta Arung Matowa Wajo XXXI dan La SampennE' Petta La Battoa Arung Liu Petta CakkuridiE ri Wajo.
Sebagaimana sejarah telah mencatat keadaan Sulawesi Selatan pasca wafatnya Petta TorisompaE (La Tenri Tatta Dg. SErang Arung Palakka Petta MalampE'E Gemme'na Mangkau ri Bone MatinroE ri Bontoala) yang berhasil memenangkan Perang Makassar bersama dengan kemitraannya dengan VOC, telah sukses pula mendirikan sebuah imperium (Wanua Sempugi) yang meliputi hampir seluruh wilayah di Jazirah Sulawesi dibawah dominasi Kerajaan Bone dengan menempatkan diri sebagai "Datu Tungke'na Tana Ugi" (De Koningh Der Boegies). Setelah wafatnya di Bontoala, supremasi tersebut diteruskan pada pewarisnya yang merupakan kemenakan Petta TorisompaE sendiri, yakni : Baginda La Patau' Matannatikka Arung Palakka Mangkau' ri Bone MatinroE ri Naga Uleng.
Pada masa itulah La Maddukelleng dan La Pallawagau terlahir serta tumbuh dalam kondisi dibawah dominasi bayang-bayang "kemaharajaan" Bone tersebut. Jika membaca banyaknya literatur yang ada, maka kita dengan mudah berpresepsi bahwa kedua tokoh tersebut adalah sebaya. Namun yang sesungguhnya, jika mengikut logika bahwa La Maddukelleng Sultan Pasir adalah setidaknya "teman gaul" La Tenri Dolong TolEbba'E (putera La Pallawagau) di perantauan, maka mestilah La Pallawagau' adalah generasi lebih tua yang setidaknya 1 generasi diatas La Maddukelleng. Dengan demikian, jika menurut literatur yang ada menyebutkan La Maddukelleng lahir pada tahun 1700 M, maka La Pallawagau dapat diasumsikan terlahir sekitar tahun 1685 M.
Bersambung...
Rasa takjub dan penasaran perihal "Petta MatinroE ri Duninna" semakin membawaku pada penelusuran samar-samar yang semakin jauh. Hingga tiba pada titik persimpangan, dimana sosok Petta MatinroE ri Duninna kini menjadi dua orang yang berbeda !. Sang ayahanda sendiri pada banyak kesempatan, menyebut Petta MatinroE ri Duninna sebagai : "La Pallawagau", kemudian kadang pula pada kesempatan lain menyebutnya lagi sebagai "La Mappasiling". Beliau menyebut gelar anumerta yang sama pada kedua nama itu silih berganti hingga sayapun tidak pernah sempat meminta kejelasan perihal itu hingga wafatnya. Hal tersebut terjadi karena ketika itu, saya belum menganggapnya sebagai suatu hal penting sebagaimana saat ini.
Lalu siapakah sebenarya "La Mappasiling" ?. Baginda tiada lain adalah Ayah Mertua daripada La Pallawagau sendiri atau suami We Tenri LElEang Pajung ri Luwu XXI-XXIII Petta MatinroE ri SorEang. Pada beberapa Pallontara, nama baginda disebut bermacam-macam, yakni : La Mappasiling, La Mappaselling, La Mappasili' dan La Mappasali. Baginda adalah Datu Pattojo serta putera La Kareddu Arung Sekkanyili dengan Ana'na WatanglipuE ri Pammana. Maka sekiranya beliau yang dimaksud pula sebagai "Petta MatinroE ri Duninna", sebagaimana disebut pula pada Lontara AkkarungengngE ri Bone, dengan demikian nama lengkap beliau adalah : La Mappasiling Datu Pattojo Petta MatinroE ri Duninna.
Akhirnya terlepas daripada siapakah sesungguhnya pada kedua tokoh besar ini yang benar sebagai "Petta MatinroE ri Duninna", kiranya itulah yang dimakamkan di Jara' LompoE TippuluE, Belawa. Ketidakjelasan ini tentu saja diakibatkan keterbasan pengetahuan penulis untuk mencari kebenarannya melalui suatu riset sejarah. Inilah kiranya yang menjadi penyebab sehingga kedua tokoh penting ini tidaklah disebut-sebut terlalu menonjol pada tulisan kita yang terdahulu, yakni "Kerajaan Belawa, Negeri di Batas Persimpangan Sejarah" (laman SEJARAH BELAWA). Terkhusus lagi pada topik tulisan ini adalah uraian sekilas hal ikhwal ketokohan La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana KaraEng MandallE' Arung Tellu Latte’ ri Sidenreng Petta Pilla’E ri Wajo, maka perihal "Petta MatinroE ri Duninna" tidaklah disebut lebih jauh lagi.
Silsilah La Pallawagau' Arung Maiwa
Menelusuri silsilah beliau pada beberapa lontara silsilah, kiranya nama baginda lebih banyak ditampilkan sebagai "pendamping" daripada isterinya belaka. Lontara Silsilah Luwu, Bone, Gowa dan Soppeng juga menulisnya demikian. Namun pada akhirnya, jika penelusuran dimulai pada Lontara Silsilah Ajattapareng dan Pammana, maka baginda ditemukan sebagai tokoh yang memperhubungkan antara dua negeri besar, yakni : Pammana dan Sidenreng.
Bermula pada La BungEnge' ManurungngE ri Bacukiki Addituang Sidenreng I yang bersambung turun menurun hingga La MalEwai Addituang Sidenreng VII yang memperisterikan I Saddia, maka lahirlah seorang putera bernama "Janggo' LampE Ulu Arung Maiwa Arung Tellu Latte' ri Sidenreng". Janggo LampE Ulu memperisteri I Tenri Datu Pammana, maka lahirlah : La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana KaraEng MandallE' Arung Tellu Latte’ ri Sidenreng Petta Pilla’E ri Wajo dan I Tungke' Datu Tempe.
Saudara La Pallawa Gau', yakni : I Tungke Datu Tempe diperisteri oleh La Toappo Arung Berru Addituang Sidenreng XII, maka inilah yang melahirkan : La Wawo Addituang Sidenreng XIII.
Adapun halnya dengan La Pallawagau', baginda memperisteri We Tenriabang DatuE Watu Datu Pattojo (Puteri La Mappasiling Datu Pattojo dengan We Tenri LElEang Petta MatinroE ri Soreang Pajung Luwu XXI-XXIII), melahirkan putera puteri yang nantinya merupakan "The Rule Maker" pada berbagai peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan pada masa itu.
La Pallawagau' dengan isterinya, yakni : We Tenri Abang Dg. Baji memiliki 5 putera puteri yang disebut serta diuraikan secara berurut , sebagai berikut :
1. We Tenri Balobo Dg. RiyasE Datu Pammana
We Tenri Balobo dinikahkan pertamakali dengan La Tenri Arung Baranti Arung Tellu Latte' Sidenreng, melahirkan La Patombongi KaraEng Bontotangnga (suami I Tenritana KarEng Balla' Sugi).
We Tenri Balobo dinikahkan keduakalinya dengan La Sappo Arung Palireng Petta Ogi Arung Belawa MatinroE ri CempaE, melahirkan La Tamang Petta Palla'E.
La Tamang menikahi I LEkke', melahirkan : La Pamessangi Baso Parepare
2. We Mappanyiwi Datu Pammana
We Mappanyiwi dinikahkan dengan La Canno' Petta LampE Uttu Arung Gilireng Petta Cakkuridi ri Wajo, melahirkan : La Makkulau Arung Gilireng Petta Cakkuridi ri Wajo (suami I Madditana Arung Rappeng).
3. La Tenridolo To Lebba'E Datu Pammana
4. We Sompa Daeng Sinring Datu Pammana
We Sompa dinikahkan dengan La Settiang Opu Maddika Bua, melahirkan : La Potto Maddanreng Pammana (suami I Baru Datu Patila) , La Patarai Opu Tomuanneng (suami I Ninnong Datu Tempe) dan I Nomba Petta Mabbola SadaE Datu Pammana (isteri Muhammad Arsyad Petta CambangngE).
La Potto menikah dengan I Baru, melahirkan : Tenri SampEang DenrawaliE (isteri La Gau' Arung BEttEmpola Petta MatinroE ri Masigi'na).
La Patarai menikah dengan I Ninnong, melahirkan : I Pacu' Petta Mabbola JEnnE'E (isteri La Patau' KaraEng TanEtE),
5. I BubEng KaraEng PambinEang
I BubEng dinikahkan dengan sepupu sekalinya sendiri, yakni : La Wawo Addituang Sidenreng XIII, melahirkan : Muhammad Arsyad Petta CambangngE dan I Ninnong Datu Tempe.
Muhammad Arsyad menikah dengan I Nomba, melahirkan : Toaccalo Arung Maiwa
I Ninnong menikah dengan La Makkarakalangi Baso Tancung Datu Marioriawa, melahirkan : 1. I Bau' Datu Tempe (isteri La Patongai Datu Lompulle') , 2. I CEcu' BessE' Tempe (isteri Toaccalo Arung Maiwa), 3. La Koro Arung Padali Batara Wajo Arungmatowa Wajo XLI.
Menilik daripada perkembangan generasi kedua La Pallawagau' diatas, maka jelaslah bahwa pada generasi ke-tiga hingga ke-lima berikutnya, cucu La Pallawagau' bertebaran menjadi penguasa di Sidenreng, Wajo, Soppeng, Bone, Luwu, Segeri, MAndallE, Mandar dan Gowa. Para anak keturunannya akan menjadi Datu Pammana, Arung Matowa Wajo, Datu Soppeng, Mangkau' ri Bone, Addatuang Sidenreng, Addatuang Sawitto, Arung Alitta, Datu Suppa, Arung Rappeng, Arung Belawa, Arung Utting, Arung Berru, Arung Bacukiki, Arung MallusEtasi, Arung Maiwa, Datu pattojo dan lain sebagainya.
Sang Patriot !
Menelusuri kisah hidup La Pallawagau, kiranya mestilah membuka berbagai literatur yang mengisahkan tentang seorang Tokoh Besar Pahlawan Nasional dari Negeri Bugis, yakni : La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Singkang Arung Peneki Arung Matoa Wajo Petta PamaradEkangengni Wajo.
Sekilas tentang La Maddukelleng, baginda adalah putera La Urenglangi (La Raunglangi) Tosadapotto Arung Peneki yang kerap pula disebut sebagai La Paulangi. Pernikahan La Urenglangi dengan We Tenri Ampa Arung Singkang yang kerap pula disebut sebagai I Saomi (saudara La SalEwangeng To Tenriruwa Arung Matoa Wajo XXX), membuahkan dua putera, yakni : La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Singkang Petta Arung Matowa Wajo XXXI dan La SampennE' Petta La Battoa Arung Liu Petta CakkuridiE ri Wajo.
Sebagaimana sejarah telah mencatat keadaan Sulawesi Selatan pasca wafatnya Petta TorisompaE (La Tenri Tatta Dg. SErang Arung Palakka Petta MalampE'E Gemme'na Mangkau ri Bone MatinroE ri Bontoala) yang berhasil memenangkan Perang Makassar bersama dengan kemitraannya dengan VOC, telah sukses pula mendirikan sebuah imperium (Wanua Sempugi) yang meliputi hampir seluruh wilayah di Jazirah Sulawesi dibawah dominasi Kerajaan Bone dengan menempatkan diri sebagai "Datu Tungke'na Tana Ugi" (De Koningh Der Boegies). Setelah wafatnya di Bontoala, supremasi tersebut diteruskan pada pewarisnya yang merupakan kemenakan Petta TorisompaE sendiri, yakni : Baginda La Patau' Matannatikka Arung Palakka Mangkau' ri Bone MatinroE ri Naga Uleng.
Pada masa itulah La Maddukelleng dan La Pallawagau terlahir serta tumbuh dalam kondisi dibawah dominasi bayang-bayang "kemaharajaan" Bone tersebut. Jika membaca banyaknya literatur yang ada, maka kita dengan mudah berpresepsi bahwa kedua tokoh tersebut adalah sebaya. Namun yang sesungguhnya, jika mengikut logika bahwa La Maddukelleng Sultan Pasir adalah setidaknya "teman gaul" La Tenri Dolong TolEbba'E (putera La Pallawagau) di perantauan, maka mestilah La Pallawagau' adalah generasi lebih tua yang setidaknya 1 generasi diatas La Maddukelleng. Dengan demikian, jika menurut literatur yang ada menyebutkan La Maddukelleng lahir pada tahun 1700 M, maka La Pallawagau dapat diasumsikan terlahir sekitar tahun 1685 M.
Kedatangan kembali La Maddukelleng Sultan Pasir
di Tanah Wajo dalam tahun 1736, menimbulkan geger dalam kalangan Istana
Bone dan Soppeng. Bukan apa-apa, jika seorang pelarian berani kembali
ke rumahnya, mestilah ia telah memiliki kekuatan yang cukup untuk
mempertahankan diri atau bahkan membalas dendam.
Bahwa dalam tahun 1713, La Maddukelleng telah melakukan perantauan ke Kalimantan dan kawasan Selat Malaka untuk menghindari murka Raja Bone La Patau’ Matanna Tikka
akibat karena ia telah menikam sejumlah Bangsawan Bone dan Pengawalnya
dalam suatu perselisihan sabung ayam. Kini setelah Baginda Matanna Tikka
(Sang Matahari) tersebut telah wafat dalam tahun 1714, yakni setahun
setelah keberangkatan La Maddukelleng, tahta Mangkau’ ri Bone kini
diduduki oleh puteri Baginda MatinroE ri Naga Uleng, yaitu : Batari Toja DaEng Talaga
yang merangkap pula sebagai Pajung Luwu dan Datu Soppeng. Maka dapat
dipahami jika kedatangan kembali La Maddukelleng bersama pasukan perang
dan armada lautnya yang kuat dari Kalimantan, menimbulkan kekalutan bagi
Batari Toja DaEng Talaga Sang Maharani Tanah Bugis pada jaman itu.
Maka dalam tahun kedatangan La Maddukelleng itu pula, Kerajaan Wajo dikepung oleh aliansi “TellompoccoE” yang terdiri dari Kerajaan Bone, Wajo, Soppeng dan sekutunya. La Maddukelleng
beserta pasukannya kembali mengalami pahit getirnya peperangan dengan
bangsa serta kerabatnya sendiri setelah diadili serta dinyatakan pula
tidak bersalah. Namun La Maddukelleng
dipandang sebagai sebuah ancaman, maka untuk menghilangkan ancaman itu,
kiranya tiada jalan lain haruslah dibasmi dengan kekuatan senjata.
Melihat halnya La Maddukelleng
yang telah diadili dewan “TellumpoccoE” (Aliansi Bone, Wajo dan
Soppeng) dengan vonis bebas tidak bersalah tapi tetap jua “dipaksakan”
untuk dilenyapkan, Kerajaan Wajo akhirnya berbalik mendukung La Maddukelleng. Mengingat pula, bagaimanapun adanya La Maddukelleng adalah “Pangeran Asli Tanah Wajo”, kemenakan La SalEwangeng To Tenri Ruwa Arung Matoa Wajo. Bahkan Arung Matowa sendiri menyerukan kepada segenap “Orang Wajo” untuk mendukung La Maddukelleng.
Baginda sangat gerah melihat negerinya kini morat marit dibawah
pendudukan pasukan Aliansi Bone dan Soppeng. Anak negeri Peneki yang
merupakan daerah kekuasaan Ayahanda La Maddukelleng telah dibumi
hanguskan Pasukan Bone-Soppeng dalam bulan Juli 1736.
Mengetahui
seruan Arung Matoa Wajo, segenap anak negeri Wajo seperti Maiwa dan
daerah Pitu RiasE’ berdatangan ke Tosora (Kotaraja Wajo) menyambut
seruan itu. Namun Aliansi Bone-Soppeng tidak ketinggalan pula, mereka
memanggil bala bantuan dari segenap pasukan kerajaan sekutunya untuk
menaklukkan Tanah Wajo. Maka Pasukan Luwu masuk pula ke Tanah Wajo
menyambut panggilan Aliansi Bone-Soppeng. Bala Bantuan Aliansi dari
negeri lainnya pula mengalir memasuki Wajo. Mereka berdatangan dari
TanEtE, Negeri-negeri Mandar, Aja Tappareng (Sidenreng, Suppa, Alitta,
Sawitto), Tana Toraja, Buton dan Pasukan VOC dari Makassar.
Melihat
banyaknya bala bantuan aliansi, Arung Matoa Wajo beserta sebagian
anggota Dewan Raja-Raja Tanah Wajo (Petta EnnengngE) menyingkir ke
Paria. Maka pada saat Wajo berada dalam tekanan akibat pengepungan
Aliansi Bone-VOC itulah, Arung Matoa Wajo memutuskan untuk
mendelegasikan sebuah “undangan khusus” yang berisi permohonan bantuan
untuk disampaikan kepada seorang Tokoh Wajo yang amat disegani pada masa
itu, yakni : La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana.
Keterlibatan beliau dalam berjuang mempertahankan Tanah Wajo kiranya
tidaklah mungkin “diminta” melalui sebuah seruan saja, melainkan harus
disertai dengan permintaan yang santun.
Penulis kiranya sangat “ber-Haqqulyaqin” menganggap jika Tokoh La Pallawagau’ Datu Pammana yang
disebut pada berbagai literatur “La Maddukelleng Arung Singkang” yang
diantaranya ditulis oleh pakar : Prof. Mr. Andi Zainal Abidin Farid, SH,
Abdulrazak Dg. Patunru, W. Husain, Prof. Dr. A. Mattulada, J. Noorduyn
dan lainnya adalah “La Pallawagau’ Arung Maiwa” suami We Tenriabang DatuE Watu adanya, karena menurut hemat penulis bahwa sangat kecil kemungkinan jika terdapat lebih dari 1 nama “La Pallawagau Datu Pammana” dalam daftar sisilah Datu Pammana.
Setelah
meneriman undangan itu, La Pallawagau dengan hanya disertai 100
personel Pasukan Khususnya berangkat ke Tosora dengan maksud memperkuat
pertahanan Wajo di Ibukota Kerajaan Wajo tersebut. Ketika mereka tiba di
Kampiri, mereka diserang oleh sejumlah besar Pasukan VOC dan Bone.
Namun mereka dapat meloloskan diri hingga tiba di Tosora, bergabung
dengan barisan pertahanan Tanah Wajo dibawah pimpinan La Maddukelleng.
Sehari setibanya di Tosora, La Pallawagau’ selaku “Petta Pilla’E” (Panglima Angkatan Perang Tanah Wajo yang memiliki panji berwarna merah) didampingi pemberani Kapitan La Banna’ To Assa’
memimpin pasukannya menyerbu pasukan Soppeng dan Tanete yang bermarkas
di Tampangeng. Maka terjadilah pertempuran sengit pada hari itu juga,
hingga pasukan Soppeng dan Tanete terpukul mundur. Mereka berlarian
dengan panik, dikejar pasukan La Pallawagau
hingga banyak yang terjun ke sungai dan mati tenggelam. Akhirnya
pemimpin Pasukan Soppeng dan Tanete beserta pasukannya yang masih hidup
meletakkan senjata seraya menyerahkan diri pada La Pallawagau. Diantaranya, mereka adalah : To Assettuang Arung Ujung, Puanna WessE’ Datu Mario ri Wawo, To AppEtuju Arung Bulu MatanrE, Arung Kiru-Kiru dan Arung Umpungeng. Mereka bersumpah dihadapan La Pallawagau dan La Banna To Assa’ untuk tidak lagi menyerang Tanah Wajo kemudian mereka dibebaskan kembali ke kampungnya masing-masing.
Kemenangan pertama terhadap para penyerbu Wajo di Tampangeng semakin menjadi motivasi La Pallawagau’ dan To Assa
untuk meneruskan serangan pembebasannya ke wilayah Tempe yang sedang
diduduki oleh pasukan dari Batu-Batu. Pasukan itu telah merebut Panji
Kebesaran Tempe yang bernama “JarangngE”
sejak awal penyerbuannya. Maka dengan semangat menyala-nyala serta
diimbangi dengan keunggulan strategi pengalaman bertempur dari Kapitan To Assa,
La Pallawagau’ berhasil pula memukul Pasukan Batu-Batu, sehingga banyak
diantaranya yang tewas terperosok di Danau Tempe. Panji Kebesaran Tempe
berhasil direbut kembali serta membuat pimpinan pasukan Batu-Batu
bertekuk lutut dan bersumpah untuk tidak menyerang Tanah Wajo untuk
selama-lamanya.
Setelah kemenangan membebaskan Tempe, La Pallawagau dan To Assa’ mendapat tenaga bantuan pasukan yang masih segar dibawah pimpinan Petta Puangna We Abang Arung Sompe’ meneruskan serangannya ke anak negeri Wajo yang berkhianat dengan perpihak pada Aliansi Bone-VOC, yakni : WagE, CalEko, Canru’, Ugi dan Liu.
Maka dengan keberanian serta strategi yang mencengankan, anak-anak
negeri itu berhasil ditaklukkan serta diberi ancaman dan peringatan
keras.
Bersambung...
MITOS SEKITAR SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI LUWU
“Aja
laloki’ gaga manrE mabbokori babang malloang-loangngE.. Aja’to na dE’
musampoi lise’ parennungmu ri wettu maElomu matinro ! ” (Jangan
sekali-kali makan sambil membelakangi pintu yang sedang terbuka.. Jangan
pula tidak menutup isi “Parennung” sebelum tidur ! ), demikian kata
“pemmali” (larangan, tabu) yang hingga kini masih banyak dipercayai
sebagian kalangan masyarakat, utamanya orang tua-tua.
…………………………………………………………………………………………………………
Syahdan, La Pati Ware’ Daeng Parambong Pajung ri Luwu – XIII telah memeluk Agama Islam atas jasa 3 Datuk dari Tanah Melayu yang diantar oleh Tandi Pau Opunna Ware’ Maddika Bua. Sebagai seorang Raja Islam, baginda diberi gelar sebagai Sultan Muhammad Mudharuddin.
Suatu
hal unik pada sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan yang
membedakan dengan kerajaan lainnya di Indonesia, bahwa Islam selalu
dimulai pada Rajanya yang kemudian diikuti secara mutlak oleh rakyatnya.
Hal tersebut terjadi disebabkan karena seorang raja dipandang oleh
rakyatnya sebagai panutan.
Sebagaimana
diuraikan pada beberapa Lontara besar di Sulawesi Selatan, bahwa setiap
orang Raja yang dilantik (dikukuhkan), senantiasa dibacakan kembali
perjanjian kontrak yang menjelaskan tentang hak dan kewajibannya sebagai
seorang penguasa terhadap rakyatnya. Kemudian pejabat yang melantiknya
juga mengucapkan ikrar dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat. Sebagai
contoh dapat dikemukakan disini adalah ikrar Matoa Ujung ketika
mewakili rakyat Bone yang ditujukan kepada La MammatasilompoE ManurungngE ri Matajang Mangkau ri Bone I, sbb :
Angikko kiraungkaju
Riao miri riakkeng, matappalireng
Elo'nu ri ikkeng, adammu kua
Mattapako, kilao
Millauko, kiabbErE
Molliko, kisawe'
Mau'ni anammeng, pattarommeng
REkkuwa mutEaiwi, kitEai toisa
Iyakita, ampirikkeng temmakare'
Dongirikkeng, temmatippe'
Musalipurikkeng, temmacekkE'
Anginlah engkau dan kami dau kayu
Kemana engkau berhembus, kesana kami terbawa
Kehendakmu terhadap kami, itulah yang jadi
Engkau bertitah, kami menaati
Engkau meminta, kami memberi
Engkau memanggil, kami menyahut
Walaupun anak kami serta isteri kami
Apabila engkau tidak berkenan kepadanya, kamipun tidak berkenan pula
Akan tetapi, tuntunlah kami menuju keketentraman
Jagalah kami menuju kemakmuran
Selimuti kami, agar tidak kedinginan
Maka
seorang Raja dipandang sebagai spirit kemakmuran kerajaan. Bencana dan
malapetaka yang terjadi dalam negeri diyakini sebagai akibat pelanggaran
Raja beserta kerabatnya. Begitupula halnya bagi rakyat, kejadian buruk
yang menimpa dirinya diyakininya sebagai akibat ketidaktaatannya
terhadap Raja junjungannya (Mabusung, kualat).
Demikian
pula halnya dengan Sultan Muhammad Mudharuddin yang memerintahkan
kepada segenap rakyatnya untuk masuk Islam. Maka dari hari ke hari,
banyaklah rakyat Luwu yang masuk Islam dan langsung dibimbing oleh
ketiga Muballiq yang bersejarah tersebut.
Tersebutlah seorang pangeran Luwu , bernama : Pati Paressa' Manjawari. Beliau adalah salahseorang saudara Sultan Muhammad Mudharuddin. Iapun adalah seorang tokoh Luwu yang meminta tenggang waktu untuk masuk Islam. "..kami
masih memiliki simpanan dendeng babi. Sekiranya kami masuk Islam saat
ini, tentulah dendeng itu akan terbuang percuma. Maka kami mohon kiranya
diberi waktu hingga dendeng itu habis terlebih dahulu, barulah kami
memeluk agama Islam..", demikian alasannya.
Sebagai seorang Raja yang berpandangan jauh, Sultan memberikan perkenannya. Mengingat pula bahwa Pati Paressa Manjawari adalah
salah seorang tokoh yang memiliki cukup banyak pengikut. Selain itu,
Khatib Sulung menasehatkan agar memberi kelonggaran karena ajaran Islam
sendiri menggariskan : Laa iqraha fi' diyn.. (Tidak ada paksaan dalam agama..)
Sebulan telah berlalu, Pati Paressa
belum pula datang berkunjung ke LangkanaE (Istana). Karena merasa
penasaran, Sultan menitahkan kepada salah seorang perangkat kerajaan
untuk menanyakan kepada Pati Paressa perihal janjinya sebulan yang lalu.
Namun jawaban yang diterima, bahwa dendeng babi itu belumlah habis.
Satu bulan kemudian, Pati Paressa belum juga memunculkan diri di
balairung istana. Sultan pun kemudian mengutus abdinya untuk menanyakan
kembali. Namun jawabannya tetap sama, dendeng babi belumlah habis. Maka
Sultan mulai hilang kesabaran, baginda memberi waktu terakhir selama 1
bulan sejak hari itu. Mustahil ia memiliki dendeng babi sebanyak itu,
hingga 2 bulan dimakan tidak habis-habis.., demikian pikir Sultan.
Adapun
halnya dengan Pati Paressa' Manjawari, sesungguhnya beliau tidaklah
berdusta. Dendeng babi yang tersedia di rumahnya memang tidaklah habis,
walaupun ia sekeluarga memakannya tiap hari. Pati Paressa adalah seorang
pangeran yang kharismatik yang dicintai dan dikagumi. Para pengikutnya
yang fanatik memegang kepercayaan lama tidak rela jika junjungannya itu
memeluk agama Islam. Semua pangeran dan puteri Kerajaan Luwu yang
lainnya sudah memeluk agama Islam. Jika Pati Paressa' memeluk agama
Islam, maka habislah pemeluk kepercayaan lama dari kalangan bangsawan
tinggi, tinggallah kita-kita ini dari kalangan rakyat yang tersisa,
demikian pendapat para pemeluk kepercayaan lama itu.
Maka
mereka mengupayakan agar dendeng babi itu tidaklah habis. Tanpa
sepengetahuan Pati Paressa mereka menyelundupkan dendeng babi ke dapur
rumah Pati Paressa. Dendeng Babi itu dimasukkan pada "parennung"
(belanga tempat makanan yang diikat dengan anyaman daun lontar dan
digantung agar tidak dimasuki semut atau tikus).
Akhirnya,
sebulan yang diultimatumkan Sultan telah sampai waktunya. Baginda
mengutus abdi istana untuk menanyakannya pada Pati Paressa'. Namun
jawabannya tetap sama, dendeng babi belum habis. Maka murkalah
Sultan."Kalau saudaraku sendiri mempermainkan titahku, bagaimana lagi
dengan orang lain ?!..", pikir baginda. Hukum harus ditegakkan, dimulai
pada lingkungan keluarga sendiri..!. Maka dijatuhkan putusan hukuman
mati pada Pati Paressa' Manjawari, saudara Sultan sendiri. Dalam istilah adat Luwu, hukuman tersebut dikatakan sebagai : RipaggEnoi wennang cella' (Dikalungkan benang merah) atau Ribolongi alirinna (Dicat hitam tiang rumahnya).
Maka dipilihlah salah seorang pemberani Istana Luwu bernama La Bucai' untuk melaksnakan eksekusi mati terhadap Pati Paressa'. Sebagaimana diketahui, bahwa Pati Paressa' yang merupakan pangeran yang kharismatik, juga dikenal pula sebagai seorang yang memiliki kesaktian. Konon beliau memiliki ilmu kebal yang tidak mempan terhadap senjata apapun, termasuk bambu runcing dan kayu "tiloro' " (kelor). Bahkan menurut khabarnya, walaupun ditanam hidup-hidup atau ditenggelamkan di air pun tetap jua tidak akan binasa. Ilmu kebal itu dikenal sebagai : Makkasabandia'.
Namun, La Bucai' bukan pula seorang pemberani biasa. Dicarinya daya upaya untuk mencari kelemahan Pati Paressa' demi melaksakan amanat junjungannya. Iapun tahu, Pati Paressa' adalah seorang tokoh yang sangat percaya diri. Bahkan pangeran itu sengaja tidak memasang pengawal untuk menjaga di komplek istananya. Pada suatu malam, secara diam-diam ia menaiki rumah Pati Paressa' dengan badik terhunus. Didapatinya pintu rumah pangeran itu terbuka. Dilihatnya Pati Paressa sedang bersantap malam dalam posisi membelakangi pintu rumahnya. La Bucai tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia menikamkan badiknya pada punggung Pati Paressa'. Maka kodrat Allah berlaku seketika itu. Tikaman badik bertuah itu menembus punggung Pati Paressa hingga menewaskannya seketika itu pula.
Kematian Pati Paressa yang kebal terhadap apapun itu, akhirnya menjadi sebuah Mitos. Sejak itu, orang tua-tua berpesan kepada anak turunannya agar tidak makan dalam keadaan pintu terbuka. Bahkan lebih daripada itu, pintu tangga rumah juga harus ditutp pula pada malam hari. Selain itu, "parennung" harus ditutup pula pada malam hari sebelum tidur.
Setelah Pati Paressa' Majawari dimakamkan dengan cara sepatutnya sebagai seorang Pangeran Luwu, Sultan memanggil para pemuka kaum yang selama ini menjadi pengikut setia Pati Paressa'. "NarEkko mEmengngi mappotEa manengko selluki akkacoErengku, salaini TanaE Luwu.." (Sekiranya benar kalian tidak mau mengikuti pedomanku, tinggalkanlah Tanah Luwu..), sabda baginda dalam kemarahannya. Kemurkaan Sultan adalah sebuah hukuman. Suatu keputusan yang timpakan kepada pengikut setia Pati Paressa' itu dikenal dalam adat Luwu sebagai : Ri Paoppangi Tana (Ditelungkupkan tanah diatasnya). Hukuman pengusiran atas mereka sekeluarga, tidak boleh lagi menginjak negeri Luwu selamanya.
Maka kaum itu serentak meninggalkan Negeri Luwu, menuju ke Tanah Wajo. Setibanya di kerajaan Wajo, mereka menghadapkan sembah kepada La Sangkuru Patau MulajajiE Arung Matoa Wajo seraya memohonkan perlindungan dan diterima sebagai rakyat Tana Wajo.
Wallahualam Bissawwab..
Telah kubaca dan kusimak perihal kehidupan para tokoh sejarah yang datang dan pergi keluar Sulawesi Selatan dari masa ke masa, kiranya tidak ada yang lebih berjasa daripada ketiga Mujahid Islam dari Tanah Melayu terhadap negeri ini. Berbekal niat “Jihad fii Sabilillah” serta keutamaan ahlaq tawadlu yang melekat dalam sanubarinya, mereka merambah Tanah Bugis yang kacau balau itu dengan satu tujuan, yakni : Syiar Islam. Berkat perjuangan mereka yang tidak mengharap pamrih itulah sehingga pada hari ini kita semua dapat merasakan nilmat Islam. Kiranya hanya Allah semata yang dapat membalas jasa besar itu dengan pahala yang layak baginya, Amin.
Maka dipilihlah salah seorang pemberani Istana Luwu bernama La Bucai' untuk melaksnakan eksekusi mati terhadap Pati Paressa'. Sebagaimana diketahui, bahwa Pati Paressa' yang merupakan pangeran yang kharismatik, juga dikenal pula sebagai seorang yang memiliki kesaktian. Konon beliau memiliki ilmu kebal yang tidak mempan terhadap senjata apapun, termasuk bambu runcing dan kayu "tiloro' " (kelor). Bahkan menurut khabarnya, walaupun ditanam hidup-hidup atau ditenggelamkan di air pun tetap jua tidak akan binasa. Ilmu kebal itu dikenal sebagai : Makkasabandia'.
Namun, La Bucai' bukan pula seorang pemberani biasa. Dicarinya daya upaya untuk mencari kelemahan Pati Paressa' demi melaksakan amanat junjungannya. Iapun tahu, Pati Paressa' adalah seorang tokoh yang sangat percaya diri. Bahkan pangeran itu sengaja tidak memasang pengawal untuk menjaga di komplek istananya. Pada suatu malam, secara diam-diam ia menaiki rumah Pati Paressa' dengan badik terhunus. Didapatinya pintu rumah pangeran itu terbuka. Dilihatnya Pati Paressa sedang bersantap malam dalam posisi membelakangi pintu rumahnya. La Bucai tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia menikamkan badiknya pada punggung Pati Paressa'. Maka kodrat Allah berlaku seketika itu. Tikaman badik bertuah itu menembus punggung Pati Paressa hingga menewaskannya seketika itu pula.
Kematian Pati Paressa yang kebal terhadap apapun itu, akhirnya menjadi sebuah Mitos. Sejak itu, orang tua-tua berpesan kepada anak turunannya agar tidak makan dalam keadaan pintu terbuka. Bahkan lebih daripada itu, pintu tangga rumah juga harus ditutp pula pada malam hari. Selain itu, "parennung" harus ditutup pula pada malam hari sebelum tidur.
Setelah Pati Paressa' Majawari dimakamkan dengan cara sepatutnya sebagai seorang Pangeran Luwu, Sultan memanggil para pemuka kaum yang selama ini menjadi pengikut setia Pati Paressa'. "NarEkko mEmengngi mappotEa manengko selluki akkacoErengku, salaini TanaE Luwu.." (Sekiranya benar kalian tidak mau mengikuti pedomanku, tinggalkanlah Tanah Luwu..), sabda baginda dalam kemarahannya. Kemurkaan Sultan adalah sebuah hukuman. Suatu keputusan yang timpakan kepada pengikut setia Pati Paressa' itu dikenal dalam adat Luwu sebagai : Ri Paoppangi Tana (Ditelungkupkan tanah diatasnya). Hukuman pengusiran atas mereka sekeluarga, tidak boleh lagi menginjak negeri Luwu selamanya.
Maka kaum itu serentak meninggalkan Negeri Luwu, menuju ke Tanah Wajo. Setibanya di kerajaan Wajo, mereka menghadapkan sembah kepada La Sangkuru Patau MulajajiE Arung Matoa Wajo seraya memohonkan perlindungan dan diterima sebagai rakyat Tana Wajo.
Wallahualam Bissawwab..
MASUKNYA ISLAM DI KERAJAAN LUWU
“…
aku seorang pembaca..”, demikian jawabku ketika seorang teman
menanyakan tentang bagaimana aku menulis. Menguraikan kembali dari apa
yang kudengar dan kubaca dari tulisan orang lain kemudian
menyimpulkannya sesuai penalaranku, itulah yang kulakukan saat ini....
dan juga kemarin. Maka akupun "Seorang Pemulung...".
Telah kubaca dan kusimak perihal kehidupan para tokoh sejarah yang datang dan pergi keluar Sulawesi Selatan dari masa ke masa, kiranya tidak ada yang lebih berjasa daripada ketiga Mujahid Islam dari Tanah Melayu terhadap negeri ini. Berbekal niat “Jihad fii Sabilillah” serta keutamaan ahlaq tawadlu yang melekat dalam sanubarinya, mereka merambah Tanah Bugis yang kacau balau itu dengan satu tujuan, yakni : Syiar Islam. Berkat perjuangan mereka yang tidak mengharap pamrih itulah sehingga pada hari ini kita semua dapat merasakan nilmat Islam. Kiranya hanya Allah semata yang dapat membalas jasa besar itu dengan pahala yang layak baginya, Amin.
……………………………………………………..………
Pada sebuah naskah susunan Paduka Andi Bau Sulolipu Opu To Tadampali Almarhum
yang tidak sempat dipublikasikan, penulis menemukan sebuah riwayat yang
menjadi embrio timbulnya beberapa mitos yang justru terlahir dalam
rangkaian peristiwa syiar Islam di Tanah Luwu. Syiar risalah yang
justru bertujuan untuk meningkatkan taraf kemuliaan manusia agar tidak
me-nuhan-kan mahluq sebagaimana sebelumnya.
Dalam
tahun 1593 Masehi, bertepatan dengan tahun 1013 Hijriah, tibalah 3
orang Muballiq di Negeri Bua, salahsatu anak negeri utama Kerajaan Luwu.
Para Mujahid itu masing-masing bernama :
1. Khatib Sulaiman, bergelar Dato’ Patimang (Khatib Sulung)
2. Abdul Makmur Khatib Tunggal, bergelar Dato’ ri Bandang
3. Abdul Jawad Khatib Bungsu, bergelar Dato’ ri Tiro
Mereka
adalah orang Minangkabau yang datang dari Kerajaan Johor dan sebelumnya
tinggal beberapa waktu di Makassar. Atas saran dari penguasa kerajaan
Makassar (Gowa-Tallo), yakni : I Mangngurangi Daeng Mangrabia Somba ri Gowa XIX (1593-1639) ,
bahwa misi mereka sebaiknya dimulai pada Kerajaan Luwu yang dipandang
sebagai negeri paling mulia dan tertua diantara kerajaan lainnya di
jazirah Sulawesi.
Atas rekomendasi yang dibawanya dari Raja Gowa tersebut, ketiganya menemui Tandipau Opunna Ware’ Maddika Bua, penguasa negeri Bua yang merupakan salahsatu negeri utama Kerajaan Luwu yang dikenal sebagai : Ana’ TelluE ( Anak Negeri). Setelah melalui prosesi “Singkarume’ “,
sebuah ritual ujian yang terdiri dari dialog debat panjang dan
disertai pula adu pertunjukan kesaktian. Atas izin Allah SWT, ketiganya
dapat melalui ujian itu serta mengungguli kesaktian para tokoh penguji
dalam istana Kereajaan Bua. Akhirnya Maddika Bua mengikrarkan Kalimah
Syahadat, mengakui kebenaran risalah yang diemban para muballiq itu.
“Kita harus segera menyampaikan ajaran selamat ini kepada Baginda
PajungngE..”, kata Maddika Bua. Pucuk cinta diulam tiba, itulah yang
diharap ketiga mujahid itu.
Pada tanggal 12 Ramadhan 1013 H, dengan menggunakan perahu yang dinamai "Kimara", Tandipau Opunna Ware' Maddika Bua bersama ketiga Penyiar Islam itu bertolak ke MalangkE', kotaraja Kerajaan Luwu dimana La Pati Arase' (Patiware' Sangaji) Daeng Parambong Pajung ri Luwu - XIII bersemayam.
Setelah merapat di pelabuhan MalangkE, mereka langsung menuju ke
Istana. Dihadapan Baginda PajungngE, menghaturkan sembah baktinya kepada
junjungan Negeri Luwu itu.
" Aga karEbatu mai, Maddika ?" (Bagaimana khabar anda, Maddika ?), sapa PajungngE.
"Usompai PajungngE, karEba makessing mua ipangolo ri cappa' ajEna datuE.." (Sembah bakti kepada PajunggE, khabar baik jua yang patik haturkan di ujung kaki paduka..), jawab Maddika Bua.
Kemudian
Maddika Bua memperhadapkan maksud serta tujuan para Muballiq yang
ditemaninya itu, yakni menyampaikan risalah Islam yang ajarkan oleh
Rasulullah saw.
Mendengar
ajakan itu, PajungngE tertarik pula pada penuturan ketiga Muballiq itu.
Terutama karena mengetahui bahwa mereka direkomendasikan oleh Sombayya
Gowa untuk menghadapnya. Perlu dikemukakan disini, bahwa permaisuri La Patiware' Daeng Parambong Pajung Luwu XIII yang bernama KaraEng ri Balla' Bugisi ini adalah adik kandung I Mangngurangi Daeng Mangrabia Somba ri Gowa XIX. Dengan demikian, para Muballiq ini secara tidak langsung adalah utusan kakak iparnya sendiri.
Selain
daripada itu, baginda PajungngE tertarik pula dengan perilaku ketiga
Muballiq itu yang santun namun bersikap sewajarnya. Mereka tidak
berlebihan dalam tata cara penghormatan terhadapnya, menjilat-jilat
sebagaimana rakyat kebanyakan. Baginda memerintahkan agar diadakan “Singkarume’ “ dihadapannya,
sebagaimana sebelumnya diadakan di Istana Maddika Bua. Namun kali ini,
baginda menghendaki agar Maddika Bua sendiri yang menjadi penguji
dipihaknya. Maka dilaksanakanlah tatacara itu dengan sungguh-sungguh.
Dihadapan ketiga Muballiq, Maddika Bua mengajukan pertanyaan-pertanyaannya.
" Dari mana anda sekalian berasal ? "
" Kami berasal dari Minangkabau dan bermukim di Kerajaan Johor ", jawab Khatib Sulung.
" Apakah maksud kedatangan anda ? "
" Kami datang dengan maksud mengembangkan agama Allah SWT yang telah disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.."
"
Apakah saudara tidak mengetahui bahwa di Luwu ada kayu yang sangat kuat
dari pada yang kuat, direndm air tidak termakan rayap, bahkan jika
terbakarpun tak akan terbakar. Kayu itu bernama : Aju Tabu' ", tanya MaddikaE seraya mendeklamasikan syair Lontara, sbb :
Kayu lapuk namun tidaklah lapuk
Tumbuhnya ditengah laut
Tanpa bayangan adanya
Ketiga Muballiq berpikir sejenak, lalu bertanya kepada Maddika Bua. " Bagaimana warna kayu tersebut ? "
" Warna kayu itu tidak dapat dinyatakan karena bahkan justru bayangannya pun tidak diketahui pula ", jawab MaddikaE. Maka menjawablah Khatib Sulung seraya mengucap : "Al Qawtu Kulluhuw Dulumaat', segala sesuatu itu hanyalah bayangan belaka..". PajungngE mengangguk-angguk membenarkan dengan takjub. Sebagaimana diketahui bahwa pada syair I Lagaligo ada dijelaskan perihal "kayu" ketika We Tenri Abeng Batari Bissu ri Langi WalinonoE Daeng Manuttek berkata kepada saudara kembarnya (Sawerigading), bahwa :
Ada pohon kayu yang tumbuh di MANGKUTU
Kayu bEtao yang tumbuh tunggal
Kediaman agung ular sawa minrEli
Tempat bersarang berbagai macam jenis burung..
Lafaldz "Alkawtu" yang diucapkan Khatib Sulung terdengar mirip dengan kata "Mangkutu" dalam syair I Lagaligo. Kemudian pengertian kalimat Arab itu persis pula yang dimaksud dengan pertanyaan Maddika Bua. Kayu "Tabu' " yang dimaknai sebagai kayu yang sangat keras itu sesungguhnya adalah "ADAT". Suatu norma aturan yang dibuat oleh manusia, namun sesungguhnya hanyalah merupakan "bayangan" belaka. Sesuatu yang Non-Permanen serta tidak memiliki eksistensi kemandirian. Hakikatnya, hanya Allah Azza Wajalla yang NYATA dan Abadi keberadaan-Nya. Demikian pula dengan konsep pengertian MaddikaE dan PajungngE tentang keberadaan segala sesuatu selain "DEwata SEuwwaE", Tuhan yang Maha Tunggal. " Iya MakkEloo, Iyato PaullE.." (Dia yang Menginginkan, Dia pula yang memiliki Kekuatan..", sama persis dengan "Laa hawlaa wa laa Quwwata Illa Billah.." dalam konsep Islam.
Ada suatu hal menarik yang patut dikemukakan disini, bahwa dialog antar agama dan kepercayaan yang terjadi ini berlangsung dengan santun. Ketiga Muballiq dari Tanah Melayu itu tidak sekalipun "mengeritik" atau berusaha menumbangkan nilai kepercayaan orang-orang Luwu yang didelegasikan kepada Maddika Bua. Padahal siapapun yang pernah membaca atau mendengar Syair I La Galigo sebagai suatu reverensi pokok kepercayaan orang Bugis pada masa itu, akan menemukan berbagai ketimpangan nilai yang sangat mendasar. Salahsatu contoh adalah "Azas Kemanusiaan" sebagai suatu nilai universal yang senantiasa dimaknai oleh hampir semua kepercayaan dan keyakinan ada di dunia ini. Namun Kitab I La Galigo justru mengabaikannya dengan senantiasa menguraikan tata cara pengorbanan manusia pada berbagai peristiwa sakral para Bangsawan Dewata (topik ini akan ditulis pada judul lain, penulis).
Demikian pula halnya dengan Maddika Bua dan PajungngE sendiri. Sikap santun ketiga tamunya itu dapat dimakluminya dengan menganalisa secara jujur perihal nilai-nilai persamaan yang justru diakuinya pula sebagai sesuatu yang mutlak kebenarannya. Mereka dapat melihat sendiri "celah" pada kepercayaannya sendiri tanpa ditunjukkan oleh ketiga Muballiq itu. Kehalusan makna tenggang rasa teruarai dengan halusnya tanpa tanda kutip.
Setelah dialog dirasa sudah cukup, Maddika Bua meminta 10 butir telur pada "pattumaling" (Kepala Protokoler Istana) atas perkenan PajungngE. Telur-telur itu disusun, bertumpuk satu demi satu tanpa sebutir pun yang jatuh. Kemudian dipersilahkanlah kepada ketiga Muballiq itu untuk mengimbangi kemampuan itu. Khatib Sulung menghampiri susunan telur itu, lalu membaca "Bismillaahirrohmanirrohiim.." seraya mengambil sebutir telur yang paling dibawah susunan itu. Atas izin dan kuasa Allah, 9 telur yang lainnya masih tersusun dalam keadaan melayang, tanpa menyentuh lantai karena sebutir telur yang menjadi tumpuannya telah diambil (dicabut) oleh Khatib Sulung. Kemudian bergantianlah kedua Khatib lainnya mengambil telur-telur itu mulai dari susunan paling bawah tanpa memecahkan sebutirpun diantaranya.
Maddika Bua meminta pula sebuah Balubu (guci) yang penuh terisi air. Balubu itu diangkatnya lalu dibaliknya hingga mulut balubu itu menghadap kebawah. Namun air didalamnya tidak setetespun yang tumpah ke lantai. Lalu dipersilahkan pulalah kepada ketiga Muballiq itu untuk melakukan hal yang sama. Dengan mengucapkan Basmalah, salah seorang Khatib memukul pecah balubu yang terbuat dari keramik itu. Namun air yang didalam Balubu yang pecah berkeping-keping itu tidak tumpah, tetap membulat sebagaimana bentuk balubu yang pecah itu.
Akhirnya Maddika Bua menghaturkan sembah kepada PajungngE, "Demikian Singkarume yang hamba sekalian lakukan di Bua, Tuanku. Selanjutnya patik serahkan segala sesuatunya atas kebijaksanaan paduka..". Maka PajungngE membuka sebentuk cincin pusaka kerajaannya di jari manisnya seraya berkata kepada ketiga Dato' dari Negeri Minangkabau itu. "Bawalah oleh kalian cincin ini ketengah laut, lalu buanglah. Jika kalian mampu mengembalikannya kepada kami, maka saya berjanji untuk memenuhi ajakan kalian untuk memeluk Agama Islam.". "Ampun beribu ampun, Tuanku. Hamba sekalian memohon waktu selama 3 hari. Semoga kiranya dalam waktu itu, Allah Yang Maha Kuasa mengembalikan cincin itu sebagaimana tuan inginkan..", kata Khatib Sulung. Maka PajungngE setuju dengan syarat waktu itu.
Dengan dikawal 8 orang pendayung suruhan PajungngE, ketiga Muballiq itu berkayuh ke tengah laut. Setelah dirasa sudah cukup jauh dari garis pantai, dilemparnya cincin itu yang langsung tenggelam ke dasar lautan yang dalam. Kemudian mereka berkayuh kembali serta diterima dalam jamuan Istana Luwu yang megah itu.
Dua hari telah berlalu, seisi LangkanaE Luwu menunggu dengan harap-harap cemas. "Jangan-jangan cincin pusaka kerajaan benar-benar hilang ditelan lautan. Itu adalah pertanda buruk..!", pikir mereka. Namun halnya dengan ketiga Khatib, mereka nampak tenang-tenang saja. Segalanya telah dipasrahkan kepada Allah SWT dengan sikap Tawakkal sepenuhnya. "Allahumma innii andzilu bika haajatiyy.., wa'in do'fa ro'yii', wa qoshuro amaliiyy.. Waftaqortu 'ilaa Raohmatika..", Yaa Allah, kuhaturkan hajatku sepenuhnya kepada-Mu.. walau lemah akalku.. walau sedikit amalku.. Namun kutetap berharap pada rahmat-Mu..".
Hari ketiga telah tiba. Matahari pagi telah menebarkan jaring-jaring emasnya yang hangat. Seorang nelayan berjalan memasuki gerbang istana, seraya bermohon pada penjaga agar diperkenankan untuk melaksanakan "Kasuwiang". Suatu tradisi pengabdian pada masyarakat Bugis yang membawa persembahan khusus kepada Raja yang dicintainya. Persembahan itu dapat berupa benda pusaka, hewan ternak, hasil kebun atau hasil tangkapan ikan. Nelayan itu datang sambil menenteng seekor ikan besar yang dikailnya semalam. Ikan besar itu diambil oleh seorang abdi lalu membawanya ke dapur istana melalui tangga bagian belakang Istana. Namun, salah seorang khatib yang sedang berada dibagian teras istana meminta agar ikan itu dibawa ke Balairung.
Dihadapan PajungngE dan Maddika Bua beserta para pejabat istana, Khatib Sulung meminta agar ikan besar itu dibelah perutnya. Atas perkenan PajungngE, salah seorang abdi membelahnya. Maka nampaklah seberkas sinar yang bercahaya dalam usus ikan itu. Setelah diperiksa dan dibersihkan dengan seksama, nampaklah sebentuk cincin bertatahkan permata yang berkilauan, cincin pusaka Kerajaan Luwu yang dilemparkan ke laut pada 3 hari yang lalu. Maka hari itu adalah hari yang sangat bersejarah pada Kerajaan Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya, Baginda La Pati Arase' (Pati Ware' Sangaji) Daeng Parambong Pajung ri Luwu XIII mengikrarkan Dua Kalimah Syahadat, memeluk Agama Islam dengan sepenuh jiwa dan raganya. Seketika itu pula, dimulai pada seisi istana hingga seluruh rakyat Kerajaan Luwu diperintahkan untuk turun ke sungai untuk berwudlu sebagaimana diajarkan ketiga Khatib, lalu bersama-sama mengucapkan Syahadatain. Hari itu ditandai dalam lontara, yakni : 15 Ramadhan 1013 Hijriah bertepatan pada tahun 1593 Masehi.
Setelah memeluk Agama Islam, Khatib Sulaiman menabalkan sebuah gelar baru kepada baginda Pati Arase', yakni : Sultan Muhammad Mudharuddin. Adapun halnya dengan Tandipau Opunna Ware' Maddika Bua, beliau dianugerahi pula gelar baru oleh PajungngE, yaitu : Tandi Pau Maddika Bua "AssalengngE" Opunna Ware' karena terlebih dahulu masuk Islam. Namun karena dianggap "lancang" mendahului Baginda PajungngE masuk Islam, maka Maddika Bua diberikan "Sangsi Kewajiban", sbb :
1. Mengembangkan Agama Islam di wilayahnya,
2. Memberikan pelaporan kepada PajungngE pada setiap waktu memasuki bulan puasa.
Kewajiban pelaporan sebagai pertanda masuknya bulan puasa itu terus berlansung selama turun temurun sejak masa pemerintahan La Pati Arase' (Pati Ware' Sangaji) Daeng Parambong Sultan Muhammad Mudharuddin Petta MatinroE ri Pattimang Pajung ri Luwu XIII hingga Andi Kambo Opu Daeng ri Sompa Petta MatinroE ri Bintangna Pajung ri Luwu XXXII.
Wallahualam Bissawwab..
(bersambung ke Mitos Pati Paressa Manjawari...)
Puatta MalampE'E Gemme'na, Tokoh Sejarah atau ..Dukun ?
PENDAHULUAN
Keterangan Gambar :
Patung replika "Arung Palakka" dengan latar belakang potret ANDI MAPPANYUKKI SULTAN IBRAHIM DATU SUPPA MANGKAU RI BONE (Koleksi dalam perawatan PENULIS)
...............................................................................................................................................................
Aju tabu' tekkE tabu'
Tuo ri tengnga tasi'
TekkE wajo-wajoKayu lapuk namun tidaklah lapuk
Tumbuhnya ditengah laut
Tanpa bayangan adanya
Ketiga Muballiq berpikir sejenak, lalu bertanya kepada Maddika Bua. " Bagaimana warna kayu tersebut ? "
" Warna kayu itu tidak dapat dinyatakan karena bahkan justru bayangannya pun tidak diketahui pula ", jawab MaddikaE. Maka menjawablah Khatib Sulung seraya mengucap : "Al Qawtu Kulluhuw Dulumaat', segala sesuatu itu hanyalah bayangan belaka..". PajungngE mengangguk-angguk membenarkan dengan takjub. Sebagaimana diketahui bahwa pada syair I Lagaligo ada dijelaskan perihal "kayu" ketika We Tenri Abeng Batari Bissu ri Langi WalinonoE Daeng Manuttek berkata kepada saudara kembarnya (Sawerigading), bahwa :
Engka aju tuo ri MANGKUTU
Aju bEtao bettawengngE
Napolangkana ula minrEli nabuai sawa
SinEppe lE balipenna
NassarangiE lE manu'-manu' tessirupaEAda pohon kayu yang tumbuh di MANGKUTU
Kayu bEtao yang tumbuh tunggal
Kediaman agung ular sawa minrEli
Tempat bersarang berbagai macam jenis burung..
Lafaldz "Alkawtu" yang diucapkan Khatib Sulung terdengar mirip dengan kata "Mangkutu" dalam syair I Lagaligo. Kemudian pengertian kalimat Arab itu persis pula yang dimaksud dengan pertanyaan Maddika Bua. Kayu "Tabu' " yang dimaknai sebagai kayu yang sangat keras itu sesungguhnya adalah "ADAT". Suatu norma aturan yang dibuat oleh manusia, namun sesungguhnya hanyalah merupakan "bayangan" belaka. Sesuatu yang Non-Permanen serta tidak memiliki eksistensi kemandirian. Hakikatnya, hanya Allah Azza Wajalla yang NYATA dan Abadi keberadaan-Nya. Demikian pula dengan konsep pengertian MaddikaE dan PajungngE tentang keberadaan segala sesuatu selain "DEwata SEuwwaE", Tuhan yang Maha Tunggal. " Iya MakkEloo, Iyato PaullE.." (Dia yang Menginginkan, Dia pula yang memiliki Kekuatan..", sama persis dengan "Laa hawlaa wa laa Quwwata Illa Billah.." dalam konsep Islam.
Ada suatu hal menarik yang patut dikemukakan disini, bahwa dialog antar agama dan kepercayaan yang terjadi ini berlangsung dengan santun. Ketiga Muballiq dari Tanah Melayu itu tidak sekalipun "mengeritik" atau berusaha menumbangkan nilai kepercayaan orang-orang Luwu yang didelegasikan kepada Maddika Bua. Padahal siapapun yang pernah membaca atau mendengar Syair I La Galigo sebagai suatu reverensi pokok kepercayaan orang Bugis pada masa itu, akan menemukan berbagai ketimpangan nilai yang sangat mendasar. Salahsatu contoh adalah "Azas Kemanusiaan" sebagai suatu nilai universal yang senantiasa dimaknai oleh hampir semua kepercayaan dan keyakinan ada di dunia ini. Namun Kitab I La Galigo justru mengabaikannya dengan senantiasa menguraikan tata cara pengorbanan manusia pada berbagai peristiwa sakral para Bangsawan Dewata (topik ini akan ditulis pada judul lain, penulis).
Demikian pula halnya dengan Maddika Bua dan PajungngE sendiri. Sikap santun ketiga tamunya itu dapat dimakluminya dengan menganalisa secara jujur perihal nilai-nilai persamaan yang justru diakuinya pula sebagai sesuatu yang mutlak kebenarannya. Mereka dapat melihat sendiri "celah" pada kepercayaannya sendiri tanpa ditunjukkan oleh ketiga Muballiq itu. Kehalusan makna tenggang rasa teruarai dengan halusnya tanpa tanda kutip.
Setelah dialog dirasa sudah cukup, Maddika Bua meminta 10 butir telur pada "pattumaling" (Kepala Protokoler Istana) atas perkenan PajungngE. Telur-telur itu disusun, bertumpuk satu demi satu tanpa sebutir pun yang jatuh. Kemudian dipersilahkanlah kepada ketiga Muballiq itu untuk mengimbangi kemampuan itu. Khatib Sulung menghampiri susunan telur itu, lalu membaca "Bismillaahirrohmanirrohiim.." seraya mengambil sebutir telur yang paling dibawah susunan itu. Atas izin dan kuasa Allah, 9 telur yang lainnya masih tersusun dalam keadaan melayang, tanpa menyentuh lantai karena sebutir telur yang menjadi tumpuannya telah diambil (dicabut) oleh Khatib Sulung. Kemudian bergantianlah kedua Khatib lainnya mengambil telur-telur itu mulai dari susunan paling bawah tanpa memecahkan sebutirpun diantaranya.
Maddika Bua meminta pula sebuah Balubu (guci) yang penuh terisi air. Balubu itu diangkatnya lalu dibaliknya hingga mulut balubu itu menghadap kebawah. Namun air didalamnya tidak setetespun yang tumpah ke lantai. Lalu dipersilahkan pulalah kepada ketiga Muballiq itu untuk melakukan hal yang sama. Dengan mengucapkan Basmalah, salah seorang Khatib memukul pecah balubu yang terbuat dari keramik itu. Namun air yang didalam Balubu yang pecah berkeping-keping itu tidak tumpah, tetap membulat sebagaimana bentuk balubu yang pecah itu.
Akhirnya Maddika Bua menghaturkan sembah kepada PajungngE, "Demikian Singkarume yang hamba sekalian lakukan di Bua, Tuanku. Selanjutnya patik serahkan segala sesuatunya atas kebijaksanaan paduka..". Maka PajungngE membuka sebentuk cincin pusaka kerajaannya di jari manisnya seraya berkata kepada ketiga Dato' dari Negeri Minangkabau itu. "Bawalah oleh kalian cincin ini ketengah laut, lalu buanglah. Jika kalian mampu mengembalikannya kepada kami, maka saya berjanji untuk memenuhi ajakan kalian untuk memeluk Agama Islam.". "Ampun beribu ampun, Tuanku. Hamba sekalian memohon waktu selama 3 hari. Semoga kiranya dalam waktu itu, Allah Yang Maha Kuasa mengembalikan cincin itu sebagaimana tuan inginkan..", kata Khatib Sulung. Maka PajungngE setuju dengan syarat waktu itu.
Dengan dikawal 8 orang pendayung suruhan PajungngE, ketiga Muballiq itu berkayuh ke tengah laut. Setelah dirasa sudah cukup jauh dari garis pantai, dilemparnya cincin itu yang langsung tenggelam ke dasar lautan yang dalam. Kemudian mereka berkayuh kembali serta diterima dalam jamuan Istana Luwu yang megah itu.
Dua hari telah berlalu, seisi LangkanaE Luwu menunggu dengan harap-harap cemas. "Jangan-jangan cincin pusaka kerajaan benar-benar hilang ditelan lautan. Itu adalah pertanda buruk..!", pikir mereka. Namun halnya dengan ketiga Khatib, mereka nampak tenang-tenang saja. Segalanya telah dipasrahkan kepada Allah SWT dengan sikap Tawakkal sepenuhnya. "Allahumma innii andzilu bika haajatiyy.., wa'in do'fa ro'yii', wa qoshuro amaliiyy.. Waftaqortu 'ilaa Raohmatika..", Yaa Allah, kuhaturkan hajatku sepenuhnya kepada-Mu.. walau lemah akalku.. walau sedikit amalku.. Namun kutetap berharap pada rahmat-Mu..".
Hari ketiga telah tiba. Matahari pagi telah menebarkan jaring-jaring emasnya yang hangat. Seorang nelayan berjalan memasuki gerbang istana, seraya bermohon pada penjaga agar diperkenankan untuk melaksanakan "Kasuwiang". Suatu tradisi pengabdian pada masyarakat Bugis yang membawa persembahan khusus kepada Raja yang dicintainya. Persembahan itu dapat berupa benda pusaka, hewan ternak, hasil kebun atau hasil tangkapan ikan. Nelayan itu datang sambil menenteng seekor ikan besar yang dikailnya semalam. Ikan besar itu diambil oleh seorang abdi lalu membawanya ke dapur istana melalui tangga bagian belakang Istana. Namun, salah seorang khatib yang sedang berada dibagian teras istana meminta agar ikan itu dibawa ke Balairung.
Dihadapan PajungngE dan Maddika Bua beserta para pejabat istana, Khatib Sulung meminta agar ikan besar itu dibelah perutnya. Atas perkenan PajungngE, salah seorang abdi membelahnya. Maka nampaklah seberkas sinar yang bercahaya dalam usus ikan itu. Setelah diperiksa dan dibersihkan dengan seksama, nampaklah sebentuk cincin bertatahkan permata yang berkilauan, cincin pusaka Kerajaan Luwu yang dilemparkan ke laut pada 3 hari yang lalu. Maka hari itu adalah hari yang sangat bersejarah pada Kerajaan Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya, Baginda La Pati Arase' (Pati Ware' Sangaji) Daeng Parambong Pajung ri Luwu XIII mengikrarkan Dua Kalimah Syahadat, memeluk Agama Islam dengan sepenuh jiwa dan raganya. Seketika itu pula, dimulai pada seisi istana hingga seluruh rakyat Kerajaan Luwu diperintahkan untuk turun ke sungai untuk berwudlu sebagaimana diajarkan ketiga Khatib, lalu bersama-sama mengucapkan Syahadatain. Hari itu ditandai dalam lontara, yakni : 15 Ramadhan 1013 Hijriah bertepatan pada tahun 1593 Masehi.
Setelah memeluk Agama Islam, Khatib Sulaiman menabalkan sebuah gelar baru kepada baginda Pati Arase', yakni : Sultan Muhammad Mudharuddin. Adapun halnya dengan Tandipau Opunna Ware' Maddika Bua, beliau dianugerahi pula gelar baru oleh PajungngE, yaitu : Tandi Pau Maddika Bua "AssalengngE" Opunna Ware' karena terlebih dahulu masuk Islam. Namun karena dianggap "lancang" mendahului Baginda PajungngE masuk Islam, maka Maddika Bua diberikan "Sangsi Kewajiban", sbb :
1. Mengembangkan Agama Islam di wilayahnya,
2. Memberikan pelaporan kepada PajungngE pada setiap waktu memasuki bulan puasa.
Kewajiban pelaporan sebagai pertanda masuknya bulan puasa itu terus berlansung selama turun temurun sejak masa pemerintahan La Pati Arase' (Pati Ware' Sangaji) Daeng Parambong Sultan Muhammad Mudharuddin Petta MatinroE ri Pattimang Pajung ri Luwu XIII hingga Andi Kambo Opu Daeng ri Sompa Petta MatinroE ri Bintangna Pajung ri Luwu XXXII.
Wallahualam Bissawwab..
(bersambung ke Mitos Pati Paressa Manjawari...)
Puatta MalampE'E Gemme'na, Tokoh Sejarah atau ..Dukun ?
PENDAHULUAN
..nama lengkapnya : La
Tenri Tatta DaEng SErang To Unru Arung Palakka Petta MalampE'E Gemme'na
Datu Mario ri Wawo Petta TorisompaE Sultan Sa'aduddin Datu Tungke'na
Tana Ugi Mangkau' ri Bone -XV Petta MatinroE ri Bontoala'. Kemudian VoC Belanda menggelarinya pula ; De Koningh der Bougies alias Raja Bugis.
Keterangan Gambar :
Patung replika "Arung Palakka" dengan latar belakang potret ANDI MAPPANYUKKI SULTAN IBRAHIM DATU SUPPA MANGKAU RI BONE (Koleksi dalam perawatan PENULIS)
...............................................................................................................................................................
Beberapakali penulis bertemu dengan orang yang menyatakan diri sebagai "Paranormal" yang katanya kerap dikunjungi oleh "Arung Palakka Petta MalampE'E Gemme'na". Bahkan ada diantaranya yang menawarkan pada penulis untuk dipertemukan dengan beliau. Karena konon khabarnya, Arung Palakka Petta MalampE'E Gemme'na kerap mengobati banyak orang sakit yang penyakitnya sudah tidak mampu lagi disembuhkan oleh dokter medis. Ah, yang benar saja ?!
Entah
kenapa, hati kecilku terasa miris dan tidak terima jika Baginda Arung
Palakka dicitrakan seperti itu. Walau akupun tahu jika selama hidupnya,
Puatta Arung Palakka MalEmpE'E Gemme'na adalah pribadi agung yang mulia
serta senantiasa bersedia menolong sesama manusia dengan mempertaruhkan
segala apa yang dimilikinya sekalipun, namun baginda adalah seorang Raja
Terbesar yang pernah ada di Sulawesi, bukannya seorang dukun. Beliau
memiliki rasa kemanusiaan dan bercita-cita untuk menegakkan harkat dan
martabat "Tana Sempugi" (Sulawesi), sehingga oleh banyak sejarawan
menyatakan jika baginda adalah : Pahlawan Kemanusiaan.
Bertahun-tahun
beliau dicitrakan sebagai "Penghianat Bangsa" pada pelajaran PSPB
(Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) di masa Orde Baru, namun pada
masa menjelang padamnya Orde itu pulalah cap "Penghianat Bangsa" atas
kiprahnya bekerjasama dengan VoC dalam menaklukkan Gowa beserta
sekutunya pada kancah Perang Makassar dihapus. Pasalnya, hingga kini
tidak seorangpun dari sekian banyak ahli sejarah yang dapat membuktikan
secara riil perihal penghianatan Baginda Arung Palakka. Jika dikatakan
sebagai "Penghianat Bangsa Indonesia", bagaimana mungkin seorang tokoh
yang hidup pada abad XVIII "dapat" menghianati BANGSA YANG BELUM ADA
pada masa itu ?. Maka cap "Penghianat Bangsa" bagi Baginda Petta TorisompaE
(sebagaimana beliau dipanggil pada jamannya) adalah sangat tidak logis
karena tidak sesuai dengan ruang waktu dan sejarah yang menjadi
latarnya.
Baginda Petta TorisompaE adalah putera La Pottobunne' Arung Tana Tengnga dari permaisurinya, yakni We Tenrisui Datu Mario ri Wawo. La Pottobunne' sendiri adalah putera La Sangaji KaraEng LoE dengan We Tenri Lennareng DagaE Datu Ganra (puteri La Sekati Tosoangmegga Datu Soppeng XI dengan We Saodah DenraE ri Ganra). Sementara itu, We Tenrisui Datu Mario ri Wawo adalah puteri La Tenrirua Sultan Adam Arung Palakka Mangkau ri Bone XI Petta MatinroE ri BantaEng dengan permaisurinya, yakni : We Tenri LEkke' Baji LEmbaE Datu Mario ri Wawo. Maka menilik dari silsilah Baginda Petta TorisompaE, sesungguhnya beliau memiliki darah trah Soppeng daripada trah Bone. Namun salah seorang kakek baginda, yakni La Tenrirua Sultan Adam Arung Palakka Mangkau ri Bone XI Petta MatinroE ri BantaEng adalah seorang tokoh sejarah yang sangat terkenal sebagai Raja Tanah Bone yang pertama masuk Islam sehingga mengakibatkan beliau "disomasi" oleh Ade'PituE (Dewan Adat Tanah Bone) untuk memilih satu diantara yang dua, yakni : Tahta atau Agama Islam ?. Jika memilih tetap menduduki tahta, maka baginda harus keluar dari Agama Islam karena rakyat Bone belumlah menerima Islam. Namun jika ia tetap mempertahankan keyakinannya, maka bagindapun harus meninggalkan tahtanya. Maka baginda memilih "lengser" dari Tahta Mangkau' Tana Bone, demi mempertahankan aqidah yang telah diyakininya. Selanjutnya ia bersama keluarganya menjalani hidup di pengasingan hingga akhir hayatnya di BantaEng.
Baginda Petta TorisompaE adalah putera La Pottobunne' Arung Tana Tengnga dari permaisurinya, yakni We Tenrisui Datu Mario ri Wawo. La Pottobunne' sendiri adalah putera La Sangaji KaraEng LoE dengan We Tenri Lennareng DagaE Datu Ganra (puteri La Sekati Tosoangmegga Datu Soppeng XI dengan We Saodah DenraE ri Ganra). Sementara itu, We Tenrisui Datu Mario ri Wawo adalah puteri La Tenrirua Sultan Adam Arung Palakka Mangkau ri Bone XI Petta MatinroE ri BantaEng dengan permaisurinya, yakni : We Tenri LEkke' Baji LEmbaE Datu Mario ri Wawo. Maka menilik dari silsilah Baginda Petta TorisompaE, sesungguhnya beliau memiliki darah trah Soppeng daripada trah Bone. Namun salah seorang kakek baginda, yakni La Tenrirua Sultan Adam Arung Palakka Mangkau ri Bone XI Petta MatinroE ri BantaEng adalah seorang tokoh sejarah yang sangat terkenal sebagai Raja Tanah Bone yang pertama masuk Islam sehingga mengakibatkan beliau "disomasi" oleh Ade'PituE (Dewan Adat Tanah Bone) untuk memilih satu diantara yang dua, yakni : Tahta atau Agama Islam ?. Jika memilih tetap menduduki tahta, maka baginda harus keluar dari Agama Islam karena rakyat Bone belumlah menerima Islam. Namun jika ia tetap mempertahankan keyakinannya, maka bagindapun harus meninggalkan tahtanya. Maka baginda memilih "lengser" dari Tahta Mangkau' Tana Bone, demi mempertahankan aqidah yang telah diyakininya. Selanjutnya ia bersama keluarganya menjalani hidup di pengasingan hingga akhir hayatnya di BantaEng.
Pergolakan Yang Melahirkan Tokoh Besar
Seorang pelaut ulung mestilah terlahir ditengah perairan laut yang ganas..
...........................................................
Masa Kecil Yang Penuh Derita
Kemenangan perang Gowa bersama sekutunya di PassEmpe' mendatangkan keuntungan yang luar biasa. Kerajaan Gowa kini menjadi satu-satunya pemegang supremasi di jazirah Sulawesi dan sekitarnya. Namun bagi kerajaan Bone dan Soppeng, kekalahan itu berdampak penderitaan dan penghinaan yang luar biasa. Para pangeran dan rakyat serta segenap harta kedua negeri itu dibagi-bagikan kepada negeri penakluknya sebagai rampasan perang.
Adapun halnya Kerajaan Wajo sebagai sekutu pihak pemenang, menolak pembagian rampasan perang yang diberikan oleh Sultan Malikussaid. La Makkaraka Topatemmui Arung Matoa Wajo XX menolak memperbudak orang Bone dan Soppeng disebabkan karena dipandangnya kedua negeri itu adalah saudara kandung sesuai dengan Perjanjian LamumpatuE ri Timurung yang mempersaudarakan 3 Negeri, yakni : Bone, Wajo dan Soppeng yang lebih dikenal sebagai TellumpoccoE. "Adalah pantangan memperbudak saudara sendiri !", demikian kata Arung Matoa Wajo.
..............................................................................................
Alkisah, La Pottobunne' Arung Tana Tengnga sekeluarga adalah termasuk tawanan perang BEtaE ri PassEmpe'. Baginda bersama ayahanda ( La Sangaji KaraEng LoE Arung Tana Tengnga Toa) beserta isteri dan anak-anaknya berada di Gowa sebagai budak kalah perang. Mereka dibagi-bagikan pada para penguasa Gowa dengan dipekerjakan sebagai abdi istana. La Pottobunne' Arung Tana Tengnga kadang-kadang dijadikan sebagai pembawa tombak Sultan Malikussaid atau pada KaraEng Tumabbicara Butta Gowa beserta keluarga Sultan yang lain.
Adapun halnya dengan putera La Pottobunne', yakni : La Tenri Tatta yang baru berumur 11 tahun, sehari-hari ditempatkan di istana I Mangada'cina DaEng Sitaba KaraEng Patinggaloan KaraEng Tumabbicara Butta Gowa. Beberapa pakar sejarah Bugis-Makassar meriwayatkan masa kecil La Tenri Tatta tersebut yang tumbuh hingga remaja di Gowa selaku tawanan perang. Masa kecil seorang pangeran yang semestinya penuh warna keceriaan dan kemuliaan dalam istana negerinya sendiri, namun terpaksa dijalani sebagai pangeran tawanan yang penuh keprihatinan di istana penakluk negerinya.
Seorang pelaut ulung mestilah terlahir ditengah perairan laut yang ganas..
...........................................................
Bahwa
salahsatu peristiwa besar pada pertengahan abad 17 adalah terjadinya
peperangan antara kerajaan Bone dan Wajo. Dampak perang antar dua
negeri yang sebenarnya terikat sumpah persekutuan "MattellumpoccoE"
(Persekutuan Tiga Negeri Bugis yakni : Bone, Wajo dan Soppeng) ini
menimbulkan efek domino yang memicu peristiwa-peristiwa penting
setelahnya, hingga memetakan gejolak politik di jazirah Sulawesi sampai
abad 20.
Tersebutlah La Maddaremmeng Sultan Ahmad Saleh Petta MatinroE ri Bukaka Mangkau' ri Bone – XIII,
adalah seorang raja yang sholeh dan memegang teguh syariat Islam.
Baginda telah berhasil menanamkan Sara' (syariat) dalam kehidupan
pangadereng (adat) sebagai pola dalam tata kehidupan Negara dan rakyat
Tana Bone. Mangkau' ri Bone dalam kedudukannya sebagai raja Bone, juga
dipandang sebagai Amirul Mukminin Tanah Bone. Maka segala
hal yang bertentangan dengan Syariat Islam seperti pemujaan terhadap
roh-roh nenek moyang (saukeng), perjudian (boto) , meminum minuman keras
dan perbudakan (ata) adalah hal yang terlarang seketika itu di Tanah
Bone dan negeri taklukannya.
Tentu
saja pelarangan yang serta merta itu tidak dapat diterima semua orang
di Bone. Terutama pada kalangan bangsawan yang terbiasa dengan tatanan
(wari) lama, termasuk dalam hal ini adalah : We Tenri Soloreng MakkalaruE Datu Pattiro,
ibunda Baginda La Maddaremmeng sendiri. Maka para pangeran yang tidak
setuju karena merasa dirugikan oleh "undang-undang baru" Raja Bone,
melakukan pembangkangan dengan segera memohon perlindungan kepada We Tenri Soloreng MakkalaruE Datu Pattiro. Dalam pemikirannya, tidaklah mungkin jika La Maddaremmeng tega dan berani melawan ibunda yang melahirkannya.
Namun
lain halnya bagi Baginda La Maddaremmeng, menjalankan amanah sebagai
Amirul Mukminin bahwa hukum syariat berlaku bagi seluruh kaum Mukmin dan
seluruh rakyat dalam wilayah Kerajaan Islam Bone, tidak memandang
siapapun, termasuk ibundanya sendiri yang memimpin kaum pembangkan.
Maka dengan hati tetap, bagindapun melakukan penyerangan ke Pattiro
dalam tahun 1640.
Mengetahui
jika puteranya benar-benar hendak menangkapnya, Datu Pattiro bersama
pengikutnya terlebihdahulu menyingkir ke Kerajaan Gowa untuk meminta
perlindungan kepada I Manuntungi DaEng Mattola KaraEng Ujung KaraEng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga ri Papambatunna Sombayya Gowa – XV (1639-1653) atau kerap pula disebut sebagai Sultan Muhammad Said.
Keputusan meminta perlindungan pada Kerajaan Gowa, karena dipandangnya
bahwa Kerajaan Gowa adalah satu-satunya kekuatan yang disegani Kerajaan
Bone. Bahkan pada masa itulah, Kerajaan Gowa telah mencapai masa
keemasannya sebagai Kekaisaran Timur yang berpengaruh dengan daerah
taklukannya meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia Timur pada saat
ini.
Berbagai upaya ditempuh oleh Sultan Malikussaid untuk mendamaikan perseteruan ibu dan anak itu, yakni dengan mengirim utusan ke Mangkau'E ri Bone
kiranya dapat bersikap lunak dalam menerapkan hukum Syariat Islam,
termasuk dalam hal ini memaafkan ibundanya dan para pengikutnya. Namun
pendirian Baginda Raja Bone tetap teguh, bahkan menuntut Raja Gowa agar
mengekstradisi para pelarian dari Bone itu. Maka terjadilah ketegangan
antara keduanya, masing-masing penguasa terkuat dan paling berpengaruh
di Sulawesi Selatan pada masa itu.
Sementara
itu, upaya Baginda La Maddaremmeng untuk menegakkan syariat Islam
semakin gencar. Segenap raja-raja tetangga baik kawan maupun lawan
dicelanya apabila tidak menjalankan syariat Islam sebagaimana mestinya.
Bahkan lebih jauh lagi, dalam tahun 1643 daerah-daerah perbatasan Tana
Bone dan Wajo yang dianggapnya tidak mentaati syariat Islam
diperanginya. Maka Kerajaan Wajo mengangkat senjata melawan arogansi
Tana Bone, dipimpin langsung oleh rajanya yang pemberani, yakni : I La Sigajang Tobunne Arung Matoa Wajo – XIX (1639-1643).
Peperangan
berlansung sengit selama dua bulan dengan korban berjatuhan yang tidak
sedikit pada kedua belah pihak. Daerah Pammana yakni disebelah selatan
sungai Patila yang merupakan wilayah Wajo menjadi medan laga memerah
darah. Hingga suatu ketika, I La Sigajang Tobunne gugur
ditengah pertempuran yang berkecamuk itu. Namun dengan segera, Dewan
Adat Tana Wajo mengkonsolidasi diri ditengah suasana genting dengan
menobatkan La Makkaraka Topatemmui sebagai Arung Matoa Wajo – XX
(1643-1648), sehingga tidak terjadi kekosongan pucuk pimpinan tertinggi
pada negeri yang sedang dilanda penyerbuan Tana Bone itu. Maka
perlawanan tetap dilanjutkan !.
Gugurnya I La Sigajang Tobunne Arung Matoa Wajo – XIX membuat Sultan Malikussaid Sombayya Gowa murka. Perlu kiranya dikemukakan pada bagian ini, bahwa I La Sigajang Tobunne Arung Matoa Wajo – XIX adalah cucu La MungkacE Touddama Ranreng Talo TenrEng Arung Matoa Wajo – XI. Bahwa secara pribadi, ayahanda Sultan Malikussaid Sombayya Gowa, yakni : I Mangngurangi DaEng Mangrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna Somba Gowa – XIV sebelum menduduki tahta Kerajaan Gowa, terlebih dahulu berguru ilmu Tata Negara, Astronomi, Pilsafat dan Pertanian kepada La MungkacE Touddama di Wajo. Bahkan setelah dinobatkan menjadi Sombayya Gowa, Sultan Alauddin senantiasa mendudukkan tongkat La MungkacE Touddama disampingnya, sebagai tanda hormatnya pada gurunya tersebut. Maka tewasnya Raja Wajo yang juga cucu La MungkacE Touddamang dapatlah dijadikan alasan menuntut balas bagi Raja Gowa dengan memaklumkan perang terhadap Tana Bone dalam tahun 1644.
Maka dalam hal ini, penulis agaknya tidak sependapat dengan beberapa pakar sejarah Sulsel yang menyatakan jika alasan penyerbuan Gowa pada pasukan Bone disebabkan kemurkaan Sultan Malikussaid yang menganggap La Maddaremmeng sebagai "anak durhaka" pada ibundanya, sehingga harus diberi hajaran. Walaupun tentu saja disepakati bahwa alasan sesungguhnya adalah dalam rangka memperebutkan keunggulan (dominasi) sebagai Kerajaan paling berpengaruh di jazirah Sulawesi. Pendapat ini didasarkan penulis pada pemahaman karakter budaya Bugis Makassar yang sejak dulu sangat berhati-hati dalam mencampuri "ranah SIRI" rumpun keluarga orang lain, dimana "SIRI" adalah azas universal yang sesungguhnya selalu dikedepankan seluruh suku bangsa di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, adalah hal yang mustahil sekiranya Sultan Malikussaid, seorang penguasa utama yang terkenal arif serta didampingi mangkubuminya yang cendekia (I Mangadacina DaEng Sitaba KaraEng Patingaloan KaraEng Tallo Tumabbicara Butta Gowa) begitu "sembrono" mencampuri urusan keluarga Raja Bone sedemikian jauhnya.
Maka dalam hal ini, penulis agaknya tidak sependapat dengan beberapa pakar sejarah Sulsel yang menyatakan jika alasan penyerbuan Gowa pada pasukan Bone disebabkan kemurkaan Sultan Malikussaid yang menganggap La Maddaremmeng sebagai "anak durhaka" pada ibundanya, sehingga harus diberi hajaran. Walaupun tentu saja disepakati bahwa alasan sesungguhnya adalah dalam rangka memperebutkan keunggulan (dominasi) sebagai Kerajaan paling berpengaruh di jazirah Sulawesi. Pendapat ini didasarkan penulis pada pemahaman karakter budaya Bugis Makassar yang sejak dulu sangat berhati-hati dalam mencampuri "ranah SIRI" rumpun keluarga orang lain, dimana "SIRI" adalah azas universal yang sesungguhnya selalu dikedepankan seluruh suku bangsa di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, adalah hal yang mustahil sekiranya Sultan Malikussaid, seorang penguasa utama yang terkenal arif serta didampingi mangkubuminya yang cendekia (I Mangadacina DaEng Sitaba KaraEng Patingaloan KaraEng Tallo Tumabbicara Butta Gowa) begitu "sembrono" mencampuri urusan keluarga Raja Bone sedemikian jauhnya.
Sepanjang
perjalanan ke Wajo, iring-iringan bala tentara Kerajaan Gowa senantiasa
menggalang persekutuan dengan kerajaan-kerajaan yang dilaluinya,
termasuk Kerajaan Sidenreng. Maka terhimpunlah pasukan sekutu yang amat besar, menyerbu bagai air bah memasuki kancah peperangan Wajo dan Bone.
Menghadapi
pasukan gabungan Gowa, Wajo, Sidenreng dan lainnya yang berjumlah besar
serta masih segar, Baginda La Maddaremmeng yang dibantu oleh
saudaranya, yakni : La Tenriaji Tosenrima, seketika itu
terdesak. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pasukan Bone yang
kelelahan itu terpukul mundur. Baginda La Maddaremmeng dan La Tenriaji
mundur hingga di negeri Larompong yang termasuk dalam wilayah kerajaan Luwu. Hingga pada akhirnya, Baginda La Maddaremmeng terkepung di Cimpu lalu tertawan oleh pasukan gabungan. Sementara itu, La Tenriaji berhasil meloloskan diri.
Peperangan
yang menelan banyak korban jiwa para ksatria itu berakhir dengan
mengukukuhkan kemenangan pasukan Gowa beserta sekutunya. Baginda La
Maddaremmeng ditawan disalahsatu kubu pertahanan pasukan Gowa di Sanrangang. Maka lontara menyebutkan gambaran era pada masa itu, bahwa : "Naripoatana Bone seppulo pitu taung ittana.." (Diperbudaklah Bone selama tujuh belas tahun).
Setelah menguasai Kotaraja Bone sepenuhnya, Baginda Sultan Malikussaid mengumpulkan "Ade' PituE" (Dewan Hadat Kerajaan Bone yang berjumlah 7 orang) seraya memaklumatkan kedaulatan Gowa atas Kerajaan Bone. Baginda meminta kepada dewan tersebut agar segera menunjuk seorang Raja Bone yang baru, pengganti Puatta La Maddaremmeng Sultan Ahmad Saleh yang kini ditawan pasukan Gowa. Namun baginda Sultan Malikussaid mempersyaratkan kiranya Mangkau' Bone yang baru tersebut harus tunduk terhadap kekuasan Kerajaan Gowa sebagai pemegang supremasi tunggal di Sulawesi. Namun dewan Ade' PituE merasa tidak mampu mendapatkan figur yang sesuai dengan persyaratan tersebut, bahkan meminta agar kiranya sekalian Sultan Malikussaid sendirilah yang menjadi Mangkau Bone. Tetapi Sultan Malikussaid menolak permintaan itu karena memahami Ade' Wari (Hukum Pranata) yang berlaku di Bone, bahwa seorang Raja Bone adalah mutlak keturunan Petta ManurungngE Matajang, pendiri kerajaan Bone yang sekaligus juga sebagai Mangkau' Bone I. Hal itu juga sama halnya di Gowa, bahwa seorang Raja Gowa haruslah keturunan Manurungnga ri TamalatE, pendiri dan Somba Gowa I. Begitulah halnya dengan karakter dan azas moral seorang Raja yang menurunkan bangsawan, yakni senantiasa menwasiatkan kepada anak turunannya untuk selalu mawas diri yang diistilahkan dalam khazanah Paseng Ugi', yakni : Naisseng AlEna na pakalebbi'i bali arungna (Tahu diri serta memuliakan sesamanya bangsawan).
Maka Sultan Malikussaid menawarkan jabatan itu kepada Mangkubuminya, yakni : I Mangada'cina DaEng Sitaba KaraEng Patinggaloan KaraEng Tumabbicara Butta Gowa. Namun mangkubumi yang arif bijaksana itu menolak dengan alasan yang sama pula. Akhirnya Sultan Malikussaid meminta kepada pamannya, yakni KaraEng Sumanna untuk menerima jabatan tersebut, mengingat Kerajaan Bone haruslah secepatnya memiliki pucuk pimpinan pemerintahan agar tidak terjadi kekacauan dimasyarakatnya yang baru saja kalah perang itu. KaraEng Sumanna menerimanya sesaat, kemudian atas persetujuan Sultan Malikussaid , beliau menunjuk Tobala Arung TanEtE ri Awang yang juga salahseorang anggota Dewan Hadat Ade' PituE untuk bertindak sebagai "Jennang" (Gubernur) yang melaksanakan pemerintahan di Bone sebagai perpanjangan tangan Pemerintahan Kerajaan Gowa.
Adapun halnya dengan Puatta La Tenroaji Tosenrima yang berhasil meloloskan diri di pengepungan Cimpu, beliau berhasil menyusup kembali ke Kotaraja Bone. Secara diam-diam, beliau mendatangi satu demi satu para pangeran Bone yang masih setia pada Kerajaan Bone yang sesungguhnya tidak pernah rela terjajah oleh Kerajaan Gowa. Maka beliaupun berhasil dengan gerakan bawah tanah tersebut, mengkonsolidasi para tokoh-tokoh Kerajaan Bone dengan membentuk sebuah Pasukan yang cukup kuat. Maka rakyat Bone mendaulat beliau sebagai Raja Bone yang sah, menggantikan kakaknya yang kini dalam tawanan Kerajaan Gowa.
Mengetahui perihal pemberontakan rakyat Bone yang dipimpin oleh La Tenroaji tersebut, Sultan Malikussaid murka. Baginda sendiri memimpin pasukan Gowa yang terkonsolidasi dengan pasukan-pasukan kerajaan sekutunya (Wajo dan Sidenreng) menyerbu Tana Bone yang sudah dikuasai La Tenroaji dan segenap lasyarnya. Mengetahui jika pasukan gabungan dalam perjalanan memasuki wilayah Bone, La Tenroaji memobilisasi pasukannya ke bukit PassEmpe', suatu areal perbukitan yang tidak jauh dari Kotaraja dan sangat ideal untuk dijadikan basis pertahanan. Akhirnya terjadilah pertempuran sengit di PassEmpe' yang tertulis dalam kenangan Lontara Bilang (Catatan harian Raja-raja Gowa) sebagai : Bundu'ka ri PassEmpe' (Peperangan di PassEmpe').
Pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya, memakan korban yang tidak sedikit pada kedua belah pihak. Hingga pada penghujung perang itu, basis pertahana pasukan Baginda La Tenroaji dapat dibobol oleh pasukan gabungan yang lebih banyak serta berpengalaman. Peristiwa pahit ini tertulis pada Lontara Bone sebagai : BEtaE ri PassEmpe' (Kekalahan di PassEmpe) kemudian Puatta La Tenroaji digelari pula sebagai : Betta'E ri PassEmpe' (Sang Jagoan di PassEmpe') atas keberaniannya yang mencengankan kawan maupun lawannya. Akhirnya baginda La Tenroaji tertawan oleh pasukan gabungan hingga kemudian diasingkan ke negeri Siang (Pangkep) sampai wafatnya. Maka baginda diberi gelar anumerta : Petta MatinroE ri Siang. Demikianpula dengan para pangeran dan tokoh-tokoh Bone yang membantunya, semuanya ditawan ke Gowa sebagai budak kalah perang.
Kiranya penuturan ini semakin jauh dari tema dan judul tulisan ini. Hal ini dipaparkan sebagai latar "jernih" yang diharapkan menjadi penguat kiranya kita dapat mengenal lebih dalam mengenai hidup dan ketokohan Baginda La Tenri Tatta DaEng SErang Petta MalampE'E Gemme'na yang selama ini diselimuti kabut kontroversial. So, don't judge me if you don't know about me..
Setelah menguasai Kotaraja Bone sepenuhnya, Baginda Sultan Malikussaid mengumpulkan "Ade' PituE" (Dewan Hadat Kerajaan Bone yang berjumlah 7 orang) seraya memaklumatkan kedaulatan Gowa atas Kerajaan Bone. Baginda meminta kepada dewan tersebut agar segera menunjuk seorang Raja Bone yang baru, pengganti Puatta La Maddaremmeng Sultan Ahmad Saleh yang kini ditawan pasukan Gowa. Namun baginda Sultan Malikussaid mempersyaratkan kiranya Mangkau' Bone yang baru tersebut harus tunduk terhadap kekuasan Kerajaan Gowa sebagai pemegang supremasi tunggal di Sulawesi. Namun dewan Ade' PituE merasa tidak mampu mendapatkan figur yang sesuai dengan persyaratan tersebut, bahkan meminta agar kiranya sekalian Sultan Malikussaid sendirilah yang menjadi Mangkau Bone. Tetapi Sultan Malikussaid menolak permintaan itu karena memahami Ade' Wari (Hukum Pranata) yang berlaku di Bone, bahwa seorang Raja Bone adalah mutlak keturunan Petta ManurungngE Matajang, pendiri kerajaan Bone yang sekaligus juga sebagai Mangkau' Bone I. Hal itu juga sama halnya di Gowa, bahwa seorang Raja Gowa haruslah keturunan Manurungnga ri TamalatE, pendiri dan Somba Gowa I. Begitulah halnya dengan karakter dan azas moral seorang Raja yang menurunkan bangsawan, yakni senantiasa menwasiatkan kepada anak turunannya untuk selalu mawas diri yang diistilahkan dalam khazanah Paseng Ugi', yakni : Naisseng AlEna na pakalebbi'i bali arungna (Tahu diri serta memuliakan sesamanya bangsawan).
Maka Sultan Malikussaid menawarkan jabatan itu kepada Mangkubuminya, yakni : I Mangada'cina DaEng Sitaba KaraEng Patinggaloan KaraEng Tumabbicara Butta Gowa. Namun mangkubumi yang arif bijaksana itu menolak dengan alasan yang sama pula. Akhirnya Sultan Malikussaid meminta kepada pamannya, yakni KaraEng Sumanna untuk menerima jabatan tersebut, mengingat Kerajaan Bone haruslah secepatnya memiliki pucuk pimpinan pemerintahan agar tidak terjadi kekacauan dimasyarakatnya yang baru saja kalah perang itu. KaraEng Sumanna menerimanya sesaat, kemudian atas persetujuan Sultan Malikussaid , beliau menunjuk Tobala Arung TanEtE ri Awang yang juga salahseorang anggota Dewan Hadat Ade' PituE untuk bertindak sebagai "Jennang" (Gubernur) yang melaksanakan pemerintahan di Bone sebagai perpanjangan tangan Pemerintahan Kerajaan Gowa.
Adapun halnya dengan Puatta La Tenroaji Tosenrima yang berhasil meloloskan diri di pengepungan Cimpu, beliau berhasil menyusup kembali ke Kotaraja Bone. Secara diam-diam, beliau mendatangi satu demi satu para pangeran Bone yang masih setia pada Kerajaan Bone yang sesungguhnya tidak pernah rela terjajah oleh Kerajaan Gowa. Maka beliaupun berhasil dengan gerakan bawah tanah tersebut, mengkonsolidasi para tokoh-tokoh Kerajaan Bone dengan membentuk sebuah Pasukan yang cukup kuat. Maka rakyat Bone mendaulat beliau sebagai Raja Bone yang sah, menggantikan kakaknya yang kini dalam tawanan Kerajaan Gowa.
Mengetahui perihal pemberontakan rakyat Bone yang dipimpin oleh La Tenroaji tersebut, Sultan Malikussaid murka. Baginda sendiri memimpin pasukan Gowa yang terkonsolidasi dengan pasukan-pasukan kerajaan sekutunya (Wajo dan Sidenreng) menyerbu Tana Bone yang sudah dikuasai La Tenroaji dan segenap lasyarnya. Mengetahui jika pasukan gabungan dalam perjalanan memasuki wilayah Bone, La Tenroaji memobilisasi pasukannya ke bukit PassEmpe', suatu areal perbukitan yang tidak jauh dari Kotaraja dan sangat ideal untuk dijadikan basis pertahanan. Akhirnya terjadilah pertempuran sengit di PassEmpe' yang tertulis dalam kenangan Lontara Bilang (Catatan harian Raja-raja Gowa) sebagai : Bundu'ka ri PassEmpe' (Peperangan di PassEmpe').
Pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya, memakan korban yang tidak sedikit pada kedua belah pihak. Hingga pada penghujung perang itu, basis pertahana pasukan Baginda La Tenroaji dapat dibobol oleh pasukan gabungan yang lebih banyak serta berpengalaman. Peristiwa pahit ini tertulis pada Lontara Bone sebagai : BEtaE ri PassEmpe' (Kekalahan di PassEmpe) kemudian Puatta La Tenroaji digelari pula sebagai : Betta'E ri PassEmpe' (Sang Jagoan di PassEmpe') atas keberaniannya yang mencengankan kawan maupun lawannya. Akhirnya baginda La Tenroaji tertawan oleh pasukan gabungan hingga kemudian diasingkan ke negeri Siang (Pangkep) sampai wafatnya. Maka baginda diberi gelar anumerta : Petta MatinroE ri Siang. Demikianpula dengan para pangeran dan tokoh-tokoh Bone yang membantunya, semuanya ditawan ke Gowa sebagai budak kalah perang.
Kiranya penuturan ini semakin jauh dari tema dan judul tulisan ini. Hal ini dipaparkan sebagai latar "jernih" yang diharapkan menjadi penguat kiranya kita dapat mengenal lebih dalam mengenai hidup dan ketokohan Baginda La Tenri Tatta DaEng SErang Petta MalampE'E Gemme'na yang selama ini diselimuti kabut kontroversial. So, don't judge me if you don't know about me..
Masa Kecil Yang Penuh Derita
Kemenangan perang Gowa bersama sekutunya di PassEmpe' mendatangkan keuntungan yang luar biasa. Kerajaan Gowa kini menjadi satu-satunya pemegang supremasi di jazirah Sulawesi dan sekitarnya. Namun bagi kerajaan Bone dan Soppeng, kekalahan itu berdampak penderitaan dan penghinaan yang luar biasa. Para pangeran dan rakyat serta segenap harta kedua negeri itu dibagi-bagikan kepada negeri penakluknya sebagai rampasan perang.
Adapun halnya Kerajaan Wajo sebagai sekutu pihak pemenang, menolak pembagian rampasan perang yang diberikan oleh Sultan Malikussaid. La Makkaraka Topatemmui Arung Matoa Wajo XX menolak memperbudak orang Bone dan Soppeng disebabkan karena dipandangnya kedua negeri itu adalah saudara kandung sesuai dengan Perjanjian LamumpatuE ri Timurung yang mempersaudarakan 3 Negeri, yakni : Bone, Wajo dan Soppeng yang lebih dikenal sebagai TellumpoccoE. "Adalah pantangan memperbudak saudara sendiri !", demikian kata Arung Matoa Wajo.
..............................................................................................
Alkisah, La Pottobunne' Arung Tana Tengnga sekeluarga adalah termasuk tawanan perang BEtaE ri PassEmpe'. Baginda bersama ayahanda ( La Sangaji KaraEng LoE Arung Tana Tengnga Toa) beserta isteri dan anak-anaknya berada di Gowa sebagai budak kalah perang. Mereka dibagi-bagikan pada para penguasa Gowa dengan dipekerjakan sebagai abdi istana. La Pottobunne' Arung Tana Tengnga kadang-kadang dijadikan sebagai pembawa tombak Sultan Malikussaid atau pada KaraEng Tumabbicara Butta Gowa beserta keluarga Sultan yang lain.
Adapun halnya dengan putera La Pottobunne', yakni : La Tenri Tatta yang baru berumur 11 tahun, sehari-hari ditempatkan di istana I Mangada'cina DaEng Sitaba KaraEng Patinggaloan KaraEng Tumabbicara Butta Gowa. Beberapa pakar sejarah Bugis-Makassar meriwayatkan masa kecil La Tenri Tatta tersebut yang tumbuh hingga remaja di Gowa selaku tawanan perang. Masa kecil seorang pangeran yang semestinya penuh warna keceriaan dan kemuliaan dalam istana negerinya sendiri, namun terpaksa dijalani sebagai pangeran tawanan yang penuh keprihatinan di istana penakluk negerinya.
Bahwa diberitakan La Tenri Tatta adalah
anak yang "ditakdirkan" dengan penuh talenta sejak lahirnya. Ia bergaul
dengan anak-anak sebayanya yang kebanyakan terdiri dari para pangeran
Gowa. Sebagaimana halnya aktifitas keseharian para Ana' Arung (Pangeran) yang bermain sambil berlatih aneka permainan rakyat dan olahraga ketangkasan seperti Mallogo, maggasing, marraga (sepak takraw), menca'(pencak silat), maka La Tenri Tatta yang disapa sebagai DaEng SErang
dalam kompleks istana Gowa, dikenal sebagai pemain yang paling mahir
dan menonjol diantara teman-teman sepermainannya. Salah seorang pangeran
lainnya yang dianggap setara dalam hal kemahiran permainan ketangkasan,
adalah : I Mallombasi DaEng Mattawang yang
adalah putera kesayangan Sultan Gowa sendiri. Walaupun demikian, kedua
pangeran kecil yang berlainan poros politik ini sangat akrab dan saling
menghormati satu sama lainnya.
Mendapati puteranya tercinta sebagai "anak gaul" walaupun berstatus "anak tawanan" dalam kompleks istana Gowa, We Tenrisui yang merupakan pemegang tahta Mario kerap menyebut La Tenri Tatta kecil sebagai "Datu Mario".
Hal itu dapat dimengerti sebagai ungkapan rasa sayang seorang ibu yang
disertai "rasa iba" terhadap nasib malang puteranya yang tumbuh ditengah
situasi "terhina" sebagai budak tawanan perang.
Kepribadian DaEng SErang
yang sopan dan cekatan membuatnya disenangi oleh para penghuni istana,
sehingga kerap ditugaskan oleh Mangkubumi kerajaan sebagai pembawa
pekinangan (Tempat Sirih) pada berbagai acara penting istana. Tentu saja
sebagai seorang pembawa tempat sirih, ia senantiasa duduk dibelakang
Sang Mangkubumi yang arif bijaksana tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa I Mangadacina DaEng Sitaba KaraEng Patingalloang yang juga menjabat sebagai KaraEng Tumabbicara Butta Gowa (Mangkubumi) adalah seorang tokoh besar Gowa yang terkenal hingga jauh ke benua Eropa. Dennys Lombard (1996) menyebutnya sebagai "Priagung"
yang telah mempelajarai Bahasa Latin,Spanyol, Portugal, Belanda dan
lainnya serta menguasainya dengan sangat baiknya hingga menyamai native
speakernya sendiri. Pastor Alexander de Rhodes S.J (pencipta huruf latin untuk Bahasa Vietnam) ketika singgah di Sulawesi Selatan serta bertemu dengan KaraEng Pattingalloang mengungkapkan kekagumannya dalam tulisannya tentang tokoh besar itu, dikutip sbb :
"..jika
kita mendengarkan omongannya tanpa melihat orangnya, pasti kita mengira
bahwa dia adalah orang Portugal sejati. Karena dia berbahasa Portugal
sama fasihnya dengan orang Lisbon. Ia menguasai denganbaik segala
misteri kita dan telah membaca dengan seksama semua kisah raja-raja kita
di Eropa dengan keinginantahuan yang besar. Diantara koleksinya
terdapat karya Founder Louis de Granada O.P yang telah dibacanya dalam
bahasa aslinya. Namun yang paling mengagumkan dari KaraEng
Pattingalloang adalah cintanya pada ilmu-ilmu exacta. Ia selalu membaca
buku-buku kita dan khususnya mengenai Matematika, ia begitu ahli dan
begitu besar cintanya pada setiap bagian ilmu ini sehingga
mengerjakannya siang dan malam.." (Muh. Hasir Sonda, Pattinggalloang : Intelektual, Aktual, pada Masanya – Artikel).
KaraEng Pattingalloang
memiliki pula perpustakaan yang luar biasa dengan berbagai koleksi
buku, Bola Dunia dari kayu/tembaga dan berbagai atlas dunia dari Eropa.
Selain itu, baginda pula memiliki laboratorium yang berisi berbagai
prisma, Teropong Bintang dan lainnya. Hal inilah sehingga KaraEng
Patingalloang dikagumi para orang Eropa berkat penguasaanya dalam bidang
Matematika, Geografi, Astronomi dan Optik sebagai seorang negarawan dan
ilmuwan yang rasional sehingga sangat berperan dalam mengantarkan
Kerajaan Gowa menuju Dinamika Global.
Demi
melihat potensi alami bocah pangeran taklukan itu sebagai baja unggul
yang belum tergosok, maka Sang Mangkubumi yang visioner itu tertarik
untuk "ikut membentuk" bakal tokoh sejarah yang mungkin saja
diprediksinya akan menjelma sebagai tokoh yang lebih besar dari dirinya
sendiri. Maka terjalinlah kedekatan "khusus" antara La Tenri Tatta dengan KaraEng Patingalloang
yang menurut banyak pakar sejarah Sulawesi Selatan sebagai moment
paling berpengaruh yang benar-benar membentuk kemampuan intelektual
seorang "Kaisar Sulawesi" beberapa tahun kemudian.
Sebagaimana dituturkan pula oleh para periwayat, bahwa selain mengasah berbagai kemampuan, La Tenri Tatta
tergolong pula sebagai anak yang sholeh dengan senantiasa rajin menimba
ilmu-ilmu agama pada beberapa ulama yang tinggal disekitarkompleks
Istana Gowa di Somba Opu. Maka tidak mengherankan jika kelak pada masa
jayanya , baginda memiliki perhatian besar terhadap pengembangan syiar
Islam sehingga oleh beberapa kalangan dimasa kini menggolongkannya pula
sebagai salahseorang "personil" Wali PituE (7 Wali) dengan
cerita berbagai karamah kewaliannya yang mencengankan. Namun dari
sinilah pendeskripsian tentangnya sebagai "dukun sakti" bermula yang
justru mengaburkan persepsi keagungannya sebagai seorang Penguasa
Terbesar yang pernah ada di Jazirah Sulawesi sejak lahirnya hingga
dimasa kini.
Wallahualam bi sawab
Wallahualam bi sawab
DAFTAR BACAAN :
1. Andaya Leonard Y, 1977. Arung Palakka and Kahar Muzakkar;
A Study of The Hero Figur In Bugis Makassar Society, dalam People and
Society in Indonesia; A Biblegraphycal Aproach University
2. Mattulada, H. A., 1988. Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Hasanuddin University Press, Makassar
3. Sagimun, 1985. Sultan Hasanuddin Menentang V.O.C, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
bersambung pada bahagian selanjutnya.