Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Jumat, 10 Desember 2010

Ininnawa



PERJALANAN SI DYONG

Hidup ini ibarat menulis pada sebuah buku puisi.. , demikian tulisnya pada buku diarinya suatu hari. Maka kutuliskan kembali tentang perjalanannya, seorang “Dyong” yang kerap menulis puisi-puisinya yang aneh dan melangkolis itu pada laman “Telaga Hati” di Blog ini. Semoga bermamfaat adanya…

Sang Pemimpi

Tentang seorang remaja pengejar mimpi yang bahkan tidak mengerti apa mimpinya yang sebenarnya. Berawal dari kekagumannya terhadap kesuksesan kedua sepupunya yang hidup ditengah gemerlapnya kota Melbourne, Australia. Hidup dan bergaul ditengah-tengah para orang bule dengan budaya “trendy” yang serba “wow” itu, lalu pulang dengan membawa berbagai hal yang serba mutakhir. Maka itulah yang diimpikan “Si Dyong”, seorang pemuda belasan tahun yang pemalas dan bahkan tidak pernah tahu bagaimana menjalani hidup yang sebenarnya.
………………………………………………

“Dyong”, demikian teman-temannya memanggilnya. Remaja berpostur tinggi kurus dan berambut panjang, hingga menutupi kedua bahunya yang ringkih. Penampilannya yang dekil itu semakin nampak khas dengan sebentuk kaca mata minus buram, bertengger pada hidungnya yang agak pesek. Entah kapan waktunya ia kelihatan sedang tidak menghisap sebatang rokok. Bibirnya telah menghitam berkat getah tembakau yang diolesinya sebanyak 2 lusin batang perhari. Sialnya, ia justru  belum pernah bisa menghasilkan uang sepeserpun pada waktu itu. Rokok yang diisapnya tiada lain adalah hasil rengekannya pada ibundanya. Seorang ibu yang super lembut, takkan pernah tega mendengar putera bungsunya itu merajuk hingga berlama-lama. Namun berkat rokok itu pulalah sehingga ia mendapatkan “lisensi” untuk melakukan perantauannya.

Ba’da Isya, tidak seperti biasanya Dyong nampak duduk anteng di ruang tengah rumahnya. Biasanya ia telah keluyuran kemana-mana pada waktu sesudah magrib.  Setelah selesai makan malam, ia mendekati ayahnya yang sedang tekun membaca majalah Panjimas. Pemuda itu duduk bersila di kursi kayu seraya menghisap rokoknya dalam-dalam. Entah kenapa, lelaki satu ini selalu membuatku segan  walau kutahu jika ia ayahku sejak 18 tahun ini, pikirnya gundah.

“Ada apa, nak ?”, kata Sang Ayah seraya meletakkan majalahnya.
“Anu, ayah.. saya mau minta ijin merantau..”
“Ha ?!. Apa saya tidak salah dengar ?”

Orang tua itu tentu saja heran. Bagaimana tidak ?!. Si Dyong yang kerjanya cuma merokok, mabuk-mabukan, berkelahi dan telah beberapakali dikeluarkan pada beberapa SMA ini mau merantau ?

“Mau merantau kemana ?”, tanyanya acuh tak acuh.
“Saya berencana mau ke Australia, ayah”, jawabnya pasti.
“Apa yang akan kau lakukan disana ?”
“Pu Maraddiaku (nama sepupu si Dyong) mau membimbingku disana”
“Ah, bagaimana kau bisa tahu ?!”

Tentu saja ayahandanya ragu. Siapa sih yang bisa tahan membina si Dyong yang Bengal ini ?. Remaja yang sedang duduk di Kelas III SMA ini sudah cukup membuatnya pusing. Entah sudah berapakali ia menerima surat panggilan dari pihak sekolah. Namun ia sungguh malu memenuhi panggilan itu, maka selalu diwakilkannya pada anak sulungnya, kakak si Dyong. 

“Pu Maraddiaku (nama sepupu Dyong) sendiri telah menyuratiku, ayah..”, jawabnya terbata-bata sambil mengansurkan amplof surat yang diterimanya tadi siang. Ayahnya membaca surat itu dengan seksama lalu melipatnya dengan rapi.

“Anakku, bagaimana kau bisa merantau jika membeli rokok sendiri belum bisa ?”, tanyanya dengan mimik serius.

“Makanya itulah, ayahanda.. saya mau merantau dengan tujuan  belajar menghasilkan uang untuk beli rokok”, jawabnya pasti.

Sungguh, jawaban itu sangat ampuh. Sang Ayah akhirnya menerbitkan ijin merantau Si Dyong, walau Sang Ibu melakukan protesnya dengan aksi tutup mulut selama berhari-hari…
…………………………………………


Merantau ke Bali

Awal tahun 1989, saat ia mestinya sibuk mempersiapkan diri menghadapi EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), namun ia lebih fokus mengurusi passport dan segala sesuatunya untuk memulai perantauan pertamanya. Dasar Dyong si Mulut Besar, ia memberikan jika ia akan merantau jauh ke Australia kepada setiap orang yang dikenalnya. “Aga muassuroang ? Pauwang mua’ uwelliangko matu’ akko lettu’na” (Mau pesan apa ? Bilang aja, nanti kubelikan setelah aku tiba disana..), katanya. Maka bermacam-macamlah pesanan teman-temannya. Orderan itu tersusun rapi pada buku memonya. 

Bulan Puasa dalam tahun 1989, Dyong bersama Andi Alang (Kakak Sepupunya) bertolak di Pelabuhan Laut Soekarna Hatta, Makassar menumpang KM. Tidar menuju ke Surabaya. Mereka diantar segenap keluarga dekatnya yang dimuat dalam 3 mobil bus. Ada rasa sedih bercampur dengan girang yang dirasakannya kala itu. Sedih karena harus berpisah dengan keluarga dalam waktu yang lama, serta gembira karena cita-citanya ke Australia semakin dekat terkabul.

Dari terminal Makam Paneleh di Surabaya, kedua remaja itu bertolak ke Denpasar Bali dengan menumpang mobil bus antar pulau. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan selama 12 jam, maka perjalanan itu sampai di terminal Ubung, Denpasar. Tak tergambarkan, bagaimana senangnya si Dyong ketika melihat para turis bule bersiliweran di Pulau Dewata yang terkenal itu. “Wah, terasa kaya udah di Melbourne nih.. Orang bule dimana-mana..”, soraknya dengan riang. 

Dengan susah payah, kedua remaja tanggung itu mencari alamat Ida Bagus Putu Mudita, seorang teman kakak mereka yang juga tinggal menetap sambil bekerja di Hotel Hyatt, Melbourne. Pak Mudita sedang cuti dan pulang selama masa itu untuk menyelesaikan pembangunan rumahnya di Sanur, Bali. Rencananya, Pak Mudita juga yang akan memandu kedua remaja itu dalam pengurusan visa kunjungan di Consulate Australia di Denpasar.
………………………………………………………………


Harapan yang Kandas

Setelah menunggu selama sebulan sejak memasukkan formulir permohonan visa ke Australia, akhirnya tibalah surat pemberitahuan dari Consulate. Dengan penuh harapan, Dyong membuka amplof keren itu. Isinya hanya berupa selembar kertas bertuliskan pemberitahuan dalam bahasa Inggris yang tidak begitu dipahaminya. Maka melalui Pak Mudita, surat itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. “MAAF, PERMOHONAN VISA ANDA KE AUSTRALIA BELUM DAPAT KAMI KABULKAN PADA SAAT INI KARENA MENURUT PENILAIAN KAMI TERHADAP BERKAS DAN KELENGKAPAN SAUDARA BELUM BONAFID..”, demikian yang tertulis pada surat itu.

Andai gunung Agung meletus pada saat itu, mungkin jauh lebih baik bagi Dyong. Remaja pemimpi itu termangu-mangu dengan pemikiran melayang entah kemana. Magana’E ? Agana Gau’ku ? (Bagaimana aku kini ? Apalah lagi yang bisa kulakukan ?).

“Lebih baik kita berkemas untuk pulang, dik..”, kata Andi Alang.
“Tidak ! Saya tidak mau pulang !”, jawab Dyong dengan gusarnya.
………………………………………………………………

Pelajaran Awal

Melalui jasa baik Pak Mudita, keduanya dipekerjakan di Abian Srama Hotel/Restaurant yang terletak di kawasan Semawang, Sanur. Mereka juga tinggal menginap di tempat itu sambil ikut bekerja mencuci piring dan peralatan dapur pada malam harinya. Dyong si bocah pemabuk yang bandel itu kini belajar bekerja keras. Mencuci piring yang penuh lemak babi, itulah profesi pertama dalam hidupnya.

Setelah bertahan selama 2 bulan, keduanya merasa tidak betah di Abiansrama. Mereka kembali memohon kepada Ida Bagus Putu Mudita kiranya dicarikan lagi tempat lain. Maka Bangsawan Bali yang baik hati itu menitipkan mereka lagi pada hotel lainnya, yakni : Swastika Bungalow. Andi Alang bekerja pada malam hari sebagai Waiter (Pelayan) dan si Dyong bekerja pada siang harinya sebagai Roomboy (Cleaning Service). 

Dyong si bocah malas yang belum pernah memegang gagang sapu di rumahnya, kini mendapatkan pengalaman profesi kedua, yakni : Tukang bersih-bersih kamar. Ia sempat menjadi bahan tertawaan teman-teman sekerjanya pada hari pertama kerja. Si Dyong mengepel lantai sambil berjalan maju, otomatis lantai yang dibersihkannya kotor kembali oleh bekas injakan sepatunya. Beginilah jadinya kalau tidak terbiasa bekerja di rumah, pikirnya.

Tiga bulan berlalu dalam masa adaptasi yang berat. Pak Mudita telah habis masa cutinya dan kini sudah kembali ke Melbourne. Kedua remaja yang belajar hidup itu mencoba bertahan hidup di Denpasar tanpa keluarga atau teman sekampung. Mereka hidup dari kiriman uang saudara mereka yang tinggal di Melbourne, sambil mendapatkan tambahan-tambahan sekedarnya sebagai pegawai magang di Swastika Bungalow. 

Hingga pada suatu hari, mereka kedatangan yang tak disangka yakni dua orang kerabatnya  dari Ujung Pandang (Makassar). Mereka ingin pula mencari pengalaman serta peluang kerja di Pulau Dewata itu. Namun, setelah mengunjungi setiap sudut pulau itu, peluang yang diharap itu tidak kunjung didapatkannya jua. Akhirnya pada suatu hari minggu, mereka memutuskan untuk mecoba peruntungannya di Pulau Jawa. Melihat  mereka berkemas untuk meninggalkan Bali, Andi Alang mengutarakan maksudnya untuk pulang ke Sulawesi. Ia mencoba membujuk Si Dyong untuk pulang bersama, lagi dan lagi.

“Dik, lebih kita pulang kampung saja dulu..”, katanya memelas.
“Sekali saya bilang TIDAK, tetap TIDAK !”, sahut Dyong.
“Maklumlah, dik.. saya harus pulang untuk ambil ijazah SMA dulu..”
“Tidak apa-apa, kanda pulang sajalah dulu..”
“Lalu kau bagaimana ?!”

“Saya tetap tinggal disini !”, kunci Si Dyong menutup diskusi itu sambil menutup telinganya dengan bantal. Bukan apa-apa, sebenarnya aku malu untuk kembali. Apa kata teman-temanku yang memesan dompet, topi dan jacket kulit dari Australia nanti ?. Tentulah mereka akan mencemoohkanku, “Aiish, madodongtoo palE’ unrumu..” (Aiish, payah kamu ..). Apa pula kata segenap keluarga yang 3 mobil bus mengantarku ke pelabuhan ?. Malu.. pokoknya malu. Apapun terjadi, aku akan bertahan di perantauanku, demikian kata hatinya. “IyE tongenna pawale’na akko to maborro ladde’ ..” (inilah akibatnya jika terlalu besar mulut..”.
Berhari-hari Andi Alang senantiasa membujuk adik sepupunya yang bandel itu, namun tidak juga bergeming. Sementara kerabatnya yang berkunjung beberapa waktu yang lalu, kini sudah pulang juga. Akhirnya dengan berat hati, ia mengemasi barang-barangnya lalu berangkat menuju ke Surabaya. Dyong mengantarnya hingga ke terminal Ubung. Andi Alang menangis sambil tetap membujuk seraya memeluk Adik Sepupunya. “TollEsuna sibawa, ndi’. Utajengpo siesso duang esso, taroni laosala tikE’ku iyE makkokoE..” (Marilah kita pulang bersama, dik. Nantilah kanda menunggumu dalam satu atau dua hari, biarlah ticketku hangus sekarang..). Sekali tidak, tetaplah tidak. Begitu jawaban si Dyong.

“Apalah nanti jawabku jika ayah bundamu bertanya tentangmu ?”
“Katakan saja jika saya sedang baik-baik saja disini..”
“Bagaimana jika terjadi apa-apa terhadapmu.. ?”
“Itu takdirku..”, sahut Si Dyong singkat.

Akhirnya, Andi Alang terpaksa berangkat jua dengan berat hati. Tinggallah si Dyong sendri bersama tekadnya merantau ke Australia yang tetap membara. Tekad yang pada akhirnya juga dijawab oleh perjalanan nasib yang berkata lain. Andi Alang yang pulang ke Sulawesi dengan tanpa ambisi dan beban janji terhadap siapapun  pada waktu itu,  kini berada di Melbourne, Australia. Ia telah menetap di benua Kanguru itu sejak berpuluh tahun lalu bersama anak isterinya tercinta. Sementara Dyong, pemuda pemimpi itu menjalani pelajaran hidupnya dalam waktu cukup lama di Bali. Kini ia masih berada dalam dunia puisinya. Mengembara dalam samudera kata sambil menelusuri mimpinya yang seakan tak  pernah berakhir.
 ...............................................................................

Pada suatu ketika, penulis bertanya kepadanya.
“Apakah kini anda merasa gagal karena tidak bisa tinggal di Australia ?”.
 “Tidak !, aku tidak merasa gagal karena itu.”
“Alasannya ..?”
“Keinginanku yang kandas ketika itu, tiada lain merupakan proses yang harus kujalani. Perjalanan panjang menuju pengenalan jati diri,  dimana pada akhirnya kudapat menyadari bahwa Allah senantiasa memilihkan jalan terbaik bagi setiap hamba-Nya. Bagaimanapun dan dimanapun aku saat ini, kuyakin jika inilah saat dan kondisi terbaik yang dianugerahkan-Nya kepadaku.. Sebuah karunia yang sangat kusyukuri..”.

Wallahualam Bissawab..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar