DEBAT KUSIR TENTANG "ANDI"
Catatan Kecil buat anakku..
Untuk kesekian kalinya, kudapatkan lagi orang yang sangat "alergi" terhadap gelar "Andi" atau gelar semacamnya. Argumen-argumen yang berdasar pada dalil-dalil Agama, dijadikannya sebagai pembenaran terhadap perlunya "gelar kebangsawanan" itu dihapuskan saja, semudah memencet "control A" lalu menindis tuts "Delete" begitu saja. Demikian riak batinku ketika kubuka jendela Grup Facebook SEMPUGI dan membaca sebuah pendapat tentang perlunya menghapus gelar "Andi". Seketika itu saya "terpancing" untuk mengomentarinya.
Ada rasa "miris" bercampur 1001 macam rasa lainnya berkecamuk di dada dan naik hingga memanaskan ubun-ubunku. Namun segalanya itu buyar begitu saja, ketika sebuah pertanyaan timbul kemudian dalam benakku : Ada apa dengan sebuah "gelar" ?. Jika Shakespeare saja mengatakan "Apalah arti sebuah NAMA", maka apalah pula arti sebuah GELAR ?.
Terselip sebuah sesal yang timbul kemudian. Karena sesungguhnya "berpendapat" adalah hak asazi bagi setiap orang yang dikaruniai akal dan pikiran. Seseorang dapat saja berpendapat berdasarkan kebenarannya yang justru "mungkin" saja diakibatkan oleh pengalaman buruk berkenaan dengan sesuatu yang "tidak disukainya" tersebut. Sungguh benarlah ujar Baginda Junjunganku, La Sangkuru Patau Mulajaji Sultan Abdul Rahman MatinroE ri Allepperengna, bahwa :
Engkatu ada, engkato gau'
Engkato nawa-nawa na dE' na ripoada, na dE' ripogau',
na dE'to na riponawa-nawa
naripo jaa..
Engkato ada, na dE' ripoada,
Engkato gau' na dE' ripogau',
Engkato nawa-nawa na dE' nariponawa-nawa,
na ripodEcEng..
Artinya ;
Ada suatu ucapan, perbuatan dan pikiran
Jika itu tidak diucapkan, dilakukan dan dipikirkan
Maka akan berakibat buruk..
Ada pula suatu ucapan, perbuatan dan pikiran
Jika itu tidak diucapkan, dilakukan dan dipikirkan
Maka akan berakibat baik..
Maka bukanlah saatnya memperbincangkan "sejarah" tentang sebuah gelar. Karena sesungguhnya ia tiada lain hanyalah sebuah "pemberian" dari manusia pada manusia lainnya. Sesuatu yang kadangkala didapatkan sebagai "pusaka" turun temurun, namun pada hakikatnya bukanlah sebuah ukuran kemuliaan adanya.
Demikian pula halnya dengan sebuah gelar yang disebut sebagai "Andi". Ia menempel didepan sebuah nama berdasarkan nazab keturunannya. Namun sesungguhnya, seorang ayah dan ibu "tidak akan pernah" menggelari anaknya sebagai "Andi". Melainkan masyarakatnya sendiri yang menyebutnya demikian. Seseorang yang dikatakan sebagai "To MaradEka" (Orang Merdeka) tidak pernah pula disuruh apalagi, dipaksa untuk menyebut "Andi" pada seseorang. Karena itu bukan merupakan sebuah hukum atau aturan tertulis adanya. Melainkan hanya sebuah norma belaka.
Adalah sebuah hukum tak tertulis dalam masyarakat, yakni : Menilai sebutir beras dalam satu karung. Sebutir beras yang membusuk, akan menerbitkan sebuah penilaian bahwa semua beras dalam karung itu busuk pula adanya. Begitupula halnya jika seorang bergelar "Andi" berbudi pekerti sombong, angkuh dan pongah, maka dengan mudahnya orang lain akan menilai jika seluruh "Andi" di dunia ini begitu pula adanya.
Maka ; Akkaritutui asengmu ri pangkaukengmu, na muanennengi tomatoammu.. (Jagalah namamu dalam berbudi pekerti, berarti kau mengasihi orang tuamu..)
Wallahualam Bissawwab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar