MITOS SEKITAR SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI LUWU
“Aja laloki’ gaga manrE mabbokori babang malloang-loangngE.. Aja’to na dE’ musampoi lise’ parennungmu ri wettu maElomu matinro ! ” (Jangan sekali-kali makan sambil membelakangi pintu yang sedang terbuka.. Jangan pula tidak menutup isi “Parennung” sebelum tidur ! ), demikian kata “pemmali” (larangan, tabu) yang hingga kini masih banyak dipercayai sebagian kalangan masyarakat, utamanya orang tua-tua.
…………………………………………………………………………………………………………
Syahdan, La Pati Ware’ Daeng Parambong Pajung ri Luwu – XIII telah memeluk Agama Islam atas jasa 3 Datuk dari Tanah Melayu yang diantar oleh Tandi Pau Opunna Ware’ Maddika Bua. Sebagai seorang Raja Islam, baginda diberi gelar sebagai Sultan Muhammad Mudharuddin.
Suatu hal unik pada sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan yang membedakan dengan kerajaan lainnya di Indonesia, bahwa Islam selalu dimulai pada Rajanya yang kemudian diikuti secara mutlak oleh rakyatnya. Hal tersebut terjadi disebabkan karena seorang raja dipandang oleh rakyatnya sebagai panutan.
Sebagaimana diuraikan pada beberapa Lontara besar di Sulawesi Selatan, bahwa setiap orang Raja yang dilantik (dikukuhkan), senantiasa dibacakan kembali perjanjian kontrak yang menjelaskan tentang hak dan kewajibannya sebagai seorang penguasa terhadap rakyatnya. Kemudian pejabat yang melantiknya juga mengucapkan ikrar dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini adalah ikrar Matoa Ujung ketika mewakili rakyat Bone yang ditujukan kepada La MammatasilompoE ManurungngE ri Matajang Mangkau ri Bone I, sbb :
Angikko kiraungkaju
Riao miri riakkeng, matappalireng
Elo'nu ri ikkeng, adammu kua
Mattapako, kilao
Millauko, kiabbErE
Molliko, kisawe'
Mau'ni anammeng, pattarommeng
REkkuwa mutEaiwi, kitEai toisa
Iyakita, ampirikkeng temmakare'
Dongirikkeng, temmatippe'
Musalipurikkeng, temmacekkE'
Anginlah engkau dan kami dau kayu
Kemana engkau berhembus, kesana kami terbawa
Kehendakmu terhadap kami, itulah yang jadi
Engkau bertitah, kami menaati
Engkau meminta, kami memberi
Engkau memanggil, kami menyahut
Walaupun anak kami serta isteri kami
Apabila engkau tidak berkenan kepadanya, kamipun tidak berkenan pula
Akan tetapi, tuntunlah kami menuju keketentraman
Jagalah kami menuju kemakmuran
Selimuti kami, agar tidak kedinginan
Maka seorang Raja dipandang sebagai spirit kemakmuran kerajaan. Bencana dan malapetaka yang terjadi dalam negeri diyakini sebagai akibat pelanggaran Raja beserta kerabatnya. Begitupula halnya bagi rakyat, kejadian buruk yang menimpa dirinya diyakininya sebagai akibat ketidaktaatannya terhadap Raja junjungannya (Mabusung, kualat).
Demikian pula halnya dengan Sultan Muhammad Mudharuddin yang memerintahkan kepada segenap rakyatnya untuk masuk Islam. Maka dari hari ke hari, banyaklah rakyat Luwu yang masuk Islam dan langsung dibimbing oleh ketiga Muballiq yang bersejarah tersebut.
Tersebutlah seorang pangeran Luwu , bernama : Pati Paressa' Manjawari. Beliau adalah salahseorang saudara Sultan Muhammad Mudharuddin. Iapun adalah seorang tokoh Luwu yang meminta tenggang waktu untuk masuk Islam. "..kami masih memiliki simpanan dendeng babi. Sekiranya kami masuk Islam saat ini, tentulah dendeng itu akan terbuang percuma. Maka kami mohon kiranya diberi waktu hingga dendeng itu habis terlebih dahulu, barulah kami memeluk agama Islam..", demikian alasannya.
Sebagai seorang Raja yang berpandangan jauh, Sultan memberikan perkenannya. Mengingat pula bahwa Pati Paressa Manjawari adalah salah seorang tokoh yang memiliki cukup banyak pengikut. Selain itu, Khatib Sulung menasehatkan agar memberi kelonggaran karena ajaran Islam sendiri menggariskan : Laa iqraha fi' diyn.. (Tidak ada paksaan dalam agama..)
Sebulan telah berlalu, Pati Paressa belum pula datang berkunjung ke LangkanaE (Istana). Karena merasa penasaran, Sultan menitahkan kepada salah seorang perangkat kerajaan untuk menanyakan kepada Pati Paressa perihal janjinya sebulan yang lalu. Namun jawaban yang diterima, bahwa dendeng babi itu belumlah habis. Satu bulan kemudian, Pati Paressa belum juga memunculkan diri di balairung istana. Sultan pun kemudian mengutus abdinya untuk menanyakan kembali. Namun jawabannya tetap sama, dendeng babi belumlah habis. Maka Sultan mulai hilang kesabaran, baginda memberi waktu terakhir selama 1 bulan sejak hari itu. Mustahil ia memiliki dendeng babi sebanyak itu, hingga 2 bulan dimakan tidak habis-habis.., demikian pikir Sultan.
Adapun halnya dengan Pati Paressa' Manjawari, sesungguhnya beliau tidaklah berdusta. Dendeng babi yang tersedia di rumahnya memang tidaklah habis, walaupun ia sekeluarga memakannya tiap hari. Pati Paressa adalah seorang pangeran yang kharismatik yang dicintai dan dikagumi. Para pengikutnya yang fanatik memegang kepercayaan lama tidak rela jika junjungannya itu memeluk agama Islam. Semua pangeran dan puteri Kerajaan Luwu yang lainnya sudah memeluk agama Islam. Jika Pati Paressa' memeluk agama Islam, maka habislah pemeluk kepercayaan lama dari kalangan bangsawan tinggi, tinggallah kita-kita ini dari kalangan rakyat yang tersisa, demikian pendapat para pemeluk kepercayaan lama itu.
Maka mereka mengupayakan agar dendeng babi itu tidaklah habis. Tanpa sepengetahuan Pati Paressa mereka menyelundupkan dendeng babi ke dapur rumah Pati Paressa. Dendeng Babi itu dimasukkan pada "parennung" (belanga tempat makanan yang diikat dengan anyaman daun lontar dan digantung agar tidak dimasuki semut atau tikus).
Akhirnya, sebulan yang diultimatumkan Sultan telah sampai waktunya. Baginda mengutus abdi istana untuk menanyakannya pada Pati Paressa'. Namun jawabannya tetap sama, dendeng babi belum habis. Maka murkalah Sultan."Kalau saudaraku sendiri mempermainkan titahku, bagaimana lagi dengan orang lain ?!..", pikir baginda. Hukum harus ditegakkan, dimulai pada lingkungan keluarga sendiri..!. Maka dijatuhkan putusan hukuman mati pada Pati Paressa' Manjawari, saudara Sultan sendiri. Dalam istilah adat Luwu, hukuman tersebut dikatakan sebagai : RipaggEnoi wennang cella' (Dikalungkan benang merah) atau Ribolongi alirinna (Dicat hitam tiang rumahnya).
Maka dipilihlah salah seorang pemberani Istana Luwu bernama La Bucai' untuk melaksnakan eksekusi mati terhadap Pati Paressa'. Sebagaimana diketahui, bahwa Pati Paressa' yang merupakan pangeran yang kharismatik, juga dikenal pula sebagai seorang yang memiliki kesaktian. Konon beliau memiliki ilmu kebal yang tidak mempan terhadap senjata apapun, termasuk bambu runcing dan kayu "tiloro' " (kelor). Bahkan menurut khabarnya, walaupun ditanam hidup-hidup atau ditenggelamkan di air pun tetap jua tidak akan binasa. Ilmu kebal itu dikenal sebagai : Makkasabandia'.
Namun, La Bucai' bukan pula seorang pemberani biasa. Dicarinya daya upaya untuk mencari kelemahan Pati Paressa' demi melaksakan amanat junjungannya. Iapun tahu, Pati Paressa' adalah seorang tokoh yang sangat percaya diri. Bahkan pangeran itu sengaja tidak memasang pengawal untuk menjaga di komplek istananya. Pada suatu malam, secara diam-diam ia menaiki rumah Pati Paressa' dengan badik terhunus. Didapatinya pintu rumah pangeran itu terbuka. Dilihatnya Pati Paressa sedang bersantap malam dalam posisi membelakangi pintu rumahnya. La Bucai tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia menikamkan badiknya pada punggung Pati Paressa'. Maka kodrat Allah berlaku seketika itu. Tikaman badik bertuah itu menembus punggung Pati Paressa hingga menewaskannya seketika itu pula.
Kematian Pati Paressa yang kebal terhadap apapun itu, akhirnya menjadi sebuah Mitos. Sejak itu, orang tua-tua berpesan kepada anak turunannya agar tidak makan dalam keadaan pintu terbuka. Bahkan lebih daripada itu, pintu tangga rumah juga harus ditutp pula pada malam hari. Selain itu, "parennung" harus ditutup pula pada malam hari sebelum tidur.
Setelah Pati Paressa' Majawari dimakamkan dengan cara sepatutnya sebagai seorang Pangeran Luwu, Sultan memanggil para pemuka kaum yang selama ini menjadi pengikut setia Pati Paressa'. "NarEkko mEmengngi mappotEa manengko selluki akkacoErengku, salaini TanaE Luwu.." (Sekiranya benar kalian tidak mau mengikuti pedomanku, tinggalkanlah Tanah Luwu..), sabda baginda dalam kemarahannya. Kemurkaan Sultan adalah sebuah hukuman. Suatu keputusan yang timpakan kepada pengikut setia Pati Paressa' itu dikenal dalam adat Luwu sebagai : Ri Paoppangi Tana (Ditelungkupkan tanah diatasnya). Hukuman pengusiran atas mereka sekeluarga, tidak boleh lagi menginjak negeri Luwu selamanya.
Maka kaum itu serentak meninggalkan Negeri Luwu, menuju ke Tanah Wajo. Setibanya di kerajaan Wajo, mereka menghadapkan sembah kepada La Sangkuru Patau MulajajiE Arung Matoa Wajo seraya memohonkan perlindungan dan diterima sebagai rakyat Tana Wajo.
Wallahualam Bissawwab..
Maka dipilihlah salah seorang pemberani Istana Luwu bernama La Bucai' untuk melaksnakan eksekusi mati terhadap Pati Paressa'. Sebagaimana diketahui, bahwa Pati Paressa' yang merupakan pangeran yang kharismatik, juga dikenal pula sebagai seorang yang memiliki kesaktian. Konon beliau memiliki ilmu kebal yang tidak mempan terhadap senjata apapun, termasuk bambu runcing dan kayu "tiloro' " (kelor). Bahkan menurut khabarnya, walaupun ditanam hidup-hidup atau ditenggelamkan di air pun tetap jua tidak akan binasa. Ilmu kebal itu dikenal sebagai : Makkasabandia'.
Namun, La Bucai' bukan pula seorang pemberani biasa. Dicarinya daya upaya untuk mencari kelemahan Pati Paressa' demi melaksakan amanat junjungannya. Iapun tahu, Pati Paressa' adalah seorang tokoh yang sangat percaya diri. Bahkan pangeran itu sengaja tidak memasang pengawal untuk menjaga di komplek istananya. Pada suatu malam, secara diam-diam ia menaiki rumah Pati Paressa' dengan badik terhunus. Didapatinya pintu rumah pangeran itu terbuka. Dilihatnya Pati Paressa sedang bersantap malam dalam posisi membelakangi pintu rumahnya. La Bucai tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia menikamkan badiknya pada punggung Pati Paressa'. Maka kodrat Allah berlaku seketika itu. Tikaman badik bertuah itu menembus punggung Pati Paressa hingga menewaskannya seketika itu pula.
Kematian Pati Paressa yang kebal terhadap apapun itu, akhirnya menjadi sebuah Mitos. Sejak itu, orang tua-tua berpesan kepada anak turunannya agar tidak makan dalam keadaan pintu terbuka. Bahkan lebih daripada itu, pintu tangga rumah juga harus ditutp pula pada malam hari. Selain itu, "parennung" harus ditutup pula pada malam hari sebelum tidur.
Setelah Pati Paressa' Majawari dimakamkan dengan cara sepatutnya sebagai seorang Pangeran Luwu, Sultan memanggil para pemuka kaum yang selama ini menjadi pengikut setia Pati Paressa'. "NarEkko mEmengngi mappotEa manengko selluki akkacoErengku, salaini TanaE Luwu.." (Sekiranya benar kalian tidak mau mengikuti pedomanku, tinggalkanlah Tanah Luwu..), sabda baginda dalam kemarahannya. Kemurkaan Sultan adalah sebuah hukuman. Suatu keputusan yang timpakan kepada pengikut setia Pati Paressa' itu dikenal dalam adat Luwu sebagai : Ri Paoppangi Tana (Ditelungkupkan tanah diatasnya). Hukuman pengusiran atas mereka sekeluarga, tidak boleh lagi menginjak negeri Luwu selamanya.
Maka kaum itu serentak meninggalkan Negeri Luwu, menuju ke Tanah Wajo. Setibanya di kerajaan Wajo, mereka menghadapkan sembah kepada La Sangkuru Patau MulajajiE Arung Matoa Wajo seraya memohonkan perlindungan dan diterima sebagai rakyat Tana Wajo.
Wallahualam Bissawwab..