Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Senin, 15 November 2010

Ana Ogi'E, Sejauh Layarnya Terkembang

3. Perantauan Ke Barat (Tana Bare')

Perlawatan orang Bugis ke Pulau Sumatera yang cukup menyita perhatian adalah ekspedisi Arung Palakka ke Pariaman (Sumatera Barat) pada era pertengahan Abad XVII. Arung Palakka seorang pangeran Bugis terkemuka pada zamannya, dengan gelar lengkapnya : La Tenri Tatta DaEng SErang to Unru Petta MalampE'E Gemme'na Arung Palakka, Datu Mario ri Wawo, Sultan Sa'aduddin Mangkau' ri BonE ke -XIV Petta MatinroE ri Bontoala' , juga digelari oleh orang Belanda sebagai "De Koningh der Bougies" (Raja Bugis).

Ekspedisi perang Arung Palakka bersama para lasykar Bugisnya (Lasykar To AngkE, Batavia) ke Pariaman, tiada lain adalah memenuhi salahsatu "uji kemampuan" yang ditetapkan oleh VoC sebagai persyaratan kemitraan dalam rangka penyerbuan ke Makassar yang kelak dikenal sebagai : Perang Makassar (1666-1669). Tidak banyak yang penulis dapat uraikan pada Perang Pariaman, selain bahwa Arung Palakka beserta pasukannya telah membumi hanguskan negeri itu atas permintaan VoC. Suatu peristiwa yang sesungguhnya memilukan, tiada lain sebagai ikhtiar untuk menarik perhatian VoC agar membantunya untuk menyerbu ke Makassar yang kala itu menjajah negerinya    ( Bone dan Soppeng).


Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa "perjalanan melintasi samudera (Massompe') bagi orang Bugis Makassar adalah merupakan sebuah budaya. Motivasi perjalanan jauh itu dalam hal ini dikategorikan pada 4 hal, yakni : ekspedisi perdagangan, ekspedisi peperangan, ekspedisi petualangan dan ekspedisi pengembaraan.

Ekspedisi perdagangan suku bangsa Bugis Makassar ke Tanah Melayu terjadi dalam jumlah relatif besar sejak pasca kekalahan Kerajaan Makassar atas aliansi VoC dan Arung Palakka sejak ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Politik Monopoli perdagangan pada kawasan timur Indonesia yang tersirat dalam Perjanjian Bongaya, memaksa para pedagang  Makassar untuk merantau jauh ke wilayah di luar kekuasaan VoC. Mereka membawa rempah-rempah yang sebelumnya dibeli secara "menyelundup" (menurut istilah VoC) dari Maluku, kemudian memperdagangkannya di Bandar Malaka yang ramai. Maka pada kisaran masa itu, sehingga terdapat "Kampung Mengkasar" yang dihuni secara turun temurun oleh orang-orang Makassar.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yang Mulia Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH sewaktu perlawatan beliau ke Negeri Pahang - Malaysia pada pertengahan tahun 1977,  ditemukannya para keturunan Bugis Makassar yang waktu itu banyak diantaranya sebagai orang-orang terkemuka di Kerajaan Malaysia. Tersebutlah nama besar Tun Abdul Razak bin Dato' Husain Almarhum (Ayahanda Najib Tun Razak, PM. Kerajaan Malaysia sekarang) yang semasa hidupnya menjadi Perdana Menteri Kerajaan Malaysia yang ke-2, adalah salahsatu dari sekian banyak keturunan Bugis Makassar yang bermukim di Pahang sejak awal abad XVIII. Olehnya itu, pada perkunjungan Tun Abdul Razak ke Ujung Pandang (Makassar) pada tahun 1973, beliau dianugerahi gelar : La Tatta Ambarala DaEng Manessa, gelar yang diambil dari leluhurnya sendiri yakni : La Tatta Ambarala saudara La Tenri Dolong To LEbba'E Datu Pammana.

Nama besar lainnya yang merupakan turunan Bugis Makassar di Pahang yang juga kerabat dekat Almarhum Tun Abdul Razak Daeng Manessa, adalah : Encik Zakaria bin Hitam. Seorang Sejarawan dan Budayawan yang telah banyak menulis seputar Sastra Melayu serta Sejarah Pahang.

Nama-nama tenar yang disebutkan diatas menimbulkan rasa penasaran, siapa gerangan leluhur yang menurunkan mereka ?. Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Faris, SH menguraikannya lebih lanjut pada Kata Pengantar sekaligus merupakan sambutan beliau terhadap tulisan Encik Zakaria bin Hitam, berjudul : Hubungan Sejarah Sulawesi Selatan dengan Pahang. Tersebutlah seorang Pangeran Makassar bernama "KaraEng Aji'" (Orang Pahang menyebutnya sebagai : Keraing Aji atau Tun Tuan atau Tok Tuan). Sebagaimana diketahui, bahwa Kemaharajaan Gowa sejak didirikannya memiliki Dewan Adat yang terdiri dari 9 Raja, dikenal sebagai "BatE Salapang". Maka besar kemungkinan, bahwa KaraEng Aji adalah salah seorang Anggota Dewan BatE Salapang pada abad XVIII.

Dikisahkan pada suatu ketika, KaraEng Aji melantik seorang anak angkatnya bernama "Landrof" (Landarope' ?, penulis) sebagai pejabat penting dalam lingkungan kewenangannya. Keputusan itu, mestilah berdasarkan jika Landrof dianggap memiliki kecakapan khusus untuk jabatan itu. Maka rakyat beserta para pembesar lainnya memprotes serta menolak kebijakan tersebut, pasalnya : Anak angkat KaraEng tersebut diketahui sebagai "Anak Haram". Demi penegakan SARA' (Syariat Islam), bahwa seorang "Anak Haram" sekali-sekali tidak boleh menduduki suatu jabatan dalam kerajaan, bahkan tidak berhak mendapatkan warisan, sekalipun.

Sebagai sebuah "Pribadi Siri'", terlebih lagi jika itu melekat pada diri seorang pangeran, maka KaraEng Aji sangat terpukul dengan kenyataan itu. Keputusannya ditentang oleh rakyatnya dan pembesar-pembesarnya sendiri !. Sebuah kekecewaan yang teramat sangat, menghimpit batinnya.  Maka bersama permaisuri beserta anak-anaknya beliau menghimpun segenap pengikutnya untuk pergi meninggalkan Negeri Makassar, merantau sejauh-jauhnya ke seberang lautan dan bersumpah untuk tidak kembali lagi.

Mengalami hal seperti itu, orang-orang Makassar akan berkata dalam ungkapan syair, sbb :

AnggassEng tonja labba boyo
PaccE tanaEbba lading
TEna garringku
Namalantang pa'risikku


Takunjungnga bangun turu
Nakugunciri gulingku
KuallEanna tallangnga
Natoalia


Kusoronna bisEngku
Kucampa'na sombalakku

TammamElakka
Punna tEai labuang

Artinya kira-kira, sbb:

Kunikmati tawarnya buah labu
Pedih namun tak tergores pisau
Tiada apa-apa sakit kurasakan
Namun pedihnya menusuk hingga dilubuk hati

Semula kuperturutkan arus mengalir
Kemudiku telah kutancapkan
Aku memilih tenggelam
Dari pada bersurut kembali

Kudayung perahuku laju
Kukembangkan layarku
Pantang berbelok kearah belakang
Hingga kutemukan dermaga dihadapanku


Pelayaran itu akhirnya bersua pula dengan dermaga yang ditujunya, yakni : Kota Tinggi, Johor. KaraEng Aji beserta segenap keluarga dan pengikutnya menetap beberapa lama di negeri itu, sehingga orang-orang Johor menyebutnya sebagai : Tun Tuan. Namun setelah Sultan Abdul Jalil wafat, KaraEng Aji berpindah ke Negeri Pahang dalam tahun 1722 M. Disanalah beliau beserta dengan pengikut-pengikutnya membuka sebuah kawasan pemukiman yang sebelah menyebelah di sungai Pekan. Berhubung karena negeri asal nereka dari Makassar, maka kampung itupun dinamai sebagai : Kampung Mengkasar.

Pada pemukiman yang baru itulah, KaraEng Aji bersama dengan keluarga dan pengikut-pengikutnya menjalani hidup baru, jauh dari negeri asalnya. Mereka mengembangkan budaya leluhurnya dengan baik, namun senantiasa menjunjug tinggi adat dimana kakinya berpijak. Menurut Dr. W. Linehan, bahwa KaraEng Aji yang berasal dari Negeri Makassar, negeri yang memiliki budaya menenun kain sutera yang maju, maka beliau memperbaiki cara-cara menenun kain pada masyarakat Melayu setempat. Hingga kini, cara-cara bertenun disertai motif khas itu dikenali sebagai : Kain Tenun Pahang.

Keberadaan KaraEng Aji yang disebut oleh anak cucunya sebagai Tok Tuan itu semakin dikenal di Negeri Pahang. Tok Tuan atau KaraEng Aji adalah orang saleh yang dianggap sudah mencapai derajat kesufian seorang Waliullah padanya. Maka ramailah Kampung Mengkasar dikunjungi masyarakat Pahang untuk meminta untuk belajar mengaji dan meminta petuah menyangkut berbagai hal kepada beliau. Hingga wafatnya beliau, makamnya disifatkan sebagai tempat keramat, sebagaimana dikemukakan oleh Dr. W. Linehan : "His grave in Pekan Lama is revered as a shrine.."

KaraEng Aji yang semasa hidupnya memiliki 16 orang putera dan puteri. Salah seorang diantaranya, bernama : Tok PongkEng. Beliaulah yang merupakan leluhur Tun Abdul Razak bin Dato' Husain, Perdana Menteri Kerajaan Malaysia ke-II.....Wallahualam bissawab..


(bersambung ke bagian berikutnya..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar