LIMA TUNAS KEBAIKAN DAN KELIMA PENYAKITNYA
Makkedai La Baso, : Aga gau’ tennaddimunringi sesse’kalE ?
Makkedai TomaccaE ri Luwu, : Limampuengengngi tennaddimunrinna sesse’ kale.
Mula-mulanna ; NawanawaE. Maduanna ; Tangnga’E. Matellunna ; PangilEwE.
Maeppana ; Siri’E. Malimana ; Tike’E.
Naiyya sampoengengngi nawanawaE ; AtakkalupangngE
Naiyya sampoengengngi tangnga’E ; AmasairengngE
Naiyya sampoengengngi angilEngngE ; AtempongengngE
Naiyya sampoengengngi siri’E ; AngowangengngE
Naiyya sampoengengngi tike’E ; Capa’E
Terjemahan :
Berkatalah La Baso, : Perbuatan apakah kiranya yang tidak berakhir
dengan penyesalan ?
Berkatalah TomaccaE ri Luwu, : Lima perbuatan yang tidak berakhir
dengan penyesalan. Pertama ; Pemikiran yang panjang. Kedua ; Pertimbangan yang
matang. Ketiga ; Menyiapkan pilihan alternative. Keempat ; Memprioritaskan azas
martabat. Kelima ; Senantiasa berhati-hati (waspada).
Adapun yang menutupi pemikiran ; Kelalaian
Adapun yang menutupi pertimbangan ; Amarah
Adapun yang menutupi alternative ; Kepongahan
Adapun yang menutupi martabat ; Keserakahan
Adapun yang menutupi kewaspadaan ; Sikap memandang enteng.
………………………………………………………………………………………………….
Allahumma inniy dloii’fun.. (Ya Allah, sesungguhnya hamba-Mu ini
lemah..), demikian terkadang rintihan abdi ini. Namun sesungguhnya pengakuan
itu tiada lain, adalah : Mannoko Ata-Ata (ngedumel abdi) belaka. Mulut bersyair
merendah, namun hati bersyair pongah menyanjung diri tiada henti.
Wahai, apakah itu “Mannoko Ata-Ata”, ayah ?, tanya putera bungsuku
suatu ketika. Bagaikan abdi yang mengerjakan perintah tuannya dengan berat
hati. Ia melakukannya dengan malas-malasan seraya mulut berceloteh penuh
keluhan, namun dikerjakannya jua. Inilah orang yang paling menderita selama
hidupnya. Memandang amanat sebagai “penjajahan”, bukannya sebagai suatu
kehormatan. Maka jadilah “Arung” selama hidupmu, anakku.
Bagaimana halnya “Arung” (bangsawan) itu, ayahku ?, tanyanya kemudian.
Ia adalah “pertuanan” atas kehendak nuraninya. Ia tidaklah mesti seorang Bos
atau Pejabat Tinggi dalam lingkup profesinya. Namun ia senantiasa memandang
segala tugas yang dilimpahkan kepadanya sebagai suatu kehormatan. Sekecil
apapun fungsinya dan serendah apapun jabatannya, ia memandangnya sebagai suatu
anugerah dari Yang Maha Kuasa, muara rasa syukurnya. Maka kesehariannya
senantiasa berlimpah kehormatan yang senantiasa dijaganya dengan
melaksanakannya melalui ikhtiar terbaiknya. Sungguh, seseorang tidaklah mungkin
mendapatkan penghargaan atau kehormatan dari orang lain, sebelum ia mampu
menghargai dirinya sendiri.
Penghargaan atas diri sebagai amanat Tuhan, maka ia memberdayakan “nawa-nawanna”
(pemikiran logisnya) sebelum berbuat. Bagaimana melakukannya dengan cara
sebaik-baiknya ?. Maka sungguh ia adalah professional. Kemudian menggunakan “tangnga”
(pertimbangan) sesuai nalar dan akal sehatnya. Bagaimanakah nanti hasil atau
akibatnya ?, maka ia sesungguhnya adalah arif menurut standard kepribadiannya.
Seorang yang arif mestilah tidak mudah dikuasai nafsu amarah yang kerap
menutupi nalarnya.
Memenuhi pertimbangan nalarnya, iapun memperhitungkan akibat dan solusi
lain sekiranya perkiraannya tidak sesuai dengan harapannya. Maka ia adalah
orang yang lapang jiwa, luas tak bertepi. Suatu pribadi yang tidak dirasuki
kesombongan sehingga menemukan jalan “penyerahan” terhadap penguasa dirinya,
yakni : Allah Subhanahu Wata’ala. Duhai, hamba hanyalah pelaku atas fitrah yang
Kau anugerahkan, namun Engkaulah penentu pada akhirnya, demikian senandung
hatinya selalu.
“Malempu na mapaccing bate lalengna..” (Lurus dan bersih setapak yang
dilaluinya), berkat hakikat martabat ikhtiarnya. Rasa syukurnya terhadap
se-bagaimana-pun dirinya kini, tidak menyisakan ruang untuk memiliki sesuatu
yang bukan miliknya. Iapun menyenangi segala kecukupan, namun tidaklah tamat
terhadap hal yang berlebih.
Apakah ia mutlak memakai gelar “Arung” didepan namanya, Ayah ?, celetuk
puteraku lagi. Duhai, anakku. “Arung” (bangsawan) yang sesungguhnya adalah bagi
yang mampu membebaskan dirinya dari ke-lima “tungkup” diatas. Ia adalah orang
yang mawas diri (matike’) pada setiap tarikan nafas kehidupannya. Maka baginya,
ia adalah Pertuanan Yang Sejati sebagaimana dijanjikan Allah padanya, yakni :
Khalifah dimuka bumi, dimanapun ia berada.
Wallahualam Bissawab..
baguus broo, lanjutin semnagat juang dari ayahandata' ..
BalasHapus