Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Senin, 17 Desember 2012


OBROLAN TENTANG NAGA DAN TIKUS
                                             By. La Oddang

Hampir semua reverensi tentang Budaya Masyarakat Dunia mensifatkan hewan sebagai perlambang karakter manusia sepanjang zaman. Kebudayaan Cina mensifatkan para Kaisarnya sebagai Naga, hewan mytologi yang bentuknya menyerupai ular, berkaki ayam, gondrong dan moncongnya menyerupai anjing itu. Sementara itu, kebudayaan masyarakat Skandinavia juga menggambarkan Naga dengan bentuk berbeda. Ia lebih kekar, bersayap kelelawar dan kepalanya plontos. Namun kebudayaan kedua benua timur dan barat itu sama-sama menggambarkan karakter tentang Naga ini sebagai mahluk agung nan perkasa. Mereka adalah penguasa bijaksana dan penguasa lalim, apapun karakternya, namun ia tetaplah naga. Kaisar tempat berkhidmatnya para pembesar-pembesar tikus. Lalu bagaimana halnya dengan Tikus ?
………………………………………………………………………………………………………

Hewan kecil pengerat, berekor panjang, berkumis panjang, berbulu kasar, mata kecil, jorok, jalannya mengendap-endap dan pemakan segala (carnivora), begitu persepsiku tentang tikus. Demikian sederhana, maklum saja karena nilai pelajaran Biologyku sejak SMP hingga SMA senantiasa berwarnah cerah (merah). Namun kini tiba-tiba tertarik dengan hewan yang satu ini, karena ramai diperbincangkan pada berbagai media. Para penguasa besar dan kecil di negeri ini, jika ia melakukan tindak korupsi, maka ia dilabeli sebagai : Tikus. 

Mengendap-endap ditempat gelap dengan mata kecilnya yang licik, menggerogoti karung penyimpanan bahan makanan. Tidak ada tempat penyimpanan makanan yang tidak mampu dimasukinya, lemari makan ataupun bahkan tanaman yang masih tumbuh  di sawah atau ladang, tidak luput dari incarannya. Maka ia dikategorikan sebagai  hama.

Menilik asal muasal pada tikus pada epos Mahabharata, syahdan Bhatara Naradha yang terlahir dalam wujud seekor naga (Naga India ; tidak berkaki) sedang menangisi kesepiannya. Maka Bhatara Ghuru merasa iba, air mata Bhatara Naradha diubahnya menjadi 3 butir telur. “Turunlah ke Bumi, rawat dan tetaskanlah telur-telur itu agar kau tidak merasa sepi lagi.”, titah Sang Raja Dewata itu. Sang Naradha memungut dan memasukkan ketiga butir itu kedalam rongga mulutnya, lalu melayang turun ke Bumi. Namun, ditengah perjalanan ia lalai membuka mulutnya. Dua butir telur  terlepas dari mulutnya dan jatuh terlebih dahulu di Bumi. Keduanya pecah dan menetas sebagai babi dan ..tikus. Adapun halnya dengan sebutir telur yang tersisa itu, dirawat dengan telaten oleh Bhatara Naradha hingga menetas sebagai Sanghyang Sri, Dewi Padi nan jelita dan welas asih itu.

Adapun halnya dengan Babi dan Tikus, keduanya merasa iri kepada Sanghyang Sri. Mereka merasa diperlakukan tidak adil karena tercipta dengan bentuk dan rupa yang buruk. Maka dengan berbagai upaya, keduanya meminumkan racun kepada Sanghyang Sri, hingga binasa. Namun pada dasarnya suatu kebaikan yang tidak pernah mati, Dewi yang baik hati itu berubah wujud sebagai tanaman padi yang berguna bagi umat manusia. Namun, kedua babi dan tikus tidak pernah berhenti mengganggu saudarinya yang welas asih itu, mereka senantiasa berusaha merusak tanaman padi di sawah. 

Bahkan reverensi budaya tertua dari India, mensifatkan tikus sebagai hama pengganggu. Lalu bagaimana halnya dengan tikus menurut tinjauan budaya Bugis ?. Iapun adalah wujud penggambaran karakter pengecut dan tidak memiliki rasa solidaritas pada saudaranya, sebagaimana digambarkan pada mytologi India. Ia adalah mahluk berkumis nan cerdas, namun tidak segan-segan menjilat kotoran suku bangsa lain, demi secuil makanan yang bisa didapatnya. Iapun piawai menyelinap kesana kemari dengan manuver pencitraan “Ksatria Suci” jika dalam posisi tersudut. Persis sebagai “Jerry” atau “Mickey” yang imut-imut menggemaskan itu.

Pada kosa kata Bugis, ia dikenal sebagai : Balao atau BElEsu. Iapun digelari sebagai : La Makkikko’ (Si Berekor). Pada khazanah puisi-puisi rakyat yang mengkritik pejabat kerajaan yang culas, diungkapkan :

DE’ nancaji, Lapuang !
Puruu’ manengtoni taneng-tanengngE,
Napakkuwa La Makkikko’,
SawEi ri galungngE,
Lalowasai ri lalempanua,
Lettu’ ri laleng Saoraja,
NasapE-sapE’i ade’E,
Naoca-ocai bicaraE,
Namakkasolang ri wanuaE

(Panen telah gagal, Tuanku,
Tanaman telah meranggas pula,
Akibat ulah Si Berekor,
Berkembang biak di sawah,
Merajalela didalam negeri,                                             
Hingga ke dalam istana,
Dirobek-robeknya adat,
Dikunyah-kunyahnya hukum,
Sehingga rusaklah negeri )

Maka prilaku tikus senantiasa ada pada setiap zaman. Ia adalah pertanda adanya tatanan yang tercemar dalam tingkat pemerintahan. Bahkan kadangkala disifatkan sebagai “alat penghukum” dari Dewata SeuwwaE.

Wallahualam Bissawwab.

Selasa, 04 Desember 2012

Senin, 12 November 2012

MENGAIS JEJAK YANG TERSISA




Bentangan busur membidik senja,
..dengarkan laguku,
Aku bukanlah buaya,
Berkaca suram dibibir pantai ini..



Pandanglah lekat,
Bahkan rimba pun bercermin,
Pada teguhnya bertahta diatas batu


Gundukan reruntuhan karang memahat prasasti,
Abaikan waktu yang pantang berhenti,
Maknai saja,
Usap pipimu,


Tentramkan riak jiwa,
Warnanya takkan pudar,
Namun bersimbah peluh,
..dan air mata..


Perhatikan langkahmu,
Genggam erat tanganku,
Namun dada sesak,
..irama nafasmu memburu,


Hamparan ini berkata,
Kudengar derap lamban langkah kalian,
Telusuri kaki bukit ini,
Mendaki puncak tahtaku,


Hingga dipenghujun jalan,
Tersimpan seribu puisi,
Tercipta dibawah rerimbunan ini,



Kayu "TengmatE" itu takkan pernah lapuk,
Saksi segala saksi,
Tentang cerita segala hikayat,
Penantian senja melukis jelang malam..


Abadikan ia dalam kisah,
Takkan pernah tertulis dalam buku,
Tanpa perkenan sahibnya,

Abaikan sepinya hari ini,
Aku bercanda dengan tebing batu,
Selami dalamnya terumbu nuraniku,
Mari pulang,
..perhatikan langkahmu..
Bahkan rerumputan berdamai dengan pasir,
Pada tenangnya riak gelombang hari ini,
Ucap salam pada penghujung kisah,
Selamat Tinggal rerimbunan bukit batu,
Selamat Jalan..
Pantai LumpuE, 13 Nopember 2012





Senin, 05 November 2012

Penyampaian Pakurusumange'

Assalamualaikum, Wr. Wb
Salam Sejahtera bagi kita sekalian

Segenap kerabat pembaca yang saya muliakan,

Pada hari ini Blog kita bersama ini telah dibajak oleh hacker,
Alhamdulillah, berkat hidayah dan inayah Allah jua maka dapat diambil kembali.
Permohonan dan pesan kepada saudara hacker, bahwa tujuan penulisan pada blog ini tiada lain yang diharap selain ridlo Allah semata. Membumikan silaturrahmi, itulah harapan kita bersama, maka "upalEngeng pale'ku ri idi", kiranya tidaklah tega merusak blog ini. Semoga Allah membukakan hati kita semua.

Wabillahitaufiq Wal Hidayah,

Wassalamu Alaikum Wr. Wb.


                                                                                              Parepare, 06 Nopember 2012

                                                                                              Hormat saya,


                                                                                              Oddang

PAPPESAU-SAU PENEDDING
                         By. La Oddang



“Tellongnomai ininnawa, muradde’ ri tudangeng lebbimu, mulEsang ri lalo SEngerengmu. PalEnne’ni mai, dararing mamminasamu. Akkatta nasau cinnaE, bola lobbang rilettuki. Aga mEmeng riala lusEreng Elo nawa-nawa, marennu nateppai tarawu, risaliweng tasi’mua nasuloi. Mappisangka cinnong ati, ritappaana cora kEteng, pateddu ati maruddani, rilaleng tinromui mappaseng”

Jenguklah kemari duhai nurani, tenanglah dalam kedudukan muliamu, berlalu jua dari kenanganmu. Letakkanlah munajat citamu. Kehendak yang teralahkan keinginan, rumah kosong jua yang dituju. Apalah memang gunanya berkasih dengan keinginan pikiran, berharap dihinggapi pelangi, namun diseberang lautan jua yang diterangi. Berprasangka pada jernihnya hati, pada terangnya cahaya bulan, penggugah hati nan rindu, namun dalam tidur jua berpesan.

“EE.. poasengngE toto, mabElai kutiroko, jokka rialE-alE, mutellu sitinro. Aga mEmeng riala mattiro, saba’i anrEna patangnga’E,  pakkira-kira bangkung kunru. Adakku kua, EE gellarengna mamminasaE, Tellu tongengnga’ sitinro, CinnaE, UddaniE na PassEngerengngE. Tuo’a’ padai laona taneng-taneng, daunna garE’ cinnaE, colli’na uddaniE, buana SEngerengngE. Aga mEmeng mutaneng ri nawa-nawammu, aga mEmeng murennueng ri pawinrumu, tania mEmeng balu’-balu’ cenning atiE, pappEsangka saromasEwE”

Wahai ..dikau yang disebut nasib, nun jauh kau kupandang, berjalan sendiri, namun bertiga jua seiring. Buat apa kiranya melihat, sebab sesungguhnya penglihatan pandangan itu, bagaikan perkiraan golok tumpul jua. Kataku jua, Wahai dikau yang bergelar cita, memang kami bertiga seiring adanya, keinginan, kerinduan dan kenangan. Aku hidup bagai tumbuhan, berdaun keinginan, bertunas kerinduan, berbuah kenangan. Mengapa pula dikau menanamnya dalam pikiranmu, buat apa pula dikau berharap pada upayamu, ketulusan bukanlah barang dagangan, berprasangka pada keihlasan adanya.

                                                                                                                Parepare, 5 Nopember 2012




"PINRANG", MAKNA KECINTAAN ANAK NEGERI


PRAKATA
Assalamualaikum Wr. Wb,

Alhamdulillahi Robbil Alamin, wassolaatu wassalaamu ‘alaa asyrofil ambiyaa’i wal mursaliim, Allohumma sholli ‘alaa Muhammad, wa ‘alaa alihii wa shohbihii aj’main.

Cendekiawan Nursangaji berujar, "..kita sedang menuntut ilmu pada Universitas Kehidupan". "..saya memilih Fakultas Sejarah", kataku kemudian.

"Hal ihwal masa sebelum saat ini..", demikian pengertianku tentang "sejarah". Terukir jelas pada dinding waktu, dimana Allah berfirman tentangnya. Maka ia adalah kisah yang digurat oleh Sang Guru Mumpuni, bernama : Pengalaman. Sejarah menulis jatuh bangunnya seseorang, keluarga, kaum, umat, bangsa dan semua mahluk. Maka ia adalah ta'wil, cerminan ihwal bagi masa yang akan datang. Maka bagaimana menyikapi dan memutuskan langkah pasti kedepan, tergantung bagaimana memaknai sejarah pada saat ini, bersama jati diri yang ditemukan lewat jendela sejarah.

Sang Guru mengajarkan sejarah, ia mengutip setiap butir hikmah didalamnya, sebagai ibrah yang adiguna. Memaafkan dan berlaku adil, begitulah permata sejarah menamakan dirinya. Menghargai waktu dan arif bagi kehidupan di masa ini, demikian sejarah senantiasa menunjukkannya. Maka sejarah, sesungguhnya adalah "Ayat Allah" yang terukir pada sepanjang masa.

Akhirnya, merupakan suatu kebanggaan bagi saya pribadi yang mendapat curahan kehormatan untuk mengantarkan suatu materi, yang semoga kiranya menjadi “setetes air” dari telaga Sejarah “Bumi La Sinrang”. Salahsatu Kabupaten paling makmur di Sulawesi Selatan, beserta latar sejarah dan budayanya yang kaya philosofi, tentang keberagaman dan tradisi kejuangannya yang menggetarkan.

Tiada lain yang amat diharapkan pada pemaparan materi ini selain ridlo Allah semata. Hidayah melalui suatu majelis yang akan mengeksplorasi pengetahuan tentang ke-sejarah-an Kabupaten Pinrang dengan lebih dalam, dimana materi sederhana berjudul “Pinrang, Makna Kecintaan Anak Negeri” ini hanyalah sebagai pengantar belaka.

Hashbunalloha wa ni’mal wakiil, ni’mal mawla wa ni’mannashiir,
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
                                                                                                              Parepare, 2 Nopember 2012
                                                                                                                                               


                                                                                                             Andi Oddang Panguriseng



               
I.   PENDAHULUAN

- Latar Belakang
Kabupaten Pinrang yang merupakan salahsatu Daerah Tingkat II di Propinsi Sulawesi Selatan sesuai Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi yang berlaku pada tanggal 4 Juli 1959, merupakan suatu Kabupaten yang terhitung sebagai suatu Daerah Tingkat II seluas 10.196.77 Km2 dengan mewilayahi 12 Kecamatan, dimana beberapa kecamatan diantaranya adalah bekas kerajaan yang cukup berpengaruh di masa sebelum kemerdekaan.

Berbeda halnya dengan Kabupaten/Kota lainnya di Sulawesi Selatan, Kabupaten Pinrang bukanlah merupakan suatu bekas kerajaan secara utuh, sebagaimana halnya dengan Kabupaten Bone, Wajo, Soppeng dan Gowa kini, melainkan gabungan beberapa kerajaan yang tergabung dari 2 kawasan, yakni : Ajatappareng dan MassEnrEngpulu.

Kerajaan Suppa, Sawitto dan Alitta adalah diantaranya yang merupakan 3 Kerajaan Utama dalam wilayah persekutuan LimaE Ajattappareng yang terbentuk sejak abad-17, sampai pada awal abad-20 merupakan kerajaan-kerajaan yang tidak dikuasai secara langsung oleh Belanda berdasarkan Perjanjian Bungaya (1667/1669), melainkan dipandang selaku “negeri sahabat” yang lazim disebut “Zelefbesturende Landschappen”. Demikian pula halnya dengan Kerajaan Kassa’-Batulappa yang sesungguhnya berada dalam kawasan persekutuan MassEnrEngpulu.

Sehubungan dengan perihal tersebut diatas, maka penulisan Sejarah Kabupaten Pinrang secara menyeluruh adalah uraian kronik setiap kerajaan yang meliputi pengaruh 4 etnis besar di Sulawesi Selatan dan Barat, yakni : Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Selain itu, tidak dapat pula diabaikan keberagaman periode permulaan kesejarahan Sulawesi Selatan yang terhitung sejak abad-14 - 16, kemudian pada masa babak baru kehidupan Politik Kolonial dalam abad-17 sampai pada masa kemerdekaan yang menandai akhir era pemerintahan kerajaan dalam abad-20 bagi masing-masing kerajaan didalamnya.

Mengingat ruang lingkup kesejarahan yang beragam pada Kabupaten Pinrang, maka perkenankan saya untuk membatasi makna topik “Sejarah Kabupaten Pinrang”, menjadi “Sejarah Pinrang” sebagai awal penamaan suatu pemukiman kecil dalam wilayah Kerajaan Sawitto.

- Maksud dan Tujuan
Sebagai bahan kajian pada Seminar Sejarah Kabupaten Pinrang dengan harapan kiranya menjadi kilasan pengetahuan yang semoga menjadi pengenalan awal untuk menumbuhkan minat dan cinta generasi muda terhadap sejarah dan budaya leluhurnya.





II.  KERAJAAN SAWITTO

A. Masa Awal
Sebagaimana halnya dengan kesejarahan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, awal mula berdirinya Kerajaan Sawitto dituturkan dan dituliskan dengan beragam versi. Terlebih pula, Sawitto sesungguhnya berada pada titik persimpangan antar etnis besar di Sulawesi Selatan dan Barat, sebagaimana dikemukakan sebelumnya.

Wilayah titik perbatasan antar etnis inilah yang kemudian membuahkan beragam versi tentang penduduk awalmula Sawitto, diantaranya dikatakan dari Enrekang, Tana Toraja dan Bone. Namun terlepas dari berbagai versi tersebut, Sawitto kemudian berdiri sebagai suatu kerajaan beserta dengan tokoh foundernya, yakni seorang Tomanurung atau To Tompo yang didahului masa chaos sebagaimana biasanya dikenal sebagai masa SianrEbalE (saling memakan bagai komunitas ikan).

Bahwa dalam abad-14, wilayah dataran tinggi Sawitto sebelum terbentuk sebagai suatu kerajaan, sesungguhnya dihuni oleh para pendatang dari berbagai etnis bersama dengan legendanya masing-masing. Disebutkan bahwa penduduk awalmula itu berasal dari etnis Toraja menghuni kawasan sebelah utara, yaitu : Kaballangang dan sekitarnya, hingga seluruh wilayah yang berbatasan langsung dengan Tana Toraja kini. Masyarakat inilah yang kemudian bertutur Bahasa Pattinjo, suatu bahasa yang unsurnya adalah percampuran bahasa Bugis dan Toraja (Palisuri, Lontarak,1995).

Kemudian dalam kurun abad yang sama, orang-orang Enrekang berdatangan pula menghuni wilayah pesisir pantai barat yang dikenal kemudian sebagai Sawitto Timoran Saddang. Mereka dipimpin oleh La Mappatunru, putera Bissu Tonang Arung Enrekang. Kedatangan La Mappatunru beserta rombongannya untuk bermukim pada daerah pesisir tersebut, diperlengkapi dengan peralatan  bercocoktanam, bibit tumbuhan, kuda dan kerbau. Mereka membuka tanah perkebunan, kemudian menamai kawasan perkebunannya sesuai jenis tanamannya, yaitu : Langnga (wijen), LamE (ubi), Kaladi (keladi) Beberapa tahun kemudian, kawasan perkebunan itu berubah menjadi areal persawahan yang berkembang menjadi perkampungan, yakni : Langnga dan Pakkaladian.

Demikian pula dengan kawasan lainnya disebelah PalEtEang, dan Tiroang yang membujur kearah selatan hingga Malimpung, Madello dan Simbuan kearah Utara Barat Laut, sama-sama berkembang sebagai pemukiman masyarakat yang diketuai oleh pemimpinnya dengan beragam sebutan, yakni : Matoa, Uwa’ dan AnrEguru.

B. Periode Tomanurung dan To Tompo
Sesungguhnya, sejarah dan tradisi kepemimpinan para Raja di Sulawesi bermula pada jaman “sianrEbalE” (saling memakan bagai komunitas ikan). Sebutan pada kondisi kacau balau dalam kehidupan bermasyarakat, ketika tiada hukum dan pemimpin yang cukup kuat untuk menertibkan keadaan tersebut.

Masa kegelapan dimana yang kuat sewenang-wenang terhadap yang lemah itupun berlangsung cukup lama, sebagaimana digambarkan berbagai Lontara , yakni selama “pitu pariamanna” (tujuh zaman). Maka kemudian, masyarakat negeri saling menghimpun diri dan keluarga mereka dalam kelompok-kelompok kecil yang kerap disebut sebagai “anang” (persekutuan keluarga). Kiranya hanya dengan himpunan kesatuan kecil itu, barulah mereka dapat bertahan dalam suasana kacau tersebut. Selanjutnya, kerapkali terjadi perang antar Anang disebabkan perebutan lahan atau kawasan, dalam usaha mendominasi dan memperkuat pengaruh kelompoknya masing-masing.

Ditengah suasana “chaos” itu, tampillah sosok kharismatik serta ber-Ilmu Pengetahuan. Peristiwa kemunculan tokoh yang tidak diketahui asal muasalnya itu digambarkan sebagai kejadian yang luar biasa (magis), kemudian dipandang sebagai anugerah (pemimpin alternative) bagi sekalian Anang yang pada akhirnya lelah juga berperang. Maka ia dijadikan pemimpin atas permintaan dengan sangat oleh rakyat negeri itu yang diwakili oleh Matoa Ulu Anang-nya masing-masing. Namun sebelum ditabalkan sebagai “raja/ratu”, ia pula harus mengadakan perjanjian dengan para penghulu kaum/rakyat.

Demikian pula halnya dengan masyarakat anang yang menghuni wilayah Sawitto pada masa itu. Sebagaimana dituturkan dalam salahsatu kronik Sawitto yang diperkirakan terjadi dalam tahun 1350 M (Rimba Alam, 2009), muncullah 7 orang “To Tompo” (muncul dari bawah) di wilayah AkkajangngE atau Lurah MarajaE. Para To Tompo itu dipimpin oleh saudara tertua mereka yang kemudian disebut sebagai : Puang ri SompaE. Maka baginda inilah yang ditabalkan sebagai pemimpin perhimpunan segenap Anang dengan sebutan : Addaowang (tempat bernaung). Peristiwa kemunculannya di Lurah MarajaE, ditetapkan sebagai legenda yang menjadi awal mula penamaan Kerajaan mereka, yakni : Na Sawi To Tompo (diberkahi orang yang muncul dari bawah), kemudian disingkat menjadi “Sawitto”. Inilah versi pertama perihal penamaan Kerajaan yang sedang dibahas ini.

Pelantikan Puang To RisompaE selaku Addaowang Sawitto didahului dengan sambutan dan ikrar bersama dengan para Penghulu Anang, diuraikan pada kronik Sawitto sebagai berikut :
“Anganroangna MatoaE : Angingko ki raukkaju // Riao miri // Riakkeng teppa mutappalireng // NaElo’mu kua // Adammu sia // Mattampako kilao // MarEllauko kiabbErEang // Passuroangmu riamasEang // Namau anammeng napattarommeng// mutEaiwi,// kitEaitoi// REkkua tudammuni’ mai ri tanata// Mangkaukeng temmagaru “

“Mappibalini Puang ri SompaE : Ujujung ada madEcEngmu, // PabbanuaE // Upallongi-longi na kusappiang mattakkE ulaweng, // Ada malebbikkeng, // RiassEddiangmu patonangia’ Addaowang.” (Johan Nyompa, 1980).





( Berikrarlah Para Matoa : Engkaulah angin dan kami dedaunan kayu belaka. Kemana kau berhembus, disitulah kami terhampar, mengikuti arahmu selalu. Kehendakmulah yang terlaksana, amsalmu yang terwujud, Engkau memanggil, maka kami datang, Engkau meminta, maka kami memberi, Perintahmu adalah rahmat, Walau anak dan isteri kami, jika engkau tidak menghendakinya, Kami akan menolaknya pula. Namun, bertahtalah di negeri ini, pimpin kami agar tidaklah kacau balau)
(Menjawablah Puang ri SompaE : Kujunjung tinggi ikrar baikmu, wahai orang banyak. Kutinggikan lalu kusangkutkan pada dahan-dahan emas, ikrar kemuliaanmu. Berkat persatuanmu jua, menjadikanku sebagai naungan).

Maka bersatulah para anang itu dalam himpunan satu negeri, dibawah kepemimpinan Addaowang Puang ri SompaE. Adapun halnya dengan keenam saudaranya, mereka menjadi perangkat kerajaan dalam suatu lembaga adat yang kerap disebut sebagai “AnnangngE”, sebagai berikut :
1. To LEngo, menjadi Matoa LEppangeng (Tiroang) dan turunannya mewarisi jabatan AnrEguru (Panglima) dan Mappasusu (Penasehat) Kerajaan Sawitto,
2. La Massa To Kipa, menjadi Matoa PalEtEang dengan gelar : Bori’-Bori’na PalEtEang,
3. To Marro, menjadi Matoa Arawa,
4. To Masse’, menjadi Matoa Masila,
5. To Panroko, menjadi Matoa Bua (sekarang berada di daerah Padakkalawa),
6. To Maddampang, Pappasusu Sawitto.

Era pemerintahan Addaowang Puang Matoa adalah awal penyatuan para Anang yang kemudian menjadi daerah “lili” (daerah bawahan) Sawitto dengan hak dan kewajibannya masing-masing.

Kronik Sawitto yang memberitakan perihal Addaowang Puang ri SompaE hanya menguraikan sebatas kemunculan To Tompo’E dan pembentukan Kerajaan Sawitto beserta lembaga adatnya. Penelusuran penulis sejauh ini belum mendapati suatu sumber yang menguraikan kelanjutan turunan Puang ri SompaE sebagai Addaowang penerus wangsa To Tompo tersebut, hingga kedatangan To Manurung dari selatan, yakni ManurungngE ri Bacukiki.

Tersebutlah La BangEnge’ ManurungngE ri Bacukiki, dalam perjalanannya kearah utara dari tempatnya “manurung” (turun dari khayangan), tibalah beliau pada suatu pemukiman yang ramai. Maka ia berkata kepada pengikutnya : “SawEto tauwE rini’ “ (ramai pula orang disini). Kemudian peristiwa tersebut menjadi versi lain dari awalmula penamaan Kerajaan Sawitto. Hal yang mendasari sehingga oleh beberapa kalangan Sejarawan Sulawesi Selatan menyebutkan La BangEnge’ ManurungngE ri Bacukiki adalah Addatuang Sawitto I, sementara Sejarawan lainnya menyebutkan GeppoE  yang adalah cucu langsung La BangEnge' sebagai Addatuang Sawitto I.





Penobatan La BangEnge’ selaku Addatuang Sawitto I adalah akhir dari dynasti Addaowang Sawitto dalam kurun abad yang sama. Perubahan gelar wangsa Addaowang (naungan) menjadi Addatuang (pertuanan), adalah bermula sejak pernikahan La BangEnge’ ManurungngE ri Bacukiki dengan We Teppulinge’ ManurungngE ri Lawaramparang yang berkedudukan di Kerajaan Suppa. Keduanya adalah leluhur para Raja di Kawasan Aja Tappareng dan bahkan mencakup sebagian wilayah MassEnrEngpulu, TellumpoccoE dan TelluE ri Cappa’gala pada abad-abad kemudian, hingga pada masa akhir kerajaan pada paruh pertengahan abad-20.


C. “Pinrang”, Menurut Catatan Lontara Sawitto
Lontara Bilang Kerajaan Gowa menyebutkan seorang tokoh besar yang menabur prestasi gemilang bagi negerinya. Berkat kecerdasan dan keberaniannya, maka Gowa yang mulai tumbuh sebagai suatu Kerajaan Maritim, kini semakin besar dan menjelma sebagai suatu kekuatan poros di Nusantara pada abad-16. I Mario Gau’ DaEng Bonto KaraEng Lakiung, demikian antara lain nama dan gelarnya. KaraEng Tunipallangga Ulaweng, itulah gelarnya yang paling mahsyur. Sombaya Gowa X, demikian jabatan dimana ia bertahta dalam kurun tahun 1546 – 1565.
Perhubungannya dengan Sawitto dicatat dengan rapi dalam 3 versi Lontara Attoriolong Sawitto. Salahsatu versi yang akan dikemukakan disini, yakni : Lontara Sawitto H. Paewa (LSHP) dengan terlebih dahulu memaparkan latar belakang, sebagaimana diuraikan pada Lontara Attoriolong Sawitto (LAS).

LAS membuka penguraiannya, sbb :
Pannessaengngi attoriolongngé ri Suppa’ ri Sawitto riwettu marajana mupatoha / Nalaona puwattaq Makaraié / Nasitana karaéngngé ri Gowa riasengngé Toripalangga
(Uraian yang menjelaskan sejarah di Suppa dan Sawitto pada masa kejayaannnya / Maka berangkatlah pertuanan kita MakkaraiE / Bertemulah pertuanan di Gowa yang bernama Toripallangga)

Penguraian lebih lanjut adalah perbincangan persahabatan antar kedua Raja dengan akrabnya, hingga kemudian sepakat untuk menjodohkan putera puteri mereka. Sesungguhnya Petta MakkaraiE Datu Suppa III memiliki puteri yang amat jelita, bernama : We LampE WElua’ (Puteri Berambut Panjang). Maka Sang Puteri inilah yang hendak dijodohkan dengan Pangeran Mahkota Gowa (I Taji Barani DaEng Marompa KaraEng Data).

Hingga pada masa yang telah disepakati kedua kerajaan, pihak Kerajaan Gowa telah mengantarkan “sompa sebbukati” (mahar) ke Kerajaan Suppa. Maka ditetapkanlah hari baik dimana kedua putera dan puteri mahkota dipersandingkan. Namun menjelang hari baik yang ditentukan itu, datanglah pula perkunjungan Petta PalEtEangngE Addatuang Sawitto IV ke Suppa. Baginda Addatuang Sawitto ini melamarkan pula puteranya, yakni : La Cella’mata untuk mendapatkan We LampE WElua’.


“ poléni puwattaq Palétéyangngé ri Sawitto makkeda / oé sellao / idiqsi pasialai anaqtaq /nakkalépu / Suppaq-Sawitto / riaginna Mangkasaé te[n]rissengngé / ru[m]puapinna / makkedai Makaraié / agana ripoadangngi / karaéngngé / makkedaiPalétéangngé / yipaq baliwi / adanna / karaéngngé /sialani Wé La[m]pé Wéluwaq / La Cellaq Mata / ripareweqni so[m]panakaraéngngé..”

(Datanglah pertuanan kita PalEtEangngE dari Sawitto, lalu berkata : wahai sanakku, kitalah yang menikahkan anak-anak kita, agar bersatulah Suppa dan Sawitto, lagipula orang-orang Makassar itu sesungguhnya sulit ditemui kebaikan pada akibat sepak terjangnya. Berkatalah MakkaraiE : Apalah nanti yang dikatakan pada KaraEngngE ?. Berkatalah PalEtEangngE : Nanti saya yang menjawab perkataan KaraEngngE. Maka dinikahkanlah We LampE WElua’ dengan La Cella’ Mata. Lalu dikembalikanlah mahar KaraEngngE..)

Akibat dari peristiwa itu, maka murkalah Raja Gowa. Baginda mengerahkan bala tentara Gowa untuk menyerbu Sawitto dan Suppa. LAS kemudian menguraikan jalannya perang yang kemudian berhasil menaklukkan kedua kerajaan bersaudara itu yang melibatkan pula konflik dengan Kerajaan Tandingan Gowa pada masa itu, yakni : Tana Bone.

Sehubungan dengan topik pembahasan pada kesejarahan Pinrang ini, penulis kemudian mengkoneksi-kan antara kedua Lontara, sebagaimana diuraikan kemudian pada LSHP, sbb :

Naengkatoniro manganro karaéngngé ri Gowa riyasengngé I Manriogawudaéng Bo[n]to Tonipalangga Ulaweng maéloniq tériwi tanapaqbiring \ maéloqi napanganro napuwatai \ iyaréqga nalai lilié passéajingeng \ nasabaq mateqdeqna bé[n]ténna passiunona Sawitto \ nadéqnaullé passiunona Gowa sisengiwi \ dua telluni uraga nagaukengngi nadéqnaullé rumpaqi bé[n]ténna toSawittoé \ apaq engkato towaraninna toSawittoé riyaseng Toléngo sibawa Tokippang \ ia naro duwaé to waraninna Sawitto déq narullé balié saui \ wékkaduwa \ wékkatelluni ritéri ri Gowa\ natennaullé panganroi..

(Maka datang pula Pertuanan Gowa yang bernama I Manrio Gau DaEng Bonto Tonipallangga Ulaweng, bermaksud menyerang pada kawasan pesisir, hendak menaklukkan dan memperbudak, atau menjadikan negeri bawahan, namun begitu kuatnya benteng pertahanan para ksatria Sawitto, maka para ksatria Gowa tidaklah mampu menaklukkannya dalam sekali serangan, dua tiga macam siasat yang ditempuh, namun tetap pula tidak mampu memasuki banteng pertahanan orang-orang Sawitto, karena ada pula pemberani dari Sawitto bernama TolEngo dan Tokippang. Mereka berdua pemberani Sawitto yang tidak terkalahkan, dua kali,  tiga kali diserbu oleh orang Gowa, namun takkan dapat ditaklukkan..).





Hingga kemudian pada akhirnya, berkat siasat brillian seorang Panglima Gowa, yakni : KaraEng BontolEmpangan dengan mengalihkan perhatian kedua Ksatria Sawitto itu, maka banteng pertahanan Sawitto dapatlah dilumpuhkan. Maka ditawanlah Petta La Cella’ Mata Addatuang Sawitto dan permaisurinya (We LampE WElua’ Datu Suppa) ke Gowa.

Penguraian Lontara kemudian berlanjut pada perjuangan kedua Ksatria Sawitto untuk membebaskan kedu pertuanannya di Gowa. Hingga kemudian, berkat kegigihannya, keduanya berhasil melarikan kedua tuannya dari tahanan Kerajaan Gowa.

Setibanya di Sawitto, LHPS memberitakan kemudian :
“ Naia latuqnana aqdatuwang Sawitto rilariyang narisompereng Lisu ri Sawitto \marennu manenni toSawittoé napada pakkerru sumangeqi aqdatuwatta \ naitani pinra maneng lanroaléna \ pinra rupanna mawéya \ napada makkedana \ malanréq sennaktu pinra rupanna aqdatuwatta \ nakkedanaaqdatuwatta \ asengngi onrongngé Pinra-pinraé \ apaq malanreq tongeng pinra aqdatuawatta Duwa mallaibiné mani ke puraé malasa serro \ nasamaiona toSawittoé Pasau-sauwi puwanna \ ianaro Pinra-pinraé matterru makkokkowé riaseng Pinrang “
(Ketika Addatuang Sawitto tiba dari pelarian dengan perahu layar kembali ke Sawitto,  besarlah harapan segenap rakyat Sawitto, seraya menyampaikan suka citanya terhadap pertuanan kita. Mereka melihat kondisi kesehatan tubuh pertuanannya begitu berubah. Raut wajahnya berubah pucat. Mereka semua berkata : begitu besar perubahan wajah pertuanan kita. Maka berkatalah pertuanan kita : Namailah tempat ini PINRA-PINRAE . Karena begitu besar perubahan  Pertuanan kita suami isteri, bagaikan telah mengalami sakit parah. Maka bersepakatlah rakyat Sawitto untuk mengobati  pertuanannya. Itulah sebabnya “Pinra-PinraE” berlanjut hingga sekarang disebut PINRANG.)


III.  KESIMPULAN
Pada uraian yang telah dikemukakan tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.  Sejarah awal Sawitto adalah suatu patron yang menjadi bukti keberagaman dalam suatu kesatuan, dimana keberagaman asal dan etnis penduduk awalmulanya berhasil mewujudkan persatuan dalam suatu himpunan masyarakat kerajaan yang mampu bertahan selama 6 abad,
2.  Penamaan “Pinrang” yang kini menjadi suatu Daerah Tk. II, adalah suatu makna kecintaan “anak negeri” terhadap pemimpinannya. Suatu nilai luhur yang kiranya menjadi syarat mutlak dalam sejarah bagi suatu negeri besar.


IV. PENUTUP
Demikian dihaturkan, sebagai materi kajian dalam acara Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) oleh Pengurus Cabang Kesatuan Pelajar Mahasiswa Pinrang, KPMP-KOPERTI STAIN Kota Parepare Tahun, KPMP-KOPERTI STAIN Periode 2012-2013 Kota Parepare.