MERAWAT FITRAH
by. La Oddang
Iyapa nariayaseng masse' assipulungengngE, rEkko nasio'i masE-masE. NaEkia, iyatopa nariyaseng mawerre' masE-masEwE, rEkko naranrengngi sipakatau na assipakalebbireng.
Sebuah persekutuan hidup dapatlah dikatakan kuat, jika diikat dengan semangat saling mengasihi. Namun semangat saling mengasihi satu sama lainnya itu nantilah dapat dikatakan erat, jika disertai dengan semangat tenggang rasa dan saling menghargai.
………………………………………………………………………………………………………
Membaca sebuah nama seorang tokoh besar dalam sejarah menimbulkan kagum dan hormat dalam sanubari. Namun darah mendesir seketika, jantung berdebar dan terbersit haru serta bangga yang teramat dalam ketika mengetahui jika tokoh tersebut adalah leluhur sendiri. Bukan sekedar mengetahui bahwa beliau adalah leluhur yang menurunkan nazabnya, namun bahkan dikuatkan oleh garis-garis yang sambung menyambung secara horizontal hingga sampai pada sebuah nama yang diketahui sebagai orang yang melahirkan salahsatu dari kedua orang tua yang melahirkan kita. Suatu penemuan yang membanggakan, sekaligus pengenalan baru bahwa ternyata “saya-pun” adalah turunan Raja pula. Selanjutnya, ada dua kemungkinan yang terjadi dengan pengetahuan baru tersebut, yakni : berbangga diri lalu menjelmakan diri sebagai bangsawan baru atau justru semakin mawas diri agar nazab mulia itu terpelihara adanya dengan meluaskan jalinan silaturrahmi dalam kerangka AmpE-AmpE MapEdEcEng (Budi Luhur).
Kiranya tidak semua orang merasa puas dengan pengetahuannya tentang asal-usulnya. Sejak kecil ia mengetahui nama lengkap ayah dan ibunya. Namun jika ditanya siapa ayah bunda kedua orang tuanya, paling banter ia hanya menjawab : nEnE ambo'ku (kakekku) atau nEnE indo'ku(nenekku) saja. Lebih jauh jika ditanya, siapa pula yang melahirkan mereka ?. Maka iapun menjawab, “.. mereka adalah 8 orang nEnE uttuku (buyutku) yang juga saya tidak tahu namanya”. “Buat apa sih mengetahui nama mereka yang telah lama tiada ?!”, ia pun balik bertanya. “..toh mereka sudah tidak bisa memberi apa-apa lagi..”, rungutnya kemudian.
Adalah hal yang penting untuk mengetahui sejarah atau setidaknya nazab diri sebagai bagian dari pengenalan terhadap diri sendiri. Seseorang akan sulit mengenal orang lain secara benar jika bahkan ia tidak mengenal dirinya sendiri dengan jujur pula. Maka tanpa pengenalan yang tepat itu, seseorang akan sulit menempatkan diri secara tepat pula sebagai bagian dari masyarakat yang melingkupinya. "Siseng naita matanrEgi alEna, siseng naita mariawagi alEna.." (..sekali memandang diri terlalu tinggi atau memandang diri terlalu rendah..). Akibatnya, jika memandang diri terlalu tinggi dari yang sebenarnya, pastilah memandang rendah orang lain. Sekiranya ia memandang diri lebih rendah dari yang sepantasnya, iapun terjangkit penyakit iri hati pada orang lain. Akhirnya iapun akan menjadi orang yang terkucil dari lingkup sosialnya.
Sebuah kejadian menyangkut perihal diatas, terjadi pada suatu acara mappacci (penabalan daun pacar bagi calon pengantin) yang dihadiri ayahanda. Pertemuan keluarga jauh dekat itu menjadi ajang perbincangan perihal perhubungan silsilah antar mereka dalam suasana penuh kekeluargaan. Diantara yang hadir, adalah seseorang yang selama ini disebut Petta3) oleh anak cucunya dan dikenal pula sebagai orang yang angkuh. Konon ia pernah berucap bahwa tiada siapapun di Belawa yang bisa ia sebut sebagai "Pueng" (Tuanku) selain dari Datu Belawa sendiri, itupun hanya sebatas penghargaan terhadap jabatan belaka. Menurutnya pula, nazabnyalah yang sesungguhnya menjadi pewaris sah "Akkarungeng ri Belawa" (Tahta Kerajaan Belawa).
Sejak tiba di majelis itu sekalipun tidak pernah berkata apa-apa. Iapun diam membisu seraya mengangkat dagunya dengan angkuh. Maka Petta Bau Labbo' yang juga hadir dalam majelis itu bertanya, "TabE', niga tosipalE asenna turungengki' idi ? ..tapau-paumoi EbarE' wedding ipasilolongeng assumpungengloloE.." (Maaf, mohon tanya siapa kiranya yang menurunkan anda ? ..kiranya bisa disebut agar dipertemukan garis kekerabatan..). Iapun menjawab dengan menyebut nama ayah ibunya, namun Petta Bau Labbo' agaknya tidak mengenal nama itu. Maka bertanyalah lagi, "niga turungengngi duaE topajajiangta ?" (siapa pula kiranya yang menurunkan kedua orang tua anda ?). "iyE dEE'na uwissengngi asenna….'.." (saya tidak tahu lagi siapa namanya.…….), jawabnya terbata-bata. Maka bertanyalah ayahanda, "MagipalE' tamattueng ladde' riyattana puengi akko tauwwE, rEkko dE' taissengngi apolEngetta ? AlEta laginna dE' tajeppui, lebbipahatu tauwwE.." (bagaimana mungkin anda memiliki keberanian disebut "Pueng" sama orang-orang kalau anda tidak tahu asal muasal ? Mengenal diri saja tidak, bagaimana diharapkan mengenal orang lain..).
Pengetahuan luhur terhadap nazab dan sejarah sesungguhnya adalah suatu wujud bakti seseorang terhadap pendahulunya. Pada suatu ketika, ayahanda berkisah tentang seorang tokoh antagonis sejarah Belawa bernama : La Oddang "Malloroseng" Petta MasuengngE Arung Belawa MatinroE ri Batu. Konon baginda adalah seorang raja yang amat lalim, terutama menyangkut nafsu berahinya yang berlebihan terhadap perempuan. Penamaan beberapa tempat di Belawa hingga kini, diantaranya : GalungngE La Wiring Laleng, Salo Lamate', LEmpong MakkunraiyyE, Salo Bulu Makkunrai dan lainnya adalah jejak sejarah kelakuannya yang bejat sehingga dijuluki pula sebagai Arung La Jaa' (Raja Jahat).
"..magi palE' tapakkEasengengnga' asenna, Etta ?" (..lalu kenapa saya diberikan pula namanya, Etta ?), protes penulis kala itu. Ayahanda hanya tersenyum ringan seraya menjawabnya, "Aggaatii aseng masolang nasaba' paddiolona, paddimonrinnapa matti padEcEngi, ana'.." (Andai sebuah nama rusak oleh pendahulunya, adalah kewajiban bagi turunannya kelak yang memperbaikinya, anakku..). Maka benarlah yang dimaksud dalam wasiat KaraEngta I Mappadulung Sultan Abdul Jalil KaraEng SanrobonE Tumenanga ri Lakiung Somba Gowa XIX, bahwa : adalah suatu kebajikan untuk mempelajari sejarah yang bertujuan memahami dan memperbaiki kesalahan nenek moyang selama hidupnya.4)
Adalah suatu kebajikan bagi seorang yang sedikit mengenal silsilah keturunannya, sekiranya pada suatu ketika berkenalan dengan seorang bergelar Andi lainnya, kemudian mengajaknya mappasilolongeng assisumpungeng (mempertemukan garis kesatuan nazab) dengan niat meluaskan silaturrahmi. Namun adalah hal yang naïf pula bagi yang jika pertama mengenal seorang "Andi" yang lain, kemudian timbul dalam hatinya prasangka bahwa orang itu pastilah "bawahannya" dari segi derajat darah. "Walaupun ia Andi, palingan tidak sengngengpali (lahir dari ayah ibu sama-sama bangsawan), demikian perkiraannya selalu. Apalagi jika mengenal seseorang yang tidak menyandang gelar kebangsawanan didepan namanya, maka dianggapnya mereka adalah turunan abdi para leluhurnya.
Sebuah pengalaman pribadi pula, ketika penulis sempat mengenal diri sebagai orang Bugis. Kemanapun pergi, selalu mengenalkan diri sebagai "orang Bugis tulen" yang memandang suku lain di Sulawesi sebagai bangsa laing (bangsa lain). Bahkan lebih daripada itu, penulis yang terlahir di Wajo teramat bangga sebagai Putera Wajo yang oleh beberapa tokoh Wajo pada jaman dulu menyebut negerinya itu sebagai : KaminangngE(yang paling segalanya). "Towajo'E kaminang macca, nasaba tana incajienna La MungkacE To Uddama. Iyato kaminang warani, nasaba' tana pabbaukenna La Tenrilai' To Sengngeng. Iyato kaminang sogi nasaba tana apolEngenna Matoa Wajo La Patello Amanna Gappa. Iyato kaminang makkEade' nasaba' ade'na napopuang. Iyato kaminang arung nasaba' tana naddeppakiE arung pole rimaneng-manengna arung marajaE.." (Orang Wajo itu adalah yang paling pintar, karena tanah kelahirannya La MungkacE To Uddama. Ia pula yang paling berani karena tanah pemakamannya La Tenrilai' To Sengngeng. Ia yang paling hartawan karena negeri asalnya Matoa Wajo La Patello Amanna Gappa Ia juga paling beradab karena adatnyalah yang dipertuan. Ia pun paling berdarah ningrat karena negeri tersebarnya para bangsawan besar..), demikian antara lain pusaka motivasi dari mulut ke mulut itu.
Pada saat lain, sebagian orang di Belawa pada masa lalu berujar pula : Angkannami Soppa'E pangaderengngE (Adat istiadat hanyalah sampai di Soppa'E). Maksudnya adalah mereka berpandangan jika adat istiadat Wajo yang halus nan luhur itu hanyalah dimiliki secara mutlak oleh orang-orang Belawa dan anak-anak negeri Wajo lainnya. Adapun halnya kampung Soppa'Eyang terletak digaris perbatasan utara Wajo dan Sidenreng dipandangnya sudah tidak beradat istiadat lagi karena bukanlah wilayah Belawa (Wajo). Hal itu konon dibuktikannya dengan adat massobbi atau madduppa(menyampaikan undangan acara pengantin) yang menyamakan antara wija arung(turunan bangsawan) dan to sama' (orang biasa).
Pemikiran tersebut akhirnya dihujat oleh ayahanda. "Iyyanatu riyaseng mappahang sala, La Oddang ! ...AlEta bawang riyaseng tau !" (Itulah yang disebut pemahaman salah, La Oddang !..Hanya diri sendiri yang dipandang sebagai manusia !), sergahnya agak gusar kala itu. "Naiyya ammEmengengta sibawa maneng-manengna wija arungngE makkokoE, iyanaritu : padai laona pong aju maraja. Makkure'i ri Luwu, mattone'i ri Bone, mappongngi ri Gowa, makkolibatangngi ri Soppeng, mattakkEi ri Wajo, Maccolli'daungngi ri TanEtE, mpungai ri Berru, mabbuai ri Ajattappareng, matase'i ri Pammana..na lEmba tuo ri Belawa" (sesungguhnya asal muasal kita bersama segenap turunan bangsawan sekarang ini, yaitu : sama halnya dengan pohon kayu besar. Berakar di Luwu, berinti di Bone, berpokok di Gowa, berkulit batang di Soppeng, berpangkal dahan di Wajo, bertunas daun di TanEtE, berbunga di Barru, berbuah di Ajatappareng, masak di Pammana kemudian bersemi kembali di Belawa), demikian penjelasan beliau.
Bahwa sikap prilaku egosektoral selalu ditimbulkan kesalahan berpikir dalam memahami suatu hal, biasanya disebabkan kurangnya pengetahuan perihal tersebut. Iyatonaro maderri solangiwi assiwolompolongngE rilalengna asipulu-pulungengngE (itulah kiranya yang kerap merusak pergaulan dalam suatu kumpulan), demikian kata ayahanda. Hal yang oleh para arif bijaksana jaman dulu senantiasa mengingatkan untuk dicamkan, tentang dua serangkai penyebab "assisalangenna maneng-manengna rupatauE" (perselisihan seluruh umat manusia) , yakni : passaleng temmanessa na bicara tenripahang (perihal yang tidak jelas dan maksud yang tidak dipahami).
Demikian pula halnya dengan sikap bangga berlebihan memandang tinggi diri sendiri, berlatar kemuliaan suku dan ras dengan memandang rendah yang lainnya. Maka lontara mencatat prilaku tersebut sebagai : Malaweng kEdo na matanrE akkaa alE, malaweng ampE-ampE palallo warii, Malaweng timu parette' becci' (berlebihan tingkahnya dan mengangkat diri terlalu tinggi, berlebihan prilaku melewati batas pranata, berlebihan dalam bertutur kata melampaui norma-norma). Hal yang menjadikannya lalai dalam memenuhi nilai kepribadian mulia yang dipersyaratkan, yakni : ..naita alEna, taro pasoro gau'na(tahu diri dan mawas diri dalam bertingkah laku).
Akhirnya penulis teringat pada bacaan tentang petuah arif baginda La Sangkurupatau' MulajajiE Sultan Abdul Rahman MatinroE ri Alleperengna yang berkata, Engkatu ada, engkato gau', engkato nawa-nawa nadE' naripoada, nadE' naripogau', nadE'to nariponawa-nawa, naripojaa'. Engkato ada nadE' naripoada, engkato gau' nadE' naripogau', engkato nawa-nawa nadE' nariponawa-nawa, naripodEcEng 5) . Bahwa Puetta Arung Matoa Wajo XII yang pertama masuk Islam tersebut mewasiatkan demikian yang kira-kira terjemahannya, sebagai berikut : "Ada perkataan, ada juga bentuk perbuatan, ada pula angan-angan, jika tidak diucapkan lalu tidak juga dilakukan serta tidak pula dipikirkan lebih lanjut, maka akan mengakibatkan hal-hal buruk. Ada perkataan sekiranya tidak diucapkan, ada juga perbuatan jika tidak dilakukan, ada pula angan-angan jika tidak dipikirkan lebih lanjut, maka akan mengakibatkan kebaikan".
Sekiranya pada kalimat wasiat diatas mengandung dua maksud, yakni : berbuat dan tidak berbuat, semogalah kiranya uraian ini mendapatkan hikmah baik pada maksud yang pertama, sehingga penuturan perihal AssisumpungengngE(pertalian hubungan) dapat diuraikan selanjutnya.
Adalah fitrah pada manusia, yakni : nazab dan pergaulan sosialnya. Bahwa tiada seorang manusiapun diberi pilihan pada nazab mana ia dilahirkan serta mampu bertahan hidup sendiri tanpa ditopang oleh manusia lainnya. Pergaulan antar sesama manusia disadari sebagai suatu kebutuhan. Memandang orang lain sebagai “cerminan diri” hendaknya rilalengna sitinajaE (dalam batas kewajaran). Sekiranya melampaui batas kewajaran, maka akan berdampak merugikan pula sebagaimana dalam ungkapan : ..wajajungna napapasangi tauwE, ola’na nakkolaki (ukuran bajunya sendiri yang dijadikan ukuran bagi orang lain, takarannya pula yang dijadikan takaran..), sesuatu yang bermakna egois dan senantiasa berburuk sangka kepada siapapun. Maka rusaklah fitrah diri yang berdampak langsung pada perhubungan silaturrahmi antar sesama manusia.
Wallahualam Bissawwab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar