Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Rabu, 03 November 2010

Perantau Bugis (Part 1)







Ana' Ogi'E, Sejauh Layarnya Terkembang...
                                                     Andi Oddang

Sekapur Sirih

Bismillahirrohmaanirrohiim

Alhamdulillahirobbil Aalamien, Assholatu wassalaamu alaa' asrafil ambiyaa'i wal mursaliim, Asyhadu allaa' ilaaha' Illallaahu, wa asyhadu anna Muhammadan abduhuw warassuwlu, laa' nabiya ba'da. Ammaa ba'du...

Setelah merampunkan tulisan "Belawa, Negeri di Persimpangan Sejarah", tanpa diduga Blog sederhana ini mendapatkan kunjungan dari Adindaku ANDI SUWAIDI dan Ibu RAJA RACHMAWATI yang teramat saya muliakan. Setelah ditelusuri, mereka sesungguhnya kerabat kami yang lahir dan tumbuh di Tanjung Balai Karimun, Riau. Adinda Andi Suwaidi merupakan Generasi ke-VI dari La Pawellangi Petta PajumpEroE Arung Matoa Wajo ke-39 yang juga pada nazabnya yang lain adalah termasuk dalam rumpun Keluarga Besar La TEngko Petta Manciji'E ri Wajo (Leluhur ke-IV Penulis). Kemudian Ibu Raja Rachmawati adalah keturunan We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu ke-24/26 (Leluhur ke-VIII Penulis), "Ratu Agung" yang menurunkan salahsatu dari tangkai generasinya yang ke-III, yakni : OPU LIMA (Lima Opu Bersaudara) yang termahsyur menjadi tunas para Sultan di Malaka, Selangor, Johor, Mempawah, Pegatan, Linggih serta Yam Tuan Muda Riau dari generasi ke generasi.

Penulis sesungguhnya belum pernah bertemu rupa dengan kedua kerabat (Sompunglolo) ini. Bahkan juga belum pernah saling memperdengarkan suara lewat telepon. Namun, mereka terasa begitu dekat seakan darah yang mengalir melalui segenap pembuluh darah pada raganya adalah darahku jua. Darah yang sesungguhnya menyatu dalam diri leluhur kami.

Pertemuan lewat tulisan di dunia maya inilah yang menggelitik rasa keinginantahuanku untuk menilik lebih jauh tentang hal ihwal para Tokoh Bugis-Makassar di masa lalu yang menebarkan tunas keturunannya di Negeri Rantau. Memenuhi panggilan jiwa inilah sehingga beberapa pekerjaanku di kantor sempat terbengkalai selama beberapa hari. Pasalnya, penulis terpaksa menjelmakan diri sebagai "tikus gudang", membongkar kembali buku-buku dan copian artikel yang sempat terlupakan.

Maka tulisan ini mulai saya susun jua, buah pemikiran dan penelitian para Budayawan dan Sejarawan terkemuka yang selama ini menjadi panutanku, diantaranya : Prof. Dr. H. Andi Mattulada, Prof. MR. Dr. H. Andi  Zainal Abidin Farid, SH dan para Sejarawan lainnya yang nantinya akan saya lampirkan pada Catatan Kaki  pada bagian akhir tulisan ini.

Akhirnya tiada lain yang dapat saya haturkan, semoga kiranya kumpulan catatan ini dapat menjadi perekat Silaturrahmi yang mengantarkan kita sekalin menuju Ridlo Allah SWT. Maka perkenankan kuhaturkan salam Takzim dan hormatku yang sedalam-dalamnya kepada,: 
*Adinda Andi Suwaidi Sekeluarga di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau,
*Ibu Raja Rachmawati Sekeluarga di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau,
*Ibu Noor Lizah Nurdin Sekeluarga di Riau,
*Saudara kami Yang Mulia YB. Dato' Seri Aziem di Malaysia,
*Sempogiku Personel Blogger BUGIS BUKAN PATI DI SABAH, Malaysia
*Teman Facebookerku Hartini Marish di Malaysia...
Dengan ucapan : Ikatan Aqidah dan Budaya sesungguhnya tidaklah dibatasi oleh Negara dan Waktu..

Wassalam...

Pendahuluan
 
Pura ba'bara sompe'ku..
Pura tangkisi golingku..
Kulebbirengngi telleng natoaliE !
                       (Lontara Andi PallogE Petta Naba)

Telah terkembang layarku...
Telah terikat kemudiku..
Kumemilih tenggelam dari pada kembali !
                      (Lontara Andi PallogE Petta Naba)
..........................................................................................

 " Bangsa Perantau", kiranya itulah julukan yang pas bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang terdiri dari 4 suku utama, merupakan induk dari beberapa suku lainnya. Mereka adalah : Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Namun secara umum di Negeri Rantau mereka lebih dikenal sebagai "Bugis Makassar".

Melakukan perjalanan jauh melintasi samudera nan luas, itulah salahsatu topik utama yang mendominasi alur kisah dalam kitab sastra Bugis kuno, yakni : I La Galigo (Epos terpanjang di dunia yang terdiri dari kurang lebih 8000 halaman Folio yang dapat ditemukan dan masih banyak lagi bagian lainnya yang belum terdata). Kisahnya bermula pada perjalanan La Toge'langi Batara Guru yang diturunkan dari Botinglangi (khayangan) ke Attawareng (Bumi), Perlawatan La Toge'langi Batara Guru  ke Peretiwi (Negeri Bawah), Perlawatan La Tiuleng Batara Lattu' (putera La Tiuleng) ke Negeri Tompotikka, Pengembaraan Sawerigading (putera La Tiuleng, tokoh utama Epos I La Galigo) ke berbagai Negeri seberang lautan, Perlawatan Sawerigading ke Marapettang (Negeri Arwah), Perlawatan duta pernikahan Sawerigading ke Negeri Cina (Tana Ugi), Perlawatan penaklukan I La Galigo (putera Sawerigading) ke Pujananting, ............  perjalanan ekspedisi lainnya oleh para cucu Sawerigading hingga babak perjalanan terakhir Sawerigading dan keluarganya kembali ke Negeri Luwu "tinrelle'" (turun) ke Uri Liung (Negeri Dunia Bawah).

Bagi siapapun yang pernah membaca rangkaian Trilogy : Een Episode Uit Het I La Galigo Epos, Bijdragen Tot De Taal, Land en Volkenkinde, 117:363-383 (R.A.Kern-Leiden, 1961) atau I La Galigo, Cerita Bugis Kuno (R.A.Kern, Gajah Mada University Press-Yogyakarta, Cet. II-1993), kemudian membaca atau menonton film Trilogy : The Lord Of The Rings (The LOTR) karya John Ronald Revel Tolkien yang terbit pertamakalinya pada tahun 1937 (Judul : The Hobbiet), pastilah akan beranggapan jika J.R.R. Tolkien telah membaca beberapa episode I La Galigo sebelum mendapatkan ide imajinatif berkenaan flot dan karakter pada novel klasiknya yang mendunia tersebut. Anggapan ini disebabkan oleh banyaknya persamaan karakter pada tokoh-tokohnya ditambah pula plot dan setting cerita yang sangat mirip. Maka dalam hal ini, penulis sempat berseloroh bahwa bahkan mitologinya ikut pula merantau kemana-mana.

Ketika membuka catatan lama tentang perantauan orang Bugis-Makassar pada abad XVII, maka sebagian kalangan berpendapat jika motivasi perantauan itu disebabkan oleh "pengalaman pahit" yang dialaminya di Negeri sendiri, sehingga mereka bermaksud "membuang diri" beserta kepedihannya di Negeri Rantau yang jauh. Namun jika istilah "perantauan" ini dipahami sebagai  "perjalanan / perlawatan ke Luar Negeri" (Imigrasi), maka pendapat itu ada  benarnya. Perjanjian Bungaya (Cappayya ri Bungaya) pada tanggal 18 Nopember 1967 yang merupakan "gencatan senjata" antara pihak Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) beserta sekutunya (Luwu dan Wajo) dengan VOC bersama sekutunya (La Tenri Tatta Arung Palakka yang memimpin aliansi pasukan Bone dan Soppeng), dipahami beberapa petinggi kerajaan Makassar dan sekutunya sebagai pernyataan kalah perang yang tidak mungkin diterimanya. Walaupun hal ini ditempuh oleh I Mallombassi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin Sombayya Gowa dengan alasan demi menyelamatkan rakyat yang kian menderita. "Keberanian adalah suatu keutamaan, namun segalanya memerlukan kearifan dalam berpikir...", demikian ujar baginda. Namun kekecewaan petinggi lainnya yang tidak dapat menerima perjanjian itu tidak tertahankan jua. Dengan tidak mengurangi takzim dan sembah sujudnya pada Sang Sultan, mereka pamit untuk membuka front pertempuran melawan VOC di kawasan lain di luar wilayah imperium Kerajaan Makassar.

Kembali kepada topik kajian, yakni penjelajahan samudera para tokoh Bugis-Makassar sejauh layarnya terkembang. Pada era tahun 90-an, seorang pengusaha Jepang yang berkunjung ke Candi Borobudur (Jawa Tengah) sangat tertarik dengan relief bergambar Perahu pada candi Budha yang mengagumkan itu. Ia mengambil gambar relief tersebut dengan camera, lalu mencari informasi dimana kiranya dapat dipesan untuk pembuatannya. Sesuai petunjuk yang didapatnya, maka orang Jepang itu mengunjungi Pulau Sapudi (Madura), sentra pembuatan perahu tradisional di Jawa Timur. Namun tidak seorangpun di tempat tersebut yang mengenal jenis perahu yang tergambar pada relief candi Borobudur serta tidak bisa membuatnya sebagaimana dipesankan oleh orang Jepang itu. Maka kembalilah ia ke Jepang dengan rasa penasaran.

Berselang beberapa waktu setelah di Jepang, ia mendapatkan informasi tentang keberadaan sebuah masyarakat ahli pembuat perahu di Sulawesi Selatan, Indonesia. Didorong oleh minatnya yang tinggi tentang Budaya Maritim, akhirnya ia segera berkunjung kembali ke Indonesia. Didatanginyalah tempat sebagaimana tersebut sesuai informasi yang didapatnya, tepatnya di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba. Diluar dugaan, reaksi Pembuat Perahu yang melihat gambar perahu yang dipesan sesuai dengan pahatan relief itu biasa-biasa saja. Menurutnya, perahu tersebut adalah salahsatu jenis perahu Bugis-Makassar yang sejak dulu dikenal dengan nama : Lambo'...

Memahami "perantauan" sebagai sebuah tradisi bagi masyarakat Sulawesi Selatan, maka tradisi tersebut mutlak mestilah diimbangi dengan kemampuan teknologi pembuatan dan perahu yang handal pula. Selain itu, kemampuan navigasi dan keperkasaan dalam perang laut juga adalah suatu keunggulan yang harus dimiliki. Maka dalam hal ini, Pieter Van Dam (seorang penulis VOC pada abad ke-XVII)  menguraikan dalam bukunya, "Beschrijving van de Oost-Indische Compagnie 2de Boek 5de Capittel" (Uraian Kompeni Hindia Timur Buku ke2 Bab ke5), bahwa : "Kerajaan Makassar,  terletak di pulau besar Celebes, sebelum ini sangatlah termahsyur. Pertama karena perniagaannya, ........ selain dari pada itu  karena keunggulannya berperang yang sangat hebat". Pada bagian lain bukunya tersebut, ia mengatakan : "... orang-orang arif yang mengenal keadaan Makassar, menganggap adalah suatu yang mustahil, pun orang-orang Muslim dan kafir dimana saja di kawasan Timur tidak dapat percaya, bahwa orang-orang Belanda Akan dapat mengalahkan Makassar, bahkan dunia akan kiamat sebelum Makassar terkalahkan. Oleh karena orang Makassar terkenal sebagai yang paling berani, paling unggul berperang di seluruh Hindia, suatu bangsa tak ada taranya dan sanggup mengerahkan lasykar ratusan ribu jumlahnya, yang bersenjatakan meriam dan bedil berpeluru berbisa serta dapat menembak sekeping uang kelip dengan tepat pada jarak 30 langkah." (terjemahan Sejarawan La Side' Daeng Tapala, Gowa , Kekuatan Maritim Kawasan Timur Nusantara Abad ke-16 dan 17, Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan, YKSST-1977).

Penilaian yang berkesan sebagai "sanjungan" dari penulis Belanda tersebut, memang sangatlah beralasan. Dalam kurun waktu tahun 1641, Kerajaan Gowa adalah merupakan suatu Imperium yang daerah pengaruhnya meliputi kawasan darat dan laut yang luasnya lebih dari separuh kawasan Indonesia pada masa ini. Terbentang mulai dari Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) disebelah barat sampai di Dobo (Maluku Tenggara) disebelah timur, memutar ke Kepulauan Sangir (Sulawesi Utara) di sebelah utara, membentang lurus ke selatan hingga di MarEgE (Australia Utara). Tidak kurang dari 70 Kerajaan besar dan kecil yang mengaku berlindung dibawah naungan "Laklang SipuwEa" (Payung Kebesaran Kerajaan Gowa).

Kebesaran imperium Gowa sebagai penguasa lautan yang mulai dirintis sejak tahun 1511 pada masa pemerintahan DaEng MatanrE KaraEng Tumaparrisi' Kallongna Sombayya Gowa ke-IX , kiranya inilah yang dapat dijadikan sebagai titik awal penelusuran jejak tokoh-tokoh Bugis-Makassar yang melakukan perjalanan jauh hingga menorehkan sejarahnya di Negeri Rantau.


1. Ekspedisi Perairan Timur

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa kemajuan dan perkembangan pesat yang menakjubkan dapat dicapai oleh Kerajaan Gowa sebagai Inperium pada kurun abad XVI-XVII, terutama berkat kekuatan Angkatan Lautnya yang besar. Dapat dibayangkan pada masa itu, apabila Kerajaan Gowa sedang berperang, lautan seolah menjadi hutan yang penuh dedaunan oleh layar kapal-kapal Phinisi mereka. Kapal-kapal itu datang serempak dalam jumlah ratusan, atau bahkan ada kalanya ribuan buah jika setiap kapal Phinisi itu dikawal oleh puluhan perahu Jung berlayar lebar.

Tertulis dalam Lontara Bilang (catatan harian Raja-Raja Gowa-Tallo') kepunyaan Baginda Andi Makkaraka Arung BEttEngpola yang diterjemahkan dan dipelajari oleh Sejarawan/Budayawan La Side' Daeng Tapala, menguraikan secara rinci ukuran-ukuran armada Makassar tersebut , yakni : Rata-rata sepanjang 17,1/2 meter dengan lebar perut 3 sampai 5 meter. Armada kenaikan Raja dan Laksamana umumnya berbentuk GallE' (GalEi), pendayungnya 200 smpai 400 orang, bersusun 3 sampai 4 tingkat.

Selanjutnya pada Lontara' Bilang disebutkan, I Manuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid Somba Gowa ke-XV (1639-1653) dalam rangka persiapan menyerbu Kerajaan Buton (Sulawesi Tenggara) dan Timor pada tahun 1640, baginda memerintahkan membuat GallE sebanyak 9 buah yang diberinya nama:
1. I GallE Dondona RallE Campaga, ukuran panjang 20 depa (35 m),
2. I GallE I Nyannyi' Sangguk, ukuran panjang 15 depa (27 m),
3. I GallE Mangkin Naiya, ukuran panjang 15 depa (27 m),
4. I GallE ParE' Makkuling, ukuran panjang 13 depa (23 m),
5. I GallE I Kalabiu, ukuran panjang 13 depa (23 m),
6. I GallE GalElEngan, ukuran panjang 13 depa (23 m),
7. I GallE Barang MamasE,  ukuran panjang 13 depa (23 m),
8. I GallE Siga,  ukuran panjang 13 depa (23 m),
9. I GallE Uwangang,  ukuran panjang 13 depa (23 m).

Ke-9 GallE tersebut diatas memiliki ukuran lebar 3 depa (5,1/2 m). GallE yang ditumpangi Laksamana KaraEng Bontomarannu dan Opu Cenning Luwu (Sattiaraja Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung ri Luwu ke XIX waktu itu masih berumur 15 tahun, penulis) dalam perang laut di Buton pada tahun 1666 masing-masing dipersenjatai dengan 18 pucuk meriam laut. Sangat menarik jika menyimak sebagaimana yang dibayangkan Bp. La Side Daeng Tapala, sbb : Betapa gegap gempitanya apabila pada suatu hari di abad XVI atau abad XVII beratus-ratus buah Jung  dengan puluhan ribu lasykar tiba pada suatu tempat di Pantai Kalimantan atau Sulawesi, atau pada suatu hari di Nusa Tenggara atau Maluku, atau didepan Benteng Portugis atau Belanda, dapatlah kiranya dibayangkan !. (Gowa, Kekuatan Maritim Kawasan Timur Nusantara Abad 16-17, YKSST-1967). Maka pantaslah jika VOC dalam abad XVII memberikan julukan kepada orang Makassar, yakni : De Haantjes Van Het Oosten ( Ayam-Ayam Jantan dari Timur ).

Kemudian pada bagian lainnya, buku harian berharga tersebut memberitakan urutan-urutan peristiwa, sbb :

1. 16-4-1617 : I Lo'mo MandallE (seorang Panglima Gowa) menaklukkan Bima (Nusa Tenggara) dengan 7 armadanya,

2. 16-4-1619 : KaraEng BEroanging (seorang Pangeran Gowa) berangkat ke Bima dan Sumbawa untuk memadamkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gowa,

3. 13-3-1621 : Lasykar Gowa menaklukkan Kerajaan Taliwang di Pulau Sumbawa yang mengadakan tindakan pembangkangan,

4. 17-4-1624 : Sultan Alauddin (I Mangngurangi Daeng Manrabia Somba Gowa ke-XIV) dengan saudaranya bertolak ke Kerajaan Buton untuk menaklukkan negeri itu,

5. 22-11-1632 : KaraEng ri Bura'nE (seorang Pangeran Gowa) berangkat ke Kerajaan Bima (Nusa Tenggara) untuk memadamkan pemberontakan,

6. 11-9-1633 : Daeng MangallE (seorang Panglima Gowa) bertolak ke Pulau KabaEna untuk memerangi negeri kepulauan itu,

7. 22-8-1634 : KaraEng Balangbaru (seorang Pangeran Gowa) menghadap ke Sultan Alauddin untuk menghaturkan persembahan perjanjian rakyat Kerajaan Sula dan Kerajaan Banggai,

8. 3-4-1639 : I Daeng ri BulEkang (seorang Panglima Gowa) menyeberang dengan angkatan perangnya ke  Kerajaan Buton,

9. 13-4-1640 : Sultan Malikussaid (I Manuntungi Daeng Mattola Somba Gowa ke-XV) berkayuh ke Luwu, kemudian terus ke Pulau Timor untuk menaklukkan negeri itu,

10. 27-10-1640 : Sultan Malikussaid berkayuh ke BalEre' untuk memerangi negeri itu, menaiki I GallE I Nyannyi' Sanggu' dengan pengayuh (pendayung) 200 orang yang kesemuanya terdiri dari para pemuda bangsawan,

11. 25-12-1640 : Raja Tallo, I Mangnginyarang KaraEng Tumabbicara Butta Gowa (Mangkubumi Kerajaan Gowa) berkayuh ke Timor dengan 40 armada untuk menaklukkan kerajaan itu,

12. 30-12-1640 : KaraEng CEnrana (seorang pangeran Gowa) menyusul ke Timor,

13. 2-5-1641 : I Mangnginyarang Raja Tallo tiba kemabali dari Timor,

14. 3-1-1642 : Lasykar Gowa dipersiapkan menyerbu ke Ambon dibawah pimpinan Panglima Daeng Bonto KaraEng Butta Towa,

15. 8-10-1643 : Sultan Malikussaid menaiki I GallE Barang MamasE ke Kerajaan Agang Nionjo, dikawal 125 Jung bersenjata lengkap,

16. 17-11-1643 : Sultan Malikussaid pulang dari Perang Bone, membawa serta 31.340 orang tawanan perang yang dimuat dalam 316 buah Jung,

17. 18-4-1646 : Sultan Malikussaid berkayuh ke Kerajaan Bone untuk memerangi Raja Bone, La Tenriaji To Senrima Mangkau' ri Bone ke-XIV (La Tenroaji To Senrima Petta MatinroE ri Siang - Penulis) di PassEmpe',

18. 5-10-1647 : KaraEng Laju' dan KaraEng Bangkala' berkayuh ke Sumbawa (keduanya Pangeran TuratEa),

19. 5-7-1652 : KaraEng Katapang (seorang Pangeran Gowa) berkayuh ke Negeri Mandar (Sulawesi Barat) untuk membangun benteng pertahanan,

20. 21-11-1652 : Sultan memerintahkan menyiapkan lasykar untuk mengepung Kerajaan TernatE,

21. 29-11-1652 : Panglima I Daeng ri BulEkang (seorang Panglima Gowa) berlayar ke Ambon,

22. 1-10-1653 : 9.413 orang lasykar, tak terhitung Raja-Raja, para Bangsawan dan Hulubalang (UlEbalang ?, penulis) melakukan parade Angkatan Perang di Barobboso untuk diberangkatkatkan ke Ambon,

23. 29-3-1655 : Sultan Hasanuddin (I Mallombassi Daeng Mattawang KaraEng BontomangapE Somba Gowa ke-XVI TumEnanga ri Balla' Pangkana, Penulis) bertolak ke Buton, 11 hari kemudian berhasil menaklukkan Kerajaan TobEa,

24. 16-4-1655 : Angkatan Perang Gowa menyerang Belanda di Kerajaan Buton (Butung, Sulawesi Tenggara),

25. 18-4-1655 : Kerajaan Buton menyerah pada Gowa dengan membayar denda perang sebanyak 888 kati emas,

25a. 30-4-1655 : Sultan Hasanuddin berkayuh ke Mandar (Sulawesi Barat) untuk terus ke Kerajaan Kaili (Sulawesi Tengah) dikawal 1.183 buah Jung,

26. 18-8-1655 : Jenazah I Daeng Bonto KaraEng Butta Towa tiba dari Ambon,

27. 23-10-1655 : KaraEng Popo (seorang Pangeran Gowa) memusnahkan benteng Belanda (VOC) di Bonto TjoE serta membakar dan menenggelamkan sebuah armada perang VOC,

28. 29-12-1659 : Sultan Hasanuddin berkayuh ke Marusu (Maros) dikawal 239 Jung bersenjata lengkap,

29 8-11-1661 : Sultan Hasanuddin berkayuh ke Kerajaan Sawitto, dikawal 185 Jung,

30. 3-7-1662 : Sultan Hasanuddin memerintahkan persiapan penyerbuan ke Pulau Sula (Maluku),

31. 7-10-1662 (1665 ?, penerjemah) : Telah berkumpul sejumlah 10.662 lasykar Angkatan Perang untuk diberangkatkan ke Pulau Sula,

32. 4-7-1666 : Sultan memerintahkan untuk menetapkan hari baik untuk penyerbuan ke Ambon,

33. .. - 1666 : 450 Jung yang memuat 15.000 orang  lasykar bertolak ke Kerajaan Buton untuk menghukum negeri tersebut karena berpihak kepada VOC.





........ (bersambung ke bagian 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar