Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Senin, 29 November 2010

Legenda Berdirinya Kerajaan Belawa










LEGENDA ASAL MULA KERAJAAN BELAWA

Memenuhi   janji terhadap Saudara Abdul Jamil Akbar, maka kutuliskan salahsatu kisah pengantar tidur ini.  Sesuatu yang selalu kudengar setiap menjelang kuterlelap memasuki gerbang mimpi. Maka wajarlah jika  penghujung kisah ini tidaklah lengkap adanya, anggap saja aku sudah tertidur sehingga “endingnya” tidak sempat kudengar lagi. “Engkamuatu itEppang narEkko engka waju, mauni sopE’-sopE’, ndi’ “ (Adalah yang bisa ditambal kalau baju itu ada, walaupun robek disana-sini, dik..), begitu kataku melalui pesan di Facebook beberapa waktu yang lalu.

 “Sepenggal Kisah”  tentang berdirinya sebuah Kerajaan Kecil, yakni : Belawa. Uraian singkat yang tidak kumasukkan pada laman “Sejarah Belawa” karena motif warnanya lebih menyerupai sebuah Legenda adanya…


Syahdan, dalam ruang  waktu yang sukar diterka, kapan terjadinya. Namun kisah ini bermula pada sebuah Kerajaan Kecil yang terletak di sebelah tenggara Kerajaan Rappang, yaitu : Bulu CEnrana. Tidak pula disebutkan nama Rajanya, namun yang diketahui bahwa Baginda Arung Bulu CEnrana pada waktu kisah ini dituturkan, adalah seorang Raja yang sudah berusia lanjut. Demikian pula dengan Permaisuri yang mendampinginya selama ini, beliaupun sudah tua. Rambut mereka sudah serba memutih, seiring dengan para keturunannya yang pada masa itu sudah berlapis 3 alias sudah memiliki cicit.

Sebagaimana kebiasaan pada umumnya Kerajaan-Kerajaan lokal di Sulawesi, bahwa seorang Raja yang dicintai rakyatnya, tidaklah digantikan terkecuali 2 hal, yaitu : Wafat atau mengundurkan diri atas kemauan sendiri dengan menunjuk penggantinya. Begitu pula halnya  dengan  Arung Bulu Cenrana. Baginda tetap memangku jabatannya, namun segala harta bendanya telah habis dibagi-bagikan kepada anak-anaknya. “DE’to nasiaga iya uwanrE sipaddua, nakilEmba ri tana siwaliE” (Tidak seberapa lagi yang kami berdua makan, hingga saatnya meninggalkan dunia fana ini..), begitulah pemikiran Baginda bersama permaisurinya. Mereka saling memperhatikan dengan limpahan kasih sayang yang besar. “Tosiraga-raga mEmengna riwettu tuota mupa..” (Marilah kita saling melimpahkan kasih sayang, mumpung kita masih hidup..).

Namun, “Elo paullEnapa PuangngE mappajaji mua, naiyya rupa tauE : Cinnanami maraja napunnai..”. Manusia hanyalah memiliki keinginan dalam perhitungannya sesuai kelaziman belaka. Dibalik itu, Allah SWT mutlak memiliki kehendak dan ketentuan dalam kuasa-Nya sendiri. Begitulah yang senantiasa diuraikan Sang Ayahanda kita setiapkali flot cerita tiba pada alur kisah ini.  Tanpa disangka, Sang Permaisuri yang sudah tua renta itu mengandung !. Duh.., Saudara Jamil, sebenarnya aku risih meriwayatkan kisah ini, karena pasangan suami isteri yang renta ini adalah leluhurku.. Subhanallah.

Walhasil, setelah mengandung selama 11 bulan, Sang Permaisuri melahirkan seorang bayi lelaki yang sehat. Maka sang pangeran yang baru lahir ini diberi nama : La Monri. Nama yang diambil berdasarkan  riwayatnya yang terlahir setelah kedua orang tuanya sudah uzur . “Monri” berarti : Belakang, bermakna ia  terlahir belakangan.

Pangeran La Monri tumbuh dengan normal sebagaimana anak-anak lainnya. Namun suatu keistimewaan yang sudah Nampak pada karakternya, bahwa Pangeran Kecil ini memiliki kecerdasan dan penalaran yang melebihi anak-anak seusianya. Beliau yang masih berumur belasan tahun itu, sudah memiliki wawasan berpikir yang menyamai seorang lelaki dewasa.

Sejak kelahiran La Monri, kedua orang tuanya senantiasa berpikir dan merasa iba kepada buah hatinya yang bungsu ini. Masalahnya adalah, segala harta pusakanya telah habis dibagi-bagikan kepada putera puterinya yang lain sebelum La Monri lahir. Sementara Raja dan Ratu ini merasa sudah semakin lemah tubuhnya digerogoti usia tua. “Bagaimana nasib putera kita nanti setelah kita meninggal nanti, kanda ?”, keluh Sang Permaisuri kepada suaminya. Arung Bulu CEnrana tidak bisa menjawab apa-apa. Ia sendiri merasakan gundah sebagaimana isterinya itu.

Hingga pada suatu hari, Arung Bulu CEnrana memanggil semua putera-puterinya, termasuk segenap menantunya. Tak ketinggalan, La Monri juga hadir dalam pertemuan itu sambil duduk melenggut menyandarkan pipinya pada pangkuan ibundanya. Sang Permaisuri membelai rambut putera bungsu yang dikasihinya itu. “ Dengarlah,  wahai anak-anakku. Sengaja Ayahanda mengumpulkan kalian hari ini, tiada lain karena  sebagai panggilan kasih seorang ayah serta naluri cinta seorang ibu..”, kata Arung Bulu CEnrana memulai pembicaraan.  

“Kalian tahu bagaimana nurani seorang tua. Sesuatu yang kalian rasakan jua setelah melahirkan pula putera puteri kalian sendiri..”, lanjut Arung Bulu Cenrana dengan suara serak, sesuatu yang berat baginya untuk mengutarakan maksud hatinya. “TabE’ Puang. Aga sitongengna maElo nassuroeng Petta ri ikkeng ?” (Mohon ampun dibawah duli tuanku, tugas apa gerangan yang hendak tuanku perintahkan kepada kami ?), tanya Arung Lolo PatolaE (Putera Mahkota). Maka menjawablah Arung Bulu Cenrana, : “Tiada maksud lain yang hendak ayahanda dan ibunda kalian minta kepada kalian, yakni : Kasihilah La Monri, adik kalian. Orang tua kalian ini sudah sangat renta, agaknya tidak lama lagi kami akan dipanggil menghadap-Nya. Mengingat segala harta benda kami sudah kubagi-bagikan kepada kalian, maka kami memohon kiranya berilah sedikit bagian dari harta yang kalian miliki dari kami kepadanya. Agar adik kalian yang malang ini dapat pula hidup selayaknya..”. 

Mendengar perkataan itu, ributlah para pangeran dan puteri itu. Mereka saling menunjuk satu sama lainnya. Namun tidak satupun yang rela jika bagian warisannya diambil sebagian kecilnya untuk La Monri. Melihat tingkah kakak-kakaknya itu, maka terenyuhlah hati La Monri. Timbullah iba diri bercampur malu dan kecewa dalam hatinya. Pangeran kecil itu bangkit dari duduknya, seraya menghadap dan menghatur simpuh sembah kepada ayah dan ibunya. “Duhai, ayah bundaku terkasih. Kiranya janganlah merisaukan nasib ananda. Tuhan Yang Maha Kuasa berkehendak menciptakanku di dunia fana ini, maka kepada-Nya jualah ananda bermohon jaminan rezeki dan hidup...  Ananda hanya memiliki satu permohonan terhadap ayah dan bunda berdua. Kiranya berjanjilah untuk mengabulkannya..”, ujarnya bagai meratap.

“Kuru Sumange’mu, anakku.. Katakanlah cepat, nak. Ayah dan ibumu berjanji untuk mengabulkannya..”, kata Arung Bulu Cenrana dengan suara serak dihimpit sedih. “Ananda tidaklah meminta sesuatu yang sulit. Ananda hanya memohon agar dibangunkah sebuah rumah diatas sebuah rakit. Kemudian hanyutkanlah rakit itu, dimana ananda berada diatasnya tanpa ditemani ayah dan ibu..”. Mendengar ucapan anaknya itu, Raja Tua dan permaisurinya itu merasakan bagaikan  ledakan petir menyambar di dekat telinganya. Sang Permaisuri  dan ibu susu La Monri serta segenap Inang pengasuhnya meratap seakan kehilangan sukma jiwanya. “Waduh, anakku sayang. Ibunda mohon, janganlah teruskan niatmu itu..”.

Namun janji telah terlanjur diucapkan. "Sisengmi tauwwE rijajiang..". Manusia dilahirkan hanya sekali, begitu pula dengan janji yang telah disanggupi sebelumnya. "Naiyya ada messuu'E ri timuE, taniana idi' punna..", sesuatu perkataan yang telah keluar dari mulut, bukanlah milik kita lagi. Demikian keteguhan prinsif moral yang menjadi dasar mentalitas orang Bugis pada masa itu.

Akhirnya rakit pembuangan diri sebagaimana yang diminta La Monri telah dibuat. Begitupula hari yang telah ditentukannya sendiri untuk menghanyutkan diri bersama rakitnya juga telah tiba. Tidak boleh tidak, ibu susu dan para inang pengasuhnya minta diikutkan. Mereka memilih membuang diri ke sungai jika La Monri tidak bersedia membawanya serta. "AwwEE, lemmu togaha sunge'ku, massarang waE dadi' malebbiku, riyalireng ronnang ri laowang mabElana.." (Aduh, bagaimana mungkin sukma jiwaku tega berpisah dengan air susu kemuliaanku, dihanyutkan menuju negeri yang jauh..), ratap Indo Kino, ibu susu La Monri. Terpaksa Pangeran Kecil yang dilanda kecewa itu mengabulkan permohonan mereka. Maka dibinalah beberapa rakit lainnya yang memuat serta para pengikut setianya dan segenap keluarganya.

Setelah menghaturkan sembah sujud diujung kaki ayah bundanya, La Monri melangkah ke pinggir sungai. Sebelum kakinya menaiki rakit, ia berdiri menghadap ke para saudara-saudaranya, seraya menghentakkan kaki tiga kali. Kemudian diteriakkannya sumpah sebagai berikut : "Angkalingako sining To Bulu CEnranaE ! Maniang manorang. Orai' Alau. Nasabbi Dewwata SeuwwaE, paccappureng ulEjja'ni tanaana Bulu CEnrana iyE essoE. Uwalireng alEku silollong tinio sunge'ku mattunru tooto. Sangadi tuppui solo' raiku, ulEsu makkalEjja' paimeng ri Tana pajajiangku. Sangadi engkapa buku-bukukku nalarieng balawo, natiwi lEsu romai, nariyasengnga' lEsu ri tana ammEmengengku !" (Dengarlah wahai rakyat negeri Bulu CEnrana ! Yang bermukim di utara dan selatan. Yang berdiam di sebelah barat dan timur. Disaksikan Dewata Yang Tunggal, hari ini adalahyang terakhir kalinya kujejakkan kaki di negeri ini. Kuhanyutkan diriku bersama segenap semangat jiwaku yang mengabdi pada takdirku. Hanyalah jika rakitku mampu melawan arus, barulah kukembali menginjakkan kaki di negeri kelahiranku. Terkecuali jika kelak, tulang belulangku ada yang dibawa lari oleh tikus, lalu dibawanya kembali ke negeri ini, maka akau dikatakan kembali ke tanah asal muasalku !).

Tak bisa lagi digambarkan, bagaimana sedihnya kedua orang tua La Monri, tatkala melihat tali penambat rakit yang memuat putera belahan jiwanya dilepaskan dari tiang labuhannya. Perlahan rakit-rakit itu hanyut di Sungai KarajaE, diiringi ratap tangis para rakyat Bulu CEnrana yang memenuhi pinggir sungai. Semakin lama, rakit-rakit itupun semakin jauh mengikuti arus sungai ke arah selatan, hingga hilang dari pandangan mata yang pelupuknya bersimbah air mata.

Iring-iringan rakit itu hanyut mengikuti kemana air sungai KarajaE mengalir menuju muaranya. Didalam rumah rakit terdepan, La Monri berbaring dengan kepala diatas pangkuan Indo Kino, ibu susunya. Seorang wanita yang menyayangi anak susuannya itu melebihi rasa sayang terhadap jiwa raganya sendiri. Ia membelai rambut sang pangeran kecil yang malang itu sambil menembankan syair pengantar tidur yang indah. Dilagukannya dengan suara yang merdu, keluar dari hati yang jernih, sejernih air sungai KarajaE yang mengalir tenang.

PalEsangni peddimu, Ana' Senrimaku..
Pawajangni ati marenni'mu
Alirengni sajang rennummu
Alitutui tinio sumange'mu


Redakanlah pedihmu, duhai anakdaku yang mulia..
Tiliklah hati kecilmu
Hanyutkan saja kecewamu
Jagalah semangat hidupmu


Detik beriringan tiada henti, berkumpul dalam suatu rangkuman menit. Menitpun berlalu menuju kumpulannya, hingga menyatukan diri dalam himpunan jam. Kemudian jam mengikuti perjalanan sang matahari, hingga menamakan kelompoknya dalam suatu hari. Haripun berlalu hingga matahari tergelincir di ufuk barat, digantikan malam menyelimuti bumi dalam tirai gelapnya. Demikian waktu berputar pada siklusnya hingga menyebut diri sebagai saat.. Maka pada suatu hari, berakhirlah perjalanan arus sungai KarajaE pada muaranya yang pertama, yakni Danau Tempe yang luas. Rombongan rakit yang dibawanya dari Bulu Cenrana pun tiba pada tempat itu, terapung-apung ditengah danau yang luas itu.


La Monri berdiri di geladak rakitnya, seraya mengedarkan pandangannya kesekeliling danau. Dilihatnya jika danau itu berada deitengah kumpulan pegunungan. "Sappaani' wiring libukeng, naripasorE rai'E" (Carilah pinggir daratan lalu labuhkanlah rakit kita), katanya. Para pengikutnya yang mengemudikan rakit-rakit itu dengan "Tokong" (sebatang bambu panjang) mengarahkan rakit itu pada pinggir utara agak ke barat pada danau itu. Dari jauh, dilihatnya sebatang pohon Goari yang besar tumbuh di pinggir danau. Maka kesanalah arah buritan rakit diarahkan untuk mendarat.


"Aga asengna iyE libukengngE, Indo' ?" (Apa nama daratan ini, Ibunda ?), tanya La Monri pada ibu susunya beberapa saat setelah mendarat. "DE', uwissengngi Ana Puangku.." (saya tidak tahu, anak tuanku). Demikian pula dengan segenap pengikut yang lain, tidak ada yang mengetahui nama daratan itu. "NarEkko makkoitu palE', ripoasengni iyE LibukengngE : GOARIE" (Kalau begitu, lebih baik jika daratan ini dinamakan saja GOARIE). Maka sampai saat ini perkampungan pinggir danau dimana La Monri beserta pengikutnya mendarat tetap bernama : GoariE. Berasal dari nama sebatang pohon besar yang tumbuh ditempat itu dan dijadikan sebagai petunjuk arah mendarat.

Syahdan, La Monri beserta pengikutnya menetap beberapa lama di tempat itu. Mereka membangun perkampungan sambil memulai bercocok tanam. Para pengikut itu membawa serta cukup banyak biji-bijian serta alat-alat pertanian dari Bulu CEnrana. Selain itu, merekapun dapat pula menangkap ikan yang berlimpah di danau itu. Namun, malang tak dapat diraih. Suatu ketika, saat tanaman palawija yang ditanam dan dirawatnya selama ini sudah siap dipanen, tiba-tiba banjir meluap.  Permukaan danau yang tadinya agak jauh dari perkampungan, tiba-tiba meluas hingga menenggelamkan ternak dan perkebunan mereka. Padahal, hujan tidaklah begitu lebat di daerah itu. Akhirnya mereka mengerti, bahwa danau itu adalah muara banyak sungai dari segala arah. Mereka harus mencari tempat yang lebih tinggi.


Maka La Monri memimpin para pengikutnya kearah utara, tempat yang lebih tinggi. Akhirnya ditemukanlah sebuah dataran tinggi yang banyak ditumbuhi pohon Belawa. Sejenis pohon besar yang getahnya dapat mengakibatkan alergi pada kulit. Seseorang yang tersentuh getahnya akan mengalami pembengkakan pada sekujur tubuhnya disertai gatal-gatal yang nyeri. Sejenis pohon yang ditakuti orang, hingga bahkan memilih hujan-hujanan dari pada berteduh dibawahnya. Demikian pula dengan para pengikut La Monri, mereka enggan membuka perkampungan dikawasan itu. Namun La Monri berkeyakinan tetap, jika pada kawasan inilah mereka menemukan harapan masa depan yang cerah.


Dengan tenangnya La Monri mendekati sebatang pohon Belawa terbesar disekitar tempat itu. Dihunusnya "Sapu Kale' Arajangna Bule CEnrana" (Keris berluk satu, Pusaka Bulu CEnrana) yang dibekalkan kedua orang tuanya, seraya mengucap amsalnya dengan lantang : "TabE', iya'na wija riyalirengna Bulu CEnrana, wanua apolEngenna sia appongengmu, Belawa. Ujeppu tosianguru toto, aja' tosipaitang sussa, tosicalowo manguru lipuu. TabE' kuwassimang mEmeng, inappa kutEbba' to' mannesamu, tekkupalEsso ranru' atuonengmu, nasaba iya minasaE, maEloo'E puasengngi asengmu iyE lipuu'E" (Mohon maaf, akulah putera yang dihanyutkan dari Bulu CEnrana, negeri asal muasal pokok pohonmu, Belawa. Kuketahui jika kita senasib adanya, maka janganlah kisa saling memberi kesulitan, saling mengasihilah kita dalam satu negeri. Kuhaturkan permohonan maafku terlebih dahulu, barulah kutebang pokok pohon lahirmu, tanpa bermaksud menyingkirkan tunas hidupmu, karena tiada lain maksudku, berkeinginan untuk menamakan negeri ini sebagai namamu jua..). Maka ditebaslah batang pohon itu, lalu getahnya dibalurkan pada kulitnya sendiri. Ajaib, tidak terjadi sesuatu pada kulit La Monri. Lalu diperintahkannya pada pengikutnya untuk memulai menebang pohon Belawa dikawasan itu.


Walhasil pada permukaan kisah ini, perkampungan yang dibangun oleh La Monri bersama pengikutnya itu dinamakan sebagai : BELAWA, sesuai sumpah La Monri. Perkampungan itu tumbuh berkembang sebagai pemukiman yang subur. Sawah dan perkebunan dicetak pada lahannya yang datar namun berada pada tempat yang lebih tinggi. Segala tanaman padi dan palawija tumbuh dengan suburnya hingga panen selalu berlimpah. Waktu demi waktu, perkampungan itu semakin ramai karena para masyarakat yang berkaum disekitarnya menggabungkan diri dibawah kepemimpinan La Monri. Hingga ketika Sang Pangeran telah berusia cukup dewasa, maka pemukiman yang sudah besar itu dinyatakan sebagai sebuah Kerajaan dengan La Monri sebagai rajanya yang pertama, bergelar : La Monri Arung Belawa.


Syahdan, pada suatu waktu terjadi musim paceklik di Bulu CEnrana dan sekitarnya. Masa ketika Arung Bulu CEnrana tua dan permaisurinya (Ayah bunda La Monri) telah wafat. Tanaman padi dan palawija tidak dapat tumbuh berbuah sebagaimana yang diharapkan. Maka terjadilah bencana kelaparan di negeri itu. Arung Bulu CEnrana yang baru dinobatkan menjadi kehilangan akal menghadapi bencana itu. Demikian pula dengan para perangkat kerajaan yang lain.


Dalam suasana memprihatinkan itu, dilihatnya burung-burung pipit terbang berombongan sambil membawa bulir-bulir padi. Mereka membawanya ke sarangnya yang terletak di wuwungan Saoraja (Istana). "Pastilah ada suatu negeri yang sedang panen padi berlimpah. Tapi dimanakah gerangan ?", pikir sang Raja. Lalu diperintahkannya seorang kepercayaannya untuk mengikuti arah terbang burung-burung pipit itu. Baginda berusaha mencari tahu negeri yang makmur itu dengan harapan untuk dimintai bantuan.

Walhasil, alangkah utusan itu mengikuti rombongan burung-burung itu dengan berbagai kesulitan yang ditemuinya dalam perjalanan. Bagaimana tidak ?, burung-burung itu terbang dengan amat cepatnya, sementara ia sendiri harus berjalan kaki merambah hutan rimba yang lebat. Terpaksa ia harus menempuhnya selama berhari-hari. Apabila burung itu tidak bisa diikutinya, ia menunggu di tempat  itu hingga esok hari. Burung-burung mestilah terbang kembali mengikuti jalur terbangnya. Tidak seperti halnya manusia, mereka kadang tidak konsekwen mengikuti alur hidupnya.


Akhirnya tibalah ia di Negeri Belawa. Alangkah terkejutnya ketika menemui penduduk negeri itu adalah orang-orang yang dikenalnya sebagai rakyat Bulu Cenrana juga. Namun ia lebih takjub lagi ketika mengetahui bahwa Raja negeri yang makmur itu adalah La Monri, putera bungsu mendiang junjungannya, Arung Bulu Cenrana. Maka mengahadaplah ia seraya mengutarakan perihal kesulitan yang dialami rakyat Bulu Cenrana.


La Monri sesungguhnya adalah seorang raja yang berjiwa besar. Mengetahui perihal kesulitan yang dialami kakak-kakaknya beserta rakyat mendiang ayahandanya, maka diperintahkannya mengumpulkan padi dan kerbau untuk dikirim ke Bulu Cenrana. Konon, padi-padi itu ditumpuk menyerupai sebuah bukit kecil saking banyaknya. Secara berkelakar, ia menyebut bukit padi itu sebagai "Mojong" (Asal kata Gunung Latimojong). Maka tempat pengumpulan padi itu dinamai hingga sekarang sebagai kampung bernama : Mojong (saat ini menjadi wilayah Kabupaten Sidrap). Kemudian diperintahkannya rakyatnya memanggul padi-padi itu serta menghalau iringan kerbau yang jumlahnya ribuan ke Bulu Cenrana. Berkat kebaikan hati serta kedermawanan La Monri itu, utusan Negeri Bulu Cenrana menyebutnya sebagai " TosagEnaE" (Orang yang berhati lapang).Maka dalam penyebutan gelar "TosagEnaE" jika menurut kisah ini, telah ada jauh sebelum "Syekh Belawa" (Pu SEhe') yang juga digelari pula sebagai "TosagEnaE".



Iring-iringan pemanggul padi ke Bulu Cenrana menyusuri pinggir sungai KarajaE menuju ke utara. Sementara itu para pengembala menghalau kerbau-kerbau yang jumlahnya ribuan itu melalui sungai yang kebetulan pada saat itu sedang dangkal. Namun malang tak dapat dihindari, ketika tiba disuatu tempat yang tidak begitu jauh lagi dari perbatasan wilayah Bulu Cenrana, tanpa diduga sebelumnya air sungai meluap dari arah hulu. Banjir besar melanda dan menenggelamkan ribuan kerbau itu. Demikian pula dengan pemanggul padi beserta bawaannya, tidak luput dari terjangan air bah itu. Mereka terpaksa melepaskan bawaannya untuk menyelamatkan jiwanya.


Maka berlakulah kadar Allah SWT yang diakibatkan oleh sumpah La Monri sebelum meninggalkan Bulu CEnrana. Bahkan hasil keringatnya pun tidak bisa lagi kembali ke daerah asalnya. Peristiwa itu kini menjadi sebuah "Mytos", bahwa : Naiyya tanaE Belawa, wedding mua natamai waramparang. NaEkia dE' siseng-siseng nawedding ripessuu waramparangna ri saliwenna ritu.. (Sesungguhnya negeri Belawa dapatlah memasukkan harta benda didalam negerinyanya, namun pantang mengeluarkan harta benda didalamnya ke luar batas negerinya..).


Padi-padi yang hanyut itu kembali lagi ke Belawa dan tumbuh subur di tanahnya. Adapun halnya dengan tempat dimana kawanan kerbau itu tenggelam, didapatkan banyak tengkorak kepala kerbau beserta tanduknya bertebaran ketika sungai mendangkal di musim kemarau. Maka tempat itu dinamai sebagai : "Tanru TEdong" hingga dimasa kini.


Alkisah, DatuE La Monri wafat . Pada masa itu, rakyat Belawa belum menganut agama Islam, sehingga jazad Baginda diperbukan dan ditempatkan dalam sebuah guci (Balugu). Kemudian dengan penuh kebesaran, guci abu itu disemayamkan di Mojong. Baginda ditulis dalam Lontara dengan nama lengkapnya : La Monri Arung Belawa MammulangngE Petta MatinroE ri Gucinna.

Wallahualam Bissawwab


Sumber : 1. Andi Panguriseng (A. Mori. Alm),
               2. H. Abd. Rauf Bin H. Pattola (Alm.),
               3. PanrE Lammade (Alm.)






Sabtu, 27 November 2010

Ana' OgiE, Sejauh Layarnya Terkembang

Hannibal dari Negeri Melayu (bag. 2)

Judul yang kuangkat dari sebuah nama, seorang Jenderal yang memiliki naluri keberanian seakan tak terukur. "Hannibal de Chartago", pemimpin perkasa dari Chartagena - Afrika Utara yang menyeberang bersama pasukannya ke benua Eropa pada tahun 219 SM.  Dalam kurun waktu 3 tahun kemudian, ia dengan  pasukannya yang hanya berjumlah 45.000 personel, menyerbu Negara Yunani dengan kekuatan 100.000 prajurit bersenjata lengkap dan segar bugar. Namun dengan keberaniannya yang menggiriskan, serta didukung oleh kemampuan strategi yang mencengangkan, Hannibal memenangkan pertempuran itu. Mereka menewaskan 70.000 prajurit Yunani, sementara dipihaknya hanya 4.000 personal yang gugur.

Tulisan berikut ini adalah tentang keperkasaan seorang  Jenderal Perkasa lainnya yang dilahirkan di Tanah Melayu. Seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang keberanian dan gebrakannya dianggap setara dengan Panglima dari Chartagena, ribuan tahun yang lalu. Maka oleh beberapa sejarawan Indonesia menjulukinya : Hannibal dari Tanah Melayu. Lalu dengan takzim pemuliaanku, kusebut namanya sebagai : Raja Aji "Asy Syahid Fi Sabilillah" Marhum Teluk Ketapang, Yang Dipertuan Muda Riau ke-IV.

Telah diuraikan pada bagian terdahulu, tentang kesuksesan Opu Lima bersaudara dalam merintis peletakan batu pertama dinastinya di Tanah Melayu dan Kalimantan yang kini bersusun bagai benteng kastil hingga saat  ini. Bermula pada Opu Daeng MarEwah Yang Dipertuan Muda Riau I (Pangeran Kelana Jaya Putera) lalu berlanjut pada saudaranya, yakni : Opu Daeng Cella' Sultan Alauddin Syah Yang Dipertuan Muda Riau II. Pada masa pemerintahan Opu Daeng Cella' inilah, pengaruh dan wilayah taklukan Kesultanan Riau semakin meluas hingga di Kerajaan Selangor, Johor dan Pahang. Setelah Opu Daeng Cella' wafat dalam tahun 1746 M, maka dinobatkanlah Opu Daeng Kamboja (Putera Opu Daeng Parani dengan puteri Kari Abdul Malik) menjadi Yang Dipertuan Muda Riau III (1746-1777), menggantikan pamannya.

Opu Daeng Cella' Sultan Alauddin Syah Yang Dipertuan Muda Riau II memiliki dua putera, yakni : Raja Lumun dan Raja Aji. Pada tahun 1743 M, Raja Lumun dinobatkan menjadi Sultan Selangor I, bergelar : Sultan Salehuddin. Kemudian setelah Opu Daeng Kamboja wafat dalam tahun 1777 M, dinobatkanlah Raja Aji sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV, menggantikan saudara sepupunya tersebut.

Pada zaman pemerintahan Raja Aji Yang Dipertuan Muda Riau IV inilah dikatakan sebagai masa keemasan Kerajaan Riau. Prof. HAMKA menggambarkan pada masa itu, sbb : " ..Zaman Raja Aji inilah, Kerajaan Melayu mencapai kemajuan dan kebesarannya.  Dan bercampurlah darah Bugis dan darah Melayu, yang akan menjadi dasar teguh kelaknya dari apa yang sekarang, kita namai Kebangsaan Indonesia !..." (Dari Perbendaharaan Lama, hal. 188-189).

Melihat kebesaran Kerajaan Riau itu,  VoC yang sejak dulu berambisi untuk menguasai seluruh kepulauan di wilayah Hindia Timur, haruslah menempuh strategi diplomasi untuk menjalankan rencananya. Maka dari Batavia, dikirimlah utusan menemui Raja Aji dengan menawarkan perjanjian persahabatan yang menguntungkan keduanya. Perjanjian itu memuat berbagai hal menyangkut perniagaan dan pertahanan yang diarahkan untuk membendung dominasi Inggris yang amat dibenci oleh Raja Aji. Persetujuan yang menyatakan bahwa VoC akan menghargai adat istiadat Melayu dan Agamanya, serta memandang musuh Bangsa Melayu (Inggris) adalah musuh VoC dan musuh VoC juga musuh Riau. Lebih lanjut dinyatakan pula, bahwa segala harta rampasan perang yang didapat dari musuh bersama tersebut akan dibagi diantara keduanya dengan adil samarata. Akhirnya Yang Dipertuan Muda Riau tersebut tertarik menandatangani perjanjian itu, semata-mata untuk mempersempit ruang gerak Kolonial Inggris di Wilayah Selat Malaka.

Akhirnya pada suatu ketika, masuklah sebuah kapal dagang Inggris ke Wilayah Riau. Kapal itu sarat dengan muatan benda-benda berharga. Maka datanglah kapal perang VoC, menyerbu kapal itu. Disitanya segala harta benda yang ada, lalu dibawanya ke Malaka. Suatu tindakan yang menyalahi perjanjian dengan Raja Aji.

Mengetahui perihal tersebut, Raja Aji mengirim delegasi ke VoC di Malaka untuk meminta mereka memenuhi amar perjanjian yang telah dibuat. Namun sebagaimana biasanya VoC menolak tuntutan itu tanpa alasan yang masuk diakal para utusan Kerajaan Riau. Maka mereka kembali dengan tangan hampa, seraya melaporkan segala hal ikhwal sikap melecehkan dari petinggi-petinggi VoC dihadapan Raja Aji.

Maka bukan alang kepalang murkanya Raja berdarah pahlawan Bugis ini !. Diambilnya surat perjanjian itu lalu dirobek-robeknya. Ini adalah pelecehan terhadap "Siri" ! Sesuatu yang disebut oleh orang Melayu sebagai "Maruah". Sesuatu yang lebih dihargai 99 kali dibanding dengan selembar jiwa. "Naiya Siri'E, nyawa naranreng !" (Sesungguhnya SIRI itu selalu bersanding erat dengan nyawa !). Apabila SIRI yang tersentuh, maka jiwa berontak meminta dan bermohon untuk dipertaruhkan. Saatnya jiwa disabung ditengah gelanggang pertarungan !.

Rupanya itulah yang dikehendaki oleh VoC. Hubungan persahabatan yang dibinanya dengan Kerajaan Riau, hanyalah merupakan siasat untuk mengetahui sampai dimana kekuatan Kerajaan Melayu itu. Setelah data-data yang dikehendakinya dinilai sudah cukup lengkap, maka dicarikanlah gara-gara (alasan berkelahi) dengan melanggar kesepakatan yang telah ditandatangani bersama. Persahabatan telah bertukar dengan permusuhan !. Tak perlu kiranya menunggu serbuan pasukan Riau. Akan jauh lebih menguntungkan jika menyerang terlebih dahulu. Penyerangan adalah pertahanan yang terbaik. Berapa sih kekuatan sebuah Kerajaan Melayu yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil ?, begitulah pemikiran para petinggi militer VoC yang sudah menganalisa peta kekuatan Kerajaan Riau.

Akhirnya pada tahun 1783, VoC dengan segenap kekuatan tempurnya menyerbu Kerajaan Riau. Raja Aji beserta para lasykar Riau mempertahankan setiap jengkal negerinya dengan gagah berani. Jiwa hanyalah sebatas naik turunnya nafas dalam tubuh, namun harga diri yang terkandung dalam nilai "Siri" adalah abadi yang ditanggung oleh segenap keluarga dan kaum !. Rasa takut yang dinampakkan dalam perkelahian akan menjadi buah bibir yang memalukan sepanjang masa. Keluarga dan bangsa akan ikut terhina karenanya.

Perhitungan VoC berdasarkan data yang dihimpunnya ternyata salah sama sekali. Peperangan dahsyat itu telah berlangsung dengan sengitnya selama 10 bulan. Diuraikan oleh CR. Bokser dalam bukunya (Jan Compeni, Dalam Perang dan Damai) bahwa : Para Heeren (Pucuk Pimpinan VoC di Amsterdam) sangatlah kesal terhadap kinerja para pejabat VoC di Hindia. Peperangan di Selat Malaka  melawan seorang Raja Bugis saja tidak mampu diselesaikan sesuai harapan. Sesuatu yang sama sekali diluar perhitungan mereka, bahwa Raja Aji dari para kerabatnya, beberapa Raja dan  Pangeran Bugis dari Tanah Bugis (Sulawesi Selatan) berdatangan bersama dengan para lasykarnya untuk membantunya, mengambil bagian dalam mempertahankan Negeri Riau. Belum pula para pelaut dan perantau Bugis yang berkelompok meramaikan aktivitasnya masing-masing di Selat Malaka selama ini, semuanya turun tangan membantu Raja Aji dengan semangat Solidaritas Siri dan PessE.

Kitab Tuhfat an Nafis menyebutkan nama-nama Raja / Pangeran Bugis serta beberapa tokoh Bugis lainnya yang membantu Raja Aji, antara lain : Arung Lengnga, Arung Belawa, Panglima TalEbang (Daeng TalEba'), Daeng SalEkong, dll. Raja Aji dan para pahlawan itu membangun strategi pertahanan yang terpusat di Pulau Penyengat. Dalam hal ini, Sang Buya Hamka menggambarkan dengan tepat tentang perlawanan para lasykar Bugis yang bahu membahu dengan lasykar Melayu dalam peperangan itu, sbb : "Terpadulah gagah perkasa Melayu dengan Bugis mempertahankan daulat kebesarannya. Gegap gempitalah bunyi meriam "lelarentaka" dari kedua belah pihak, banyaklah pahlawan yang gugur ...".

Setelah pertempuran itu berlangsung selama 10 bulan, akhirnya VoC terpaksa mengundurkan diri, kembali ke Malaka. Tak terkira berapa nilai hitungan kerugian materil yang habis untuk membiayai penyerbuan yang gagal itu. Ditambah lagi dengan banyak serdadunya yang tewas dan luka-luka.  Ironisnya, para serdadu itu kebanyakan terdiri dari orang-orang Jawa dan Ambon, bangsa kita jua.

Wallahualam bissawwab...


(bersambung ke bagian selanjutnya ..)

Ininnawa

KEBIJAKAN

... lagi-lagi aku tidak bisa memaparkan, apa definisi "kebijakan". Namun aku yakin, bahwa setiap manusia yang pernah dilahirkan di permukaan bumi ini pernah memberi dan menerima kebijakan. Maka setiap orang pastilah tahu dan mengerti maksud kebijakan itu.
...........................................................................................

Seringkali aku mengikuti acara "Madduta" (melamar) yang diselenggarakan sebagai suatu rangkaian prosesi adat pernikahan adat istiadat Bugis. Beberapakali diantaranya kuingat sebagai suatu moment yang sulit, dimana telah terjadi "tawar menawar" yang alot diantara kedua belah pihak. Pihak keluarga perempuan berusaha mempertahankan besarnya "Balanca" (Uang belanja penyelenggaraan pesta pernikahan) yang ditetapkannya sebagai syarat bagi pihak keluarga pelamar. Sementara pada pihak keluarga lelaki yang melamar, juga berusaha menawar harga terendah yang dimintanya. "Taniaki' ata-ata maElo mabbEnE ana' Arung..! " (kami bukannya kaum budak yang berkeinginan memperisteri wanita bangsawan..!), kata salah seorang dari rombongan kami, pihak pelamar. Agaknya ia tersinggung ketika mendengar persyaratan yang ditetapkan oleh pihak keluarga yang dilamar, seakan-akan pihak mereka lebih tinggi derajatnya dari kami.

Maka terjadilah sebuah perseteruan disebabkan oleh ketersinggungan yang justru tidak jelas ujung pangkalnya. Suatu akibat yang kini jauh melenceng dari niat semula, yakni : Mempererat jalinan silaturrahmi dalam ikatan sunnatullah pernikahan yang diridloi Allah SWT.

Akhirnya kurenungkan kembali bagaimana leluhur kami mewasiatkan pesan tentang memposisikan nurani dalam suatu permasalahan sebagaimana digambarkan diatas. "Padai laona mappalalo waju bekka' temmakkasapE ri gau' sitinajaE. Ipolo mallampE'E, na ripuE' massappaE ri lalengna dEcEngngE. MappasitujuE temmakkEbbuu laleng baru ri lalengna ade'E..." (Ibarat memakai baju yang kekecilan, namun tidak merobeknya. Memotong yang memanjang serta membelah yang persegi dalam jalan kebaikan. Saling membijaksanai tanpa membuat tata cara baru dalam aturan adat istiadat..).

Memakai baju yang ukurannya kecil tanpa merobeknya, agaknya jauh lebih baik dari pada tidak mengenakan baju sama sekali. Palsafah  yang dimaknai sebagai pola sikap yang fleksibel. Sesuatu yang menghendaki kiranya setiap pribadi memahami lebih dalam perihal prinsif-prinsif aturan hidup yang diembannya. Maka pemahaman itulah yang akan membawanya pada pengenalan tata letak berbagai unsur kebijaksanaan pada sisi lain aturan itu. Pada akhirnya, esensi pengenalan itu akan membawa kita terhadap pengertian tentang fungsi epektifitas dalam menjiwai prinsif tersebut. Sesuatu yang memungkinkan untuk melihat jelas celah kebijakan yang dapat menjadi solusi terbaik, tanpa mencederai esensi aturan itu sendiri.

Alangkah indahnya jika memegang teguh suatu prinsif yang dijiwai dengan penuh rasa toleransi. Sebagaimana contoh yang telah dikemukakan diatas, pihak keluarga perempuan tentu akan menyelaraskan persyaratan yang ditetapkannya dengan prinsif "Mappasitinaja" (sewajarnya). Kemudian pihak pelamar tentu saja dapat menerima persyaratan itu dengan penuh toleransi. " dE'namarigaga ipassa-passa cEddE' alEwE, rEkko dEcEng mua.. nasaba ri yelli mEmengpa dEcEngngE.." ( tidak apalah jika sedikit memaksakan diri .. karena kebaikan itu memang pantas dihargai..).

Wallahualam Bissawwab...









Jumat, 26 November 2010

Kamis, 25 November 2010

Ininnawa ..

BANGGA ..

Sebuah kata yang definisinya belum pernah sempat kubaca dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Buat apa ?, pikirku. Anak kecil pun tahu, apa yang dimaksud "Bangga" itu. Sesuatu yang jika ditranslate ke Bahasa Inggris akan berarti "Proud", atau jika dikembangkan akan bermakna "Kehormatan". Namun lebih jauh lagi, akan menjadi " Riya' ", demikian istilah Ahlaqnya jika kita membuka buku Fiqhi.

Tetapi apapun itu, walau dikembangkan hingga kemana, "Rasa Bangga" adalah suatu motif dalam perasaan pada setiap diri yang didasari "Rasa Memiliki" terhadap sesuatu hal yang dianggap bernilai, demikian menurut otak dangkalku.
..................................................................................................

Aku bangga sebagai putera ayahandaku, karena beliau adalah ayahku. Wawasan berpikirnya serta pengetahuannya yang luas tentang banyak hal selalu membuatku kagum, hingga menurutku beliau adalah orang yang serba bisa.

Aku bangga terhadap "La Tenri Tatta Arung Palakka" karena aku adalah orang Bugis. Beliau seorang putera Bugis yang berani mempertaruhkan segala apapun yang dimilikinya, demi menegakkan harkat dan martabat para orang Bugis. Seluruh hidupnya didedikasikan hanya pada suatu cita-cita mempersatukan Orang Sulawesi dalam suatu wawasan berpikir "Sempugi" yang dikenal hingga kini.

Aku bangga terhadap "Buya HAMKA" karena beliau adalah salah seorang putera Bangsa Indonesia yang berpendidikan formal rendah sepertiku. Namun beliau mampu menyusun berbagai tulisan yang berkelas dunia. Tafsir Al Ashar adalah salahsatu karyanya yang dijadikan suatu kitab rujukan pada Perguruan Tinggi tertua di dunia, yakni : Universitas Al Ashar, Cairo.

Aku bangga terhadap Rasululullah Muhammad SAW karena beliau adalah Nabiku. Nabi yang kuharap dan kurindukan syafaatnya kelak dihari kemudian. Sebuah pribadi "Uswatun Hasanah" yang tidak memiliki cacat celah sedikitpun dari segala sisinya. Seorang tokoh sejarah yang yang dianggap sebagai Manusia paling berpengaruh dalam sejarah.

Aku bangga terhadap Mahatma Gandhi karena beliau adalah seorang Asia sepertiku pula. Sosok sederhana yang dibalut secarik kain putih lusuh, namun sangat disegani oleh para Imperialis Inggris. Sosok bersahaja yang memandang manusia lainnya dibalik kaca mata bundarnya, sebagai mahluk bumi dari budi dan dayanya. Terlepas dari bingkai Agama, Negara dan Sukunya.

Akupun bangga terhadap Abraham Lincoln sebagai umat manusia yang memandang harkat kemanusiaan adalah sama bagi setiap manusia. Beliau mengorbankan nyawa demi memperjuangkan penghapusan perbudakan di Amerika.

.....................................................................................
Maka "rasa bangga" terhadap sesuatu, tiada lain adalah "ke-Aku-an" (Egosentrisme ?) yang senantiasa berorientasi terhadap diri setiap orang. Sesuatu yang jika berlebihan, akan menjadikan fanatisme yang dalam arti negatif. Sebagai misal jika "sebagian" orang Yunani mengungkapkan : "Hanya ada dua jenis manusia di dunia ini, yakni : Orang Yunani dan Orang yang bermimpi menjadi Orang Yunani..". Ungkapan seperti itupun dapat pula ditemukan pada setiap suku bangsa di dunia ini.

Maka pantaslah jika Nabi Muhammad SAW mewasiatkan, bahwa seburuk-buruknya kaum adalah yang membanggakan leluhur maupun kaumnya, sementara ia sendiri tidaklah memiliki prestasi apapun. Maka dalam hal ini, adalah hal yang sangat arif sekiranya motif rasa bangga itu dijadikan sebagai keteladanan yang memotivasi diri untuk berkarya pada dunia.

Sungguh, rasa bangga dalam diri ibarat "gula darah" dalam tubuh. Jika berlebihan, akan menjadi penyakit dan bila kurang akan menjadi penyakit pula. Rasa Bangga berlebihan akan menjadi Riya yang justru akan manjadi api yang melahap segala amal ibadah. Namun jika tiada rasa bangga, maka jiwa akan jadi kerdil. Rasa bangga yang proporsional akan menjadi secercah sinar harapan bagi setiap orang, karena dalam mengarungi hidup haruslah senantiasa dibekali dengan harapan.

Menyangkut tulisan ini, kuwasiatkan pada Sangaji Adiguna, puteraku : Isilah hidupmu dengan hal-hal besar yang membawa kebaikan bagi umat manusia. Maka dengan itu "Para Pengagum" sepertiku, atau bahkan orang yang pastinya jauh lebih piawai akan menulis tentangmu dalam lembaran sejarah. Keturunanmu akan membanggakan dan meneladani sejarahmu.

Wallahualam bissawwab..

Senin, 22 November 2010

Ana' OgiE, Sejauh Layarnya Terkembang

Hannibal dari Tanah Melayu (bag. 1)

.. Pergi bersama sejarahnya, kiranya itulah yang terjadi dengan Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' (Upu Tandri Burang Dahing Rilaga) dan kelima puteranya beserta dengan segenap pengikutnya. Kepergiannya meninggalkan "Tana Ugi" (Sulawesi Selatan) seakan melenyapkan diri dari belantara kesejarahan Negeri Tumpah Darahnya. Nama dan kiprahnya tidak tersebut dalam "Lontara" Negeri yang melahirkannya.

Hingga berpuluh tahun atau mungkin berselang seabad setelah wafatnya di  Siantang, perihal beliau beserta dengan anak keturunannya tertulis dengan tinta emas. Lewat pena bulu angsa, seorang cicit dari puteranya menuliskan tariqh perjalanan dan hal ikhwalnya dalam sebuah kitab bertuah, yakni : Tuhfat an Nafis. Lewat suntingan Sastrawan Buya HAMKA dan pengagum kitab itu, maka tulisan kecil ini kususun bagai menjahit selembar "Layar Phinisi" yang bahannya dari serpihan-serpihan kain yang bertebaran..

Abad XVIII, perairan laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan yang ramai dilayari dari seluruh Bangsa Pelaut di seluruh dunia. Pada kurun waktu itu pulalah, armada laut Bugis memainkan peranan penting berkat keluasan jalur maritimnya yang mengatur jalur ekspedisinya ke Matan, Sambas dan Mempawah di Pulau Kalimantan, serta ke Riau, Lingga, Johor, Malaka, Selangor dan Kedah. Jaringan itu semakin diperluasnya hingga membentang kearah utara Laut Cina Selatan hingga perairan Sulu di Filipina Selatan. Para Pelaut Bugis itu bermarkas di Teluk Peninting dan Gunung KutE. Semua itu dicapainya berkat pengaruh kiprah seorang penguasa Selat Malaka pada jamannya, yakni : La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Matoa Wajo (kisahnya akan diuraikan dalam judul lain, penulis).

Pada kurun abad iru pulalah, Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' yang disertai kelima puteranya dan segenap pengikutnya berlayar ke Pulau Siantang. Kelima puteranya itu masing-masing bernama : Opu Daeng Manambung, Opu Daeng MarEwa, Opu Daeng Cella', Opu Daeng Parani dan Opu Daeng KamasE. Maka merapatlah armada mereka di pelabuhan Siantang dan disambut dengan ramahnya oleh seorang pelaut Bugis terkemuka di kawasan itu, yakni : Kari Abdul Malik yang juga dikenal sebagai Nakhoda Alang. Akhirnya mereka menetap di Siantang dalam waktu beberapa lama.

Penerimaan Nakhoda Alang dalam sebuah jalinan persahabatan yang akrab, membuat Opu DaEng Ri LEkke' berpikir untuk semakin mempererat hubungan itu sebagai hubungan kekeluargaan. Maka beliau melamar puteri Nakhoda Alang untuk dinikahkan dengan salah seorang puteranya, yaitu : Opu DaEng Parani (Opu Dahing Parni, versi Tuhfat An Nafis). Pernikahan itu dikaruniai sepasang putera puteri, yakni : Opu Daeng Kamboja dan Opu Daeng Khatijah.

Pemberian nama cucu Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke'tersebut diuraikan dengan indahnya dalam Kitab Tuhfat an Nafis, sbb ; "Kemudian lalulah Upu Dahing Rilaga itu berbalik ke Siantan serta keci itu. Maka apabila sampai ke Siantan, maka keci itu pun ditutuhlah dibuat penjajab perang. Syahdan, maka tatkala Opu Tandri Burang Dahing Rilaga balik dari Kambuja, maka anaknya Opu Dahin Parni pun sudah beranak seorang laki-laki, maka diberinya nama Dahing Kambuja. Kemudian beranak pula ia akan seorang  anak perempuanbernama Dahing Khatijah. Akhirnya kelak Dahing Kambuja itu menjadi Yang Dipertuan Muda yang Ketiga di dalam Riau, dan Dahing Khatijah itu menjadi isteri Raja Alam, anak Yang Dipertuan Raja Kecik Siak ..".

Hal lain yang menarik pada keterangan dalam suntingan  tersebut diatas, diuraikan bahwa setibanya dari perlawatan di Kamboja, Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' dan kelima puteranya mulai menyusun kekuatan Maritimnya dengan membangun Perahu Phinisi yang dipersenjatai. Sebuah "Langkah Besar" yang didasari "Ilham" dari mimpi Daeng Manambung, bahwa kelak anak cucu mereka akan menjadi penguasa kerajaan disebelah  Johor dan Riau.

Dalam suasana kebahagiaan mendapatkan cucu serta kesibukan membangun armada Angkatan Laut itu, kodrat Allah berlaku pada setiap mahluk ciptaan-Nya. Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke', Pangeran Luwu yang bercita-cita besar itu wafat dan dimakamkan pada sebuah pulau kecil di dekat Pulau Matak dalam wilayah Siantan. Hingga kini, makam Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' dikenal sebagai "Keramat Pulau Siantan"(Dr. H. Wahyuddin Hamid, M.S., Passompe' Bugis Makassar, 2005).

Syahdan, kurun permulaan abad XVIII adalah merupakan tahun keemasan VoC di Hindia Timur, namun merupakan masa kelam di Tanah Melayu.  Bermula sejak tahun 1511, ketika Kerajaan Malaka jatuh dalam taklukan Portugis. Setelah itu, maka Kerajaan peninggalan Sultan Mahmud Syah yang merupakan pusat kebudayaan Bangsa Melayu itu silih berganti dikuasai oleh Portugis, Belanda dan Inggris.

Turunnya pamor Kerajaan Malaka menjadikan Kerajaan Riau sebagai kerajaan Melayu lainnya yang masih bertahan, sebagai sebuah Imperium Melayu di abad XVIII. Kekuasaan Kerajaan Riau pada masa itu meliputi Johor, Lingga, Pahang, Terenggano, Indragiri, dan Kampar. Namun kerajaan Melayu satu-satunya itu nyaris padam ditelan sejarah ketika Raja Kecil dari Kesultanan Siak yang mengklaim dirinya sebagai pewaris sah Dinasti Malaka, menyerang Riau, Lingga dan Johor. Baginda Raja Kecil merasa diri lebih berhak menduduki tahta Riau daripada Raja Sulaiman yang berasal dari Dinasti Datuk Bendahara.

Pada masa genting itulah, Raja Sulaiman mengundang Opu Lima (Kelima Putera Alm. Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke') dan orang-orang Minangkabau untuk membantunya mengusir Raja Kecil yang menduduki Negeri Riau. Adapun halnya dengan Opu Daeng Parani (Dahing Parni) yang memimpin keempat saudaranya yang lain, melihat bahwa rupanya inilah jalan takdir menuju perwujudan penguasa turun temurun di Kawasan Tanah Melayu, sesuai ilham yang diterima Opu Daeng Manambung.

Maka Opu Daeng Parani bersaudara menghimpun para pelaut Bugis dan Makassar di Selat Malaka, lalu dikerahkan untuk memerangi Raja Kecil beserta pasukannya.Namun salah seorang tokoh Bugis yang merupakan "Pangeran Wajo", yakni : Daeng Matekko (Saudara La Maddukkelleng Arung Singkang Sultan Pasir) tidak bersedia ikut dalam persekutuan itu. Bahkan sebaliknya, beliau beserta pengikutnya memilih bersekutu dengan Raja Kecil untuk melawan Opu Daeng Parani bersaudara. Perihal ini menarik untuk didiskusikan, mengingat banyaknya pendapat yang berbeda mengenai alasan Daeng Matekko yang menolak bersekutu dengan Daeng Parani bersaudara. Suatu hal yang ganjil, mengingat kedua tokoh bangsawan perantau ini sama-sama berasal dari Tanah Bugis (Sempugi) yang semestinya bahu membahu dalam ikatan "PessE" (Solidaritas).

Menurut Dr. H. Wahyuddin Hamid, SE (Pasompe Bugis Makassar II, hal.36 - Telaga Zamzam, 2005), mengemukakan bahwa : " Ketidakbersediaan Daeng Matekko  bekerjasama dengan Opu Lima Bersaudara mungkin disebabkan oleh dendam lama. Daeng Matekko adalah orang dari Wajo. Kerajaan Wajo pernah bersekutu dengan Gowa menghadapi Kerajaan Bugis dari Bone dan Luwu yang bersekutu dengan Belanda..". Hal yang masuk akal, mengingat penyebab kepergian Daeng Matekko meninggalkan Tana Wajo disebabkan karena dimurkai oleh Raja Bone. Dugaan lainnya yakni menurut penulis, bahwa bisa juga justru lebih merupakan sentimen pribadi antara masing-masing kedua Bangsawan Bugis yang menjaga prestise untuk tidak mau diperintah oleh Bangsawan Bugis lainnya.

Maka terjadilah perang saudara antara Raja Sulaiman yang dibantu oleh Opu Lima bersaudara, melawan Raja Kecil yang juga didukung oleh Bangsawan Bugis lainnya, yakni : Daeng Matekko beserta pengikut-pengikutnya yang kebanyakan terdiri dari Pelaut Pelaut Bugis Wajo. Dikisahkan dalam Tuhfat An Nafis, bahwa pertempuran besar antara Raja Kecil dengan Opu Daeng Parani bersaudara dalam mempertahankan dan  memperebutkan Kerajaan Riau, terjadi sebanyak sepuluh kali. Sembilan kali diantaranya, pada pihak Raja Kecil dipimpin oleh Raja Alam (Putera Raja Kecil) dan satu kali dipimpin Raja Ismail (cucu Raja Kecil) melawan Opu Daeng Kamboja di Tumasik (Singapura). Akhirnya pada tahun 1721, Opu Daeng Parani bersaudara memenangkan perang yang dahsyat itu dengan mengusir Raja Kecil dan sekutunya meninggalkan negeri-negeri yang didudukinya. Maka dikukuhkanlah kembali Raja Sulaiman dalam gelarnya : Sultan Sulaiman Badrul'alam Syah (1721-1754).

Setelah memenangkan perang serta berhasil mendudukkan kembali Raja Sulaiman pada tahtanya, Opu Daeng Parani bersaudara memohon pamit. Namun Sultan Sulaiman khawatir jika sewaktu-waktu Raja Kecil yang kini mendirikan Kerajaan Buantan (kini Kerajaan Siak Sri Indrapura) dan bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1748) kembali lagi menyerang Riau. Maka dikukuhkanlah Opu Daeng MarEwa sebagai Yang Dipertuan Muda Riau I (1721-1729), bergelar : Kelana Jaya Putera. Yang Dipertuan Muda adalah sebuah jabatan yang setingkat dengan Perdana Menteri berkuasa penuh, dimana segala wewenang dan  urusan pemerintahan berada dalam kekuasaannya.

Adapun halnya dengan saudara-saudara Opu Daeng MarEwa yang lain, mereka bertebaran di seantero Tanah Melayu dengan mendapatkan kemuliaan sebagaimana kejayaan leluhurnya di Tanah Bugis. Opu Daeng Parani menikahi puteri Raja Selangor. Kemudian beliau menikah lagi dengan adik Raja Kedah. Dengan demikian, Opu Daeng Parani adalah menantu Raja Selangor dan juga adik ipar Raja Kedah. Kemudian di Kalimantan Barat, Opu Daeng Manambung dinobatkan menjadi Sultan Mempawah  yang bergelar : Pangeran Emas Surya Negara. Beliau inilah yang bermenantukan Syarif Abdurrahman (keturunan Said Al Qadri Jamalullail) yang mendirikan Kerajaan Pontianak dan dinobatkan sebagai Sultan Pontianak I. Opu lainnya adalah Opu Daeng Cella', beliau adalah Yang Dipertuan Muda Riau II (1729-1746) bergelar : Sultan Alauddin Syah. Beliau menggantikan kakaknya (Opu Daeng Marewa) yang berpulang kerahmatullah dalam tahun 1729 M. Kemudian putera Opu Daeng Ri LEkke' yang bungsu, yakni Opu Daeng KamasE dinobatkan menjadi Raja Sambas (Kalimantan Barat) bergelar : Pangeran Mangkubumi.

Dari seluruh kisah perantauan putera Bugis Makassar dari masa ke masa, maka menurut penulis bahwa Tokoh Besar Opu Daeng ri Lekke' dan kelima puteranya adalah peringkat pertama sebagai perantau paling sukses. Ketokohan Opu Daeng ri LEkke' dalam kurun waktu tertentu telah menempatkan diri sebagai puncak piramida tertinggi dalam silsilah (Royal Families Tree) Kerajaan Melayu dan Kalimantan. Kiprahnya melalui daya juang yang penuh keberanian dan diimbangi oleh strategi yang briliant membuahkan tulisan sejarah bertinta emas hingga akhir zaman.

Wallahualam Bissawwab..

(bersambung ke Bagian 2..)

Jumat, 19 November 2010

Ana' OgiE, Sejauh Layarnya Terkembang

4. Perantauan Ke Barat (Tana Bare')

Lokkano mulao, Wija Lawo
Mutiwi abbatireng sengrimamu
Muteppa papolE dEcEng
 PalElE assimellereng

Rilemme'ko mutEa labuu
Riyalireng tEa malii
Patarompo sEngereng
Ri laoang mabElamu

Berangkat dan bertolaklah, wahai turunan Buah Labu
Bekali diri, asal muasal keagunganmu
Tiba dirantau, membawa kebaikan
Tebarkan jalinan Silaturrahmi

Dikau ditanam, takkan tenggelam
Dihanyutkan takkan terbawa arus
Timbulkan kenangan indah
Pada negeri tujuanmu..

...terlalu sulit bagiku menerjemahkan syair itu. Sebuah ungkapan tentang kekagumanku yang tak bertepi. Baginya, para pengembara agung dari Luwu. Menorehkan legenda tentang kekuatan tekad dan keagungan jiwa kepahlawanan di Rantau Melayu nan jauh. Pendiri menara suar abadi, yang sinarnya bersinar hingga di negeri asalnya, Tana Ugi wanua ancajingeng. Maka seorang "Oddang" sepertiku, merasa diri kecil bagai sebutir pasir dalam gelas waktu, saat kumembuka lembaran demi lembaran sejarah kiprahnya.. 5 Opu yang menakjubkan.

Adalah merupakan sebuah wasiat, bahwa : "Sipa'Engmi paompo assaleng" (Prilaku/Kiprah yang menimbulkan/menerbitkan asal muasal). Seorang pelaku sejarah, senantiasa menerbitkan rasa penasaran, siapa gerangan orang tuanya ? Dari mana asalnya ?. Maka sub judul tulisan ini  kuawali dengan uraian tentang seorang patriot sejati dan juga seorang raja besar yang bertahta di Kerajaan Luwu, bernama : La Palissubaya Sultan Nazaruddin DaEng Mattuju Pajung ri Luwu ke -XVIII (putera Pati Pasaung Sultan Abdullah Petta MatinroE ri MalangkE Pajung ri Luwu ke-XIV dengan permaisurinya, bernama : We Panangngareng Petta MatinroE ri Juddah).

La Palissubaya yang juga dikenal dengan nama lainnya, yakni : La Baso' Langi adalah salah seorang raja utama di Sulawesi Selatan yang berpihak kepada I Mallombassi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin KaraEng Bonto MangapE Sombayya Gowa pada Perang Makassar (1667-1669). Sebagaimana diketahui bahwa penandatanganan "Perjanjian Bongaya" yang menandai awal kekalahan pihak Kerajaan Makassar beserta sekutunya terhadap VoC dan La Tenri Tatta Arung Palakka Petta MalampE'E Gemme'na, membuat para pendukung setia Sultan Hasanuddin (termasuk beberapa putera-puterinya) memilih pergi meninggalkan Sulawesi Selatan daripada menerima perjanjian tersebut. Mereka melanjutkan perang dengan VoC diluar kawasan Makassar hingga nafas terakhirnya.

Sultan Nazaruddin adalah salah seorang diantara para sekutu Sultan Hasanuddin yang mengalami peristiwa pahit, akibat kekalahan pihaknya pada kancah Perang Makassar. Baginda dipecat sebagai Pajung Luwu oleh Dewan Hadat Luwu atas desakan La Tenri Tatta Arung Palakka. Sebagai penggantinya, maka dinobatkanlah saudara seayahnya, bernama : Daeng Massuro Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung ri Luwu ke-XIX. Lebih daripada itu, adik kandungnya yang bernama : Daeng Mattula juga dipecat dari jabatannya sebagai "Opu BalirantE" (Menteri). Kemudian penderitaan itu semakin getir ketika keduanya ditangkap lalu dibawa ke Batavia pada tanggal 7 Agustus 1677 dan dipenjarakan disana  (Ligvoet, 1877 : 144).

Sebagaimana yang diuraikan oleh Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH (Bantuan Perantau Bugis-Makassar pada perjuangan Syekh Yusuf di Banten, 2004), bahwa kurang lebih satu tahun menjalani hidup dalam penjara VoC di Batavia, Sultan Nazaruddin berhasil meloloskan diri. Diberitakan bahwa, Beliau menuju Kerajaan Banten dan bergabung dengan Syekh Yusuf Tajul Khalwati Al Makassari (Tuanta Salamaka / Petta Tosalama'E) untuk membantu Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten) dalam kancah peperangan dengan puteranya sendiri, yakni : Abu Nazar Abdul Qahhar (Sultan Haji) yang bersekutu dengan VoC. Namun dalam suatu pertempuran sengit pada tanggal 15 September 1680, beliau ditawan kembali oleh VoC kemudian dibawa ke Kaap de Goede Hoop (Tanjung Pengharapan) yang pada akhirnya tiba di Cape Town (Afrika Selatan) pada tanggal 15 Juni 1693 (Ligtvoet.1877:144) sebagai orang buangan. Maka Sultan Nazaruddin Daeng Mattuju yang juga digelari sebagai "KaraEng LambEngi" adalah Pahlawan Bugis Pertama yang diasingkan ke Cape Town (Afrika Selatan), 14 tahun sebelum Syekh Yusuf "Petta Tosalama'E" Tajul Khalwati Al Makassari (Menantu Sultan Ageng Tirtayasa) diasingkan pada tempat yang sama.

Sengaja penulis mengemukakan sekelumit tentang Sultan Nazaruddin Daeng Mattuju pada tulisan ini, mengingat beliau adalah leluhur para "Pengembara Agung di Tanah Melayu" yang akan dikisahkan kemudian. Sebagaimana diuraikan pada Lontara Silsilah milik penulis, bahwa : La Palissubaya Sultan Nazaruddin DaEng Mattuju Pajung ri Luwu ke - XVIII bersama dengan permaisurinya yang bernama : Opu Daeng MasallE, melahirkan : Sattiaraja Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung ri Luwu ke-XIX. Tokoh ini pulalah yang pernah menyertai Laksamana I Tanriawa ri Ujung KaraEng Bontomarannu dalam penyerbuan Marinir Kerajaan Makassar ke Armada Angkatan Laut VoC di perairan Buton (Sulawesi Tenggara) dalam tahun 1667 M. Pada waktu itu beliau masih menjabat sebagai "Opu Cenning Luwu" yang masih berusia 15 tahun. Pada pertempuran laut yang dahsyat itu, beliau yang masih remaja tanggung itu sempat ditawan bersama KaraEng Bontomarannu oleh VoC, namun berhasil meloloskan diri di Teluk Mandar.

Baginda Sattiaraja Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung ri Luwu ke-XIX dalam pernikahannya dengan Permaisuri, yakni : We Diyo' Opu Daeng Massiseng Petta I Takalara' MatinroE ri LawElareng, melahirkan : La Onro Topalaguna Pajung ri Luwu ke-XX.

Baginda La Onro Topalaguna Pajung ri Luwu ke-XX menikah dengan permaisurinya yang bernama : We PattEkE Tana (Puteri La Mappajanci Sultan Ismail Datu TanEtE dengan We Tenri Abang Datu Mario ri Wawo = Saudara kandung La Tenri Tatta Arung Palakka Petta MalampE'E Gemme'na), maka lahirlah :We Batari Tungke' Pajung ri Luwu ke-XXII.

Ratu We Batari Tungke' Pajung ri Luwu ke-XXII dinikahkan dengan sepupu sekalinya, yakni : La Rumpang Megga To SappEilE Opu Cenning Luwu (Putera La Sangaji Opu Patunru Luwu dengan I Mammu' Daeng TalEna), melahirkan : We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang pajung ri Luwu ke XXIII - XXV.

Ratu We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang pajung ri Luwu ke XXIII - XXV telah bersuami sebanyak 2 kali, dimana keduanya adalah Pangeran Soppeng. Penulis tidak mengetahui yang mana suami pertama diantara keduanya. Dari suami baginda yang bernama : La Mappasiling DatuE Watu Datui ri Pattojo Petta MatinroE ri Duninna (putera La Kareddu' Arung Sekkanyili' dengan permaisurinya, yakni : puteri La WEllo WatampanuaE ri Pammana, Wajo), melahirkan pangeran dan  puteri, sbb :  La La Mappajanci Datu Soppeng ke-XXVII dan We Tenri Abang DatuE Watu Datu ri Pattojo.

Ratu We Tenri Abang DatuE Watu Datu ri Pattojo dinikahkan dengan La Pallawagau Arung Maiwa Datu Pammana Petta Pilla ri Wajo. Dari pernikahan itu melahirkan Pangeran dan Puteri Raja / Ratu Kerajaan Pammana, sbb : 1. We Tenri Balobo DaEng riyasE' Datu Pammana, 2. I Mappanyiwi Datu Pammana, 3. La Tenri Dolong TolEbba'E Datu Pammana, 4. I Sompa Daeng Sinring Datu Pammana, dan 5. I BubEng KaraEng PambinEang. Setelah suaminya wafat, We Tenri Abang DatuE Watu Datu ri Pattojo dinikahkan lagi dengan seorang Pangeran (Penulis tidak mengetahui namanya), melahirkan : La Tenri Tatta Ambarala. Beliau inilah yang merantau ke Negeri Malaka dan menjadi salah seorang leluhur Tun Abdul Razak Daeng Manessa PM. Kerajaan Malaysia ke-II disamping dari pihak KaraEng Aji (Tok Tuan).

Kemudian pada pernikahan Ratu We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang pajung ri Luwu ke XXIII - XXV dengan La Mallarangeng Datu Lompulle' Datui ri Marioriawa Datu TanEtE, melahirkan Pangeran dan Puteri, sbb : 1. I Wakkang Batari Toja Daeng Matanang Datu Bakke' (Permaisuri La Tenri Peppang Daeng Paliweng Pajung ri Luwu ke-XXIV), 2. We Tenripada Daeng MalEleng, 3. We Patimangratu Manynyaraasi, 4. We Panangngareng Datu Marioriwawo, 5. La Tenri Sessu Arung Pancana Opu Cenning  Luwu, 6. La Maggalatung Tokali Datu Lompulle', dan 7. La Maddusila Datu TanEtE.

La Maddusila Datu TanEtE (KaraEng TanEtE), inilah yang disebut dalam Kitab Tuhfat An Nafis (Karangan Raja Ali Haji) sebagai : Upu Lamdusalat yang memiliki anak bernama : Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' (Upu Tandri Burang Daeng Rilaga, versi Melayu). Jika menurut uraian Yang Mulia Raja Ali Haji dalam Tuhfat An Nafis, bahwa selain Upu Tandri Burang Daeng Rilaga, Upu Lamdusalat juga memiliki putera lainnya bernama : Daeng Biasa. Tokoh inilah yang mengembara ke Tanah Jawa sehingga diangkat oleh Gubernur Jenderal Van Imhof sebagai : Mayor yang mengepalai seluruh putera Bugis di Betawi dan seluruh Pulau Jawa.

Selanjutnya, hal ikhwal Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' beserta dengan anak keturunannya dikisahkan pada Kitab Tuhfat an Nafis, sebuah karya sastra yang telah mendunia. Kitab bertuah itu disusun oleh salah seorang keturunan Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke'   yang telah dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional, yakni : Raja Ali Haji, Sastrawan Besar Tanah Melayu yang juga disebut-sebut sebagai : Bapak Bahasa Indonesia.

Wallahualam Bissawwab...


....bersambung ke "Hannibal dari Tanah Melayu"

Kajian Ininnawa

..Agar Tidak Punah

Perbincangan ringan lewat komentar demi komentar lewat Facebook dengan Adinda : Ibu Sahara Bugis, begitu membuka cakrawala pemikiranku. Beliau adalah putri Bugis yang terlahir dan tumbuh hingga membangun serta membina keluarga di Surabaya. "Pikiran ibarat parasut, berguna jika ia terbuka...", katanya. Kemudian beliau menanyakan perihal "Andi" yang melekat diawal namaku. "Cuma seonggok PUING-PUING, kenang-kenangan tentang masa lalu. Sesuatu yang justru lebih banyak menjadi beban, ketimbang sebagai sesuatu yang berdaya guna untuk menjawab tantangan hidup di era ini...", jawabku. Setidaknya begitulah pendapatku.. sesuai dengan kondisiku yang terlahir dan tumbuh dalam situasi serba sulit.. deraan kesulitan ekonomi, apa lagi ?

...........................................................................

Pada sebuah perbincangan dengan Puekku Andi Bau' Sumange' Rukka (Almarhum), tanpa disangka-sangka beliau menanyakan cita-citaku. Maka kujawab, "Iya minasanna atanna DatuE, mangujuE sompe' lao ri Australia.., Pueng" (Adapun menjadi cita-cita hamba, adalah : merantau ke Australia.., Tuanku). "Niga tau taletturi akkoro ?" (Siapa yang akan anda datangi disana ?), tanyanya. "Engkamoo sengatakku monro mattaung-taung akkoro. Sapposisengnamo atanna DatuE, Pueng.." (adalah seabdiku yang tinggal disana sejak bertahun-tahun. Dia adalah saudara misan hamba, Tuanku..). Pangeran Pammana itu mengisap rokok Bentoel Exportnya dalam-dalam seraya memandangku lekat. "Carilah bekal dan berjuanglah untuk menjawab tantangan hidup dalam era ini, kalau kau tidak ingin punah... letakkan gelarmu dan simpan baik-baik didalam lemari sebelum berangkat merantau..", katanya dengan suara datar. Entah kenapa, aku sangat terkesan dengan kalimat itu, hingga kuhapalkan diluar kepala sampai saat ini.

Kata "punah" itu menggetarkan dinding-dinding nuraniku, mengundang rasa cemas sekaligus memacu daya juangku untuk bertahan dari ancaman yang menakutkan itu. Andaikan benar jika pikiran adalah sebuah parasut, maka kata "punah" itu adalah angin panik yang sertamerta berhembus dan membuka parasut itu.

Aku teringat dengan kisah sang "Dinosaurus". Hewan raksasa Carnifora yang berada pada puncak rantai makanan, jutaan tahun yang lalu. Si Dino yang hebat itu telah punah dipermukaan bumi, sementara hewan-hewan lainnya yang bertubuh tidak sekuat dirinya masih bertahan hingga kini. Kepunahan itu bukan disebabkan oleh jatuhnya meteor menghempas bumi. Melainkan : Karena si Dino yang perkasa itu tidak mampu berevolusi !. Atau dengan kata lain, Si Dino tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan era.. Ia tidak mampu beradaptasi dengan zaman es dikala itu. Bumi senantiasa berputar, membawa berbagai zaman yang silih berganti, mengikuti Sunnatullah yang ditetapkan baginya beserta isinya.

Aku bukanlah penganut teori evolusi yang tidak masuk ditakaran akal itu. Namun riwayat punahnya Si Dino mengilhamiku untuk senantiasa realistis dalam mengarungi bahtera hidup dalam era masa ini. Seseorang haruslah fleksibel dalam menerapkan nilai budaya warisannya yang mau tidak mau haruslah mengikut dan menyesuaikan dengan keadaan hari ini. Kalau tidak, riwayat tentang kepunahannya akan terbaca dalam waktu tidak terlalu lama kemudian.

Maka benarlah kiranya, pada era tahun 50-an para Ana' Arung (Putera Bangsawan) yang menjalani pendidikan di Watampone, diwajibkan menamatkan Lontara Latoa dan Budistihara. Lontara' Latoa memuat pendidikan budi pekerti kenegarawan berdasarkan kearifan para pemikir Bugis dimasa Pra-Islam dan Budistihara berisikan pendidikan budi pekerti Iman dan Taqwa kepada Allah SWT. Maka jelaslah, bahwa sebaik-baiknya bekal yang dipersiapkan untuk menjawab tantangan zaman demi zaman dimasa yang akan datang, adalah : nilai Iman dan Taqwa kepada Allah Subhanahuw Wata'ala.

Wallahualam Bissawab...

Selasa, 16 November 2010

Lontara

SEKAPUR SIRIH

Bismillahirrohmanirrohim


Alhamdulillahirobbil Alamin, Ashadu Allaa ilaa'ha' Illallaahu wahdahuw laa syarikalah, Wa 'asyhadu anaa Muhammadan abduhu wa rasuwlu, laa nabiya ba'da. Allahumma sholli 'alaa Sayyidinaa Muhammad, wa 'alaa 'alihiyy, wa shobihiiy aj'ma'in. Ammaa ba'du..

Berikut ini adalah bacaan yang sangat disakralkan oleh sebahagian kalangan, sehingga kondisi bahannya semakin melapuk dan tidak terawat dengan baik. Sesuatu yang jika dibuka dan dibacakan haruslah memotong ayam merah terlebih dahulu. Maka melalui "Blog Pribadi" ini, kucoba untuk menulis transkripnya agar kiranya dapat lestari seumur "Google" serta menjadi sumber pengetahuan yang berguna bagi semuanya.

Sebuah bagian yang menjadi bab (ParEE) dalam Lontara' I La Galigo yang tidak tercantum dalam Katalog R.A.Kern. Karya sastra berbahasa Bugis Kuno yang jika dapat dipahami, akan menyentuh rasa kemanusiaan kita yang paling dalam. Maka kubuka lembaran kisah indah yang sesungguhnya tersusun dalam bentuk prosa ini, hasil jerih payah para pengabdi pelestari budaya yang telah bersusah payah membawanya dari negeri yang jauh, dengan harapan tiada lain, senantiasa memohon berkah dan ridlo Allah SWT semata.

Maka kuhaturkan terima kasih kepada sahabatku, teman sejawat yang mencintai budaya dan sejarah bangsanya : Ibu Dra. Sakkarumaeni , salah seorang anggota tim penerjemah Lontara I Lagaligo dibawah bimbingan Bp. Drs. Johan Nyompa pada tahun 1981 yang mendorongku untuk melestarikan naskah ini.

Hashbunallaaha wa ni'mal wakiyl, ni'mal mawlaa' wa ni'mannashiyr.


Wabillaahi Taufiq wal Hidayah..


Wassalam

                                                    Parepare, 17 Nopember 2010

                                                   


MEOMPALO BOLONGNGEDE

Passaleng pannessaEngngi, iyanaE galigona Meompalo BolongngEdE, rampE-rampEna cokiE, iyanaro napoada MEompalo makerre'E : 

Iya' monroku ri TEmpE, mabbanuaku ri WagE, mau balana' kuanrE, mau bEtE kulariang, tengngina ku ri passia. Sabbara'i na malabo, Puakku punna bolaE.

Natunai mana' langi, natEyai DEwata, manai ' ri RualettE, ri awa ri Peretiwi, kuripaEnrE' ri SoppEng, kutatteppana ri Bulu, kutappali ri Lamuru. PolE pasaa'E Puakku, napolEang ceppe'-ceppe', kualluruna sitta'i dappiina battoaEro, napeppE'ka' tonrong bangkung, Puakku punna bolaE.

Sala mareppa' ulukku, sala taterrE cocoku, sala tappessi matakku, malala' mata suloku, kulari tapposo-poso, kulettu'na ri EnrEkeng, takkadapii ri Maiwa. Ukoti'na dekkE nanrE, kugareppu' buku balE. KurirEmpe'si sakkaleng. Kularina maccEkkEng ri papengna dapurengngEdE, napeppE'sika pebberung, Puakku to mannasuE.

MappEnedding maneng sia, ure'-ure' marenni'ku, sininna lappa-lappaku, upabalobo manenni, jEnnE' waE matakku, ulari mangessu-essu, makkappiangngi ulukku, kulari makkacuru', riawa dapurengngEdE, naroroisika aju, Puakku to mannasuE. Kumabuang ri tanaE, napatittisika' asu, engkatona mappassia, marukka wampang tauwE, orowanE makkunrai, kulari mua maccEkkEng, ri lebbo palungengngEdE, napeppE'sika ronnang alu, Puakku pannampu'EdE. Engkatona rEnrEng bessi, narau' too na'ro awo, kulari tapposo-poso,

Kuakkuana makkEmpE' , ri alliri lettuEdE, kusellu' ri awa tennung, naroorosia' walida, Puakku pattennungngEdE. Kulari mangessu-essu, mEnrE' ri tala-tala, ala pajaga mappEppEng, Puakku punnaE ceppe', kutini terru kuEnrE', ri ase rakkEangngEdE, naolaiya'ro mai, Puakku punna bolaE, kulari mua mEnrE', ri coppo'na lappoEdE, massurukengngi ulukku, riolonaro I Tune' Datunna Sangiasserri, tennapajapa mattanro, Puakku punna bolaE, nasitujuampeggangngi, takkamemme'na tinrona, Datunna Sangiasserri, pEsedding manengko ritu, sining asE maEgaE. Aja' taonro mapeddi, ri lusE usorengngEdE, talao palii'i alEta, tekkullEni monroEdE, napitto'kiEdE manu', napessiriEdE balao, apa' mEongngEmi sia, kirennuang mampiiriki', naddojaiki' esso wenni, tikkengngi balaoEdE, tenna maruunuu alEku, wessEkati passiota, sininna tokawaEdE, naiyyana riyagelli, mabacci tallalo-lao, matoa paddiumaE, nasituru bacci maneng, sining lilse' langkanaE, ma'bacci ri mEongngEdE, oroanE makkunrai.


... (bersambung)

Senin, 15 November 2010

Ininnawa

DEBAT KUSIR TENTANG "ANDI"

Catatan Kecil buat anakku..

Untuk kesekian kalinya, kudapatkan lagi orang yang sangat "alergi" terhadap gelar "Andi" atau gelar semacamnya. Argumen-argumen yang berdasar pada dalil-dalil Agama, dijadikannya sebagai pembenaran terhadap perlunya "gelar kebangsawanan" itu dihapuskan saja, semudah memencet "control A" lalu menindis tuts "Delete" begitu saja. Demikian riak batinku ketika kubuka jendela Grup Facebook SEMPUGI  dan membaca sebuah pendapat tentang perlunya menghapus gelar "Andi". Seketika itu saya "terpancing" untuk mengomentarinya.

Ada rasa "miris" bercampur 1001 macam rasa lainnya berkecamuk di dada dan naik hingga memanaskan ubun-ubunku. Namun segalanya itu buyar begitu saja, ketika sebuah pertanyaan timbul kemudian dalam benakku : Ada apa dengan sebuah "gelar" ?.  Jika Shakespeare saja mengatakan "Apalah arti sebuah NAMA", maka apalah pula arti sebuah GELAR ?.

Terselip sebuah sesal yang timbul kemudian. Karena sesungguhnya "berpendapat" adalah hak asazi bagi setiap orang yang dikaruniai akal dan pikiran. Seseorang dapat saja berpendapat berdasarkan kebenarannya yang justru "mungkin" saja diakibatkan oleh pengalaman buruk berkenaan dengan sesuatu yang "tidak disukainya" tersebut. Sungguh benarlah ujar Baginda Junjunganku, La Sangkuru Patau Mulajaji Sultan Abdul Rahman MatinroE ri Allepperengna, bahwa :

 Engkatu ada, engkato gau'
 Engkato nawa-nawa na dE' na ripoada, na dE' ripogau',
 na dE'to na riponawa-nawa
 naripo jaa..


Engkato ada, na dE' ripoada,
Engkato gau' na dE' ripogau',
Engkato nawa-nawa na dE' nariponawa-nawa,
na ripodEcEng..

Artinya ;

Ada suatu ucapan, perbuatan dan pikiran
Jika itu tidak diucapkan, dilakukan dan dipikirkan
Maka akan berakibat buruk..

Ada pula suatu ucapan, perbuatan dan pikiran
Jika itu tidak diucapkan, dilakukan dan dipikirkan
Maka akan berakibat baik..


Maka bukanlah saatnya memperbincangkan "sejarah" tentang sebuah gelar. Karena sesungguhnya ia tiada lain hanyalah sebuah "pemberian" dari manusia pada manusia lainnya. Sesuatu yang kadangkala didapatkan sebagai "pusaka" turun temurun, namun pada hakikatnya bukanlah sebuah ukuran kemuliaan adanya.

Demikian pula halnya dengan sebuah gelar yang disebut sebagai "Andi". Ia menempel didepan sebuah nama berdasarkan nazab keturunannya. Namun sesungguhnya, seorang ayah dan ibu "tidak akan pernah" menggelari anaknya sebagai "Andi". Melainkan masyarakatnya sendiri yang menyebutnya demikian. Seseorang yang dikatakan sebagai "To MaradEka" (Orang Merdeka) tidak pernah pula disuruh apalagi, dipaksa untuk menyebut "Andi" pada seseorang. Karena itu bukan merupakan sebuah hukum atau aturan tertulis adanya. Melainkan hanya sebuah norma belaka.

Adalah sebuah hukum tak tertulis dalam masyarakat, yakni : Menilai sebutir beras dalam satu karung. Sebutir beras yang membusuk, akan menerbitkan sebuah penilaian bahwa semua beras dalam karung itu busuk pula adanya. Begitupula halnya jika seorang bergelar "Andi" berbudi pekerti sombong, angkuh dan pongah, maka dengan mudahnya orang lain akan menilai jika seluruh "Andi" di dunia ini begitu pula adanya.
Maka ; Akkaritutui asengmu ri pangkaukengmu, na muanennengi  tomatoammu.. (Jagalah namamu dalam berbudi pekerti, berarti kau mengasihi orang tuamu..)

 Wallahualam Bissawwab..

Ana Ogi'E, Sejauh Layarnya Terkembang

3. Perantauan Ke Barat (Tana Bare')

Perlawatan orang Bugis ke Pulau Sumatera yang cukup menyita perhatian adalah ekspedisi Arung Palakka ke Pariaman (Sumatera Barat) pada era pertengahan Abad XVII. Arung Palakka seorang pangeran Bugis terkemuka pada zamannya, dengan gelar lengkapnya : La Tenri Tatta DaEng SErang to Unru Petta MalampE'E Gemme'na Arung Palakka, Datu Mario ri Wawo, Sultan Sa'aduddin Mangkau' ri BonE ke -XIV Petta MatinroE ri Bontoala' , juga digelari oleh orang Belanda sebagai "De Koningh der Bougies" (Raja Bugis).

Ekspedisi perang Arung Palakka bersama para lasykar Bugisnya (Lasykar To AngkE, Batavia) ke Pariaman, tiada lain adalah memenuhi salahsatu "uji kemampuan" yang ditetapkan oleh VoC sebagai persyaratan kemitraan dalam rangka penyerbuan ke Makassar yang kelak dikenal sebagai : Perang Makassar (1666-1669). Tidak banyak yang penulis dapat uraikan pada Perang Pariaman, selain bahwa Arung Palakka beserta pasukannya telah membumi hanguskan negeri itu atas permintaan VoC. Suatu peristiwa yang sesungguhnya memilukan, tiada lain sebagai ikhtiar untuk menarik perhatian VoC agar membantunya untuk menyerbu ke Makassar yang kala itu menjajah negerinya    ( Bone dan Soppeng).


Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa "perjalanan melintasi samudera (Massompe') bagi orang Bugis Makassar adalah merupakan sebuah budaya. Motivasi perjalanan jauh itu dalam hal ini dikategorikan pada 4 hal, yakni : ekspedisi perdagangan, ekspedisi peperangan, ekspedisi petualangan dan ekspedisi pengembaraan.

Ekspedisi perdagangan suku bangsa Bugis Makassar ke Tanah Melayu terjadi dalam jumlah relatif besar sejak pasca kekalahan Kerajaan Makassar atas aliansi VoC dan Arung Palakka sejak ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Politik Monopoli perdagangan pada kawasan timur Indonesia yang tersirat dalam Perjanjian Bongaya, memaksa para pedagang  Makassar untuk merantau jauh ke wilayah di luar kekuasaan VoC. Mereka membawa rempah-rempah yang sebelumnya dibeli secara "menyelundup" (menurut istilah VoC) dari Maluku, kemudian memperdagangkannya di Bandar Malaka yang ramai. Maka pada kisaran masa itu, sehingga terdapat "Kampung Mengkasar" yang dihuni secara turun temurun oleh orang-orang Makassar.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yang Mulia Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, SH sewaktu perlawatan beliau ke Negeri Pahang - Malaysia pada pertengahan tahun 1977,  ditemukannya para keturunan Bugis Makassar yang waktu itu banyak diantaranya sebagai orang-orang terkemuka di Kerajaan Malaysia. Tersebutlah nama besar Tun Abdul Razak bin Dato' Husain Almarhum (Ayahanda Najib Tun Razak, PM. Kerajaan Malaysia sekarang) yang semasa hidupnya menjadi Perdana Menteri Kerajaan Malaysia yang ke-2, adalah salahsatu dari sekian banyak keturunan Bugis Makassar yang bermukim di Pahang sejak awal abad XVIII. Olehnya itu, pada perkunjungan Tun Abdul Razak ke Ujung Pandang (Makassar) pada tahun 1973, beliau dianugerahi gelar : La Tatta Ambarala DaEng Manessa, gelar yang diambil dari leluhurnya sendiri yakni : La Tatta Ambarala saudara La Tenri Dolong To LEbba'E Datu Pammana.

Nama besar lainnya yang merupakan turunan Bugis Makassar di Pahang yang juga kerabat dekat Almarhum Tun Abdul Razak Daeng Manessa, adalah : Encik Zakaria bin Hitam. Seorang Sejarawan dan Budayawan yang telah banyak menulis seputar Sastra Melayu serta Sejarah Pahang.

Nama-nama tenar yang disebutkan diatas menimbulkan rasa penasaran, siapa gerangan leluhur yang menurunkan mereka ?. Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin Faris, SH menguraikannya lebih lanjut pada Kata Pengantar sekaligus merupakan sambutan beliau terhadap tulisan Encik Zakaria bin Hitam, berjudul : Hubungan Sejarah Sulawesi Selatan dengan Pahang. Tersebutlah seorang Pangeran Makassar bernama "KaraEng Aji'" (Orang Pahang menyebutnya sebagai : Keraing Aji atau Tun Tuan atau Tok Tuan). Sebagaimana diketahui, bahwa Kemaharajaan Gowa sejak didirikannya memiliki Dewan Adat yang terdiri dari 9 Raja, dikenal sebagai "BatE Salapang". Maka besar kemungkinan, bahwa KaraEng Aji adalah salah seorang Anggota Dewan BatE Salapang pada abad XVIII.

Dikisahkan pada suatu ketika, KaraEng Aji melantik seorang anak angkatnya bernama "Landrof" (Landarope' ?, penulis) sebagai pejabat penting dalam lingkungan kewenangannya. Keputusan itu, mestilah berdasarkan jika Landrof dianggap memiliki kecakapan khusus untuk jabatan itu. Maka rakyat beserta para pembesar lainnya memprotes serta menolak kebijakan tersebut, pasalnya : Anak angkat KaraEng tersebut diketahui sebagai "Anak Haram". Demi penegakan SARA' (Syariat Islam), bahwa seorang "Anak Haram" sekali-sekali tidak boleh menduduki suatu jabatan dalam kerajaan, bahkan tidak berhak mendapatkan warisan, sekalipun.

Sebagai sebuah "Pribadi Siri'", terlebih lagi jika itu melekat pada diri seorang pangeran, maka KaraEng Aji sangat terpukul dengan kenyataan itu. Keputusannya ditentang oleh rakyatnya dan pembesar-pembesarnya sendiri !. Sebuah kekecewaan yang teramat sangat, menghimpit batinnya.  Maka bersama permaisuri beserta anak-anaknya beliau menghimpun segenap pengikutnya untuk pergi meninggalkan Negeri Makassar, merantau sejauh-jauhnya ke seberang lautan dan bersumpah untuk tidak kembali lagi.

Mengalami hal seperti itu, orang-orang Makassar akan berkata dalam ungkapan syair, sbb :

AnggassEng tonja labba boyo
PaccE tanaEbba lading
TEna garringku
Namalantang pa'risikku


Takunjungnga bangun turu
Nakugunciri gulingku
KuallEanna tallangnga
Natoalia


Kusoronna bisEngku
Kucampa'na sombalakku

TammamElakka
Punna tEai labuang

Artinya kira-kira, sbb:

Kunikmati tawarnya buah labu
Pedih namun tak tergores pisau
Tiada apa-apa sakit kurasakan
Namun pedihnya menusuk hingga dilubuk hati

Semula kuperturutkan arus mengalir
Kemudiku telah kutancapkan
Aku memilih tenggelam
Dari pada bersurut kembali

Kudayung perahuku laju
Kukembangkan layarku
Pantang berbelok kearah belakang
Hingga kutemukan dermaga dihadapanku


Pelayaran itu akhirnya bersua pula dengan dermaga yang ditujunya, yakni : Kota Tinggi, Johor. KaraEng Aji beserta segenap keluarga dan pengikutnya menetap beberapa lama di negeri itu, sehingga orang-orang Johor menyebutnya sebagai : Tun Tuan. Namun setelah Sultan Abdul Jalil wafat, KaraEng Aji berpindah ke Negeri Pahang dalam tahun 1722 M. Disanalah beliau beserta dengan pengikut-pengikutnya membuka sebuah kawasan pemukiman yang sebelah menyebelah di sungai Pekan. Berhubung karena negeri asal nereka dari Makassar, maka kampung itupun dinamai sebagai : Kampung Mengkasar.

Pada pemukiman yang baru itulah, KaraEng Aji bersama dengan keluarga dan pengikut-pengikutnya menjalani hidup baru, jauh dari negeri asalnya. Mereka mengembangkan budaya leluhurnya dengan baik, namun senantiasa menjunjug tinggi adat dimana kakinya berpijak. Menurut Dr. W. Linehan, bahwa KaraEng Aji yang berasal dari Negeri Makassar, negeri yang memiliki budaya menenun kain sutera yang maju, maka beliau memperbaiki cara-cara menenun kain pada masyarakat Melayu setempat. Hingga kini, cara-cara bertenun disertai motif khas itu dikenali sebagai : Kain Tenun Pahang.

Keberadaan KaraEng Aji yang disebut oleh anak cucunya sebagai Tok Tuan itu semakin dikenal di Negeri Pahang. Tok Tuan atau KaraEng Aji adalah orang saleh yang dianggap sudah mencapai derajat kesufian seorang Waliullah padanya. Maka ramailah Kampung Mengkasar dikunjungi masyarakat Pahang untuk meminta untuk belajar mengaji dan meminta petuah menyangkut berbagai hal kepada beliau. Hingga wafatnya beliau, makamnya disifatkan sebagai tempat keramat, sebagaimana dikemukakan oleh Dr. W. Linehan : "His grave in Pekan Lama is revered as a shrine.."

KaraEng Aji yang semasa hidupnya memiliki 16 orang putera dan puteri. Salah seorang diantaranya, bernama : Tok PongkEng. Beliaulah yang merupakan leluhur Tun Abdul Razak bin Dato' Husain, Perdana Menteri Kerajaan Malaysia ke-II.....Wallahualam bissawab..


(bersambung ke bagian berikutnya..)

Jumat, 12 November 2010

Kajian Ininnawa



INDONESIA bukanlah NUSANTARA !

Jika pengetahuan dimaknai sebagai kumpulan fakta-fakta yang saling berhubungan satu sama lain mengenai sesuatu hal tertentu, maka apa yang kuuraikan pada tulisan ini bukanlah sebuah pengetahuan sejarah. Melainkan sebuah opini atau pendapat yang justru disebabkan oleh kurangnya nilai pengetahuan didalamnya, sehingga saya amat yakin akan kebenarannya. Itulah sebabnya, kajian ini saya tempatkan pada laman “Kajian Ininnawa”. Ya, cuma sebuah pendapat dari lembaga pengetahuanku yang dangkal semata...

Cetusan Rasa Gundah

Awal bulan Juli yang lalu, kuinjakkan kaki kembali di Situs Pendopo Agung, Trowulan – Mojokerto, Jawa Timur. Tidak banyak perubahan yang kulihat sejak mengunjungi pertamakalinya pada bulan Juni tahun 1993, kecuali jalan setapak dibelakang pendopo itu yang membawa kita ke komplek Makam Kuno yang disebut sebagai Kubur Panggung. Tidak jauh dari dari tempat itu pula, berdiri sebuah bangunan kecil yang  dikatakan sebagai komplek pertapaan Prabu Hayam Wuruk. Pada tempat itu pulalah, seorang lelaki bercerita dan berkisah terus menerus dengan lagak seorang Bhagawan. Tiada lain yang dikisahkannya, adalah : Kebesaran Kerajaan Majapahit dengan Maha Patihnya yang mempersatukan Nusantara dalam sebuah imperium, yakni : Majapahit.

Seketika itu saya teringat dengan pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sejak SD, SMP dan SMA (resminya saat ini, Pendidikan Terakhirku adalah SMA, harap maklum). Ketika pokok bahasan sampai pada “Wawasan Nusantara” atau “Wujud Persatuan Indonesia”, maka pastilah “Sejarah Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya” dijadikan acuan. Namun pada kelanjutannya, hal ihwal Kerajaan Sriwijaya tidaklah terlalu ditonjolkan lagi, tenggelam oleh kemegahan Majapahit. Sesuatu yang berusaha ditanamkan, bahwa : Wujud Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) pada masa ini tiada lain adalah manifestasi atau reinkarnasi Majapahit di masa lalu. “Bhinneka Thunggal Ika” adalah slogan kebesaran Majapahit yang kini menjadi motto pada Garuda Pancasila, Lambang Negara Kesatuan tercinta ini.

Tanpa bermaksud mencederai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta, saya sebagai anak bangsa ini merasakan jika ada “kesalahan berpikir” sejak awal yang terlalu dipaksakan untuk menjadi dasar ideology oleh suatu kalangan tertentu dalam elemen pendiri Negara ini. Bahwa “Kesadaran Nasional” sebagai perwujudan kesatuan yang pada awalnya dilatarbelakangi adanya rasa persamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda, kini dibelokkan sedemikian rupa untuk menunjukkan keunggulan suatu bangsa terhadap bangsa lainnya dalam suatu kesatuan. Maka seketika itu saya teringat ujar Jenderal Purn. M. Yusuf. Alm. (Mantan Menhankam / Pangab) pada tahun 2005 yang lalu, bahwa : “Pokok permasalahan bangsa yang besar ini cuma 1 (satu), bahwa adanya suatu suku bangsa yang terlalu  ambisi untuk menguasai seluruh suku bangsa lainnya.”.

Jenderal Legendaris yang ksatria dan amat mencintai negaranya itu adalah saksi sejarah yang dapat melihat serta merasakan sendiri bagaimana pergolakan demi pergolakan terjadi pada 3 Orde, era perjalanan bangsa ini sampai sekarang. Sejak Sekarmaridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Teuku Daud Beureueh di Nangroe Aceh Darussalam hingga Letkol. Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Semuanya meneriakkan protes atas pembelokan dasar ideology yang terlalu dipaksakan tersebut, sebelum terpaksa mengangkat senjata sebagai strategi atau langkah terakhir yang dapat ditempuhnya. Istilah “Majapahitisme” adalah tudingan Letkol. Abdul Kahar Muzakkar pada Presiden Soekarno, tidak lama sebelum beliau kembali ke Sulawesi Selatan untuk memproklamirkan gerakan DI/TII yang dinilai oleh banyak pengamat sejarah, tiada lain hanya merupakan “Alasan Berkelahi” semata. Beliau telah prustasi dan amat gerah oleh ketidakadilan yang nampak jelas didepan matanya. Namun jua akhirnya, para Patriot Bangsa itu tergilas habis oleh revolusi serta dinyatakan sebagai pemberontak bangsa.

Sudahlah. Waktu telah berlalu, Sejarah telah terlanjur membentuk dirinya sedemikian rupa…, demikian kata IninnawaE saat ini. Tapi lihatlah, nama Sultan Hasanuddin “Si Ayam Jantan dari Benua Timur” yang merupakan symbol kegigihan perjuangan melawan penjajahan Belanda di Sulawesi Selatan, kini hanyalah nama sebuah Airport belaka. “Wirabuana” yang lagi-lagi berbau Majapahit itu kini diabadikan sebagai “Kodam Wirabuana” Sulawesi Selatan yang berlambangkan pohon Lontar dan Kelewang “Sudanga”, Arajang Kerajaan Gowa di masa lalu. Sungguh, gara-gara inilah hingga sampai saat ini saya tidak tahu dan tidak tertarik untuk mengetahui kepanjangan daripada “KODAM”.. Cetusan rasa gundah.

Akhirnya azas kesatuan yang dicetuskan pada “Sumpah Pemuda”, kini isinya tiada lain berupa “Sumpah Palapa”. “Mengaku berbahasa satu, BAHASA INDONESIA” hanya slogan belaka. Lihatlah, satelit pertama  bangsa ini dinamai : Satelit Palapa. Lambang Kementerian Pendidikan Nasional bertuliskan “Tut Wuri Handayani”, Motto Korps Marinir TNI AL juga demikian, tak kalah panjangny. Bahkan hampir semua lambang dan motto seluruh Departemen (Kementerian) di Negera ini, semuanya berkarakter Majapahit belaka. Lalu, kenapa motto itu TIDAK berbahasa Indonesia saja ?.  

Penelusuran Tak Berujung…

 
Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini tidak boleh didasarkan pada azas “Penaklukan Majapahit” yang diklaimnya berdasarkan kitab kunonya secara sepihak !, demikian geliat penasaran hatiku yang senantiasa gusar oleh hal ini pada setiap waktu. 

“Pengetahuan Sejarah adalah kumpulan fakta yang saling berhubungan satu sama lain mengenai suatu peristiwa tertentu..” (Prof. S.I. Poeradisastra, 1978). Kemudian menurut Arnold J. Toynbee bahwa azas sebuah peristiwa “Sejarah” menyangkut 2 (dua) bangsa, dipahami sebagai suatu krologis peristiwa yang terbukti secara factual melalui penelusuran manuskrip atau prasasti pada kedua bangsa tersebut. Contoh factual yang memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai sebuah “peristiwa sejarah”, adalah penaklukan Yunani atas Negeri Babilonia yang dipimpin oleh Alexander The Great dari Macedonia. Selain didapatkan manuskrip yang memberitakan peristiwa tersebut di Yunani, juga ditemukan  Koin mata uang Babilonia bergambar Alexander The Great didalamnya. Contoh lain adalah penaklukan VoC Belanda pada Kerajaan-Kerajaan local di Jazirah Sulawesi sangat jelas tertulis pada naskah-naskah lama dan syair-syair setempat, misalnya : Sinrilliq Kappala Tallumbatua. Suatu pengakuan tentang rangkaian aksi kesejarahan orang-orang Belanda di Sulawesi Selatan.


Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, "penaklukan" atas beberapa Negeri di Sulawesi Selatan sangat jelas tertulis pada kitab Kakawin Nagarakertagama, sebuah kitab kuno yang kini diakui sebagai "Memori Dunia" oleh UNESCO. Kakawin Nagarakertagama digubah oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1389). Perihal Kerajaan di Sulawesi pada "pupuh 14" sebagaimana diuraikan dalam terjemahan, sbb :


Pupuh XIV

1.
Kadandangan, Landa Samadang dan Tirem tak terlupakan Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei, Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
2.
Di Hujung Medini Pahang yang disebut paling dahulu, Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu, Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah, Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
3.
Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah, Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo, Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.
4.
Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah, Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya, Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk, Sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk.
5.
Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar, Lagi pula Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa lagi pulau-pulau lain.
 ....(Prof. Dr. Slamet Mulyana, Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, tanpa tahun).


Kemudian sumber tersebut diatas diperbandingkan dengan sumber-sumber yang ada di Sulawesi Selatan. Maka penelusuran dimulai pada sumber tentang Kerajaan Luwu yang dianggap sebagai Kerajaan Tertua di Sulawesi, terutama dihubungkan dengan penaklukan Majapahit pada kerajaan tersebut sebagaimana tertulis pada Kakawin Nagarakertagama. Kemudian dibuka pulalah naskah Lontara I La Galigo dari berbagai sumber, maka penulis tidak dapat menemukan satu uraianpun yang menyatakan penaklukan Majapahit terhadap negeri Luwu.


Bahkan lebih dari itu, Angkatan Laut Mancapai' (Majapahit) yang dikisahkan bertekuk lutut dibawah gempuran Sawerigading beserta pasukannya di tengah laut dalam perjalanan menuju Cina (Watampugi'). Sumber tersebut dapat dibaca pada tulisan Andi Bau Sulolipu Opu To Tadampali (Mengenal Sawerigading - tanpa tahun), R.A.Kern (Catalogus Van de Boeginese, tot de I La Galigo Cyclus behorende handschriften, Makassar, Matthesstichting-1954) serta semua naskah lontara I La Galigo dimanapun berada. 


Sumber lain yang menyebutkan tentang Majapahit, adalah : Lontara milik Opu Tomarilaleng Luwu (NB No. 208) dimana pada pembukaannya tertulis sebagai berikut : " Simpurusiang tompoo'E ri busa uaE powawinEi Manurung Patyanjala, poana'i Ana'kaji. Iana lao mabbainE ri Majapai' ana'na Ratu Majapai' riyasengnE We Tappacin. Iana poana'i  Toampanangi ..." (Simpursiang yang timbul dari busa air memperisterikan Sang Manurung Patyanjala, yang melahirkan Anakaji. Ialah yang berangkat untuk beristeri di Majapahit yakni puteri Ratu Majapahit yang bernama We Tappacin. Ialah yang melahirkan Toampanangi ...)

Kemudian Lontara' Sukkuna Wajo karya La Sangaji Puanna La Sengngeng Arung Bettempola juga menyebutkan perihal pernikahan Anakaji (Pajung Luwu ke-IV) dengan Puteri Raja Majapahit yang bernama We Tappacina. Menyambut kepulangan Anakaji dari Jawa dengan memboyong isterinya tersebut, sehingga Pajung Luwu menghadiahkan "Tana SitonraE" yang terdiri atas TEmpE, Siengkang, Tampangeng dan WagE (kini masuk dalam wilayah Kab. Wajo). Siengkang (sama datang) adalah cikal bakal Kota Sengkang yang kini menjadi Ibukota Kabupaten Wajo. Siengkang yang berarti "sama datang", kawasan itu dinamai demikian karena mengingat orang-orang Majapahit dan orang-orang Luwu "datang bersamaan dalam suatu rombongan" untuk menghuni dan menetap di Negeri yang dihadiahkan tersebut.




Pada kedua macam sumber yang berbeda tersebut diatas (Kakawin Nagarakertagama di Jawa dan Lontara-Lontara di Sulawesi Selatan), maka nampaklah perbedaan yang jelas diantara keduanya. Sumber dari Jawa menyatakan jika Majapahit telah menaklukkan Negeri-negeri di Sulawesi Selatan dan sebaliknya pula, Lontara-Lontara Sulawesi Selatan menyatakan jika Majapahit adalah negeri "seberang lautan" yang angkatan lautnya telah dipermalukan serta puteri rajanya diboyong ke Sulawesi Selatan. Sebab adalah hal yang "tidak mungkin" seorang Raja Penakluk rela jika "puterinya diboyong" oleh Raja taklukannya. Peristiwa yang serupa namun tidak persis sama dikisahkan pada "babad" pernikahan Hayam Wuruk dengan Puteri Pasundan (Jawa Barat), dimana protokoler penjemputan iring-iringan pengantin dipersoalkan oleh Patih Gajah Mada sehingga mengakibatkan perang diantara kedua kerajaan.


Ketidaksesuaian lain yang membedakan antara kedua sumber, adalah pencantuman "Bantayang" pada "pupuh 14" Nagarakertagama. Sebagaimana sumber-sumber yang ada di Sulawesi Selatan, utamanya pada sumber dari Luwu dan Gowa disebutkan bahwa Bantayang yang kini dikenal sebagai "Kabupaten BantaEng" penamaannya berasal dari nama salah seorang saudara lelaki Anakaji (Menantu Hayam Wuruk,  Prof. Mr.Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH - Munculnya Kedatuan Luwu, 1994) yang bernama : Patala Bantang. Adalah hal yang sangat tidak masuk akal jika sebuah perkampungan pinggir pantai yang dijadikan pendaratan pertama Patala Bantang langsung menjelma menjadi sebuah "Kerajaan bernama Bantayang" seketika itu. Padahal perlu dikemukakan disini, bahwa "Patala Bantang" adalah saudara Anakaji yang segenerasi (lebih muda) dengan Prabu Hayam Wuruk. Dengan demikian, Kerajaan Bantayang didirikan minimal 50 -100 tahun setelah Hayam Wuruk wafat. Sebuah kasus perbedaan "ruang waktu". Lalu Bagaimana mungkin Kerajaan Majapahit menaklukkan negeri yang belum ada ?.

Demikian pula dengan nama-nama negeri lainnya yang tercantum pada Kitab Kakawin yang "konon" ditulis pada abad XIV. Perlu diadakan sebuah penelitian yang mendalam, bahwa apakah Negeri Makasar, Salayar, Timor, Buton, Banggawi (Banggai), Sumba, Solor, Ambon dan Maluku sudah bernama seperti demikian pada kurun waktu tersebut ?. Khususnya "Makassar" menurut beberapa Sejarawan Sulawesi Selatan, bahwa : Penamaan "Makassar" mulai pada Abad XVII, ketika Khatib Tunggal (Penyiar Islam dari Minangkabau) berujar : "Makkassara'mi kanabianna Muhamma' SAW" (sudah menjelmalah kenabian Muhammada SAW).




Kesimpulan dan Penutup


Kembali kepada azas sebuah peristiwa sejarah sebagaimana diuraikan diatas, maka jelaslah bahwa apapun yang tertulis pada kitab Kakawin Nagarakertagama tentang penaklukan Majapahit di Sulawesi Selatan TIDAK DAPAT dikatakan sebagai sebuah kebenaran sejarah. Demikian pula dengan kemenangan Sawerigading terhadap pasukan Angkatan Laut Majapahit, juga TIDAK dapat pula dikatakan sebagai sebuah peristiwa sejarah. Kedua sumber tersebut "walau bagaimanapun kunonya" namun bukan merupakan sebuah jaminan tentang suatu kebenaran sejarah jika ditilik secara metodik. 


Adalah jauh lebih bijak jika "Semangat Persatuan dan Kesatuan Bangsa" dibawah lambaian Sang Saka Merah Putih dikembalikan sebagaimana awalnya, yakni : persamaan nasib dan persamaan lainnya dalam kehidupan berbudaya yang dicetuskan dalam "Sumpah Pemuda", 28 Oktober 1928. Bukan disebabkan oleh "klaim" tentang kemaharajaan salahsatu diantara yang lainnya, dimana hal tersebut "belum tentu" kebenarannya. Andaikanpun itu benar, namun tetaplah bukan sebagai sesuatu "yang arif" untuk dijadikan 'DASAR KESATUAN".


Akhirnya penulis menghaturkan ucapan : Jayalah Negeriku, Bersatulah Bangsaku .. Negerimu, Negeriku, Negeri kita bersama .. Tanah Air kita, Indonesia tercinta ...


Wallahualam Bissawab...