Menjelang memasuki abad XX, TanaE Belawa yang merupakan benteng perbatasan Tana Wajo disebelah barat, juga telah mengalami pergantian tahta. Setelah We Busa Arung Belawa Petta WaluE mangkat, maka menetaplah La TEngko Petta Manciji'E ri Wajo di Belawa. Beliau adalah cucu We Busa Arung Belawa Petta WaluE, putera La Tune' Sangiang Arung Bettempola dengan Sompa ri Timo MajjampaE Petta PabbatE PEnrang (Doping).
Pada beberapa lembaran Sitambung (uraian silsilah yang telah disyahkan denfgan susunan generasi yang terbatas), penulis mendapatkan bahwa La TEngko Petta Manciji'E ri Wajo disebut sebagai Arung Belawa Alau. Namun pada beberapa Lontara Panguriseng (daftar himpunan silsilah dengan susunan generasi yang lebih lengkap) antara lain : Lontara' Pangurisengna La Wahide Daeng Mamiru, Lontara Akkarungeng ri Bone dan Lontara Panguruseng Abbatirenna Ana' ArungngE ri Soppeng (disusun oleh Andi Nur Djaya Hamzah La Sumange'rukka) meyebutnya sebagai La TEkko Manciji ri Wajo. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa beliau tidak pernah menjadi Arung Belawa.
Terlepas dari polemik tersebut diatas, La TEngko Petta Manciji ri Wajo adalah salah seorang bangsawan terkemuka Tana Wajo yang tinggal menetap dalam waktu yang cukup lama di Belawa, hingga wafatnya dan dimakamkan di Jara'E Belawa. Fakta mentetapnya beliau di Belawa ditandai dengan pernikahannya dengan I REwo Anan'na Arung Batu yang melahirkan seorang puteri bernama : Andi Batari PettaE Lonra. Kemudian dari isterinya yang lain melahirkan putera beliau, bernama : Andi DollE. Kemudian dari seorang gadis penari istana (pajogE'), melahirkan seorang anak perempuan, bernama : I MasE Tana. Selain itu, Sang Pangeran juga memiliki istri bangsawan yang tinggal menetap di Wajo Timur yang melahirkan putera bernama : Andi CambE'. Kemudian pernikahannya yang fenomenal ketika beliau mempersunting I Soji Datu Madello yang juga merupakan permaisurinya.
I Soji Datu Madello adalah puteri : La Onrong Datu Pattiro Datu Soppeng XXXI (putera La Patongai Datu Pattiro dengan I Panangngareng Datu Lompulle')dengan permaisurinya bernama : I Baccicu' Datu Ganra Arung Belawa (Puteri TalEmpeng Arung Singkang Datu Soppeng XXXIII dengan I Tahira Petta PatolaE Wajo). Pernikahan inilah yang melahirkan putera-puteri Belawa yang silih berganti menduduki tahta Arung Belawa hingga memasuki awal abad XX, sbb :
1. We Tenri Kawareng Arung Belawa MallinrungngE ri Pompanua
2. Andi Passamula' Datu Cella' Belawa
3. Andi Panangngareng Datu Madello
4. Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa (Arung Belawa terakhir yang juga digelari "Datu Bolong")
Telah diuraikan pada bagian terdahulu, pada penghujung Abad XIX TanaE Belawa memiliki seorang Panglima Perang yang amat disegani, yaitu : Muhamma' Tang ArungngE Daeng Paliweng Petta Pangulu (cucu La Paranrengi ArungngE Daeng Sijerra). Pada masa pemerintahan We Tenri Kawareng Arung Belawa, beliau masih aktif sebagai Panglima Perang yang menghuni Saoraja Bakka'E di tepian sungai KarajaE, SappaE-TippuluE.
Petta Pangulu yang sudah berusia lanjut adalah Panglima yang paling dipercaya Arung Belawa We Tenri Kawareng. Beliau menempati "Ring I" bagi segala urusan yang menyangkut hal diluar Kerajaan, semuanya harus melalui Petta Pangulu sebelum diperhadapkan pada Arung Belawa. Walaupun sebenarnya kewenangan itu semestinya diamanati oleh Petta PabbicaraE yang pada masa itu dijabat oleh Abdul Razak DaEng Malebbi Petta PabbicaraE Belawa (putera La Sulungkau' Daeng Pagala Petta Pallampa'E Datu Lolo TippuluE Petta MatinroE ri Passiringna dengan ArungngE Jamilah / sepupu satu kali La TEngko Petta Manciji'E). Petta Pabbicara Daeng Malebbi juga berdiam di TippuluE, menghuni istana warisan Ayahandanya yang disebut sebagai : Jalampeng SappaE.
Alkisah, pada suatu hari tibalah seorang pejabat Gubernemen Belanda dari Wajo bersama juru bahasanya dikawal selusin serdadu di halaman Saoraja Bakka'E. Sebagaimana biasanya, pejabat dari luar Belawa mestilah diterima dulu oleh Petta Pangulu sebelum diperhadapkan ke Arung Belawa.
Setelah dijamu sebagaimana layaknya, maka Tuan Belanda itu meminta 1 regu pengawal dari Saoraja Bakka'E untuk menyertainya diperjalanan menuju ke Belawa. Memenuhi permintaan itu, Petta Pangulu menunjuk pengawal pribadinya bernama : Cambang Bettaa untuk memegang tali kekang kuda (maddEnrEng Anynyareng) Sang Tuan untuk memandunya ke Saoraja Belawa. Alangkah herannya Pejabat Belanda itu bersama segenap pengiringnya, sekaligus merasa dilecehkan. Pasalnya mereka minta 1 regu lasykar pengawal tapi hanya diberi 1 orang saja !. Terlebih lagi, satu orang inipun nampak sudah tua, agak bongkok dan matanya putih sebelah (gara'). Orang Belanda yang angkuh itu meludah ke tanah (mammiccu lappE') dari atas kudanya.
Melihat kelakuan orang bulE itu, meledaklah amarah Cambang Bettaa. Wajahnya membesi merah padam dan bulu-bulu dibadannya berdiri satu demi satu, lalu membentak dengan murka yang meluap !. Kuda tunggangan si Pembesar terkejut dan mengangkat kaki depannya dengan ringkik yang panjang. Pembesar itu tidak kalah terkejutnya pula. Ia terlempar dari punggung kudanya dan terbanting keras di tanah yang baru saja diludahinya. Si Pembesar pingsan dengan mata membelalak. Maka pembesar angkuh itu mendapatkan perawatan selama beberapa waktu di Saoraja Bakka'E dan tidak jadi dihadapkan pada Arung Belawa.
Insiden dengan pembesar Gubernemen Belanda di TippuluE berakibat cukup fatal. Tuan PEtoro' Wajo memberi teguran keras kepada Belawa. Namun Petta Pangulu menyambut teguran itu dengan tantangan. Panglima tua itu mengkonsolidasi pasukannya, bersiap-siap menyambut jika sewaktu-sewaktu Serdadau Belanda menyerbu ke Belawa. Ditugaskannya pasukan Petta Manyoro' Betta untuk menjaga perbatasan sebelah timur Belawa, yakni di WEle'E.
Pada suatu hari yang terik, tibalah iring-iringan serdadu Belanda di WEle'E. Petta Manyoro' Betta bersembunyi mengawasi iring-iringan yang sedang berbaris rapi itu. Mereka terdiri dari sebuah pasukan orang Belanda yang dipipimpin seorang Liutenant dengan diiringi beberapa pasukan Wajo dibelakangnya. Memperhatikan sosok para orang Belanda yang bermata putih (kebiru-biruan atau coklat terang), maka timbullah ide Petta Manyoro' Betta yang baru pertama kali melihat orang Eropa itu. "Tau Buleng mi palE'. MaputE matanna. Manessa dE' namanessa pakkitanna ri peddikessoE.. (ternyata mereka itu cuma orang bulai. Matanya keputih-putihan. Pastilah mereka tidak dapat melihat dengan baik dikala tengah hari terik seperti ini..)", bisik Petta Manyoro'E pada anak buahnya. Mereka mengangguk membenarkan. Kemudian dengan percaya diri sepenuhnya, Petta Manyoro'E melompat ke tengah jalan diikuti segenap pasukan kecil yang dipimpinnya. Mereka menghadang pasukan Belanda itu dari depan !. Senapan panjang warisan jaman VOC yang ruwet mulai disulut dan moncongnya diarahkan ke Pasukan Belanda.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Pasukan Belanda itu memasang formasi dengan rapi seraya menembakkan senapannya yang lebih moderen ke Petta ManyorE dan pasukannya. Para pemberani Belawa itu menjadi sasaran empuk. Perkiraan Petta Manyoro'E salah samasekali. Mereka dapat melihat dengan normal serta terkonsentrasi dengan strategi yang lebih baik. Berjatuhanlah pasukan Belawa ditembus peluru runcing Belanda. Petta Manyoro'E sendiri sempat terserempet peluru pada mata kirinya yang menyebabkan beliau buta sebelah (picak). Dengan susah payah, Petta Manyoro'E memundurkan pasukannya yang masih selamat, segera meninggalkan arena pertempuran untuk memberi laporan secepatnya ke Saoraja Bakka'E. Sementara itu, Pasukan Belanda terpaksa membuat garis pertahanan di WEle'E karena mengira jika Pasukan Belawa yang lebih besar pastilah bersiap-bersiap menyambut mereka. Segeralah dikirim utusan ke Wajo untuk segera mendatangkan bantuan personel pasukan.
Sebagaimana diketahui, bahwa Arung Matoa Wajo La Koro Arung Padali telah menandatangani perjanjian dengan Gubernemen Belanda di Makassar pada tahun pertama dilantiknya baginda. Berdasarkan perjajnian itulah sehingga pihak Gubernemen Belanda memaksa I Bangkung KaraEng Popo Arung Palakka mengundurkan Pasukan Bone yang menyerbu Wajo. Mengetahui peristiwa penghadangan pasukan Belanda oleh Pasukan Belawa di WEle'E, maka dikirimlah utusan ke Belawa yang harus menemui Arung Belawa secara langsung.
Dihadapan Arung Belawa Tenri Kawareng dan segenap perangkat kerajaannya, utusan Wajo menyampaikan titah Arung Matoa Wajo agar Belawa menghentikan perlawanannya pada Belanda. Arung Belawa dan Petta Pabbicara Daeng Malebbi serta para Matoa (Matoa MalakkE, Matoa MacEro, Matoa Wattang dan Matoa Timoreng) yang juga dihadiri kedua SullEwatang (SUllEwatang Belawa Alau dan SullEwatang Belawa Orai') melihat tidak ada jalan lain. Belawa harus tunduk pada titah Arung Matoa Wajo sebagai Inanna Belawa sesuai sumpah para leluhur Belawa sejak dulu. Solusi ini pula yang kiranya dapat menghindarkan Belawa dari kalah perang yang memalukan dari Pasukan Belanda yang memiliki keunggulan segalanya (personel terlatih, senjata yang lebih moderen serta lebih lengkap).
Namun satu orang yang tidak setuju, yaitu : Petta Pangulu. Dengan mata memerah saga, panglima tua itu menolak menyerah pada Belanda. Dengan segala hormatnya, beliau berkata lantang : Usompai DatuE. NaEkiya, sangngadi cappuupi ballili'ku nacappu pakkawarukku. Nasaba' tania bElo-bElo. DE'too niyattekkeng nariyaseng ballili'. Napporookengngi tumerraana ri tengngana kannaE nariyaseng ballili' (sujud sembahku pada paduka. Namun, nantilah setelah habis senapanku, barulah habis harapanku. Karena Senapan itu bukanlah sekedar perhiasan. Bukan pula berfungsi sebagai tongkat sehingga disebut sebagai Senapan. Melainkan nantilah peluru timahnya disemburkan di tengah medan perang barulah pantas disebut sebagai senjata.). Setelah itu. beliau menghaturkan sembah pada Arung Belawa seraya berlalu meninggalkan majelis itu.
Setibanya di Saoraja Bakka'E, Petta Pangulu mengumpulkan semua pemimpin pasukannya. Bahkan adiknya kandungnya yang bernama ArungngE Daeng MattEppo yang selama ini tidak begitu ambil peduli dengan urusan kerajaan dipanggilnya pula. Daeng MattEppo sangat disegani oleh para kumpulan berandal di Belawa, sehingga diharapkan tenaganya untuk membela kedaulatan Belawa. Maka beberapa hari kemudian, terjadilah kesibukan yang luar biasa di Saoraja Bakka'E. Laki-laki dewasa berlatih menyusun barikade pertahanan dan para wanita sibuk mencetak timah (tumerra) sebagai peluru. Colo' kebbong (belerang) dan bahan-bahan lainnya diramu menjadi mesiu. Ketika penulis masih kecil, perihal kesibukan waktu itu dikisahkan oleh salah seorang abdi merdeka Saoraja Bakka'E, bernama : I Rukka. Penulis memanggilnya nEnE' Rukka, seorang wanita tua renta yang sangat bertaqwa, setia dan berbudi halus yang dari daya ingatnya yang luar biasa sehingga kisah Petta Pangulu ini dapat saya uraikan seperti sekarang ini.
Namun ditengah-tengah kesibukan itu, tibalah We Tenri Kawareng Arung Belawa yang diusung bersama tandunya (bEmbEngeng) dengan beberapa pengiringnya dari Belawa. Baginda Ratu menaiki tangga Saoraja Bakka'E peninggalan La Tokong Petta PallEkoreng Datu Pammana itu seraya berbincang serius dengan Petta Pangulu. Tidak lama kemudian, baginda keluar dengan air mata bercucuran seraya memerintahkan agar senjata api dikumpulkan lalu dibuang ke lubuk sungai KarajaE. Sementara itu, Petta Pangulu memasuki biliknya dan tidak keluar-keluar lagi hingga wafatnya. Maka berakhirlah kisah perlawanan Petta Pangulu terhadap Belanda dan juga terhadap hidupnya sendiri.
Dapat dimaklumi, betapa berat perasaan Arung Belawa ketika itu. Pada dasarnya, bagindapun tidaklah rela jika negerinya terjajah bangsa asing. Namun iapun tahu jika perlawanan dengan kondisi seperti itu terhadap kekuatan militer Belanda, hanyalah akan mengorbankan jiwa rakyat dengan sia-sia belaka. Keberanian haruslah diimbangi dengan kearifan. Pada sisi lain, kebijakan Pemerintah Wajo tidak boleh tidak, haruslah dijalankan. Karena Belawa adalah anak yang harus seia sekata dengan induknya. Begitupula halnya dengan Petta Pangulu sendiri. Dibalik kekerasan hatinya, beliau adalah seorang Ksatria Agung yang sangat menjunjung kehormatan pemimpinnya (Arung Belawa). Sosok pribadi We Tenri Kawareng dipandangnya sebagai anak yang disayanginya dan juga dihormatinya pula. Ia takkan mungkin mampu menolak permintaan junjungannya itu yang sedang bersimpuh dengan bersimbah air mata dihadapannya.
Peristiwa perlucutan senjata Petta Pangulu oleh Arung Belawa, merupakan sebuah kejadian yang menambah pamor We Tenri Kawareng Arung Belawa dimata Belanda dan orang-orang Wajo sendiri. Belanda melihat sebuah talenta kepemimpinan yang kuat, memancar pada sosoknya yang lemah lembut. Dan inilah sumber masalah yang menyebabkan beliau menjadi gadis yang hidup merana dalam kesepiannya hingga akhir hidupnya.
Pada suatu hari, tibalah utusan Arung Wette' di Belawa yang bermaksud melamar We Tenri Kawareng Arung Belawa. Namun utusan lamaran itu terpaksa harus pulang dengan kecewa karena Pejabat Gubernemen Belanda dan Petta EnnengngE menolaknya dengan anggapan tidak sepadan. Setelah itu, beberapa Pangeran Terkemuka dari TellumpoccoE dan Sidenreng juga mengajukan lamaran. Tetapi lagi-lagi mereka ditolak dengan alasan yang sama. We Tenri Kawareng dianggap memiliki darah kebangsawanan yang sangat murni sehingga tidak dapat diperistri oleh laki-laki yang tidak sama murni dengannya.
Setelah beberapa lamaran Raja-raja dan Pangeran tertolak di Belawa, maka pihak Gubernemen Belanda di Wajo menganggap keberadaan We Tenri Kawareng di Belawa dapat membahayakan negeri kecil di perbatasan tersebut. Lalu diboyonglah Arung Belawa yang masih gadis itu ke Pompanua (wilayah Bone). Dapat dibayangkan betapa beratnya penderitaan itu, tinggal di tempat yang jauh dari negeri kelahiran dan segenap keluarga yang dicintainya. Setelah beberapa lama di pengasingan itu, jatuh sakitlah baginda yang mengantarnya menghadap pada pencipta-Nya. Maka dengan penuh kebesaran, baginda dimakamkan di puncak tertinggi sebuah bukit dalam komplek pemakaman Raja-raja Negeri Pompanua. Akhirnya riwayat Arung Belawa yang masih gadis ini berakhir dengan memilukan yang melengkapi gelar namanya : We Tenri Kawareng Arung Belawa MallinrungngE ri Pompanua.
(bersambung ke Part berikutnya..)
Setelah dijamu sebagaimana layaknya, maka Tuan Belanda itu meminta 1 regu pengawal dari Saoraja Bakka'E untuk menyertainya diperjalanan menuju ke Belawa. Memenuhi permintaan itu, Petta Pangulu menunjuk pengawal pribadinya bernama : Cambang Bettaa untuk memegang tali kekang kuda (maddEnrEng Anynyareng) Sang Tuan untuk memandunya ke Saoraja Belawa. Alangkah herannya Pejabat Belanda itu bersama segenap pengiringnya, sekaligus merasa dilecehkan. Pasalnya mereka minta 1 regu lasykar pengawal tapi hanya diberi 1 orang saja !. Terlebih lagi, satu orang inipun nampak sudah tua, agak bongkok dan matanya putih sebelah (gara'). Orang Belanda yang angkuh itu meludah ke tanah (mammiccu lappE') dari atas kudanya.
Melihat kelakuan orang bulE itu, meledaklah amarah Cambang Bettaa. Wajahnya membesi merah padam dan bulu-bulu dibadannya berdiri satu demi satu, lalu membentak dengan murka yang meluap !. Kuda tunggangan si Pembesar terkejut dan mengangkat kaki depannya dengan ringkik yang panjang. Pembesar itu tidak kalah terkejutnya pula. Ia terlempar dari punggung kudanya dan terbanting keras di tanah yang baru saja diludahinya. Si Pembesar pingsan dengan mata membelalak. Maka pembesar angkuh itu mendapatkan perawatan selama beberapa waktu di Saoraja Bakka'E dan tidak jadi dihadapkan pada Arung Belawa.
Insiden dengan pembesar Gubernemen Belanda di TippuluE berakibat cukup fatal. Tuan PEtoro' Wajo memberi teguran keras kepada Belawa. Namun Petta Pangulu menyambut teguran itu dengan tantangan. Panglima tua itu mengkonsolidasi pasukannya, bersiap-siap menyambut jika sewaktu-sewaktu Serdadau Belanda menyerbu ke Belawa. Ditugaskannya pasukan Petta Manyoro' Betta untuk menjaga perbatasan sebelah timur Belawa, yakni di WEle'E.
Pada suatu hari yang terik, tibalah iring-iringan serdadu Belanda di WEle'E. Petta Manyoro' Betta bersembunyi mengawasi iring-iringan yang sedang berbaris rapi itu. Mereka terdiri dari sebuah pasukan orang Belanda yang dipipimpin seorang Liutenant dengan diiringi beberapa pasukan Wajo dibelakangnya. Memperhatikan sosok para orang Belanda yang bermata putih (kebiru-biruan atau coklat terang), maka timbullah ide Petta Manyoro' Betta yang baru pertama kali melihat orang Eropa itu. "Tau Buleng mi palE'. MaputE matanna. Manessa dE' namanessa pakkitanna ri peddikessoE.. (ternyata mereka itu cuma orang bulai. Matanya keputih-putihan. Pastilah mereka tidak dapat melihat dengan baik dikala tengah hari terik seperti ini..)", bisik Petta Manyoro'E pada anak buahnya. Mereka mengangguk membenarkan. Kemudian dengan percaya diri sepenuhnya, Petta Manyoro'E melompat ke tengah jalan diikuti segenap pasukan kecil yang dipimpinnya. Mereka menghadang pasukan Belanda itu dari depan !. Senapan panjang warisan jaman VOC yang ruwet mulai disulut dan moncongnya diarahkan ke Pasukan Belanda.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Pasukan Belanda itu memasang formasi dengan rapi seraya menembakkan senapannya yang lebih moderen ke Petta ManyorE dan pasukannya. Para pemberani Belawa itu menjadi sasaran empuk. Perkiraan Petta Manyoro'E salah samasekali. Mereka dapat melihat dengan normal serta terkonsentrasi dengan strategi yang lebih baik. Berjatuhanlah pasukan Belawa ditembus peluru runcing Belanda. Petta Manyoro'E sendiri sempat terserempet peluru pada mata kirinya yang menyebabkan beliau buta sebelah (picak). Dengan susah payah, Petta Manyoro'E memundurkan pasukannya yang masih selamat, segera meninggalkan arena pertempuran untuk memberi laporan secepatnya ke Saoraja Bakka'E. Sementara itu, Pasukan Belanda terpaksa membuat garis pertahanan di WEle'E karena mengira jika Pasukan Belawa yang lebih besar pastilah bersiap-bersiap menyambut mereka. Segeralah dikirim utusan ke Wajo untuk segera mendatangkan bantuan personel pasukan.
Sebagaimana diketahui, bahwa Arung Matoa Wajo La Koro Arung Padali telah menandatangani perjanjian dengan Gubernemen Belanda di Makassar pada tahun pertama dilantiknya baginda. Berdasarkan perjajnian itulah sehingga pihak Gubernemen Belanda memaksa I Bangkung KaraEng Popo Arung Palakka mengundurkan Pasukan Bone yang menyerbu Wajo. Mengetahui peristiwa penghadangan pasukan Belanda oleh Pasukan Belawa di WEle'E, maka dikirimlah utusan ke Belawa yang harus menemui Arung Belawa secara langsung.
Dihadapan Arung Belawa Tenri Kawareng dan segenap perangkat kerajaannya, utusan Wajo menyampaikan titah Arung Matoa Wajo agar Belawa menghentikan perlawanannya pada Belanda. Arung Belawa dan Petta Pabbicara Daeng Malebbi serta para Matoa (Matoa MalakkE, Matoa MacEro, Matoa Wattang dan Matoa Timoreng) yang juga dihadiri kedua SullEwatang (SUllEwatang Belawa Alau dan SullEwatang Belawa Orai') melihat tidak ada jalan lain. Belawa harus tunduk pada titah Arung Matoa Wajo sebagai Inanna Belawa sesuai sumpah para leluhur Belawa sejak dulu. Solusi ini pula yang kiranya dapat menghindarkan Belawa dari kalah perang yang memalukan dari Pasukan Belanda yang memiliki keunggulan segalanya (personel terlatih, senjata yang lebih moderen serta lebih lengkap).
Namun satu orang yang tidak setuju, yaitu : Petta Pangulu. Dengan mata memerah saga, panglima tua itu menolak menyerah pada Belanda. Dengan segala hormatnya, beliau berkata lantang : Usompai DatuE. NaEkiya, sangngadi cappuupi ballili'ku nacappu pakkawarukku. Nasaba' tania bElo-bElo. DE'too niyattekkeng nariyaseng ballili'. Napporookengngi tumerraana ri tengngana kannaE nariyaseng ballili' (sujud sembahku pada paduka. Namun, nantilah setelah habis senapanku, barulah habis harapanku. Karena Senapan itu bukanlah sekedar perhiasan. Bukan pula berfungsi sebagai tongkat sehingga disebut sebagai Senapan. Melainkan nantilah peluru timahnya disemburkan di tengah medan perang barulah pantas disebut sebagai senjata.). Setelah itu. beliau menghaturkan sembah pada Arung Belawa seraya berlalu meninggalkan majelis itu.
Setibanya di Saoraja Bakka'E, Petta Pangulu mengumpulkan semua pemimpin pasukannya. Bahkan adiknya kandungnya yang bernama ArungngE Daeng MattEppo yang selama ini tidak begitu ambil peduli dengan urusan kerajaan dipanggilnya pula. Daeng MattEppo sangat disegani oleh para kumpulan berandal di Belawa, sehingga diharapkan tenaganya untuk membela kedaulatan Belawa. Maka beberapa hari kemudian, terjadilah kesibukan yang luar biasa di Saoraja Bakka'E. Laki-laki dewasa berlatih menyusun barikade pertahanan dan para wanita sibuk mencetak timah (tumerra) sebagai peluru. Colo' kebbong (belerang) dan bahan-bahan lainnya diramu menjadi mesiu. Ketika penulis masih kecil, perihal kesibukan waktu itu dikisahkan oleh salah seorang abdi merdeka Saoraja Bakka'E, bernama : I Rukka. Penulis memanggilnya nEnE' Rukka, seorang wanita tua renta yang sangat bertaqwa, setia dan berbudi halus yang dari daya ingatnya yang luar biasa sehingga kisah Petta Pangulu ini dapat saya uraikan seperti sekarang ini.
Namun ditengah-tengah kesibukan itu, tibalah We Tenri Kawareng Arung Belawa yang diusung bersama tandunya (bEmbEngeng) dengan beberapa pengiringnya dari Belawa. Baginda Ratu menaiki tangga Saoraja Bakka'E peninggalan La Tokong Petta PallEkoreng Datu Pammana itu seraya berbincang serius dengan Petta Pangulu. Tidak lama kemudian, baginda keluar dengan air mata bercucuran seraya memerintahkan agar senjata api dikumpulkan lalu dibuang ke lubuk sungai KarajaE. Sementara itu, Petta Pangulu memasuki biliknya dan tidak keluar-keluar lagi hingga wafatnya. Maka berakhirlah kisah perlawanan Petta Pangulu terhadap Belanda dan juga terhadap hidupnya sendiri.
Dapat dimaklumi, betapa berat perasaan Arung Belawa ketika itu. Pada dasarnya, bagindapun tidaklah rela jika negerinya terjajah bangsa asing. Namun iapun tahu jika perlawanan dengan kondisi seperti itu terhadap kekuatan militer Belanda, hanyalah akan mengorbankan jiwa rakyat dengan sia-sia belaka. Keberanian haruslah diimbangi dengan kearifan. Pada sisi lain, kebijakan Pemerintah Wajo tidak boleh tidak, haruslah dijalankan. Karena Belawa adalah anak yang harus seia sekata dengan induknya. Begitupula halnya dengan Petta Pangulu sendiri. Dibalik kekerasan hatinya, beliau adalah seorang Ksatria Agung yang sangat menjunjung kehormatan pemimpinnya (Arung Belawa). Sosok pribadi We Tenri Kawareng dipandangnya sebagai anak yang disayanginya dan juga dihormatinya pula. Ia takkan mungkin mampu menolak permintaan junjungannya itu yang sedang bersimpuh dengan bersimbah air mata dihadapannya.
Peristiwa perlucutan senjata Petta Pangulu oleh Arung Belawa, merupakan sebuah kejadian yang menambah pamor We Tenri Kawareng Arung Belawa dimata Belanda dan orang-orang Wajo sendiri. Belanda melihat sebuah talenta kepemimpinan yang kuat, memancar pada sosoknya yang lemah lembut. Dan inilah sumber masalah yang menyebabkan beliau menjadi gadis yang hidup merana dalam kesepiannya hingga akhir hidupnya.
Pada suatu hari, tibalah utusan Arung Wette' di Belawa yang bermaksud melamar We Tenri Kawareng Arung Belawa. Namun utusan lamaran itu terpaksa harus pulang dengan kecewa karena Pejabat Gubernemen Belanda dan Petta EnnengngE menolaknya dengan anggapan tidak sepadan. Setelah itu, beberapa Pangeran Terkemuka dari TellumpoccoE dan Sidenreng juga mengajukan lamaran. Tetapi lagi-lagi mereka ditolak dengan alasan yang sama. We Tenri Kawareng dianggap memiliki darah kebangsawanan yang sangat murni sehingga tidak dapat diperistri oleh laki-laki yang tidak sama murni dengannya.
Setelah beberapa lamaran Raja-raja dan Pangeran tertolak di Belawa, maka pihak Gubernemen Belanda di Wajo menganggap keberadaan We Tenri Kawareng di Belawa dapat membahayakan negeri kecil di perbatasan tersebut. Lalu diboyonglah Arung Belawa yang masih gadis itu ke Pompanua (wilayah Bone). Dapat dibayangkan betapa beratnya penderitaan itu, tinggal di tempat yang jauh dari negeri kelahiran dan segenap keluarga yang dicintainya. Setelah beberapa lama di pengasingan itu, jatuh sakitlah baginda yang mengantarnya menghadap pada pencipta-Nya. Maka dengan penuh kebesaran, baginda dimakamkan di puncak tertinggi sebuah bukit dalam komplek pemakaman Raja-raja Negeri Pompanua. Akhirnya riwayat Arung Belawa yang masih gadis ini berakhir dengan memilukan yang melengkapi gelar namanya : We Tenri Kawareng Arung Belawa MallinrungngE ri Pompanua.
(bersambung ke Part berikutnya..)
Mau nanya....siapa namanya sulewatang belawa orai yang pertama dan nama orang tuanya itu siapa? Tabe Maraja
BalasHapus