Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Wari (Pranata)

WARI PAPOLEONRO RI WAJO 



I.     Ana' Mattola (Putera / Puteri Mahkota)
        a.  I a (L) + I a (P)   =  I a (L/P)  Matase'  (100 %)
        b.  I a (L) + II (P)    =  Ana' Samaraja       (95 %)

II.     Ana' Sangaji (Mulia)
         * I a (L) + III.a (P)  =  Ana' Sangaji (90%)

III.   Ana' RajEng  (Dihargai)
        a. I a (L) + IV a (P)  =   Ana' RajEng Lebbi (85 %)
        b. II (L) +  IV a (P)  =  Ana' RajEng (80 %)

IV.   Ana' CEra' (Putera/Puteri berdarah campuran)
        a. I a (L) + I/II (P)          =  Ana' CEra' Sawi (50 %)
        b. I a (L) + VIII.a           =  Ana' CEra Pua' (40 %) 
        c. I a (L) + VIII.b           =  Ana' CEra' Ampulajeng (25 %)
        d. I.a (L) + VIII.c           =  Ana' CEra' Yattang Dapureng (12,50 %)

V.   Ana' Arung  (Putera / Puteri Bangsawan)
      * III, IV (L/P) diatas       =  Ana' Arung

VI. Tau DEcEng (Orang baik-baik / Mapaccing)
       a. V (L) + V (P)           =  Tau DEcEng Karaja 
       b. V (L) + VI a (P)       =   Tau DEcEng

VII. Tau MaradEka (Warga Merdeka)
       a. Tau MaradEka Mannennungeng
       b. Tau MaradEka SampEngi (Ata yag dimerdekakan)

VIII. Ata (sahaya)
        a. Ata Manaa (sahaya warisan)
        b. Ata Mabuang (sahaya baru)
        c. Ata Tai Manu' (pesuruhnya Ata)

Namun secara umum tingkat derajat (darah) pada masyarakat Sulawesi Selatan, dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Mattola Sengngeng Pali    =   100 % (Arung Bocco / Matase')
2. Sama Raja                       =    95 %
3. Sangaji                             =    90 %
4. RajEng Massalangka        =    85 %
5. RajEng Matase'                =    80 %
6. RajEng Lebbi                   =    75 %
7. RajEng Malolo                 =    70 %
8. Sawi                                =    65 %
9. Mattola Matase' Sawi      =    60 %
10. CEra' Matase'                =   55 %
11. CEra' Seddi Mattola Sawi  = 50 %
12. CEra' Dua Mattola Sawi    =  25 %
13. CEra' Tellu Mattola Sawi   = 12,50 %
14. To DEcEng                        =  5 s/d 2,50 %
15.  To Samaa                         = 0 %

Selain pranata diatas, khusus untuk Warii'na Ana' ArungngE ri BonE  juga memiliki karakteristik yang sedikit berbeda serta lebih terurai dan terstruktur lebih lengkap. Salahsatu yang membedakan dengan Warii PapolEonrona Wajo diatas, adalah : Tingkatan Ana' Mattola Arung Mangkau' ri Bone haruslah seorang I a Matase' (100 %). Sementara di Wajo, Ana' Mattola masih dikategorikan 2 macam.

*) Sumber : Lontara' La Toa dari kajian Prof. Dr. H. Andi Mattulada (1995) diperbandingkan dengan Lontara Tana Tengnga yang diuaraikan oleh Andi Panguriseng (Andi Mori Alm.)






BICARANNA PANGADERENGNGE  (Perihal Bahasa Tata Krama)



Pendahuluan


Perihal "Ade" yang terlembaga dalam 4 ruang, yakni : Warii', Bicara, Tuppu dan Rapang begitu rumit untuk dikaji oleh pemerhati autodidak yang memiliki serba keterbatasan seperti saya. Namun disadari bahwa dari sekian banyak serpihan nilai yang berserakan kini memerlukan upaya pelestarian, agar nilai-nilai luhur yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari itu tidak menjadi sekedar penghias permukaan sejarah, walau dengan agak tertatih-tatih.

Salahsatu "kegelisahan" penulis saat ini adalah semakin jauhnya anak-anak kita dari "lingkaran Pangadereng" yang nampak jelas tercermin dalam Tata Bahasa sehari-harinya. Bahkan lebih parah lagi, banyak diantaranya yang sudah tidak dapat berbahasa Bugis lagi. Namun yang lebih parah lagi,  terjadinya "Abrasi Nilai" sehingga beberapa diantaranya yang begitu "Bangga" dengan predikat kebangsawanannya dengan terang-terangan menyebut diri : Bangsawan. Maka jelaslah jika "Ade' Bicara" sangatlah memerlukan "Rekulturasi" yang dapat dimulai pada diri sendiri, keluarga dan masyarakat kita. 

Disadari bahwa tidak banyak sumber tulisan yang dapat dijadikan sebagai reverensi karena "Ade' Bicara" ini merupakan pembiasaan yang dibudayakan sejak dini dalam sebuah keluarga (Rumah Tangga) yang solid. Sesuatu yang ditanamkan dengan penuh kesungguhan oleh orang tua kepada anaknya dengan penuh kesungguhan, sehingga kadang-kadang pada prosesnya membuahkan "cubitan-cubitan". " IgaleccEE timuE akko tosala teppu..." (mulut dicubit jika salah sebut).

Dengan demikian, Ade' Bicara yang berhubungan dengan Warii' sangatlah dijiwai oleh makna "Sirii' PessE"  (Martabat dan Solidaritas Kemanusiaan) sehingga disifatkan sebagai "Atribut" yang menandakan dari mana asal muasal keturunan seseorang. Maka dari beberapa topik yang telah ditinjau pada bagian terdahulu, maka sub kajian inilah yang paling berat bagi Penulis. Namun tetap juga saya haturkan, setidaknya inilah sekelumit "Wariina Belawa".

Selama penulis tinggal menetap di Parepare, banyak mengenal handai taulan dari Belawa yang mungkin bermaksud baik untuk memperkenalkan diri dan asal keturunannya dengan mengungkapkan : "...napuappoka' Datu Anu..." (Aku cucunya Datu Anu...). Bertitik tolak dari hal inilah, sehingga saya mencoba menguraikan tulisan ini dengan segala keterbatasan pengetahuan saya. Sebagaimana Almarhum Ayahanda berpesan dengan sangat kepada kami :  "Tania Waramparang upammanaarekko ana'. Tania too PakkEasengeng. NaEkia, Ade' Assipakalebbirengmi tu upammanarekko, mupammanareng toi ri wija-wijammu... " ( Bukan harta yang kuwariskan padamu, anakku. Bukan pula gelar. Namun Adat Saling Menghargai yang kuwariskan kepadamu dan wariskan pula kepada anak keturunannmu...". Sementara pada waktu lain, penulis juga pernah membaca wasiat Yang saya Muliakan Andi Ninnong Datu Tempe Petta Ranreng Tuwa Wajo, bahwasanya : "Sipa'Engmi paompo assalengngE.." (Tabiatlah yang akan memperlihatkan asal muasal..). 

Semoga kiranya ada diantara pembaca yang budiman, berkenan memberikan koreksi dan saran perbaikan untuk menambah pengetahuan yang bermamfaat bagi kita semua. Untuk itu, dengan segala hormat dan takzim, penulis menghaturkan terima kasih. 





Atanna DatuE (Hambanya Datu)




" Dua ri lino temmakkEana' temmakkEappo, iyanaritu : AtorengngE na DatuE " (Ada dua hal di dunia yang tidak beranak cucu, yaitu : Peraturan dan Datu). 

Sering didapatkan orang bercerita atau berkisah tentang silsilah leluhurnya. Ketika ditanya, " TabE', niga asenna turungengki' " (Maaf, siapa kiranya yang leluhur yang menurungkan anda ?". Maka menjawablah ia dengan hormatnya : " Rai-rai ajEnaka' DatuE ri yasengngE Datu Anu..., nasaba' alEna Puekku Datu MallinrungngE incajiangngi Topajajiakku boranEwE" (saya tidaklah lebih merupakan daki kakinya Raja yang bernama Datu Anu..., sebab beliaulah yang melahirkan orangtuaku yang lelaki).   

Tersebutlah Alm. Puekku Andi Bau Sumange' Rukka, semasa hidupnya sangat akrab dengan penulis. Saya mengenalnya sebagai seorang bangsawan tinggi yang tergolong "Ana' Mattola". Beliau adalah putera Petta Karaeng Sumange' Alam (putera Andi Mappanyompa Datu KapE Maddanreng Pammana) dengan Datu Kacupe' (Soppeng). Dengan demikian, beliau adalah pangeran Wajo, Soppeng, Gowa dan Sidenreng. Sebagian orang mengenal beliau sebagai sosok bangsawan yang tidak begitu memperhatikan pranata pada era masa kini. Namun menurut penulis, beliau adalah seorang Bangsawan yang sangat "mengerti" dengan tata bahasa bangsawan. Beliau sekalipun tidak pernah menyebut Datu KapE sebagai "nEnEku", melainkan disebutnya sebagai : Datu KapE mallinrungngE incajiangngE topajajiakku boranEwE.. (Almarhum Datu KapE yang melahirkan orang tuaku yang laki-laki).

Pada saat lain, dalam sebuah perbincangan yang cukup lama dengan Puekku H. Andi Baso (putera Andi Bau Patiroi di Balikpapan, Kaltim), beliau juga menyebut ayahandanya sebagai : DatuE (Tidak menyebut nama secara langsung). Kemudian beliau senantiasa menyebut "kakeknya" dengan nama gelarnya : Datu Bolong MallinrungngE (Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa). Demikian pula dengan Puekku H. Andi Bau Musba (Datu Cebba') yang senantiasa menyebut Ibundanya yang mulia sebagai : Datu MakkunraiyyE (Almarhumah Datu Sami'). Dari inilah sehingga penulis dapat melihat bahwa tata bahasa tinggi yang tercermin pada istilah penyebutan dalam rumah tangga Bangsawan memang memiliki aturan yang tertata rapi serta terpelihara dari waktu ke waktu.

Sebaliknya pada suatu ketika penulis berbincang-bincang dengan seseorang yang mengaku berasal dari Belawa. Dengan ringannya ia berkata : Napuappoka' PettaE Palla'E  (saya adalah cucu Petta Palla'E). Lalu saya bertanya : TEgaE ana' ri jajianna DatuE turungengki' ? (Anak yang mana dari Baginda yang menurunkan anda ?). Maka disebutnyalah sebuah nama. Akhirnya saya dapat mengerti apa adanya. Maklum, nama tersebut adalah salah seorang anak La Tamang Petta Palla'E yang tidak diakui karena digolongkan Anak Harami (Ana' BulE).

Perihal aturan tak tertulis ini sempat saya tanyakan kepada Ayahanda Almarhum. " Aga saba'na na dE' siseng-siseng nawedding ipoada makkedaE : Napoappoka' DatuE ? " (Apa sebabnya sehingga kita tidak diperkenankan mengatakan : Saya adalah cucunda Datu ?). Maka beliaupun menjelaskan, sbb :
1. Naiyya DatuE dE'na natopada, matase'i DatuE
2. Ebara'si pada, naEkiya engka bunga najujung DatuE
3. Pappakalebbiina DatuE polE ri wija-wijanna, nakkacoE lEbba'E.

Pengertian bebasnya kira-kira, sbb :

1. Kita tidak lagi sama dengan Datu, baginda memiliki darah murni dan kita sudah tercampur

2. Andaikan sama berdarah murni, namun Datu memiliki Tahta atau Jabatan dan kita tidak memilikinya

3. Pemuliaan Sang Datu dari keturunannya agar diikuti oleh masyarakat umum.


Namun terlepas dari perihal tersebut, tantangan dimasa kini adalah terjadinya transformasi budaya dimana faktor kebahasaan juga ikut berperan didalamnya. Kaidah Bahasa Bugis halus terkadang sulit diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Maka dalam tinjauan ini, Penulis beranggapan bahwa : Sah-sah saja jika sekiranya seorang Cucu Datu (Appo Datu) mengungkapkan dalam Bahasa Indonesia, bahwa : "Saya adalah Cucunya Datu...". Karena pengungkapan terjemahan langsungnya dari Bahasa Bugis akan terasa sangat janggal.







Ata, Budak atau Hamba ?

Ata adalah budak yang diperjual belikan dan digadaikan..
Ata adalah hamba yang dapat dijadikan mahar perkawinan..
Ata adalah abdi suruhan dalam istana..
Ata adalah sahaya yang dapat dipinjamkan sebagaimana halnya aksesoris..
……………………………………………………………………………………………………………………………..

Demikian antara lain pendapat atau persepsi sebagian orang jika ditanyakan perihal “Ata”. Namun sesungguhnya, semuanya sependapat jika dinyatakan bahwa : Ata adalah Manusia jua. Maka timbullah pertanyaan yang mendasar, apa dan bagaimanakah “Ata” itu sesungguhnya ?. Pertanyaan itu kemudian saya tanyakan  pula kepada Ayahanda Andi Panguriseng (A. Mori)  semasa hidupnya, H. Gandaria semasa hidupnya pula, serta Ibunda Hj. Andi KambeccE’ yang kini tinggal menjadi azimat hidup kami. Maka berikut ini diuraikan himpunan persepsi para pelaku sejarah itu.

Bukannya bertujuan untuk menghidupkan kembali masa Aristokrat dan Feodalisme yang banyak menganut pola hidup jahiliah itu, melainkan sekedar melengkapi khazanah Pengetahuan Budaya dan Sejarah pada berbagai sudutnya. Terlepas dari benar atau salah, tergantung dari sudut mana kita memandangnya.

Ata adalah sebuah strata sosial yang menempati urutan terendah dalam kehidupan Masyarakat Bugis dan Makassar. Sekiranya dapat diperbandingkan, Ata adalah suatu kasta yang setaraf dengan kasta Paria dalam Agama Hindu. Walaupun dikategorikan sebagai tingkat terendah, namun sesungguhnya Ata memiliki struktur pula dalam penggolongannya, sbb :


1.       Ata Manaa’

Suatu golongan yang mendapatkan identitas Ata disebabkan oleh keturunannya. Ia terlahir kedua orang tua yang berstatus Ata, maka iapun disebut pula sebagai Ata Manaa’. Golongan inilah yang pada jaman dulu  diperlakukan sebagai objek jual beli, gadai, pekerja dan juga sebagai lambing kekuasaan seorang Bangsawan. Bahkan lebih dari pada itu, pada jaman I La galigo, mereka kerap dijadikan pula sebagai “sesajian” yang dipersembahkan (dikorbankan) jiwanya kepada para Dewa.

2.       Ata Mabuang

Adalah golongan Ata yang berasal dari keturunan “MaradEka” (baik-baik) atau bahkan bisa pula dari kalangan Bangsawan. Mereka menjadi Ata disebabkan banyak hal, diantaranya diuraikan sebagai berikut :

-          Kalah Perang
Pada jaman dulu, akibat paling buruk yang terjadi pada suatu Kerajaan yang kalah perang adalah dijadikannya sebagai Ata bagi Kerajaan yang memenangkan perang. Kondisi itu berlaku sejak masa pra-Islam hingga pada masa Islam telah tersiar di Sulawesi Selatan.  Sebagai contoh kasus, dapat dikemukakan disini yakni peristiwa peperangan antara Kerajaan Sidenreng dengan Kerajaan Kecil Utting dalam tahun 1543. Ketika itu Kerajaan Wajo dalam pemerintahan La Warani To Temmagiang Arung Matoa Wajo X berpihak serta membantu  Utting. Keputusan itu patut dimaklumi karena Kerajaan Utting adalah merupakan “Lili”  atau wilayah taklukan yang berada dalam perlingdungan Tana Wajo sejak La Tadampare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo VII . Adapun halnya dengan Kerajaan Sidenreng, mereka dibantu pula oleh Kerajaan Gowa yang dipimpin langsung oleh Rajanya yang gagah perkasa, yakni : I Mariogau’ Daeng Bonto KaraEng Lakiung Tunipallangga Ulaweng Sombayya Gowa X.

Maka terjadilah peperangan yang amat sengit.  Namun, hanya dalam waktu 10 hari pertempuran mati-matian,  lasykar Wajo terpukul sampai ke negerinya dan dikalahkan secara mengerikan. Orang Wajo secara keseluruhan dijadikan “Ata” yang mengabdi kepada pertuanannya orang Gowa.

La Paturusi Tomaddualeng Arung BettEmpola yang menjadi perwakilan orang Wajo menyerahkan “kemerdekaan diri orang Wajo” dihadapan Raja Gowa seraya berkata dalam terjemahan Prof. Dr. H. Andi Mattulada, sbb :
“...kasihanilah kami, sudilah Baginda menerima upeti kami yang sedikit ini; Kami menebus kesusahan kami; Baginda adalah pertuanan dan kami adalah abdi (Ata) Tuanku.”
Maka menjawablah Raja Gowa, “ Kuterima penyerahanmu, hai Orang Wajo.: Untuk itu Dewata yang Tunggal menjadi saksi; Bahwa kalian abdi (Ata) dan kami pertuanan kalian; Apapun yang kuperintahkan, kalian wajib melaksanakannya !”
La Paturusi Tomaddualeng menyetujuinya seraya berkata : “Begitulah kiranya, KaraEng; Kami akan melaksanakannya sesuai kemampuan, serta membawa kebaikan bagi kami..”.

Dua tahun kemudian, Raja Gowa memerintahkan orang-orang Wajo untuk  memerangi Negeri  Batu Lappa. Penyerbuan itu berhasil dengan gemilang. Namun belum pula pulih kondisi lelah setelah peperangan itu, Raja Gowa memerintahkan pula pada orang-orang Wajo untuk menebang pohon di kampung Samangki (Wilayah Kerajaan Barru). Lima bulan lamanya orang-orang Wajo bekerja keras untuk menebang pohon yang akan dipergunakan untuk membangun Istana Raja Gowa yang baru..

-          Kalah Berjudi
Berjudi adalah sebuah kebiasaan yang sangat popular pada jaman dulu. Mulai dari lapisan rakyat paling bawah, hingga pada kalangan elit. Laki-laki maupun perempuan semuanya main judi.  Khusus bagi kaum perempuan, biasanya dilakukan oleh kalangan wanita bangsawan di Saoraja (Istana). Berbagai macam permainan dijadikan ajang perjudian, diantaranya : MaccupellE’, Maddadu, dll. Namun yang paling popular adalah “Massaung” (Sabung Ayam).

Kebiasaan berjudi yang sudah memasyarakat itu telah melekat sejak jaman I La Galigo. Dikisahkan dalam Lontara Besar tersebut, bahwa : I La Galigo sendiri adalah seorang tokoh judi yang senantiasa berbuat onar di tempat sabungan ayam.

Sebagaimana akibat yang timbul dalam perjudian, bahwa kebiasaan bertaruh itu menjadi semacam candu yang membuat orang menjadi ketagihan. Maka pada jaman dulu, adalah hal yang lumrah jika seorang penjudi ulung yang sedang kalah bertaruh, meningkatkan nilai taruhannya berupa sahayanya, isterinya, anak perempuannya, hingga “kemerdekaan dirinya sendiri”. Akhirnya, banyak pulalah orang baik-baik yang berubah status menjadi “Ata” akibat kalah dalam pertaruhan di arena judi.

-          Perlindungan Diri
Sebagaimana situasi dan kondisi pada jaman dulu, bahwa penegakan supremasi hukum tidak terorganisir dan tertata sebagaimana baiknya pada masa kini. Seseorang atau sebagai suatu kepala keluarga, dalam upayanya mendapatkan perlindungan bagi diri dan keluarganya, biasanya ia mengikatkan diri pada suatu rumpun keluarga yang lebih kuat sebagaimana dikenal sebagai “Appang” atau “Rapu”.  Namun tidak semua keluarga yang berhasil menggabungkan diri pada suatu “Appang” karena penggabungan tersebut biasanya haruslah diikat dengan tali kekerabatan (Perkawinan). Selain itu, iapun harus pula memberi persembahan (Makkasuwiang) dalam bentuk tanah persawahan/perkebunan atau ringgit emas, walaupun pada pihaknya adalah anak perempuan yang akan dinikahi oleh keluarga elit “Appang” tersebut.

Maka keluarga yang lemah tersebut, menjalangkan aktivitasnya dalam masyarakat dalam keadaan rentang oleh kesewenang-wenangan. Hingga pada suatu ketika ia diperhadapkan dengan suatu masalah yang bersentuhan dengan “Siri” (Harga Diri), terpaksa ia melakukan pembunuhan. Pihak keluarga yang terbunuh tersebut berusaha melakukan pembalasan, maka dikejarnya pembunuh tersebut.

Dalam pelariannya tersebut,  ia menuju ke Saoraja (istana) salah satu “Appang” yang besar serta disegani. Lelaki itu bermohon sembah kepada pemuka Appang itu agar diberikan perlindungan atas diri dan keluarganya. Sebagai imbalannya, ia menyerahkan diri beserta segenap keluarganya sebagai “Ata” yang mengabdi secara penuh kepada Appang tersebut.

Pada Kerajaan Belawa sendiri, semasa hidupnya Petta Pangulu Daeng Paliweng, beliau adalah salah seorang tokoh “Appang” yang amat disegani. La Maccaning, salah seorang saksi sejarah itu menuraikan kepada penulis, bahwa : “..narEkko engka tau ilellung nasaba’ maElo’i riuno, namoo naddEmperengmi passapungna nateppa ri laleng palla’na Petta PanguluE, napaliinitu alEEna pallellungngE lEEsu ri kampongna. Salama’ni tu to rilellungngE..” (..jika ada orang yang dikejar karena mau dibunuh, lalu ia melemparkan destarnya kedalam pagar Petta PanguluE, seketika itu para pengejarnya menghentikan pengejarannya lalu kembali ke kampungnya. Maka selamatlah orang yang dikejar itu...).

Menurut riwayat, bahwa semasa hidup puekku La Tengko Petta Manciji’E ri Wajo, baginda berpesan kepada orang-orang Lonra, bahwa : “ ..engkatu ana’ rijajiangku riyaseng I Batari utaro ri Lonra. NarEkko engka tau maElo riuno, assaleng naddEmpengmoi passapunna muttama ri palla’na, salama’ni tu..” (Aku telah menempatkan anak kandungku bernama I Batari di Lonra. Jika ada orang yang terancam jiwanya, walaupun cuma destarnya yang ia lemparkan masuk dipagar rumahnya, maka iapun selamat..). 

-          Korban Penculikan
Pada jaman dulu, orang-orang Enrekang kerap memasuki wilayah pegunungan Toraja untuk menculik orang-orang Toraja lalu dijualnya sebagai budak belian. Kondisi itu berlangsung selama berabad-abad hingga La ParErEngi Petta PonggawaE Bone turun tangan membasmi penculikan itu dengan operasi milter dalam abad XIX.

Orang-orang Toraja yang diculik dan dijadikan budak belian itu kadang-kadang justru berasal dari keluarga bangsawan dari negeri asalnya. Alkisah, seorang budak belian yang masih berumur remaja dalam sebuah rumah keluarga kaya di Wajo , selalu memperlihatkan tingkahlaku yang aneh. Jika dalam keadaan tertidur, budak itu selalu menaikkan kaki kanannya bertumpu pada lutut sebelah kirinya. Kebiasaan tidur dengan cara demikian, lazim ditemukan pada anak bangsawan tinggi. Setelah ditelusuri hal ikhwalnya, ternyata anak adalah salah seorang putera Arung Sangalla’ di Toraja. Kemudian saudagar itu mengembalikannya kepada Arung Sangalla’ sehingga mendapatkan imbalan 100 ringgit emas.


3.       Ata Tai Manu’

Golongan abdi seperti ini adalah menempati tingkat paling dasar dalam struktur sosial para abdi. Ia adalah suruhan para Ata yang lainnya. “Atanna ataE..” atau “Ata Puppuu..”, demikian diistilahkan dalam kehidupan istana. Golongan inipun sebenarnya tidaklah mesti berasal dari turunan “Ata”, sehingga dapat pula digolongkan sebagai “Ata Mabuang”. Namun penyebab jatuhnya status sosialnya itu dinilai sangat terhinakan karena “berhutang”.

Ia sedang menanggung hutang yang sangat besar pada seseorang yang tergolong sebagai “Ata” dimana tidak mampu dibayarnya, maka ia dijadikan sebagai “Ata”.

Fenomena keberadaan "Ata" sebagai suatu status sosial dalam masyarakat adat Bugis Makassar memberi warna tersendiri sebagai suatu hal yang membudaya. "Mannokoo Ata-Ata.." (Menggerutu bagai budak..) adalah istilah bagi orang yang suka mengeluh dan menggerutu terhadap suatu tugas/pekerjaan yang menjadi kewajibannya namun dikerjakannya jua. Seorang "Ata" melaksanakan pekerjaan tanpa imbalan apa-apa karena ia tidak memiliki kemerdekaannya sebagaimana hak asazinya sebagai umat manusia.

Namun jangan dibayangkan bahwa "Ata" dalam masyarakat adat Bugis Makassar itu sama halnya dengan budak sahaya di Negeri Arab pada masa jahiliah, demikian kata ayahanda. Seorang Ata dikatakan "rendah" karena mereka menempati tangga paling bawah dalam struktur sosial masyarkat Bugis pada jaman dulu. Tetapi kebanyakan mereka didapati pula sebagai orang-orang elit yang melebihi kalangan masyarakat umum pada masa itu. Mereka mengenakan pakaian yang lebih layak dari pada orang-orang "Maradeka". Mereka pula kebanyakan lebih terpelajar dari pada masyarakat kebanyakan. Hal itu disebabkan karena mereka sering ikut mendampingi majikannya, sehingga majikannya itu memberikan pakaian yang sepadan untuk mendampinginya pada berbagai acara. Mereka pula diajari baca tulis serta tata bahasa yang baik karena seringkali mereka difungsikan sebagai utusan atau juru bicara pertuanannya. Maka fungsi "Ata" dalam Saoraja (Istana) adalah : Dayang-dayang, pengawal dan kadangpula dimintai nasehat dan pandangannya. 

Bayangkan dirimu jika kau bekerja sebagai pegawai di Istana Merdeka pada masa ini. Maka begitulah status pekerjaan "Ata Saoraja" pada masa lalu, demikian kata H. Gandaria. Seorang "Ata" kepercayaan penguasa kadangkala lebih ditakuti oleh masyarakat daripada tuannya sendiri. Semisalkan ia menyukai seekor ayam milik masyarakat, maka dengan mudahnya diambilnya saja ayam itu dengan alasan "Napojiwi DatuE iyE manu'E.." (Raja menyukai ayam ini.."). Pemilik ayam itu tidak bisa berbuat apa-apa.

Sementara pada waktu lain ia membenci seseorang, dengan mudahnya pula ia menikam orang itu hingga mati. "Magi munoi Ero tauwwE ?!.." (Kenapa kau bunuh orang itu ?!..), tanya Sang Datu. Dengan bersujud sembah, Ata itu menjawab dengan takzimnya : "TabE', tennapodo temmatula atanna puekku DatuE nasaba mappEbali ri puengna. Mappanniga-nigai sengngatakku. Mappoadai ri tengngana tau maEgaE makkeda : dE'na gaga tau uwasiri.. pabbettuwangenna ataE, dE'tona nasirii'i pappuengengku. NarEkko napusirini DatuE, napumatEni tu joana.. Polo paa polo pannii', usaung sunge'ku ri laleng siriina puekku DatuE " (Ampuni hamba, semoga patik tidaklah kena tulah karena menjawab perkataan pertuanannya. Orang itu "Mappanniga-niga". Ia mengatakan dihadapan khalayak umum, bahwa tidak ada siapapun lagi yang diseganinya.. Dalam pengertian hamba, termasuk pula pertuananku yang tidak diseganinya pula. Adalah kewajiban hamba, sekiranya Tuanku merasa malu terhadap sesuatu, itu berarti masanya hambamu ini mempertaruhkan jiwa raga.. Walaupun mesti patah bagai pahat serta patah pula sayapku, hamba siap menyabung nyawa demi harga diri kemuliaan tuanku..).

Demikian pintarnya memutar kata hingga Sang Datu hanya mengangguk-angguk belaka. Padahal penyebab ia membunuh orang tersebut, tiada lain karena ia ditolak lamarannya terhadap anak perempuan si orang terbunuh. Maka sebagian besar Ata kadang memiliki kekuasaan pula.

Seorang Ata dapat pula dipulihkan statusnya sebagai "tomaradEka" (Orang Merdeka). Ada banyak hal sehingga mereka mendapatkan "anugerah" kemerdekaan itu dari majikannya, sebagaimana diuraikan sebagai berikut :
1.       Berjasa
Ia melakukan jasa besar dalam bentuk kepahlawanan yang menyelamatkan nyawa majikannya. Selain jasa kepahlawnan itu, seorang Ata dapat pula dinilai berjasa jika melindungi aib pertuanannya atau dikenal dengan istilah (Nasampoi Sirina Puengna). Sebagai contoh : Seorang Datu yang menghamili seorang wanita dari kalangan masyarakat umum, maka abdinya yang mengakui perbuatan itu serta menikahinya.

2.       Melakukan “Majjujung Kappara UwaE Lebbi”
Seorang majikan yang meninggal dunia, ketika jenasahnya sedang dimandikan, para Ata duduk bersila dibawah kolong Saoraja (Istana) persis dibawah jenazah pertuanannya. Mereka menjunjung baki besar yang menerima jatuhan air mandi jenazah pertuanannya. Perlakuan itu adalah bhakti terakhir yang tidak bisa dihalangi kemerdekaannya oleh para ahli waris majikannya.

3.       Ritarima Sompana (diterima maharnya)
Seorang wanita dari kalangan “Ata” dapat pula dinikahi oleh seorang TomaradEka. Ide pernikahan itu biasanya diatur pula oleh sang Majikan yang menyayangi sahayanya itu. Ketika mahar dipersembahkan, maka itulah yang dijadikan sebagai tebusan kemerdekaan bagi diri wanita itu.


Namun demikian, kebanyakan bekas “Ata” memiliki kesetiaan terhadap pertuanannya.  Mereka memandang pemimpinnya sebagai sosok agung yang pantas dilabuhi rasa pengabdiannya yang dalam. Sebagaimana yang digambarkan tentang kepribadian seorang Bangsawan yang sebenarnya, adalah : Naiyya arungngE, maccarinna na malabo.. (Bangsawan itu penuh kasih sayang dan suka memberi..). Setiap Ata yang dimerdekakannya, dilepasnya disertai dengan harta benda yang cukup untuk menjadi sumber penghidupannya. 








SEKELUMIT PENGALAMAN PRIBADI


Menurut pengalaman pribadi penulis, bahwa harta benda Petta Pangulu Daeng Paliweng dan Petta Pabbicara Daeng Malebbi telah dibagi-bagikannya kepada para abdi yang dimerdekakannya dalam jumlah  hampir sama besar dengan warisan putera puterinya sendiri. Demikian pula dengan harta benda Datu Batari Petta Lonra, baginda telah membagikan pula banyak harta benda kepada para bekas abdinya dalam jumlah yang sangat banyak. Jauh lebih besar dibanding “mahar pernikahan” yang diterimanya, sehingga tiada lain hanya merupakan simbol belaka.


Adalah hal yang sangat mengharukan, para bekas Ata yang  sudah “MaradEka” itu senantiasa setia serta tetap mengatakan diri sebagai abdi pada anak cucu bekas pertuanannya. Dalam tahun 1971 (saat penulis masih dalam kandungan), terjadi kemarau panjang di Belawa. Tanah persawahan menjadi kering kerontang sehingga tidak memungkinkan untuk ditanami padi.  Sementara itu, Kakanda H. Andi Pajung yang masih berumur 5 tahun kala itu tidak mau memakan nasi jagung samasekali. Ayahanda dan Ibunda tidak bisa berdaya apa-apa karena iapun tidak terbiasa bekerja sebagai buruh panen.


Tanpa diduga, para bekas abdi itu berombongan ke EmpagaE (Wilayah Kabupaten Sidrap) dan tinggal selama beberapa minggu sebagai buruh panen. Setelah kembali mereka memberi ½ dari hasil upayanya itu kepada orang tua kami dengan ikhlas (tanpa diminta). Semasa kecil, penulis diasuh pula oleh  “nEnE Rukka”, salah seorang mantan abdi Petta Pangulu yang masih hidup. Beliau sesungguhnya adalah anak seorang “Ata Mabuang” yang berasal dari keluarga Bangsawan dari Suli (Luwu).  Anak perempuan beliau dinikahkan pula dengan seorang turunan bangsawan, keluarga Petta Pangulu pula.  Lama setelah meninggalnya beliau, barulah penulis mengetahui jika ia bukanlah Ibunda dari Ayahanda yang sesungguhnya.






Ana'E ri Topajajianna


Pada kalangan Ana'Arung (Bangsawan), pemanggilan seorang anak kepada orang tua yang melahirkannya adalah beragam, sesuai dengan tingkat derajat antara si anak tersebut dengan orang tuanya, sbb :

1. Ana' Pada / Ana' Mattola : Menyebut ayahnya sebagai "Datu Ammaku"
                                              Menyebut ibunya sebagai "Datu Inaku"

2. Ana" Sangaji dan Ana' RajEng Lebbii' : Menyebut ayahnya "Datu Puekku"
                                                                Menyebut ibunya "DaEkku"

3. Ana' RajEng Biasa : Menyebut Ayahnya "Puetta" (Petta)
                                   Menyebut Ibunya "DaEkku"

4. Ana CEra' : Menyebut Ayahnya "Datu Puekku"
                       Menyebut Ibunya "Indo'ku"

5. Ana' RajEng yang kedua orang tuanya berderajat RajEng,
    Menyebut Ayahnya  "Ettaku" (Etta BoranEku)
    Menyebut Ibunya "Ettaku" (Etta Makkunraikku / Etta Indo'ku)

6. Ana' Arung yang ayahnya berderajat RajEng dan Ibunya berderajat Tau MaradEka,
    Menyebut Ayahnya : Puekku
    Menyebut Ibunya : Indo'ku

Namun pada beberapa tempat, seorang Ana' Sangaji" (kategori 2 diatas) memanggil Ayahnya sebagai "Petta Ambo'ku" dan tetap memanggil Ibunya sebagai "DaEkku" (DaEng). Kemudian seorang Ana' CEra' memanggil Ayahnya tetap sebagai "Datu Puekku" (DatuE) lalu memanggil ibunya dengan namanya begitu saja. Misalnya Ibunya bernama " I Wunga", maka dia menyebutnya : "Wungaku".

Adapun pada kalangan "To Lebba'E" (Orang Kebanyakan) mereka memanggil Ayahnya sebagai "Ambo'ku" dan memanggil Ibunya sebagai "Indo'ku".

Sumber : Ayahanda Andi Panguriseng (Alm.) dan Puang Matoa Hj. Zainuddin. Alm (H. Gandaria) menuturkan kepada PENULIS dalam tahun 1994. 




PassEajingeng (Bag. 1



"PassEajingeng" jika ditranskrip ke Bahasa Indonesia, adalah : Kekerabatan. Mengingat topik bahasan ini cakupannya sangat luas, maka terlebih dahulu ada baiknya jika menyimak kalimat yang diwasiatkan Petta Pabbicara DaEng Malebbi, bahwa : "NarEkko sikamo'-kamokengngi MaradEkaE, sikaka'-kakakenggitu ArungngE. NarEkko sikaka'-kakakenni MaradEkaE, sidaEng-daEngengi tu ArungngE. NaEkiya, narEkko siDaEng-daEngengni MaradEkaE, sipueng-puengko iko ArungngE.." (Kalau para orang MaradEka saling memanggil "kamo'", maka para Bangsawan saling memanggil "kaka'". Kalaulah para orang MaradEka saling memanggil "kaka'", maka para Bangsawan saling memanggil "DaEng". Namun jika para MaradEka sudah saling memanggil "DaEng", maka saling memanggil "Puang"lah kalian wahai para Bangsawan..).
...................................................................................................


Berawal pada suatu pagi dimusim penghujan. Waktu itu penulis berusia belasan tahun. Ayahanda mengajakku untuk menyertainya bersama sepupu sekaliku (Muhammad Badawi) untuk berkunjung ke beberapa sanak keluarga di WEle'E (Belawa Timur). Berhubung karena jalanan sangat becek (Jalanan Tanah), maka kami terpaksa berjalan kaki. Setelah kami tiba di depan mesjid kampung Lonra, kami berpapasan dengan seorang laki-laki berkulit agak hitam manis, mengenakan songkok hitam. Lalu ayahanda menyapanya : "Manguju lao tEgai senna Petta, Pung ?" (Menuju kemana kiranya "Paduka", Tuanku ?). Lelaki itu berhenti seraya memperbaiki letak sarung dan songkoknya, kemudian menjawab : "TomaElo lao OngkoE, Pung. TEga tosi palE manguju Petta ?" (Hendak ke OngkoE, Tuanku. Lalu kemana kiranya menuju pula ?). Maka mereka berbincang sejenak dengan saling memanggil "Puang" satu sama lainnya. Waah, saya tercengang mendengar percakapan yang menurutku "aneh" pada waktu itu. "MadEcEngni palE', massimangni Atanna Petta, Pung" (Baiklah, kalau begitu Patik mohon pamit, Tuanku), kata Ayahanda mohon pamit diakhir perbincangan yang amat akrab itu. Maka orang tersebut menyahut, "IyE', nassimangi alEna Petta, Pung" (Iya, Paduka memohon pada dirinya sendiri, Tuanku)....


"Niga Tau Ero onnangngE', Etta ?" (Siapakah gerangan orang itu tadi, ayahanda ?), tanyaku penasaran ketika orang itu sudah agak jauh. "Iyanaro riyaseng alEna Petta Caci, na'" (Beliau itu bernama Petta Caci, nak). Saya terdiam dan berpikir banyak tentang kejanggalan yang berputar dibenakku. Rupanya ayahanda dapat membaca keherananku tersebut. "Angkalingai madEcEng, Ana' Oddang.. DE'sahatu nakkatanrEang bicara Wija ArungngE. DE'to natajeng ripakalebbii. NaEkkiya, makkabEddangmi mappakalebbii. Naiyyaro onnangngE' Petta Caci appangna Petta Jinnirala Andi JalantE'. Appang maraja polE ri Arung Matoa Batara Wajo. Naiyya idi' wijannaki' Petta Pangulu Barisi'na Belawa. Tositeliina na siasirii Petta Jinnirala SengngengngE ri MallinrungngE... Iya uwissengngE Malebbii manengtu ana' Wija-wijanna Petta Jinnirala nasaba' napakkEade wariina lettu' ri teppa timungna. NaEkiya namanaa mato awaraningengna.." (dengarlah baik-baik, anak Oddang. Keturunan Bangsawan yang sebenarnya tidak saling meninggikan diri antara satu sama lainnya. Mereka tidak pula saling menunggu dihargai dari yang lain. Bahkan mereka saling mendahului memuliakan satu sama lainnya. Beliau tadi itu adalah Petta Caci, salahsatu rumpun anak keturunan Petta Jinnirala Andi JalantE'. Rumpun yang agung dari Arung Matoa Batara Wajo. Lalu kita adalah anak keturunan Petta Pangulu Barisi'na Belawa. Orang yang saling mengangkat saudara dan saling menghargai Petta Jinnirala SenggengngE ri MallinrungngE... Menurut pengetahuanku, Anak keturunan Petta Jinnirala semuanya sangat mulia disebabkan karena tata kramanya yang ketat hingga pada tata bahasanya yang baik. Kemudian mereka pula mempusakai keberanian leluhurnya...).


Pengalaman kecil itu sangat berkesan bagiku, hingga penjelasan "guruku" tersebut hampir-hampir kuhapal diluar kepala. Maka menurutku, "Warii" yang dalam hal ini kumaknai sebagai "pranata" atau Tata Protokoler Masyarakat Adat dalam arti sebenarnya, adalah nilai paling luhur yang menjadi "inti" dari "Pangadereng Ugi" itu sendiri. Sebuah aturan tidak tertulis yang diterapkan dalam lingkupnya masing-masing dengan sangat ketat, namun tidak lepas dari nilai luhurnya untuk saling menghargai satu sama lainnya dengan tulus serta kerendahan hati.


Selama perjalananku yang berpindah-pindah pada hampir semua kabupaten di Sulawesi Selatan (1992-2002), kudapati nilai "Wari" yang bersendikan "Ade' Sipakalebbii" pada semua keluarga Bangsawan setempat. Penulis pernah bertemu dan bergaul dengan mereka, diantaranya : Pada Putera-Puteri Almarhum Andi Amin KaraEng Bonto Tiro (Kab. Bulukumba), Putera-Puteri KaraEng TanabEru (Bulukumba), Opu Tuan Abd. Halid (Almarhum) sekeluarga di Panrangluhu (Tanjung Bira-Bulukumba), Andi Amin Sekeluarga di DauhE (Tanjung Bira-Bulukumba), S. Abd. Wahid KaraEng Raga di Jeneponto, Andi Cawa Miri bersaudara (Rumpun BEttEngpola), Andi Takko' (Rumpun Arung Matoa Wajo LaoddangpEro Datu Larompong), Andi Bengawan Basir (Rumpun Arung Matoa Batara Wajo), Andi Sahibuddin (Rumpun Arung Matoa Batara Wajo / Arung Gilireng), Andi Bau' Sumange' Rukka (Rumpun Andi Mappanyompa Datu KapE Maddareng Pammana), Andi Juanda (Rumpun Andi Mappanyompa Datu KapE Maddareng Pammana), Andi Baso Pawiccangi (Rumpun Andi Abdullah Bau' MassEpE Datu Suppa), Andi Ahmad Manggabarani (Rumpun KaraEng TinggimaE) dll... Semuanya menerapkan adat tata bahasa dan tata krama yang memuliakan satu sama lainnya dengan begitu ketat dan mulianya.



Kesemuanya itu tidak pernah menyebut diri dan anak-anaknya sebagai "Andi Anu..".Namun masyarakatlah yang menyebutkan gelar mereka dengan penuh hormat. Sebuah kisah menarik yang dituturkan oleh Bp. Drs. Djamaluddin, M.Pd (Ketua PGRI Kota Parepare) tentang seorang Bangsawan Tinggi dari Wajo, yakni : Andi Makkulawu. Beliau adalah seorang aristoktrat  yang menduduki jabatan tinggi sebagai "Petta CakkuridiE ri Wajo", sebuah kedudukan yang setingkat menteri. Beliau pula adalah Bupati I Kabupaten Pinrang serta memperisterikan Sitti Rukiah KaraEng Balla'sari Addatuang Sawitto ke-XV (Puteri Andi Mappanyukki' Sultan Ibrahim Petta MatinroE ri Gowa Mangkau' ri Bone ke-XXXII/XXXIV dengan BessE' Bulo). 



Pada suatu hari, Datu Makkulawu datang berkunjung ke rumah Andi Patonangi di Suppa. Kebetulan pada saat itu Bp. Jamaluddin sedang duduk-duduk di depn rumah tersebut. Tak disangka, DatuE mengucapkan salam lalu bertanya, : "Engkamiga Petta Tonang, Ana' ?" (Apakah Petta Tonang ada di rumah, nak ?). Bukan main ! Seorang Bupati dan Bangsawan Tinggi  menyebut "Ana'" pada siapapun yang lebih muda darinya serta menyebut "Petta" pada siapapun yang disebut "orang lain" seperti  itu.  Pada saat lain di suatu hari di Parepare (sewaktu beliau menjabat sebagai Walikota), Datu Makkulawu menyetop tukang becak. "TabE', ndi'. Tatulung mana' tantara'ka lao ri Cappa Ujung.." (Maaf, dik.Tolong antar saya ke Cappa'Ujung..). Menurut kesaksian Saudara Andi Darwin, bahkan ketika Sang Datu sedang menjadi Anggota DPR/MPR RI  pada tahun 70-an, sikap bersahajanya tetap seperti itu. Pertanyaannya, apakan dengan begit, Datu Makkulawu menjadi turun derajatnya ?... Silahkan dijawab menurut pendapat anda sendiri..





PassEajingeng (bag.2)



Secara umum, hubungan kekerabatan pada sistem "pangadereng Ugi" diatur dengan "Warii" yang merupakan pembeda pada masing-masing lingkupnya. Sebagai gambaran, diuraikan sebagai berikut :

1. Silessureng (Saudara)
 Bagi seorang pria, saudara (kakak/adiknya) perempuannya disebut sebagai : Ana' Darakku . Begitu pula sebaliknya, seorang perempuan menyebut saudara laki-lakinya sebagai : Ana BuranEku. Sebutan tersebut berlaku secara umum, baik bagi saudara kandung (Silessureng siama-siama), saudara tiri (Silessureng sianguru Ambo/Indo), saudara dari perhubungan pernikahan antara ayah dan ibu masing-masing (Silessureng Sikaporo) atau bahkan juga pada perhubungan saudara angkat (Silessureng Sitellii).

Pada kalangan "Ana' Arung" (Bangsawan), mereka saling memanggil "Puang / Pung" atau "Opu" (pada Bangsawan Luwu dan Selayar) dan "KaraEng" (Makassar) bagi yang sederajat (setaraf) kepada yang lebih tua. Namun pada beberapa kalangan, ditemukan beberapa rumpun keluarga di Wajo yang saling memanggil "Pung" antar bersaudara sekandung, baik yang lebih tua kepada adiknya, maupun sebaliknya. Pada rumpun lainnya, seorang kakak kandung memanggil "Pung" kepada adik kandungnya yang pada waktu itu sedang menduduki tahta sebuah Kerajaan yang lebih besar. Misalnya : LaoddangpEro Datu Larompong sebelum menduduki tahta Arung Matoa Wajo, baginda menyebut "Pung" pada adik perempuannya, yakni : We Tenriwatu Sulatanah ZaEnab Datu Soppeng ke-XXXV (Prof. Mr.Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH, Wajo pada Abad XV-XVI, Alumni-Bandung 1985).

Kemudian pada saudara tiri yang tidak setaraf, secara umum pengaturannya, sbb :
*Anak yang lebih tua (berderajat lebih rendah) menyebut : Andi' (adik) pada adiknya yang berderajat lebih tinggi darinya, walaupun sesungguhnya mereka saudara seayah. Sebaliknya, adik yang berderajat lebih tinggi tersebut menyebut kakaknya itu sebagai : DaEng. Pengaturan tersebut juga berlaku bagi mereka yang segenerasi (saudara, sepupu, ipar, dll).

Adalah hal sangat terlarang, apabila seorang kerabat terlebih lagi jika "orang lain" menyebut/memanggil "DaEng" pada seseorang yang segenerasi namun memiliki derajat yang sama, terlebih lagi jika yang dipanggil "DaEng" ini lebih tinggi derajatnya. Demikian pula apabila seorang yang lebih tua dipersebutkan "Anrimmu" (Adikmu) pada seseorang yang lebih dibawah derajatnya. Contoh : Si A berkata pada si B, "Sibawako matu' Anrimmu Si C, lao mai.." (Nantilah kau sama-sama dengan Adikmu si C datang kemari..). Padahal si C itu lebih dibawah derajatnya daripada si B. Maka hal-hal yang sekilas agak remeh tersebut dapat mengakibatkan ketersinggungan yang fatal. Biasanya pelanggar ketentuan tidak tertulis tersebut akan dinilai sebagai : Tau dE'gaga Wariina (seseorang yang tidak memiliki pranata).





"Joa", pengikut


"NarEkko naposiri'i DatuE, napumatEni Joana.." (Kalau sudah menjadi aib yang mencederai harga diri Datu, maka itu adalah saat bagi para pengikutnya untuk mempertaruhkan jiwa..).

...........................................................................................

Bertitik tolak pada ungkapan "Joa" diatas, maka ia dimaknai sebagai pengikut setia. Namun pada kesempatan lain, "Joa" diartikan secara harfiah sebagai peralatan yang terbuat dari sebatang kayu yang dipergunakan sebagai penggandeng sepasang sapi atau kerbau ketika membajak di sawah. Maka fungsi "Joa" sebagai ungsur peralatan membajak sawah tersebut adalah sebagai "alat pengikat" bagi sepasang sapi atau kerbau agar tidak saling terpisah dalam melaksanakan fungsinya. Namun demikian, "Joa" pula dijadikan sebagai istilah bilangan (hitungan) bagi hewan sapi dan kerbau. Sebagai contoh dapat dikemukakan, sbb :

- Duangngajoa saping nasapirengngi galungku (Sawahku ditukar dengan dua pasang sapi)
- Siajoa tEdong passEllEna kawalinna (Badiknya dipertukarkan dengan sepasang kerbau) 

Uniknya, istilah hitungan "Ajoa" atau "Joa" hanya berlaku pada hewan sapi dan kerbau saja. Tidak pernah ditemukan sebagai penghitung bagi hewan ternak lainnya, seperti : kambing, kuda, ayam dan lain sebagainya. 
Selain itu, "Joa" adalah poros utama tempat bertumpu peralatan bajak sawah. Maka "Joa" dipandang sebagai fungsi utama yang menggerakkan aktifitas atau pekerjaan membajak sawah yang merupakan sendi utama dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dimasa lalu.

Sebagai sebuah istilah bagi perangkat struktur dalam lingkungan aristokrat Bugis dimasa lalu, "Joa" adalah sebutan umum bagi seluruh pengikut Raja atau tokoh pejabat maupun bangsawan. "Joa" bagi seorang Raja boleh jadi adalah menteri, panglima, UlEbalang (Hulubalang), Pallapi' Aroo (Pengawal Pribadi), Kino (Ibu Susu), Pakkanna (Ksatria), To Warani (Pahlawan), Pabbicara (Hakim / Penasehat), atau bahkan Ata (Sahaya). Mereka semua yang terdiri dari lapisan struktur sosial tersebut adalah "Joa" (Pengikut) yang mengikatkan diri sebagai "Anggota Klan" dengan mengidentitaskan diri satu sama lainnya dihadapan Raja sebagai : "SengngataE" (Sesama Abdi).

Adalah hal yang menjadi suatu etiket tersendiri dalam hal tata bahasa krama dalam lingkungan Istana yakni ketika dihadapan "Datu" (Raja) dengan senantiasa menyebut diri sebagai "Ata" (Hamba/Patik) serta menyebut yang lainnya sebagai "Sengngatakku" (Sesamaku Abdi dihadapan Datu). Penyebutan "Sengngatakku" berlaku bagi semuanya, selain : Ana' Mattolana DatuE / Datu Lolo (Pangeran Mahkota /Putera Puteri Raja yang setara derajatnya dengan Datu sendiri), Datu MakkunraiyyE (Permaisuri / Gahara), Saudara atau kerabat yang setara dengan Datu dan Raja-raja negeri lain. Sebagai penjelasan uraian diatas, maka dihaturkan illustrasi percakapan dengan Datu, sbb :

Datu  :  Sienna muengka, La Oddang ? (Sejak kapan kau tiba, La Oddang ?)

Saya  :  Silalona mua lettu' atanna datuE, Pueng.. (Hamba baru saja tiba, Tuanku)

Datu  :  EbarE' engkatu kapang karEba maElo ri palettu' ?
            (Barangkali ada khabar yang ingin disampaikan kami ?)

Saya  :  Usompai Puengku DatuE ri sEsE alebbirengna..
             Iya naengkang AtaE mangolo ri cappa' ajEna Puekku DatuE,
             nasaba' maElo paissengngi Puekku makkadaE napumEnasai
             sengngatakku La Pajung tudang sipulung ri sEnEng mangoloE..
             (Sembah bhakti hamba bagi Tuanku dalam kemuliaannya..
              Adapun maksud hamba menghadap diujung kaki tuanku,
              yakni berkeinginan untuk memberitahu kepada pertuanannya tentang rencana
              sesamaku abdi tuanku yakni La Pajung untuk menyelenggarakan rapat keluarga
              pada hari senin depan...)


............................................................................. setelah berbincang beberapa lama, saya menanyakan perihal kesehatan Permaisuri. Maka tata bahasa saya adalah sebagai berikut :

Saya  :  TabE' Puang, aja namatula AtaE nasaba' pakkutanana lao ri Datu Puengna,
             Nasaba' siruntu'i AtaE Puekku Datu Lolo sangadiwenni',
             nasengengngi malasa-lasai garE' Puekku Datu MakkunraiyyE..
             (Ampuni hamba, Tuanku. Semoga hamba tidaklah kualat karena mempertanyakan
               perihal pertuanannya, pasalnya hamba telah bertemu dengan Pangeran Mahkota
               kemarin lusa, menurut beliau bahwa Tuanku Permaisuri kesehatannya sedang terganggu...)

Datu   :  Masala-sala pEnedding mEmengngi Puengmu ri sErE'na esso, naEkiya madisingni ...
              (Tuanmu memang agak sakit beberapa hari yang lalu, tapi sudah sembuh..)

Adalah merupakan suatu etika tersendiri dalam tata bahasa seorang "Joa" (pengikut) terhadap "Ajjoarengna" (Ikutannya) bahwa dianggap sebagai suatu hal yang kurang sopan sekiranya mengajukan pertanyaan secara langsung.

Bagi sebagian kalangan, tata bahasa yang selintas kedengarannya agak "menjilat" seperti demikian, namun dalam lingkungan "Pangadereng", itu adalah hal yang sepatutnya. Seorang Datu yang diillustrasikan diatas biasanya adalah paman saya sendiri. Namun begitulah "Wari" (Pranata) yang senantiasa berlaku hingga kini.

Anak-anak kandung penulis sendiri sehari-hari memanggil "Puang" (Tuanku) kepada ayah dan ibuku. Pada saat lain ketika ayah atau ibunda penulis menanyakan perihal "cucu-cucunya" tersebut, maka saya senantiasa menjawabnya dengan tata bahasa, sbb :

  Ibunda  : Maga maneng moi appoku, na' ? 
                 (Bagaimana khabarnya para cucuku, nak ?)
  Saya     : Madising-disingmoi sengngatakku iya maneng, Etta.."
                 (Mereka sesamaku abdi semuanya sehat walafiat, Etta..)

Maka tidak heran jika salah sorang puteraku pernah mengeluh, "Saya tidak punya kakek nenek dari pihak ayah..", katanya. Sesuatu yang kadang dianggap sebagai aturan kaku yang menciptakan "Gate" dalam perhubungan kekerabatan, namun sesungguhnya "Kasih Sayang" tidaklah terbatas tata bahasa belaka. Nilai luhur yang didapatkan dibalik kedisiplinan masa lalu itu adalah : terciptanya sikap saling memuliakan dan saling hormat menghormati satu sama lainnya yang diistilahkan sebagai Sipakatau na sipakalebbi rilalengna wari sipakkamasE-masEna assisumpungengloloE (Saling memanusiakan dan saling memuliakan dalam pranata saling mengasihi antar kerabat..). Maka "Joa" dan "Ajjoareng" adalah sesungguhnya adalah ikatan suatu hubungan dalam suatu kesatuan tersendiri.




TUDANG MABBOSARA'




"..NarEkko papolEki minasa passobbi rigau' pabbottingengngE, ana'.. Aja' lalo tappa majjulEkka ri baruga lawa sojiE. TauwwEpa toripuasengngE punnaE gau' rEnrEngngi', ana'.. inappa mupajjulEkka ajEmu muselluki barugaE. Aja'to paimeng mutudang mapponglopi, namooni pattumalingngE jellokengki'.. sEsai dua tellu tudangeng riyasEmu nainappa muoloi olomu rilalengna sitinajaE.." (..Jika suatu ketika kau bermaksud menghadiri suatu undangan kehormatan pada acara pesta pengantin, anakku.. jangan sekali-kali engkau langsung memasuki "baruga" kehormatan. Nantilah orang yang ditunjuk selaku wakil Tuan Rumah yang membimbingmu memasuki tempat itu barulah kau langkahkan kakimu memasukinya, anakku.. jangan pula menduduki tempat yang paling tinggi dalam baruga itu, walaupun petugas protokoler yang menunjukkan tempat itu bagimu.. sisakan dua atau tiga tempat diatasmu, barulah engkau berlakukan hal yang sewajarnya..)..
...........................................................................................

Demikian sang Ayahanda berpesan kepada kami, puluhan tahun yang lalu. Suatu pelajaran protokoler etik yang sederhana namun kini kurasakan sebagai suatu pendidikan yang sarat makna. Kode etik ketika memasuki "Baruga Lawa Soji", tempat kehormatan adat yang disediakan bagi para turunan bangsawan. Pada uraian bersahaja ini, penulis bukannya ingin membahas perihal kriteria "tudangeng wari bosara" yang merupakan inti pengaturan pengadaan Bosara' itu sendiri, melainkan tentang nilai filosophis yang menjiwai keberadaan tatanan Bosara' itu sendiri.

"Kerendahan Hati", kiranya inilah yang ingin ditanamkan para leluhur bangsawan sejak jaman dulu sehingga para anak turunannya dipesan serta diwanti-wanti barulah diikutkan ke suatu pesta adat, terlebih jika sudah dipercaya untuk sewaktu-waktu mewakili orang tuanya. "..riyalai mariawaE na dE namariawa taba', ana'.." (..merendahkan diri bukannya berarti merendahkan martabat, anakku), demikian wasiatnya yang mulia. Senantiasa bersikap tawadlu dan ikhlas atas segala apa yang diterima menurut perlakuan umum terhadap diri dengan senantiasa menjunjung tinggi rasa "naisseng alEna" (mawas diri).

"..naEkia magani narEkko engka tau dE' napakalebbiki', etta ?.. nasaba toriyalani mariawaE, nasengtongenni' mariawa.." (..namun bagaimana sekiranya orang tidak memuliakan kita, Tuanku ? .. karena kita selalu merendah sehingga dikiranya kita betul-betul rendah..), tanyaku suatu waktu. Sang Ayahanda tersenyum lebar, seraya menjawab : "..iya tongengpa tamatuna, narEkko alEtamato dE naissengngi maggau' malebbi'E.. nasaba' ripakariawa manengngi tauwE, Ejaji nagettengngi' tauwE noo, napaccoEni' mariawa. Alai mariawaE, Ana'.. Naruiiko tauwwE mEnrE'." (..nantilah kita benar-benar terhina, jika diri kita sendiri tidak tahu berlaku mulia.. karena kita merendahkan semua orang, sehingga mereka menarik kita turun, maka kita menjadi ikut menjadi rendah. Selalulah merendah, anakku.. maka orang akan menarikmu pada tempat yang tinggi..). Maka "mulia" atau "hina" setiap pribadi, tergantung bagaimana memperlakukan diri dan orang lain ditengah kehidupan bermasyarakat.

"..magaijE' narisEsa dua tellu onrong tudangeng mariasE' ri Baruga Bosara'E, Etta ?" (..emang kenapa mesti menyisakan dua atau tiga tempat duduk dibagian atas dalam Baruga Bosara'E, Tuanku ?), tanyaku penasaran. "..EbarE' aja nariperrisi PunnaE gau', ana'.. NarEkko engka taupolE naripuasengngi iyasE'ta, Ebara'i DatuE.. dE'na mulEppa'i tudangengmu lao ri toddang nasaba' onrongmu mEmeng mutudangi. Manyameng tudangengmu.. malebbii wariimu, nasaba' muisseng alEEmu. Weddissi taupolEwE ronnang tania Datu, arE'ga pada sinranjatta, naEkiya macoai naidi'..sitinajai ritudang riyasE'ta. IyanaE riyaseng sipakalebbi singraja lebbi'ta.." (..tujuannya agar kita tidak mempersulit Tuan Rumah, anakku.. Apabila setelah kau, datanglah seorang tamu undangan yang sekiranya memiliki derajat lebih tinggi darimu, misalnya Sang Raja sendiri.. maka kau tidaklah mesti pindah duduk kebagian bawah karena kau telah menduduki tempatmu yang sesungguhnya. Maka sungguh menyenangkan tempatmu yang sekarang.. sungguh mulia adat pranatamu, karena kau tahu diri. Ataukah bisa saja yamu yang baru datang itu memiliki derajat yang sama denganmu, namun dia memiliki umur yang lebih tua darimu.. maka wajar pula jika ia duduk diatasmu. Inilah yang disebut dengan adat saling memuliakan..), jelas Sang Guru.

Duhai, indahnya perilaku mawas diri jika dijiwai keikhlasan dalam hati yang senantiasa bersyukur.... kiranya inilah ilmu yang dijanjikan beberapa derajat dimata Allah.SWT. Amin..





MALAWENG

"..aja' mumalaweng, ana'. Nasaba maEgatu riyaseng malaweng. Malaweng kEdo, malaweng pakkita, malaweng pakE, malaweng ada, onrongnnaE laingnggE.."..

.....................................................................................................
Demikian antara lain wasit nenekda Andi Mapparimeng kepada anak cucunya. Sungguhpun "Malaweng" adalah kosa kata Bugis lama yang baru kumengerti, namun kurang lebih dapat dimaknai sebagai sesuatu yang "berlebihan" sehingga menjadikan sesuatu tidak bermatabat atau mungkin saja lebih mendekati pengertian : "genit". Maka terjemahan bebas wasiat tersebut kurang lebih, adalah : "..janganlah genit pada segala hal, anakku. Sesungguhnya banyak hal yang dapat disebut berlebih-lebihan (genit), yakni : genit bertingkahlaku, genit pandangan, genit berbusana, genit berkata-kata serta banyak lagi yang lainnya.."

"Tania poji rialE, tabE.." (bukannya menyanjung diri, mohon maaf..), menurut pengenalan kami perihal Nenekda Andi Mapparimeng bahwa beliau semasa hidupnya adalah peribadi yang sangat bersahaja. Sabar dalam bertingkahlaku serta senantiasa ikhlas dan tawadlu pada segala hal. Beliau menyebut "ndi" pada siapapun yang menurut umurnya pantas jadi adiknya serta menyebut "nak" kepada siapapun yang menurutnya pantas jadi anak serta cucunya dari segi umur. "Naposipa' asengna.." (bertingkahlaku sesuai namanya), demikian penilaian banyak orang terhadapnya karena sesungguhnya "Mapparimeng" dalam kosakata Bugis lama, berarti : Tawakkal dan tawadlu.

Suatu ketika, penulis menanyakan banyaknya orang di Belawa yang menjadi "Petta" dan "Bau" model terbaru, beliau hanya tersenyum maklum saja. "Taromoi riya' tauwwE, ana'. DE'sahatu nipolebbi agaga taniaE olota, nasaba' engka Puwang Allahu Ta'ala lebbi makuasa lao ri atanna iya maneng.." (biarkan saja mereka, anakku. Siapapun tidak akan termuliakan oleh sesuatu yang bukan haknya, karena selalu ada Allah Yang Maha kuasa diatas kita semua...), demikian ujarnya ringan. "NaEkiya, aja' mua mukacoE-coE mappakawang batu, na aja'too muapparogi lao ripadammu rupa tau.." (namun jangan pula kau ikut-ikutan memberi penghargaan palsu itu, serta jangan pula merugikan orang..), sambungnya.


Keterangan Gambar :
Nenekda Andi Mapparimeng (kanan) dan kemenakannya (Andi Bau' Billung) dalam suatu acara keluarga. Petta Bau Billung adalah puteri Puekku mendiang Andi Bau Sulolipu Petta KaraEngngE bin Andi Patongai Datu Doping Arung BElawa, sepupu satu kali nenekda.

Hal menarik yang dapat menjadi catatan penulis dari ujar beliau adalah : "Mappakawang Batu" dalam pengertian harfiahnya, yakni : berusaha menjadikan batu kali mengapung dipermukaan air. Sesuatu yang lebih diartikan sebagai mengupayakan sesuatu yang mustahil karena berlawanan dengan prinsif hukum alam (fisika). "Mappakawang Batu" dalam ranah pranata etika sosial suku Bugis adalah sesuatu yang sangat terlarang oleh "Wari". Contoh perlakuan tersebut dapat diillustrasikan, sbb : si A yang tadinya disapa sebagai Puang A, tiba-tiba saja oleh anak cucunya disebut sebagai : PETTA A. Contoh lainnya, Petta B yang sebenarnya hanyalah "ana' sipuE" dari "Datu C" tiba-tiba saja ditingkatkan derajatnya secara sepihak oleh anak cucunya sebagai "Petta Bau B"...". Demikian pula pada lapisan Todeceng yang oleh anak cucu serta kemenakan-kemenakannya biasanya disapa "pung Anu", tiba-tiba saja menjadi "Andi Anu" yang tertulis di KTP, padahal pada ijazah serta akte kelahirannya tertulis nama tanpa embel-embel "Andi".

"Aja' muapparogi..", jangan merugikan orang lain, demikian penekanan nenekda. Bahwa pada seseorang yang kerap disebut orang kebanyakan sebagai "Wa' Anu..." atau "Nene Anu..", janganlah langsung kau sebut pula dengan sebutan itu. Jangan sampai orang itu menjawab, "Taniaka' nenemu.." (aku bukan nenekmu). Jangan menyebut menyebut apa-apa jika kau ragu menentukan sebuah sebutan. "Lebbi mappEsaroE.." (lebih baik menguntungkan..), dalam artian yang sewajarnya. Orang yang beradat mulia biasanya mampu menempatkan diri dengan baik jika kita bisa memposisikan diri pada hal yang sewajarnya pula. Hal itu terbukti, suatu ketika rumah kami kedatangan rombongan "passobbi" (pengantar undangan pernikahan) dari Sengkang. Nenekda bertanya, "PolE tEgaki', ana' ?". Juru bicara rombongan itu seketika duduk mendeprok di lantai seraya mencium lutut nenekda. "..Aja lalo kasi' niyattana anaki atanna petta, Puang..., mabusungnga' matu'."  (..janganlah hamba sekalian disebut anak, nantilah kami kena tulah...).

Keterangan Gambar :
Puekku H. Andi Bau Singke bin Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa (berkaca mata) bercengkrama dengan sepupu sekalinya tercinta, nenekda Andi Mapparimeng. Pada sebelah kanan nenekda, isteri Datu Singke, yakni : Puekku Hj. Petta Bau RawE (puteri Arung MallusEtasi) dan duduk disamping beliau yang mengenakan sarung pink adalah Puekku Andi Bau RallE (puteri Datu Singke). Sebelah kanan Petta RallE adalah pamanda Puekku Andi PabEangi.


Nenekda Andi Mapparimeng sesungguhnya memiliki banyak keluarga dekat di Wajo Timur (Pammana) hingga Bone. Andi Mapparimeng adalah puteri Petta Bau' Landeng Paddanreng Ana Banua (putera Datu Hawang binti La Tune' Sangiyang Arung BEttEmpola) dengan Andi Batari PettaE Lonra (puteri La TEngko Petta Manciji'E ri Wajo dengan Andi REwo ana'na Arung Barukku) yang juga merupakan kakanda Puekku Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa (Datu Bolong). Ayah dan ibundanya sesungguhnya bersepupu sekali karena Datu Hawang dengan La Tengko Petta MancijiE bersaudara kandung (Putera puteri La Tune Sangiyang Arung BEttEmpola Petta MatinroE ri Tancung dengan I Busa Arung BElawa Petta WaluE).

Aja' muEbbu laleng baru, ana'.. Aggau' malebbi mukko, Puwang Allahu Ta'ala pa mpukkarekko alebbirengmu.. Aja lalo mupakatunai padammu rupa tau, nasaba' masselessureng manengngiritu sininna rupa tauE ri lino, ateppekini bawang nak.. (..jangan sekali-kali merintis sebuat adat baru, anakku.. berprilaku mulialah, nantilah Allah yang membukakan pintu kemuliaanmu.. Jangan sekali-kali merendahkan seseorang karena sesungguhnya manusia diseluruh dunia itu bersaudara..), demikian wasiat terakhirnya pada malam menjelang wafatnya pada tanggal 16 April 1995. Beliau dimakamkan disebelah pusara suaminya tercinta, yakni : Andi Dai' pada kompleks pekuburan Datu (Jara'E) Belawa, berdampingan dengan pusara pamannya tercinta : Puekku Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa (Datu Bolong).





 LA TAMANG PETTA PALLA'E, Sang Pangeran Belawa





..namanya tidak tercatat pada lontara silsilah "TellumpoccoE", namun hampir semua Pallontara yang pernah saya temui mengenalnya sebagai Bangsawan berdarah murni. "Puang Allahu Ta'ala mani yase'na, nak..", demikian antara lain komentar Almarhumah Petta Wara dari Pattojo (Soppeng) seraya mencium dan menjunjung jemarinya sendiri sehabis menyebut namanya.
................................................................................................................................

Terhampar dibawah batang pohon "siyapa" ditengah "Jara' LompoE" di TippuluE, Belawa. Makam Sang Pangeran terbujur disamping makam ayahandanya. Ada getir yang mengganjal dihati, bukan apa-apa.. entah siapa yang merenovasi makam itu dengan memasang tegel putih, mengingatkanku dengan pelataran pasar ikan di Parepare. Namun itu tidak seberapa, orang yang berniat baik itu justru menukar nama yang menandai Sang Pangeran dengan ayah kandungnya.

Terlalu sulit menelusuri kisah perjalanan hidupnya karena beliau sesungguhnya adalah seorang pangeran yang gemar mengembara. Kegemaran itu dapat dimaklumi mengingat nazab keturunannya yang memiliki jalur kekerabatan dengan hampir semua Raja-Raja besar di Tanah Bugis pada jamannya. Dari ayahandanya, yakni : La Sappo Petta Ogi Datu Palireng Arung Belawa Petta MatinroE CempaE (putera La Mappulana Petta Ogi dengan We Bakke' Datu Kawerrang) adalah jelas menempatkan La Tamang sebagai Pangeran Ogi, Soppeng dan Belawa. Bahkan pada sebagian "Sitambung" (daftar silsilah yang telah dilegalisir) yang pernah penulis baca, disebutkan jika ibunda La Sappo adalah We Yabang yang adalah saudara kandung La Tenritappu Arumpone MatinroE ri Rompegading. Namun pada Lontara Abbatireng Soppeng dan Belawa, ditemukan bahwa We Yabang dan We Bakke' Datu Kawerrang adalah orang yang berbeda, tetapi sama-sama merupakan permaisuri La Mappulana Petta Ogi yang tersohor itu.

Selain warisan pengaruh dari garis ayah, La Tamang mewarisi pula jalinan kekerabatan yang lebih jauh pula dari pihak ibundanya, yakni : We Tenri Balobo Daeng riyasE Datu Pammana. Sang ibunda tersebut adalah puteri We Tenriabang DatuE Watu dengan La Pallawagau Arung Maiwa Datu Pammana Pilla ri Wajo (putera Janggo LampE Ulu Arung Maiwa Arung Tellu Latte' SidEnrEng dengan We Tenri Datu Pammana) yang termahsyur itu. Siapapun yang membaca kisah La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Singkang Arung Matoa Wajo Petta PamaradEkangngi Wajo, tentulah akan menemukan peran La Pallawagau sebagai "The King Maker" yang menjadi kunci kejayaan dan kejatuhan seorang pahlawan La Maddukelleng. Kemudian dari sisi We Tenriabang DatuE Watu yang sesungguhnya adalah adik kandung La Mappajanci Sultan Ismail Datu Soppeng XXVII, keduanya adalah putera puteri La Mappasiling Datu Watu Datu Pattojo Petta MatinroE ri Duninna (dimakamkan pula di Jara' LompoE, TippuluE - Belawa) dengan We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu XXIII-XXV.

Menurut beberapa Sitambong yang ditandatangani Almarhum Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa (Datu Bolong) yang terbit pasca wafatnya Andi Abdul Wahid Dg Mamiru Petta Pabbicara Belawa pada tahun 1954, ditemukan beberapa kerumpangan menyangkut silsilah La Tamang Petta Palla'E. Tercatat bahwa, La Sappo Petta Ogi Datu Palireng Arung Belawa Petta MatinroE CempaE (Ayahanda La Tamang Petta Palla'E) adalah putera La Wawoi Addatuang Sidenreng sehingga bersaudara dengan La Panguriseng Addatuang Sidenreng dan La Cincing Akil Ali KaraEng MangEppE Datu Pammana Arung Matoa Wajo. Kiranya hal tersebut adalah kekeliruan karena perihal nazab jelas La Sappo Petta Ogi sangatlah jelas tertulis pada setidaknya 3 lontara besar yang berbeda, yakni : Lontara Akkarungeng Bone, Lontara Panguruseng Abbatirengna Ana' ArungngE ri Soppeng dan Lontara Abbatireng milik La Wahide Dg. Mamiru Pabbicara TippuluE ri Belawa. Ketiganya memiliki versi yang persis sama, sehingga kiranya sulit meragukan kebenaran ketiganya.

Menelusuri perbincangan para penutur yang mengetahui sedikit tentangnya, dapat disimpulkan bahwa karakter seorang La Tamang Petta Palla'E yang gemar mengembara diseputar wilayah Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng, Rappang dan Maiwa  sesungguhnya berkepribadian bebas dan tidak ambisius menduduki tahta kerajaan besar yang merupakan haknya. Beliau bukan pula seorang patriot karena tidak ada satupun khabar pinutur apalagi merupakan catatan yang menyebutkan kisah perlawanannya terhadap penjajah Belanda. Namun sebaliknya pula, beliau bukan pula seorang antek Penjajah Belanda karena tiada pula yang pernah menyebutnya demikian.


La Tamang sesungguhnya adalah seorang bebas dalam artian sebebas-bebasnya. Pada setiap negeri yang dikunjunginya, beliau memiliki isteri yang sah maupun tidak sah. Menurut Almarhumah Petta Wara semasa hidupnya, DatuE La Tamang Petta Palla'E konon memiliki isteri sah sebanyak 41 orang dan isteri tidak sah yang tak terhitung jumlahnya. Sifat dasarnya yang bebas dinampakkannya pada banyak pengalaman perjalanannya yang penuh kisah romantis. Alkisah, pada suatu ketika Sang Pangeran sedang menempuh perjalanan dari Sidenreng menuju Belawa melewati areal persawahan. Hingga ketika itu, beliau melihat seorang gadis cantik nan rupawan yang sedang mengusir burung-burung pipit ditengah sawah. Maka Sang Pangeran tidak melewatkan kesempatan itu, lalu dirayunya gadis itu hingga rela menjadi kekasihnya sesaat.Setelah hajatnya terpenuhi, La Tamang meneruskan perjalanannya dengan puas dan tanpa beban seakan tak terjadi apapun yang dianggap penting setelahnya.

Penuturan berlanjut, hingga setelah memasuki bulan kesepuluh dihitung sejak peristiwa itu, datanglah keluarga perempuan tersebut makkasuwiang (bersuhita) ke Saoraja Belawa. Mereka melaporkan kelahiran putera perempuan di tengah sawah itu kepada La Sappo Arung BElawa, ayahanda La Tamang. "Jajini atanna DatuE, Pueng.." (telah lahir hambanya Raja, Tuanku..), sujud juru bicara diantara mereka. "Niga mappEgau' ? (siapa yang melakukan ?), tanya Arung Belawa singkat. "Puekku Datu Lolo ri Palla'E.." (Tuanku Sang Pangeran dari Negeri Palla'E..), jawabnya. Arung Belawa La Sappo kemudian menanyakan gambaran kronologis kejadiannya yang dijelaskan para pelapor bahwa segalanya terjadi ditengah persawahan. "BoranE iyarE' Makkunrai ?" (Bayi itu berjenis laki-laki atau perempuan ?), tanya Arung Belawa lebih lanjut. "BoranE atanna DatuE, Pueng.. " (sesungguhnya hambanya Raja tersebut adalah laki-laki, tuanku), jawab mereka dalam sembahnya. "NarEkko makkuEro riyasengni : La ................. DaEng ................. " (jika begitu, baiknya diberi nama : La ........................... DaEng .................. ), demikian titah Arung Belawa. Mohon maaf, atas pertimbangan menjaga etika dan perhubungan silaturrahmi maka nama tersebut tidak ditulis.

Suatu hal yang menjadi ganjalan pula, bahwa dari sekian banyak isterinya, tiada satupun yang memiliki derajat sama dengannya. Seorang isterinya yang dianggap paling berdarah bangsawan dibandingkan ratusan yang lainnya, adalah : I LEkke' (puteri DaEng Parebba Datu Bulu'bangi) yang merupakan "Ana' Sangaji" (darah 90). Menurut uraian dalam Sitambong, anak dari isterinya tersebut, antara lain : La Pamessangi Baso Parepare dan La PallEmpa DaEng Pawawa Petta Boso'E MatinroE ri PittuE. Berdasar dari kenyataan itulah, sehingga menurut Petta Wara, Ayahanda Andi Panguriseng dan H. Zainuddin (H. Gandaria) semasa hidupnya yang didasari dari pengetahuan mereka yang luas tentang silsilah dan wari (pranata), bahwa : "Lima lappi turungeng lakkana La Tamang Petta Palla'E dE'na niandikeng, sangadinna engka abbatirengna rilainnaE ritu.." (Generasi kelima dari La Tamang Petta Palla'E TIDAK LAGI bergelar ANDI, kecuali ia memiliki nazab dari bangsawan yang lain..)

La Tamang memiliki banyak saudara tiri dari pihak ayah maupun ibu. Saudara seayahnya yang terkenal adalah La Rumpang Daeng Pasolong Petta Bombo' Datu Tana Tengnga MatinroE ri PaodaEnna (putera La Sappo dengan BessE Tungka) serta saudara seibunya yakni : Arung Baranti (jalur ini tidak dapat dituliskan pula disini karena penulis tidak menghapalnya).

Sang Pangeran yang bebas itu akhirnya menemukan pula ujung perjalannya. Pada akhirnya, ajal elah menjemputnya dan dimakamkan dengan penuh kebesaran di Jara' LompoE, TippuluE - Belawa. Pemakaman yang tiada duanya di Belawa sejak dulu hingga dimasa kini dan insya Allah semoga tak terulang pada masa yang akan datang. La Tamang Petta Palla'E dimakamkan dengan 7 orang budak sahayanya. Seorang diantaranya bersila di liang lahat dengan memangku kepalanya dan keenam yang lainnya berhadap-hadapan memangku jazad tubuhnya.., kemudian mereka ditimbuni tanah hingga tertanam hidup-hidup menemani Pangeran junjungannya. Nudzubillah, Astaghfirullahiladziim.


Wallahualam Bissawwab...






NASEHAT BAGI PARA ANAK BANGSAWAN


Issengngi na mupattama ri ati marenni'mu, ri laleng ininnawa madEcEngmu, Ana'ku..
Ketahuilah lalu masukkan dalam hati kecilmu, hingga jauh kedalam nurani baikmu, duhai Anakku..
...................................................................
Mupuadai ri etto' ininnawammu, makkedaE :
Katakan dari dalam nuranimu, bahwa :


Naiyya alebbirengngE, tania manaa simulajaji
Sesungguhnya kemuliaan, bukannya diwarisi sejak lahir


Riyasengnga' ana' to lebbi ampala, nasaba' pura napattentuengmuwa' Allahu Ta'ala
Sekiranya kini aku digelari keturunan para orang mulia, hal itu semata-mata karena ketentuan Allahu Ta'ala.


Tania Pueng Gellareng nataneng Tomatoammeng naripuengi
Bukannya gelar "Tuan" yang ditanam oleh orang tuaku, sehingga beliau disebut Tuan adanya


Tania paimeng nassabari awaraningenna na riyatau ripadanna tau
Bukan pula disebabkan karena keberaniannya sehingga ditakuti oleh sesamanya manusia


Tania paimeng nassabari akuasangenna na ridomai ripadanna tau
Bukan pula disebabkan karena kekuasaannya sehingga hormati sesamanya manusia


Nasaba' naiyya akuasangengna, padanna mua tau papolE rEso
Karena sesungguhnya kekuasaan yang dimilikinya, asalnya dari pemberian sesamanya manusia



NaEkiya, saba'i ammasE-masEna mua siduppa pappakaraja ripadanna tau
Namun, sesungguhnya karena sifat welas asihnya jua yang berbalas penghormatan dari sesamanya manusia


Taniyaki' tau segge', ana'..
Kita bukannya orang pemberani, anakku..


Taniyaki' tau pappolo ada, ana'ku..
Kita bukannya orang yang mudah menjahati orang dengan kata-kata, anakku..


Taniyaki' arung, Ana'..
Kita bukannya pula bangsawan, anakku


Nasaba' naiyya tongengngE riyaseng arung..
Karena sesungguhnya yang sebenarnya disebut sebagai Bangsawan


Iyanaritu tau mapato'E ri tongengngE
Yaitu orang yang teguh terhadap kebenaran


MappadEcEngngE ri Tanana
Mendatangkan kebaikan pada negerinya


NaEkiya, riyasengngi' wija tau dEcEng
Namun kita disebut keturunan orang baik


Nasaba' papolE dEcEng ri pangkaukengta
Karena segala kelakuan kita selamanya berakibat baik


MadEcEng lao ri tauwE
Baik bagi orang lain


MadEcEng paimeng lao rialEta
Baik pula bagi dirinya sendiri


Wallahualam Bissawwab




(Nasehat hari Jum'at bagi anak-anakku..)