Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Jumat, 19 November 2010

Kajian Ininnawa

..Agar Tidak Punah

Perbincangan ringan lewat komentar demi komentar lewat Facebook dengan Adinda : Ibu Sahara Bugis, begitu membuka cakrawala pemikiranku. Beliau adalah putri Bugis yang terlahir dan tumbuh hingga membangun serta membina keluarga di Surabaya. "Pikiran ibarat parasut, berguna jika ia terbuka...", katanya. Kemudian beliau menanyakan perihal "Andi" yang melekat diawal namaku. "Cuma seonggok PUING-PUING, kenang-kenangan tentang masa lalu. Sesuatu yang justru lebih banyak menjadi beban, ketimbang sebagai sesuatu yang berdaya guna untuk menjawab tantangan hidup di era ini...", jawabku. Setidaknya begitulah pendapatku.. sesuai dengan kondisiku yang terlahir dan tumbuh dalam situasi serba sulit.. deraan kesulitan ekonomi, apa lagi ?

...........................................................................

Pada sebuah perbincangan dengan Puekku Andi Bau' Sumange' Rukka (Almarhum), tanpa disangka-sangka beliau menanyakan cita-citaku. Maka kujawab, "Iya minasanna atanna DatuE, mangujuE sompe' lao ri Australia.., Pueng" (Adapun menjadi cita-cita hamba, adalah : merantau ke Australia.., Tuanku). "Niga tau taletturi akkoro ?" (Siapa yang akan anda datangi disana ?), tanyanya. "Engkamoo sengatakku monro mattaung-taung akkoro. Sapposisengnamo atanna DatuE, Pueng.." (adalah seabdiku yang tinggal disana sejak bertahun-tahun. Dia adalah saudara misan hamba, Tuanku..). Pangeran Pammana itu mengisap rokok Bentoel Exportnya dalam-dalam seraya memandangku lekat. "Carilah bekal dan berjuanglah untuk menjawab tantangan hidup dalam era ini, kalau kau tidak ingin punah... letakkan gelarmu dan simpan baik-baik didalam lemari sebelum berangkat merantau..", katanya dengan suara datar. Entah kenapa, aku sangat terkesan dengan kalimat itu, hingga kuhapalkan diluar kepala sampai saat ini.

Kata "punah" itu menggetarkan dinding-dinding nuraniku, mengundang rasa cemas sekaligus memacu daya juangku untuk bertahan dari ancaman yang menakutkan itu. Andaikan benar jika pikiran adalah sebuah parasut, maka kata "punah" itu adalah angin panik yang sertamerta berhembus dan membuka parasut itu.

Aku teringat dengan kisah sang "Dinosaurus". Hewan raksasa Carnifora yang berada pada puncak rantai makanan, jutaan tahun yang lalu. Si Dino yang hebat itu telah punah dipermukaan bumi, sementara hewan-hewan lainnya yang bertubuh tidak sekuat dirinya masih bertahan hingga kini. Kepunahan itu bukan disebabkan oleh jatuhnya meteor menghempas bumi. Melainkan : Karena si Dino yang perkasa itu tidak mampu berevolusi !. Atau dengan kata lain, Si Dino tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan era.. Ia tidak mampu beradaptasi dengan zaman es dikala itu. Bumi senantiasa berputar, membawa berbagai zaman yang silih berganti, mengikuti Sunnatullah yang ditetapkan baginya beserta isinya.

Aku bukanlah penganut teori evolusi yang tidak masuk ditakaran akal itu. Namun riwayat punahnya Si Dino mengilhamiku untuk senantiasa realistis dalam mengarungi bahtera hidup dalam era masa ini. Seseorang haruslah fleksibel dalam menerapkan nilai budaya warisannya yang mau tidak mau haruslah mengikut dan menyesuaikan dengan keadaan hari ini. Kalau tidak, riwayat tentang kepunahannya akan terbaca dalam waktu tidak terlalu lama kemudian.

Maka benarlah kiranya, pada era tahun 50-an para Ana' Arung (Putera Bangsawan) yang menjalani pendidikan di Watampone, diwajibkan menamatkan Lontara Latoa dan Budistihara. Lontara' Latoa memuat pendidikan budi pekerti kenegarawan berdasarkan kearifan para pemikir Bugis dimasa Pra-Islam dan Budistihara berisikan pendidikan budi pekerti Iman dan Taqwa kepada Allah SWT. Maka jelaslah, bahwa sebaik-baiknya bekal yang dipersiapkan untuk menjawab tantangan zaman demi zaman dimasa yang akan datang, adalah : nilai Iman dan Taqwa kepada Allah Subhanahuw Wata'ala.

Wallahualam Bissawab...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar