Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Kamis, 24 Maret 2011

Telaga Hati

BIARIN AJA..
                Dyong

Matahari jelang terbenam,
Tenggelam saja..
Senja jelang malam,
Gelaplah sekalian..
Rembulan bercahaya,
Siapa peduli ?
Matahari kan terbit,
Silahkan terbit..
Kuhaturkan dudukku
Pada sajadahku pagi ini..
Kututup dambaku
Kuhapur ukiran janjiku
Kubuka harapanku
Masaku masih panjang
Bajumu kupakai pagi ini
Hingga kelak akan usang
Sirna dimakan waktu
Seperti halnya sebuah nama
Akan terlupakan..
Tergilas waktu

               Pada derasnya hujan hari ini, 25 Maret 2011

Selasa, 22 Maret 2011

Kajian Budaya


I LA GALIGO, KEARIFAN DARI KETIDAKBIJAKSANAAN

I La Galigo, nama seorang tokoh dengan kepribadiannya dan juga penamaan sebuah Mitologi yang tersusun dengan sistematis serta diuraikan dalam sastra Bugis yang bernilai tinggi. Sebuah maha karya dari masa prasejarah Manusia Bugis yang diuraikan dalam untaian prosa tentang kisah romansa para Dewa dan manusia dengan hidupnya. Atas dasar “kedewataan” itulah maka disebut pula sebagai kitab sastra suci, dimana pembacaannya baik dari tradisi tulisan (Lontara) maupun lisan (Sure’ SEllEang), selalu didahului dengan ritual khusus serta maksud pembacaan itu diawali dengan niat yang sakral pula. 

Sejak dulu hingga dimasa kini, para penganut “Pattorioloang” (Aliran Kepercayaan Lama) suku Bugis akan terhanyut dengan penuh penghayatan dalam alur kisah ketika suatu episode (parEE’) I La Galigo dinyanyikan dengan iringan musik yang terpadu dalam suatu irama, kata dan drama teaterikal.

Syair I La Galigo yang dikatakan pula sebagai salahsatu kitab kisah kepahlawanan (Epos) terbesar di dunia. Menurut R.A. Kern yang telah membaca lebih dari 20.000 halaman kitab I La Galigo di perpustakaan Berlin, Nederland dan London, bahwa : jika disingkirkan bagian-bagian yang sama dan sejajar, maka kitab sastra I La Galigo akan tersisa k.l. 7.000 halaman polio dan ini masih lebih tebal dibandingkan dengan Kitab Mitologi Homerus di Yunani dan bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan Kitab Mahabharata karya Valmiki di India. Maka timbullah pertanyaan, siapa pengarang atau penulis kitab I La Galigo ?

Raffles yang menyebut kitab I La Galigo sebagai “Sejarah Sawira Gading” berpendapat bahwa putera Sawerigading yang bernama “I La Galiga” inilah yang menulis kitab itu serta menamakan karyanya dengan namanya sendiri. Namun R. A. Kern dalam Bab Pengantar ke I La Galigo (I La Galigo, Cerita Bugis Kuno – Gajahmada University Press, cet. II, 1993-hal. 6) mengemukakan pula bahwa pendapat Raffles tersebut tidak dapat diterima karena tokoh I La Galigo hanyalah salah satu dari banyak tokoh yang diceritakan pengalaman-pengalamannya dalam syair tersebut. Penamaan itu bertambah aneh lagi karena I La Galigo sama sekali bukanlah seorang pahlawan. Tabiat dan tingkah lakunya yang tidak senonoh berulangkali dicaci maki serta dalam beberapa episode, namanya dirajam dan dicela akibat kenakalan dan perangainya yang bejat.  
 
Terlepas dari pendapat-pendapat yang dikemukakan diatas, penulis mencoba mengenal I La Galigo sebagai suatu pribadi yang mendatangkan hikmah kearifan dari penelusuran selintas tentangnya. Dalam syair mitologinya, beliau memiliki nama dan gelar lengkap, sbb : I La Galigo Topadammani BEloluwangeng LennekpojiE Pajung Lolo ri Cina. Berdasarkan gelar akhirnya itu, maka beliau adalah Putera Mahkota Kerajaan Cina (Tana Ugik, Pammana).

I La Galigo adalah putera sulung Sawerigading La Maddukelleng ToappamEne’ Wara-waraE Opunna Ware’ dari perkawinannya dengan WE Cudai’ Daeng ri Sompa Punna BolaE ri La TanEtE. Jika ditelusuri dari sejak Bab I kitab Sastra I La Galigo yang terdiri dari 39 Bab itu, maka tokoh I La Galigo adalah generasi ke-V sebagaimana diuraikan, sbb : I LapuangngE LE’ba Patoto Aji Palallo La Patiganna Sangkuruwirang Batara Unru To MallangkanaE ri LettE WEro, menikah dengan : Datu PalingE’ Mutia Unru ri Senrijawa, maka lahirlah : La Toge’langi Batara Guru La Mulatau Sunge’ ri Sompa Aji Sangkuruwirang ManurungngE ri Tellangpulaweng Pajung ri Luwu I, menikah dengan : WE Nyilli’timo SolasingrangengpEro Dinulu WElompElojang I Mata Timo Tompo’E ri Bussa Empo, maka lahirlah : La Tiuleng Batara Lattu Opunna Ware’ Pajung ri Luwu II, menikah dengan : WE Opu Sengngeng Punna BolaE ri Tompotikka, maka lahirlah sepasang anak kembar emasnya, yakni : Sawerigading La Maddukelleng ToappamEne’ Wara-waraE Opunna Ware’ dan We Tenri AbEng Batari Bissu ri Langi I Walinono DaEng Manutte’. Sebagai putera sulung Sawerigading dari permaisurinya yang juga berdarah dewata, maka I La Galigo dikategorikan pula sebagai manusia berdarah dewa, setidaknya begitulah menurut alur kisah syair mitologi tersebut.

Akibat masalah pernikahan Sawerigading dengan We Cudai’ yang penuh konflik, I La Galigo yang terlahir disela-sela perhubungan kedua orang tuanya yang rumit itu tumbuh dengan perkembangan mental yang tidak kondusif pula. Melengkapi tulisan ini, kiranya akan lebih mudah difahami apabila latar belakang kelahiran I La Galigo diuraikan secara singkat sejak pernikahan kedua orang tuanya.

Bermula pada kegundahan Sawerigading yang jatuh cinta pada pandangan pertama pada saudari kembarnya, yakni : WE Tenri AbEng.  Kisah tersebut tertulis dalam Lontara Syair I La Galigo pada Bab (ParEE”)berjudul : Napatudangngi Nawa-nawanna Silingerengna Sawerigading. Disebutkan, bahwa : ….taddakka-rakka Sawerigading mampaE mEnrE’ lE ri anrinna, adannakua Toappanyompa : “LE tekkusubbu ada pongratu, amasEangnga’ sia WE AbEng, masEngngi mennang lE ri puatta, mappassEuwa lE’ angkaukeng, tapappincengngi lolangengngE ri alE Luwu, ri Watampare’, napassEuwwa lompo’ turungeng tomaEgaE, aja’ nadua sumpang palana lolangengngE, lE nasipeppa’ sanaditiE, LE nasiranreng sana gEnoE, lE nabbaiseng Opunna Luwu MallaibinE, napasiala pada cErona “..  Terjemahan ….dengan serta merta Sawerigading menyambut sirih dari adiknya, berkatalah Toappanyompa (nama lain Sawerigading): “Aku tidak bermaksud  menyembunyikan kata hati pongratu,   kasihanilah aku WE AbEng, kiranya adinda sudi menyatukan warisan dari Yang Dipertuan Agung, mempersatukan lembah tempat turunnya orang banyak, supaya jangan terpecah dua penguasa negeri, agar semuanya bersatu, kiranya dapat berbesan Yang Dipertuan Luwu suami isteri, dikawinkan kedua orang anaknya… 

Mendengar perkataan Sawerigading, dapat dibayangkan betapa gemparnya seisi Istana Langkana Lakko ManurungngE pada saat itu. Terlebih-lebih Batara Lattu’ dan WE Datu Sengngeng, kedua orang tua Sawerigading dan WE Tenri AbEng sendiri. Bagaimana mungkin menuruti kehendak putera kesayangannya yang tidak patut itu ?. 

Sawerigading adalah pangeran mahkota, sekaligus ksatria harapan kejayaan negeri Luwu. Ia adalah kecintaan kedua orang tuanya, kebanggaan kakek dan buyutnya yang bertahta di Butinglangi (kayangan) serta kesayangan para buyutnya di Toddangtoja (dunia bawah). Keinginannya yang tak terpenuhi akan membuat Sang Pangeran yang dimanja itu menjadi padam semangatnya. Padahal ketika itu, iapun telah memperisteri  puluhan wanita tercantik dari segala penjuru, diantaranya sepupu sekalinya sendiri yang bernama “We Panangngareng”.

Namun bagaimanapun, perkawinan antar saudara adalah Tabu. Dikatakan sebagai : Nasapa Tana, Narumpu Langii’ (Pantangan bagi bumi, Menjadi asap pada langit). Perkawinan antar saudara, meskipun tidak seayah atau seibu, akan membawa bencana terhadap kehidupan pada umumnya. Tema tersebut diungkapkan secara eksplisit oleh We Tenri Abeng sendiri. Sang Puteri berusaha melunakkan hati kakak kembarnya itu dengan lembutnya.
“ ..amasEangnga kaka Dukkelleng, mupasai sani babua mai watakku, kujellorekko lise’ sinrangeng, palallo waji tenre’ padanna, lE namessu aseng putungengi, sEuwwa mua lE bulo kati , lE tirisekku ri Botinglangi..”
Terjemahan : “..sayangilah aku Kakanda Dukkelleng (panggilan We Tenri Abeng terhadap Sawerigading), jangan lagi kau perhatikan aku, saya akan tunjukkan seorang gadis dambaan, yang kecantikannya tiada tara, satu jua cetakan, kami berdua diciptakan di Botinglangi..”
Maka bertanyalah Sawerigading, dimana gerangan gadis itu berada ?. We Tenri Abeng menjawab :
“ ..kui tudang ri Tana Ugi, ri alE Cina, rijajianna La Sattungpugi, We Cudai sia asenna, lE na ritella Daeng Risompa, pattellarengna Punna BolaE ri La TanEtE, narEkko lokkako mitai, nadE’ kupada-pada, rEwe’ko mai mubottingika’..”
Terjemahan : “.. dia berkedudukan di Tana Ugi, pada pusat negeri Cina, puteri La Sattungpugi, namanya We Cudai, DaEng Risompa adalah gelarnya, Sang Penguasa negeri La TanEtE, sekiranya engkau pergi melihatnya, sedang ia tidak menyamai kecantikan rupaku, kembalilah kemari untuk mengawiniku..

Episode ini sangatlah populer dengan sebutan “Ri Tumpanna WElenrEngE”  (Ditebangnya Pohon WE LenrEngngE). Dalam rangka mempersiapkan pelayarannya menuju Cina, Sawerigading menebang pohon raksasa yang bernama : WElenrEngngE. Pohon besar yang teramat keramat itu tumbang oleh “WasE DEwataE” (Kapak Dewata) yang diayungkan Sawerigading. Maka pohon inilah yang ditempa secara luar biasa oleh PunnaE Liung Guru ri Selleng Tuppu BatuE ri Toddang Toja (buyut Sawerigading, penguasa Dunia Bawah) menjadi sebuah armada laut.

Pembaca yang terhormat. Sesungguhnya tulisan ini sedianya kupersembahkan kepada Puekku H. ANDI BASO PATIROI di Balikpapan, atas permintaan beliau pada percakapan terakhir kami beberapa waktu sebelum saya memulai menulis uraian ini. Namun kehendak Allah berkata lain, beliau telah berpulang ke Rahmatullah. Maka tulisan ini tidak mampu kulanjutkan.. semoga arwah beliau mendapatkan ketenangan dan mendapat tempat yang layak disisi Allah. SWT. Amin.