Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Senin, 30 Juli 2012


SANG RAJA DENGAN MARTABATNYA

Panto’ Layara, demikian para nelayan di Tanjung Bira menyebutnya. Sementara itu, di belahan dunia lain menyebutnya dengan nama berbeda. BalE Toppa’, sebutan dari orang Parepare atau Sailfish, kata para bangsa yang berbahasa Inggris. Namun apapun namanya, masyarakat bahari di samudera manapun ia berada menganggapnya sebagai “Raja Ikan”. Perenang tercepat dimuka bumi yang konon mampu mencapai 84 mil/jam. Prestise tertinggi bagi pe-Mancing Mania yang berhasil menariknya ke dek perahu.

………………………………………………………………………………………………….

Sebuah pengalaman kecil ketika bermukim di Tanjung Bira dalam tahun 1999. Terdorong rasa ingin tahu perihal pengalaman “Pallanra” (penjaring), pada suatu malam saya meminta ikut menjaring pada Pak Ara, seorang nelayan di Panrang Luhu. Walhasil, saya pun ikut menurunkan jaring selebar ± 3 depa dengan sepanjang ± ½ mil. Sambil menunggu saat menarik jaring, kami membuang sauh di pinggir cerukan batu di pantai. Tidak lama menunggu, tiba-tiba “blaaarr !!”, saya dikejutkan dengan kecipak air disusul letupan permukaan air yang agaknya terpukul keras !. Pastilah itu letupan dari pukulan ekor ikan yang pastinya berukuran cukup besar, pikirku.

“Ha ha.. muppamaki’ sE’rE panto’ layara !”, seru Pak Ara kegirangan.

“Ikan apakah itu, pak ?”, tanyaku penasaran

“Ikan Marlin, KaraEngna Juku’ka…”  

Maka pelan-pelan, kami menarik bentangan jarring dengan hati-hati. Berbagai macam ikan yang didapat, namun perhatianku tertuju pada ikan Panto’ Layara yang disebut sebagai Rajanya Ikan itu. Saya bayangkan jika nanti kami akan bergumul untuk menaikkannya di perahu yang tidak seberapa besar itu. Namun ternyata, dugaanku itu keliru. Raja Ikan yang memang nampak anggung itu ternyata sudah mengambang dalam keadaan mati.

“Koq sedemikian cepat matinya, pak ?!”, sergahku agak kecewa.

“Memang begitu halnya dengan ikan-ikan Panto’ yang terkena jaring. Berbeda halnya kalau terkena pancing, ia akan melawan dengan gigih hingga nafas terakhirnya. Namun kalau terbelit jaring, ia melompat satu kali, lalu mati dengan cepat. Rupanya ia terkena serangan jantung..”, terang Pak Ara sambil mengisap lintingan tembakaunya.

“Duh, mahluk yang bermartabat tinggi..”, pikirku seketika itu. Ketika kemerdekaannya terbelenggu, ia berusaha membebaskan diri dengan segenap daya terakhirnya. Namun ketika dirasanya tiada harapan karena dibelit erat oleh jaring yang digulungnya sendiri, ia segera melepaskan jiwanya dengan tanpa ragu. “Kalian takkan menyentuhku dalam keadaan bernyawa !”, kira-kira demikian pekik terakhirnya.

Wahai, inikah wujud “matanrE siri “ (martabat tinggi) ?. Kearifan leluhur Sulawesi Selatan dan Barat senantiasa menanamkannya bagi generasi pelanjutnya. Namun sesuatu yang agaknya disadari dengan pahit jika telah tergerus oleh budaya kekinian. Nilai yang standard pemaknaannya, semakin menurun dari waktu ke waktu.



Wallahualam Bissawab..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar