PENGENALAN AWAL
Tania
simata alebbireng usappa namaraja pakkutanaku lao ri ammEmengeng paddioloku,
saba'i minasa pappEjeppu lao ri pangissengeng matti' ri mangoloE, uwaccaming ri
marioloE. Aggaatii laona camming reppa', upulung tassEddi-sEddi inappa upije'
saro masE, sarEkkoammengngi simata weddingngi riala rapang..
Bukannya
semata kemuliaan yang kucari sehingga besar nian pertanyaanku perihal sejarah
asal muasalku, hanya karena tekad untuk mengetahui perihal masa depan, maka
kuberkaca pada masa lalu. Ibarat cermin yang telah pecah berhamburan,
kukumpulkan satu demi satu lalu kurekat dengan semangat ketulusan, semoga
kiranya dapat dijadikan pengandaian..
………………………………………………………………………………………………………………
Tiada
lain yang selalu mengganggu benak bocah lelaki itu, selain perasaan “di-diskriminasi”
yang kadang ditanggungnya. Sebagaimana halnya dengan anak-anak kampung lainnya,
iapun menjalani kesehariannya dengan bermain dari siang pulang sekolah hingga
jelang magrib. Namun hari-hari penuh warna ceria itu menjadi suram ketika tidak
diikutkannya pada beberapa macam
permainan. Teman-teman sebayanya tidak mau mengikutkannya pada permainan makkaddaro
dan sillanca. Maka jadilah ia penonton yang terkucil.
Makkaddaro adalah permainan rakyat yang menggunakan tempurung kelapa sebagai alat
utamanya. Biasanya permainan ketangkasan ini dilakukan secara beregu. Pada
setiap babak, regu pemenang menikmati kemenangannya dengan "irEngE'"(digendong
punggung) seputar lapangan oleh regu
yang kalah. Permainan yang sungguh menyenangkan. Namun apa
senangnya jika tidak dibolehkan ikut bermain ?, rungutnya panjang pendek
ketika itu.
Adapun
halnya dengan Sillanca, sesungguhnya adalah permainan remaja hingga
dewasa, namun anak-anak kampung itu seringkali diam-diam bermain dihamparan
pasir sungai KarajaE. Para pemainnya bergantian saling hantam belakang betis
dengan menggunakan tulang kering selama beberapakali, tergantung dengan
kesepakatan. Maka yang dapat bertahan berdiri hingga akhir, dianggap sebagai
pemenang. Bagaimanapun jadinya, menang atau kalah sama saja hasilnya. Betis
bagian belakang memar membiru atau bahkan bengkak. Namun dasar bocah, mereka
tetap bercanda riuh seraya merendam kaki mereka pada air sungai yang sejuk.
Setiapkali
minta ikut bermain, setiapkali itu pula teman-temannya kompak menolaknya. "Nacairika'
matu' indo'ku !" (nanti aku dimarahi ibuku !) atau "Matauka'
akko Puang !" (saya takut sama Puang !), demikian antara lain alasan
teman-temannya jika ia bersikeras memaksa. Maka apa boleh buat, alasan terakhir
itu membuatnya mundur teratur, walau dengan omelan panjang pendek karena merasa
diperlakukan tidak adil. Bukan apa-apa, orang yang disebut Puang yang
ditakuti teman-temannya adalah ayahnya sendiri.
"Kenapa
saya tidak boleh ikut Makkaddaro dan Sillanca dengan mereka, Etta
Indo' ?" 1), tanyanya
ketika jelang tidur pada ibundanya. "Mereka khawatir jika kau cedera, ..
karena mereka menyayangimu sebagai adik mereka, anakku", sahut sang bunda
sambil membelai rambut putera bungsunya itu hingga tertidur. Keterangan
ibundanya itu terpatri cukup lama dalam pikiran polosnya. Bahwa ia adalah anak
paling muda dalam kampung itu, buktinya semua orang kecuali kedua orang tuanya
serta para paman dan bibinya menyebutnya "Andi" didepan namanya.
Dunia
anak bersama alam pemikirannya yang polos, menganggap bahwa rupanya Tuhan sudah
mentakdirkannya demikian. Ayahbundanya serta sebagian besar keluarganya yang
lain juga disebut pula “Andi” didepan namanya. Bahwa mereka adalah keluarga
"termuda" dalam kampung itu, maka untuk sementara ia menerima
nasibnya yang "tidak beruntung" tersebut. Namun sikap "mapparimeng"
(tawakkal) itu agaknya tidak bertahan lama. Pada suatu hari, ia bertanya kepada
ayahandanya. "Etta 2),
apa sebabnya kita dianggap keluarga termuda dalam kampung ini ? Padahal banyak
juga keluarga lain yang agaknya lebih muda dari kita..".
Maka
berkisahlah sang ayahanda tentang seorang anak lelaki yang muncul tiba-tiba
dalam suatu kampung. "..maniipii oliina, paita mabbaja' ure'-ure'
marenni'na, mapEca'toni jukuuna, malemma lappa-lappa bukunna, tennaullE patettong
alEEna.." (..kulitnya tipis, nampak terbayang urat-urat kecilnya,
lembek pula dagingnya, lemah tulang belulangnya, sehingga iapun tidak mampu
berdiri sendiri).
Namun
dibalik raga yang lemah itu, mengeram sebuah jiwa yang besar, sebongkah hati
yang bersih dan pemikiran yang cerdas. Keutamaan rohani itu jelas terpancar
pada tatapan matanya yang lembut dan bercahaya pada raut wajahnya yang berparas
manis. Setiap orang yang memandangnya senantiasa terpikat dan tunduk oleh
pancaran keagungan kepribadiannya. Iapun piawai berkata-kata dengan kalimat
yang teratur dan senantiasa mengucapkan sesuatu yang baik. Kemudian
pemikirannya yang cerdas seringkali mengeluarkan ide-ide cemerlang untuk
kemaslahatan hidup masyarakat kampung itu. Maka ia dipandang sebagai mustika,
anugerah Dewata SeuwwaE (Dewata Yang Tunggal) bagi kampung mereka.
"..riyasengni Ulawu Tau, ulawunna pabbanuaE.."
(..disebutlah ia sebagai Manusia Mustika, ..mustika masyarakat), kisah sang
ayah.
Sejak
kemunculan anak lelaki yang dipandang ajaib itu, maka masyarakat kampung kecil
itu menjadi sejahtera. Berkat petunjuk-petunjuknya yang bijaksana, hasil panen
pertanian di kampung itu senantiasa berlimpah. Pepohonan di kebun berbuah lebat
dan ikan-ikan disungai juga semakin banyak. Mengetahui perihal penghidupan yang
sejahtera itu, maka banyaklah orang yang pindah bermukim di kampung itu. Hingga
kian hari semakin ramai dan tumbuh berkembang menjadi suatu kerajaan yang
diberi nama : Lonra. Anak lelaki yang dinamai sebagai Ulawu Tau
itu diangkat sebagai Raja yang selanjutnya disebut Datu Lonra.
"Etta,
bagaimana seorang yang bertubuh lemah mampu menjadi Raja ?", sergah si
bocah penasaran. "Uh.. berdiri aja tidak becus, apalagi jika makkaddaro
dan sillanca ? Apa sih hebatnya ?!", pikirnya dalam hati. Ayahnya
tersenyum maklum dengan ide-ide polos dalam imajinasi putera bungsunya, seraya menutup kisahnya
dengan simpulan penuh kesan. "Tubuhnya memang lemah tak berdaya, namun
tabiat prilakunya sungguh mumpuni, maka ia dipandang mulia. Ia pula dipandang
sakti karena segala petunjuknya perihal sesuatu yang belum terjadi senantiasa
benar-benar terjadi kemudian..", terangnya. Maka ia amat dihormati
sekaligus dicintai oleh segenap rakyatnya. Kemanapun ia hendak bepergian,
selalu diusung diatas "bEmbEngeng" (tandu khusus raja) dengan
dipikul oleh 4 orang. Segala keperluan hidupnya dilayani dengan tulus seperti
disuapi bila makan, dimandikan bila mandi dan bahkan jika tidurpun ia dijaga.
"Ulawu Tau itupun tumbuh dewasa dan beranakcucu hingga menurunkan
kita sekalian, nak..", terang ayahnya seraya menutup kisahnya.
"Oh..
barulah saya mengerti, Etta. Pantaslah saya tidak dibolehkan bermain Makkaddaro
karena dikhawatirkan kalau tulang punggungku patah jika memanggul teman-teman,
apa benar demikian, Etta ?", tanya Si Bocah dengan raut wajah
cerah. "Iya, agaknya memang demikian..", sahut ayahnya.
"Begitupula dengan Sillanca, Etta ?", tanyanya lagi.
"IyyE', anakku..", timpal ayahnya pula. Maka misteri larangan Makkaddaro,
Sillanca dan Turunan Andi kini terpecahkan dalam benak bocah itu.
Kasihan moyangku, terlahir dengan cacat tubuh yang lemah sehingga bahkan
berdiripun harus dipapah, demikian pikirnya selalu.
Sejak
mendengar tutur sejarah "Ulawu Tau", ia senantiasa haus dengan
segala hal tentang orang-orang dan kehidupannya dimasa lalu. Carita
Iyaccaritang (cerita yang diceritakan), itulah kegemarannya. "Adakah
nenek moyang kita yang lain bertubuh kuat perkasa, Etta ?",
tanyanya pada suatu ketika. Rupanya ia tidak puas dengan profil Sang Ulawu
Tau yang menurutnya sangat menyedihkan. "Tentu saja masih banyak yang
lainnya, anakku..", sambut ayahnya.
Maka
berkisahlah ia tentang ManurungngE La Sampuraga, pemuda sakti yang
adalah salahsatu tokoh utama dalam kisah "CEnrana Maddara Tau"
(Cendana Berdarah Manusia). Alur kisah dan plotnya yang mirip dengan Jaka
Tarub dan 7 Bidadari di Jawa Timur begitu mendayu-dayu dan sarat hikmah.
Legenda yang menyayat hati dipenghujung ceritanya tentang duka tak
berujung tokoh La Sampuraga yang
ditinggal pergi Sang Bidadari We Bussa, isterinya tercinta. Menjalani hidup merana dihimpit duka lara
sambil merawat dan membesarkan We
Dalauleng, puterinya terkasih. Satu-satunya alasan baginya untuk bertahan
melanjutkan hidup hingga akhirnya, raganya-pun raib pula menuju petualangan
dunia lain untuk menemui isterinya di Botinglangi (khayangan).
“ Sepeninggal
ayahnya, We Dalauleng yang
berdarah putih bagai getah pohon "takku" itu ditakdirkan kelak
menebarkan para keturunannya di bumi Sulawesi, termasuk diantaranya kita
sekalian ini, anakku..”, tutur ayahnya.
Bocah itupun tersungut-sungut
pertanda tidak puas. Apa sih hebatnya La Sampuraga ? Bisanya cuma
meniup suling sembari menangis sepanjang waktu, gerutunya dalam hati. Laki-laki
lemah, cengeng pula !.
"Ah,.
lagi-laki kisah nenek moyang yang menyedihkan, Etta. Adakah lagi yang
lainnya dari La Sampuraga ?", tanyanya penuh harap. "..aja'jE'
naEro mappakessE bua-buaE, Etta.." (jangan dong yang menyedihkan, Etta),
pintanya pula. "MaEga mopa, ana'.."
(masih banyak lagi, anakku..), hibur Sang Ayah. Maka pada lain kesempatan Sang
Ayah bertutur pula tentang Sawerigading Opunna Ware', ksatria
Luwu yang melayari 7 samudera serta memenangkan pertempuran pada 7 lapis langit
dan 7 lapis bumi !. "AwwEE, ini barulah hebat, Etta !", seru
bocah itu kegirangan. "Masih ada lagi yang lainnya,.. ada Sattiaraja
Sang Pangeran Muda yang pemberani dan gesit sehingga dipercaya memiliki ilmu
raib bagai asap, juga Petta MalampE'E Gemme'na Sang penakluk yang konon
kekuatannya mampu menginjak batu hingga kakinya melesak dalam - dalam
dipermukaan batu yang keras. Ada pula Sultan Hasanuddin Sang Ayam Jantan
dari Benua Timur yang konon ketajaman pandangan matanya dapat melumpuhkan lawan
yang ditatapnya. Kemudian ada pula Petta La Battoa yang bertubuh kekar
nan perkasa dan masih banyak pula yang lainnya..", jelas ayahnya.
Maka hari
demi hari mengalir dari hulu takdirnya menuju penghujung muara waktunya,
bersama dengan kisah demi kisah yang mengisi benak bocah yang kian hari tumbuh
pula menjadi remaja. Pemuda yang minatnya berhimpitan dengan rasa keingintahuan
yang besar dengan segala perihal moyangnya. Suatu hal yang disadarinya kemudian
sebagai keberuntungan, bahwa orang tuanya mengisi kisah pertama dalam
sanubarinya tentang "La Ulawu Tau", leluhurnya yang bertubuh
tidak sempurna.
Bahwa
memulai segala sesuatu dengan ke-taksempurnaan kiranya adalah awal yang baik.
Sesuatu yang menggugah kesadaran perihal fitrah diri yang senantiasa memiliki
cacat cela. Maka ruang jiwa anak-anak yang masih lapang nan bersih itu
semogalah kiranya tidak menjadi pesemaian bibit kepongahan yang kelak memungkinkan
tumbuh menjadi tirani kesombongan. Ia memandang teman-temannya serta segenap
masyarakat kampungnya yang memperlakukannya secara khusus dengan penuh rasa
terima kasih. Dalam pikirannya, mereka memanggilnya Andi sebagai
“panggilan kasih sayang” dari kaum “kakak” kepada “adiknya”.
Pada sisi
lain, tokoh La Ulawu Tau adalah adalah ispirator yang menggugah rasa
percaya dirinya. Ladang hikmah yang mengedepankan perihal realita pandangan
masyarakat secara wajar, bahwa kesempurnaan
pisik bukanlah hal utama yang
dapat menjadikan seseorang terkemuka ditengah masyarakatnya, melainkan
kecerdasan intelektual yang dibarengi dengan kecerdasan spiritual.
Seiring
waktu, remaja penikmat kisah lama itu
semakin dahaga oleh minatnya yang teramat besar. Kisah-kisah yang dituturkan
oleh ayah, paman dan bibinya kiranya tidaklah cukup banyak untuk mengisi penuh
lembah keingintahuannya. Bahwa lembaran silsilah yang juga sebagian ditulis
kembali oleh ayahandanya memperhubungkannya dengan tokoh perkasa Sawerigading
kiranya belumlah cukup baginya. Bahkan iapun penasaran untuk mengetahui
tautan jalinan silsilah antara dirinya dengan Tokoh La Ulawu Tau dan La
Sampuraga yang akhirnya juga dikaguminya itu, sesuatu yang hingga kini
belum ditemukannya. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab hingga
ayahandanya wafat dengan tenang.
“ ..tania pakkEasengeng, tania waramparang,
taniatoo ammanareng ripakalebbii upammanaarekko, ana’ku. NaEkia, iyami
weddingngE uwala appasilElEng ammanareng ri siningna wija-wijakku, iyanaritu :
gau’ mappakalebbi’E ri assipakalebbirengngE..” (..bukan gelar, bukan harta
benda, bukan pula warisan dimuliakan yang kuwariskan pada kalian, anakku. Namun
yang dapat kujadikan saling berbagi
warisan pada segenap turunanku, adalah : perilaku memuliakan dalam rangka saling
menghargai satu sama lainnya..), demikian wasiat terakhir ayahandanya.
Bahwa
sesungguhnya darah dan keturunan bukanlah ukuran bagi kemuliaan seseorang,
maupun suatu kaum. Demikian pula pangkat, jabatan dan kekayaan bukan pula
takaran yang dapat menempatkan seseorang pada tingkat derajat yang tinggi.
Melainkan kwalitas Ilmu Pengetahuan yang memenuhi keluhuran Iman dan Taqwa
kepada Allah SWT kiranya membiaskan aura pribudi, sehingga terwujudlah suasana pangadereng yang melahirkan karya madEcEng na mappadEcEng (baik dan
memperbaiki), tuntunan atuo-tuongeng siamasE-masEi ripadanna ripancaji (kehidupan saling
mengasihi sesama mahluk).
Wallahualam Bissawwab..
==============================
1) Pemanggilan dalam kalangan
anak keturuanan bangsawan terhadap ibunya. Penyebutan ini berlaku pada anak
yang ayah dan ibunya memiliki derajat kebangsawanan yang seimbang pada
tingkatan masing-masing, kecuali pada Ana' Mattola (Putera/Puteri
Mahkota).. Pemanggilan Etta kepada orang tua, sesungguhnya adalah sama
bagi keduanya. Namun agar tidak membingungkan, maka dalam suatu keluarga
biasanya menambahkan sebutan gender dibelakangnya, yakni : Etta BoranE
atau Etta Ambo (Etta Laki-laki atau Etta Ayah) pada ayahnya dan Etta
Makkunrai atau Etta Indo' (Etta Perempuan atau Etta Ibu) pada
ibunya. Pada masa kini, seorang anak bangsawan tinggi namun tidak berderajat Ana'
Mattola kerap pula menyebut ayah ibunya sebagai : Etta Bau'.
2) Sapaan Etta secara
langsung dalam perbincangan dengan salah seorang diantara keduanya (ayah dan ibu)
biasa pula disebutkan dengan singkat. Sebagaimana lazimnya yang berlaku pada
negeri bekas Kerajaan Wajo dan Sidenreng, bahwa penyebutan Etta terhadap
generasi lebih tua selain ayah dan ibu yang meliputi paman, bibi, mertua,
paman/bibi mertua serta paman kakek/nenek, adalah berlaku khusus bagi seseorang
kemenakan, menantu dan cucu kemenakan yang memiliki derajat kebangsawanan lebih
tinggi dari para generasi yang lebih tua itu. Sebagaimana dipahami dalam
struktur penyebutan dalam Wari (pranata) para bangsawan bahwa : temppeddingngi
nateppu-teppu bawang asenna, tempeddingtoi nattana Puengi (dia tidak boleh menyebut namanya begitu
saja, serta tidak dapat pula disebutnya sebagai Tuanku). Kemudian para generasi
lebih tua yang disebut diatas, jika disapa sebagai Etta atau Etta
NEnE bagi paman kakek/nenek tidak dapat pula menyebut Pueng (Tuanku) kepada
kemenakan atau Appo BenrEng (cucu kemenakan) yang menyapanya itu,
melainkan : Ana' Baso' (Ananda
Pangeran) bagi laki-laki atau Ana' BessE' (Ananda Puteri) serta Ana'
Bau' (Ananda Pangeran/Puteri Mahkota) bagi yang Ana' Mattola (putera
puteri sederajat Datu yang sedang menduduki tahta).