Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Senin, 30 Juli 2012


SANG RAJA DENGAN MARTABATNYA

Panto’ Layara, demikian para nelayan di Tanjung Bira menyebutnya. Sementara itu, di belahan dunia lain menyebutnya dengan nama berbeda. BalE Toppa’, sebutan dari orang Parepare atau Sailfish, kata para bangsa yang berbahasa Inggris. Namun apapun namanya, masyarakat bahari di samudera manapun ia berada menganggapnya sebagai “Raja Ikan”. Perenang tercepat dimuka bumi yang konon mampu mencapai 84 mil/jam. Prestise tertinggi bagi pe-Mancing Mania yang berhasil menariknya ke dek perahu.

………………………………………………………………………………………………….

Sebuah pengalaman kecil ketika bermukim di Tanjung Bira dalam tahun 1999. Terdorong rasa ingin tahu perihal pengalaman “Pallanra” (penjaring), pada suatu malam saya meminta ikut menjaring pada Pak Ara, seorang nelayan di Panrang Luhu. Walhasil, saya pun ikut menurunkan jaring selebar ± 3 depa dengan sepanjang ± ½ mil. Sambil menunggu saat menarik jaring, kami membuang sauh di pinggir cerukan batu di pantai. Tidak lama menunggu, tiba-tiba “blaaarr !!”, saya dikejutkan dengan kecipak air disusul letupan permukaan air yang agaknya terpukul keras !. Pastilah itu letupan dari pukulan ekor ikan yang pastinya berukuran cukup besar, pikirku.

“Ha ha.. muppamaki’ sE’rE panto’ layara !”, seru Pak Ara kegirangan.

“Ikan apakah itu, pak ?”, tanyaku penasaran

“Ikan Marlin, KaraEngna Juku’ka…”  

Maka pelan-pelan, kami menarik bentangan jarring dengan hati-hati. Berbagai macam ikan yang didapat, namun perhatianku tertuju pada ikan Panto’ Layara yang disebut sebagai Rajanya Ikan itu. Saya bayangkan jika nanti kami akan bergumul untuk menaikkannya di perahu yang tidak seberapa besar itu. Namun ternyata, dugaanku itu keliru. Raja Ikan yang memang nampak anggung itu ternyata sudah mengambang dalam keadaan mati.

“Koq sedemikian cepat matinya, pak ?!”, sergahku agak kecewa.

“Memang begitu halnya dengan ikan-ikan Panto’ yang terkena jaring. Berbeda halnya kalau terkena pancing, ia akan melawan dengan gigih hingga nafas terakhirnya. Namun kalau terbelit jaring, ia melompat satu kali, lalu mati dengan cepat. Rupanya ia terkena serangan jantung..”, terang Pak Ara sambil mengisap lintingan tembakaunya.

“Duh, mahluk yang bermartabat tinggi..”, pikirku seketika itu. Ketika kemerdekaannya terbelenggu, ia berusaha membebaskan diri dengan segenap daya terakhirnya. Namun ketika dirasanya tiada harapan karena dibelit erat oleh jaring yang digulungnya sendiri, ia segera melepaskan jiwanya dengan tanpa ragu. “Kalian takkan menyentuhku dalam keadaan bernyawa !”, kira-kira demikian pekik terakhirnya.

Wahai, inikah wujud “matanrE siri “ (martabat tinggi) ?. Kearifan leluhur Sulawesi Selatan dan Barat senantiasa menanamkannya bagi generasi pelanjutnya. Namun sesuatu yang agaknya disadari dengan pahit jika telah tergerus oleh budaya kekinian. Nilai yang standard pemaknaannya, semakin menurun dari waktu ke waktu.



Wallahualam Bissawab..

Sabtu, 28 Juli 2012


LIMA TUNAS KEBAIKAN DAN KELIMA PENYAKITNYA



Makkedai La Baso, : Aga gau’ tennaddimunringi sesse’kalE ?

Makkedai TomaccaE ri Luwu, : Limampuengengngi tennaddimunrinna sesse’ kale. Mula-mulanna ; NawanawaE. Maduanna ; Tangnga’E. Matellunna ; PangilEwE. Maeppana ; Siri’E. Malimana ; Tike’E.



Naiyya sampoengengngi nawanawaE ; AtakkalupangngE

Naiyya sampoengengngi tangnga’E ; AmasairengngE

Naiyya sampoengengngi angilEngngE ; AtempongengngE

Naiyya sampoengengngi siri’E ; AngowangengngE

Naiyya sampoengengngi tike’E ; Capa’E



Terjemahan :



Berkatalah La Baso, : Perbuatan apakah kiranya yang tidak berakhir dengan penyesalan ?

Berkatalah TomaccaE ri Luwu, : Lima perbuatan yang tidak berakhir dengan penyesalan. Pertama ; Pemikiran yang panjang. Kedua ; Pertimbangan yang matang. Ketiga ; Menyiapkan pilihan alternative. Keempat ; Memprioritaskan azas martabat. Kelima ; Senantiasa berhati-hati (waspada).



Adapun yang menutupi pemikiran ; Kelalaian

Adapun yang menutupi pertimbangan ; Amarah

Adapun yang menutupi alternative ; Kepongahan

Adapun yang menutupi martabat ; Keserakahan

Adapun yang menutupi kewaspadaan ; Sikap memandang enteng.



………………………………………………………………………………………………….





Allahumma inniy dloii’fun.. (Ya Allah, sesungguhnya hamba-Mu ini lemah..), demikian terkadang rintihan abdi ini. Namun sesungguhnya pengakuan itu tiada lain, adalah : Mannoko Ata-Ata (ngedumel abdi) belaka. Mulut bersyair merendah, namun hati bersyair pongah menyanjung diri tiada henti.



Wahai, apakah itu “Mannoko Ata-Ata”, ayah ?, tanya putera bungsuku suatu ketika. Bagaikan abdi yang mengerjakan perintah tuannya dengan berat hati. Ia melakukannya dengan malas-malasan seraya mulut berceloteh penuh keluhan, namun dikerjakannya jua. Inilah orang yang paling menderita selama hidupnya. Memandang amanat sebagai “penjajahan”, bukannya sebagai suatu kehormatan. Maka jadilah “Arung” selama hidupmu, anakku.



Bagaimana halnya “Arung” (bangsawan) itu, ayahku ?, tanyanya kemudian. Ia adalah “pertuanan” atas kehendak nuraninya. Ia tidaklah mesti seorang Bos atau Pejabat Tinggi dalam lingkup profesinya. Namun ia senantiasa memandang segala tugas yang dilimpahkan kepadanya sebagai suatu kehormatan. Sekecil apapun fungsinya dan serendah apapun jabatannya, ia memandangnya sebagai suatu anugerah dari Yang Maha Kuasa, muara rasa syukurnya. Maka kesehariannya senantiasa berlimpah kehormatan yang senantiasa dijaganya dengan melaksanakannya melalui ikhtiar terbaiknya. Sungguh, seseorang tidaklah mungkin mendapatkan penghargaan atau kehormatan dari orang lain, sebelum ia mampu menghargai dirinya sendiri.



Penghargaan atas diri sebagai amanat Tuhan, maka ia memberdayakan “nawa-nawanna” (pemikiran logisnya) sebelum berbuat. Bagaimana melakukannya dengan cara sebaik-baiknya ?. Maka sungguh ia adalah professional. Kemudian menggunakan “tangnga” (pertimbangan) sesuai nalar dan akal sehatnya. Bagaimanakah nanti hasil atau akibatnya ?, maka ia sesungguhnya adalah arif menurut standard kepribadiannya. Seorang yang arif mestilah tidak mudah dikuasai nafsu amarah yang kerap menutupi nalarnya.



Memenuhi pertimbangan nalarnya, iapun memperhitungkan akibat dan solusi lain sekiranya perkiraannya tidak sesuai dengan harapannya. Maka ia adalah orang yang lapang jiwa, luas tak bertepi. Suatu pribadi yang tidak dirasuki kesombongan sehingga menemukan jalan “penyerahan” terhadap penguasa dirinya, yakni : Allah Subhanahu Wata’ala. Duhai, hamba hanyalah pelaku atas fitrah yang Kau anugerahkan, namun Engkaulah penentu pada akhirnya, demikian senandung hatinya selalu.



“Malempu na mapaccing bate lalengna..” (Lurus dan bersih setapak yang dilaluinya), berkat hakikat martabat ikhtiarnya. Rasa syukurnya terhadap se-bagaimana-pun dirinya kini, tidak menyisakan ruang untuk memiliki sesuatu yang bukan miliknya. Iapun menyenangi segala kecukupan, namun tidaklah tamat terhadap hal yang berlebih.



Apakah ia mutlak memakai gelar “Arung” didepan namanya, Ayah ?, celetuk puteraku lagi. Duhai, anakku. “Arung” (bangsawan) yang sesungguhnya adalah bagi yang mampu membebaskan dirinya dari ke-lima “tungkup” diatas. Ia adalah orang yang mawas diri (matike’) pada setiap tarikan nafas kehidupannya. Maka baginya, ia adalah Pertuanan Yang Sejati sebagaimana dijanjikan Allah padanya, yakni : Khalifah dimuka bumi, dimanapun ia berada.



Wallahualam Bissawab..







  


Selasa, 24 Juli 2012

Pengetahuan Merawat Fitrah


MERAWAT FITRAH
by. La Oddang


Iyapa nariayaseng masse' assipulungengngE, rEkko nasio'i masE-masE. NaEkia, iyatopa nariyaseng mawerre' masE-masEwE, rEkko naranrengngi sipakatau na assipakalebbireng.


Sebuah persekutuan hidup dapatlah dikatakan kuat, jika diikat dengan semangat saling mengasihi. Namun semangat saling mengasihi satu sama lainnya itu nantilah dapat dikatakan erat, jika disertai dengan semangat tenggang rasa dan saling menghargai.

………………………………………………………………………………………………………


Membaca sebuah nama seorang tokoh besar dalam sejarah menimbulkan kagum dan hormat dalam sanubari. Namun darah mendesir seketika, jantung berdebar dan terbersit haru serta bangga yang teramat dalam ketika mengetahui jika tokoh tersebut adalah leluhur sendiri. Bukan sekedar mengetahui bahwa beliau adalah leluhur yang menurunkan nazabnya, namun bahkan dikuatkan oleh garis-garis yang sambung menyambung secara horizontal hingga sampai pada sebuah nama yang diketahui sebagai orang yang melahirkan salahsatu dari kedua orang tua yang melahirkan kita. Suatu penemuan yang membanggakan, sekaligus pengenalan baru bahwa ternyata “saya-pun” adalah turunan Raja pula. Selanjutnya, ada dua kemungkinan yang terjadi dengan pengetahuan baru tersebut, yakni : berbangga diri lalu menjelmakan diri sebagai bangsawan baru atau justru semakin mawas diri agar nazab mulia itu terpelihara adanya dengan meluaskan jalinan silaturrahmi dalam kerangka AmpE-AmpE MapEdEcEng (Budi Luhur).

Kiranya tidak semua orang merasa puas dengan pengetahuannya tentang asal-usulnya. Sejak kecil ia mengetahui nama lengkap ayah dan ibunya. Namun jika ditanya siapa ayah bunda kedua orang tuanya, paling banter ia hanya menjawab : nEnE ambo'ku (kakekku) atau nEnE indo'ku(nenekku) saja. Lebih jauh jika ditanya, siapa pula yang melahirkan mereka ?. Maka iapun menjawab, “.. mereka adalah 8 orang nEnE uttuku (buyutku) yang juga saya tidak tahu namanya”. “Buat apa sih mengetahui nama mereka yang telah lama tiada ?!”, ia pun balik bertanya. “..toh mereka sudah tidak bisa memberi apa-apa lagi..”, rungutnya kemudian.

Adalah hal yang penting untuk mengetahui sejarah atau setidaknya nazab diri sebagai bagian dari pengenalan terhadap diri sendiri. Seseorang akan sulit mengenal orang lain secara benar jika bahkan ia tidak mengenal dirinya sendiri dengan jujur pula. Maka tanpa pengenalan yang tepat itu, seseorang akan sulit menempatkan diri secara tepat pula sebagai bagian dari masyarakat yang melingkupinya. "Siseng naita matanrEgi alEna, siseng naita mariawagi alEna.." (..sekali memandang diri terlalu tinggi atau memandang diri terlalu rendah..). Akibatnya, jika memandang diri terlalu tinggi dari yang sebenarnya, pastilah memandang rendah orang lain. Sekiranya ia memandang diri lebih rendah dari yang sepantasnya, iapun terjangkit penyakit iri hati pada orang lain. Akhirnya iapun akan menjadi orang yang terkucil dari lingkup sosialnya.

Sebuah kejadian menyangkut perihal diatas, terjadi pada suatu acara mappacci (penabalan daun pacar bagi calon pengantin) yang dihadiri ayahanda. Pertemuan keluarga jauh dekat itu menjadi ajang perbincangan perihal perhubungan silsilah antar mereka dalam suasana penuh kekeluargaan. Diantara yang hadir, adalah seseorang yang selama ini disebut Petta3) oleh anak cucunya dan dikenal pula sebagai orang yang angkuh. Konon ia pernah berucap bahwa tiada siapapun di Belawa yang bisa ia sebut sebagai "Pueng" (Tuanku) selain dari Datu Belawa sendiri, itupun hanya sebatas penghargaan terhadap jabatan belaka. Menurutnya pula, nazabnyalah yang sesungguhnya menjadi pewaris sah "Akkarungeng ri Belawa" (Tahta Kerajaan Belawa).

Sejak tiba di majelis itu sekalipun tidak pernah berkata apa-apa. Iapun diam membisu seraya mengangkat dagunya dengan angkuh. Maka Petta Bau Labbo' yang juga hadir dalam majelis itu bertanya, "TabE', niga tosipalE asenna turungengki' idi ? ..tapau-paumoi EbarE' wedding ipasilolongeng assumpungengloloE.." (Maaf, mohon tanya siapa kiranya yang menurunkan anda ? ..kiranya bisa disebut agar dipertemukan garis kekerabatan..). Iapun menjawab dengan menyebut nama ayah ibunya, namun Petta Bau Labbo' agaknya tidak mengenal nama itu. Maka bertanyalah lagi, "niga turungengngi duaE topajajiangta ?" (siapa pula kiranya yang menurunkan kedua orang tua anda ?). "iyE dEE'na uwissengngi asenna….'.." (saya tidak tahu lagi siapa namanya.…….), jawabnya terbata-bata. Maka bertanyalah ayahanda, "MagipalE' tamattueng ladde' riyattana puengi akko tauwwE, rEkko dE' taissengngi apolEngetta ? AlEta laginna dE' tajeppui, lebbipahatu tauwwE.." (bagaimana mungkin anda memiliki keberanian disebut "Pueng" sama orang-orang kalau anda tidak tahu asal muasal ? Mengenal diri saja tidak, bagaimana diharapkan mengenal orang lain..).

Pengetahuan luhur terhadap nazab dan sejarah sesungguhnya adalah suatu wujud bakti seseorang terhadap pendahulunya. Pada suatu ketika, ayahanda berkisah tentang seorang tokoh antagonis sejarah Belawa bernama : La Oddang "Malloroseng" Petta MasuengngE Arung Belawa MatinroE ri Batu. Konon baginda adalah seorang raja yang amat lalim, terutama menyangkut nafsu berahinya yang berlebihan terhadap perempuan. Penamaan beberapa tempat di Belawa hingga kini, diantaranya : GalungngE La Wiring Laleng, Salo Lamate', LEmpong MakkunraiyyE, Salo Bulu Makkunrai dan lainnya adalah jejak sejarah kelakuannya yang bejat sehingga dijuluki pula sebagai Arung La Jaa' (Raja Jahat).

"..magi palE' tapakkEasengengnga' asenna, Etta ?" (..lalu kenapa saya diberikan pula namanya, Etta ?), protes penulis kala itu. Ayahanda hanya tersenyum ringan seraya menjawabnya, "Aggaatii aseng masolang nasaba' paddiolona, paddimonrinnapa matti padEcEngi, ana'.." (Andai sebuah nama rusak oleh pendahulunya, adalah kewajiban bagi turunannya kelak yang memperbaikinya, anakku..). Maka benarlah yang dimaksud dalam wasiat KaraEngta I Mappadulung Sultan Abdul Jalil KaraEng SanrobonE Tumenanga ri Lakiung Somba Gowa XIX, bahwa : adalah suatu kebajikan untuk mempelajari sejarah yang bertujuan memahami dan memperbaiki kesalahan nenek moyang selama hidupnya.4)

Adalah suatu kebajikan bagi seorang yang sedikit mengenal silsilah keturunannya, sekiranya pada suatu ketika berkenalan dengan seorang bergelar Andi lainnya, kemudian mengajaknya mappasilolongeng assisumpungeng (mempertemukan garis kesatuan nazab) dengan niat meluaskan silaturrahmi. Namun adalah hal yang naïf pula bagi yang jika pertama mengenal seorang "Andi" yang lain, kemudian timbul dalam hatinya prasangka bahwa orang itu pastilah "bawahannya" dari segi derajat darah. "Walaupun ia Andi, palingan tidak sengngengpali (lahir dari ayah ibu sama-sama bangsawan), demikian perkiraannya selalu. Apalagi jika mengenal seseorang yang tidak menyandang gelar kebangsawanan didepan namanya, maka dianggapnya mereka adalah turunan abdi para leluhurnya.

Sebuah pengalaman pribadi pula, ketika penulis sempat mengenal diri sebagai orang Bugis. Kemanapun pergi, selalu mengenalkan diri sebagai "orang Bugis tulen" yang memandang suku lain di Sulawesi sebagai bangsa laing (bangsa lain). Bahkan lebih daripada itu, penulis yang terlahir di Wajo teramat bangga sebagai Putera Wajo yang oleh beberapa tokoh Wajo pada jaman dulu menyebut negerinya itu sebagai : KaminangngE(yang paling segalanya). "Towajo'E kaminang macca, nasaba tana incajienna La MungkacE To Uddama. Iyato kaminang warani, nasaba' tana pabbaukenna La Tenrilai' To Sengngeng. Iyato kaminang sogi nasaba tana apolEngenna Matoa Wajo La Patello Amanna Gappa. Iyato kaminang makkEade' nasaba' ade'na napopuang. Iyato kaminang arung nasaba' tana naddeppakiE arung pole rimaneng-manengna arung marajaE.." (Orang Wajo itu adalah yang paling pintar, karena tanah kelahirannya La MungkacE To Uddama. Ia pula yang paling berani karena tanah pemakamannya La Tenrilai' To Sengngeng. Ia yang paling hartawan karena negeri asalnya Matoa Wajo La Patello Amanna Gappa Ia juga paling beradab karena adatnyalah yang dipertuan. Ia pun paling berdarah ningrat karena negeri tersebarnya para bangsawan besar..), demikian antara lain pusaka motivasi dari mulut ke mulut itu.

Pada saat lain, sebagian orang di Belawa pada masa lalu berujar pula : Angkannami Soppa'E pangaderengngE (Adat istiadat hanyalah sampai di Soppa'E). Maksudnya adalah mereka berpandangan jika adat istiadat Wajo yang halus nan luhur itu hanyalah dimiliki secara mutlak oleh orang-orang Belawa dan anak-anak negeri Wajo lainnya. Adapun halnya kampung Soppa'Eyang terletak digaris perbatasan utara Wajo dan Sidenreng dipandangnya sudah tidak beradat istiadat lagi karena bukanlah wilayah Belawa (Wajo). Hal itu konon dibuktikannya dengan adat massobbi atau madduppa(menyampaikan undangan acara pengantin) yang menyamakan antara wija arung(turunan bangsawan) dan to sama' (orang biasa).

Pemikiran tersebut akhirnya dihujat oleh ayahanda. "Iyyanatu riyaseng mappahang sala, La Oddang ! ...AlEta bawang riyaseng tau !" (Itulah yang disebut pemahaman salah, La Oddang !..Hanya diri sendiri yang dipandang sebagai manusia !), sergahnya agak gusar kala itu. "Naiyya ammEmengengta sibawa maneng-manengna wija arungngE makkokoE, iyanaritu : padai laona pong aju maraja. Makkure'i ri Luwu, mattone'i ri Bone, mappongngi ri Gowa, makkolibatangngi ri Soppeng, mattakkEi ri Wajo, Maccolli'daungngi ri TanEtE, mpungai ri Berru, mabbuai ri Ajattappareng, matase'i ri Pammana..na lEmba tuo ri Belawa" (sesungguhnya asal muasal kita bersama segenap turunan bangsawan sekarang ini, yaitu : sama halnya dengan pohon kayu besar. Berakar di Luwu, berinti di Bone, berpokok di Gowa, berkulit batang di Soppeng, berpangkal dahan di Wajo, bertunas daun di TanEtE, berbunga di Barru, berbuah di Ajatappareng, masak di Pammana kemudian bersemi kembali di Belawa), demikian penjelasan beliau.

Bahwa sikap prilaku egosektoral selalu ditimbulkan kesalahan berpikir dalam memahami suatu hal, biasanya disebabkan kurangnya pengetahuan perihal tersebut. Iyatonaro maderri solangiwi assiwolompolongngE rilalengna asipulu-pulungengngE (itulah kiranya yang kerap merusak pergaulan dalam suatu kumpulan), demikian kata ayahanda. Hal yang oleh para arif bijaksana jaman dulu senantiasa mengingatkan untuk dicamkan, tentang dua serangkai penyebab "assisalangenna maneng-manengna rupatauE" (perselisihan seluruh umat manusia) , yakni : passaleng temmanessa na bicara tenripahang (perihal yang tidak jelas dan maksud yang tidak dipahami).

Demikian pula halnya dengan sikap bangga berlebihan memandang tinggi diri sendiri, berlatar kemuliaan suku dan ras dengan memandang rendah yang lainnya. Maka lontara mencatat prilaku tersebut sebagai : Malaweng kEdo na matanrE akkaa alE, malaweng ampE-ampE palallo warii, Malaweng timu parette' becci' (berlebihan tingkahnya dan mengangkat diri terlalu tinggi, berlebihan prilaku melewati batas pranata, berlebihan dalam bertutur kata melampaui norma-norma). Hal yang menjadikannya lalai dalam memenuhi nilai kepribadian mulia yang dipersyaratkan, yakni : ..naita alEna, taro pasoro gau'na(tahu diri dan mawas diri dalam bertingkah laku).

Akhirnya penulis teringat pada bacaan tentang petuah arif baginda La Sangkurupatau' MulajajiE Sultan Abdul Rahman MatinroE ri Alleperengna yang berkata, Engkatu ada, engkato gau', engkato nawa-nawa nadE' naripoada, nadE' naripogau', nadE'to nariponawa-nawa, naripojaa'. Engkato ada nadE' naripoada, engkato gau' nadE' naripogau', engkato nawa-nawa nadE' nariponawa-nawa, naripodEcEng 5) . Bahwa Puetta Arung Matoa Wajo XII yang pertama masuk Islam tersebut mewasiatkan demikian yang kira-kira terjemahannya, sebagai berikut : "Ada perkataan, ada juga bentuk perbuatan, ada pula angan-angan, jika tidak diucapkan lalu tidak juga dilakukan serta tidak pula dipikirkan lebih lanjut, maka akan mengakibatkan hal-hal buruk. Ada perkataan sekiranya tidak diucapkan, ada juga perbuatan jika tidak dilakukan, ada pula angan-angan jika tidak dipikirkan lebih lanjut, maka akan mengakibatkan kebaikan".

Sekiranya pada kalimat wasiat diatas mengandung dua maksud, yakni : berbuat dan tidak berbuat, semogalah kiranya uraian ini mendapatkan hikmah baik pada maksud yang pertama, sehingga penuturan perihal AssisumpungengngE(pertalian hubungan) dapat diuraikan selanjutnya.

Adalah fitrah pada manusia, yakni : nazab dan pergaulan sosialnya. Bahwa tiada seorang manusiapun diberi pilihan pada nazab mana ia dilahirkan serta mampu bertahan hidup sendiri tanpa ditopang oleh manusia lainnya. Pergaulan antar sesama manusia disadari sebagai suatu kebutuhan. Memandang orang lain sebagai “cerminan diri” hendaknya rilalengna sitinajaE (dalam batas kewajaran). Sekiranya melampaui batas kewajaran, maka akan berdampak merugikan pula sebagaimana dalam ungkapan : ..wajajungna napapasangi tauwE, ola’na nakkolaki (ukuran bajunya sendiri yang dijadikan ukuran bagi orang lain, takarannya pula yang dijadikan takaran..), sesuatu yang bermakna egois dan senantiasa berburuk sangka kepada siapapun. Maka rusaklah fitrah diri yang berdampak langsung pada perhubungan silaturrahmi antar sesama manusia.
Wallahualam Bissawwab..

Jumat, 20 Juli 2012


LA MAPPASALI DATU PATTOJO PETTA MATINROE RI DUNINNA



“Di masa remajanya, We Tenri LElEang diberi gelar Arung Pancana, lahir sekitar 1712, anak dari Batari Tungke Sultana Fatimah. Ia mempunyai dua orang anak, yakni We Tenri AbEng Datu ri Wawo dan La Mappajanci Datu Soppeng MatinroE ri Laburaung. Suaminya bernama La Mappasali yang meninggal dengan cara dibunuh. Berdasarkan informasi ada yang mengatakan bahwa derajat suaminya itu kurang sepadan dengan beliau sebagai Datu. Pembunuhan dilakukan oleh saudara Datu sendiri, La Tenri Oddang. Kemudian We Tenri LElEang menikah lagi dengan La Mallarangeng Petta MatinroE ri SapiriE. … dst.” (Mozaik Kepurbakalaan Sulawesi Selatan ; 2012, Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan)

………………………………………………………………………………………………..



Sebuah buku berjudul “Mozaik Kepurbakalaan Sulawesi Selatan” yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Sulawesi Selatan 2012, sekilas menuliskan perihal tentang Baginda MatinroE ri Duninna dengan informasi yang amat minim dan tidak jelas adanya. Sangat disayangkan jika suatu buku “keren” dengan halaman sambutan Gubernur Sulawesi Selatan dan Kata Pengantar oleh Kepala Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Drs. HM. Syuaib Mallombassi, MM ini menguraikan situs-situs kepurbakalaan Sulawesi Selatan dengan gaya bahasa “konon” belaka.



Menuliskan suatu informasi perihal “aib” seorang Tokoh Sejarah dengan berdasarkan informasi lisan, kemudian diterbitkan dalam suatu buku kiranya bukanlah hal yang dapat dianggap sebagai hal sepele. Mengingat jika Tokoh yang hidup dalam pertengahan Abad 18 tersebut, tentulah memiliki keturunan berlapis yang jumlahnya pastilah menembus angka ribuan. Siapakah sesungguhnya Tokoh La Mappasali itu ?. Apakah benar jika derajat darahnya “kurang sepadan” dengan isterinya ?.



La Mappasali atau tertulis pula sebagai La Mappasiling atau La Mappaselling adalah Datu/Arung Pattojo selama hidupnya. Baginda adalah putera La Kareddu’ Arung Sekkanyili dengan Ana’na La WEllo WatampanuaE ri Pammana. Puatta La Kareddu’ adalah putera La TenrisEnge’ To Esa’ MatinroE ri Salassana Datu Soppeng XVII (1666 – 1696) dengan I Tenripada We Mannessa Petta MpungaE. Kemudian Puatta La TenrisEnge’ To Esa’ adalah putera La Tenribali Datu Soppeng XV MatinroE ri Datunna dengan I Bumbung Dasajo Arung Pattojo DatuE ri Watu.



Puatta La Mappasali Arung Pattojo MatinroE ri Duninna menikah dengan We Tenri LElEang Arung Pancana Datui ri TanEtE Sultana Aisyah MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu XXI/XXIII (puteri La Rumpangmegga To SappEilE Opu Cenning Luwu dengan We Batari Tungke’  Pajung ri Luwu XX), melahirkan : 1. We Tenri Abang DaEng Baji Datu ri Watu Arung Pattojo MatinroE ri PangkajEnE, 2. La Mappajanci Sultan Ismail Datu Soppeng XXVII (1747 – 1765).


Kedua putera puteri Puatta La Mappasali Arung Pattojo MatinroE ri Duninna kemudian menebarkan keturunannya, sebagai berikut :

1.      We Tenriabang DaEng Baji DatuE Watu Datu Pottojo Petta MatinroE ri PangkajEnE menikah dengan La Kasi DaEng Majarungi Petta PonggawaE ri Bone (putera La Temmasonge' Arumpone MatinroE ri Mallimongeng), melahirkan :  La Banrulla.



Kemudian We Tenriabang DaEng Baji DatuE Watu Datu Pattojo Petta MatinroE ri PangkajEnE menikah dengan La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana Petta Pilla ri Wajo (putera Petta Janggo LampEulu Arung Maiwa Arung Tellu Latte’ SidEnrEng dengan I Tenri Datu Pammana) , melahirkan : 1. We Tenri Balobo DaEng riyasE Datu Pammana, 2. I Mappanyiwi Datu Pammana, 2. I Sompa DaEng Sinring Datu Pammana, 3. I BubE KaraEng PambinEang, 4. La Tenri Dolong To LEbba’E Datu Pammana.



Putera puteri We Tenriabang DaEng Baji DatuE Watu Datu Pattojo Petta MatinroE ri PangkajEnE diataslah yang kemudian menurunkan berlapis-lapis tak terputus hingga para Datu Pammana, Mangkau’ Bone, Addatuang SidEnrEng, Arung Rappang, Addituang Sawitto. Arung Alitta, Arung Belawa, Arung Berru, Datu Tanete, Arung Maiwa, Arung EndEkang, Arung Batu Lappa, Arung Mallusetasi ..hingga ke Puetta H. Andi Wana Datu Soppeng XXXVI (1940 – 1957) dan H. Andi Mangkona Datu Mario ri Wawo Arung Matoa Wajo XLV.



2.      La Mappajanci MatinroE ri Laburaung Datu Soppeng XXVII menikah dengan  We TenriollE Arung Lapanning  , melahirkan putera puteri, sbb :



1. We Tenri Ampareng Datu Lapajung Datu Soppeng XXX (isteri La PabEangi    Datu Ganra Arung BElawa),

2. La MappapolEonro Sultan Nuhung Petta MatinroE ri Amala’na Datu Soppeng XXVIII (suami I Tenriawaru Datu Soppeng XXIX Pajung ri Luwu XXVII binti La Tenri Peppang DaEng Paliweng Petta MatinroE ri Sabbangparu Pajung ri Luwu XXVI).

Kemudian La Mappajanci MatinroE ri Laburaung Datu Soppeng XXVII menikah pula dengan I Sabong (puteri La Oddangriu Datu TanEtE MatinroE ri Musuna Datu SoppengXXIII), melahirkan : We MEnengratu Arung Lipukasi (isteri I Manginynyarang KaraEng LEmbang Parang).



Selain isteri-isterinya diatas, Puatta La Mappajanci MatinroE ri Laburaung Datu Soppeng XXVII juga menikahi puteri La Temmasonge’ Sultan Abdul Razak Jalaluddin MatinroE ri Mallimongeng Mangkau Bone XXII (merangkap Datu Soppeng XXV) dengan Bau Habibah, yakni : We Tenri OllE Datu Bolli.



Keturunan Puatta La Mappajanci bin La Mappasali  diatas itulah yang kemudian menurunkan para Pajung Luwu sejak La Tenri Oddang Pajung Luwu XXVIII hingga terakhir serta para Arung Matoa Wajo, Datu Soppeng, Mangkau Bone, Somba Gowa, KaraEng Tallo’ dan lainnya.



Menelusuri silsilah Puatta La Mappasali Arung Pattojo MatinroE ri Duninna mulai dari asal muasal hingga turunannya kemudian, kiranya sudah dapat disimpulkan bahwa : adalah sesuatu yang naïf jika beranggapan kalau derajat beliau tidak sepadan dengan isterinya (We Tenri LElEang). Adalah hal yang tidak logis pula jika dikatakan kalau beliau wafat karena dibunuh oleh adik iparnya, yakni : Puatta La Oddangriu Datu TanEtE Petta MatinroE ri Musuna Datu Soppeng XXIII (1737 – 1742). Alasan yang paling tepat untuk menyanggah pendapat menyesatkan diatas, adalah : puteri La Oddangriu, yakni I Sabong diperisteri oleh sepupu sekalinya, yaitu : La Mappajanci MatinroE ri Laburaung Datu Soppeng XXVII, putera La Mappasali.



Sekiranya benar jika Puatta La Oddangriu menganggap rendah pada Puatta La Mappasali, kemudian membunuhnya, bagaimana beliau rela menikahkan puterinya dengan Putera “rendahan” itu ?. Bagaimana mungkin pula Puatta La Mappajanci menurut dinikahkan dengan puteri “Pembunuh Ayah Kandungnya” ?, walaupun kenyataannya itu adalah pamandanya sendiri. Andai pula ia adalah putera kelahiran dari “darah tidak setaraf”, bagaimana bisa Puatta La Mappajanci bahkan dinobatkan sebagai Datu Soppeng ?.



Akhirnya timbul pula pertanyaan yang sesungguhnya, bagaimana Puatta La Mappasali Arung Pattojo wafat ?. Berdasarkan Lontara Belawa serta penuturan turun temurun keluarga penulis, bahwa baginda wafat akibat diterkam seekor Buaya dalam suatu perjalanan muhibahnya di daerah Wajo (Belawa ?). Maka bersegeralah para orang Luwu, Wajo dan Soppeng berusaha menemukan buaya besar yang menelan jazad baginda. Beratus-ratus buaya dibunuh lalu dibuka perutnya, hingga kemudian didapatkan buaya itu. Pada saat itulah, Baginda Ratu We Tenri LElEang mendapat wasiat dari mendiang suaminya lewat mimpi, agar jazadnya janganlah dikeluarkan dari perut buaya. Maka dimakamkanlah baginda bersama buaya besar itu di Jera’ Tana Tengnga (TippuluE, Belawa, Wajo). Olehnya itu, baginda digelar : Petta MatinroE ri Duninna (Baginda yang wafat dalam petinya).



Hingga kemudian, ketika Puatta H. Andi Mangkona Datu Mario ri Wawo Arung Matoa Wajo XLV bertahta (1933 – 1949), baginda senantiasa memerintahkan orang-orang Wajo untuk membersihkan komplek makam leluhurnya tersebut pada setiap menjelang memasuki bulan puasa. Orang-orang yang dipilih untuk membersihkan komplek pemakaman Raja-Raja tersebut, dipilih khusus bagi mereka yang memiliki Sitambung (daftar silsilah yang dilegalisir oleh Dewan Adat).



Allahumma, EE Puengku.. Tapassalama’i kasi’ Datu Puekku MatinroE ri Duninna ri pammasE-Ta, Taddampengengngi sininna asalanna, Tapatarimaiyangngi sininna amala’ madEcEngna enrengngE amala dEcEngna sining wija-wijangna, MamuarE nasaba’ pammasETa mua, namasieng sumange’na ri laleng panrengna, Amin…



Wallahualam Bissawwab.



Sumber :

1.    Andi Panguriseng (Ayahanda penulis) di Belawa, selama hidupnya;

2.    H. Zainuddin di Parepare, selama hidupnya;

3.    Lontara Abbatirengna Ana’ ArungngE ri Soppeng (copy salinan);

4.    Lontara Panguriseng La Wahide’ Pabbicara Belawa (tidak dipublikasikan).







Kamis, 19 Juli 2012

SUSUNAN ACARA BERBAHASA BUGIS


SUSUNAN ACARA BERBAHASA BUGIS

TabE' maraja.. siarE-arE uleng mappurallaloE, toriyEllau tulungi ri sellaoE, maElo'i riyEbbureng "Susunan Acara Berbahasa Bugis", akkatta ribacai ri acara "Pelepasan/Perpisahan Siswa Yang Tamat". Riayalai appasilElEng ri Goup malebbikkeng, akkatta mamuarE engkai makkEguna lao risEsE alebbikkeng. Ebara'i engka ammana kurang, padaikkeng maserro UPORENNU paggenne'i. Paimeng rEkko engka tappasala, padaikkeng upalEngengeng pale'ku naweddingngi namadEcEng, sarEkkoammengngi lebbi madEcEngngi riappasilElEng.. TabE :

Ciddai galungna Luwu
Sedding tennaEsa’na
Turungeng Tomaru’

Oo Jorii’, Allempuno mai
Mulise’ Saoraja
MuparEwa panrE

AnrEmata toddo’puli
MakkanrE samparaja
Seppipi nalara’

Kapangnga’ pattentuwangnga’
DimEngngE ri mulaE
Mubali Attakka

Wennang putE mappEsona
EjaE mamminasa
Bali’ Sipuppureng

Wennang putE mappEsona
Tebbali temmalullu’
TEya lajo unga

Kuru pole Sumange’ta sinining TopolEkkeng, nasaba’ engkangetta mpawa barakka’ alebbireng, tudang tenrilapi’ jali, tenritadangi tappErE, banna masE-masE pada riala pattoana pasaukininnawa.

TabE, maraja parEllau addampengku lao ri sEsE alebbirengta maneng, akkatta mamminasa patarakka’i sEddi gau’ rilalengna iyE wettuE, iyanaritu : PappanrE temme’na enreng parEllau simangna ana’-ana’ Kelase’ enneng, SD Negeri 85 Parepare, rilalengna Taung Pilajareng 2011/2012.

Tomalebbikkeng, Bapak Kepala UPTD Dinas Pendidikan Kecamatan Bacukiki,
Tomalebbikkeng, Bapak Pengawas SD Kecamatan Bacukiki,
Tomalebbikkeng, Bapak Kepala Sekolah SD Negeri 85 Parepare,
Tomalebbikkeng, Bapak Ketua Komite SD Negeri 85 Parepare,
Sining AnrE guru malebbikkeng, paimeng tomatoa malebbikeng engkaE hadErE’,
Tenriyallupai paimeng, ikkeng passibawang siassikolakkeng ri ammasE-masEna.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakahtuh

Tomalebbikkeng engkaE hadErE’

- Naiyya rialaE gau’ mammulang rilalengna onrong malebbi’E, iyanaritu : Pabbukkaa’ acara riyarE'ga gaukeng napatarakka’E alEna tomabbacaE. Pada laoni’mai simata mpukka’I gau’ madEcEngngEdE nasaba’ papEsabbi lao riasengna Puang Allahu Ta’ala, iyanaritu : Bismillahirrohmaanirrohiim,

- Gaukeng maduaE, iyanaritu : Pappangaji silaong ri bettuwengna ritu. TabE maraja lao ri pabbacana iya dua,

- Gaukeng matelluE, mappanari Padduppa. Lao rialEna panari’E, riyalangni wettu pangoloi toanana,

- Gaukeng ma’eppaa’E, iyanaritu : pappaissengenna Ketua Panitiana iyE gau’E,

- Gaukeng malimaE, Qasidah Rebana ripasilariengngi Nasyid,

- Gaukeng ma’ennengna, iyanaritu : paddampE-rampEna alEna tomalebbikkeng Bapak Kepala Sekolah SD Negeri 85 Parepare. Lao rialEna tomalebbikkeng, ripersilahkanni nasimata pappakaraja,

- Gaukeng mapituE, paddampE rampE silappa dua lappa pole ri alEna tomalebbikkeng Bapak Ketua Komite SD Negeri 85 Parepare. Lao rialEna tomalebbikkeng, ripersilahkanni nasaba simata ripakalebbi’,

- Gaukeng maruwa’E, iayanaritu : Panari’ Rampak AcEh,

- Gaukeng masEraa’E, Dararinna rilaleng pasengna Anana’ maElo’E ripatemme’ matti’ pawElaiyyE, ripasibaling silappa dua lappa taro sEngerengna Anana’ riwElaiyyE,

- Gau' maseppulona, Pabbaca puisi,

- Gaukeng mangoloE paimeng, iyanaritu : ada-ada malebbi na sule’sana pole ri Tomalebbikkeng alEna Bapak Kepala UPTD Dinas Pendidikan Kecamatan Bacukiki. Lao rialEna tomalebbikkeng, tabE maraja ripersilahkanni nasaba simata alebbirengna,

- Gaukeng rimunrinna ritu, Pangajaa malebbiina AgamaE,

- Gaukeng mangoloE, iyanaritu : Oni-oni Pianika,

- Gaukeng ri munrinna ritu, ElongkElong lao tungke’,

- Gaukeng mangoloE, iyanaritu : ElongkElong mappasamang sadda,

- Gaukeng ri munrinna ritu, parEllau doing,

- Gaukeng mangoloE maElo’E ripatarakka risEsE alebbiretta maneng, iyanaritu : MappEsau-sau ripasibawang culE-culE,

• CulE-culE mamulang, dEnsingna anana’ Kelase’ sEddi,
• CulE-culE dappiina, iyanaritu : dEnsingna anana’ Kelase’ dua,
• CulE-culE matellunna, iyanaritu : dEnsingna anana’ Kelase’ tellu.

- Naiyya riyalaE cappa' gaukeng, iyanaritu rialaE pattongko’ gau’.
Tanekko ade’ natuwo

Pallimpo bunga putE
MumasallE lolang
Laoko popateddung langi
Posampu temmalulu
Lawangeng mabEla
Luttuni pEppajaE
MaccEkkEng riawa wElenrEng
MamuarE papolE sEngereng
Aga kuwEllau simangna risEsE alebbikkeng
Akkatta patokkong gau’ sukkumpulaweng
Mauni ripasalEppangi lipa’ kapE’-kapE’
Pajaneng malilling
Padaiikkengpa rirennuang pada mattEppang
REkkopalE’ engka tappasala rilalengna gaukkeng
RiyEllau dEcEngna nyameng kininnawakkeng
MamuarE papolE addampeng ri masE-masEkkeng

MadEcEngni kapang rEkko ripaggangkani gau'keng, nasaba pau-pau malebbi simata mappoji ri sEsE arajangna Puang Allahu Ta'ala

Alhamdulillahirobbilalamiin
Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatuh


Rabu, 18 Juli 2012

Bekas Paku

BATE PASOK

..Bulan Pebruari lalu, pondok kami yang sederhana kedatangan kerabat yang berkunjung dari tempat yang sangat jauh. Namanya : Carol D. Merlo. Beliau adalah isteri kakanda Andi Mardiah yang bermukim di Melbourne, Australia. Cukup lama tidak bertemu dengan mereka berdua. Namun pertemuan dengan keduanya mengingatkanku tentang berbagai pengalaman kecil dimasa lalu yang sarat makna dan hikmah.
.......................................................................................................

Tahun 1997, kami sibuk membangun bungalow rumah panggung di Tanjung Bira. Saat itu kami mendatangkan tukang kayu dari kampung. Namun Carol sering mengeluhkan ulah mereka yang dianggapnya kadang-kadang sembrono. Sebagaimana halnya dengan kebanyakan tukang kayu lokal, mereka begitu menggampangkan memasang "paku sementara" di tiang-tiang rumah. Bukan untuk sesuatu yang penting, karena seringkali hanya untuk tempat menggantung baju atau topi. "It doesn't matter, Carol.. itu khan cuma sementara saja ?", bujukku. Namun Carol tetap tidak terima. Pasalnya walau sudah dicabut, lubang bekas pakunya tetap menjadi cacat permanen pada tiang kayu yang tadinya mulus.

Pengalaman kecil itu membawa nurani kita pada sebuah kisah hikmah tentang seorang pemuda dan paku. Alkisah, seorang pemuda ahli maksiat mengeluhkan kebiasaan buruknya yang sulit dirubah selama ini. Maka ayahnya memberi solusi, agar ia menginventarisir setiap jenis kebiasaan buruknya itu dengan menancapkan sebatang paku di dinding. Akhirnya pemuda itu melakukan sesuai perintah ayahandanya tersebut. Ia mengingat segala kebiasaan buruknya lalu menancapkan sebatang paku untuk setiap jenisnya, maka dinding kamarnya penuh dengan paku !.

"Bagaimana selanjutnya, ayah ?", tanya pemuda itu. "Cobalah menghitung segala jenis dosa yang pernah dan masih rutin kau lakukan hingga saat ini. Untuk setiap jenis dosa, tancapkan sebatang paku yang kau tandai sebelumnya di dinding kamarmu. Kemudian berusahalah untuk tidak melakukan sebuah kebiasaan burukmu selama 3 bulan, seraya senantiasa beristigfar dan beribadah kepada Allah.SWT. Setelah berhasil melakukan itu, cabutlah sebatang paku yang kau tancapkan itu sebagai pertanda kau telah berhasil merubah suatu jenis perilaku maksiatmu", kata Sang Ayah yang bijaksana.

Maka pemuda itupun melakukan sesuai petunjuk ayahnya. Ia bertekad tidak meminum alkohol selama 3 bulan sambil senantiasa tekun mendirikan sholat 5 waktu. Kemudian ia tidak pula melakukan zina disela-sela terapinya tersebut. Maka hari demi hari, bulan demi bulan berlalu tanpa terasa. Paku-paku yang menancap itu juga semakin berkurang, seiring dengan berjalannya waktu. Hingga pada suatu hari, paku-paku itu habis dicabutinya. Ia kini telah menjelma sebagai pemuda yang alim nan sholeh. Wajahnya nampak terang berseri-seri berkat basuhan air wudlu yang senantiasa melekat disekujur tubuhnya. Matanya jernih, pertanda jendela hati itu kini bersih dari debu-debu kotoran hati, berkat zikir yang tiada terputus.

Pada suatu hari, ayahandanya datang menjenguk puteranya yang dilimpahi hidayah itu. Alangkah terkejutnya ketika mendapati anandanya sedang tafakkur seraya menangis terisak sedih. Pemuda itu memandangi tembok dindingnya dibalik air matanya yang mengucur deras. "Apa gerangan yang terjadi, anakku ?", tanya Sang Ayah. "Lihatlah, ayah. Dinding-dinding itu tiada lagi pakunya..", jawabnya sambil menoleh ke ayahnya dan menunjuk dinding kamarnya yang memang tidak ada pakunya lagi. "Lho, bukankah ini mesti disyukuri ?.. pertanda kau kini bersih dari maksiat, anakku !", timpal ayahnya. Sambil menundukkan kepala dengan amat malunya, pemuda itu menjawab dengan suara rendah : "..memang benar demikian, ayah. Paku-paku itu telah tercabut, namun BEKAS lubang pakunya takkan bisa hilang..".

Demikian pula halnya dengan dosa maksiat. Seseorang dapatlah sadar dan tidak melakukannya lagi, namun hukum masyarakat sebagai sunnatullah tetaplah berjalan seiring waktu dan umur. Kiranya hanya Allah SWT yang maha pengampun dan senantiasa memilihkan jalan terbaik bagi setiap hamba-Nya..

Wallahualam Bissawwab.

BATE PASOK

..Bulan Pebruari lalu, pondok kami yang sederhana kedatangan kerabat yang berkunjung dari tempat yang sangat jauh. Namanya : Carol D. Merlo. Beliau adalah isteri kakanda Andi Mardiah yang bermukim di Melbourne, Australia. Cukup lama tidak bertemu dengan mereka berdua. Namun pertemuan dengan keduanya mengingatkanku tentang berbagai pengalaman kecil dimasa lalu yang sarat makna dan hikmah.
.......................................................................................................

Tahun 1997, kami sibuk membangun bungalow rumah panggung di Tanjung Bira. Saat itu kami mendatangkan tukang kayu dari kampung. Namun Carol sering mengeluhkan ulah mereka yang dianggapnya kadang-kadang sembrono. Sebagaimana halnya dengan kebanyakan tukang kayu lokal, mereka begitu menggampangkan memasang "paku sementara" di tiang-tiang rumah. Bukan untuk sesuatu yang penting, karena seringkali hanya untuk tempat menggantung baju atau topi. "It doesn't matter, Carol.. itu khan cuma sementara saja ?", bujukku. Namun Carol tetap tidak terima. Pasalnya walau sudah dicabut, lubang bekas pakunya tetap menjadi cacat permanen pada tiang kayu yang tadinya mulus.

Pengalaman kecil itu membawa nurani kita pada sebuah kisah hikmah tentang seorang pemuda dan paku. Alkisah, seorang pemuda ahli maksiat mengeluhkan kebiasaan buruknya yang sulit dirubah selama ini. Maka ayahnya memberi solusi, agar ia menginventarisir setiap jenis kebiasaan buruknya itu dengan menancapkan sebatang paku di dinding. Akhirnya pemuda itu melakukan sesuai perintah ayahandanya tersebut. Ia mengingat segala kebiasaan buruknya lalu menancapkan sebatang paku untuk setiap jenisnya, maka dinding kamarnya penuh dengan paku !.

"Bagaimana selanjutnya, ayah ?", tanya pemuda itu. "Cobalah menghitung segala jenis dosa yang pernah dan masih rutin kau lakukan hingga saat ini. Untuk setiap jenis dosa, tancapkan sebatang paku yang kau tandai sebelumnya di dinding kamarmu. Kemudian berusahalah untuk tidak melakukan sebuah kebiasaan burukmu selama 3 bulan, seraya senantiasa beristigfar dan beribadah kepada Allah.SWT. Setelah berhasil melakukan itu, cabutlah sebatang paku yang kau tancapkan itu sebagai pertanda kau telah berhasil merubah suatu jenis perilaku maksiatmu", kata Sang Ayah yang bijaksana.

Maka pemuda itupun melakukan sesuai petunjuk ayahnya. Ia bertekad tidak meminum alkohol selama 3 bulan sambil senantiasa tekun mendirikan sholat 5 waktu. Kemudian ia tidak pula melakukan zina disela-sela terapinya tersebut. Maka hari demi hari, bulan demi bulan berlalu tanpa terasa. Paku-paku yang menancap itu juga semakin berkurang, seiring dengan berjalannya waktu. Hingga pada suatu hari, paku-paku itu habis dicabutinya. Ia kini telah menjelma sebagai pemuda yang alim nan sholeh. Wajahnya nampak terang berseri-seri berkat basuhan air wudlu yang senantiasa melekat disekujur tubuhnya. Matanya jernih, pertanda jendela hati itu kini bersih dari debu-debu kotoran hati, berkat zikir yang tiada terputus.

Pada suatu hari, ayahandanya datang menjenguk puteranya yang dilimpahi hidayah itu. Alangkah terkejutnya ketika mendapati anandanya sedang tafakkur seraya menangis terisak sedih. Pemuda itu memandangi tembok dindingnya dibalik air matanya yang mengucur deras. "Apa gerangan yang terjadi, anakku ?", tanya Sang Ayah. "Lihatlah, ayah. Dinding-dinding itu tiada lagi pakunya..", jawabnya sambil menoleh ke ayahnya dan menunjuk dinding kamarnya yang memang tidak ada pakunya lagi. "Lho, bukankah ini mesti disyukuri ?.. pertanda kau kini bersih dari maksiat, anakku !", timpal ayahnya. Sambil menundukkan kepala dengan amat malunya, pemuda itu menjawab dengan suara rendah : "..memang benar demikian, ayah. Paku-paku itu telah tercabut, namun BEKAS lubang pakunya takkan bisa hilang..".

Demikian pula halnya dengan dosa maksiat. Seseorang dapatlah sadar dan tidak melakukannya lagi, namun hukum masyarakat sebagai sunnatullah tetaplah berjalan seiring waktu dan umur. Kiranya hanya Allah SWT yang maha pengampun dan senantiasa memilihkan jalan terbaik bagi setiap hamba-Nya..

Wallahualam Bissawwab.

Minggu, 08 Juli 2012


PERBINCANGAN TENTANG HARIMAU



Alkisah, ..entah pada bab mana di Sastra I La Galigo (yang jelas tidak pada catalog R.A.Kern), Puetta Sawerigading murka pada kucing kesayangannya yang “matojo” (mbalElo). Kucing itu melompat di daratan besar yang kini dikenal sebagai Pulau Sumatera. Berbagai cara diusahakan untuk membujuknya naik ke Armada WElenrEngngE, namun Si Pus itu tidak bergeming. Maka keluarlah kutuk dari mulut Sang Manusia Dewa itu. “Aja’ mEmengna muakkalEjja’ ri tanaku, rEkko mulEjja’i, maponco’ sunge’mu !” (Jangan sekali-kali menginjakkan kaki kembali di Tanahku, kalau kau menginjaknya, akan pendek umurmu !), kira-kira demikian amsalnya. Walhasil, kucing itu kini menjelma menjadi : Harimau Sumatera.


Demikian antara lain, legenda tutur yang kerap diperbincangkan diseluruh pelosok Tana Ugi.

…………………………………………………………………………………………………….



Tahun 1988, Bp. Mirdin Kasim dengan senyum  khasnya berseloroh padaku..,

“..tahun 50-an,  pernah ada Kebun Binatang di Ujung Pandang (Kota Makassar kini). Tapi Kebun Binatang itu tutup karena harimaunya selalu mati. Berkali-kali diganti, namun paling tinggi sebulan, Harimau Sumatera itu mati tanpa sebab yang jelas”, kisahnya.

“Tahukah kau kira-kira apa penyebabnya ?”, tanyanya tiba-tiba.

Saya tersentak karena asyik mendengarkan kisahnya yang ternyata berujung pertanyaan. Biasa .., gaya beliau memang demikian.

“Pasti karena tuah kutukan Sawerigading, Opu !”, sahutku meyakinkan.

“Ha ha.. bukan begitu. Hal yang sesungguhnya karena harimau-harimau itu sebenarnya mendapat jatah makan 10 kg daging segar setiap hari. Namun, ternyata hewan langka itu sehari-hari diberi makan 3 kg per hari. Akibatnya, mereka kelaparan.. gampang terkena penyakit, sakit lalu mati..”

“Lho, emang selisih 7 kg-nya dimana, Opu ?!”, sergahku heran.

“Tanya pada penjaganya.., he he”, sahutnya terkekeh.

Tinggallah saya yang garuk-garuk kepala hingga hari ini.

…………………………………………………………………………………………………………..



Wallahualam Bissawwab.


TUNTUNAN PRILAKU

Syahdan, Cendekiawan To Ciung MaccaE ri Luwu melimpahkan wejangannya kepada Pangerang Mahkota Soppeng La Manussa To Akkarangeng MatinroE ri Tanana Datu Soppeng IX (1534-1556), bahwa : “..aja’ mutalliwe’ macenning, riyemme’ko matu’. Aja’to mutalliwe’ mapai’, riluwako matu’..” (..janganlah terlalu manis, nanti kau ditelan. Jangan pula terlalu pahit, nanti kau dimuntahkan..).

Pada saat lain, Cendekiawan La MEllong Kajao Laliddo MaccaE ri BonE menyampaikan pula nasehatnya kepada para Pangeran Bone dimasanya, “..aja’ namasitta muemme’ rEkko macenningngi, EbarE’ racung. Aja’to namasitta muluwa rEkko mapai’I, EbarE’ pabbura..” (..janganlah terlalu cepat ditelan sekiranya itu manis, jangan sampai itu beracun. Jangan pula terlalu cepat dimuntahkan jika itu terasa pahit, kemungkinan itu obat..).

Kemudian pada masa jelang wafatnya, Baginda H. Andi Wana Datu Soppeng  XXXVI (1940-1957) mewasiatkan : “Olai laleng tengnga-tengngaE ri gau mappasitinajaE” (Jalani jalan tengah dalam segala prilaku yang sewajarnya). Ibarat sedang berbaris dalam suatu iring-iringan gerak jalan, siapapun yang berada pada barisan paling depan, jika komando barisan meneriakkan “Balik Barisan, Jalan !”, maka ia akan berada pada deretan belakang. Begitu pula sebaliknya, yang tadinya berada dideretan belakang, akan berada di depan. Lalu bagaimana dengan yang berada pada deretan tengah ?. Silahkan “balik barisan” seribu kali pun, tidak mengapa. Ia akan tetap pada tempatnya.

Perihal diatas kiranya berlaku bagi sesuatu yang sewajarnya. Sesuatu yang amat dikehendaki dalam bersikap dan berprilaku, sebagaimana yang diwejankan oleh Baginda La Waniaga Arung Bila, bahwa : Ada Lima perkara untuk mencapai  kebajikan, yaitu : 1. Merendahlah sewajarnya, 2. Mengharaplah belas kasihan “hanya” pada tempatnya, 3. Lakukan pekerjaan dengan benar, 4. Jika menemukan kesukaran yang tidak mungkin dapat diatasi, kembalilah pada tuntunan semula, dan 5. Kalau menemukan kesenangan, waspadalah.

Semoga kiranya menjadi perhatian dan berguna bagi segenap kerabat muliaku, Wallahualam bissawab.

Kamis, 05 Juli 2012

PENGENALAN AWAL


Tania simata alebbireng usappa namaraja pakkutanaku lao ri ammEmengeng paddioloku, saba'i minasa pappEjeppu lao ri pangissengeng matti' ri mangoloE, uwaccaming ri marioloE. Aggaatii laona camming reppa', upulung tassEddi-sEddi inappa upije' saro masE, sarEkkoammengngi simata weddingngi riala rapang..

Bukannya semata kemuliaan yang kucari sehingga besar nian pertanyaanku perihal sejarah asal muasalku, hanya karena tekad untuk mengetahui perihal masa depan, maka kuberkaca pada masa lalu. Ibarat cermin yang telah pecah berhamburan, kukumpulkan satu demi satu lalu kurekat dengan semangat ketulusan, semoga kiranya dapat dijadikan pengandaian..

………………………………………………………………………………………………………………

Tiada lain yang selalu mengganggu benak bocah lelaki itu, selain perasaan “di-diskriminasi” yang kadang ditanggungnya. Sebagaimana halnya dengan anak-anak kampung lainnya, iapun menjalani kesehariannya dengan bermain dari siang pulang sekolah hingga jelang magrib. Namun hari-hari penuh warna ceria itu menjadi suram ketika tidak diikutkannya  pada beberapa macam permainan. Teman-teman sebayanya tidak mau mengikutkannya pada permainan makkaddaro dan sillanca. Maka jadilah ia penonton yang terkucil.

Makkaddaro adalah permainan rakyat yang menggunakan tempurung kelapa sebagai alat utamanya. Biasanya permainan ketangkasan ini dilakukan secara beregu. Pada setiap babak, regu pemenang menikmati kemenangannya dengan "irEngE'"(digendong punggung)  seputar lapangan oleh regu yang kalah. Permainan yang sungguh menyenangkan. Namun  apa  senangnya jika tidak dibolehkan ikut bermain ?, rungutnya panjang pendek ketika itu.

Adapun halnya dengan Sillanca, sesungguhnya adalah permainan remaja hingga dewasa, namun anak-anak kampung itu seringkali diam-diam bermain dihamparan pasir sungai KarajaE. Para pemainnya bergantian saling hantam belakang betis dengan menggunakan tulang kering selama beberapakali, tergantung dengan kesepakatan. Maka yang dapat bertahan berdiri hingga akhir, dianggap sebagai pemenang. Bagaimanapun jadinya, menang atau kalah sama saja hasilnya. Betis bagian belakang memar membiru atau bahkan bengkak. Namun dasar bocah, mereka tetap bercanda riuh seraya merendam kaki mereka pada air sungai yang sejuk.

Setiapkali minta ikut bermain, setiapkali itu pula teman-temannya kompak menolaknya. "Nacairika' matu' indo'ku !" (nanti aku dimarahi ibuku !) atau "Matauka' akko Puang !" (saya takut sama Puang !), demikian antara lain alasan teman-temannya jika ia bersikeras memaksa. Maka apa boleh buat, alasan terakhir itu membuatnya mundur teratur, walau dengan omelan panjang pendek karena merasa diperlakukan tidak adil. Bukan apa-apa, orang yang disebut Puang yang ditakuti teman-temannya adalah ayahnya sendiri.

"Kenapa saya tidak boleh ikut Makkaddaro dan Sillanca dengan mereka, Etta Indo' ?" 1), tanyanya ketika jelang tidur pada ibundanya. "Mereka khawatir jika kau cedera, .. karena mereka menyayangimu sebagai adik mereka, anakku", sahut sang bunda sambil membelai rambut putera bungsunya itu hingga tertidur. Keterangan ibundanya itu terpatri cukup lama dalam pikiran polosnya. Bahwa ia adalah anak paling muda dalam kampung itu, buktinya semua orang kecuali kedua orang tuanya serta para paman dan bibinya menyebutnya "Andi" didepan namanya.

Dunia anak bersama alam pemikirannya yang polos, menganggap bahwa rupanya Tuhan sudah mentakdirkannya demikian. Ayahbundanya serta sebagian besar keluarganya yang lain juga disebut pula “Andi” didepan namanya. Bahwa mereka adalah keluarga "termuda" dalam kampung itu, maka untuk sementara ia menerima nasibnya yang "tidak beruntung" tersebut. Namun sikap "mapparimeng" (tawakkal) itu agaknya tidak bertahan lama. Pada suatu hari, ia bertanya kepada ayahandanya. "Etta 2), apa sebabnya kita dianggap keluarga termuda dalam kampung ini ? Padahal banyak juga keluarga lain yang agaknya lebih muda dari kita..".

Maka berkisahlah sang ayahanda tentang seorang anak lelaki yang muncul tiba-tiba dalam suatu kampung. "..maniipii oliina, paita mabbaja' ure'-ure' marenni'na, mapEca'toni jukuuna, malemma lappa-lappa bukunna, tennaullE patettong alEEna.." (..kulitnya tipis, nampak terbayang urat-urat kecilnya, lembek pula dagingnya, lemah tulang belulangnya, sehingga iapun tidak mampu berdiri sendiri).

Namun dibalik raga yang lemah itu, mengeram sebuah jiwa yang besar, sebongkah hati yang bersih dan pemikiran yang cerdas. Keutamaan rohani itu jelas terpancar pada tatapan matanya yang lembut dan bercahaya pada raut wajahnya yang berparas manis. Setiap orang yang memandangnya senantiasa terpikat dan tunduk oleh pancaran keagungan kepribadiannya. Iapun piawai berkata-kata dengan kalimat yang teratur dan senantiasa mengucapkan sesuatu yang baik. Kemudian pemikirannya yang cerdas seringkali mengeluarkan ide-ide cemerlang untuk kemaslahatan hidup masyarakat kampung itu. Maka ia dipandang sebagai mustika, anugerah Dewata SeuwwaE (Dewata Yang Tunggal) bagi kampung mereka. "..riyasengni Ulawu Tau, ulawunna pabbanuaE.." (..disebutlah ia sebagai Manusia Mustika, ..mustika masyarakat), kisah sang ayah.

Sejak kemunculan anak lelaki yang dipandang ajaib itu, maka masyarakat kampung kecil itu menjadi sejahtera. Berkat petunjuk-petunjuknya yang bijaksana, hasil panen pertanian di kampung itu senantiasa berlimpah. Pepohonan di kebun berbuah lebat dan ikan-ikan disungai juga semakin banyak. Mengetahui perihal penghidupan yang sejahtera itu, maka banyaklah orang yang pindah bermukim di kampung itu. Hingga kian hari semakin ramai dan tumbuh berkembang menjadi suatu kerajaan yang diberi nama : Lonra. Anak lelaki yang dinamai sebagai Ulawu Tau itu diangkat sebagai Raja yang selanjutnya disebut Datu Lonra.

"Etta, bagaimana seorang yang bertubuh lemah mampu menjadi Raja ?", sergah si bocah penasaran. "Uh.. berdiri aja tidak becus, apalagi jika makkaddaro dan sillanca ? Apa sih hebatnya ?!", pikirnya dalam hati. Ayahnya tersenyum maklum dengan ide-ide polos dalam imajinasi  putera bungsunya, seraya menutup kisahnya dengan simpulan penuh kesan. "Tubuhnya memang lemah tak berdaya, namun tabiat prilakunya sungguh mumpuni, maka ia dipandang mulia. Ia pula dipandang sakti karena segala petunjuknya perihal sesuatu yang belum terjadi senantiasa benar-benar terjadi kemudian..", terangnya. Maka ia amat dihormati sekaligus dicintai oleh segenap rakyatnya. Kemanapun ia hendak bepergian, selalu diusung diatas "bEmbEngeng" (tandu khusus raja) dengan dipikul oleh 4 orang. Segala keperluan hidupnya dilayani dengan tulus seperti disuapi bila makan, dimandikan bila mandi dan bahkan jika tidurpun ia dijaga. "Ulawu Tau itupun tumbuh dewasa dan beranakcucu hingga menurunkan kita sekalian, nak..", terang ayahnya seraya menutup kisahnya.

"Oh.. barulah saya mengerti, Etta. Pantaslah saya tidak dibolehkan bermain Makkaddaro karena dikhawatirkan kalau tulang punggungku patah jika memanggul teman-teman, apa benar demikian, Etta ?", tanya Si Bocah dengan raut wajah cerah. "Iya, agaknya memang demikian..", sahut ayahnya. "Begitupula dengan Sillanca, Etta ?", tanyanya lagi. "IyyE', anakku..", timpal ayahnya pula. Maka misteri larangan Makkaddaro, Sillanca dan Turunan Andi kini terpecahkan dalam benak bocah itu. Kasihan moyangku, terlahir dengan cacat tubuh yang lemah sehingga bahkan berdiripun harus dipapah, demikian pikirnya selalu.

Sejak mendengar tutur sejarah "Ulawu Tau", ia senantiasa haus dengan segala hal tentang orang-orang dan kehidupannya dimasa lalu. Carita Iyaccaritang (cerita yang diceritakan), itulah kegemarannya. "Adakah nenek moyang kita yang lain bertubuh kuat perkasa, Etta ?", tanyanya pada suatu ketika. Rupanya ia tidak puas dengan profil Sang Ulawu Tau yang menurutnya sangat menyedihkan. "Tentu saja masih banyak yang lainnya, anakku..", sambut ayahnya.

Maka berkisahlah ia tentang ManurungngE La Sampuraga, pemuda sakti yang adalah salahsatu tokoh utama dalam kisah "CEnrana Maddara Tau" (Cendana Berdarah Manusia). Alur kisah dan plotnya yang mirip dengan Jaka Tarub dan 7 Bidadari di Jawa Timur begitu mendayu-dayu dan sarat hikmah. Legenda yang menyayat hati dipenghujung ceritanya tentang duka tak berujung  tokoh La Sampuraga yang ditinggal pergi Sang Bidadari We Bussa, isterinya tercinta.  Menjalani hidup merana dihimpit duka lara sambil merawat dan  membesarkan We Dalauleng, puterinya terkasih. Satu-satunya alasan baginya untuk bertahan melanjutkan hidup hingga akhirnya, raganya-pun raib pula menuju petualangan dunia lain untuk menemui isterinya di Botinglangi (khayangan).

“ Sepeninggal ayahnya, We Dalauleng  yang berdarah putih bagai getah pohon "takku" itu ditakdirkan kelak menebarkan para keturunannya di bumi Sulawesi, termasuk diantaranya kita sekalian ini, anakku..”, tutur ayahnya.  Bocah itupun tersungut-sungut  pertanda tidak puas. Apa sih hebatnya La Sampuraga ? Bisanya cuma meniup suling sembari menangis sepanjang waktu, gerutunya dalam hati. Laki-laki lemah, cengeng pula !.

"Ah,. lagi-laki kisah nenek moyang yang menyedihkan, Etta. Adakah lagi yang lainnya dari La Sampuraga ?", tanyanya penuh harap. "..aja'jE' naEro mappakessE bua-buaE, Etta.." (jangan dong yang menyedihkan, Etta), pintanya pula.  "MaEga mopa, ana'.." (masih banyak lagi, anakku..), hibur Sang Ayah. Maka pada lain kesempatan Sang Ayah bertutur pula tentang Sawerigading Opunna Ware', ksatria Luwu yang melayari 7 samudera serta memenangkan pertempuran pada 7 lapis langit dan 7 lapis bumi !. "AwwEE, ini barulah hebat, Etta !", seru bocah itu kegirangan. "Masih ada lagi yang lainnya,.. ada Sattiaraja Sang Pangeran Muda yang pemberani dan gesit sehingga dipercaya memiliki ilmu raib bagai asap, juga Petta MalampE'E Gemme'na Sang penakluk yang konon kekuatannya mampu menginjak batu hingga kakinya melesak dalam - dalam dipermukaan batu yang keras. Ada pula Sultan Hasanuddin Sang Ayam Jantan dari Benua Timur yang konon ketajaman pandangan matanya dapat melumpuhkan lawan yang ditatapnya. Kemudian ada pula Petta La Battoa yang bertubuh kekar nan perkasa dan masih banyak pula yang lainnya..", jelas ayahnya.

Maka hari demi hari mengalir dari hulu takdirnya menuju penghujung muara waktunya, bersama dengan kisah demi kisah yang mengisi benak bocah yang kian hari tumbuh pula menjadi remaja. Pemuda yang minatnya berhimpitan dengan rasa keingintahuan yang besar dengan segala perihal moyangnya. Suatu hal yang disadarinya kemudian sebagai keberuntungan, bahwa orang tuanya mengisi kisah pertama dalam sanubarinya tentang "La Ulawu Tau", leluhurnya yang bertubuh tidak sempurna.

Bahwa memulai segala sesuatu dengan ke-taksempurnaan kiranya adalah awal yang baik. Sesuatu yang menggugah kesadaran perihal fitrah diri yang senantiasa memiliki cacat cela. Maka ruang jiwa anak-anak yang masih lapang nan bersih itu semogalah kiranya tidak menjadi pesemaian bibit kepongahan yang kelak memungkinkan tumbuh menjadi tirani kesombongan. Ia memandang teman-temannya serta segenap masyarakat kampungnya yang memperlakukannya secara khusus dengan penuh rasa terima kasih. Dalam pikirannya, mereka memanggilnya Andi sebagai “panggilan kasih sayang” dari kaum “kakak” kepada “adiknya”.

Pada sisi lain, tokoh La Ulawu Tau adalah adalah ispirator yang menggugah rasa percaya dirinya. Ladang hikmah yang mengedepankan perihal realita pandangan masyarakat secara wajar, bahwa kesempurnaan  pisik  bukanlah hal utama yang dapat menjadikan seseorang terkemuka ditengah masyarakatnya, melainkan kecerdasan intelektual yang dibarengi dengan kecerdasan spiritual.

Seiring waktu, remaja  penikmat kisah lama itu semakin dahaga oleh minatnya yang teramat besar. Kisah-kisah yang dituturkan oleh ayah, paman dan bibinya kiranya tidaklah cukup banyak untuk mengisi penuh lembah keingintahuannya. Bahwa lembaran silsilah yang juga sebagian ditulis kembali oleh ayahandanya memperhubungkannya dengan tokoh perkasa Sawerigading kiranya belumlah cukup baginya. Bahkan iapun penasaran untuk mengetahui tautan jalinan silsilah antara dirinya dengan Tokoh La Ulawu Tau dan La Sampuraga yang akhirnya juga dikaguminya itu, sesuatu yang hingga kini belum ditemukannya. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab hingga ayahandanya wafat dengan tenang.

..tania pakkEasengeng, tania waramparang, taniatoo ammanareng ripakalebbii upammanaarekko, ana’ku. NaEkia, iyami weddingngE uwala appasilElEng ammanareng ri siningna wija-wijakku, iyanaritu : gau’ mappakalebbi’E ri assipakalebbirengngE..” (..bukan gelar, bukan harta benda, bukan pula warisan dimuliakan yang kuwariskan pada kalian, anakku. Namun yang dapat  kujadikan saling berbagi warisan pada segenap turunanku, adalah : perilaku memuliakan dalam rangka saling menghargai satu sama lainnya..), demikian wasiat terakhir ayahandanya.

Bahwa sesungguhnya darah dan keturunan bukanlah ukuran bagi kemuliaan seseorang, maupun suatu kaum. Demikian pula pangkat, jabatan dan kekayaan bukan pula takaran yang dapat menempatkan seseorang pada tingkat derajat yang tinggi. Melainkan kwalitas Ilmu Pengetahuan yang memenuhi keluhuran Iman dan Taqwa kepada Allah SWT kiranya membiaskan aura pribudi, sehingga terwujudlah suasana pangadereng yang melahirkan karya madEcEng na mappadEcEng (baik dan memperbaiki), tuntunan atuo-tuongeng siamasE-masEi ripadanna ripancaji (kehidupan saling mengasihi sesama mahluk).

Wallahualam Bissawwab..


==============================

1)  Pemanggilan  dalam  kalangan  anak keturuanan bangsawan terhadap ibunya. Penyebutan ini berlaku pada anak yang ayah dan ibunya memiliki derajat kebangsawanan yang seimbang pada tingkatan masing-masing, kecuali pada Ana' Mattola (Putera/Puteri Mahkota).. Pemanggilan Etta kepada orang tua, sesungguhnya adalah sama bagi keduanya. Namun agar tidak membingungkan, maka dalam suatu keluarga biasanya menambahkan sebutan gender dibelakangnya, yakni : Etta BoranE atau Etta Ambo (Etta Laki-laki atau Etta Ayah) pada ayahnya dan Etta Makkunrai atau Etta Indo' (Etta Perempuan atau Etta Ibu) pada ibunya. Pada masa kini, seorang anak bangsawan tinggi namun tidak berderajat Ana' Mattola kerap pula menyebut ayah ibunya sebagai : Etta Bau'.

2)  Sapaan Etta secara langsung dalam perbincangan dengan salah seorang diantara keduanya (ayah dan ibu) biasa pula disebutkan dengan singkat. Sebagaimana lazimnya yang berlaku pada negeri bekas Kerajaan Wajo dan Sidenreng, bahwa penyebutan Etta terhadap generasi lebih tua selain ayah dan ibu yang meliputi paman, bibi, mertua, paman/bibi mertua serta paman kakek/nenek, adalah berlaku khusus bagi seseorang kemenakan, menantu dan cucu kemenakan yang memiliki derajat kebangsawanan lebih tinggi dari para generasi yang lebih tua itu. Sebagaimana dipahami dalam struktur penyebutan dalam Wari (pranata) para bangsawan bahwa : temppeddingngi nateppu-teppu bawang asenna, tempeddingtoi nattana Puengi  (dia tidak boleh menyebut namanya begitu saja, serta tidak dapat pula disebutnya sebagai Tuanku). Kemudian para generasi lebih tua yang disebut diatas, jika disapa sebagai Etta atau Etta NEnE bagi paman kakek/nenek tidak dapat pula menyebut Pueng (Tuanku) kepada kemenakan atau Appo BenrEng (cucu kemenakan) yang menyapanya itu, melainkan : Ana' Baso' (Ananda  Pangeran) bagi laki-laki atau Ana' BessE' (Ananda Puteri) serta Ana' Bau' (Ananda Pangeran/Puteri Mahkota) bagi yang Ana' Mattola (putera puteri sederajat Datu yang sedang menduduki tahta).