SANG RAJA DENGAN
MARTABATNYA
Panto’ Layara, demikian para nelayan di Tanjung Bira
menyebutnya. Sementara itu, di belahan dunia lain menyebutnya dengan nama
berbeda. BalE Toppa’, sebutan dari orang Parepare atau Sailfish, kata para
bangsa yang berbahasa Inggris. Namun apapun namanya, masyarakat bahari di
samudera manapun ia berada menganggapnya sebagai “Raja Ikan”. Perenang tercepat
dimuka bumi yang konon mampu mencapai 84 mil/jam. Prestise tertinggi bagi pe-Mancing
Mania yang berhasil menariknya ke dek perahu.
………………………………………………………………………………………………….
Sebuah pengalaman kecil ketika bermukim di Tanjung Bira
dalam tahun 1999. Terdorong rasa ingin tahu perihal pengalaman “Pallanra”
(penjaring), pada suatu malam saya meminta ikut menjaring pada Pak Ara, seorang
nelayan di Panrang Luhu. Walhasil, saya pun ikut menurunkan jaring selebar ± 3
depa dengan sepanjang ± ½ mil. Sambil menunggu saat menarik jaring, kami membuang sauh
di pinggir cerukan batu di pantai. Tidak lama menunggu, tiba-tiba “blaaarr !!”,
saya dikejutkan dengan kecipak air disusul letupan permukaan air yang agaknya
terpukul keras !. Pastilah itu letupan dari pukulan ekor ikan yang pastinya
berukuran cukup besar, pikirku.
“Ha ha.. muppamaki’ sE’rE panto’ layara !”, seru Pak Ara
kegirangan.
“Ikan apakah itu, pak ?”, tanyaku penasaran
“Ikan Marlin, KaraEngna Juku’ka…”
Maka pelan-pelan, kami menarik bentangan jarring dengan
hati-hati. Berbagai macam ikan yang didapat, namun perhatianku tertuju pada
ikan Panto’ Layara yang disebut sebagai Rajanya Ikan itu. Saya bayangkan jika
nanti kami akan bergumul untuk menaikkannya di perahu yang tidak seberapa besar
itu. Namun ternyata, dugaanku itu keliru. Raja Ikan yang memang nampak anggung
itu ternyata sudah mengambang dalam keadaan mati.
“Koq sedemikian cepat matinya, pak ?!”, sergahku agak
kecewa.
“Memang begitu halnya dengan ikan-ikan Panto’ yang terkena jaring.
Berbeda halnya kalau terkena pancing, ia akan melawan dengan gigih hingga nafas
terakhirnya. Namun kalau terbelit jaring, ia melompat satu kali, lalu mati
dengan cepat. Rupanya ia terkena serangan jantung..”, terang Pak Ara sambil
mengisap lintingan tembakaunya.
“Duh, mahluk yang bermartabat tinggi..”, pikirku seketika
itu. Ketika kemerdekaannya terbelenggu, ia berusaha membebaskan diri dengan
segenap daya terakhirnya. Namun ketika dirasanya tiada harapan karena dibelit
erat oleh jaring yang digulungnya sendiri, ia segera melepaskan jiwanya dengan
tanpa ragu. “Kalian takkan menyentuhku dalam keadaan bernyawa !”, kira-kira
demikian pekik terakhirnya.
Wahai, inikah wujud “matanrE siri “ (martabat tinggi) ?. Kearifan
leluhur Sulawesi Selatan dan Barat senantiasa menanamkannya bagi generasi
pelanjutnya. Namun sesuatu yang agaknya disadari dengan pahit jika telah
tergerus oleh budaya kekinian. Nilai yang standard pemaknaannya, semakin
menurun dari waktu ke waktu.
Wallahualam Bissawab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar