Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Selasa, 02 April 2013

Nurani Kasih Sang Patriot





NURANI KASIH PATRIOT !
    By. La Oddang

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya” (Ir. Soekarno, Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia).
…………………………………………………………………………………………. 


 Lebih dari sekedar “Pahlawan” bagi bangsanya, Datu Luwu MallinrungngE Andi Djemma Opu ToappemEne’ Wara-WaraE adalah seorang “Raja Berdaulat” bagi Negeri Luwu. Namun lebih dari segalanya, Raja Patriot itu adalah seorang yang mencintai Rakyat Luwu, melebihi sayangnya terhadap diri sendiri, tahta dan keluarganya.

Insiden Bua yang terjadi pada tanggal 20 Januari 1946 adalah satu dari sekian peristiwa kesewenang-wenangan KNIL terhadap martabat Rakyat Luwu yang sudah tak tertahankan lagi !. Sepasukan KNIL dengan kasarnya menggeledah rumah kediaman Maddika Bua. Mereka mengobrak-abrik seisi rumah yang dimuliakan itu dengan alasan mencari senjata seorang mata-mata NICA yang terbunuh di Bua beberapa waktu yang lalu. Tidak puas dengan perlakuan itu, mereka masuk ke Mesjid Bua dengan tidak membuka alas kaki. Mereka naik pula ke loteng mesjid, mengobrak-abrik seisi loteng. Salah seorang diantara mereka menginjak Kitab Suci Al Qur’an dengan pongahnya. Tak tertahankan lagi, To Manjawani menegur penistaan itu, namun dibalas dengan tamparan !.

Peristiwa Bua amat melukai hati rakyat Luwu, terlebih-lebih Rajanya. Pada tanggal 21 Januari 1946, sebuah ultimatum telah ditandatangani masing-masing : Andi Djemma selaku Pemerintah RI, Kerajaan Luwu; M. Yusuf Arif sebagai Ketua Dewan Pertahanan Rakyat Luwu; dan Haji Muhammad Ramli, Kadhi Luwu atas nama Umat Islam Luwu. Suatu pernyataan sikap yang tegas dan disertai ancaman yang disampaikan kepada tentara Sekutu, sbb :

“Dalam tempo 24 jam, pihak Australia memerintahkan kepada pasukan-pasukan KNIL yang sedang berkeliaran melakukan patrol didalam dan diluar Kota Palopo; supaya segera masuk tangsi dengan senjatanya. Jika sampai batas waktu ini tidak diindahkan, maka ketertiban tidak bisa dipertanggungjawabkan lagi”.

Namun, dapat diduga bahwa pihak Sekutu tidaklah menggubris ultimatum tersebut. Pada tanggal 23 Januari 1946, Kota Palopo terbakar !. Tercatat tidak kurang dari 20 rumah yang terlalap api dan puluhan jiwa melayang.  Tangsi KNIL ditembaki oleh para pejuang Luwu yang dipimpin M. Yusuf Arief dan Andi Tenriajeng. Mereka bahu membahu dengan pemuda pejuang dan massa rakyat dibawah pimpinan Abdullah Dg Mallimpo dan Abu Perto. Tidak cukup begitu saja, mereka menyerang pula para mata-mata NICA serta membakar rumah mereka. Palopo membara di medan juang untuk sesuatu tujuan yang pantas untuk diperjuangkan, yakni : mempertahankan kemerdekaan Bangsa dan Negara. Suatu tujuan mulia yang dipandang sebagai Siri dan PaccE bersama, bukannya kepentingan antar golongan.

Peristiwa Penyerbuan Palopo adalah suatu momentum baru yang menentukan langkah Sri Baginda Andi Djemma dalam memimpin para pejuang Luwu selanjutnya. Pada kejadian itu, 3 orang bangsawan tinggi yang merupakan kerabat Sri Baginda ikut menjadi korban revolusi itu. Mereka yang pro pada NICA selama ini. Mengetahui kematian mereka sebagaimana dilaporkan oleh para pimpinan  pejuang dihadapan Sang Datu, beliau hanya termenung sejenak seraya berkata : “Saya pun kalau menghianat, niscaya akan mengalami nasib yang sama..”.

Atas dukungan segenap rakyat Luwu dan pejuang PKR,  Datu Luwu beserta hadatnya dan permaisuri bersama segenap puteranya melancarkan perang gerilya melawan pendudukan Belanda. Suatu perjuangan pisik yang penuh kesulitan dan penderitaan lahir batin. Terlupalah segala kenikmatan dan kemuliaan hidup di istananya, walau pihak Belanda menjanjikan “kelestarian” terhadap kedudukannya sebagai “Raja Luwu” yang berkuasa atas perlindungan kekuatan Militer Belanda dan sekutu. Bahkan sebagian pejuang meminta dengan sangat kepada Sri Baginda kiranya mengurungkan niatnya untuk ikut bergerilya. Ketika A. Hamid menanyakan perihal pendirian Sri Baginda mengenai permintaan sebagian pejuang itu, beliau menjawab dengan tegas, : “Saya tetap pada pendirian; Kalau pemuda mengapung, saya mengapung. Kalau pemuda tenggelam, sayapun ikut tenggelam !”.

Keputusan “Pewaris Tahta Bumi Sawerigading” memasuki kancah perjuangan didalam hutan belantara adalah sesuai ikrarnya sebagai “Payung” bagi segenap bangsanya. “MEsa’ kada dipotuo, Pantang kada dipomatE !” (bersatu kata senantiasa menghidupkan kita, berbeda kata niscaya akan mematikan kita !), demikian arahan Sribaginda pada suatu ketika dihadapan para pemuka adat. Suatu tanggungjawab kepemimpinan yang senantiasa disifatkan kepada para Datu Luwu secara turun temurun, yakni :

“Naiyya DatuE mattukku ului, mattukku ajE, tennawellang tikka, tennairi anging “
(Adapun Raja itu menutup kepala, menutup kaki, tidak terkena sinar matahari, tidak dihembus angin).

Bahwa Sri Baginda memahami dan memanifestasikan jiwa raganya sebagai “Bangsa dan Negeri Luwu secara keseluruhan”. Belas kasihnya dicurahkan sepenuhnya hanya kepada kedamaian dan kesejahteraan Rakyat Luwu yang dicintainya. Beliau memimpin perjuangan Rakyat Luwu pada medan gerilya dengan sertamerta merombak cabinet Pemerintahan Kerajaan Luwu untuk kesesuaian kondisi perjuangan masa itu. Hingga setelah penangkapannya di Benteng BonEputE, tiada lain yang dipinta Sri Baginda kepada pihak Belanda setelah dijatuhkan vonis pembuangan atasnya selama 25 tahun di Ternate, : “Perlakukan saja saya apapun yang kalian mau, tapi jangan sentuh rakyatku..”. Demikian pula dengan Sri Paduka Andi Makkulawu Opu DaEng Parebba, putera tertuanya yang senantiasa mendampingi perjuangan Ayahanda dan Rajanya, beliaupun bersama segenap Hadat Luwu dijatuhi pula hukuman pembuangan keluar wilayah Sulawesi Selatan. Adapun halnya dengan putera puteranya yang lain, yakni : Andi Achmad bersama M. Yusuf Arief, Jufri Tambora dan segenap pemimpin PKR Luwu yang lainnya dijatuhi hukuman mati. Namun belum sempat dieksekusi hingga pada pengakuan kedaulatan RI pada tahun 1949.

Pada suatu ketika dihadapan Presiden Soekarno, Sri Baginda berkata : “Saya tidaklah menginginkan tahta atas Tana Luwu, melainkan kedamaian dan kesejahteraan Rakyat Luwu adalah diatas segalanya”. Hingga pada catatan kecil ini, pada akhirnya saya teringat dengan kejadian tragis di Kota Palopo pada tanggal 1 April kemarin. Hal yang mengingatkan atas kepemimpinan dan cinta seorang Pemimpin Rakyat Luwu yang senantiasa mendahulukan kedamaian dan ketentraman rakyat Luwu dibandingkan jiwa raga dan keluarganya sendiri. Namun pada hari yang kelam ini, pada suatu Jalan yang diatasnamakan baginya (Jl. Andi Djemma), anak-anak negerinya melampiaskan amarah diatasnya. “Inikah balasan yang mesti diterima seorang Pahlawan yang mendedikasikan seluruh hidupnya dan segenap apapun yang dimilikinya untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman rakyatnya ?”. “TassEddimua riyakkitai..” (cukuplah satu yang dipandang..”), demikian pesan leluhur dalam hal adab sebagaimana mestinya Bangsa yang Berbudi.

Tiada maksud untuk memperbincangkan perihal akar permasalahan Pemilihan Walikota Palopo yang sesungguhnya saya secara pribadi bahkan tidak tahu nama-nama pasangan yang bertarung dalam “pesta demokrasi” ini. Namun kita sekalian pastilah sependapat, bahwa : “Hal-hal baik semestinya diperjuangkan dengan cara yang baik pula”. Dengan demikian, pada akhirnya pantaslah jika dinilai sebagai pemimpin bagi bangsa yang beradab. Maka catatan kecil ini, tiada lain saya haturkan sebagai prihatin sedalam-dalamnya atas RASA SEDIH DAN PILU yang tak terkira oleh Pemimpin dan Panutan kami : Sri Paduka Datu Luwu ke - XL. “Air mata DatuE jatuh ke bumi”, suatu hal yang amat disakralkan dari masa ke masa. Semoga Allah senantiasa mencurahkan hidayah dan inayah kepada Paduka dan segenap nurani Rakyat Luwu, Kurrujiwa Sumange’ Torilangina Datu Patuppu BatuE Tana Luwu. Amin yaa Robbal Alamien.

Wallahualam Bissawwab.





MARTABAT KEILMUAN


PAPOLEONRONA PADDISSENGENGE
                                       By La Oddang

“Emas berharga karena kuningnya, namun kuning tidaklah mesti emas”, demikian petuah dari masa lalu. Namun tidak sampai disitu saja, petuah luhur itu senantiasa berkesinambungan menurut zamannya. “Emas berharga karena langkanya. Andai batu bara lebih sedikit dari emas, mestilah batu bara lebih berharga dari emas”, kataku pula pada malam ini. Namun jauh-jauh hari sebelumnya, Baginda Ali ra. mengklasifikasikan nilai segala sesuatunya yang tidak mesti diukur dari banyak atau sedikitnya, namun tergantung dari mamfaatnya atas diri dan sesama mahluk ciptaan Allah.

Hal utama yang menjadi perhatian Baginda Ali ra. adalah Ilmu Pengetahuan. Bahwa keutamaan Ilmu dari harta benda adalah : Harta benda yang dibagi-bagikan kepada khalayak umum, mestilah berkurang. Sementara Ilmu Pengetahuan, semakin disebarluaskan justru semakin bertambah. Namun sesungguhnya, ilmu pengetahuan yang bermamfaat jauh lebih mulia namun sedikit, dibandingkan banyaknya ilmu pengetahuan yang tidak dimamfaatkan.

Mamfaat ilmu pengetahuan adalah diukur dari nilai kemuliaannya. Sebagaimana sebatang pena, bermamfaat karena tintanya. Namun walau pena itu penuh tinta didalamnya, jika mata pena tidak ditutupi dengan baik, pada akhirnya tinta didalamnya akan mengering. “Apalah gunanya sebuah pena jika jika tintanya kering ?”. Ia tidaklah dapat digunakan menulis diatas kertas, melainkan mencoret-coret diatas tanah belaka. Untuk fungsi itu, sebatang lidi pun dapat terguna. Akhirnya jatuhlah martabat sebatang pena, sekalipun itu harganya mahal.

Maka adalah peran manusia sebagai mahluk ciptaan Allah yang paling mulia untuk mencurahkan nilai itu baginya. Ilmu dimuliakan jika “terjaga” dan ditempatkan pada derajat yang semestinya (ripapolEonro alebbirengna). Hingga dapatlah difahami jika orang-orang terdahulu mengajarkan ilmunya pada waktu-waktu khusus dan juga pada tempat-tempat yang dimuliakan. Mereka tidak mengucapkan kajian pemahamannya (lamunna) tentang suatu ilmu hikmah dengan bahasa yang gamblang. “tempedding naleppa’ lila, tempeddingtoi ripasilolongeng ri tengngana pasaa’E” (pantang disebut oleh lidah, pantang pula diuraikan ditengah pasar), demikian pemuliaan dan pemaknaan terhadap ilmu pengetahuan.

Sekiranya sifat pemuliaan ilmu itu dilanggar, mereka para arif bijaksana itu mengisyaratkan : “birasani paddissengengngE, lobbangnitu lamungngE” (punahlah ilmu, hampalah suatu pendalaman). Tiada lain yang menyebabkan kemusnahan itu adalah : “riyakkElong-kElongenni pahangngE, ribolloangni lise’E pole ri taro malebbina, tabberrE-berrEni napitto’ manu” (pemahaman dijadikan lagu belaka, isinya ditumpahkan dari tempat kemuliaannya, bertebaran hingga dipatuk ayam). Belumlah pula jika sisa buliran ilmu yang tidaklah sempat “dipatuk ayam”, mestilah tercemar oleh lumpur yang becek kemudian diinjak dan dilangkahi berbagai macam hewan lainnya. Belumlah pula sekiranya dikencingi kucing dan anjing. Maka dimanalah harganya lagi ?. “Nasaba’ tapalEnne’i ri tengngana lalengngE” (disebabkan oleh anda yang meletakkannya ditengah jalan).

Tulisan ini tiada lain adalah himbauan kepada anak-anakku dan adik-adikku yang mendapat curahan hidayah dari Allah berupa Ilmu Hikmah (Pahang pappEjeppu). “Aja’ tappasilolongeng rionrong tessitinajaE” (janganlah mendiskusikannya pada tempat yang tidak semestinya). Bersyukurlah selalu atas nikmat Allah dengan memuliakan anugerah itu dengan menempatkannya pada tempatnya. “pakkEade’i paddissengengngE, namuakkamalakengngi ri dEcEngngE, papolEonroi rilalengna sitinajaE” (hargailah ilmu pengetahuan, kemudian amalkan pada kebaikan, tempatkan sebagaimana mestinya).

Wabillahitaufiq wal hidayah, Wallahualam Bissawwab.

Keadilan Bermartabat


KEADILAN SIKAP BERMARTABAT
                               By. La Oddang


Kadangkala didapati suatu kepribadian yang dianggap gampang naik darah. Hal yang disebabkan menurut persepsi umum jika itu hal sepele. Namun sesungguhnya menurut standard nilai dalam kebudayaan Suku Bangsa tertentu hal tersebut adalah sangat sacral. Maka mereka menjaga nilai-nilai itu dengan amat rapatnya, hingga menjadikan sebagai orang-orang yang peka karena over protectif terhadap nilai luhurnya. Hal yang sesungguhnya karena begitu halus adabnya, maka mereka menghargai martabat dan menjaga perasaan orang lain, kemudian pada akhirnya iapun mudah tersentuh jika dikasari dihadapan orang banyak. “Siri’Engmi na toTau, naiyya Siri’E : Nyawa naranreng, Sunge’ nakira-kira..” (Karena harga dirilah maka kita disebut manusia, sesungguhnya harga diri itu : sandingannya nyawa, hidup yang menjadi taruhannya..), demikian antara lain suatu suku bangsa berlabel “Bugis” memaknai proteksi terhadap mustika budinya.


Orang Bugis yang sesungguhnya adalah orang-orang yang berkepribadian amat berhati-hati dan mawas diri ditengah masyarakat. “Manini ri collai, nasaba’ pangkaukengna..” (sangat menghindari diperlakukan sembarangan, dikarenakan perbuatannya sendiri..).


Dalam tahun 2010, saya menyertai salah seorang junjungan untuk mengurus Pasport dalam rangka perjalanan umroh. Setelah passport itu selesai, saya mengusulkan kiranya Sang Datu mengurus Kartu NPWP agar tidak perlu membayar Piskal yang sekira-kira senilai 2,5 juta Rupiah.


“..aja’na kapang, Oddang. NadE’na jE’ gaga jaman-jamangku, pensiunna’ iya’. DE’na na’Engka umakkamaja pajak, agapi riyala mala kartu pajak ?” (..agaknya tidak usah, Oddang. Saya tidak punya pekerjaan lagi, sudah pensiun. Maka saya tidak pernah lagi membayar pajak, buat apa lagi mengurus kartu pajak ?”, tolaknya.


“EbarE’ dE’nakkamaja piskal DatuE, Puang..” (Agar paduka tidak bayar piskal lagi, Tuanku..), jawabku meyakinkan.


“Wee.. aja’na kasi’. DE’saharo namaEga dui, naEkia taroni iwajaa.. Engka ammani Pagawai Pajak’E mapparEssa lao ri bolaE, nasakke’rupa napoadangki’. Tomasiri bawangnatu, natosala mEmeng..” (Wee.. tidak usahlah. Memang kita tidak memiliki uang yang banyak, namun biarlah dibayar.. Nanti pegawai pajak datang memeriksa di rumah, lalu sembaranglah nanti dikatakannya pada kita. Kita akan merasa malu saja, karena memang kita yang bersalah..).


Bagi orang-orang yang memagari SIRI (harkat dan martabat azasi) dengan “sipakatau” (tenggang rasa) serta membelanya dengan segenap jiwa yang dimilikinya. Mereka menjaga kehormatan dan kemuliaannya dengan terlebih dahulu “menghargai, menghormati dan memuliakan” orang lain. Sesuatu yang senantiasa dimaknainya dengan adil, bahwa : MatE siri mappakasiri, mate siri ripakasiri (Mati bayarannya jika mempermalukan dan Mati pula bayarannya jika dipermalukan).


Menjaga harkat dan martabat orang lain adalah sama pentingnya dengan membela harkat dan martabat diri. Inilah yang kemudian diwujudkan dalam suatu patokan nilai yang disebut : PessE’ (Solidaritas Kemanusiaan). Hingga tidaklah salah jika diistilahkan bahwa para “To MatanrE Siri” (orang yang bermartabat tinggi) adalah bagaikan melangkahkan kaki pada suatu jalan yang penuh dengan telur yang berserakan. Ia harus berhati-hati menjaga langkahnya agar tidak sampai menginjak dan memecahkan salahsatu telur itu. Karena apabila ia menginjaknya, berarti ia melakukan suatu kesalahan yang merugikan orang lain dan mencederai harkatnya sendiri.



Wallahualam Bissawwab.