Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Minggu, 30 Juni 2013



MERETAS LA SIMPALA ARUNG SINGKANG
By. La Oddang



Sejak beberapa waktu yang lalu, kerabat kami @Zulkifli La Simpala senantiasa bertukar pikiran dengan kami perihal seorang tokoh yang mengagumkan, yakni : La Simpala Aru Singkang. Seorang tokoh Bugis Wajo – Bone dari abad – 18 yang hijrah ke Gorontalo dengan 300 kapal yang memuat prajurit dan keluarganya. Pada kesempatan pertama, beliau @Zulkifli Lasimpala menanyakan perihal “Lontara Silsilah Wajo” yang sekiranya ada memuat nama Puetta La Simpala, dimana hal tersebut tidak dapat saya jelaskan lebih jauh, mengingat keterbatasan pengetahuan saya perihal silsilah Raja-Raja di Wajo, walaupun sesungguhnya saya dilahirkan di Belawa, salahsatu bekas Anak Kerajaan Wajo pula.

Bahwa menurut dari sekedar yang dapat saya serap, Tana Wajo tidaklah sama dengan bekas Kerajaan-Kerajaan Utama lainnya di Sulawesi Selatan, semisalnya : Luwu, Soppeng, Bone, Gowa, AJatappareng dan lainnya. Pada kerajaan-kerajaan tersebut dapatlah ditemui Lontara Panguriseng/Panguruseng (Silsilah Raja-Raja) yang memuat lengkap silsilah Raja Pertama hingga Raja Terakhir mereka secara berkesinambungan, serta jalur perhubungan kekerabatan mereka dengan Raja-Raja dari Kerajaan lainnya secara meluas dan mendetail. Hal yang menyebabkan sehingga Wajo tidaklah memiliki “Himpunan Silsilah” secara keseluruhan itu, menurut catatan saya disebabkan beberapa faktor, diantaranya yang paling krusial, adalah : 1. Tana Wajo sejak awal didirikannya menganut system Demokrasi (Assamaturuseng), dimana Raja-nya dinobatkan atas dasar pemilihan para wakil rakyatnya, maka seorang Arung Matoa (Raja) Wajo tidaklah mutlak digantikan oleh anaknya atau bahkan bisa saja dari rumpun lain yang merupakan saingan politiknya, 2. Tana Wajo memiliki banyak Tokoh Utama pada seluruh lapisan era kesejarahannya, dimana masing-masing tokoh itu asal muasalnya berasal dari negeri yang berbeda disekitarnya, misalnya : Wangsa BEttEmpola induk rumpunnya berasal dari Luwu dan Bone, Wangsa Pammana (Pilla Wajo) yang memiliki akar asal muasal tersendiri, dll.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi dengan Tana Lili Wajo (Kerajaan Bawahan Wajo), misalnya : Otting yang juga memiliki akar Tomanurung tersendiri, Belawa yang mula-mulanya berasal dari rumpun Arung BulucEnrana kemudian akar silsilahnya banyak berhubungan dengan Luwu, Sidenreng, Bone dan Soppeng, dll. Maka adalah tidak berlebihan jika Ayahanda kami semasa hidupnya menyebut Wajo sebagai : Tana Luwu wanua Abbatireng, TanaE Wajo wanua addeppakeng ( Tana Luwu adalah Negeri Asal Muasal, Tana Wajo adalah negeri persebaran keturunan).

Namun demikian, Tana Wajo bukan berarti tidaklah memiliki Lontara, bahkan merupakan bekas Kerajaan yang memiliki paling banyak peninggalan Lontara. Lontara Sukkuna Wajo (LSW) merupakan Lontara yang paling bermuatan logicly  salahsatu dari sejian banyak Lontara Wajo lainnya. Selain itu adapula Lontara Latoa yang merupakan “Lontara Bersama” TellumpoccoE (Bone, Wajo dan Soppeng), dimana salahsatu perumusnya adalah La MungkacE To Uddama Arung Matoa Wajo (1567 – 1607). Kemudian Pammana yang adalah Kerajaan Tertua di Sulawesi Selatan disamping Luwu, juga memiliki Lontara tersendiri. Demikian pula dengan Belawa, AkkotEngeng, Tosora, Paria, Rumpia, dan segenap lainnya memiliki pula Lontaranya masing-masing. Maka Tana Wajo adalah negeri dari “ratusan Lontara”, namun Lontara itu tidak mungkin dapat terhimpun menjadi suatu kesatuan reverensi karena memiliki ragam akar dan sumber kesejarahan yang berbeda. Begitupula dengan tokoh-tokoh Wajo pada jaman dulu hingga sekarang, nama-nama mereka bertebaran pada ragam Lontara di Kerajaan Utama lainnya, misalnya : Lontara Luwu, Lontara Akkarungeng Bone, Lontara Panguruseng Abbatireng Soppeng, Lontara Attoriolong Sidenreng, hingga dapat pula ditemui di Lontara Bilang Gowa dan Tallo.

Sehubungan dengan tokoh “Lasimpala Aru Singkang” yang berkiprah pada abad-18, saya sempat berasumsi  jika tokoh tersebut adalah salah seorang putera atau cucu dari La Maddukelleng Puenna La Tombong Sultan Pasir Arung Singkang Arung Matoa Wajo Petta PamaradEkaEngngi Wajo (1736-1754). Hal yang mendasari pendapat tersebut, bahwa kemampuan beliau Petta Lasimpala yang dapat mengerahkan 300 Kapal yang penuh dengan pasukan bersenjata lengkap pada abad 18, kiranya kemampuan itu hanya dapat dimiliki oleh seorang “Tokoh Wajo” pada kurun masa itu. Perhubungan erat antara kedua tokoh itu dapat diduga dengan kesamaannya selaku “Arung Singkang”, dimana jabatan tahta raja-raja local di Wajo senantiasa hanya dapat diwarisi secara turun temurun.

Pada sisi lain, penguasaanya terhadap 300 Kapal Bersenjata (Angkatan Laut), maka Tana asal Lasimpala semakin mengkerucut pada suatu kerajaan yang memiliki kekuatan maritime yang tangguh.  Sebagaimana diketahui bahwa Kekuatan itu hanyalah dimiliki oleh 2 Kerajaan Utama di Sulawesi Selatan, yakni Gowa dan Wajo. Sementara Luwu, Bone, Soppeng, Sidenreng dan lainnya lebih dikenal dengan kekuatan pasukan infantrinya. Hal yang kemudian menjadikan Wajo sebagai salahsatu Kerajaan terkuat di darat dan lautan pada abad 18, mengingat aksi perjuangan La Maddukelleng yang sempat menjadi “Raja Dilaut” di Selat Malaka, Selat Karimata dan Selat Makassar. Namun mengingat kurun masanya dalam abad 18, maka lebih kuatlah dugaan jika “Lasimpala”  berasal dari Wajo, mengingat pada kurun masa itu, kekuatan pasukan Kerajaan Gowa di darat maupun laut hampir lumpuh sejak kekalahan dalam Perang Makassar pada  paruh ke-3 abad 17 dan semakin melemah pada 100 tahun kemudian, pasca gugurnya I MappasEmpa’ Dg. Mamaro KaraEng Bontolangkasa Somba Gowa pada perang melawan Kompeni Belanda dalam abad paruh ke-3 abad 18.

Membaca tulisan perihal penyebutan nama “Lasimpala Aru Singkang” sempat timbul dalam dugaan saya bahwa nama beliau semestinya, adalah : “La Tenri Sumpala Arung Singkang”. Hal yang mendasari dugaan tersebut karena penulis tidak mengenal kata “simpala” sebagai kosa kata Bugis lama yang menjadi makna penamaan Bangsawan Tinggi tersebut. Namun kata “sumpala” yang berarti “bantah” kiranya dapat dikenali sebagai suatu kosa kata lama. Sementara itu, kosa kata tersebut tidak pernah dipergunakan secara tunggal dalam penyebutan nama seseorang, terlebih jika itu adalah seorang “pangeran” (Ana’ Arung). Maka sebagaimana lazimnya, kata “sumpala” ditambahkan kata”tenri” didepannya sebagai bentuk penyangkalan yang berarti “tak/tidak”, sehingga pengertian lengkap  “La Tenri Sumpala” adalah ; Yang Tak Terbantahkan. Penamaan yang sama dan lazim bagi kalangan Bangsawan Tinggi pada masyarakat Bugis, misalnya ; La Tenri Bali (Yang Tak Terlawan), We Tenri AbEng (Yang Tiada Tara), La Tenri Liweng (Yang Tak terlampaui), dll.

Meretas dan memilah tokoh Abad -18  yang eksis di  Wajo-Bone  bernama  La Tenri Sumpala, sejauh ini baru didapati  1 nama yang sama namun lebih merupakan tokoh Tanete, Luwu, Wajo dan Bone, yakni : La Tenri Sumpala Arung KEru-KEru MatinroE ri Labossa. Beliau adalah putera La Oddangriu Dg. Mattinri Sultan Ahmad Fachruddin Datu TanEtE Datu Soppeng dengan Arung Appanang (Panguruseng Soppeng hal- 4, Andi Ridha - 1995). La Oddangriu adalah putera We Batari Tungke Sultanah Sitti Fatimah Datu Luwu dengan La Rumpangmegge To SappEile Opu Cenning Luwu. We Batari Tungke Sultana Sitti Fatimah Datu Luwu adalah puteri La Onrong To Palaguna Datu Luwu dengan We PattEkEtana Dg.  Tanisanga Petta MajjampaE Datu TelluE Salassana (Datu TanEtE). Kemudian We PattEkEtana adalah puteri We Tenriabang Dg. Baji Datu Mario ri Wawo Petta MatinroE ri PangkajEnE dengan La Mappajanci Sultan Ismail Datu TanEtE. Sementara itu, We Tenriabang Dg. Baji Datu Mario ri Wawo adalah adik kandung La Tenri Tatta Arung Palakka Petta MalampE’E Gemme’na ArumponE MatinroE ri Bontoala’ dan We Tenri Esa’ Mappolo BombangngE MaddanrengngE ri Palakka (Ibu La Patau Matanna Tikka ArumponE MatinroE ri Naga Uleng). Maka mutlaklah jika La Tenri Sumpala Arung KEru-KEru yang bersaudara kandung dengan La Tenri Peppang Arung Belo MatinroE ri Belo, La Tenri Dolong MatinroE ri La Mattoanging dan La Tenroaji Arung Appanang MatinroE ri JeppE ini adalah seorang Pangeran Bone dan Soppeng. Mereka pula adalah pangeran Luwu karena cucu langsung dari Datu Luwu Batari Tungke’. Kemudian mereka pula adalah Pangeran Wajo yang terhitung berhak mewarisi “Ranreng Tuwa” sebagai cicit La PakkokoE Arung Timurung Petta Ranreng Tuwa Wajo XVII.

Namun kemudian To Malebbiku Ibu Khery Aprilia mengatakan bahwa Petta Lasimpala bukanlah La Tenri Sumpala Arung KEru-KEru MatinroE ri Labossa sebagaimana yang dipaparkan diatas. Hal yang memang agaknya demikian, mengingat saudara Zulkifli Lasimpala menyebut adanya perhubungan dengan La Paulangi dan La Tokong. Kedua tokoh Wajo – Bone yang menurut himpunan silsilah dalam Kedatuan  Luwu yang salinannya ada pada penulis diuraikan sebagai 2 tokoh yang berlainan nazab.

La Paulangi atau La Raunglangi To Sadapotto DaEng Lebbi Paddanreng BEttEmpola XII adalah putera WE Jai Arumpugi Petta Paddanreng Tuwa (puteri La Tenrotajang To Sengngeng dengan WE Tenritiro Ida Nyilli’ Petta Padddanreng Tuwa)  dengan La Sikati To PalettEi MallangkanaE Paddanreng BEttEmpola XI (putera La Patampari Totenriwale’ dengan WE TEnriakkoreng MattojangngE Paddanreng BEttEmpola X). Maka La Paulangi adalah saudara se-ibu dengan WE Sitti Hadijah Ida SalEng Arumpugi Petta Paddanreng Tuwa (ayahnya adalah La Pakallongi To Allinrungi Arung Matoa Wajo XVII alias To Ali). Kemudian dari pernikahan WE Sitti Hadijah Ida SalEng dengan La Maddaremmeng Arung Palakka Petta MatinroE ri Bukaka, melahirkan : La PakkokoE To AngkonE MaccomengngE To TadampaliE Arung Timurung Petta Paddanreng Tuwa (Ayahanda La Patau’ Matanna Tikka). Maka sesungguhnya La PakkokoE yang merupakan Pangeran Utama Bone adalah kemenakan La Paulangi yang adalah Pangeran Wajo.
La Paulangi dinikahkan dengan We Tenri Ampa Arung Singkang  (puteri La TenrisEmpe’ To Patiroi dengan WE Temmangedda Dala Teppura), melahirkan :

1. La Maddukelleng Arung Singkang Sultan Pasir Arungngi ri PEnEki Petta Arung Matoa PamaradEkangngi TanaE Wajo,
2. La SampennE’ Petta Labattoa Arung Liu Petta Cakkuridi ri Wajo,
3.  We Maddanaca Ida TalEmpeng Arung WaE Tuo Arungngi ri Bila,
4.  La Mallawa Dg. Mattemmu Paddanreng BEttEmpola XVI (La Malibureng),
5.  La Cobo’ To Sai Puanna Boko Dg. Situju Paddanreng BEttEmpola XIII (La Combong ?),
6. La MassEllEang Paddanreng BEttEmpola XIV,
7. La TEnradatu Paddanreng BEttEmpola XV,
8. La Bato’ Dg. Pagala (La Bangko).

La SampennE’ Petta Labattoa Arung Liu Petta Cakkuridi ri Wajo dinikahkan dengan We Barigau’ (puteri La Mappapenning To Appaware’ Ponggawa BonE MatinroE ri Tasi’na dengan I Mida Arung La Panning binti La Temmasonge’ ArumponE MatinroE ri Mallimongeng), melahirkan : 1). La Olling Arung Liu Ranreng Tuwa Petta MaddanrengngE ri BonE, 2). WE Sawe’ Arung Liu dan 3) WE Sikati I KambeccE’ Arung Palippu Petta Patola Wajo.

Merunut lebih jauh Himpunan Silsilah yang merupakan salahsatu koleksi perpustakaan Istana Kedatuan Luwu ini, WE Sikati I KambeccE’ Arung Palippu Petta Patola Wajo dinikahkan dengan La Sappo Petta Ugi Arung BElawa Pettai ri Palireng MatinroE ri CempaE (putera La Mappulana Arumpugi Petta Cakkuridi ri Wajo dengan We Bakke’ DatuE Kawerrang), melahirkan : 1). La Rappe’ Arung Liu SullE Paddanreng Tuwa, 2). We Busa Arung Belawa Petta WaluE, dan 3) La Maggalatung DaEng Pali’E Arung Palippu.

Adapun halnya dengan  La Tokong Petta PalEkoreng yang disebut pada Lontara Akkarungeng Bone (Andi Amir Sessu) sebagai “La Toto”, adalah putera La Mappulana Arumpugi Petta Cakkuridi ri Wajo dengan We Yabang . Maka La Tokong Petta PalEkoreng ini adalah saudara se-ayah dengan La Sappo Petta Ugi Arung BElawa Pettai ri Palireng MatinroE ri CempaE. Hal yang sering didapati kekeliruan pada banyak Sitambung yang terbit pada tahun 1950-an, dimana tokoh “La Mappulana” ini seringkali disebut sebagai ORANG YANG SAMA dengan “La SampennE’ Petta Labattoa Arung Liu Petta Cakkuridi ri Wajo”, hingga kedua tokoh ini menjadi kabur adanya.

La Tokong Petta PalEkoreng dinikahkan dengan We Rana Petta Paddanreng Tuwa (We Banna), puteri La Temmasonge’ ArumponE MatinroE ri Mallimongeng dengan WE Momo’ Aisyah, melahirkan : 1). We Hudaiyyah Petta Paddanreng Tuwa Wajo, dan 2). La Paranrengi ArungngE DaEng Sijerra.

Pada penguraian singkat ini yang merupakan penelusuran saya mengenai tokoh Petta Lasimpala Arung Singkang, bukanlah dimaksudkan sebagai  “sanggahan” untuk menggugurkan pendapat atau fakta sebelumnya yang didapatkan saudara @zulkifli Lasimpala dari berbagai sumber sebelum ini. Namun yang sesungguhnya, dari penelusuran saya perihal silsilah para tokoh-tokoh utama Wajo dalam era abad 18, tidak menemukan nama tokoh yang dimaksud. Tetapi bukan berarti penyangkalan atas tokoh besar Wajo yang membanggakan tersebut. Keberadaan tokoh Petta Lasimpala yang Berjaya diperantauan adalah suatu kebanggaan besar bagi tanah leluhurnya, sekaligus sebagai topic menarik untuk ditelusuri lebih jauh, mengingat wejangan Guru Besar kami Prof. Dr. Andi Ima Kesuma, M.Pd, bahwa : “Sejarah adalah Teka Teki”. Kemudian pada kesempatan lain, adinda kami @Faisal Toware’, menyatakan : “Sejarah bukanlah Ilmu Pasti”. Maka banyaklah kemungkinan yang bisa saja menjadi kunci rahasia yang meliputi diri tokoh Petta Lasimpala dari Lontara Negeri Leluhurnya, diantaranya : Petta La Simpala Arung Singkang ditulis dengan nama lain. Hal yang sering terjadi pada tokoh lainnya, misalnya : La Raunglangi To Sadapotto (Lontara Luwu) tertulis sebagai La Paulangi To Sadapotto (Lontara Bone).

Mengingat gelar Petta Lasimpala sebagai “Arung Singkang”, besar dugaan penulis jika tokoh besar tersebut adalah salahseorang putera La Maddukkelleng Arung Singkang Sultan Pasir Petta Arung Matoa Wajo PamaradEkaEngngi TanaE Wajo . Seorang tokoh besar Wajo yang dinobatkan sebagai Arung Matoa Wajo XXXI pada tanggal 6 Nopember 1736 dan meletakkan jabatan sebagai Arung Matoa Wajo dalam tahun 1754.

Bahwa Puetta La Maddukelleng adalah satu-satunya Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang memenangkan perang melawan VoC selama hidupnya. Sejak kemenangannya atas VoC  dalam perang besar di Wajo pada tahun 1741, hingga wafatnya beliau dalam tahun 1765, VoC tidak pernah lagi berani menyerang Kerajaan Wajo. Maka selama 23 tahun itu, Kerajaan Wajo adalah satu-satunya Kerajaan Merdeka di Nusantara.

Fakta yang menjadi dasar atas dugaan penulis perihal perhubungan Petta La Simpala dengan La Maddukelleng, adalah sbb :

1. Kesamaan keduanya sebagai Arung Singkang. Suatu tahta yang selalu didapati berdasarkan warisan turun temurun, sebagaimana Petta La Maddukelleng memperolehnya atas warisan dari ibunya, yakni “ We Tenri Angka Arung Singkang” (We Tenri Ampa);

2. Kemampuan mobilitas dan kekuatan maritime yang mengerahkan 300 kapal memuat prajurit dan keluarganya ke Gorontalo dalam abad 18, kiranya hanya dapat dimiliki oleh Bangsawan Tinggi Wajo yang berkuasa dan kaya raya pada masa itu. Suatu fakta yang dengan mudah dapat dihubungkan dengan tokoh Puetta La Maddukelleng Arung Singkang, satu-satunya tokoh Sulawesi Selatan dalam abad 18 yang memiliki kekuatan Angkatan Laut yang bahkan dapat mengatasi kemampuan VoC.

Berdasarkan fakta tersebut, penulis menduga ;

1. Petta La Simpala adalah salahseorang putera Petta La Maddukelleng yang bersaudara kandung dengan I Singkang, sebagaimana diuraikan pada Lontara Tana Tengnga Belawa, sbb : Petta PamaraEkaEngngi Wajo siala I Caba’ ana’na La Sipatu Arung Belawa, ana’ni : Petta LaoE ri Wani sibawa I Singkang. I Singkang siala La KunEng Arung BElawa Orai’ Datui ri Suppa Arungngi ri Alitta Addatuatta ri Sawitto, ana’ni La PabEangi Arung BElawa Datui ri Ganra..
   Berdasarkan ini, maka besar dugaan penulis jika “Petta LaoE ri Wani” adalah orang yang sama dengan La Simpala Arung Singkang;

2. Hijrahnya Petta La Simpala ke Gorontalo tiada lain akibat pergolakan politik di Wajo pada pasca mundurnya ayahandanya (Petta La Maddukelleng) selaku Arung Matoa Wajo dalam tahun 1754. Sebagaimana diketahui, bahwa mundurnya Petta La Maddukelleng adalah akibat desakan Puetta La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana Petta Pilla ri Wajo yang mengatasnamakan rakyat  Wajo dengan mengatakan : “cauni atammu Towajo’E mammusu..” (para rakyat Wajo telah lelah berperang..). Hal yang bermula setelah kemenangan gemilang Angkatan Perang Kerajaan Wajo atas VoC dan sekutunya (Bone, Soppeng dan Sidenreng), Petta La Maddukelleng giat melancarkan aksi serangan balasan terhadap Kerajaan sekutu VoC. Hingga kemudian, Arung Matoa Wajo tersebut merencanakan penyerangan ke Sidenreng sebagai hukuman terhadap Puetta La Pawawoi Addatuang Sidenreng yang loyal terhadap VoC. Namun rencana tersebut dihalangi oleh Puetta La Pallawagau’ Pilla Wajo yang juga didukung oleh sebagian besar personel  Arung EnnengngE Wajo yang lainnya. Hal yang sesungguhnya amat mengecewakan bagi Arung Matoa Wajo selaku pribadi karena mengetahui keunggulan diplomasi Petta Pilla’E yang didukung oleh ke-lima Arung EnnengngE tersebut sesungguhnya didasari atas “kepentingan pribadi”, mengingat Addatuang Sidenreng La Pawawoi tiada lain adalah kemenakan sekaligus menantu dari La Pallawagau’ Petta Pilla Wajo sendiri.

I Tungke’ Arung TEmpE, ibunda La Pawawoi Addatuang Sidenreng adalah saudara kandung La Pallawagau’ Datu Pammana Petta Pilla ri Wajo. Kemudian dari pernikahan La Pallawagau’ Datu Pammana Petta Pilla ri Wajo dengan We Tenriabang DatuE Watu Petta MatinroE ri PangkajEnnE’ (puteri La Mappasiling Datu Pattojo Petta MatinroE ri Duninna dengan We TenrilElEang Datu Luwu Petta MatinroE ri SorEang), melahirkan ; I Sompa Dg. Sinring Datu Pammana (isteri La Pawawoi).

Kekecewaan Puetta La Maddukelleng atas sikap Panglima Andalannya(La Pallawagau) yang didukung oleh sebagian besar personel Arung EnnengngE yang lain, berujung pada pengunduran dirinya selaku Arung Matoa Wajo, kemudian meninggalkan Tosora (ibukota Wajo) menuju PEnEki dan silih berganti menetap di Singkang karena beliau adalah Raja pada kedua negeri Lili Tana Wajo tersebut.

Adapun halnya dengan tampuk Arung Matoa Wajo yang ditinggalkan oleh La Maddukelleng, o selanjutnya dinobatkanlah La Maddanaca Arung WaEtuo selaku Arung Matoa Wajo XXXII. Beliau hanyalah memerintah selama kurang lebih 1 tahun karena wafat akibat diamuk oleh seorang Wajo yang gila di Makassar pada tanggal 2 September 1758.

Sepeninggal Puetta La Maddukelleng ke PEnEki, terutama pada pasca wafatnya La Passaung Arung MEngE Puanna Laomo’ Arung Matoa Wajo XXXV dalam tahun 1761, tampuk tahta Arung Matoa Wajo lowong selama 5 tahun. Maka dalam masa tenggat kekosongan itu , suasana politik Kerajaan Wajo berada dalam  genggaman Puetta La Pallawagau Pilla Wajo. Maka dapatlah diperkirakan bagaimana nasib putera puteri Puetta La Maddukelleng pada era itu. Hal yang sesungguhnya tidaklah mutlak dikucilkan dalam kancah per-politikan Tana Wajo, namun kemarahan dan kekecewaan Puetta La Maddukelleng mestilah berpengaruh kepada mereka sehingga bisa saja “ikut mengisolasi” diri. Kiranya hal tersebut dapat dimengerti adanya.

Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, bahwa Puetta La Maddukelleng adalah “Pemilik Pribadi” atas Armada Laut yang terhitung paling canggih pada zamannya serta pasukan mariner gabungan yang dibawanya dari Pasir dan Kutai Kertanegara. Armada Laut yang bersenjata lengkap itu dipesannya khusus dari Perancis dan dibelinya dari harta warisan atasnamanya oleh saudaranya di Kalimantan (DaEng Matekko). Maka pertanyaannya kemudian, : Kemanakah semua armada itu pada pasca wafatnya beliau ?. Bagaimanapula nasib para pasukan mariner gabungan yang hanya loyal terhadap Puetta La Maddukelleng tersebut pada pasca mengundurkan diri selaku Arung Matoa Wajo ?. Maka besarlah dugaan penulis jika tidaklah mungkin jika Armada dan Awaknya tersebut tetaplah mengabdikan diri sebagai “property” Wajo dengan atasnama “Bangsa dan Negara”. Namun tentu saja amat riskan jika kekuatan tersebut menetap di Wajo terutama pada pasca wafatnya Puetta La Maddukelleng, maka armada perang dan pewarisnya tersebut mestilah meninggalkan Tana Wajo, dimana kemudian diketahui tiba di Gorontalo.

Adalah hal yang menarik, wafatnya Puetta La Maddukelleng dan dimakamkan di Singkang ditandai dengan batu nisannya yang “unik”, yakni : Jangkar Kapalnya. Bahwa “jangkar/batu sauh kapal” adalah tanda berlabuh bagi suatu kapal. Maka “terpisahnya” suatu jangkar kapal dengan lambung kapal itu adalah pertanda kapal laut itu “pergi” mengikuti arah angin dan arus perairan laut. Dengan demikian, diletakkannya batu sauh diatas pusara Puetta La Maddukelleng dapat saja berarti :

1). Pengembaraan Puetta La Maddukelleng tiba pada tujuan terakhirnya (keharibaan Penciptanya);
2). Para keluarga dan pengikutnya seakan berkata : “Puetta La Maddukelleng adalah JANGKAR kami, maka setelah wafatnya, tali yang menghubungkan antara jangkar dan kapal kami terputuslah sudah. Maka kapal kami terpaksa pergi menuruti angin kemana nasib dan takdir berhembus membawa kami serta..”.

Kiranya inilah yang dapat saya uraikan perihal retasan mengenai Tokoh Besar Petta Lasimpala. Bahwa sejarah adalah teka-teki yang selalu menarik untuk dipecahkan, maka inilah yang mendorong saya untuk meretas sebagaimana adanya yang dapat saya haturkan, selain atas rasa hormat dan bangga saya terhadap saudara @Zulkifli Lasimpala yang selama ini gigih menelususri jejak kesejarahan nenek moyangnya, yakni : Aru Lasimpala di Gorontalo. Bahwa Sejarah adalah bukan suatu Ilmu Pasti, maka dugaan-dugaan yang saya paparkan ini adalah bukanlah sesuatu yang mutlak kebenarannya, namun kiranya dapat menjadi bahan penelusuran selanjutnya.


Wallahualam Bissawwab.

DAFTAR BACAAN ;
1.  Amir Sessu, Andi, Drs,  Lontara Akkarungeng Bone – Kandepdikbud Kab. Bone – 1985, Watampone;
2.  Zainal Abidin Farid, Andi, Prof. Mr, Wajo Pada Abad XV – XVI – Penerbit Alumni – 1985, Bandung;
3.  Himpunan Silsilah, Bab. Wajo – Koleksi Perpustakaan Istana Kedatuan Luwu, Palopo;
4.  Lontara Panguriseng Tana Tengnga, - Koleksi La Wahide Dg. Mamiru Petta Pabbicara Tana Tengnga Belawa.



Keterangan Gambar ;
Dari kiri ke kanan : Penulis, Andi Baso Lolo Opu To Mappasossong Matoa WagE, Andi Kumala Idjo Somba Gowa (peci hitam), H. Andi Maradang Mackulawu Opu DaEngna Bau' Datu Luwu ke-40, Andi Gau' Opu Kheni, Prof. Dr. Ima Kesuma Opu BalirantE Luwu, Andi Rahmawati Sultani Opu Pabbiccara Luwu, Andi Maya La Pawawoi dan Andi Aisyah LambogE.. Acara ramah tamah di Istana Balla' Lompoa Gowa, 17 Juni 2013.