Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Sabtu, 02 Oktober 2010

Ininnawa (4)

Abdi Jiwa

Hari ini Sabtu, 02 Oktober 2010. Panas terik membakar kotaku di ba'da dluhur, saat anak-anak sekolah berhamburan keluar dari gerbang sekolahnya. Kukendarai sepeda motorku pelan melintas di depan SD Negeri 5 yang hiruk pikuk pada waktu ini. Mata lelahku tertuju pada sosok dekil yang sibuk mengatur lalu lintas yang padat ini. Tubuh ringkih dan kerempeng yang kempas kempis meniup pluit sempritan. Kadang berdiri ditengah jalan, menyetop kendaraan yang tidak sabaran. Pada saat lain, ia hilir mudik menggandeng tangan anak-anak sekolah di kiri kanan tangannya dan menggendong lainnya di punggung tuanya ke seberang jalan. Begitulah yang  dilakukannya hingga jalanan sempit di depan sekolahan besar  ini sepi kembali. Kuhentikan motorku dipinggir jalan dan memperhatikan orang tua itu sejak tadi....

Ia duduk bernaung dibawah pohon akasia. Nampak sekali jika tubuh tuanya sedang kelelahan. Kuperhatikan sejak tadi jika tidak seorang pun mengansurkan uang kepadanya. Namun wajah tua itu senantiasa cerah dibalik peluh keringatnya yang bercucuran. Pelan tangannya merapikan kancing baju KEki lusuh yang dikenakannya. Nampak sekali jika ia bangga memakai baju itu. Entah oknum PNS dari mana yang memberikan baju itu kepadanya... sementara celana pendeknya nampak dekil berdebu. Namun sekali lagi, nampak jelas jika ia bahagia dan puas memakai baju pemberian itu.

Kerongkonganku tiba-tiba terasa getir. Tanpa sadar kupanggil nuraniku... Ooh, Ininnawa. Kenapa dunia terasa sempit bagi orang-orang ikhlas ?. Tapi, tunggu dulu. Sebuah sanggahan tiba-tiba menyergah dari dalam hatiku sendiri.. Apakah benar beliau ini merasakan dunia ini sempit ?. Belum tentu, jawab nuraniku lagi. AwwEE, Ininnawaku.. Tabirittaiakka' palE' kasi'na (duhai, nuraniku... jelaskanlah padaku). Naiyya nyamengngE dE' naitai Pakkita, tennaEngkalingai parEngkalinga, tennaimmau parimmau, tenna karawa pakkarawa. Nasaba' rilalennai pappEneddingngE... TennanrE kira-kira, tenna rapii pappEsangka (sesungguhnya kebahagiaan tidak dapat dilihat oleh penglihatan, tak terdengar oleh pendengaran, tak tercium oleh penciuman, tak tersentuh oleh tangan. Karena ia berada didalam perasaan... takkan dapat diperkirakan dan tidak pula dapat diraih oleh prasangka). Tapi bagaimana mungkin orang dapat berbahagia jika ia tidak memiliki harta benda ?, protes kata hatiku yang lain dengan sengit. Naiyya to temmapunnaE, dE' too na ateddEngeng. Risalipuri ri asabbarakenna, na ripakario-rio ri sukkuru'na. Malappaa temmakkEwiringni lino ri pakkitanna...  Banna Puang Allahu Ta'ala bawang apunnanna (sesungguhnya orang yang tidak memiliki apa-apa, takkan pernah merasa kehilangan apa-apa pula. Senantiasa merasa aman/tentram dalam kesabarannya. Senantiasa digembirakan oleh rasa syukurnya. Dunia terasa lapang bagai tak bertepi dalam pandangannya.. karena ia merasa memiliki Allah Ta'ala). Astagfirullahil Adzim... hatiku luluh dan damai kembali. Nasib takkan kusalahkan lagi... Kuseka air mataku dibalik kaca helmetku yang hitam pekat. Orang tua itu menaiki becaknya yang juga butut. Anak-anak sekolah bercecowetan penuh canda ria diatas becak sambil sesekali ditingkahi tawa riang si Orang Tua yang mengayuh hati-hati.

Aku tahu.. Tidak ada yang menggaji orang tua ini, kecuali sekedar ongkos becak beberapa anak yang jadi langganan tetapnya. Namun ia mengatur lalu lintas dan menyeberangkan anak-anak lain yang bukan langganannya karena dunia ini terasa lapang dan penuh warna dalam pandangannya. Ia melakukannya dengan senang hati untuk jiwanya. Ia melaksanakannya juga karena bangga mengenakan baju seragam lusuh yang entah siapa yang memberikan padanya.. Sementara 3 jam sebelum kutiba di tempat itu, pada sebuah warung kopi disamping Toko Buku yang kusinggahi, kudapati beberapa oknum PNS berpakaian kemeja batik sedang asyik ngobrol ria. Entah apa yang diobrolkannya, lapat-lapat kudengar beberapa kata-kata cabul yang meledakkan tawa temannya yang lain... Oh duniaku. Aku menangisimu, hingga kuketik tulisan ini dengan bersimbah air mata.... Oddang benar-benar cengeng, kata nuraniku. Oo, ininnawa.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar