Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Sabtu, 28 Juli 2012


LIMA TUNAS KEBAIKAN DAN KELIMA PENYAKITNYA



Makkedai La Baso, : Aga gau’ tennaddimunringi sesse’kalE ?

Makkedai TomaccaE ri Luwu, : Limampuengengngi tennaddimunrinna sesse’ kale. Mula-mulanna ; NawanawaE. Maduanna ; Tangnga’E. Matellunna ; PangilEwE. Maeppana ; Siri’E. Malimana ; Tike’E.



Naiyya sampoengengngi nawanawaE ; AtakkalupangngE

Naiyya sampoengengngi tangnga’E ; AmasairengngE

Naiyya sampoengengngi angilEngngE ; AtempongengngE

Naiyya sampoengengngi siri’E ; AngowangengngE

Naiyya sampoengengngi tike’E ; Capa’E



Terjemahan :



Berkatalah La Baso, : Perbuatan apakah kiranya yang tidak berakhir dengan penyesalan ?

Berkatalah TomaccaE ri Luwu, : Lima perbuatan yang tidak berakhir dengan penyesalan. Pertama ; Pemikiran yang panjang. Kedua ; Pertimbangan yang matang. Ketiga ; Menyiapkan pilihan alternative. Keempat ; Memprioritaskan azas martabat. Kelima ; Senantiasa berhati-hati (waspada).



Adapun yang menutupi pemikiran ; Kelalaian

Adapun yang menutupi pertimbangan ; Amarah

Adapun yang menutupi alternative ; Kepongahan

Adapun yang menutupi martabat ; Keserakahan

Adapun yang menutupi kewaspadaan ; Sikap memandang enteng.



………………………………………………………………………………………………….





Allahumma inniy dloii’fun.. (Ya Allah, sesungguhnya hamba-Mu ini lemah..), demikian terkadang rintihan abdi ini. Namun sesungguhnya pengakuan itu tiada lain, adalah : Mannoko Ata-Ata (ngedumel abdi) belaka. Mulut bersyair merendah, namun hati bersyair pongah menyanjung diri tiada henti.



Wahai, apakah itu “Mannoko Ata-Ata”, ayah ?, tanya putera bungsuku suatu ketika. Bagaikan abdi yang mengerjakan perintah tuannya dengan berat hati. Ia melakukannya dengan malas-malasan seraya mulut berceloteh penuh keluhan, namun dikerjakannya jua. Inilah orang yang paling menderita selama hidupnya. Memandang amanat sebagai “penjajahan”, bukannya sebagai suatu kehormatan. Maka jadilah “Arung” selama hidupmu, anakku.



Bagaimana halnya “Arung” (bangsawan) itu, ayahku ?, tanyanya kemudian. Ia adalah “pertuanan” atas kehendak nuraninya. Ia tidaklah mesti seorang Bos atau Pejabat Tinggi dalam lingkup profesinya. Namun ia senantiasa memandang segala tugas yang dilimpahkan kepadanya sebagai suatu kehormatan. Sekecil apapun fungsinya dan serendah apapun jabatannya, ia memandangnya sebagai suatu anugerah dari Yang Maha Kuasa, muara rasa syukurnya. Maka kesehariannya senantiasa berlimpah kehormatan yang senantiasa dijaganya dengan melaksanakannya melalui ikhtiar terbaiknya. Sungguh, seseorang tidaklah mungkin mendapatkan penghargaan atau kehormatan dari orang lain, sebelum ia mampu menghargai dirinya sendiri.



Penghargaan atas diri sebagai amanat Tuhan, maka ia memberdayakan “nawa-nawanna” (pemikiran logisnya) sebelum berbuat. Bagaimana melakukannya dengan cara sebaik-baiknya ?. Maka sungguh ia adalah professional. Kemudian menggunakan “tangnga” (pertimbangan) sesuai nalar dan akal sehatnya. Bagaimanakah nanti hasil atau akibatnya ?, maka ia sesungguhnya adalah arif menurut standard kepribadiannya. Seorang yang arif mestilah tidak mudah dikuasai nafsu amarah yang kerap menutupi nalarnya.



Memenuhi pertimbangan nalarnya, iapun memperhitungkan akibat dan solusi lain sekiranya perkiraannya tidak sesuai dengan harapannya. Maka ia adalah orang yang lapang jiwa, luas tak bertepi. Suatu pribadi yang tidak dirasuki kesombongan sehingga menemukan jalan “penyerahan” terhadap penguasa dirinya, yakni : Allah Subhanahu Wata’ala. Duhai, hamba hanyalah pelaku atas fitrah yang Kau anugerahkan, namun Engkaulah penentu pada akhirnya, demikian senandung hatinya selalu.



“Malempu na mapaccing bate lalengna..” (Lurus dan bersih setapak yang dilaluinya), berkat hakikat martabat ikhtiarnya. Rasa syukurnya terhadap se-bagaimana-pun dirinya kini, tidak menyisakan ruang untuk memiliki sesuatu yang bukan miliknya. Iapun menyenangi segala kecukupan, namun tidaklah tamat terhadap hal yang berlebih.



Apakah ia mutlak memakai gelar “Arung” didepan namanya, Ayah ?, celetuk puteraku lagi. Duhai, anakku. “Arung” (bangsawan) yang sesungguhnya adalah bagi yang mampu membebaskan dirinya dari ke-lima “tungkup” diatas. Ia adalah orang yang mawas diri (matike’) pada setiap tarikan nafas kehidupannya. Maka baginya, ia adalah Pertuanan Yang Sejati sebagaimana dijanjikan Allah padanya, yakni : Khalifah dimuka bumi, dimanapun ia berada.



Wallahualam Bissawab..







  


1 komentar: