Pendahuluan
Perihal "Ade" yang terlembaga dalam 4 ruang, yakni : Warii', Bicara, Tuppu dan Rapang begitu rumit untuk dikaji oleh pemerhati autodidak yang memiliki serba keterbatasan seperti saya. Namun disadari bahwa dari sekian banyak serpihan nilai yang berserakan kini memerlukan upaya pelestarian, agar nilai-nilai luhur yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari itu tidak menjadi sekedar penghias permukaan sejarah, walau dengan agak tertatih-tatih.
Salahsatu "kegelisahan" penulis saat ini adalah semakin jauhnya anak-anak kita dari "lingkaran Pangadereng" yang nampak jelas tercermin dalam Tata Bahasa sehari-harinya. Bahkan lebih parah lagi, banyak diantaranya yang sudah tidak dapat berbahasa Bugis lagi. Namun yang lebih parah lagi, terjadinya "Abrasi Nilai" sehingga beberapa diantaranya yang begitu "Bangga" dengan predikat kebangsawanannya dengan terang-terangan menyebut diri : Bangsawan. Maka jelaslah jika "Ade' Bicara" sangatlah memerlukan "Rekulturasi" yang dapat dimulai pada diri sendiri, keluarga dan masyarakat kita.
Disadari bahwa tidak banyak sumber tulisan yang dapat dijadikan sebagai reverensi karena "Ade' Bicara" ini merupakan pembiasaan yang dibudayakan sejak dini dalam sebuah keluarga (Rumah Tangga) yang solid. Sesuatu yang ditanamkan dengan penuh kesungguhan oleh orang tua kepada anaknya dengan penuh kesungguhan, sehingga kadang-kadang pada prosesnya membuahkan "cubitan-cubitan". " IgaleccEE timuE akko tosala teppu..." (mulut dicubit jika salah sebut).
Dengan demikian, Ade' Bicara yang berhubungan dengan Warii' sangatlah dijiwai oleh makna "Sirii' PessE" (Martabat dan Solidaritas Kemanusiaan) sehingga disifatkan sebagai "Atribut" yang menandakan dari mana asal muasal keturunan seseorang. Maka dari beberapa topik yang telah ditinjau pada bagian terdahulu, maka sub kajian inilah yang paling berat bagi Penulis. Namun tetap juga saya haturkan, setidaknya inilah sekelumit "Wariina Belawa".
Dengan demikian, Ade' Bicara yang berhubungan dengan Warii' sangatlah dijiwai oleh makna "Sirii' PessE" (Martabat dan Solidaritas Kemanusiaan) sehingga disifatkan sebagai "Atribut" yang menandakan dari mana asal muasal keturunan seseorang. Maka dari beberapa topik yang telah ditinjau pada bagian terdahulu, maka sub kajian inilah yang paling berat bagi Penulis. Namun tetap juga saya haturkan, setidaknya inilah sekelumit "Wariina Belawa".
Selama penulis tinggal menetap di Parepare, banyak mengenal handai taulan dari Belawa yang mungkin bermaksud baik untuk memperkenalkan diri dan asal keturunannya dengan mengungkapkan : "...napuappoka' Datu Anu..." (Aku cucunya Datu Anu...). Bertitik tolak dari hal inilah, sehingga saya mencoba menguraikan tulisan ini dengan segala keterbatasan pengetahuan saya. Sebagaimana Almarhum Ayahanda berpesan dengan sangat kepada kami : "Tania Waramparang upammanaarekko ana'. Tania too PakkEasengeng. NaEkia, Ade' Assipakalebbirengmi tu upammanarekko, mupammanareng toi ri wija-wijammu... " ( Bukan harta yang kuwariskan padamu, anakku. Bukan pula gelar. Namun Adat Saling Menghargai yang kuwariskan kepadamu dan wariskan pula kepada anak keturunannmu...". Sementara pada waktu lain, penulis juga pernah membaca wasiat Yang saya Muliakan Andi Ninnong Datu Tempe Petta Ranreng Tuwa Wajo, bahwasanya : "Sipa'Engmi paompo assalengngE.." (Tabiatlah yang akan memperlihatkan asal muasal..).
Semoga kiranya ada diantara pembaca yang budiman, berkenan memberikan koreksi dan saran perbaikan untuk menambah pengetahuan yang bermamfaat bagi kita semua. Untuk itu, dengan segala hormat dan takzim, penulis menghaturkan terima kasih.
Semoga kiranya ada diantara pembaca yang budiman, berkenan memberikan koreksi dan saran perbaikan untuk menambah pengetahuan yang bermamfaat bagi kita semua. Untuk itu, dengan segala hormat dan takzim, penulis menghaturkan terima kasih.
Atanna DatuE (Hambanya Datu)
" Dua ri lino temmakkEana' temmakkEappo, iyanaritu : AtorengngE na DatuE " (Ada dua hal di dunia yang tidak beranak cucu, yaitu : Peraturan dan Datu).
Sering didapatkan orang bercerita atau berkisah tentang silsilah leluhurnya. Ketika ditanya, " TabE', niga asenna turungengki' " (Maaf, siapa kiranya yang leluhur yang menurungkan anda ?". Maka menjawablah ia dengan hormatnya : " Rai-rai ajEnaka' DatuE ri yasengngE Datu Anu..., nasaba' alEna Puekku Datu MallinrungngE incajiangngi Topajajiakku boranEwE" (saya tidaklah lebih merupakan daki kakinya Raja yang bernama Datu Anu..., sebab beliaulah yang melahirkan orangtuaku yang lelaki).
Tersebutlah Alm. Puekku Andi Bau Sumange' Rukka, semasa hidupnya sangat akrab dengan penulis. Saya mengenalnya sebagai seorang bangsawan tinggi yang tergolong "Ana' Mattola". Beliau adalah putera Petta Karaeng Sumange' Alam (putera Andi Mappanyompa Datu KapE Maddanreng Pammana) dengan Datu Kacupe' (Soppeng). Dengan demikian, beliau adalah pangeran Wajo, Soppeng, Gowa dan Sidenreng. Sebagian orang mengenal beliau sebagai sosok bangsawan yang tidak begitu memperhatikan pranata pada era masa kini. Namun menurut penulis, beliau adalah seorang Bangsawan yang sangat "mengerti" dengan tata bahasa bangsawan. Beliau sekalipun tidak pernah menyebut Datu KapE sebagai "nEnEku", melainkan disebutnya sebagai : Datu KapE mallinrungngE incajiangngE topajajiakku boranEwE.. (Almarhum Datu KapE yang melahirkan orang tuaku yang laki-laki).
Pada saat lain, dalam sebuah perbincangan yang cukup lama dengan Puekku H. Andi Baso (putera Andi Bau Patiroi di Balikpapan, Kaltim), beliau juga menyebut ayahandanya sebagai : DatuE (Tidak menyebut nama secara langsung). Kemudian beliau senantiasa menyebut "kakeknya" dengan nama gelarnya : Datu Bolong MallinrungngE (Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa). Demikian pula dengan Puekku H. Andi Bau Musba (Datu Cebba') yang senantiasa menyebut Ibundanya yang mulia sebagai : Datu MakkunraiyyE (Almarhumah Datu Sami'). Dari inilah sehingga penulis dapat melihat bahwa tata bahasa tinggi yang tercermin pada istilah penyebutan dalam rumah tangga Bangsawan memang memiliki aturan yang tertata rapi serta terpelihara dari waktu ke waktu.
Sebaliknya pada suatu ketika penulis berbincang-bincang dengan seseorang yang mengaku berasal dari Belawa. Dengan ringannya ia berkata : Napuappoka' PettaE Palla'E (saya adalah cucu Petta Palla'E). Lalu saya bertanya : TEgaE ana' ri jajianna DatuE turungengki' ? (Anak yang mana dari Baginda yang menurunkan anda ?). Maka disebutnyalah sebuah nama. Akhirnya saya dapat mengerti apa adanya. Maklum, nama tersebut adalah salah seorang anak La Tamang Petta Palla'E yang tidak diakui karena digolongkan Anak Harami (Ana' BulE).
Perihal aturan tak tertulis ini sempat saya tanyakan kepada Ayahanda Almarhum. " Aga saba'na na dE' siseng-siseng nawedding ipoada makkedaE : Napoappoka' DatuE ? " (Apa sebabnya sehingga kita tidak diperkenankan mengatakan : Saya adalah cucunda Datu ?). Maka beliau menjelaskan, sbb :
1. Naiyya DatuE dE'na natopada, matase'i DatuE
2. Ebara'si pada, naEkiya engka bunga najujung DatuE
3. Pappakalebbiina DatuE polE ri wija-wijanna, nakkacoE lEbba'E.
Pengertian bebasnya kira-kira, sbb :
1. Kita tidak lagi sama dengan Datu, baginda memiliki darah murni dan kita sudah tercampur
2. Andaikan sama berdarah murni, namun Datu memiliki Tahta atau Jabatan dan kita tidak memilikinya
3. Pemuliaan Sang Datu dari keturunannya agar diikuti oleh masyarakat umum.
Namun terlepas dari perihal tersebut, tantangan dimasa kini adalah terjadinya transformasi budaya dimana faktor kebahasaan juga ikut berperan didalamnya. Kaidah Bahasa Bugis halus terkadang sulit diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Maka dalam tinjauan ini, Penulis beranggapan bahwa : Sah-sah saja jika sekiranya seorang Cucu Datu (Appo Datu) mengungkapkan dalam Bahasa Indonesia, bahwa : "Saya adalah Cucunya Datu...". Karena pengungkapan terjemahan langsungnya dari Bahasa Bugis akan terasa sangat janggal.
Wallahualam bissawab
(bersambung... ke Ana'E ri Topajiajanna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar