Inilah kisah yang kudengar berulang-ulang dari penuturan Ayahanda. Sebuah kisah yang sempat kuanggap "lucu" semasa kecilku, namun kini kuanggap sebuah "ironi" dimasaku sekarang ini.
.............................................................................................................................
Syahdan pada suatu hari... entah kapan dan dimana kejadiannya, penulis sudah lupa. Yang jelas, kejadiannya pada sebuah acara Perayaan HUT RI yang entah keberapa, akupun tak tahu. Pak Camat (entah Camat siapa) sedang melakoni pidatonya dengan berapi-api, setelah membacakan sambutan Pak Bupati. " Sungguh, Penjajahan Belanda terhadap Bangsa kita benar-benar sebuah kejahatan Sejarah ! ...", serunya garang di tengah terik matahari. Sementara peserta upacara yang berdiri di lapangan mendengarkan dengan seksama sambil sekali-kali mengusap peluhnya yang bercucuran. Salah seorang peserta upacara mengangguk-angguk dengan mulut komat-kamit, entah "membenarkan" ataukah "bermunajah".. Berdo'a agar Pak Camat terserang penyakit diare agar secepatnya menutup pidatonya.
" Saudara - saudara se-Bangsa dan Se-Tanah Air. Penjajahan Belanda benar-benar meninggalkan goresan derita yang tak terlupakan pada kita semua. Mereka merampok dan menjarah harta kekayaan negeri kita. Hasil bumi kita diangkutnya ke Negeri mereka nun jauh disana, sementara Rakyat Indonesia kelaparan di Negerinya sendiri...", sungguh Bapak Camat yang satu ini benar-benar seorang orator yang piawai. Pada deretan terdepan dibawah tenda kehormatan, seorang tua renta mendengarkan sambil mangut-mangut dan menyahut. "Toongeng ...Tongeng Ladde' ! (benar.. benar sekali !).
Melihat sambutan pendengar begitu antusiasnya, maka sedikit mengabaikan Tata Upacara Sipil Pak Camat meninggalkan podium, mendekati orang tua tersebut. " Saudara-saudara, inilah salah seorang Pelaku Sejarah yang menjadi saksi hidup kekejaman penjajahan Belanda terhadap Bangsa kita..", katanya sambil menunjuk Orang Tua itu. " Nah, Bapak yang terhormat. Kiranya bersedia untuk menyampaikan sepatah dua kata yang dapat menggugah semangat patriotisme anak-anak kita yang lahir di alam kemerdekaan ini..", kata Pak Camat sambil menyodorkan Microphone.
Maka dengan terpaksa, orang tua itu berdiri seraya menerima Microphone dari Pak Camat. " Anak-anakku, apa yang dikatakan Pak Camat tadi adalah benar adanya. Beliau mengingatkan kembali bagaimana pedihnya sebagai rakyat suatu Bangsa dalam cengkeraman penjajahan. Saya sangat sedih mengingatnya kembali.. Bahwa Penjajah Belanda itu menguras dan merampok hasil bumi negeri kita, itu adalah sangat menyedihkan bagi kita semua. Tetapi... percayalah, jika kita bersungguh-sungguh mengolah kembali kekayaan Negeri kita saat ini, maka kini kitapun dapat menikmatinya. Karena apapun dan bagaimanapun, hasil bumi yang mereka rampok itu hanyalah segelintir buah saja, tetapi pohon dan tanahnya tidaklah mereka angkut ke negerinya. Namun yang paling menyedihkan bagiku, adalah : Nalai tongeng-tongengngE, nasEsai cEko-cEkona. Mereka mengangkut nilai kebenaran dan kejujuran anak negeri ini ke negerinya, sementara mereka meninggalkan sifat licik, tamak, bakhil dan curangnya di Negeri kita... Celakanya lagi, sifat-sifat buruk itu "mewabah" hingga beranak pinak diantara kita.....
.........................................................................................................................
Kadang-kadang kisah itu membuatku merenung hingga waktu melewati bayanganku tanpa terasa. Aku berkaca pada cermin tua yang berdebu hingga aku tak bisa membedakan, mana debu dan yang mana wajahku...
Terbayang seraut wajah tua berhias keriput jaman yang telah lewat. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam, seraya mengepulkan asapnya ke udara dengan resah. Suara seraknya menceritakan tentang masa lalu dan masa kini. Masa penjajahan yang serba kusam, namun penegakan supremasi hukum kadang terasa lebih bersahabat dengan alam.. "dulu..duuuluu sekali. Tiap hari pasar, Opasa'E (opas) senantiasa memeriksa jaring atau jala yang diperjual belikan. Mereka membawa alat ukur untuk memeriksa "mata" jaring. Jika mata jaring tersebut terlalu kecil, niscaya penjualnya di denda atau bahkan di hukum kurungan", kisahnya dengan pandangan mata yang menerawang jauh entah kemana. " memangnya kenapa jika terlalu kecil ?", tanyaku dengan penasaran. Pak Tua mendesah sambil mengisap rokoknya dalam-dalam, "tujuannya agar para nelayan tidak menangkapi ikan-ikan yang masih kecil.. kalau tidak, ikan-ikan itu akan punah.".
Lalu bagaimana dengan sekarang ?. Lihatlah tanahku di Belawa. Sebagian tokohnya malah mengakui jika sebagian danau tempe adalah miliknya. Sebagian yang lain ramai-ramai mempelopori penangkapan ikan dengan memakai tuba. Sementara yang lainnya lagi, memanggul ransel aki (accu) untuk menyetrum ikan-ikan. Tetapi yang paling "mengesankan", perhelatan itu disaksikan oleh aparat penegak hukum.
Aku takkan berkata jika masa ini adalah "jaman edan". Itu kata Ranggawarsita dalam Jayabaya-nya. Namun yang kulihat kini, tetanggaku bangga dengan puteranya yang memiliki mobil mewah hasil korupsi. Sementara tetanggaku yang lain merasa malu karena puteranya yang sarjana "kembali kampung" menjadi petani yang jujur.... Wallahualam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar