Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Senin, 11 Oktober 2010

Sejarah Belawa (Part 11)

Petta Pabbicara Terakhir

Inilah kisah tentang kasih yang tak sampai. Disebabkan oleh ketetapan adat yang memenjarakan segala keinginannya . Membawa rana ke negeri rantau.. hingga takdir memanggilnya kembali ke Tanah Kelahiran. Demi amanat bhakti untuk menata dan menjaga adat yang telah meremukkan hatinya... 

Adalah hal yang lumrah jika seorang pemuda berumur 17-an, melihat dunia penuh warna cerah. Berawal dari sebuah kerlingan mata seorang gadis yang menarik hatinya pada suatu hari, maka ia tidak dapat lagi membedakan antara mimpi dan terbangunnya di dunia nyata. Itulah yang kini dialami La Wahide Daeng Mamiru, remaja yang hatinya dicekam rindu dendam terhadap seorang gadis remaja bernama I Buadare'.

 La Wahide adalah putera Abdul Razak Daeng Malebbi Petta PabbicaraE Belawa (putera La Sulungkau' Daeng Pagala Datu Lolo TippuluE MatinroE ri Passiringna dengan I Tiwajo Ana'na Arung Barukku') dari isterinya yang bernama I Jamilah (puteri La Makkulawu Petta Ugi dengan I Manjong). La Makkulawu Petta Ugi bersaudara kandung dengan La Tune' Sangiang Arung Bettempola sehingga dengan demikian I Jamilah bersepupu sekali (massappo siseng) dengan La TEngko Petta Manciji'E ri Wajo.

Perihal La Wahide' yang sedang dimabuk asmara ini, mendapat tantangan keras dari ayahandanya sendiri. Berkali-kali ia mengajukan permohonan kiranya dapat dilamarkan pada gadis pujaan hatinya, namun Sang Ayah tetap berkata "tidak". Sekali tidak bisa, tetap tidak bisa !, demikian jawabnya. Penyebabnya cuma satu hal, yakni : I Buadare' adalah anak sahayanya sendiri. Aja lalo MusEai tEdong tonangengmu ! (jangan sampai kau menaiki kerbau tungganganmu !), demikian istilah prilaku seorang bangsawan yang memperistri sahayanya pada masa itu. Terlebih lagi, Daeng Malebbi adalah Petta Pabbicara Ade' yang masuk dalam jajaran Ade' Patappulo Tana Wajo. Seorang Petta Pabbicara yang bertanggung jawab sebagai hakim perkara adat di Belawa. Bertindak selaku penasehat Arung Belawa bersama dengan Kadhi (Kali Belawa) yang merupakan hakim perkara Sara' (Syariah). Maka ia adalah sosok teladan dan paku adat yang menjaga teguhnya kehidupan masyarakat adat TanaE Belawa dan Wajo pada umumnya. Adalah merupakan sebuah tamparan keras bagi beliau jika puteranya sendiri melakukan pelanggaran adat yang secara langsung meronrong martabatnya sendiri.

La Wahide' sebenarnya menyadari posisi ayahandanya itu. Namun gelora asmara yang berkecamuk dalam hatinya terlalu sulit menerima kenyataan jika bahtera cintanya tak dapat ia labuhkan pada dermaga hati I Buadare'. Bukankah beberapa bangsawan memiliki gundik dari kalangan "ata" (sahaya) ?. Bahkan saudara-saudara ayahnya pun melakukan hal itu. Justru Ayahandanya sendirilah yang "lain sendiri" pada jaman itu, hanya memiliki seorang  istri, yakni : Ibundanya.

Pada suatu pagi yang cerah, La Wahide' lagi-lagi merajuk pada Ibundanya. " Akko dE naturuuka' Petta BoranEwE pubEnEi I Buadare', lebbi maddE'E lao sompe', Petta Indo' ! " (Sekiranya memang Petta BoranEwE bersikeras tidak merestuiku untuk mengawini I Buadare', maka lebih baik aku pergi merantau, Ibunda...), demikian katanya dengan nada mengancam. Dipikirnya bahwa ancaman ini akan meluluhkan hati orang tuanya. Bagaimana tidak ? Ia adalah putera yang dipersiapkan untuk menggantikan ayahandanya sebagai Petta Pabbicara. Maka menangislah Andi Jamilah mendengar ancaman puteranya tercinta itu. Tiba-tiba muncullah Petta PabbicaraE, keluar dari kamarnya. Dengan wajah dingin mengeras, beliau mengajukan pertanyaan pada La Wahide', : "TEga lipu lao musompeki ? Pauni, siaga ringgi' muapparellueng, upassadiangengko..." (Dimana kiranya kau mau merantau ? Katakan saja, berapa Ringgit uang kau butuhkan, nantilah kusediakan untukmu...). Mendengar perkataan suaminya, meledaklah tangis Andi Jamilah. Sementara itu, La Wahide' hanya terpekur diam seribu basa... Maksudnya hanya mengancam, tapi malah ditantang balik. Malulah jika ia bersurut langkah... Laki-laki.

Menurut catatan La Wahide', awal perantauannya itu terjadi pada tahun 1866. Tujuan perjalanannya adalah Balik Papan (Kalimantan Timur). Hanya beberapa hari setelah ancamannya berbalik arah, maka berangkatlah ia dengan lara yang tak terperi. Ibundanya tak kuasa menahan tangis seraya memeluk leher puteranya itu, seakan tak mau melepaskannya. Perpisahan yang mengharukan antara Ibu dan puteranya yang ternyata dikemudian hari diketahui jika itulah saat terakhir pertemuannya (Andi Jamila mangkat ketika La Wahide masih dalam perantauan). Sementara Petta PabbicaraE sendiri nampak biasa-biasa saja. Terlalu sulit menerka isi hati lelaki berkumis tebal melengkung keatas (mattippaa) itu. Maka La Wahide berangkat dengan menunggang kuda ke Parepare, diantar beberapa orang kerabat dan sahayanya.

Tidak banyak yang diketahui tentang pengalaman La Wahide' di Balik Papan. Cuma yang sempat ditulisnya adalah segelintir pengalamannya ketika bekerja sebagai "juru tulis" di Pelabuhan, termasuk keheranannya ketika menyaksikan burung perkutut yang disabung seperti ayam di arena judi. Suatu peristiwa yang dianggapnya istimewa adalah ketika menyaksikan pengeboran minyak untuk pertama kalinya di Balik Papan oleh orang-orang Belanda. Namun tahun peristiwa itu juga tidak ditulisnya.

Setelah 3 tahun berselang di Balik Papan, pada suatu hari merapatlah sebuah kapal dari Parepare. Sebagaimana biasanya, La Wahide selalu jalan-jalan ke pinggir pelabuhan kalau ada Kapal Parepare yang merapat. Maksudnya tiada lain, siapa tahu diantara penumpan yang turun itu ada diantaranya orang dari Belawa yang dapat ditanyai tentang informasi terakhir mengenai orang tua dan juga keadaan Negeri Tumpah Darahnya tersebut. Tiba-tiba ia terhenyak, seorang lelaki paruh baya yang amat dikenalnya mengenakan jas putih berdiri di geladak sambil bertelekan pada tongkatnya. Orang itu adalah ayahandanya, Petta Pabbicara Daeng Malebbi. Beliau disertai putera bungsunya (adik La Wahide') yaitu : Muhammad Arsyad.

" Pulanglah ke Belawa. Ibumu sangat merindukanmu..", kata Petta PabbicaraE setibanya  mereka tiba dikediaman La Wahide. Alangkah senangnya hati pemuda yang dirundung rindu dendam asmara itu. Umurnya kini sudah menginjak 20 tahun. Pastilah ayahandanya kini "luluh" dan mau merestui pernikahannya dengan I Buadare', pikirnya. " Kalau begitu, apakah Petta sudah mau melamarkan saya ke orang tua I Buadare' ? ", tanyanya penuh harap. Seketika itu juga, wajah Petta PabbicaraE kembali membesi oleh amarah yang ditahan-tahannya. " NarEkko dE' tongenna mullEi mallupaiwi Ero makkunraiyyE, aja' sisengna mulEsu. Onrono maiyyE.. !" (kalau kau memang sudah tidak dapat lagi melupakan perempuan itu, maka tidak usahlah kau kembali sekalian. Tinggal menetaplah disini ... !). Sungguh seorang yang berkomitmen baja dan tidak mengenal kompromi terhadap penegakan adat. "Siri na PessE ri Lipuu'E Pangadereng" (Martabat dan Solidaritas dalam lingkar adat) adalah harga mati baginya. Tidak dapat ditawar oleh siapapun !.

Maka kembalilah Petta PabbicaraE dengan sesal serta kecewa yang mendalam. Sementara Muhammad Arsyad memilih tinggal di Balik Papan untuk menemani kakaknya dengan alasan hendak menimba pengalaman. Setelah beberapa lama menetap di Balik Papan, kedua saudara itu melanjutkan perantauannya ke Banjarmasin. Mereka menetap di daerah itu sambil menimba ilmu di Pesantren yang didirikan oleh Syeh Albanjari. Hal ini diketahui setelah membaca beberapa buku tasauf tulisan La Wahide', diantaranya : "Sipa' DuappuloE" (Sifat Dua Puluh) yang senantiasa menuliskan do'a dan penghormatan terhadap gurunya, anutan dan pemimpinnya Dunia Akhirat yakni Syekh Muhammad Albanjari.

Tidak ada catatan yang ditemukan penulis tentang waktu dan lamanya La Wahide dan adiknya menuntut ilmu di Tanah Banjar itu, kecuali sedikit informasi tentang sebuah buku tulisan tangan La Wahide yang diperlihatkan oleh Almarhum Pamanda H. Abd. Rauf Pattola. Menurut beliau, bahwa buku itu adalah semacam "skripsi" La Wahide yang menandai selesainya beliau belajar di Pesantren itu. Namun penulis agak meragukan keterangan tersebut, pasalnya buku itu isinya tiada lain merupakan Buku Ilmu Falaq (Falaqiah) atau Sure' Kutika.


Setelah beberapa lama menuntut ilmu di Tanah Banjar, kedua saudara itu melanjutkan pengembaraannya ke DELI (Medan). Namun tidak lama mereka menetap di Pulau Sumatera, La Wahide dan adiknya menuju ke Turki dengan menumpan kapal Belanda. Pada tempat yang baru inilah mereka menetap cukup lama. Keduanya mengikuti sebuah program pendidikan di Universitas Angkara di Kota Angkara, Turki. Setelah menamatkan pendidikan di Perguruan Islam yang masyhur itu, La Wahide memutuskan untuk kembali. Sudah cukup lama ia meninggalkan Belawa. Namun masalahnya, adiknya belum mau meninggalkan Kota Ilmu Pengetahuan itu disebabkan karena ia memutuskan untuk bekerja sambil melanjutkan pendidikannya pada tingkat yang lebih tinggi. Maka dengan berat hati, kembalilah La Wahide ke Tanah Air.

Setibanya di Belawa, maka begitu banyak kesedihan yang menyambut kedatangannya. Ibundanya telah wafat beberapa tahun yang lalu. Sementara Ayahandanya telah renta. Sementara itu, I Buadare' si gadis idamannya selama ini telah dinikahkan oleh keluarganya serta telah melahirkan beberapa anak. Maka sempurnalah sudah kesedihan yang ditelannya dengan getir. Oleh ayahandanya, La Wahide diusulkan untuk dilamarkan pada seorang janda muda beranak satu yang cantik jelita, yakni : I Patinrosi Daeng Sagala (Puteri Petta Pangulu Daeng Paliweng). Maka pemuda yang patah hati itu menurut saja tanpa perlawanan samasekali. Jangankan menikah dengan Janda cantik dari keluarga sesama bangsawan, sedangkan andai disuruh menikahi puteri malaikat maut sekalipun ia mau saja.

Setelah Abdul Razak Daeng Malebbi Petta Pabbicara Belawa Ade' Patappulo Wajo mangkat, maka ditetapkanlah La Wahide Daeng Mamiru selaku pengganti ayahandanya. Sebuah jabatan penting yang pantas disandang olehnya karena mengingat beliau adalah putera Petta PabbicaraE yang mangkat dan Sepupu Dua Kali dengan Datu Bolong Arung Belawa (Andi Patongai). Namun tidak lama jabatan itu diembannya karena struktur dan fungsi lembaga "Ade' Patappulo Tana Wajo" mulai meredup. Maka fungsi Petta Pabbicara tidak begitu banyak lagi, utamanya selaku "Hakim Adat". Tiada lain yang dapat dikerjakannya selain memeriksa dan mengesahkan lembar "Sitambung" (daftar silsilah) untuk selanjutnya diperhadapkan kepada Arung Belawa untuk ditandatangani. Akhirnya pada suatu hari, La Wahide mengenakan kopiah Turki yang berwarna merah mengadakan perjalanan ke Saoraja JampuE (kediaman Arung Belawa) untuk meletakkan jabatannya dengan hormat.

La Wahide Daeng Mamiru yang bukan lagi sebagai Petta Pabbicara Ade' tidak lagi memiliki jabatan apa-apa. Beliau memilih untuk lebih banyak berdiam diri untuk lebih mendekatkan diri pada Allah SWT melalui jalan Tasawuf yang ditekuninya. Kiranya inilah alasan utamanya sehingga meletakkan jabatan Petta Pabbicara. Hari demi hari dilaluinya dengan menulis dan berzikir. Beliau membawa banyak buku-buku berbagai bahasa dari Turki. Sebagaimana dikisahkan oleh ayahanda penulis, bahwa La Wahide yang cendekia itu mampu menguasai beberapa bahasa asing, yaitu : Belanda, Arab, Turki dan Melayu. Selain itu, beliau pula aktif menyalin kembali beberapa Lontara yang menjadi pedoman penting sehingga penulis dapat menulis uraian ini.

Karena ketekunannya meniti jalan "Tasawuf" melalui Thariqah Al Qadiriyah, La Wahide' tidak begitu peduli dengan urusan keduniawian lagi. "Saoraja JalampengngE" yang semestinya menjadi hak warisnya diserahkan bersama sekalian isinya kepada adik perempuannya, yakni : I Londong (Petta Londo). Demikian pula dengan sawah beserta kebun kelapa, dibagi-bagikan kepada adik-adiknya yang lain. Beliau hanya menempati rumah kecil beserta sedikit kebun kelapa yang menjadi sumber penghidupan keluarganya. Maka kesehariannya yang menuntut kehidupan "Sufi" itu menarik perhatian Datu Bolong Arung Belawa. Pada suatu hari, Baginda Arung Belawa bersama Kali Belawa (Kadhi) sendiri yang datang berkunjung ke TippuluE untuk mengukuhkan La Wahide' Daeng Mamiru sebagai "Petta Passongko'E" yang bertugas sebagai "Imam Sholat" jikalau Datu Belawa sendiri kebetulan Sholat berjamaah.

Ketekunannya menulis meninggalkan banyak karya tulis, utamanya tentang peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masanya. Terutama menyangkut pada perjalanan hidupnya sendiri. Diantara catatan-catatannya adalah peristiwa kelahiran anak-anaknya dan mangkatnya isterinya tercinta, sebagaimana dikutip, sebagai berikut :
 1. Uleng najajiangngE ana'ku I TENRI WALE', siwenni ompoona uleng sawwaleng ri essoona jumaa'E tettE' pitu ri ElEE'E, mattengngangngi massempajang alleppereng tauwwE ri Masigi'E. Najaji rilalenna taung Jing 1342, nataddenne' posiina ri essoona sEnEngngE ri arawEngngE tettE pitu jangngE.... (Bulan kelahiran anakku I Tenri Wale', semalam setelah terbitnya bulan Syawal pada hari jum'at jam 7.00 pagi persis ketika sholat Iedul Fitri di mesjid. Lahir pada tahun Jin 1342 Hijriah, jatuh pusarnya pada hari senin sore jam 19.00 ..?.)  2. NalElE ri PammasEEna Puang Allahu Ta'ala, ana'ku I Tenri Wale', 27 ompoona uleng sulehajji taung 1344 ri essoona sattungngE taun Ba... (telah berpulang ke Rahmatullah anakku I Tenri Wale', 27 Dzulhijjah 1344 pada hari sabtu tahun Ba...) 3. Najaji ana'ku I TANGKUNG, 26 ompoona saapareng essona salasaE tettE' 6 jangngE rilalengna taung Ba 1345 H/1925 M, nataddenne' posiina riessoona jumaa'E ri arawEngngE.. (lahir anakku I Tangkung, 26 Safar hari selasa jam 6.00 pada tahun Ba 1345 H/1925 M, jatuh pusarnya pada hari jum'at sore...) 4. 14 ompoona ramalang najaji ana'ku LA TENRI SESSU' (La Mappasessu') tettE' 1.00 jangngE rilalengna taung 1347 H/1928 M nataddenne' posiina riessoona jumma'E ri ElEE'E tettE' 8 jangngE... (14 Ramadlan telah lahir anakku La Tenri Sessu' (La Mappasessu') jam 1.00 pada tahun 1347 H/1925 M, jatuh pusarnya pada hari jum'at pagi jam 8.00...) 5. 16 ompoona uleng saapareng rilalengna taung JING najaji ana'ku I REMMANG, tettE' 4.00 jangngE ri arawEngngE rilalengna taung 1930, nataddenne' posiina ri essoona arabaa'E .. (16 Safar dalam tahun JING telah lahir anakku I Remmang, jam 4.00 sore dalam tahun  1930, jatuh pusarnya pada hari rabu ..) 6. Tellumpenni ompoona JumadilahEreng 1932 (01 Oktober 1932) najaji ana'ku LA PANGURISENG (ayahanda PENULIS) riwenninna aha'E ri subuE tettE 6 00 jangngE ri ElEE'E nataddenne'posiina ri essoona arabaa'E ri arawEngngE.. (3 malam terbitnya bulan jumadilakhir 1932 (01 Oktober 1932) telah lahir anakku La Panguriseng (Ayahanda PENULIS) pada malam ahad subuh jam 6.00 pagi, jatuh pusarnya pada hari rabu sore ..) 7. Tanggal 5 Pebruari 1935 rilalengna taung JING najaji ana'ku LA PATAU' ri essoona salasaE tettE' 2.00 jangngE ri loroE. Duampenni ompoona uleng suleka'idah hijerraana Nabitta 1353, nataddenne' posiina ri wenninna sattungngE .. (Tanggal 5 Pebruari 1935 dalam tahun JING telah lahir anakku La Patau' pada hari selasa jam 2.00 dluhur. Dua malam terbitnya bulan Dzulkaidah Hijrahnya nabi ke-1353, jatuh pusarnya pada malam sabtu ..)
8. 23 ompoona uleng saapareng nalElE ri pammasEEna Puang Allahu Ta'ala I PATINROSI DAENG SAGALA ri essona Arabaa'E 1937.. (23 Safar dalam tahun JING telah berpulang ke Rahmatullah, I PATINROSI DAENG SAGALA pada hari rabu 1937 ..)

Akhirnya pada hari jum'at dalam tahun 1953, ketika pembaca khutbah Jum'at telah naik di mimbar, La Wahide Daeng Mamiru Pabbicara TippuluE menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan tenang. Akhir hidup seorang penulis dan pengembara yang justru ironisnya, anak-anaknya lupa menuliskan tanggal dan hari wafatnya. Sepeninggalnya, maka tidak ada lagi seorang Petta Pabbicara Ade' yang dilantik di Belawa... Wallahualam bissawab...


           

(bersambung ke Part 12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar