Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Sabtu, 27 November 2010

Ininnawa

KEBIJAKAN

... lagi-lagi aku tidak bisa memaparkan, apa definisi "kebijakan". Namun aku yakin, bahwa setiap manusia yang pernah dilahirkan di permukaan bumi ini pernah memberi dan menerima kebijakan. Maka setiap orang pastilah tahu dan mengerti maksud kebijakan itu.
...........................................................................................

Seringkali aku mengikuti acara "Madduta" (melamar) yang diselenggarakan sebagai suatu rangkaian prosesi adat pernikahan adat istiadat Bugis. Beberapakali diantaranya kuingat sebagai suatu moment yang sulit, dimana telah terjadi "tawar menawar" yang alot diantara kedua belah pihak. Pihak keluarga perempuan berusaha mempertahankan besarnya "Balanca" (Uang belanja penyelenggaraan pesta pernikahan) yang ditetapkannya sebagai syarat bagi pihak keluarga pelamar. Sementara pada pihak keluarga lelaki yang melamar, juga berusaha menawar harga terendah yang dimintanya. "Taniaki' ata-ata maElo mabbEnE ana' Arung..! " (kami bukannya kaum budak yang berkeinginan memperisteri wanita bangsawan..!), kata salah seorang dari rombongan kami, pihak pelamar. Agaknya ia tersinggung ketika mendengar persyaratan yang ditetapkan oleh pihak keluarga yang dilamar, seakan-akan pihak mereka lebih tinggi derajatnya dari kami.

Maka terjadilah sebuah perseteruan disebabkan oleh ketersinggungan yang justru tidak jelas ujung pangkalnya. Suatu akibat yang kini jauh melenceng dari niat semula, yakni : Mempererat jalinan silaturrahmi dalam ikatan sunnatullah pernikahan yang diridloi Allah SWT.

Akhirnya kurenungkan kembali bagaimana leluhur kami mewasiatkan pesan tentang memposisikan nurani dalam suatu permasalahan sebagaimana digambarkan diatas. "Padai laona mappalalo waju bekka' temmakkasapE ri gau' sitinajaE. Ipolo mallampE'E, na ripuE' massappaE ri lalengna dEcEngngE. MappasitujuE temmakkEbbuu laleng baru ri lalengna ade'E..." (Ibarat memakai baju yang kekecilan, namun tidak merobeknya. Memotong yang memanjang serta membelah yang persegi dalam jalan kebaikan. Saling membijaksanai tanpa membuat tata cara baru dalam aturan adat istiadat..).

Memakai baju yang ukurannya kecil tanpa merobeknya, agaknya jauh lebih baik dari pada tidak mengenakan baju sama sekali. Palsafah  yang dimaknai sebagai pola sikap yang fleksibel. Sesuatu yang menghendaki kiranya setiap pribadi memahami lebih dalam perihal prinsif-prinsif aturan hidup yang diembannya. Maka pemahaman itulah yang akan membawanya pada pengenalan tata letak berbagai unsur kebijaksanaan pada sisi lain aturan itu. Pada akhirnya, esensi pengenalan itu akan membawa kita terhadap pengertian tentang fungsi epektifitas dalam menjiwai prinsif tersebut. Sesuatu yang memungkinkan untuk melihat jelas celah kebijakan yang dapat menjadi solusi terbaik, tanpa mencederai esensi aturan itu sendiri.

Alangkah indahnya jika memegang teguh suatu prinsif yang dijiwai dengan penuh rasa toleransi. Sebagaimana contoh yang telah dikemukakan diatas, pihak keluarga perempuan tentu akan menyelaraskan persyaratan yang ditetapkannya dengan prinsif "Mappasitinaja" (sewajarnya). Kemudian pihak pelamar tentu saja dapat menerima persyaratan itu dengan penuh toleransi. " dE'namarigaga ipassa-passa cEddE' alEwE, rEkko dEcEng mua.. nasaba ri yelli mEmengpa dEcEngngE.." ( tidak apalah jika sedikit memaksakan diri .. karena kebaikan itu memang pantas dihargai..).

Wallahualam Bissawwab...









Tidak ada komentar:

Posting Komentar