Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Sabtu, 27 November 2010

Ana' OgiE, Sejauh Layarnya Terkembang

Hannibal dari Negeri Melayu (bag. 2)

Judul yang kuangkat dari sebuah nama, seorang Jenderal yang memiliki naluri keberanian seakan tak terukur. "Hannibal de Chartago", pemimpin perkasa dari Chartagena - Afrika Utara yang menyeberang bersama pasukannya ke benua Eropa pada tahun 219 SM.  Dalam kurun waktu 3 tahun kemudian, ia dengan  pasukannya yang hanya berjumlah 45.000 personel, menyerbu Negara Yunani dengan kekuatan 100.000 prajurit bersenjata lengkap dan segar bugar. Namun dengan keberaniannya yang menggiriskan, serta didukung oleh kemampuan strategi yang mencengangkan, Hannibal memenangkan pertempuran itu. Mereka menewaskan 70.000 prajurit Yunani, sementara dipihaknya hanya 4.000 personal yang gugur.

Tulisan berikut ini adalah tentang keperkasaan seorang  Jenderal Perkasa lainnya yang dilahirkan di Tanah Melayu. Seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang keberanian dan gebrakannya dianggap setara dengan Panglima dari Chartagena, ribuan tahun yang lalu. Maka oleh beberapa sejarawan Indonesia menjulukinya : Hannibal dari Tanah Melayu. Lalu dengan takzim pemuliaanku, kusebut namanya sebagai : Raja Aji "Asy Syahid Fi Sabilillah" Marhum Teluk Ketapang, Yang Dipertuan Muda Riau ke-IV.

Telah diuraikan pada bagian terdahulu, tentang kesuksesan Opu Lima bersaudara dalam merintis peletakan batu pertama dinastinya di Tanah Melayu dan Kalimantan yang kini bersusun bagai benteng kastil hingga saat  ini. Bermula pada Opu Daeng MarEwah Yang Dipertuan Muda Riau I (Pangeran Kelana Jaya Putera) lalu berlanjut pada saudaranya, yakni : Opu Daeng Cella' Sultan Alauddin Syah Yang Dipertuan Muda Riau II. Pada masa pemerintahan Opu Daeng Cella' inilah, pengaruh dan wilayah taklukan Kesultanan Riau semakin meluas hingga di Kerajaan Selangor, Johor dan Pahang. Setelah Opu Daeng Cella' wafat dalam tahun 1746 M, maka dinobatkanlah Opu Daeng Kamboja (Putera Opu Daeng Parani dengan puteri Kari Abdul Malik) menjadi Yang Dipertuan Muda Riau III (1746-1777), menggantikan pamannya.

Opu Daeng Cella' Sultan Alauddin Syah Yang Dipertuan Muda Riau II memiliki dua putera, yakni : Raja Lumun dan Raja Aji. Pada tahun 1743 M, Raja Lumun dinobatkan menjadi Sultan Selangor I, bergelar : Sultan Salehuddin. Kemudian setelah Opu Daeng Kamboja wafat dalam tahun 1777 M, dinobatkanlah Raja Aji sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV, menggantikan saudara sepupunya tersebut.

Pada zaman pemerintahan Raja Aji Yang Dipertuan Muda Riau IV inilah dikatakan sebagai masa keemasan Kerajaan Riau. Prof. HAMKA menggambarkan pada masa itu, sbb : " ..Zaman Raja Aji inilah, Kerajaan Melayu mencapai kemajuan dan kebesarannya.  Dan bercampurlah darah Bugis dan darah Melayu, yang akan menjadi dasar teguh kelaknya dari apa yang sekarang, kita namai Kebangsaan Indonesia !..." (Dari Perbendaharaan Lama, hal. 188-189).

Melihat kebesaran Kerajaan Riau itu,  VoC yang sejak dulu berambisi untuk menguasai seluruh kepulauan di wilayah Hindia Timur, haruslah menempuh strategi diplomasi untuk menjalankan rencananya. Maka dari Batavia, dikirimlah utusan menemui Raja Aji dengan menawarkan perjanjian persahabatan yang menguntungkan keduanya. Perjanjian itu memuat berbagai hal menyangkut perniagaan dan pertahanan yang diarahkan untuk membendung dominasi Inggris yang amat dibenci oleh Raja Aji. Persetujuan yang menyatakan bahwa VoC akan menghargai adat istiadat Melayu dan Agamanya, serta memandang musuh Bangsa Melayu (Inggris) adalah musuh VoC dan musuh VoC juga musuh Riau. Lebih lanjut dinyatakan pula, bahwa segala harta rampasan perang yang didapat dari musuh bersama tersebut akan dibagi diantara keduanya dengan adil samarata. Akhirnya Yang Dipertuan Muda Riau tersebut tertarik menandatangani perjanjian itu, semata-mata untuk mempersempit ruang gerak Kolonial Inggris di Wilayah Selat Malaka.

Akhirnya pada suatu ketika, masuklah sebuah kapal dagang Inggris ke Wilayah Riau. Kapal itu sarat dengan muatan benda-benda berharga. Maka datanglah kapal perang VoC, menyerbu kapal itu. Disitanya segala harta benda yang ada, lalu dibawanya ke Malaka. Suatu tindakan yang menyalahi perjanjian dengan Raja Aji.

Mengetahui perihal tersebut, Raja Aji mengirim delegasi ke VoC di Malaka untuk meminta mereka memenuhi amar perjanjian yang telah dibuat. Namun sebagaimana biasanya VoC menolak tuntutan itu tanpa alasan yang masuk diakal para utusan Kerajaan Riau. Maka mereka kembali dengan tangan hampa, seraya melaporkan segala hal ikhwal sikap melecehkan dari petinggi-petinggi VoC dihadapan Raja Aji.

Maka bukan alang kepalang murkanya Raja berdarah pahlawan Bugis ini !. Diambilnya surat perjanjian itu lalu dirobek-robeknya. Ini adalah pelecehan terhadap "Siri" ! Sesuatu yang disebut oleh orang Melayu sebagai "Maruah". Sesuatu yang lebih dihargai 99 kali dibanding dengan selembar jiwa. "Naiya Siri'E, nyawa naranreng !" (Sesungguhnya SIRI itu selalu bersanding erat dengan nyawa !). Apabila SIRI yang tersentuh, maka jiwa berontak meminta dan bermohon untuk dipertaruhkan. Saatnya jiwa disabung ditengah gelanggang pertarungan !.

Rupanya itulah yang dikehendaki oleh VoC. Hubungan persahabatan yang dibinanya dengan Kerajaan Riau, hanyalah merupakan siasat untuk mengetahui sampai dimana kekuatan Kerajaan Melayu itu. Setelah data-data yang dikehendakinya dinilai sudah cukup lengkap, maka dicarikanlah gara-gara (alasan berkelahi) dengan melanggar kesepakatan yang telah ditandatangani bersama. Persahabatan telah bertukar dengan permusuhan !. Tak perlu kiranya menunggu serbuan pasukan Riau. Akan jauh lebih menguntungkan jika menyerang terlebih dahulu. Penyerangan adalah pertahanan yang terbaik. Berapa sih kekuatan sebuah Kerajaan Melayu yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil ?, begitulah pemikiran para petinggi militer VoC yang sudah menganalisa peta kekuatan Kerajaan Riau.

Akhirnya pada tahun 1783, VoC dengan segenap kekuatan tempurnya menyerbu Kerajaan Riau. Raja Aji beserta para lasykar Riau mempertahankan setiap jengkal negerinya dengan gagah berani. Jiwa hanyalah sebatas naik turunnya nafas dalam tubuh, namun harga diri yang terkandung dalam nilai "Siri" adalah abadi yang ditanggung oleh segenap keluarga dan kaum !. Rasa takut yang dinampakkan dalam perkelahian akan menjadi buah bibir yang memalukan sepanjang masa. Keluarga dan bangsa akan ikut terhina karenanya.

Perhitungan VoC berdasarkan data yang dihimpunnya ternyata salah sama sekali. Peperangan dahsyat itu telah berlangsung dengan sengitnya selama 10 bulan. Diuraikan oleh CR. Bokser dalam bukunya (Jan Compeni, Dalam Perang dan Damai) bahwa : Para Heeren (Pucuk Pimpinan VoC di Amsterdam) sangatlah kesal terhadap kinerja para pejabat VoC di Hindia. Peperangan di Selat Malaka  melawan seorang Raja Bugis saja tidak mampu diselesaikan sesuai harapan. Sesuatu yang sama sekali diluar perhitungan mereka, bahwa Raja Aji dari para kerabatnya, beberapa Raja dan  Pangeran Bugis dari Tanah Bugis (Sulawesi Selatan) berdatangan bersama dengan para lasykarnya untuk membantunya, mengambil bagian dalam mempertahankan Negeri Riau. Belum pula para pelaut dan perantau Bugis yang berkelompok meramaikan aktivitasnya masing-masing di Selat Malaka selama ini, semuanya turun tangan membantu Raja Aji dengan semangat Solidaritas Siri dan PessE.

Kitab Tuhfat an Nafis menyebutkan nama-nama Raja / Pangeran Bugis serta beberapa tokoh Bugis lainnya yang membantu Raja Aji, antara lain : Arung Lengnga, Arung Belawa, Panglima TalEbang (Daeng TalEba'), Daeng SalEkong, dll. Raja Aji dan para pahlawan itu membangun strategi pertahanan yang terpusat di Pulau Penyengat. Dalam hal ini, Sang Buya Hamka menggambarkan dengan tepat tentang perlawanan para lasykar Bugis yang bahu membahu dengan lasykar Melayu dalam peperangan itu, sbb : "Terpadulah gagah perkasa Melayu dengan Bugis mempertahankan daulat kebesarannya. Gegap gempitalah bunyi meriam "lelarentaka" dari kedua belah pihak, banyaklah pahlawan yang gugur ...".

Setelah pertempuran itu berlangsung selama 10 bulan, akhirnya VoC terpaksa mengundurkan diri, kembali ke Malaka. Tak terkira berapa nilai hitungan kerugian materil yang habis untuk membiayai penyerbuan yang gagal itu. Ditambah lagi dengan banyak serdadunya yang tewas dan luka-luka.  Ironisnya, para serdadu itu kebanyakan terdiri dari orang-orang Jawa dan Ambon, bangsa kita jua.

Wallahualam bissawwab...


(bersambung ke bagian selanjutnya ..)

1 komentar: