Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Kamis, 05 Juli 2012

PENGENALAN AWAL


Tania simata alebbireng usappa namaraja pakkutanaku lao ri ammEmengeng paddioloku, saba'i minasa pappEjeppu lao ri pangissengeng matti' ri mangoloE, uwaccaming ri marioloE. Aggaatii laona camming reppa', upulung tassEddi-sEddi inappa upije' saro masE, sarEkkoammengngi simata weddingngi riala rapang..

Bukannya semata kemuliaan yang kucari sehingga besar nian pertanyaanku perihal sejarah asal muasalku, hanya karena tekad untuk mengetahui perihal masa depan, maka kuberkaca pada masa lalu. Ibarat cermin yang telah pecah berhamburan, kukumpulkan satu demi satu lalu kurekat dengan semangat ketulusan, semoga kiranya dapat dijadikan pengandaian..

………………………………………………………………………………………………………………

Tiada lain yang selalu mengganggu benak bocah lelaki itu, selain perasaan “di-diskriminasi” yang kadang ditanggungnya. Sebagaimana halnya dengan anak-anak kampung lainnya, iapun menjalani kesehariannya dengan bermain dari siang pulang sekolah hingga jelang magrib. Namun hari-hari penuh warna ceria itu menjadi suram ketika tidak diikutkannya  pada beberapa macam permainan. Teman-teman sebayanya tidak mau mengikutkannya pada permainan makkaddaro dan sillanca. Maka jadilah ia penonton yang terkucil.

Makkaddaro adalah permainan rakyat yang menggunakan tempurung kelapa sebagai alat utamanya. Biasanya permainan ketangkasan ini dilakukan secara beregu. Pada setiap babak, regu pemenang menikmati kemenangannya dengan "irEngE'"(digendong punggung)  seputar lapangan oleh regu yang kalah. Permainan yang sungguh menyenangkan. Namun  apa  senangnya jika tidak dibolehkan ikut bermain ?, rungutnya panjang pendek ketika itu.

Adapun halnya dengan Sillanca, sesungguhnya adalah permainan remaja hingga dewasa, namun anak-anak kampung itu seringkali diam-diam bermain dihamparan pasir sungai KarajaE. Para pemainnya bergantian saling hantam belakang betis dengan menggunakan tulang kering selama beberapakali, tergantung dengan kesepakatan. Maka yang dapat bertahan berdiri hingga akhir, dianggap sebagai pemenang. Bagaimanapun jadinya, menang atau kalah sama saja hasilnya. Betis bagian belakang memar membiru atau bahkan bengkak. Namun dasar bocah, mereka tetap bercanda riuh seraya merendam kaki mereka pada air sungai yang sejuk.

Setiapkali minta ikut bermain, setiapkali itu pula teman-temannya kompak menolaknya. "Nacairika' matu' indo'ku !" (nanti aku dimarahi ibuku !) atau "Matauka' akko Puang !" (saya takut sama Puang !), demikian antara lain alasan teman-temannya jika ia bersikeras memaksa. Maka apa boleh buat, alasan terakhir itu membuatnya mundur teratur, walau dengan omelan panjang pendek karena merasa diperlakukan tidak adil. Bukan apa-apa, orang yang disebut Puang yang ditakuti teman-temannya adalah ayahnya sendiri.

"Kenapa saya tidak boleh ikut Makkaddaro dan Sillanca dengan mereka, Etta Indo' ?" 1), tanyanya ketika jelang tidur pada ibundanya. "Mereka khawatir jika kau cedera, .. karena mereka menyayangimu sebagai adik mereka, anakku", sahut sang bunda sambil membelai rambut putera bungsunya itu hingga tertidur. Keterangan ibundanya itu terpatri cukup lama dalam pikiran polosnya. Bahwa ia adalah anak paling muda dalam kampung itu, buktinya semua orang kecuali kedua orang tuanya serta para paman dan bibinya menyebutnya "Andi" didepan namanya.

Dunia anak bersama alam pemikirannya yang polos, menganggap bahwa rupanya Tuhan sudah mentakdirkannya demikian. Ayahbundanya serta sebagian besar keluarganya yang lain juga disebut pula “Andi” didepan namanya. Bahwa mereka adalah keluarga "termuda" dalam kampung itu, maka untuk sementara ia menerima nasibnya yang "tidak beruntung" tersebut. Namun sikap "mapparimeng" (tawakkal) itu agaknya tidak bertahan lama. Pada suatu hari, ia bertanya kepada ayahandanya. "Etta 2), apa sebabnya kita dianggap keluarga termuda dalam kampung ini ? Padahal banyak juga keluarga lain yang agaknya lebih muda dari kita..".

Maka berkisahlah sang ayahanda tentang seorang anak lelaki yang muncul tiba-tiba dalam suatu kampung. "..maniipii oliina, paita mabbaja' ure'-ure' marenni'na, mapEca'toni jukuuna, malemma lappa-lappa bukunna, tennaullE patettong alEEna.." (..kulitnya tipis, nampak terbayang urat-urat kecilnya, lembek pula dagingnya, lemah tulang belulangnya, sehingga iapun tidak mampu berdiri sendiri).

Namun dibalik raga yang lemah itu, mengeram sebuah jiwa yang besar, sebongkah hati yang bersih dan pemikiran yang cerdas. Keutamaan rohani itu jelas terpancar pada tatapan matanya yang lembut dan bercahaya pada raut wajahnya yang berparas manis. Setiap orang yang memandangnya senantiasa terpikat dan tunduk oleh pancaran keagungan kepribadiannya. Iapun piawai berkata-kata dengan kalimat yang teratur dan senantiasa mengucapkan sesuatu yang baik. Kemudian pemikirannya yang cerdas seringkali mengeluarkan ide-ide cemerlang untuk kemaslahatan hidup masyarakat kampung itu. Maka ia dipandang sebagai mustika, anugerah Dewata SeuwwaE (Dewata Yang Tunggal) bagi kampung mereka. "..riyasengni Ulawu Tau, ulawunna pabbanuaE.." (..disebutlah ia sebagai Manusia Mustika, ..mustika masyarakat), kisah sang ayah.

Sejak kemunculan anak lelaki yang dipandang ajaib itu, maka masyarakat kampung kecil itu menjadi sejahtera. Berkat petunjuk-petunjuknya yang bijaksana, hasil panen pertanian di kampung itu senantiasa berlimpah. Pepohonan di kebun berbuah lebat dan ikan-ikan disungai juga semakin banyak. Mengetahui perihal penghidupan yang sejahtera itu, maka banyaklah orang yang pindah bermukim di kampung itu. Hingga kian hari semakin ramai dan tumbuh berkembang menjadi suatu kerajaan yang diberi nama : Lonra. Anak lelaki yang dinamai sebagai Ulawu Tau itu diangkat sebagai Raja yang selanjutnya disebut Datu Lonra.

"Etta, bagaimana seorang yang bertubuh lemah mampu menjadi Raja ?", sergah si bocah penasaran. "Uh.. berdiri aja tidak becus, apalagi jika makkaddaro dan sillanca ? Apa sih hebatnya ?!", pikirnya dalam hati. Ayahnya tersenyum maklum dengan ide-ide polos dalam imajinasi  putera bungsunya, seraya menutup kisahnya dengan simpulan penuh kesan. "Tubuhnya memang lemah tak berdaya, namun tabiat prilakunya sungguh mumpuni, maka ia dipandang mulia. Ia pula dipandang sakti karena segala petunjuknya perihal sesuatu yang belum terjadi senantiasa benar-benar terjadi kemudian..", terangnya. Maka ia amat dihormati sekaligus dicintai oleh segenap rakyatnya. Kemanapun ia hendak bepergian, selalu diusung diatas "bEmbEngeng" (tandu khusus raja) dengan dipikul oleh 4 orang. Segala keperluan hidupnya dilayani dengan tulus seperti disuapi bila makan, dimandikan bila mandi dan bahkan jika tidurpun ia dijaga. "Ulawu Tau itupun tumbuh dewasa dan beranakcucu hingga menurunkan kita sekalian, nak..", terang ayahnya seraya menutup kisahnya.

"Oh.. barulah saya mengerti, Etta. Pantaslah saya tidak dibolehkan bermain Makkaddaro karena dikhawatirkan kalau tulang punggungku patah jika memanggul teman-teman, apa benar demikian, Etta ?", tanya Si Bocah dengan raut wajah cerah. "Iya, agaknya memang demikian..", sahut ayahnya. "Begitupula dengan Sillanca, Etta ?", tanyanya lagi. "IyyE', anakku..", timpal ayahnya pula. Maka misteri larangan Makkaddaro, Sillanca dan Turunan Andi kini terpecahkan dalam benak bocah itu. Kasihan moyangku, terlahir dengan cacat tubuh yang lemah sehingga bahkan berdiripun harus dipapah, demikian pikirnya selalu.

Sejak mendengar tutur sejarah "Ulawu Tau", ia senantiasa haus dengan segala hal tentang orang-orang dan kehidupannya dimasa lalu. Carita Iyaccaritang (cerita yang diceritakan), itulah kegemarannya. "Adakah nenek moyang kita yang lain bertubuh kuat perkasa, Etta ?", tanyanya pada suatu ketika. Rupanya ia tidak puas dengan profil Sang Ulawu Tau yang menurutnya sangat menyedihkan. "Tentu saja masih banyak yang lainnya, anakku..", sambut ayahnya.

Maka berkisahlah ia tentang ManurungngE La Sampuraga, pemuda sakti yang adalah salahsatu tokoh utama dalam kisah "CEnrana Maddara Tau" (Cendana Berdarah Manusia). Alur kisah dan plotnya yang mirip dengan Jaka Tarub dan 7 Bidadari di Jawa Timur begitu mendayu-dayu dan sarat hikmah. Legenda yang menyayat hati dipenghujung ceritanya tentang duka tak berujung  tokoh La Sampuraga yang ditinggal pergi Sang Bidadari We Bussa, isterinya tercinta.  Menjalani hidup merana dihimpit duka lara sambil merawat dan  membesarkan We Dalauleng, puterinya terkasih. Satu-satunya alasan baginya untuk bertahan melanjutkan hidup hingga akhirnya, raganya-pun raib pula menuju petualangan dunia lain untuk menemui isterinya di Botinglangi (khayangan).

“ Sepeninggal ayahnya, We Dalauleng  yang berdarah putih bagai getah pohon "takku" itu ditakdirkan kelak menebarkan para keturunannya di bumi Sulawesi, termasuk diantaranya kita sekalian ini, anakku..”, tutur ayahnya.  Bocah itupun tersungut-sungut  pertanda tidak puas. Apa sih hebatnya La Sampuraga ? Bisanya cuma meniup suling sembari menangis sepanjang waktu, gerutunya dalam hati. Laki-laki lemah, cengeng pula !.

"Ah,. lagi-laki kisah nenek moyang yang menyedihkan, Etta. Adakah lagi yang lainnya dari La Sampuraga ?", tanyanya penuh harap. "..aja'jE' naEro mappakessE bua-buaE, Etta.." (jangan dong yang menyedihkan, Etta), pintanya pula.  "MaEga mopa, ana'.." (masih banyak lagi, anakku..), hibur Sang Ayah. Maka pada lain kesempatan Sang Ayah bertutur pula tentang Sawerigading Opunna Ware', ksatria Luwu yang melayari 7 samudera serta memenangkan pertempuran pada 7 lapis langit dan 7 lapis bumi !. "AwwEE, ini barulah hebat, Etta !", seru bocah itu kegirangan. "Masih ada lagi yang lainnya,.. ada Sattiaraja Sang Pangeran Muda yang pemberani dan gesit sehingga dipercaya memiliki ilmu raib bagai asap, juga Petta MalampE'E Gemme'na Sang penakluk yang konon kekuatannya mampu menginjak batu hingga kakinya melesak dalam - dalam dipermukaan batu yang keras. Ada pula Sultan Hasanuddin Sang Ayam Jantan dari Benua Timur yang konon ketajaman pandangan matanya dapat melumpuhkan lawan yang ditatapnya. Kemudian ada pula Petta La Battoa yang bertubuh kekar nan perkasa dan masih banyak pula yang lainnya..", jelas ayahnya.

Maka hari demi hari mengalir dari hulu takdirnya menuju penghujung muara waktunya, bersama dengan kisah demi kisah yang mengisi benak bocah yang kian hari tumbuh pula menjadi remaja. Pemuda yang minatnya berhimpitan dengan rasa keingintahuan yang besar dengan segala perihal moyangnya. Suatu hal yang disadarinya kemudian sebagai keberuntungan, bahwa orang tuanya mengisi kisah pertama dalam sanubarinya tentang "La Ulawu Tau", leluhurnya yang bertubuh tidak sempurna.

Bahwa memulai segala sesuatu dengan ke-taksempurnaan kiranya adalah awal yang baik. Sesuatu yang menggugah kesadaran perihal fitrah diri yang senantiasa memiliki cacat cela. Maka ruang jiwa anak-anak yang masih lapang nan bersih itu semogalah kiranya tidak menjadi pesemaian bibit kepongahan yang kelak memungkinkan tumbuh menjadi tirani kesombongan. Ia memandang teman-temannya serta segenap masyarakat kampungnya yang memperlakukannya secara khusus dengan penuh rasa terima kasih. Dalam pikirannya, mereka memanggilnya Andi sebagai “panggilan kasih sayang” dari kaum “kakak” kepada “adiknya”.

Pada sisi lain, tokoh La Ulawu Tau adalah adalah ispirator yang menggugah rasa percaya dirinya. Ladang hikmah yang mengedepankan perihal realita pandangan masyarakat secara wajar, bahwa kesempurnaan  pisik  bukanlah hal utama yang dapat menjadikan seseorang terkemuka ditengah masyarakatnya, melainkan kecerdasan intelektual yang dibarengi dengan kecerdasan spiritual.

Seiring waktu, remaja  penikmat kisah lama itu semakin dahaga oleh minatnya yang teramat besar. Kisah-kisah yang dituturkan oleh ayah, paman dan bibinya kiranya tidaklah cukup banyak untuk mengisi penuh lembah keingintahuannya. Bahwa lembaran silsilah yang juga sebagian ditulis kembali oleh ayahandanya memperhubungkannya dengan tokoh perkasa Sawerigading kiranya belumlah cukup baginya. Bahkan iapun penasaran untuk mengetahui tautan jalinan silsilah antara dirinya dengan Tokoh La Ulawu Tau dan La Sampuraga yang akhirnya juga dikaguminya itu, sesuatu yang hingga kini belum ditemukannya. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab hingga ayahandanya wafat dengan tenang.

..tania pakkEasengeng, tania waramparang, taniatoo ammanareng ripakalebbii upammanaarekko, ana’ku. NaEkia, iyami weddingngE uwala appasilElEng ammanareng ri siningna wija-wijakku, iyanaritu : gau’ mappakalebbi’E ri assipakalebbirengngE..” (..bukan gelar, bukan harta benda, bukan pula warisan dimuliakan yang kuwariskan pada kalian, anakku. Namun yang dapat  kujadikan saling berbagi warisan pada segenap turunanku, adalah : perilaku memuliakan dalam rangka saling menghargai satu sama lainnya..), demikian wasiat terakhir ayahandanya.

Bahwa sesungguhnya darah dan keturunan bukanlah ukuran bagi kemuliaan seseorang, maupun suatu kaum. Demikian pula pangkat, jabatan dan kekayaan bukan pula takaran yang dapat menempatkan seseorang pada tingkat derajat yang tinggi. Melainkan kwalitas Ilmu Pengetahuan yang memenuhi keluhuran Iman dan Taqwa kepada Allah SWT kiranya membiaskan aura pribudi, sehingga terwujudlah suasana pangadereng yang melahirkan karya madEcEng na mappadEcEng (baik dan memperbaiki), tuntunan atuo-tuongeng siamasE-masEi ripadanna ripancaji (kehidupan saling mengasihi sesama mahluk).

Wallahualam Bissawwab..


==============================

1)  Pemanggilan  dalam  kalangan  anak keturuanan bangsawan terhadap ibunya. Penyebutan ini berlaku pada anak yang ayah dan ibunya memiliki derajat kebangsawanan yang seimbang pada tingkatan masing-masing, kecuali pada Ana' Mattola (Putera/Puteri Mahkota).. Pemanggilan Etta kepada orang tua, sesungguhnya adalah sama bagi keduanya. Namun agar tidak membingungkan, maka dalam suatu keluarga biasanya menambahkan sebutan gender dibelakangnya, yakni : Etta BoranE atau Etta Ambo (Etta Laki-laki atau Etta Ayah) pada ayahnya dan Etta Makkunrai atau Etta Indo' (Etta Perempuan atau Etta Ibu) pada ibunya. Pada masa kini, seorang anak bangsawan tinggi namun tidak berderajat Ana' Mattola kerap pula menyebut ayah ibunya sebagai : Etta Bau'.

2)  Sapaan Etta secara langsung dalam perbincangan dengan salah seorang diantara keduanya (ayah dan ibu) biasa pula disebutkan dengan singkat. Sebagaimana lazimnya yang berlaku pada negeri bekas Kerajaan Wajo dan Sidenreng, bahwa penyebutan Etta terhadap generasi lebih tua selain ayah dan ibu yang meliputi paman, bibi, mertua, paman/bibi mertua serta paman kakek/nenek, adalah berlaku khusus bagi seseorang kemenakan, menantu dan cucu kemenakan yang memiliki derajat kebangsawanan lebih tinggi dari para generasi yang lebih tua itu. Sebagaimana dipahami dalam struktur penyebutan dalam Wari (pranata) para bangsawan bahwa : temppeddingngi nateppu-teppu bawang asenna, tempeddingtoi nattana Puengi  (dia tidak boleh menyebut namanya begitu saja, serta tidak dapat pula disebutnya sebagai Tuanku). Kemudian para generasi lebih tua yang disebut diatas, jika disapa sebagai Etta atau Etta NEnE bagi paman kakek/nenek tidak dapat pula menyebut Pueng (Tuanku) kepada kemenakan atau Appo BenrEng (cucu kemenakan) yang menyapanya itu, melainkan : Ana' Baso' (Ananda  Pangeran) bagi laki-laki atau Ana' BessE' (Ananda Puteri) serta Ana' Bau' (Ananda Pangeran/Puteri Mahkota) bagi yang Ana' Mattola (putera puteri sederajat Datu yang sedang menduduki tahta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar