Aku tidak MENULIS sejarah..tapi kusedang MENGKAJI sejarah..agar kudapat MENGUKIR sejarahku sendiri..

Rabu, 08 September 2010

Sejarah Belawa (part 5)

V. La Pamessangi

Perang Makassar yang bermula pada 21 Oktober 1653 adalah merupakan suatu peperangan terhebat, terpanjang dan paling banyak memakan korban  yang pernah dialami oleh VoC sejak petualangannya merambah kepulauan diseputar samudera Hindia. Perang besar itu berakhir setelah  Sultan Hasanuddin Sombayya Gowa menandatangani Naskah Perjanjian Bongaya pada tanggal 19 Nopember 1667, sebuah perjanjian yang berat sebelah disodorkan pihak VoC dan sekutunya sebagai pihak pemenang perang.  

Namun setelah Perang Makassar dinyatakan berakhir, bukan berarti peperangan dengan VoC yang bersekutu dengan  Tana Bone dan Soppeng berakhir. Beberapa petinggi kerajaan Gowa dan sekutunya menolak untuk menandatangani perjanjian tersebut. Mereka merasa belum terkalahkan !. Termasuk diantaranya, adalah : Arung Matoa Wajo La Tenrilai' Tosengngeng Arung Matoa Wajo XXIII. Dengan amarah yang meluap-luap, La Tenrilai'  mencabut keris pusakanya seraya berkata dengan suara menggelegar, : Sangadi cappuupi Pakannaku na ipasigajangnga' La Tenri Tatta (Arung Palakka) iyolo', iyajjulEkkaipi bakkEku na inappa riyala bessi Wajo ! . Maka Raja Wajo yang merupakan menantu Sultan Hasanuddin Raja Gowa tersebut mengundurkan diri ke Tosora (Kotaraja Wajo) bersama segenap lasykar Wajo yang tersisa (sebagian gugur dalam perang Makassar serta satu bagian yang lainnya dipimpin oleh Pu Adu Daeng Sitebba merantau jauh ke Kalimantan Timur dan membuka/mendirikan Kota Samarinda). Dari sanalah, baginda memperkuat Benteng Tosora sambil menunggu serbuan VoC beserta sekutunya.

Akhirnya serangan yang dinanti itu benar-benar tiba !. Penyerangan itu dipimpin langsung oleh La Tenri Tatta To Erung Aru Pallakka Petta MalampE'E Gemme'na. Dengan persenjataan yang lebih lengkap dan pasukan yang lebih terlatih (Lasykar ToangkE), maka Pasukan Wajo benar-benar terkepung, terkurung di Bentengnya sendiri. Tiba-tiba terjadi peristiwa tragis yang tidak disangka-sangka,  Arung Matoa Wajo La Tenrilai' To Sengngeng gugur ! Baginda lalai menyumbat lubang sumbu pemicu meriamnya sehingga meriam besar itu meledak mengenai baginda. Olehnya itu maka baginda diberi gelar Petta MatinroE ri SalEkona. Maka peperangan berhenti seketika itu dan dinyatakan berakhir dengan kemenangan di pihak Arung Palakka Petta MalampE'E Gemme'na. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 22 Dzulhijjah 1021 Hijriah (Lontara Sukkuna Wajo) atau tanggal 4 Desember 1670 M (Noorduyn). Sejak itulah, Wajo beserta segenap kerajaan bawahannya dibawah taklukan Tana Bone dan VoC, termasuk dalam hal ini : TanaE Belawa.

Tertulis pada Lontara AkkarungengngE ri Bone, bahwa pada Tahun 1745 M, berselang 77 tahun berada dibawah dominasi Tana Bone, Batari Toja Daeng Talaga Sultana Zaenab Sakiyatuddin Mangkau ri Bone XVI-XVIII merangkap Pajung ri Luwu dan Sekaligus Datu Soppeng Petta MatinroE ri TippuluE (gelar ketika wafatnya) ketika kembali menduduki tahta Bone untuk kedua kalinya, baginda mengutus  Kadhi (Kali) Bone Abdul Rasyid  dan Matoa Belawa (Matoa MacEro) ke Tanah Mandar (Balanipa) untuk memanggil kembali La Pamessangi Petta MatowaE yang pernah diusir oleh Sombayya ri Gowa. Tujuan pemanggilan itu, agar La Pamessangi kembali untuk menjadi Arung Belawa Orai' sekaligus menjadi Datu ri Suppa dan Arung Alitta.

Akhirnya La Pamessangi bersedia kembali ke Bone disertai Kali Bone dan Matoa MacEro dengan melalui perjalanan lewat laut menuju Suppa. Rombongan itu mendarat di JampuE dan disambut oleh Pabbicara Suppa. La Pamessangi bersama rombongan tinggal bermalam selama 3 malam di Suppa. Sebelum melanjutkan perjalanan, beliau menyuruh puteranya tinggal di Suppa bernama La Sangka untuk bertindak selaku Datu Suppa. Tidak lama kemudian, datang pulalah orang-orang Alitta meminta beliau menjadi Arung Alitta, memenuhi titah ArumponE. Maka La Pamessangi menyuruh anaknya yang lain, bernama La Posi menjadi Arung Alitta. Kemudian beliau bersama rombongan bermalam 3 malam di Alitta, lalu melanjutkan perjalanan ke Belawa.

Setelah semalam setibanya beliau di Belawa, berdatanganlah orang Belawa kehadapannya. Mereka terdiri dari orang-orang dari Kampung Wattang dan Timoreng yang datang Makkasuwiang dengan masing-masing membawa 10 gantang beras.

Setelah 4 malam di Belawa, maka dipanggilnya segenap orang Belawa. La Pamesangi meminta persetujuan orang-orang Belawa, kiranya La Raga Arung Wattang diangkat menjadi Arung Belawa sebagai pemegang titah dan amanah ArumponE di kawasan itu. Akhirnya orang Belawa menyatakan persetujuannya, maka dinobatkanlah La Raga menjadi Arung Belawa.

Setelah menyerahkan akkarungengngE ri Belawa, La Pamessangi Petta MatowaE disertai Kadhi Bone Abdul Rasyid melanjutkan perjalanan ke Watampone, menghadap Baginda ArumponE Sultanah Zaenab Sakiyatuddin.

................................................................................................................................
Begitu banyaknya Arung Belawa yang tercantum pada berbagai Lontara, diantaranya : Lontara Sukkuna Wajo (tidak menyebut nama : Hanya "Arung Belawa"), Lontara AkkarungengngE ri Bone, Lontara Silsilah  Andi Wana Datu Soppeng (menurut Ayahanda Andi Mori), Tuhfat An Nafis (disusun oleh Raja  Ali Haji , tentang riwayat Raja-raja Riau dan Malaka, juga hanya menyebut : Arong Belawa) dan Lontara TippuluE . Namun tiada satupun diantaranya yang menulis secara utuh tentang Arung Belawa yang terurut sejak La Monri Arung Belawa MammulangngE Petta MatinroE ri Gucinna hingga Arung Belawa terakhir, yakni : Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa (Datu Bolong).

Perihal La Pamessangi Petta MatowaE yang tersebut pada Lontara' AkkarungengngE ri Bone sebagaimana diuraikan diatas, tidak jelas keberadaan beliau pada Lontara lainnya. Penulis pernah membaca salinan Lontara Balannipa (Mandar), ada tercantum nama "Baso' Parepare" yang berkunjung ke Tanah Mandar dan diterima oleh Mara'dia Balannipa (penulis lupa namanya) dan menetap di negeri Mandar tersebut dalam waktu yang cukup lama. Sehubungan dengan nama tersebut, dapat ditemukan pada Daftar Silsilah milik penulis, tertulis sebagai : La Pamessangi Baso' Parepare. Jika benar itu adalah nama yang sama dengan yang tertulis pada Lontara AkkarungengngE ri Bone, maka adalah hal yang wajar karena La Pamessangi Baso' Parepare adalah putera La Tamang Petta Palla'E yang merupakan seorang pangeran Bone, Luwu,Wajo, Soppeng, Sidenreng dan Rappeng yang diberikan tahta di Palla'E (wilayah Bone).

Perlu dikemukakan, bahwa La Tamang Petta Palla'E adalah anak La Sappo Petta Ugi Arung Belawa Datu ri Palireng Petta MatinroE ri CempaE dari perkawinannya dengan We Tenri Balobo Datu Pammana. Maka wajarlah jika seandainya beliau "direkomendasikan" oleh Arumpone sendiri untuk menduduki tahta di Belawa. Namun pertanyaan yang timbul kemudian, adalah : zaman (ruang waktu) Batari Toja dan La Pamessangi terpaut sangat jauh sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikannya. La Pamessangi Baso Parepare hidup pada kisaran tahun 1886 M (akhir abad XIX), sementara Batari Toja hidup pada pertengahan abad XVIII.

Tokoh lainnya yang pernah menduduki tahta di Belawa, adalah : La Kuneng Datu Suppa X merangkap Addatuang Sawitto VIII dan juga sebagai Arung Belawa Orai'. Baginda adalah putera  Tosibengngareng Addatuang Sawitto VII dari hasil perkawinannya dengan Arung Belawa (juga tidak menyebut nama). Maka merupakan tugas besar berdasar dari hasrat keinginantahuan penulis untuk mencari dan mendulang sumber-sumber lebih lanjut yang sekiranya dapat menguraikan Kesejarahan TanaE Belawa dengan lebih lengkap, Insya Allah. Mudah-mudahan ada diantara pembaca blog ini yang  kiranya bermurah hati untuk menambah khazanah pengetahuan saya untuk melengkapi tulisan ini..., amin.

(... bersambung ke Sejarah Belawa Part 6)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar